Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 latar belakang

Thiamin atau vitamin B1 merupakan gabungan dari senyawa dengan


cincin utama pirimidinnya dan senyawa dengan cincin utama tiasol.Karena
peranannya sebagai koenzim dalam metabolisme perantara dari asam alfa- keto
dan karbohidrat, maka tiamin terdapat pada hampir semua tanaman dan
hewan.Sayuran dan buah-buahan mengandung sedikit vitamin B1.Vitamin B1
terdapat dalam jumlah yang tinggi pada biji-bijian, terutama dalam bagian
kecambah dan bekatul padi.Vitamin B1 juga banyak terkandung dalam khamir
atau ragi baik ragi roti ataupun khamir bir (Andarwulan, 1992).Sumber thiamin
yang baik ialah butir serealia utuh, daging organ hewan seperti hati, jantung dan
ginjal, daging babi yang tidak berlemak, telur, kacang dan kentang.Satuan yang
biasa digunakan ialah mg per 100 kg makanan, atau dalam SI yang setara dengan
3µg thiamin hidroklorida. Konsumsi minimum pada manusia adalah 1 mg per
2000 kkal (deMan, 1997).

Thiamin berbentuk padat, berwarna putih, dan larut dalam air.Thiamin


ditemukan dalam semua biji-bijian serealis.Kebanyakan thiamin terdapat pada
lembaga dan bekatul biji-bijian.Thiamin berperan dalam oksidasi nutrien dan
pelepasan energi dalam tubuh.Di dalam sel-sel tubuh glukosa berangsur-angsur
dipecah dalam suatu reaksi yang melepaskan energi dalam keadaan
terkontrol.Tiap reaksi membutuhkan suatu enzim yang khusus.Senyawa kompleks
yang mengandung thiamin bertindak sebagai koenzim untuk dua reaksi yang
berurutan (Gaman & Sherrington, 1994).

1.2 rumusan masalah


a. bagaimanakah sejarah dari thiamin?
b. Bagaimanakah struktur kimia dari thiamin?
c. Bagaimanakah sifat kimia dari thiamin?
d. Berapakah angka kecukupan thiamin yang di anjurkan?
e. Bagaimanakah fungsi thiamin?
f. Bagaimanakah asupan thiamin dan darimakah sumber thiamin/
g. Bagaimanakah dampak dari deficienzy dari thiamin?
h. Bagaimanakah Indeks Status Thiamin?
i. Bagaimanakah dampak apabila kelebihan thiamin?
j. Bagaimanakah Jumlah Thiamin dalam darah utuh dan eritrosit
k. Bagaimanakah transpor thiamin dan absorbsi thiamin?

1.3 tujuan
a. Mengetahui sejarah thiamin.
b. Mengetahui struktur kimia dari thiamin
c. Mengetahui sifat kimia dari thiamin
d. Mengetahui angka kecukupan thiamin yang di anjurkan
e. Mengetahui ah fungsi thiamin
f. Mengetahui asupan thiamin dan darimakah sumber thiamin
g. Mengetahui dampak dari deficienzy dari thiamin
h. Mengetahui Indeks Status Thiamin
i. Mengetahui dampak apabila kelebihan thiamin
j. Mengetahui Jumlah Thiamin dalam darah utuh dan eritrosit
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Thiamin
Sebuah vitamin dengan struktur kimia C12,H17,C1,N4,OS, salah satu
jenis darivitamin B kompleks, yang banyak ditemukan dalam daging, ragi, dan
biji-bijian. Vitamin ini berfungsisebagaimetabolisme karbohidrat dan juga
menormalkan aktivitas saraf. Vitamin ini larut dalam air, dan dalam metabolisme
karbohidrat menjadikan gula yang lebih sederhana dansetelah itu dapatdigunakan
sebagai bahan bakar energi tubuh.Thiaminini juga diperlukan untuk membuat
kerja jantung menjadi normal, membuat kerja otot baik, dan juga seperti yang
telah disebutkan,menormalkan fungsi saraf tubuhThiamin atau vitamin B1 adalah
vitamin yang termasuk dalam kelompok vitamin B-kompleks. Thiamin/Aneurin
adalah kompleks molekul organik yang memiliki satu inti tiazol dan inti pirimidin yang
dihubungkan oleh jembatan methylene dalam struktur kimianya.

Dalam tubuh Thiamin akan dirubah menjadi bentuk aktifnya setelah


bereaksi dengan Adenosin Triphosfat (ATP) menjadi Thiamin Pirofosfat. Thiamin
Pirofosfat adalah koenzim dalam reaksi karboksilasi asam piruvat dan asam
ketoglutarat. Peningkatan kadar asam piruvat dalam darah juga dapat
diindikasikan sebagai tanda tubuh kekurangan vitamin B1.

