Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH FARMAKOLOGI I

“ADRENERGIK DAN KOLINERGIK”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
Alifviah Nur Hasanah (1900003)
Dewi Wulandari (1900008)
Hafiza Miftahurrahmah (1900016)
Natesyabela Tritania (1900029)
Rafika Nur Annisa (1900036)
Sherlyana Wulandari Tjen (1900042)
T. Dinah Ashma Faisal (1900044)

DOSEN :

apt. Mira Febrina, M.Sc.

PROGRAM STUDI DIPLOMA III FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARAMASI RIAU

YAYASAN UNIV RIAU

T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami hadiahkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya, sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. kami bersyukur kepada Ilahi Rabbi yang telah memberikan
Hidayah dan Taufik-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Adrenergik dan Kolinergik” terselesaikan dengan baik.

Dengan tersusunnya makalah ini, kami berharap dapat lebih memahami


secara mendalam mengenai “Adrenergik dan Kolinergik”. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah atau penyusunan makalah berikutnya menjadi lebih baik.

Riau , 22 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.......................................................................................................1


1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................2
1.3. Tujuan.....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Adrenergik............................................................................................3


2.2. Pengertian Reseptor Adrenergik............................................................................3
2.3. Mekanisme Kerja Obat Adrenergik.......................................................................3
2.4. Contoh Obat Andrenergik......................................................................................5
2.5. Pengertian Kolinergik...........................................................................................16
2.6. Pengertian Reseptor Kolinergik...........................................................................17
2.7. Mekanisme Reseptor Kolinergik..........................................................................17
2.8. Contoh Obat Kolinergik.......................................................................................19

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan...........................................................................................................24
3.2. Saran.....................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa


terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam
ilmu kedokteran senyawa tersebut disebut obat. Karena itu dikatakan
farmakologi merupakan seni menimbang (the art of weighing). Salah satu
bagian dalam ilmu farmakologi yaitu obat otonom yakni obat adrenergic
atau simpatomimetika yaitu zat zat yang dapat menimbulkan (sebagian) efek
yang sama dengan stimulasi susunan simpaticus (SS) dan melepaskan
noradrenalin (NA) di ujung ujung sarafnya. SS berfungsi meningkatkan
penggunaan zat oleh tubuh dan menyiapkannya untuk proses disimilasi.
Organisme disiapkan agar dengan cepat dapat menghasilkan banyak energy,
yaitu siap untuk suatu reaksi fight, fright, or flight (berkelahi, merasa takut,
atau melarikan diri). Oleh karena itu, adrenergika memiliki daya yang
bertujuan mencapai keadaan waspada tersebut.
Sistem saraf merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem
koordinasi yang bertugas menerima rangsangan, menghantarkan rangsangan
ke seluruh bagian tubuh, serta memberikan respons terhadap rangsangan
tersebut. Pengaturan penerima rangsangan dilakukan oleh alat indera,
pengolah rangsangan dilakukan oleh saraf pusat yang kemudian meneruskan
untuk menanggapi rangsangan yang datang dilakukan oleh sistem saraf dan
alat indera.
      Obat-obat otonom adalah obat yang dapat memengaruhi penerusan
impuls dalam SSO dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan,
pembebasan,atau penguraian neurotransmitter atau memengaruhi kerjanya
atas resptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot polos dan
organ, jantung dan kelenjar. Ada 2 macam golongan obat otonomik yakni,
Golongan simpatomimetik (merangsang) yang kerjanya mirip dengan saraf
simpatis, dan Golongan simpatolitik (menghambat) untuk simpatis dan
parasimpatolitik.

1
1.2. Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian andrenergik ?
b. Apa pengertian reseptor andrenergik ?
c. Bagaimana mekanisme kerja andrenergik ?
d. Apa saja contoh contoh obat andrenergik ?
e. Apakah pengertian kolinergik ?
f. Apa pengertian reseptor kolinergik ?
g. Bagaimana mekanisme kerja kolinergik ?
h. Apa saja contoh contoh obat kolinergik ?

1.3. Tujuan Penulisan


a. Mengetahui pengertian andrenergik
b. Mengetahui pengertian reseptor andrenergik
c. Memahami mekanisme kerja andrenergik
d. Mengetahui contoh contoh obat andrenergik
e. Mengetahui pengertian kolinergik
f. Mengetahui pengertian reseptor kolinergik
g. Memahamimekanisme kerja kolinergik
h. Mengetahui contoh contoh obat kolinergik

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Adrenergik


Dikatakan obat adrenergic karena efek yang ditimbulkannya mirip
perangsangan saraf adrenergic, atau mirip efek neurotransmitter norepinefrin
dan epinefrin yang disebut juga noradrenalin dan adrenalin. Golongan obat
ini disebut juga obat simpatik atau simpatomimetik yaitu zat – zat yang
dapat menimbulkan sebagian efek yang sama dengan stimulasi susunan
simpaticus (SS ) dan melepaskan noradrenalin ( NA ) di ujung – ujung
sarafnya.

2.2 Pengertian Reseptor Adrenergik


Reseptor adrenergik adalah reseptor yang mengikat dan merespons
noradrenalin (norepinefrin) dan adrenalin (epinefrin). Reseptor-reseptor ini
adalah reseptor yang berpasangan protein G terutama yang terlibat dengan
sistem saraf simpatis.
Selanjutnya, ada dua reseptor adrenergik yaitu reseptor α Alpha 1 dan
2) & reseptor β (beta 1, 2 dan 3). Reseptor beta 2 memiliki afinitas yang
lebih tinggi terhadap adrenalin sedangkan reseptor alfa menunjukkan afinitas
yang lebih tinggi terhadap noradrenalin. Di antara reseptor ini, α1 & β1
bertanggung jawab untuk eksitasi sedangkan α2 & β2 bertanggung jawab
untuk penghambatan.

