Anda di halaman 1dari 12

WUJUD AKULTURASI BUDAYA PADA KOMPLEKS MAKAM SUNAN

SENDANG DUWUR

Oleh:

1. Muhammad Reovany (18021244029)


2. Satria Manggala Nata Kusuma (18021244027)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
SENI RUPA MURNI 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas karunia-Nya berupa
nikmat iman dan kesehatan ini sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Antropologi
Seni yang mengangkat Judul “Wujud Akulturasi Budaya Pada Kompleks Makam Sunan
Sendang Duwur”. Penyusunan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan
oleh dosen kami. Dengan segala upaya dan kemampuan yang ada, penulis berusaha untuk
mengoptimalan penyusunan laporan ini, walaupun dirasakan masih banyak kekurangan dan
keterbatasasn yang dimiliki oleh kami sebagai penulis untuk itu segala kritikk dan saran yang
membangun guna memperbaiki laporan ini, penulis harapkan.

Akhir kata semoga laporan ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan bagi pihak-pihak
yang menjadikan bahan pembahasan, dan tentunya kritik dan saran lah yang dapat membuat
makalah ini menjadi sempurna.

Penulis

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sektor wisata di Desa Sendang Duwur yang menjadi andalan yaitu wisata religi
makam Sunan Sendang. Banyak para peziarah yang ingin mengunjungi tempat
tersebut. Sama halnya wisata religi yang lain sunan-sunan di Jawa, pada dasarnya
tujuan utama adalah untuk berziarah. Makam Sunan sendang dikatakan memiliki
keunikan dari yang lain mungkin dari namanya sendiri masih asing di telinga
masyarakat, dari luar lamongan bahkan ada juga masyarakat lamongan sendiri yang
belum mengetahuinya. Keunikan lain dari peninggalan bersejarah yang sekarang
disebut makam Sunan Sendang tersebut banyak yang mengatakan bangunan makam
candi. Mungkin dari struktur bangunan sebagian besar menggunakan batu sebagai
bahan utama bangunan di komplek makam.
Dalam makam sunan sendang tidak hanya berperan sebagai makam umum untuk
kepentingan ziarah semata melainkan terdapat keunikan dari makam satu ini yang
memiliki ornamen dibeberapa tempat. Nilai estetik di dalam sebuah ornamen jika
dilihat dari sudut pandang objektif yaitu ornamen berdiri sendiri seolah-olah hanya
sekedar ada untuk kepentingan tertentu. Sebagaimana mestinya ornamen ada sebagai
penghias, sebagai penopang bangunan, sebagai alat pendukung dan lain sebagainya.
Dari pandangan orang satu dengan yang lain akan memiliki kesamaan pemikiran
tentang wujud ornamen yaitu sesuai dengan apa yang telah dilihat. Secara sudut
pandang subjektif, nilai estetik ornamen tidak hanya semata-mata berdiri sendiri
sebagai subjek melainkan terdapat makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Selain itu, ornamen juga memiliki simbol-simbol yang tidak sesederhana orang
melihat, karena mungkin perlu melakukan pemahaman lebih dalam dan maksud dari
ornamen tersebut dibuat. Dari satu ornamen tersebut mungkin memiliki banyak
makna, bisa diambil dari satu kepercayaan masyarakat, etika atau bisa pula pandangan
hidup yang terkait dengan filosofi hidup masyarakat sekitar.

1
B. Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dalam tulisan ini adalah


1. Bagaimanakah wujud akulturasi yang ada di kompleks makam Sunan
Sendang Duwur?
2. Mengetahui jenis ornamen pada kompleks Makam Sunan Sendang Duwur

C. Tujuan

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Seni


2. Untuk mengetahui bentuk produk dari akulturasi masa silam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akulturasi

Akulturasi merupakan salah satu jenis perubahan sosial dalam masyarakat.