2.2 Sejarah Vitamin B1 (Tiamin)


Tiamin murni pertama kali diperoleh pada tahun 1996, akan tetapi
identifikasi susunan kimia nya belum lengkap diketahui sampai tahun 1936,
dimana William dapat membuatnya secara sintesis dan diberi nama Tiamin.
Tiamin adalah zat berupa kristal tersusun dari unsur- unsur karbon, hidrogen,
oksigen dan belerang, mudah larut dalam air dan sedikit larut dalam alkohol.
Vitamin ini tidak mudah mengalami oksidasi, tetapi mudah rusak karena
pemanasan di dalam larutan.
Sampai permulaan abad ke-20, timbulnya beri-beri belum pernah
dikaitkan dengan makanan, walaupun beri-beri telah di kemukakan dalam riteratur
Tiongkok pada zaman sebelum masehi. Di Jepang penyakit Beri-beri tidak sama
sekali setelah adanya perubahan-perubahan pola hidangan pelaut atas anjuran
Takaki pada tahun 1885 yaitu dengan menambah daging dan padi-padain penuh.
Pada tahun 1897 Eyk Man orang Belanda yang bekerja di Jawa membuktikan
bahwa penyakit Beri-Beri terjadi pula pada ayam yang diberi makan beras yang
disosoh sampai putih bersih. Dengan demikian tampak jelas bahwa Beri-beri
terjadi bila makanan kekurangan zat yang terdapat dalam lembaga dan lapisan luar
biji padi-padian, dan tidak terdapat dalam beras yang digiling sampai putih bersih.
Zat ini kemudian dikenal sebagai vitamin anti neuritis vitamin B1 atau Tiamin.

2.3 Sifat Kimia Tiamin


Tiamina adalah senyawa organosulfur tidak berwarna dengan rumus
kimia C12H17N4OS. Strukturnya terdiri dari aminopyrimidine dan sebuah cincin
tiazol (thiazole) yang dihubungkan oleh satu jembatan metilen.Tiazol ini
tersubstitusi dengan rantai samping metil dan hidroksietil.Tiamina adalah
senyawa yang larut dalam air, metanol, dan gliserol, sehingga tidak larut dalam
pelarut organik yang bersifat kurang polar.Tiamina stabil pada pH asam, tetapi
tidak stabil dalam larutan alkali. Tiamina, yang merupakan karbena N-
heterosiklik, dapat digunakan pada sianida sebagai katalis untuk kondensasi
benzoin. Tiamina tidak stabil terhadap panas, tetapi stabil selama disimpan dalam
kondisi beku. Selain itu tiamina juga tidak stabil bila terkena sinar ultraviolet dan
iradiasi sinar gamma. Tiamina bereaksi kuat pada reaksi Maillard.
2.4 Struktur Kimiawi Tiamin
Struktur kimia tiamin, merupakan gabungan dari molekul basa pirimidin
dan tiazol yang dirangkai jembatan metilen. Kokarboksilase adalah pirofosfat dari
tiamin yang disintesis oleh tubuh dari kombinasi tiamin dengan ATP (Adenosisn
Trifosfat) (Gambar 1.).

Gambar 1. Struktur kimia tiamin pirofosfat (TPP)


2.5 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
Tiamin terlibat dalam metabolisme karbohidrat, kebutuhan yang
dianjurkan didasarkan kebutuhan akan energi. FAO-WHO (1967), menetapkan
kecukupan tiamin yang dianjurkan sebesar 0,4 mg/1000 kkal.
Kebutuhan Thiamin untuk tubuh adalah sebanding dengan asupan kalori per
hari.Ini disebabkan Thiamin dibutuhkan untuk menjalankan metabolisme energi, terutama
karbohidrat.Oleh karenanya, jumlah Thiamin yang dibutuhkan berbanding lurus dengan
asupan makanan pokok per hari.Thiamin minimal dibutuhkan sebesar 0.3 mg per 1000
kcal.Jika perhitungan kalori dirasa membingungkan, maka beruntung di Indonesia sudah
ada standar yang disebut AKG (Angka Kecukupan Gizi). AKG untuk Vitamin B1 di
Indonesia adalah 0.3-0.4 mg/hari untuk bayi, 1.0 mg/hari untuk orang dewasa, dan 1.2
mg/ hari untuk ibu hamil.