2.3 Mekanisme Kerja Obat Adrenergik


Kerja obat adrenergic dapat dikelompokkan dalam 7 jenis yaitu :
1. Perangsangan organ perifer : otot polos pembuluh darah kulit dan
mukosa, serta kelenjar liur dan keringat.

3
2. Penghambatan organ perifer : otot polos usus, bronkus dan pembuluh
darah otot rangka
3. Perangsangan jantung      : dengan akibat peningkatan denyut
jantung  dan kekuatan kontraksi
4. Perangsangan SSP : misalnya perangsangan pernapasan, peningkatan
kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan
5. Efek metabolic : misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot,
lipolisis dan penglepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
6. Efek endokrin : misalnya modulasi sekresi insulin, rennin, dan hormone
hipofisis
7. Efek prasinaptik : dengan akibat hambatan atau peningkatan penglepasan
neurotransmitter NE atau Ach ( acetyl colin ).
Adrenergic dapat dibagi dalam dua kelompok menurut titik kerjanya di
sel – sel efektor dari organ – ujung, yakni reseptor-alfa dan reseptor-beta.
Perbedaan antara kedua jenis reseptor didasarkan atas kepekaannya bagi
adrenalin, noradrenalin ( NA ), dan isoprenalin. Reseptor-alfa lebih peka
bagi NA, sedangkan reseptor-beta lebih sensitive bagi isoprenalin.
Diferensiasi lebih lanjut dapat dilakukan menurut efek fisiologisnya
yaitu dalam   alfa-1 dan alfa-2 serta beta-1 dan beta-2. Pada umumnya
stimulasi dari masing-masing reseptor itu menghasilkan efek-efek sebagai
berikut :
 Alfa-1 : menimbulkan vasokonstriksi dari otot polos dan menstimulasi
sel-sel kelenjar dengan bertambahnya antara lain sekresi liur dan
keringat.
 Alfa-2 : menghambat pelepasan NA pada saraf-saraf adrenegis dengan
turunnya tekanan darah. Mungkin pelepasan ACh di saraf kolinergis
dalam usus pun terhambat sehingga antara lain menurunnya peristaltic.
 Beta-1 : memperkuat daya dan frekuensi kontraksi jantung ( efek inotrop
dan kronotop ).
 Beta-2 : bronchodilatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak.

Lokasi reseptor ini umumnya adalah sebagai berikut :

4
 alfa-1 dan beta-1 : postsinaptis artinya lewat sinaps di organ efektor
  alfa-2 dan beta-2 : presinaptis dan ekstrasi-naptis yaitu dimuka sinaps
atau diluarnya antara lain dikulit otak,rahim,dan pelat-pelat darah.
Reseptor-a1 juga terdapat presinaptis.

2.4 Contoh Obat Adrenergik


Contoh Obat Adrenergik antara lain :
1.  Epinefrin
Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergic. Zat ini
dihasilkan juga oleh anak-ginjal dan berperan pada metabolisme hidrat-
arang dan lemak. Adrenalin memiliki semua khasiat adrenergis alfa dan
beta, tetapi efek betanya relative lebih kuat ( stimulasi jantung dan
bronchodilatasi). Nama dagang epinephrin antara lain, yaitu pehacain,
inacain, phinev, lidocaine, xylestesin-A.
a. Mekanisme Kerja
 Farmakodinamika
Pada umumnya pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip
stimulasi saraf adrenergic. Ada beberapa perbedaan karena
neurotransmitter pada saraf adrenergic adalah NE. Efek yang
paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos
pembuluh darah dan otot polos lain.
1. Jantung
Epinefrin mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung,
sel pacu jantung dan jaringan konduksi. Ini merupakan
dasar efek inotropik dan kronotropik positif epinefrin
pada jantung.
Epinefrin mempercepat depolarisasi fase 4, yakni
depolarisasi lambat sewaktu diastole, dari nodus sino-
atrial ( SA ) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian
mempercepat firing rate pacu jantung dan merangsang
pembentukan focus ektopik dalam ventrikel. Dalam

5
nodus SA, epinefrin juga menyebabkan perpindahan pacu
jantung ke sel yang mempunyai firing rate lebih cepat.
2. Pembuluh darah
Efek vascular epinefrin terutama pada arteriol kecil
dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga
dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal
mengalami konstriksi karena dalam organ – organ
tersebut  reseptor α dominan.
Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi
oleh epinefrin dosis rendah, akibat aktivasi reseptor
β2 yang mempunyai afinitas lebih besar pada epinefrin
dibandingkan dengan reseptor α. Epinefrin dosis tinggi
bereaksi dengan kedua jenis reseptor tersebut. Dominasi
reseptor α di pembuluh darah menyebabkan peningkatan
resistensi perifer yang berakibat peningkatan tekanan
darah.
Pada waktu kadar epinefrin menurun, efek terhadap
reseptor α yang kurang sensitive lebih dulu menghilang.
Efek epinefrin terhadap reseptor β2 masih ada pada kadar
yang rendah ini. Dan menyebabkan hipotensi sekunder
pada pemberian epinefrin secara sistemik. Jika sebelum
epinefrin telah diberikan suatu penghambat reseptor α,
maka pemberian epinefrin hanya menimbulkan
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Gejala ini
disebut epinefrin reversal yaitu suatu kenaikan tekanan
darah yang tidak begitu jelas mungkin timbul sebelum
penurunan tekanan darah ini, kenaikan yang selintas ini
akibat stimulsai jantung oleh epinefrin.
3. Pernapasan
Epinefrin mempengaruhi pernapasan terutama
dengan cara merelaksasi otot bronkus melalui reseptor
β2. efek bronkodilatasi ini jelas sekali bila sudah ada

