Anda di halaman 1dari 30

GAMBARAN PENGETAHUAN IBU DAN POLA PEMBERIAN MP-ASI

PADA BADUTA GIZI BURUK

OLEH

KARIYONO HIDI

NIM.17134110024

TUGAS AKHIR

POLITEKNIK KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN TERNATE

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA GIZI

2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Batasan Masalah

D. Tujuan Penelitian

E. Manfaat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjaun Umum Tentang Pengetahuan

B. Tinjauan Umum Tentang MP-ASI

C. Tinjauan Umum Tentang Gizi Buruk

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

B. Strategi Pencarian Literatur

C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


D. Teknik Pengumpulan Data

E. Instrumen Penelitian

F. Pengolahan Data

G. Analisis Data

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah gizi pada balita merupakan masalah kesehatan masyarakat

sejak dahulu. Di Negara Asia 70% kasus gizi buruk di dominasi oleh balita,

26% kasus gizi buruk terjadi di Afrika dan 4% di Amerika Latin. Indonesia

sebagai salah satu negara berkembang masih menghadapi masalah gizi

yang cukup besar. Gizi buruk pada balita terjadi karena pada usia tersebut

kebutuhan gizi lebih besar dan balita merupakan tahapan usia yang rawan

gizi. terjadinya gizi buruk disebabkan rendahnya angka konsumsi energi

dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka

Kecukupan Gizi (AKG) (Supariasa, dkk, 2016).

Berdasarkan Riskesdas 2018 terdapat 17,7% kasus balita

kekurangan gizi dan jumlah tersebut diantaranya 13,1% balita dengan gizi

kurang dan 3,9% balita dengan gizi buruk (Riskesdas, 2018). Sesuai data

dari Dinkes Malut tahun 2018 yang menunjukkan tiga dari 10

kabupaten/kota di Maluku Utara kasus gizi buruknya cukup tinggi yakni

Halmahera Barat dengan 200 kasus lebih, Halmahera Selatan dengan 190

kasus lebih, dan Halmahera Timur dengan 160 kasus lebih.


Masalah gizi umumnya disebabkan oleh dua faktor, faktor yang

pertama yaitu faktor langsung yang berhubungan dengan asupan gizi

atau konsumsi makanan terhadap zat gizi tertentu dan penyakit infeksi.

Faktor yang kedua adalah faktor tidak langsung berupa pengetahuan ibu

tentang makanan bergizi, pendidikan orang tua, pendapatan dalam

keluarga (Depkes RI, 2006).

Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI) adalah memberikan

makanan lain sebagai pendamping ASI yang diberikan kepada anak usia

6-24 bulan. MP ASI yang tepat merupakan makanan yang memenuhi

kebutuhan gizi sehingga anak dapat tumbuh kembang dengan optimal

(Kemenkes, 2011).

Menurut Hermina dan Nurti (2010), masalah gizi pada bayi dan anak

disebabkan kebiasaan pemberian ASI dan MP ASI yang tidak tepat dari

segi kualitas maupun kuantitas, selain itu para ibu kurang menyadari

bahwa sejak bayi berusia 6 bulan sudah memerlukan MP ASI dalam

jumlah dan mutu yang baik.

Pada Usia 6 bulan, bayi mulai bisa diberi makanan pendamping ASI,

karena pada masa itu bayi sudah mempunyai reflek mengunyah dengan

pencernaan yang lebih kuat, dalam pemberian makanan bayi perlu


diperhatikan ketepatan waktu pemberian, frekuensi, jenis, jumlah bahan

makanan, dan cara pembuatannya (Maseko & Owaga, 2012).

Usia baduta (bawah dua tahun) merupakan periode paling kritis

manusia, karena secara fisik terjadi perkembangan tubuh dan

keterampilan motoric yang sangat nyata. Masa ini sangat penting, karena

pada masa ini terjadi pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan

menentukan perkembangan anak selanjutnya. Salah satu aspek penting

dalam masa tumbuh kembang adalah aspek gizi. manfaat gizi dalam

tubuh adalah membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak,

serta mencegah penyakit akibat kekurangan gizi dalam tubuh.