Akulturasi adalah perubahan budaya, yang terjadi akibat interaksi dua budaya atau
lebih, dimana pengaruh suatu budaya ini masuk dan diterima di budaya lain, namun
tanpa menyebabkan hilangnya jati diri atau ciri khas dari budaya yang sebelumnya
ada.

Di Indonesia, akulturasi dapat terlihat misalnya pada akulturasi atau percampuran


budaya yang terdapat pada masjid Demak ada pada bentuk arsitekturnya yang
memadukan budaya Islam dengan Budaya Jawa. Contoh lainya adalah  penyerapan
kata dari bahasa-bahasa asing. Seiring dengan masuknya agama Hindu, pengaruh
bahasa Sansekerta, yang merupakan bahasa ritual agama Hindu, juga berkembang
pesat.  Pengaruh ini terlihat dari banyaknya kata serapan dari bahasa Sansekerta di
bahasa-bahasa asli Nusantara, seperti kata “surga”, “neraka”, “agama”, “samudra” dan
lainnya.

B. Kompleks Makam Sendang Duwur

Situs Sendang Duwur merupakan kompleks cagar budaya masa awal penyebaran
agama Islam yang didalamnya terdapat masjid dan pemakaman Islam yang menjadi
pusara Raden Nur Rohmat atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Sendang duwur.
Dalam prasasti ukiran kayu pada bagian serambi masjid tertulis candrasengkala
“gunaning sarira tirta hayu” yang jika diartikan menjadi angka tahun menghasilkan
angka 1483 Saka atau 1561 Masehi yang menunjukkan masa berdirinya Masjid
tersebut.
Situs Sendang duwur ini terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran,
Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Kompleks situs cagar budaya tersebut
merupakan hasil akulturasi dari era Islam di masa itu dengan kebudayaan Hindu

3
Budha sebelumnya yang tergambarkan pada bentuk arsitektur masjid dengan atap
tajug tumpang tiga dengan hiasan mustaka di puncaknya, serta gapura makam yang
berbentuk Candi bentar dan paduraksa. Di dalamnya juga banyak terdapat ornamen
atau ragam hias yang diukir pada gapura, tembok pembatas halaman makam, dan
furniture kayu masjid yang mencirikan ragam hias khas era Majapahit.

C. Akulturasi Budaya Pada Kompleks Sendang Duwur

Akulturasi budaya yang terjadi di kompleks Sendang Duwur ialah masuknya


agama Islam di pulau Jawa dimana pengaruh ajaran Islam ini masuk dan diterima di
budaya lain yang sudah ada (Hindu Budha), namun tanpa menyebabkan hilangnya jati
diri atau ciri khas dari budaya yang sebelumnya ada (Hindu Budha). Bukti akulturasi
tersebut sampai sekarang dapat kita saksikan melalui wujud artefak dan arsitektur
yang mencirikan Tata bangunan dari kebudayaan Hindu Budha yang kemudian
diartikan ulang dengan memasukkan unsur-unsur ajaran Islam di dalamnya, artefak
tersebut antara lain:

1. Tiga tingkatan dalam arsitektur bangunan suci

Masjid Sendang Duwur, sumber gambar: Leiden


Univercity Libraries

Dalam arsitektur atap bangunan masjid Sendang duwur menggunakan model


atap tajug tumpang tiga serta hiasan mustaka di puncaknya yang umum digunakan
pada arsitektur masjid tradisional Jawa. Atap tajug merupakan bentuk arsitektur
Hindu yang disebut Meru menggambarkan gunung sebagai tempat suci, karenanya
diakulturasikan sebagai atap masjid yang juga merupakan bangunan suci. Sedangkan
4
atap tumpang tiga biasa diartikan sebagai inti ajaran Rasulullah SAW yaitu Islam,
Iman, dan Ihsan.
Tiga tingkatan tersebut diindikasikan juga merupakan hasil akulturasi dari
kebudayaan Hindu Budha sebelumnya, dalam agama Hindu tiga tingkatan bangunan
suci disebut dengan Bhurloka, Bhurvaloka, dan Svarloka. Sedangkan dalam
kebudayaan agama Budha yang tergambar pada Candi Borobudur, tiga tingkatan
tersebut disebut dengan Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.