6
kontraksi otot polos bronkus karena asma bronchial,
histamine, ester kolin, pilokarpin, bradikinin, zat
penyebab anafilaksis yang bereaksi lambat dan lain – lain.
Disini epinefrin bekerja sebagai antagonis fisiologik.
Pada asma, epinefrin juga menghambat penglepasan
mediator inflamasi dari sel – sel mast melalui reseptor β 2,
serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa
melalui reseptor α1.
4. Proses Metabolik
Epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan
otot rangka melalui reseptor β2, glikogen diubah menjadi
glukosa-1-fosfat dan kemudian glukosa-6-fosfat. Hati
mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak,
sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka
melepas asam laktat. Epinefrin juga menyebabkan
penghambatan sekresi insulin akibat dominasi aktivasi
reseptor α2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor
β2  yang menstimulasi sekresi insulin. Sekresi glucagon
ditingkatkan melalui reseptor β pada sel α pancreas.
Selain itu epinefrin mengurangi ambilan glukosa oleh
jaringan perifer, sebagian akibat efeknya pada sekresi
insulin, tapi juga akibat efek langsung pada otot rangka.
Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat
dalam darah dan penurunan kadar glikogen dalam hati
dan otot rangka.
Epinefrin melalui aktivasi reseptor β meningkatkan
aktivasi lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga
mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak
bebas dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas
dalam darah meningkat. Efek kalorigenik epinefrin
terlihat sebagai peningkatan pemakaian oksigen sebanyak
20 sampai 30% pada pemberian dosis terapi. Efek ini

7
terutama disebabkan oleh peningkatan katabolisme
lemak, yang menyediakan lebih banyak substrat untuk
oksidasi.

Efek utamanya terhadap organ dan proses – proses tubuh


penting dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
o Jantung : daya kontraksi diperkuat ( inotrop positif ),
frekuensi ditingkatkan ( chronotrop positif ), sering kali
ritmenya di ubah.
o Pembuluh : vasokontriksi dengan naiknya tekanan darah.
o Pernapasan : bronchodilatasi kuat terutama bila ada konstriksi
seperti pada asma atau akibat obat.
o Metabolisme ditingkatkan dengan naiknya konsumsi
O2 dengan ca 25%, berdasarkan stimulasi pembakaran
glikogen ( glycogenolysis ) dan lipolysis. Sekresi insulin di
hambat, kadar glukosa dan asam lemak darah ditingkatkan.

 Farmakokinetik
a. Absorbsi, pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis
terapi karena sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan
MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati. Pada
penyuntikan SK, absorbsi lambat karena vasokontriksi local,
dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan. Absorbsi
yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada
pemberian local secara inhalasi, efeknya terbatas terutama pada
saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama bila
digunakan dosis besar.
b. Biotransformasi dan ekskresi, epinefrin stabil dalam darah.
Degradasi epinefrin terutama terjadi dalam hati terutama yang
banyak mengandung enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan
lain juga dapat merusak  zat ini. Sebagian besar epinefrin
mengalami biotransformasi, mula – mula oleh COMT dan

8
MAO, kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan atau konyugasi,
menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-hidroksimandelat, 3-
metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi
glukuronat dan sulfat. Metabolit – metabolit ini bersama
epinefrin yang tidak diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang
normal, jumlah epinefrin yang utuh dalam urin hanya sedikit.
Pada pasien feokromositoma, urin mengandung epinefrin dan
NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.   
b. Indikasi
Terutama sebagai analepticum, yakni obat stimulan jantung yang
aktif sekali pada keadaan darurat, seperti kolaps, shock anafilaktis,
atau jantung berhenti. Obat ini sangat efektif pada serangan asma
akut, tetapi harus sebagai injeksi karena per oral diuraikan oleh getah
lambung.
c. Kontraindikasi
Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat β-
bloker nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada
reseptor α1pembuluh darah dapat menyebabkan hipertensi yang berat
dan perdarahan otak.
d. Efek samping
Pemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah,
nyeri kepala berdenyut, tremor, dan palpitasi. Gejala – gejala ini
mereda dengan cepat setelah istrahat. Pasien hipertiroid dan
hipertensi lebih peka terhadap efek – efek tersebut maupun terhadap
efek pada system kardiovaskular. Pada pasien psikoneuretik
epinefrin memperberat gejala – gejalanya.

2.  Norephinefrin
Norepinefrin adalah derivate tanpa gugus-metil pada atom-N.
neurohormon ini khususnya berkhasiat langsung terhadap reseptor α
dengan efek fasokontriksi dan naiknya tensi. Efek betanya hanya ringan
kecuali kerja jantungnya (β1 ). Bentuk-dekstronya, seperti epinefrin,

