Gangguan Obsesif Kompulsif
Gangguan Obsesif Kompulsif
PENDAHULUAN
A. Definisi
Sejalan dengan Főa, dkk; Steketee & Barlow (Durand & Barlow,
2006), kompulsi dapat berbentuk perilaku (misalnya mencuci tangan,
memeriksa keadaan) atau mental (memikirkan tentang kata-kata tertentu
dengan urutan tertentu, menghitung, berdoa dan seterusnya).
D. Gejala
Gejala-gejala obsesif-kompulsif menurut PPDGJ-III, harus mencakup
hal-hal sebagai berikut :
1. Harus disadari sebagai pikiran atau implus dari diri sendiri.
2. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan,
meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
3. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal
yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari
ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti
dimaksud di atas).
4. Gagasan, bayangan pikiran, atau implus tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
E. Onset
Umumnya usia rata-rata penderita obsesif-kompulsif adalah antara 22-
36 tahun. Hanya 15 % yang muncul pada usia diatas 35 tahun
(www.tanyadokter.com). Onset rata-rata adalah kira-kira 20 tahun. Walaupun
laki-laki memiliki onset yang lebih awal (rata-rata 19 tahun) dibandingkan
wanita (rata-rata 22 tahun). Secara keseluruhan, kira-kira per tiga dari pasien
memilki onset gejala sebelum 25 tahun. Gangguan obsesif-kompulsif dapat
memiliki onset pada masa remaja atau masa anak-anak
(ningrumwahyu.wordpress.com).
F. Prevalensi
Prevalensi penderita gangguan ini adalah sekitar 1-2 % dari populasi,
dengan jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Umumnya gangguan terjadi pada masa dewasa muda, dan seringkali
mengikuti serangkaian peristiwa yang menimbulkan stres besar (Kringlen
dalam Fausiah & Widury, 2007). Pada laki-laki berhubungan dengan
kompulsi memeriksa, sedangkan pada perempuan berhubungan dengan
kompulsi membersihkan (Norshivani dalam Fausiah & Widury, 2007).
Sedangkan menurut Ingram (Jayalangkara, 2005), melaporkan bahwa
kehamilan adalah pencetus terbanyak terjadinya gangguan obsesif kompulsif.
Prevalensi gangguan obsesif kompulsif selama hidup adalah 2-3 %.
Prevalensi seumur hidup gangguan obsesif kompulsif pada populasi
umum diperkirakan adalah 2 samai 3 persen. Beberapa peneliti telah
memperkirakan bahwa gangguan obsesif kompulsif ditemukan sebanyak 10
persen pasien rawat jalan di klinik psikiatri. Angka tersebut menyebabkan
gangguan obsesif kompulsif sebagai diagnosis psikiatri tersering yang
keempat adalah fobia, gangguan berhubungan zat, dan gangguan depresi berat.
Prevalensi seumur hidup untuk gangguan obsesif kompulsif adalah
kira-kira 67 persen dan untuk fobia sosial kira-kira 25 persen. Diagnosis
psikiatrik komorbid lainnya pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif
adalah gangguan alkohol, fobia spesifik, gangguan panic dan gangguan
makan.
G. Diagnosa
Berdasarkan reportcard Symptom distress Scale
(http://www.mhsip.org/reportcard/sympdiss.pdf). Diagnosa biasanya
ditegakkan berdasarkan penuturan penderita mengenai perlakunya, bisa
dilakukan dengan:
1. The Yale-Brown Obsessive Compulsive Scale
a. Alat tes ini pernah diujikan kepada 81 pasien obsesif kompulsif
b. Aitem tesnya sebanyak 10 aitem dengan rating klinis
c. Pengukuran dalam skalanya dari rentang 0 sampai 4 tiap aitemnya
d. Dari 10 aitem, aitem dari 1 sampai 6 mengukur tingkat ke obsesifan
dan 7 sampai 10 mengukur tingkat ke kompulsifan seseorang
e. Alat ini mengukur tingkat dan tipe-tipe dari gangguan obsesif
kompulsif tersebut pada diri individu
f. Koefisien reliabilitasnya r= 0,80 dengan signifikansi p < 0,05
g. Validitas konvergen dari Y-B OCD baik
2. The symptom checklist 90
a. Skala ini mengukur somatization (SOM), Obsessive compulsive (O-
C), Interpersonal sensivity (I-S), Deppression (DEP), Anxiety (ANX),
Hostility (HOS), Phobic Anxiety (PHOB), Paranoid Ideation (PAR),
Psychotism (PSY), and Additional Aitem, The Global severity Index
(GSI), The Positive Symptomp Distress Index (PSDI), and the
Possitive Symptomp Total (PST)
b. Norma yang digunakan berdasarkan spesifik gender terbagi 4
kelompok: norma A (1002 pasien psikiatrik dewasa rawat jalan),
norma B (974 bukan pasien dewasa psikiatrik), norma C (423 pasien
psikiatrik dewasa yang rawat inap), norma E (806 pasien remaja
psikiatrik rawat jalan)
c. Reliabilitas alat tes ini berkisarrentang 0, 80 sampai 0,90
d. Validitas alat ini masih rendah karena belum ada komparasi dengan
alat tes lain.