Pertumbuhan baduta maupun balita dipengaruhi oleh kualitas makanan

yang dikonsumsi sehari-hari, sementara kualitas makanannya tergantung

pada pola asuh makan anak yang diterapkan dalam keluarga. Anggota

keluarga khususnya orang tua memiliki peran penting dalam pengasuhan

anak (Supariasa, 2014).

Berdasarkan uraian dan permasalahan diatas, maka peneliti

menganggap perlu melakukan penelitian tentang permasalahan tersebut

dengan judul “Gambaran Pengetahuan Ibu dan Pola Pemberian MP-ASI

Pada Baduta Gizi Buruk”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat

dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Bagaimana gambaran

pengetahuan ibu dan pola pemberian MP-ASI pada baduta gizi buruk?

C. Batasan Masalah

Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna dan

mendalam maka peneliiti membatasi permasalahan penelitian berdasarkan

variabel pada judul penelitian yaitu “Pengetahuan Ibu, Pola Pemberian

MP-ASI, dan Gizi Buruk”.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

bagaimana gambaran pengetahuan ibu dan pola pemberian MP-ASI

pada baduta gizi buruk.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu baduta gizi buruk.

b. Mendeskripsikan pola pemberian MP-ASI pada baduta gizi buruk.

c. Mengetahui angka kejadian gizi buruk pada baduta.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti

Dapat meningkatkan kemampuan peneliti dalam mengidentifikasi

masalah, menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang

Pengetahuan Ibu dan Pola Pemberian MP-ASI Pada Baduta Gizi Buruk,

serta dapat memberi kontribusi bagi pengembang teori utama untuk

penelitian dimasa yang akan datang.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat dijadikan sebagai sumber bacaan serta dapat digunakan

untuk menambah referensi bahan penelitian selanjutnya di

Perpustakaan Terpadu Poltekkes Kemenkes Ternate.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu

seseorang terhadap suatu objek dari indra yang dimilikinya

(Notoadmodjo, 2012).

Pengethauan sangat erat hubungannya dengan pendidikan,

dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang

tersebut akan semakin luas pada pengetahuannya. Akan tetapi perlu

ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah

mutlak pengetahuannya rendah pula. Pengetahuan seseorang tentang

suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek

negatif. Kedua aspek ini akan menentukan sikap seseorang. Menurut

teori WHO (World Health Organization), salah satu bentuk objek

kesehatan dapat dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dari

pengalaman sendiri (Wawan, 2010).

2. Tingkat Pengetahuan

Menurut Kholid dan Notoadmodjo (2012), terdapat 6 tingkat

pengetahuan yaitu:

a. Tahu (Know) yaitu rasa mengerti melihat atau mengamati sesuatu.


b. Memahami (Comprehension) yaitu suatu kemampuan untuk

menjelaskan tentang suatu objek yang diketahui dan

diinterpretasikan secara benar sesuai fakta.

c. Aplikasi (Aplication) yaitu suatu kemampuan untuk mempraktekkan

materi yang sudah dipelajari pada kondisi nyata atau sebenarnya.

d. Analisis (Analysis) yaitu kemampuan menjabarkan atau

menjelaskan suatu objek atau materi tetapi masi ada kaitannya

satu dengan yang lainnya.

e. Sintesis (Synthesis) yaitu suatu kemampuan menghubungkan

bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (Evaluation) yaitu pengetahuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu materi atau objek.

3. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Budiman dan Riyanto (2013), faktor yang

mempengaruhi pengetahuan yaitu:

a. Pendidikan. Proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau

kelompok dan merpakan usaha mendewasakan manusia melalui

upaya pengajaran dan pelatihan. Semakin tinggi pendidikan

seseorng maka semakin cepat menerima dan memahami suatu


informasi sehingga pengetahuan yang dimiliki juga semakin tingggi

(Sriningsih, 2011).

b. Informasi atau Media Suatu teknik untuk mengumpulkan,

menyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumumkan,

menganalisis dan menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu.