9
tidak digunakan karena ca 50 kali kurang aktif. Karena efek
sampingnya bersifat lebih ringan dan lebih jarang terjadi, maka
norepinefrin lebih disukai penggunaannya pada shok dan sebagainya.
Atau sebagai obat tambahan pada injeksi anastetika local. Nama dagang
norepinefrine : levophed, raivas, N-epi, vascon.
a. Mekanisme Kerja
 Farmakodinamika
NE bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih
sedikit lebih lemah bila dibandingkan dengan epinefrin. NE
mempunyai efek β1 pada jantung yang sebanding dengan
epinefrin, tetapi hampir tidak memperlihatkan efek β2.
Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan
diastolic, tekanan sistolik, dan biasanya juga tekanan nadi.
Resistensi perifer meningkat sehingga aliran darah melalui ginjal,
hati dan juga otot rangka juga berkurang. Filtrasi glomerulus
menurun hanya bila aliran darah ginjal sangat berkurang. Reflex
vagal memperlambat denyut jantung, mengatasi efek
langsung  NE yang mempercepatnya. Perpanjangan waktu
pengisian jantung akibat perlambatan denyut jantung ini, disertai
venokonstriksi dan peningkatan kerja jantung akibat efek
langsung NE pada pembuluh darah dan jantung, mengakibatkan
peningkatan curah sekuncup. Tetapi curah jantung tidak berubah
atau bahkan berkurang. Aliran darah koroner meningkat,
mungkin karena dilatasi pembuluh darah koroner tidak lewat
persarafan otonom tetapi dilepasnya mediator lain, antara lain
adenosin, akibat peningkatan kerja jantung dan karena
peningkatan tekanan darah.
Berlainan dengan epinefrin, NE dalam dosis kecil tidak
menimbulkan vasodilatasi maupun penurunan tekanan darah,
karena NE boleh dikatakan tidak mempunyai efek terhadap
reseptor β2 pada pembuluh darah. Efek metabolic NE mirip
epinefrin tetapi hanya timbul pada dosis yang lebih besar.

10
b. Indikasi
Pengobatan pada pasien shock atau sebagai obat tambahan pada
injeksi pada anastetika local.
c. Kontraindikasi
Obat ini dikontraindikasikan pada anesthesia dengan obat – obat
yang menyebabkan sensitisasi jantung karena dapat timbul aritmia.
Juga dikontraindikasikan pada wanita hamil karena menimbulkan
kontraksi uterus hamil.
d. Efek Samping
Efek samping NE serupa dengan  efek samping epinefrin, tetapi
NE menimbulkan peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi. Efek
samping yang paling umum berupa rasa kuatir, sukar bernafas,
denyut jantung yang lambat tetapi kuat, dan nyeri kepala selintas.
Dosis berlebih atau dosis biasa pada pasien yang hiper-reaktif
( misalnya pasien hipertiroid ) menyebabkan hipertensi berat dengan
nyeri kepala yang hebat, fotofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat
banyak, dan muntah.

3. Isoproterenol
Obat ini juga dikenal sebagai isopropilnorepinefrin,
isopropilarterenol dan isoprenalin, merupakan amin simpatomimetik
yang kerjanya paling kuat pada semua reseptor β, dan hampir tidak
bekerja pada reseptor α.
a Mekanisme Kerja
 Farmakodinamika
Isoproterenol tersedia dalam bentuk campuran resemik. Infus
isoproterenol pada manusia menurunkan resistensi perifer,
terutama pada otot rangka, tetapi juga pada ginjal dan
mesenterium, sehingga tekanan diastolic menurun. Curah jantung
meningkat karena efek inotropik dan kronotropik positif
langsung dari obat.pada dosis isoproterenol yang biasa diberikan
pada manusia, peningkatan curah jantung umumnya cukup besar

11
untuk mempertahankan atau meningkatkan tekanan sistolik,
tetapi tekanan rata-rata menurun. Efek isoproterenol terhadap
jantung menimbulkan palpitasi, takikardia, sinus dan aritmia
yang lebih serius.
Isoproterenol melalui aktivasi reseptor β2, menimbulkan
relaksasi hampir semua jenis otot polos. Efek ini jelas terlihat
bila tonus otot tinggi, dan paling jelas pada otot polos bronkus
dan saluran cerna. Isoproterenol mencegah atau mengurangi
bronkokonstriksi. Pada asma, selain menimbulkan
bronkodilatasi, isoprotorenol juga menghambat penglepasan
histamine dan mediator-mediator inflamasi lainnya.akibat reaksi
antigen-antibodi, efek ini juga dimiliki oleh  β2 agonis yang
selektif. Efek hiperglikemik isoproterenol lebih lemah
dibandingkan dengan epinefrin, antara lain karena obat ini
menyebabkan sekresi insulin melalui aktivasi reseptor β2 pada
sel-sel beta pancreas tanpa diimbangi dengan efek terhadap
reseptor α yang menghambat sekresi insulin. Isoproterenol lebih
kuat dari epinefrin dalam menimbulkan efek penglepasan asam
lemak bebas dan efek kalorigenik.
b Indikasi
Digunakan pada kejang bronchi ( asma ) dan sebagai stimulant
sirkulasi darah.
c Kontraindikasi
Pasien dengan penyakit arteri koroner menyebabkan aritmia dan
serangan angina.
d Efek samping
Efek samping yang umum berupa palpitasi, takikardi, nyeri
kepala dan muka merah. Kadang – kadang terjadi aritmia dan
serangan angina, terutama pada pasien dengan penyakit arteri
koroner. Inhalasi isoproterenol dosis berlebih dapat menimbulkan
aritmia ventrikel yang fatal.