H. Terapi
1. Pendekatan Psikoanalisa
Terapi yang dilakukan adalah mengurangi represi dan
memungkinkan pasien untuk menghadapi hal yang benar-benar
ditakutinya. Namun karena pikiran-pikiran yang mengganggu dan perilaku
kompulsif bersifat melindungi ego dari konflik yang direpres, maka hal ini
menjadi sulit untuk dijadikan target terapi, dan terapi psikoanalisa tidak
terlalu efektif untuk menangani gangguan obsesif-kompulsif (Fausiah &
Widury, 2007).
2. Exposure and Response Prevention
Terapi ini (dikenal pula dengan sebutan flooding) diciptakan oleh
Victor Meyer (1966), dimana pasien menghadapkan dirinya sendiri pada
situasi yang menimbulkan tindakan kompulsif atau (seperti memegang
sepatu yang kotor) dan kemudian menahan diri agar tidak menampilkan
perilaku yang menjadi ritualnya membuatnya menghadapi stimulus yang
membangkitkan kecemasan, sehingga memungkinkan kecemasan menjadi
hilang. (Fausiah & Widury, 2007)
3. Rational-Emotive Behavior Therapy
Menurut Davison & Neale (Fausiah & Widury, 2007) terapi ini
digunakan dengan pemikiran untuk membantu pasien menghapuskan
keyakinan bahwa segala sesuatu harus terjadi menurut apa yang mereka
inginkan, atau bahwa hasil pekerjaan harus selalu sempurna. Terapi
kognitif dari Beck juga dapat digunakan untuk menangani pasien
gangguan obsesif kompulsif. Pada pendekatan ini pasien diuji untuk
menguji ketakutan mereka bahwa hal yang buruk akan terjadi jika mereka
tidak menampilkan perilaku kompulsi.
4. Farmakoterapi
Obat-obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) bekerja
terutama pada terminal akson presinaptik dengan menghambat ambilan
kembali serotonin. Penghambatan ambilan kembali serotonin diakibatkan
oleh ikatan obat (misalnya: fluoxetine) pada transporter ambilan kembali
yang spesifik, sehinggga tidak ada lagi neurotransmitter serotonin yang
dapat berkaitan dengan transporter. Hal tersebut akan menyebabkan
serotonin bertahan lebih lama di celah sinaps. Pengguanaan Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) terutama ditujukan untuk
memperbaiki perilaku stereotipik , perilaku melukai diri sendiri, resisten
terhadap perubahan hal-hal rutin, dan ritual obsesif dengan ansietas yang
tinggi. Salah satu alas an utama pemilihan obat-obat penghambat reuptake
serotonin yang selektif adalah kemampuan terapi. Efek samping yang
dapat terjadi akibat pemberian fluexetine adalah nausea, disfunfsi seksual,
nyeri kepala, dan mulut kering. Toleransi SSRI yang relative baik
disebabkan oleh karena sifat selektivitasnya. Obat SSRI tidak banyak
berinteraksi dengan reseptor neurotransmitter lainnya. Penelitian awal
dengan metode pengamatan kasus serial terhadap 8 subjek. Tindakan
terapi ditujukan untuk mengatasi gejala-gejala disruptif, dan dimulai
dengan fluexetine dosis 10 mg/hari dengan pengamatan. Perbaikan paling
nyata dijumpai pada gangguan obsesif dan gejal cemas (Pinzon
dkk.,2006).