Untuk kebutuhan laki-laki, vitamin B1 dengan dosis sesuai usia sebagai berikut:
a. 1 sampai 3 tahun : 0.5 miligram per hari
b. 4 sampai 8 tahun : 0.6 miligram per hari
c. 9 sampai 13 tahun : 0.9 miligram per hari
d. 14 tahun ke atas : 1.2 miligram per hari
Sedangkan untuk kebutuhan perempuan dengan dosis juga sesuai usia sebagai
berikut:
a. 1 sampai 3 tahun : 0.5 mcg per hari
b. 4 sampai 8 tahun : 0.6 mcg per hari
c. 9 sampai 13 tahun : 0.9 mcg per hari
d. 14 sampai 18 tahun : 1.0 mcg per hari
e. 19 tahun keatas : 1.1 mcg per hari
2.6 Fungsi Tiamin
Tiamin dikenal esensial bagi tubuh untuk fungsi pertumbuhan, menambah
nafsu makan, memperbaiki fungsi saluran pencernaan makanan, dan memelihara
proses kehidupan sel-sel diseluruh tubuh khususnya dalam oksidasi karbohidrat.
Tiamin adalah bagian yang aktif koenzim yang diperlukan bagi oksidasi lebih
lanjut asam piruvat, salah satu hasil peralihan oksidasi karbohidrat. Oleh karena
itu koenzim yang mengandung tiamin menolong dalam pengambilan oksigen oleh
semua macam jaringan. Jaringan syaraf tertentu tergantung pada oksidasi
karbohidrat untuk keperluan proses hidupnya, dengan demikian syaraf lah salah
satu yang terganggu bila terjadi kekurangan vitamin B1. Tiamin, dikenal juga
sebagai vitamin semangat karena bila terjadi kekurangan akan menimbulkan
penurunan kegiatan syaraf. Penelitian pada manusia yang diberi makanan kurang
tiamin menunjukan dalam waktu singkat. Orang-orang tersebut:
1. Kurang semangat
2. Mudah tersinggung
3. Kurang berkonsentrasi
4. Dalam 3-7minggu timbul tanda-tanda:
a. Capai
b. Kurang nafsu makan
c. Berat badan menurun
d. Konstipasi
e. Kejang otot
f. Rasa nyeri pada syaraf
Keluhan tersebut dapat dihilangkan dan kembali ke normal setelah
diberikan tiamin yang cukup banyak.
Thiamin, jika dikonversi ke thiamin pirofosfat (TPP), memiliki peran
utama dalam metabolisme karbohidrat. Pirofosfat thiamin diperlukan untuk
oxidativedecarboxylation asam α-keto dan untuk tindakan transketolase di lintasan
pentosa fosfat. Hal ini juga berfungsi sebagai kofaktor dalam larutan glioksilat
dan α-ketoglutarat ke dari 2-hidroksi-3-ketoadipate. Penelitian baru menunjukkan
bahwa thiamin pyrophosphateis terlibat dalam α-oksidasi dari 3-metil-tersubstitusi
asam lemak (Casteelset al,, 2003). Selain itu, thiamin mungkin erat terlibat dalam
fungsi neurologis, meskipun mekanisme yang tepat adalah nuklir.

Turunan Fosfat pada Tiamina (Vitamin B1) dan Fungsinya


Tiamina pada dasarnya adalah bentuk transfer dari vitamin, sedangkan
bentuk aktifnya berup turunun (derivative) tiamina yang terfosforilasi. Ada lima
turunan tiamina fosfat alami yang dikenal: tiamina monofosfat (ThMP), tiamina
difosfat (ThDP); kadang-kadang disebut juga tiamina pirofosfat (TPP), tiamina
trifosfat (ThTP), dan baru-baru ini ditemukan adenosin trifosfat tiamina /
Adenosine thiamine triphosphate (AThTP), dan adenosin difosfat tiamina /
Adenosine thiamine diphosphate (AThDP).

1. Tiamina difosfat / Thiamine diphosphate (ThDp)

Tidak ada peran fisiologis yang dikenal dari tiamina monofosfat ThMP,
tetapi memiliki hubungan yang relevan dengan tiamina difosfat.Sintesis tiamina
difosfat (ThDP), yang juga dikenal sebagai tiamina pirofosfat (TPP) atau
kokarboksilase (cocarboxylase), dikatalisis oleh enzim yang disebut tiamina
difosfokinase menurut reaksi; tiamina + ATP → ThDP + AMP. ThDP adalah
koenzim untuk beberapa enzim yang mengkatalisis transfer dari unit dua-karbon
dan khususnya dehidrogenasi (dekarboksilasi dan konjugasi dengan koenzim A
pada proses selanjutrnya) dari 2-oxoacids (asam alfa-keto). Beberapa contoh dari
tiamina difosfat adalah sebagai berikut :