12
4. DOPAMIN
Dopamin adalah senyawa alami tubuh yang memiliki peran penting
pada proses pengiriman sinyal di dalam otak. Dopamin juga tersedia
sebagai obat. Pemberian senyawa ini merupakan salah satu
penanganan shock yang diakibatkan oleh kondisi tertentu, seperti gagal
jantung, gagal ginjal, pasca trauma, atau serangan jantung. Dopamin
bekerja dengan meningkatkan kekuatan pompa jantung dan aliran darah
ke ginjal. Nama dagang dopamin antara lain adalah Dopamin Guilini,
Indop.
a. Mekanisme Kerja
 Farmakodinamik
Precursor NE ini mempunyai kerja langsung pada reseptor
dopaminergik dan adrenergic, dan juga melepaskan NE endogen.
Pada kadar rendah, dopamin bekerja pada reseptor dopaminergik
D1 pembuluh darah, terutama di ginjal, mesenterium dan
pembuluh darah koroner. Stimulasi reseptor D1 menyebabkan
vasodilatasi melalui aktivasi adenilsiklase. Infus dopamin dosis
rendah akan meningkatkan aliran darah ginjal, laju filtrasi
glomerulus dan ekskresi Na+ . Pada dosis yang sedikit lebih
tinggi, dopamin meningkatkan kontraktilitas miokard melalui
aktivasi adrenoseptor β1. Dopamin juga melepaskan NE endogen
yang menambah efeknya pada jantung.
Pada dosis rendah sampai sedang, resistensi perifer total tidak
berubah. Hal ini karena dopamin mengurangi resistensi arterial di
ginjal dan mesenterium dengan hanya sedikit peningkatan di
tempat – tempat lain.dengan demikian dopamin meningkatkan
tekanan sistolik dan tekanan sistolik dan tekanan nadi tanda
mengubah tekanan diastolic atau sedikit meningkat. Akibatnya
dopamin terutama berguna untuk keadaan curah jantung rendah

13
disertai dengan gangguan fungsi ginjal, misalnya syok
kardiogenik dan gagal jantung yang berat.
Pada kadar yang tinggi dopamin menyebabkan vasokontriksi
akibat aktivasi reseptor α1 pembuluh darah. Karena itu bila
dopamin di gunakan untuk syok yang mengancam jiwa, tekanan
darah dan fungsi ginjal harus dimonitor. Reseptor dopamin juga
terdapat dalam otak, tetapi dopamin yang di berikan IV, tidak
menimbulkan efek sentral karena obat ini sukar melewati sawar
darah-otak.
Fenoldopam merupakan agonis reseptor D1 perifer dan
mengikat reseptor α2 dengan afinitas sedang, afinitas terhadap
reseptor D2, α1 dan β tidak berarti. Obat ini merupakan
vasodilator kerja cepat untuk mengontrol hipertensi berat
(misalnya hipertensi maligna dengan kerusakan organ) di rumah
sakit untuk jangka pendek, tidak lebih dari 48 jam. Fenoldopam
mendilatasi berbagai pembuluh darah, termasuk arteri koroner,
arteriol aferen dan eferen ginjal dan arteri mesenteric. Masa
paruh eliminasi fenoldopam intravena, setelah penghentian 2-jam
infuse ialah 10 menit. Efek samping akibat vasodilatasi berupa
sakit kepala, muka merah, pusing, takikardia atau bradikardia.
Dopeksamin merupakan analog dopamin dengan aktivitas
intrinsic pada reseptor D1, D2 dan β2, juga menghambat ambilan
katekolamin. Obat ini agaknya memperlihatkan efek
hemodinamik yang menguntungkan pada pasien gagal jantung
berat, sepsis dan syok. Pada pasien dengan curah jantung rendah,
infus dopeksamin meningkatkan curah sekuncup dan
menurunkan resistensi vascular sistemik.
b. Indikasi
Pengobatan pada pasien syok dan hipovolemia.
c. Kontraindikasi
Dopamin harus dihindarkan pada pasien yang sedang diobati
dengan penghambat MAO.

14
d. Efek Samping
Dosis belebih dapat menimbulkan efek adrenergic yang
berlebihan. Selama infuse dopamine dapat terjadi mual, muntah,
takikardia, aritmia, nyeri dada, nyeri kepala, hipertensi dan
peningkatan tekanan diastolic.

5. Dobutamin
Dobutamin adalah obat yang digunakan oleh penderita gagal
jantung untuk membantu jantung memompa darah ke seluruh tubuh.
Dobutamin diberikan ketika gagal jantung yang diderita pasien sudah
tidak bisa dikompensasi oleh tubuh, yang dapat menimbulkan turunnya
tekanan darah. Obat ini bekerja dengan menstimulasi atau merangsang
reseptor yang berperan dalam meningkatkan kontraksi jantung. Nama
dagang dobutamin antara lain adalah cardiject, dobutel, dobucef,
inotrop.
a. Mekanisme Kerja
 Farmakodinamika
Struktur senyawa dobutamin mirip dopamin, tetapi dengan
substitusi aromatic yang besar pada gugus amino. Dobutamin
merupakan campuran resemik dari kedua isomer / dan d. Isomer
/ adalah α1-agonis yang poten sedangkan isomer d  α1-bloker
yang poten. Sifat agonis isomer/dominan, sehingga terjadi
vasokontriksi yang lemah melalui aktivasi reseptor α1. Isomerd
10 kali  lebih poten sebagai agonis reseptor β daripada isomer /
dan lebih selektif untuk reseptor β1 daripada β2.  
Dobutamin menimbulkan efek inotropik  yang lebih kuat
daripada efek kronotropik dibandingkan isoproterenol. Hal ini
disebabkan karena resistensi perifer yang relative tidak berubah
(akibat vasokontriksi melalui reseptor α1 diimbangi oleh
vasodilatasi melalui reseptor β2 ), sehingga tidak menimbulkan