Informasi mempengaruhi pengetahuan seseorang jika sering

mendapatkan informasi tentang suatu pembelajaran makan akan

menambah pengetahuan dan wawasannya, sedangkan seseorang

yang tidak sering menerima informasi tidak akan menambah

pengetahuan dan wawasannya.

c. Sosial, Budaya dan Ekonomi. Tradisi atau budaya seseorang yang

dilakukan tanpa penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk

akan menambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan.

Status ekonomi juga akan menentukan tersedianya fasilitas yang

dibutuhkan untuknkegiatan tertentu. Status ekonomi seseorang

mempengaruhi tingkat pengetahuan karena seseorang yang

memiliki status ekonomi dibawah rata-rata maka akan sulit

meningkatkan pengetahuan.

d. Lingkungan, mempengaruhi proses masuknya pengetahuan

kedalam individu karena adanya interaksi timbal balik ataupun


tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh individu.

Lingkungan yang baik maka pengetahuan yang didapatkan akan

baik begitupun sebaliknya. Jika seseorang berada di sekitar orang

yang berpendidikan maka pengetahuan yang dimiliki orang

tersebut akan berbeda dengan orang yang berada di sekitar orang

yang tidak berpendidikan.

e. Pengalaman. Bagaimana cara menyelesaikan permasalahan dari

pengalaman sebelumnya yang telah dialami sehingga pengalaman

yang didapat bisa dijadikan sebagai pengetahuan apabila

mendapatkan masalah yang sama.

f. Usia, semakin bertambahnya usia maka akan semakin berkembang

pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang

diperoleh juga akan semakin membaik dan bertambah (Budiman

dan Riyanto, 2013).

4. Kriteria Tingkat Pengetahuan

Menurut Nursalam (2016) pengetahuan seseorang dapat

diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu :

a. Pengetahuan Baik : 76% - 100%

b. Pengetahuan Cukup : 56% - 75%

c. Pengethauan Kurang : <56%


B. Tinjauan Umum Tentang MP-ASI

1. Pengetian

MP-ASI adalah singkatan dari Makanan Pendamping Air Susu Ibu.

MP-ASI adalah makanan yang diberikan untuk bayi atau balita yang

masih menyusu pada ibunya (Almatsier, 2009). Sebagaimana

diketahui, ASI merupakan makanan utama bagi bayi. Kandungan yang

kaya akn berbagai macam kebutuhan yang diperlukan oleh bayi

semuanya berada dalam ASI, sehingga jenis makanan apapun akan

sulit memnandingi kehebatan ASI. Jangka waktu pemberian ASI

eksklusif yang baik bagi anak adalah hingga mencapai usia 6 bulan.

Artinya, sampai usia 6 bulan bayi tidak memerlukan makanan lai

karena segala kebutuhan yang diperlukan oleh bayi terdapat dalm ASI

(Sudaryanto, 2014).

Setelah umur 6 bulan, bayi membutuhkan makanan lunak yang

bergizi yang sering disebut MP-ASI. MP-ASI merupakan makanan

peralihan dari ASI ke makanan keluarga (Anton, 2008). Pengenalan

dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk

maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi dan

anak.
2. Syarat Pemberian MP-ASI

Menurut Sudaryanto (2014), makanan bayi dan balita jelas

berbeda dengan makanan orang dewasa. Makanan Pendamping ASI

yang baik harus memenuhi syarat utama, yakni sehat, mudah dicerna,

dan mengandung sejumlah nutrisi terutama energi dan protein.

Apalagi untuk MP-ASI yang sudah diberikan rutin setiap hari. Berikut

ini beberapa syarat pemberian MP-ASI yang baik.

a. Sehat

Makanan harus bebas dari kuman penyakit, pengawet,

pewarna, dan racun. Pertumbuhan dan perkembangan bayi sangat

rentan terhadap pengaruh kuman penyakit dan bahan tambahan

makanan (zat aditif). Zat tambahan yang umunya berupa bahan

kimia harus dijauhkan dari makanan bayi.

b. Mudah diperoleh

Makanan tambahan untuk bayi hanya terdiri dari satu bahan

atau beberapa bahan saja. Ini karena sistem pencernaan bayi yang

belum siap untuk menerima bermacam-macam makanan.