5. Terapi Keluarga (Family therapy)
Terapi keluarga (Majahudin, 1995), merupakan teknik pengobatan
yang sangat penting bila pada keluarga pasien OCD ini didapatkan
kekacauan hubungan dalam keluarga, kesukaran dalam perkawinan,
masalah spesifikasi dalam anggota keluarga atau peran anggota keluarga
yang kurang sesuai yang akan mengganggu keberhasilan fungsi masing-
masing individu dalam keluarga termasuk dalam waktu jangka panjang
akan berakibat buruk pada anak OCD.
Seluruh anggota keluarga dimasukkan ke dalam proses terapi,
menggunakan semua data anggota keluarga seperti tingkah laku individu
dalam keluarga. Menilai tingkah laku setiap anggota keluarga yang
mempengaruhi tingkah laku yang baik dan membina pengaruh tingkah
laku yang positif dari setiap individu.
6. Terapi perilaku (Behavior therapy)
Leonardo mengatakan (Majahudin, 1995) bahwa teknik terapi
perilaku yang khusus digunakan untuk pasien anak usia lebih tua dan
remaja dengan gangguan OCD adalah latihan relaksasi dan response
prevention technique.
Terapi perilaku pada penderita OCD, awalnya mengumpulkan
informasi yang lengkap mengenai riwayat timbulnya gejala OCD, isyarat
faktor internal dan fakto eksternal, serta faktor pencetus akan timbulnya
gejala OCD. Kemudian mengawasi tingkah laku pasien dala menghindari
situasi yang menimbulkan kecemasan, menghindari timbulnya gejala
kompulsif dan tingkat kecemasan pasien saat timbul gejala OCD harus
diperiksa secara teliti.
Teknik terapi perilaku yang dianjurkan pada anak dan remaja
(Majahudin, 1995) :
a. Latihan relaksasi
Pasien diminta untuk berpikir dan bersikap rileks dan kemudian
pasien diminta untuk memikirkan pikiran obsesi masuk dalam alam
sadar. Ketika pikiran obsesi muncul, maka terapi akan meminta pasien
untuk menghentikan pemikiran itu, misalnya dengan cara memukul
maja, atau menarik tali elastic yang diikatkan pada tangan. Hal ini
dilakukan di rumah atau di mana saja.
b. Response prevention technique
Mula-mula didapatkan dulu rangsangan (stimulus) atau pencetus
yang menyebabkan dorongan untuk melakukan tindakan kompulsif.
Jika rangsangan kompulsif muncul maka pasien secara aktif
diberanikan untuk melawan tingkah laku kompulsif, sering dengan
mengalihkan perhatian pasien sehingga tindakan kompulsif tidak
mungkin dilakukan misalnya dengan memukul meja.
c. Penurunan kecemasan
I. Prevensi
Yang sekarang perlu kita pahami adalah, menyimpan masalah di alam
ketidak sadaran, akan membawa dampak buruk cepat maupun lambat. Bila
menemui masalah, alangkah baiknya bila kita mencoba berbicara dengan
orang yang kita percaya – sekalipun sekedar sharing dan agar didengarkan
saja.
J. Kualitas hidup
Artinya:
Artinya:
K. Contoh Kasus
DAFTAR PUSTAKA
A. Jayalangkara. 2005. Gangguan Jiwa Pada Kehamilan. J Med Nus vol.6. No.4,
Hal.268-272
Abramowitz, S. Jonathan, Edna, B. Foa & Martin, E.Franklin. 2003. Exposure and
Ritual Prevention for Obsessive- Compulsive Dissorder: Effects of
Intensive Versus Twice- Weekly Session. Journal of Consulting and
Clinical Psychology, American Psychological Association.
Davison, Gerald. C & Neale, John.M. 2001. Abnormal Psychology 8th edition.
New York: John Wiley & Son
Fausiah, F & Widury, J. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: UI-
Press.
Rahayu, Yusti Probowati. 2008. Prof Dr Yusti Probowati Rahayu dan analisisnya
tentang Jagal Asal Jombang. http://www.ubaya.co.id/. Diakses 4 Mei
2010