15
reflex takikardi, atau karena reseptor α1 di jantung menambah
efek inotropik obat ini. Pada dosis yang menimbulkan efek
inotropik yang sebanding, efek dobutamin dalam meningkatkan
automatisitas nodus SA kurang dibanding isoproterenol, tetapi
peningkatan konduksi AV dan intraventrikular oleh ke-2 obat ini
sebanding. Dengan demikian, infuse dobutamin akan
meningkatkan kontraktilitas jantung dan curah jantung, hanya
sedikit meningkatkan denyut jantung, sedangkan resistensi
perifer relative tidak berubah.
 Farmakokinetik
Norepinefrin, isoproterenol dopamine dan dobutamin sebagai
katekolamin tidak efektif pada pemberian oral. NE tidak
diabsorpsi dengan baik pada pemberian SK. Isoproterenol
diabsorpsi dengan baik pada pemberian parenteral atau sebagai
aerosol atau sublingual sehingga tidak dianjurkan. Obat ini
merupakan substrat yang baik untuk COMT tetapi bukan substrat
yang baik unuk MAO, sehingga kerjanya sedikit lebih panjang
daripada epinefrin. Isoproterenol diambil oleh ujung saraf
adrenergic tetapi tidak sebaik epinefrin dan NE.
Nonkatekolamin yang digunakan dalam klinik pada
umumnya efektif pada pemberian oral dan kerjanya lama, karena
obat-obat ini resisten terhadap COMT dan MAO yang banyak
terdapat pada dinding usus dan hati sehingga efektif per oral.
b. Indikasi
Pengobatan pada jantung
c. Kontraindikasi
Pasien dengan fibrilasi atrium sebaiknya dihindarkan karena obat
ini mempercepat konduksi AV.

2.5 Pengertian Kolinergik (Parasimpatomimetik)


Parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan
efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena

16
melepaskan neuron asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas
utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat
penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang
timbulah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek
kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan
memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (Hcl),
juga sekresi mata, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi
kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah, memperlamba
pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak
diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan
menurunnya tekanan intraokuler akibatnya lancarnya pengeluaran air mata,
kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran
urin, dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka, menekan SSP setelah
pada permulaan menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan Hoan Tjay &
Rahardja, 2002).
Menurut sifat kerjanya, reseptor kolinergik (kolinoseptor) dapat
dibedakan menjadi reseptor muskarinik dan reseptor nikotinik berdasarkan
afinitas terhadap zat yang bersifat sebagai kolinomimetik.

2.6 Pengertian Reseptor Kolinergik


Reseptor kolinergik adalah jenis reseptor kedua yang digunakan dalam
sistem saraf otonom. Neuron kolinergik melepaskan asetilkolin. Reseptor ini
bersifat inotropik dan metabotropik. Dan, mereka mengikat dan merespons
asetilkolin dan memfasilitasi komunikasi.
Selain itu, reseptor kolinergik melibatkan sistem saraf parasimpatis.
Ada dua jenis reseptor kolinergik yaitu reseptor muskarinik dan nikotinik.
Reseptor muskarinik terletak pada semua organ visceral.

2.7 Mekanisme Reseptor Kolinergik


Menurut sifat kerjanya, reseptor kolinergik (kolinoseptor) dapat
dibedakan menjadi reseptor muskarinik dan reseptor nikotinik berdasarkan
afinitas terhadap zat yang bersifat sebagai kolinomimetik.

17
a. Reseptor muskarinik
Selain berikatan dengan ACh, reseptor muskarinik juga berikatan
dengan muskarin, yaitu suatu alkaloid yang terdapat pada jamur
beracun. Reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas yang lemah
terhadap nikotin. Hasil studi-studi ikatan (binding study) dan dengan
memberikan penghambat tertentu, telah dapat ditemukan beberapa
subtype reseptor muskarinik yaitu M1, M2, M3, M4, dan M5. Reseptor
muskarinik dapat ditemukan dalam ganglia Sistem saraf efektor dan
organ efektor otonom seperti, jantung, otot polos, otak, dan kelenjar
eksokrin. Kelima reseptor M tersebut terdapat dalam neuron, dan juga
ditemukan reseptor M1 dalam didalam sel parietal lambung, reseptor M2
didalam otot jantung dan otot polos, serta reseptor M3 di dalam kelenjar
eksokrin dan otot polos. Reseptor muskarinik didalam jaringan-jaringan
diatas lebih peka terhadap obat muskarinik, namun dalam dosis tinggi
muskarinik dapat pula memacu reseptor nikotinik.
o Mekanisme transduksi sinyal asetilkolin
Setelah asetilkolin berikatan dengan reseptor muskarinik, akan
timbul sinyal dengan mekanisme yang berbeda. Misalnya, bila
reseptor M1 atau M2 diaktifkan, reseptor ini akan mengalami
perubahan konformasi dan berinteraksi dengan protein G yang
selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C. akibatnya akan terjadi
hidrolisis fosfatidilinositol-94,40bifosfate (PIP2) yang akan
menyebabkan peningkatan kadar Ca++ intrasel. Selanjutnya kation
ini akan berinteraksi atau memacu ion menghambat enzim-enzim,
atau menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi, atau kontraksi.
Sebaliknya, aktivasi reseptor subtype M2 pada otot-otot jantung
memacu protein G yang menghambat adenilsikase dan
mempertinggi konduksi K+ sehingga denyut dan kontraksi otot
jantung menurun.
b. Reseptor Nikotinik

18
Selain mengikat ACh, reseptor ini dapat mengenal nikotin , dan
afinitasnya lemah terhadap muskarin. Pada tahap awal, nikotin memang
memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu nikotin akan menyekat
reseptor nikotinik sendiri. Reseptor nikotinik terdapat dalam SSP,
medulla adrenal, ganglion otonom, dan pada sambungan saraf otot
(myoneural junction). Obat-obat nikotinik akan memacu reseptor
nikotinik di ganglion otonom dan yang terdapat pada sambungan saraf
otot. Misalnya reseptor nikotinik di ganglion dihambat secara selektif
oleh heksametonium, sedangkan reseptor nikotinik pada sambungan
saraf otot dihambat secara spesifik oleh tubokurarin.