c. Masih segar

Sebaiknya MP-ASI disiapkan saat sebelum diberikan kepada

bayi dan dibuat dari bahan-bahan segar yang bebas polusi. Oleh

karena itu, bahan MP-ASI harus memenuhi standar higienis baik

dalam bentuk bahan mentah maupun cara pengolahannya.

d. Mudah diolah

Pengolahan bahan MP-ASI sebaiknya tidak terlalu lama, tetapi

teksturnya cukup lembut untuk pencernaan bayi yang baru

mengenal MP-ASI. Bahan yang mudah diolah tentu akan

memudahkan orang tua menyiapkan MP-ASI untuk anaknya.

e. Harga terjangkau

MP-ASI tidak harus mahal. Jika harganya terjangkau, tentu

lebih baik. Secara umum, harga bahan pangan nabati lebih murah

daripada bahan pangan hewani. Selain itu, porsi makan bayi masih

sedikit sehingga tidak perlu membeli MP-ASI terlalu banyak.

f. Cukup kandungan gizinya

Makanan tambahan yang diberikan ke bayi harus memenuhi

kecukupan gizi bayi. Kombinasi yang tepat antara bahan nabati dan

hewani diharapkan memenuhi kebutuhan nutrisi bayi untuk tumbuh

kembang dengan baik.


g. Jenis makanan sesuai umur bayi

Ada beberapa makanan yang tidak pantas diberikan untuk

bayi usia 6 bulan karena baru tepat diberikan ke bayi berumur 9

bulan. Ini harus diperhatikan karena kemampuan pencernaan bayi

yang lebih muda usianya berbeda dengan bayi yang sudah besar.

Kemampuan cerna bayi berkembang sesuai dengan umurnya.

Untuk pengenalan MP-ASI awal, sari buah tunggal, bubur buah

tunggal, atau bubur nasi lembut lebih mudah dicerna daripada

buah utuh, bubur aneka buah, atau roti.

h. Pengolahan MP-ASI harus higienis

Alat yang digunakan juga diperhatikan kebersihannya, agar

bisa memberikan MP-ASI yang sehat dan aman bagi anak.

3. Tanda-tanda Bayi SIap Menerima MP-ASI

Menurut Prabantini (2010) secara umum, bayi menunjukkan

kesiapan menerima makanan pendamping jika menunjukkan tanda-

tanda berikut:

a. Bayi mulai memasukkan tangan ke mulut dan mengunyahnya.

b. Berat badan sudah mencapai dua kali lipat berat lahir.

c. Bayi merespon dan membuka mulutnya saat disuapi makanan.

d. Hilangnya refleks menjulurkan lidah.


e. Bayi lebih tertarik pada makanan dibandingkan botol susu atau

ketika disodori puting susu.

f. Bayi rewel atau gelisah, padahal sudah diberi ASI atau susu

formula sebanyak 4-5 kali sehari.

g. Bayi sudah dapat duduk sembari disangga dan dapat mengontrol

kepalanya pada posisi tegak dengan baik.

h. Keingintahuannya terhadap makanan yang dimakan orang lain

semakin besar. Bayi memperhatikan dengan seksama saat orang

lain makan (biasanya mulut mereka ikut mengecap).

4. Tahapan Pemberian MP-ASI

a. Pada umur 6 – 9 bulan

Tekstur makanan untuk bayi sebaiknya makanan cair dan

lembut seperti bubur buah, bubur susu, atau bubur sayuran yang

dihaluskan.

b. Memasuki usia 10 – 12 bulan

Bayi mulai bisa diberikan makanan kental dan padat, tetapi

tetap harus bertekstur lunak, seperti aneka nasi tim.


c. Usia 12 – 24 bulan

Bayi sudah mulai dikenalkan pada makanan keluarga atau

makanan padat, tetapi tetap mempertahankan rasa. Pada masa ini,

kenalkan finger snack atau makanan yang bisa dipegang seperti

cookies, nugget, atau potongan sayuran rebus atau buah. Ini

penting untuk melatih ketrampilan dalam memegang makanan dan

merangsang pertumbuhan giginya (Sudaryanto, 2014).