Ada pada hampir semua spesies

 Pyruvate dehydrogenase (piruvat dehidrogenase) dan 2-oxoglutarate


dehydrogenase (disebut juga α-ketoglutarate dehydrogenase)
 Branched-chain (rantai bercabang) α-keto acid dehydrogenase
 2-hydroxyphytanoyl-CoA lyase
 Transketolase

Ada pada beberapa spesies :

 Pyruvate decarboxylase / piruvat dekarboksilase (pada ragi)


 Beberapa enzim tambahan pada bakteri.

Enzim transketolase, piruvat dehidrogenase (PDH), dan 2-oxoglutarate


dehidrogenase (OGDH) sangat penting untuk metabolisme
karbohidrat.Transketolase (enzim sitosolik) adalah “pemain kunci” pada jalur
pentosa fosfat, yang merupakan rute utama untuk biosintesis gula pentosa
(deoksiribosa dan ribose). PDH dan OGDH yang terletak di mitokondria
merupakan bagian dari jalur biokimia yang menghasilkan generasi adenosin
trifosfat (ATP), yang merupakan bentuk utama energi bagi sel. PDH terhubung
dengan glikolisis untuk kemudian menuju ke siklus asam sitrat, sedangkan reaksi
yang dikatalisis oleh OGDH merupakan rate-limiting step (faktor pembatas laju
reaksi) pada siklus asam sitrat. Pada sistem saraf, PDH juga terlibat di dalam
produksi asetilkolin, neurotransmiter, dan sintesis myelin.

2. Tiamina trifosfat / Thiamine triphosphate (ThTP)

Tiamina trifosfat (ThTP) sudah lama dianggap sebagai bentuk neuroactive


spesifik dari tiamina.Namun, akhir-akhir ini telah ditunjukkan bahwa ThTP yang
ada pada bakteri, jamur, tanaman dan hewan diduga memiliki peran seluler yang
jauh lebih umum. Secara khusus, misalnya pada E. coli, tiamina trifosfat (ThTP)
tampaknya memainkan peran dalam respon terhadap kondisi “kelaparan” asam
amino.

3. Adenosin trifosfat tiamina / Adenosine thiamine triphosphate


(AThTP)

Adenosin trifosfat tiamina (AThTP) atau adenosin trifosfat yang


tertiaminilasi, baru-baru ini ditemukan pada Escherichia coli, senyawa ini
terakumulasi sebagai akibat dari “kelaparan” karbon. Pada E. coli, AThTP dapat
berjumlah hingga 20% dari total tiamina. Senyawa ini juga ada dalam jumlah
yang kecil pada ragi, akar tumbuhan (tumbuhan tingkat tinggi) dan jaringan
hewan.

4. Adenosin difosfat tiamina / Adenosine thiamine diphosphate


(AThDP) 

Adenosin difosfat tiamina (AThDP) atau adenosine difosfat yang


tertiaminilasi ada dalam jumlah yang kecil pada hati vertebrata, tetapi perannya
masih belum diketahui.