2.8 Contoh Obat Kolinergik


Obat-obat kolinergik (agonis kolinergik) ialah obat yang bekerja secara
langsung atau tidak langsung meningkatkan fungsi neurotransmitter
asetilkolin. Kolinergik juga disebut parasimpatomimetik karena
menghasilkan efek yang mirip dengan perangsangan Sistem saraf
parasimpatis.
Obat-obat kolinergik memiliki 3 indikasi utama, yaitu:
1. Menurunkan tekanan intraocular pada pasien glaucoma atau operasi
mata
2. Mengobati atoni saluran cerna atau vesika urinaria
3. Untuk mendiagnosis dan pengobatan miastenia gravis.
Beberapa obat kolinergik merupakan antidotum penting untuk obat-obat
blokade neuromuscular, antidepresan trisiklik, dan alkaloid beladona. Obat-
obat kolinergik memperlihatkan efeknya dengan menunjukkan salah satu
dari 2 cara yaitu bekerja mirip dengan asetilkolin atau menghambat destruksi
asetilkolin oleh enzim asetilkolinesterase di tempat-tempat reseptornya.
a. Klasifikasi
Obat-obat kolinergik merangsang reseptor kolinergik. Karena itu,
kerjanya mirip dengan asetilkolin endogen. Obat-obat golongan ini dapat
dikelompokkan berdasarkan:
1. Spektrum efeknya, yaitu muskarinik atau nikotinik.

19
2. Mekanisme kerjanya, yaitu yang bekerja langsung pada reseptor
asetilkolin atau secara tidak langsung melalui penghambatan
asetilkolinesterase. Beberapa obat, seperti neostigmin termasuk
dalam lebih dari satu subkelas.
3. Penggolongan obat-obat kolinergik beserta prototype, analog utama dan
obat lain.

Cara Golongan Prototip Analog Obat penting


kerja utama lain

Kerja Agonis Asetilkolin Muskarin, Karbamolkolin


langsung muskarinik Betanikol, Metakolin
Pilokarpin Arekolin
Karbamikolin
Agonis Asetilkolin Nikotin
nikotinik Suksinilkolin Neostigmin

Kerja tidak Penghambat Neostigmin Edrofonium Pridostigmin


langsung aktif Fisostigmin
kolinesterase Karbaril
(reversible)
Ekotiofat Parathion Isofluorofat
Penghambat (disopropil
kolinesterase fluorofosfat
(irreversible) DFP)
Malation Diklorvos

Kolinergik Metoklopramid
lain Sisaprid

1. Esterkolin (Kolinergik Kerja Langsung)


Golongan kolinergik kerja langsung ini meliputi ester kolin
(asetilkolin, metakolin, karbamoilkolin, dan betanekol) dan alkaloid
alamiah (muskarin, pilokarpin, nikotin, lobelin). Beberapa obat

20
sintetik (oksetremorin, dimetilfenilpiperazinium, DMPP) masih terus
diteliti. Diantara anggota-anggota subkelas ini, terdapat perbedaan
dalam spectrum efek (potensi stimulasi muskarinik dan nikotinik)
dan farmakokinetiknya. Kedua macam perbedaan ini memengaruhi
penggunaan kliniknya).
Agonis kolinergik bekerja mirip dengan kerja astilkolin pada
reseptor kolinergik. Obat-obat ini berkaitan dengan reseptor
padamembran sel-sel organ target mengubah permeabilitas
membrane sel dan mempermudah pengaliran kalsium dan natrium ke
dalam sel yang menyebabkan stimulasi otot
Biasanya efek samping dihasilkan oleh efek-efek nonspesifiknya
pada system saraf parasimpatik. Agonis kolinergik yang berkaitan
khusus dengan reseptor di system saraf parasimpatikmenimbulkan
efek parasimpatomimetik yang tidak diinginkan diluar organ target.
Sebagai contoh, penggunaan betanekol mengurangi retensi urin, juga
dapat meningkatkan motilitas saluran cerna, yang dapat
menimbulkan mual, kembung, muntah, kram usus, dan diare.
Contoh-contoh sediaan ini, yaitu:
1) Asetilkolin
Merupakan senyawa ammonium kuartener dengan aktifitas
muskarinik dan nikotinik serta tidak dapat menembus membrane
sel. Tidak dapat digunakan untuk pengobatan karena kerjanya
yang berlangsung sangat cepat dan segera diinaktifkan oleh
enzim asetilkolinesterase
2) Metakolin
Masa kerja lebih lama resisten terhadap hidrolisis oleh
kolinesterase non spesifik, relative resisten terhadap hidrolisi
oleh ACh.
Indikasi:
a) Pengobatan gawat darurat glaukoma sudut sempit untuk
menurunkan intraocular
b) Uji diagnostik untuk pasien yang diduga mengidap asma.