Adapun pola pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI (MP-

ASI) yang dianjurkan oleh Depkes (2007) dapat dilihat pada table

berikut:

Tabel 1. Pola Pemberian ASI dan MP-ASI

Pola Pemberian ASI dan MP-ASI


MP-ASI
Golongan Umur ASI Makanan Makanan Makanan
(Bulan) Lumat Lembek Keluarga
0 – 6 Bulan √
6 – 9 Bulan √ √
9 – 12 Bulan √ √
12 – 24 Bulan √ √

5. Jenis MP-ASI
Menurut (Depkes RI, 2006) jenis MP-ASI adalah sebagai berikut :

a. Makanan tambahan pendamping ASI lokal (MP-ASI Lokal)

Makanan tambahan lokal adalah makanan tambahan yang diolah

dirumah tangga atau di Posyandu, terbuat dari bahan makanan yang

tersedia di tempat, mudah diperoleh dengan harga terjangkau oleh

masyarakat, dan memerlukan pengolahan sebelum dikonsumsi oleh

bayi.

b. Makanan tambahan pendamping ASI pabrikan (MP-ASI pabrikan)

Makanan tambahan hasil olahan pabrik adalah makanan yang

disediakan dengan olahan dan bersifat instan dan beredar dipasaran

untuk menambah energi dan zat-zat gizi esensial pada bayi.

C. Tinjauan Umum Tentang Gizi Buruk

1. Pengertian

Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat

badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah

underweight (gizi kurang) dan severely underweight (gizi buruk).

Balita disebut gizi buruk apabila indeks Berat Badan menurut Umur

(BB/U) kurang dari -3 SD (Kemenkes, 2011).


Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang

umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi

buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi

menahun (Wiku A, 2005).

2. Faktor Penyebab Gizi Buruk

WHO menyebutkan bahwa banyak faktor dapat menyebabkan

gizi buruk, yang sebagian besar berhubungan dengan pola makan

yang buruk, infeksi berat dan berulang terutama pada populasi yang

kurang mampu. Diet yang tidak memadai, dan penyakit infeksi terkait

erat dengan standar umum hidup, kondisi lingkungan, kemampuan

untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan dan

perawatan kesehatan (WHO, 2012). Berikut adalah beberapa faktor

yang dapat menyebabkan gizi buruk.

a. Konsumsi zat gizi

Konsumsi zat gizi yang kurang dapat menyebabkan

keterlambatan pertumbuhan badan dan keterlambatan

perkembangan otak serta dapat pula terjadinya penurunan atau

rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi (Krisnansari

d, 2010).
b. Penyakit infeksi

Infeksi dan kekurangan gizi selalu berhubungan erat. Infeksi

pada anak-anak yang malnutrisi sebagian besar disebabkan

kerusakan fungsi kekebalan tubuh, produksi kekebalan tubuh yang

terbatas dan atau kapasitas fungsional berkurang dari semua

komponen seluler dari sistem kekebalan tubuh pada penderita

malnutrisi (RodriquesL, 2011).

c. Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan

Seorang ibu merupakan sosok yang menjadi tumpuan dalam

mengelola makan keluarga. pengetahuan ibu tentang gizi balita

merupakan segala bentuk informasi yang dimiliki oleh ibu

mengenai zat makanan yang dibutuhkan bagi tubuh balita dan

kemampuan ibu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-

hari (Mulyaningsih F, 2008). Kurangnya pengetahuan tentang gizi

akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk menerapkan

informasi dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan salah satu

penyebab terjadinya gangguan gizi (Notoadmodjo, 2003).

d. Pendidikan ibu

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin

mudah diberikan pengertian mengenai suatu informasi dan


semakin mudah untuk mengimplementasikan pengetahuannya

dalam perilaku khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Ihsan

M.Hiswani, Jemadi, 2012). Pendidikan ibu yang relatif rendah akan

berkaitan dengan sikap dan tindakan ibu dalam menangani

masalah kurang gizi pada anak balitanya (Oktavianis, 2016).