2. Gapura
Dalam kompleks makam Sendang duwur terdapat dua jenis gapura yang
dalam ke kebudayaan Hindu disebut dengan Candi Bentar dan Paduraksa.

Gapura Bentar dan Paduraksa pada kompleks Sendang Duwur, sumber


gambar: dokumentasi pribadi

a. Gapura Candi Bentar


Yaitu gerbang berbentuk dua bangunan terpisah yang mana celah
diantaranya sebagai jalan masuk suatu kompleks, contoh paling terkenal
dari model gapura Candi Bentar dapat kita saksikan pada candi Gapura
Wringin Lawang yang merupakan artefak era majapahit.
Fungsi Gapura Bentar dalam arsitektur bangunan suci agama Hindu
adalah sebagai gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan
luar pura dengan nista mandala (jaba pisan).

b. Gapura Paduraksa
5
Yaitu gerbang berbentuk bangunan dengan bagian atas yang menyatu
dan memiliki daun pintu, contoh paling terkenal dari model gapura
Paduraksa dapat kita saksikan pada candi Gapura Wringin Lawang yang
merupakan artefak era majapahit.
Fungsi Gapura Paduraksa dalam arsitektur bangunan suci agama Hindu
adalah sebagai gerbang dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona
madya mandala (jaba tengah) dengan utama mandala (jero) sebagai
kawasan tersuci dalam pura.

keunikan yang terdapat pada kompleks makam Sendang Duwur yaitu adanya
gapura paduraksa yang memiliki ornamen sayap pada bagian kanan kirinya. Ornamen
sayap yang mengapit pintu atau gerbang ini merupakan langgam ragam hias yang
khas dari era Islam, namun umumnya hanya ditemukan sebagai pahatan relief yang
terdapat pada arsitektur masjid dan makam-makam Wali penyebar agama Islam
(termasuk pada tembok-tembok halaman makam Sunan Sendang duwur sendiri).
Sedangkan ornamen sayap yang diwujudkan benar-benar sebagai bentuk gapura
sejauh ini hanya dapat ditemukan di kompleks makam Sendang Duwur.

Gapura Bersayap di kompleks Sendang Duwur, sumber gambar:


dokumentasi pribadi

6
3. Ornamen figuratif
Ornamen figuratif pada Komplek Sendang duwur berupa penggambaran
binatang dan makhluk mitologi yang telah di distilasi menjadi Sulur Sulur tumbuhan
agar tidak menyalahi aturan ajaran Islam yang melarang penggambaran makhluk
bernyawa. Diantara wujud ornamen figuratif yang menandakan adanya akulturasi
lintas agama tersebut yaitu:

a. Kepala kala
dalam arsitektur Hindu Budha, ornament kepala kala umumnya terdapat pada
ambang pintu menuju bilik candi atau berada di ambang gapura paduraksa,
digambarkan dengan wajah menyeramkan sosok kala dipahatkan diatas pintu
dengan tujuan menangkal sesuatu yang bersifat jahat agar tidak masuk ke dalam
bangunan suci.
Pada kompleks Sendang Duwur sendiri
ornament kala dapat dijumpai pada
ambang gapura Paduraksa bersayap
dengan wujud kepala kala yang telah
disamarkan dengan bentuk sulur sulur
tumbuhan, sayangnya pada saat
rekonstruksi ada beberapa batu pada
ornament kala ini yang harus diganti
dengan batuan baru, sehingga wujud
kepala kala tidak bisa tampak dengan utuh. Ornament kepala kala pada ambang gapura bersayap
Sendang Duwur, sumber gambar: dokumentasi pribadi