2.7 Akibat kekurangan Tiamin


Kekurangan tiamin dapat terjadi karena kurangnya kosumsi (biasanya
diserta kurang kosumsi energi), gangguan absorpsi, ketidakmampuan tubuh
menggunakan tiamin, ataupun karena meningkatnya kebutuhan misalnya karena
kebutuhan energi yang meningkat. Kekurangan tiamin terlihat pada masyarakat
miskin yang menderita gangguan gizi, pada penyakit kronis dan anorexia
(kurangnya nafsu makan), kecanduan alkohol kronis, dan gangguan absorpsi.
Gejala klinik kekurangan tiamin terutama menyangkut sistem saraf dan
jantung, yang dalam keadaan berat dinamakan beri-beri, yaitu beri-beri basah dan
beri-beri kering. Beri-beri basah ditandai dengan sesak nafas dan edema setelah
mengalami rasa lelah berpkepanjangan. Tanda-tanda ini menunjukkan kegagalan
jantung. Beri-beri kering ditandai oleh kelemahan otot luar biasa dan degenerasi
saraf perifer yang dapat berlanjut dengan kelumpuhan kaki. Tanpa TPP, piruvat
tidak memasuki siklus krebs, dan kekurangan energi otot jantung akan
menyebabkan kegagalan jantung.
Beri-beri dapat disembuhkan dengan memberikan tiamin bila kerusakan
belum terlalu parah. Gejala awal adalah nafsu makan berkurang, gangguan
pencernaan, sukar ke belakang, lelah, rasa semutan, berdebar-debar dan refleks
berkurang.
Fortifikasi pangan telah dibuang kekurangan thiamin di negara-negara
yang lebih maju, kecuali pada kelompok penduduk yang dipilih. Ini termasuk
pecandu alkohol kronis, beberapa orang tua, orang yang terinfeksi HIV-AIDS,
dan inviduals dengan keadaan penyakit yang terkait dengan emesis kronis, diare,
dan ditandai anoreksia. Pasien dengan gagal ginjal kronis juga berisiko sebagai
akibat dari pembatasan diet dan kehilangan thiamin selama dialisis. Kekurangan
thiamin subklinis dan klinis juga telah dijelaskan di Jepang di kalangan pelajar
univercity, dan di antara beberapa pengungsi, khususnya wanita selama periode
postpartum. Kekurangan vitamin ini juga terbukti menjadi faktor dalam wabah
neuropati di Kuba pada 1992-1993.
Defisiensi parah pada pecandu alkohol sering dikaitkan dengan
ensefalopati Wernicke. Yang terakhir adalah kelainan neurologis genetik: subjek
memiliki varian transketolase, Wich membutuhkan lebih tinggi dari biasanya
konsentrasi thiamin diphosphate untuk kegiatan.
Penurunan aktivitas enzim tergantung thiamin, terutama α-ketoglutarat
dehidrogenase, telah diamati dalam otak pasien dengan penyakit Alzheimer dan
penyakit Parkinson. Namun, efeknya telah dikaitkan dengan efek toksik langsung
dari stres oksidatif dan deposisi β-amyloid, dan tidak kekurangan thiamin sistemik
pada pasien ini. Tingkat lebih rendah dari eritrosit transketolase avtivity, dan
eritrosit thiamin monophospate juga telah diamati pada obesitas dibandingkan
dengan wanita nonobase, tetapi mereka belum berhubungan dengan tanda-tanda
atau gejala defisiensi thiamin.
Efek dari kekurangan thiamin ringan yang tidak spesifik dan dengan
demikian mudah diabaikan, terutama pada orang tua. Mereka termasuk sulit tidur,
depresi, penurunan berat badan, malaise, anoreksia, kelelahan, dan mudah
tersinggung.