e. Pola asuh anak

Pola asuh anak merupakan praktek pengasuhan yang

diterapkan kepada anak balita dan pemeliharaan kesehatan (Siti M,

2015). Pola asuh makan adalah praktik-praktik pengasuhan yang

diterapkan ibu kepada anak balita yang berkaitan dengan cara dan

situasi makan Pola asuh yang baik dari ibu akan memberikan

kontribusi yang besar pada pertumbuhan dan perkembangan balita

sehingga akan menurunkan angka kejadian gangguan gizi dan

begitu sebaliknya (Istiany, dkk, 2007).

f. Sanitasi

Sanitasi lingkungan termasuk faktor tidak langsung yang

mempengaruhi status gizi. Gizi buruk dan infeksi kedua – duanya

bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan

sanitasi buruk (Suharjo, 2010).


g. Tingkat pendapatan

Keluarga dengan status ekonomi menengah kebawah,

memungkinkan konsumsi pangan dan gizi terutama pada balita

rendah dan hal ini mempengaruhi status gizi pada anak balita

(Supariasa, 2012). Balita yang mempunyai orang tua dengan

tingkat pendapatan kurang memiliki risiko 4 kali lebih besar

menderita status gizi kurang dibanding dengan balita yang memiliki

orang tua dengan tingkat pendapatan cukup (Persulessy V, 2013).

h. Ketersediaan pangan

Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan penyebab

tidak langsung terjadinya status gizi kurang atau buruk (Roehadi S,

2013).

i. Jumlah anggota keluarga

Apabila anggota keluarga bertambah maka pangan untuk

setiap anak berkurang, asupan makanan yang tidak adekuat

merupakan salah satu penyebab langsung karena dapat

menimbulkan manifestasi berupa penurunan berat badan atau

terhambat pertumbuhan pada anak, oleh sebab itu jumlah anak

merupakan faktor yang turut menentukan status gizi balita

(Faradevi R, 2017).
j. Sosial budaya

Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa

yang akan dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan

penyajiannya serta untuk siapa dan dalam kondisi bagaimana

pangan tersebut dikonsumsi. Sehingga hal tersebut dapat

menimbulkan masalah gizi buruk (Arifn Z, 2015).

3. Klasifikasi Gizi Buruk

Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

a. Marasmus

Marasmus terjadi disebabkan asupan kalori yang tidak cukup.

Marasmus sering sekali terjadi pada bayi di bawah 12 bulan.

Adapun gejala klinis dari marasmus adalah: anak tampak sangat

kurus (tampak seperti tulang terbungkus kulit), wajah seperti orang

tua, cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan lemak subkutan sangat

sedikit bahkan pada beberapa kasus bisa tidak ada, sering disertai

diare kronis atau konstipasi dan penyakit kronis, tekanan darah,

detak jantung dan pernapasan berkurang (Supariasa, dkk,2014).

b. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang

berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi


namun asupan protein yang inadekuat (Liansyah TM, 2015).

Beberapa gejala klinis dari kwashiorkor adalah: Edema umumnya

terdapat diseluruh tubuh dan terutama pada kaki ( dorsum pedis),

wajah membulat dan sembab, otot-otot mengecil, anak berbaring

terus-menerus, cengeng, rewel, kadang apatis, anak mengalami

anoreksia, pembesaran hati, sering disertai infeksi, anemia, dan

diare, rambut berwarna kusam dan mudah dicabut, gangguan kulit

berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi hitam

terkelupas (crazy pavement dermatosis), dan pandangan mata

anak tampak sayu (Supariasa, dkk, 2014).

c. Marasmus-Kwashiorkor

Menurut Depkes RI (1999), tanda-tanda marasmus-

kwashiorkor adalah gabungan dari tanda-tanda yang ada pada

marasmus dan kwashiorkor (Supariasa, dkk, 2014).


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian studi literature dengan

menggunakan desain penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan

cross sectional, dan populasi dalam penelitian ini yaitu baduta gizi buruk.