b. Makara
Ornament makara umumnya menjadi pelengkap dari ornament kala, dengan
fungsi yang sama yaitu menghalau sesuatu yang jahat agar tidak memasuki
bangunan suci. Dalam ragam hias Candi, makara umumnya memiliki kesatuan
tata letak dengan kala yaitu makara menjuntai kebawah dari kanan kiri kepala
kala.
Yang unik pada kompleks Sendang Duwur ini terdapat ornament makara
digantikan dengan kepala kidang atau rusa yang digambarkan menjuntai dari
sebelah kanan kiri kepala kala selayaknya ornament makara. Penggambaran
7
kidang semacam ini juga dapat kita jumpai pada salah satu relief dalam kompleks
Candi Penataran. Hal tersebut dapat menjadi indikator kompleks Sendang Duwur
masih menggunakan langgam seni yang sama dengan masa Candi Penataran.

Ornament Kala Makara Candi Penataran, sumber Ornament Kala Makara Sendang Duwur, sumber
gambar: Leiden Univercity Libraries gambar: dokumentasi pribadi

c. Naga
Ornament Naga pada kompleks Sendang Duwur berada di sisi kanan kiri
tangga menuju gapura Paduraksa, hal ini sesuai dengan langgam arsitektur
candi Jawa Timuran dimana ornament naga dipahatkan pada bagian ujung
kanan kiri pipi tangga candi seperti yang dapat kita lihat pada candi Kidal di
Malang.

Ornament sepasang Naga di kompleks Sendang Duwur, sumber


gambar: dokumentasi pribadi

8
4. Surya Majapahit
Surya Majapahit digambarkan berbentuk lingkaran dengan surai-surai cahaya
di sekelilingnya yang membentuk 8 arah mata angin, didalamnya terdapat gambaran 9
Dewa sesuai arah mata angin masing-masing yang disebut Dewatanawasanga, bentuk
ini dikenal sebagai lambang dari kerajaan Majapahit dikarenakan banyaknya temuan
arca, relief, serta artefak lainnya yang berasal dari era Majapahit umumnya terdapat
hiasan ornament Surya tersebut. Namun nampaknya setelah era kerajaan Majapahit
yaitu kasultanan Demak, ornament surya ini masih digunakan sebagai simbol
kebesaran dengan menghilangkan gambaran para Dewa dan terkadang menggantinya
dengan kaligrafi Arab, ornament Surya Majapahit di era Demak banyak menghiasi
artefak-artefak dari masa itu misalnya masjid, gapura, batu nisan, dan sebagainya.
Termasuk pada kompleks Sendang Duwur banyak dijumpai ornament Surya
Majapahit yang dipahatkan pada beberapa batu nisan, pintu kayu masjid, dan mimbar
masjid.

Batu nisan dengan ornament Surya


Majapahit, sumber gambar:
dokumentasi pribadi

Batu nisan dengan ornament Surya


Majapahit, sumber gambar: anonym

Mimbar masjid Sendang Duwur dengan hiasan Surya


Majapahit di ambang atasnya, sumber gambar: The New
York Public Library

Bagian masjid Sendang Duwur dengan Surya Majapahit


9 yang sudah distilasi, sumber gambar: Dit. PCMB
(Kemendigbud)
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan banyaknya artefak yang sudah dijelaskan diatas menandakan berbagai


ciri kebudayaan yang ada bersatu dalam sebuah mahakarya berwujud arsitektur
sebagai wujud akulturasi ajaran Islam dengan Hindu Budha yang tampak pada
kompleks Sendang Duwur. Hal tersebut menjadi bukti sejarah yang nyata tentang
adanya persatuan antar umat beragama dan sikap toleransi yang tinggi pada masa
lampau serta perkembangan seni pada masa itu yang sudah sangat mumpuni dalam
teknik dan konseptualnya.

Akulturasi mengajarkan kita untuk memiliki keunikan atau ciri khas tersendiri
dalam berkarya, tidak hanya mengikuti trend dan selera pasar yang ada namun juga
mengembangkan potensi pribadi dengan memadukannya dengan khazanah
kontemporer saat ini sehingga menghasilkan mahakarya yang luarbiasa.

10

Anda mungkin juga menyukai