2.8 sumber makanan dan Asupan Makanan


Sereal gandum,dan kacang-kacangan adalah makanan sourcess terkaya
thiamin, diikuti oleh daging lainnya, ikan, sayuran hijau, buah-buahan dan susu.
Beras dipoles, gula, alkohol, lemak, dan makanan olahan lainnya merupakan
sumber miskin thiamin. Saat ini, data bioavailabilitas untuk thiamin dari makanan
terbatas.
Thiamin cepat hancur pada suhu yang tinggi kecuali pH di bawah 5.
Dengan demikian penambahan natrium bikarbonat untuk sayuran hijau untuk
mempertahankan warna hijau mereka menghancurkan thiamin. Thiamin juga
dapat dihancurkan oleh adanya peroksida dari oksidasi lemak. Thiamin hilang
ketika air masak dibuang karena merupakan vitamin yang larut dalam air. Dalam
larutan alkali, thiamin dapat dioksidasi menjadi senyawa tiokrom yang
berfluoresensi biru neon. Reaksi ini banyak digunakan untuk mengukur thiamin
dalam jaringan dan cairan biologis.
Di banyak negara-negara industri, thiamin makanan yang diperkaya
berkontribusi sebanyak 25% dari asupan thiamin keseluruhan. Dalam
Melanjutkan Survei Makanan Intake oleh Individu US 1995, sumber makanan
utama thiamin untuk orang dewasa adalah roti dan roti produk, makanan dicampur
dengan biji-bijian sebagai bahan utama, dan siap-untuk-makan sereal. Sumber
yang kurang penting lainnya adalah daging babi dan ham produk. di Inggris dan
survei nasional Australia, sereal dan sereal. produk ini juga merupakan sumber
yang paling penting dari thiamin pada orang dewasa, diikuti di Inggris oleh
sayuran, terutama kentang, dan di Australia, berdasarkan daging dan produk
daging.
2.9 Pengaruh Tinggi Asupan Thiamin
Tidak ada efek samping dari konsumsi berlebihan thiamin telah dijelaskan,
kecuali beberapa tanggapan anafilaktoid sesekali. Relatif sedikit penelitian yang
dilakukan tentang efek merugikan dari mengambil dosis besar thiamin tidak
memungkinkan Upper Level Intake Tolcrable (UL) untuk thiamin yang akan
ditetapkan oleh USfood dan Gizi Dewan.
2.10 Indeks Status Thiamin
Saat ini, tidak ada indikator fungsional fisiologis handal status thiamin.
Yang paling banyak digunakan indeks biokimia status thiamin adalah aktivitas
enzim transketolase dalam eritrosit; itu mencerminkan kecukupan toko tubuh dan
vey sensitif terhadap kekurangan thiamin marjinal. Pengukuran total thiamin
dalam urin, darah utuh,dan eritrosit,juga digunakan tetapi tidak menilai status toko
tubuh memadai. Di masa depan, pengukuran thiamin pirofosfat dalam eritrosit
atau darah utuh dapat menjadi biomarker pilihan.
1. Eritrosit transketolase
Transketolase (EC 2.2.1.1) adalah enzim TPP-dependent. Pengukuran aktivitas
enzim ini dalam eritrosit yang paling sering digunakan sebagai indeks status gizi
thiamin, sebagai eritrosit adalah salah satu jaringan pertama yang akan
terpengaruh oleh penurunan thiamin. Secara garis besar, tes ini dan prosedur yang
sama yang digunakan untuk riboflavin dan piridoksin, melibatkan tahapan sebagai
berikut:
a. Kegiatan basal dari enzim (transketolase) dalam eritrosit diukur. Ini
merupakan aktivitas enzim endogen dan tergantung pada jumlah koenzim
(TPP) di eritrosit.
b. Aktivitas enzim dengan kelebihan koenzim ditambahkan in vitro
kemudian ditentukan. Ini setara ti aktivitas enzim maksimum potensial dan
disebut sebagai Total atau "dirangsang" kegiatan.
c. (1) dan (2) yang daripada dibandingkan dengan menunjukkan tingkat
ketidakjenuhan enzim dengan koenzim.
Hasilnya terbaik dinyatakan dalam koefisien aktivitas (AC):
AC = (enzim avtivity (dengan kelebihan koenzim))
(aktivitas enzim basal (dengan koenzim))
Ketika status vitamin memadai, koenzim ditambahkan memiliki sedikit efek
pada aktivitas enzim total, sehingga koefisien aktivitas ini sangat dekat dengan
1,0. Namun, di negara-negara kekurangan vitamin, koenzim tambahan
meningkatkan aktivitas enzim. Peningkatan yang lebih besar berhubungan dengan
derajat yang lebih besar dari kekurangan dan nilai-nilai yang lebih tinggi untuk
koefisien aktivitas. Kadang-kadang "persentase stimulasi" (PS) dihitung dari
koefisien aktivitas di berikut:
PS = (koefisien aktivitas x 100) - 100
Basal dan actvities enzim dirangsang dapat beexpressed per gram
hemoglobin, pernumber eritrosit, atau dalam hal volume eritrosit (dalam mL).
Rasio dirangsang untuk aktivitas enzim basal digunakan ukuran utama
karena:
a. Antara subjek variasi dalam aktivitas enzim eritrosit basal besar
b. Diasumsikan bahwa tingkat apoenzyme tidak terpengaruh oleh
kekurangan vitamin. Asumsi terakhir ini mungkin tidak benar,
namun. Vitamin deficiencyor kelebihan, dan faktor-faktor lain
seperti adanya penyakit tertentu dan pemberian hormon dan obat-
obatan, dapat mempengaruhi tingkat apoenzyme dan
mengacaukan interprestasi. Oleh karena itu, ketika
menginterpretasikan hasil, disarankan untuk memperhitungkan
aktivitas enzim basal, asa serta aktivasi dengan koenzim (Banji,
1981).
Transketolase, TPP- membutuhkan enzim, mengkatalisis dua reaksi
berikut dalam jalur fosfat pentosa:
Xylulose-5-fosfat + ribosa-5-fosfat sedoheptulose-7-fosfat + gliseraldehida-3-
fosfat
Xylulose-5-fosfat + erythrose-4-fosfat fructose-6-posphate + gliseraldehida-3-
fosfat
Dalam kekurangan thiamin, tingkat basal te aktivitas transketolase eritrosit
rendah, dan suatu peningkatan dalam aktivitas enzim setelah penambahan TPP in
vitro umumnya diamati. Tahu ini sebagai "efek TPP." Kekurangan thiamin
berkepanjangan, bagaimanapun, menginduksi penurunan tingkat enzim
apotransketolase. Akibatnya, kedua basal dan merangsang eritrosit kegiatan