21
3) Karbakol
Merupakan ester asam karbamat yang juga merupakan substrat
yang tidak cocok untuk asetilkolinesterase. Karena potensinya
yang cukup tinggi dan kerjanya berlangsung lama, obat ini jarang
digunakan untuk terapi, kecuali untuk mata sebagai miotikum
dan untuk menurunkan tekanan dalam bola mata.
4) Betanekol
Mempunyai struktur kimia yang berkaitan dengan ACh. Bekerja
secara langsung memacu reseptor muskarinik sehingga
meningkatkan tonus dan motilitas usus, meningkatkan tonus otot
detrusor kandung kemih, serta merelaksasi trigonum dan sfingter
sehingga berefek pengeluaran urine. Indikasi: pengobatan atonia
kandung kemih pasca persalinan atau pascabedah
5) Pilokarpin
Merupakan suatu amin tersier yang stabil terhadap hidrolisis oleh
asetilkolinesterase, termasuk obat yang lemah disbanding dengan
asetilkolin dan turunannya. Aktivitas utamanya adalah
muskarinik dan digunakan untuk oftalmologi, serta di
indikasikan dalam terapi glaukoma.
2. Obat Antikolinesterase (Kolinergik Kerja Tidak Langsung)
Antikolinesterase menghambat enzim asetilkolinesterasi (yang
menguraikan ACh menjadi asetat dan kolin) sehingga ACh
menumpuk ditempat reseptor ACh. Akibatnya, stimulasi reseptor
kolinergik di seluruh tubuh berlangsung lebih lama. Dalam golongan
ini kita kenal dua kelompok obat yaitu :
1) Golongan karbamat (ester asam karbamat), dapat disebut juga
golongan antikolinesterase reversible, kecuali edrofonium yang
bukan merupakan suatu ester. Obat yang termasuk dalam
golongan ini adalah ambenonium, edrofonium klorida,
neostigmin, fisostigmin salisilat, dan pridostigmin.
2) Golongan fosfat (ester asam fosfat) atau golongan ireversibel.
Mempunyai masa kerja yang sangat lama, dan membentuk

22
kompleks yang sangat stabil dengan enzim serta dihidrolisis
dalam waktu berhari-hari atau berminggu-minggu
Obat-obat antikolinesterase bekerja dengan cara meningkatkan
kadar dan efek ach pada tempat reseptor dalam SSP atau ganglia
otonomik, pada sel-sel efektor di viscera, dan pada motor end plate.
Bergantung pada tempat kerja, dosis obat, dan masa kerjanya, obat-
obat ini dapat memberikan efek stimulasi atau efek depresi pada
reseptor kolinergik
Efek samping yang umum terjadi berupa efek
parasimpatomimetik. Pada mata berupa penglihatan kabur, penurunan
akomodasi, miosis; pada kulit akan keluar banyak keringat; pada
saluran cerna akan terjadi peningkatan salvias, kembung, mual,
muntah, kram usus dan diare. Efek brokontriksi antara lain nafas
terasa pendek, mengi, atau terasa tegang di dada. Vasodilatasi
ditandai dengan penurunan denyut jantung dan pengurangan
kontraksi otot jantung. Serta efek pada SSP: Irritabilitas, ansietas atau
rasa takut (pada beberapa kasus), dan terjadi kejang
a. Fisostigmin
Fisostigmin berupa amin tersier suatu alkaloid (senyawa
nitrogen yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan). Obat ini adalah
substrat untuk asetilkolinesterase, dan membentuk senyawa
perantara enzim-substrat yang relative stabil yang berfungsi
menginaktifkan secara reversible ACh.
b. Edrofonium
Edrofonium adalah suatu amin kuartener yang mempunyai
kerja mirip dengan neostigmin; dan bila dibandingkan dengan
neostigmin, obat ini lebih cepat diserap dan masa kerjanya lebih
singkat (sekitar 10-20 menit). Penggunaan klinisnya untuk
miastenia gravis (kelemahan otot). Kelebihan dosis dapat
menimbulkan krisis kolinergik. Bila terjadi keracunan berikan
atropine sebagai antidotum.

23
BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Adrenergik dan kolinergik adalah dua reseptor dalam sistem saraf otonom.
Reseptor adrenergik bekerja untuk sistem saraf simpatis, sedangkan reseptor
kolinergik bekerja untuk sistem saraf parasimpatis. Selain itu, reseptor
adrenergik dan kolinergik merespon masing-masing adrenalin / noradrenalin
dan asetilkolin. Ini adalah perbedaan antara reseptor adrenergik dan
kolinergik.
4.2 Saran
Dari pembelajaran ini semoga bermanfaat bagi pembaca, dan diharapkan
kita bisa mengerti tentang “Adrenergik dan Kolinergik” dalam Farmakologi I
ini.

Makalah yang telah selesai disusun ini jauh dari kesempurnaan. Masih
banyak sekali kekurangan dan kesalahan terutama nilai keakuratan jika di
pandang dari sisi ilmu kesehatan yang sebenarnya. Maka dari itu, sangat
diperlukan sekali kritik dan saran yang membangun dari saudara demi
keberlanjutan pembuatan makalah untuk melengkapi dan menyempurnakan
makalah ini di masa mendatang.

24
DAFTAR PUSTAKA

Kee J.L, Hayes E.R.1996.Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.


Jakarta:EGC.

Martini FH. Fundamental of Anatomy & Pysiology.7th edition. The Autonomic


Nervous System and Higher-Order Functions.2006, vol :517-548.

Mycek, J., Mery, dkk.2000.Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi


II.Jakarta:Widya Medika.

Ganiswarna, 1998.Farmakologi dan Terapi. Jakarta:Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas


Sriwijaya.2008.Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi II. Jakarta:EGC.

Stoelting RK. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. Autonomic


Nervous System. 2005.vol : 643-653.

25

Anda mungkin juga menyukai