B. Strategi Pencarian Literatur

Data yang digunakan dalam studi literatur “gambaran pengetahuan

ibu dan pola pemberian MP-ASI pada baduta gizi buruk” ini merupakan

data sekunder yaitu data yang diperoleh bukan dari pengalaman secara

langsung, melainkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

peneliti terdahulu. Sumber data sekunder yang digunakan berupa jurnal

yang relevan dengan topik terindeks Google Scholar. Tahun terbitan jurnal

yang digunakan yaitu dibatasi mulai dari tahun 2010 – 2020. Pencarian

data sekunder dilakukan dengan mengamati judul dan abstrak dari setiap

jurnal yang relevan dengan topik literature review, dan kata kunci yang
digunakan dalam pencarian adalah pengetahuan ibu dan pola pemberian

MP-ASI pada baduta gizi buruk.

C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

a. Jurnal terbitan tahun 2010-2020

b. Diterbitkan di jurnal atau penerbitan terindeks Google Scholar

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Jurnal yang tidak bisa di unduh dan atau tidak bisa di buka

b. Data jurnal yang tidak melalui UJi Statistik

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi literatur atau literature review yaitu serangkaian kegiatan

yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca

dan mencatat, serta mengolah bahan penulisan (Zed, 2008 dalam

Nursalam, 2016). Adapun literature yang digunakan yaitu literature yang

berkaitan dengan topik atau variabel penelitian, serta sesuai dengan

kriteria inklusi.

E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk membantu

peneliti dalam kegiatan penelitian agar data yang dikumpulkan sistematis,

relevan, dan mudah untuk di analisis. Adapun instrumen penelitian yang

digunakan yaitu:

a. Laptop

b. Hp/Smartphone

c. Buku

d. Peneliti

F. Pengolahan Data

Pengolahan data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk narasi

yang mendeskripsikan data dari setiap variabel penelitian yang relevan.

Narasi yang digunakan berdasarkan hasil jurnal penelitian yang diperoleh

dari penelitian sebelumnya.

G. Analisis Data

Setelah mengolah data dari jurnal penelitian yang sudah

dikumpulkan, selanjutnya dilakukan analisis data. Untuk lebih

memperjelas dan memudahkan saat menganalisis, abstrak dan isi jurnal

dibaca dan dicermati. Kemudian dilakukan analisis terhadap isi yang

terdapat dalam tujuan penelitian dan hasil/temuan penelitian. Metode

analisis yang digunakan yaitu analisis isi jurnal.


DAFTAR PUSTAKA

Supariasa, IDN., Bachyar Bakri, dan Ibnu Fajar. 2014. Penilaian Status Gizi,

Edisi 2. Jakarta: EGC

Lenes, ABL. 2019. Studi Kasus Balita Gizi Buruk 1-5 Tahun Di Desa Tesabela

Kecamatan Kupang Barat. http://repository.poltekeskupang.ac.id (di

akses 6 Desember 2020)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Hasil Utama Riskesdas

2018. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kemenkes RI

Redaksi. 2019. Maluku Utara Harus Memaksimalkan Upaya Pencegahan Gizi

Buruk Pada Anak-anak. https://www.satumaluku.id (di akses 7

Desember 2020)

Nurhayati, S. 2018. Hubungan Praktik Pemberian Makanan Pendamping ASi

(MP-ASI) Dengan Status Gizi Baduta Di Kelurahan Sidorejo Kidul

Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. http://eprints.ums.ac.id (di akses 7

Desember 2020)
Putri, M Arini. 2018. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, 2.1 Konsep Pengetahuan.

http://eprints.umpo.ac.id (di akses 9 Desember 2020)

Perkasa, DD. 2019. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, A. Status Gizi Bayi .

http://eprints.ums.ac.id (di akses 9 Desember 2020)

Ariyani, L. 2018. Pengaruh Kehadiran Konseling Dan Konsumsi Formula 100

(F100) Terhadap Perubahan Status Gizi Balita Gizi Buruk Di Rumah

Gizi Kota Semarang. http://repository.unimus.ac.id (di akses 9

Desember 2020)

Anda mungkin juga menyukai