transketolase cenderung turun, dengan tidak ada perubahan berlaku TPP, sehingga
menimbulkan menyesatkan "normal" eritrosit transketolase AC nilai (Schrijver,
1991). Dalam kasus tersebut, aktivitas enzim basal juga harus dipertimbangkan
(Nixon et al., 1990).
Faktor yang mempengaruhi transketolase kegiatan eritrosit
Berbagai faktor mempengaruhi aktivitas transketolase eritrosit: beberapa
independen dari perubahan status thiamin, sementara yang lain mungkin
berhubungan dengan perubahan tersebut.
Umur dari aktivitas enzim pengaruh eritrosit; tingkat menurun sebagai usia
sel. Akibatnya, aktivitas enzim basal tergantung pada usia rata-rata eritrosit
(Powers dan Thurnham, 1981). Oleh karena itu, pada pasien yang menjalani
pengobatan untuk kekurangan zat besi, misalnya, tingkat basal aktivitas
transketolase eritrosit akan meningkat sebagai akibat dari retikulositosis tersebut.
Efek serupa diamati i pasien yang merespon positif terhadap pengobatan untuk
anemia pernisiosa (Kjosen dan Seim 1977.
Usia mempengaruhi aktivitas transketolase. Subyek Oder cenderung
memiliki aktivitas yang lebih rendah, mungkin sebagai akibat dari cacat dalam
apoenzyme daripada aktivitas yang tidak memadai dari koenzim TPP (o'Rourker
et al, 1990).
Keadaan penyakit tertentu yang terkait dengan eritrosit yang rendah.
Dalam beberapa kasus (misalnya, diabetes dan penyakit hati), berkurangnya
activityresult dari mengurangi tingkat apoenzyme berhubungan dengan dia
penyakit. Pada orang lain (misalnya, kanker tertentu), efek TPP ditingkatkan
meskipun intake thiamin yang memadai karena konversi thiamin untuk thiamin
pirofosfat terganggu (Basu dan Dickerson, 1976; Nichols dan Basu, 1994). Pasien
dengan polyneuritis, neuropati uremik, dan gangguan saluran pencernaan juga
memiliki aktivitas transketolase rendah (Kjoser, dan Seim, 1977), meskipun
penyebabnya tidak pasti. Kegiatan transketolase eritrosit juga lebih rendah dalam
obesitas dibandingkan dengan subjek nonobese (Lemoine et al., 1986).
Obat-obatan tertentu seperti 5-fluorouracil dan sitotoksin digunakan dalam
pengobatan kanker, furosemide (diuretik yang digunakan dalam pengobatan gagal
Herta kongestif), dan antasida semua dapat mempengaruhi aktivitas eritrosit
transketolase (Thurnham, 1981).
Dalam-subyek variasi dalam aktivitas transketolase eritrosit dapat menjadi
besar, bahkan pada subyek dengan asupan thiamin tetap (van Dokkum et al.,
1990). Variasi yang besar terjadi karena individu berbeda dalam sensitivitas
mereka terhadap kekurangan thiamin. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam
menafsirkan koefisien aktivitas transketolase antara nilai-nilai indikatif kecukupan
(yaitu, 1,0) dan orang-orang menunjukkan kekurangan thiamin. Oleh karena itu,
korelasi transketolase koefisien aktivitas dan asupan dalam kisaran ini mungkin
buruk (Vir dan Cinta, 1979)
Ketika seseorang menganggap ketidakpastian ini, mungkin tidak
mengherankan bahwa koefisien aktivitas eritrosit transketolase mungkin tidak
berkorelasi secara signifikan dengan intake thiamin. Secara umum, hubungan
tersebut hanya dilaporkan dalam survei dari kelompok populasi diketahui rentan
terhadap kekurangan thiamin, seperti orang tua (Bailey et al, 1995;. Finch et al,
1998.). Korelasi yang signifikan jauh lebih jelas dalam kelompok-kelompok
seperti adolesconts (Gans dan Harper, 1991; Bailey et al., 1994), yang lebih
mungkin untuk memiliki status thiamin yang memadai.
Demikian juga, aktivitas eritrosit transketolase yang abnormal tidak dapat
dikaitkan dengan tanda klinis thiamin neuropati. Sebagai contoh, dalam sebuah
studi perempuan Karen pengungsi di kamp-kamp pengungsi di perbatasan
Thailand utara, gejala seperti paresthesia tidak terkait dengan aktivitas eritrosit
transketolase abnormal pada 30 wk kehamilan atau saat melahirkan (Mc gready et
al., 2001). Incosistencies serupa dilaporkan di kalangan anak-anak sekolah dan
orang dewasa selama epidemi neuropati di Kuba, meskipun di kedua perempuan
pengungsi dan anak-anak sekolah, status thiamin awal berkorelasi dengan hasil
klinis setelah pengobatan (Macias-Matos et al., 1996).
Ada efidence bahwa kekurangan thiamin marjinal dapat assoaciated
dengan berbagai fitur klinis termasuk anoreksia, penurunan berat badan,
kelelahan, gangguan tidur, dan depresi. Smidt et al. (1991) mempelajari pengaruh
suplementasi thiamin pada kedua kesehatan dan kesejahteraan umum dari
populasi Irlandia tua dengan kekurangan thiamin marjinal. Mereka mencatat
bahwa setelah suplementasi dengan thiamin selama 6 minggu, ada perbaikan
signifikan dalam nafsu makan, kelelahan, dan kesejahteraan umum (bagaimana
perasaan mereka) (Tabel 20.2), tetapi tidak dalam tidur, ketegangan, atau
konsentrasi, (data tidak ditampilkan) dalam dilengkapi dibandingkan dengan
kelompok plasebo. Selanjutnya, perubahan efek TPP i kelompok ditambah secara
signifikan berkorelasi dengan perubahan kesejahteraan umum (r = -0,71)
kelelahan ang (r = 0.78), bersama dengan perubahan dalam asupan energi (r =
-0,91), nafsu makan (melalui penilaian asubjective) (r = -0,93), dan berat badan (r
= -0,89). Tidak ada perbedaan di salah satu parameter penilaian klinis antara atau
dalam dua kelompok pada awal dan setelah pengobatan diamati. Kriteria yang
digunakan dalam penelitian ini untuk menunjukkan marginal (TPP 14% -35%)
dan kekurangan (TPP> 35%) Status berbeda dari yang direkomendasikan oleh
IOM (2000), menunjukkan bahwa celana tergantung usia-mungkin diperlukan,
tetapi hal ini membutuhkan lebih investigasi.
Table 1. Keragaman Indeks Thiamin

Indicator Analytical: sampel rentang variabilitas dari


referensi (CV%) 4 mata pelajaran (CV
%)

Tiamin darah 4,8 8,1-11,4


Kegiatantransketolase 7,8 4,3-5,8
eritrosit basal
Menstimulasi aktifitas 5,3 3,1-4,9.
transketolase eritrosit

Tabel 1: Keragaman beberapa indeks thiamin. Angka-angka untuk


variabilitas analisis berasal dari analisis sampel referensi. Angka-angka untuk
dalam subjek selama periode 60-d pada diet konstan. Data dari van Dokkum et al,
European Journal of Clinical Nutrition 44;. 665-674. 1990 @ dengan izin dari
Nature Publishing Group.

2. Eritrosit thiamin dan pengukuran TPP


Untuk mengukur jumlah thiamin, alat tes mikrobiologi menggunakan
L.fermenti dan mempekerjakan piring mikro dapat digunakan (Icke dan Nicol,
1993, 1994). Penggunaan piring mikrotiter mengurangi volume yang dibutuhkan
dan relatif mudah cepat, tepat, sensitif, dan. Sebagai alternatif, jumlah thiamin
dalam eritrosit dapat ditentukan melalui HPLC dengan deteksi UV (Bailey dan
Finglas, 1990). Nilai total thiamin berasal dari metode mikrobiologi,
bagaimanapun, adalah lebih tinggi daripada yang ditentukan dengan
menggunakan HPLC. Yang terakhir ukuran hanya bentuk teroksidasi thiamin-
tiokrom yang berfluoresensi biru - sedangkan metode mikrobiologi mengukur
metabolit thiamin semua biologis aktif (Bui, 1999).
Sebuah metode HPLC milik-fase pasca-kolom derivatisasi dengan
ferricyanide alkali dan deteksi fluoresensi dapat digunakan untuk pengukuran TPP
dalam eritrosit (Talwar et al., 2000). Metode ini sederhana, kuat, dan tepat dengan
koefisien antara-run variasi (CV) dari <8%. Sampel kontrol kualitas dapat dibuat
dari kolam eritrosit dicuci untuk pemeriksaan baik total thiamin dan TPP, dan
disimpan beku pada jumlah thiamin dan TPP, dan disimpan beku pada -70oC di
aliquots kecil.
Konsentrasi eritrosit TPP dikatakan lebih stabil dalam eritrosit beku dan
kurang rentan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, dan uji
yang lebih mudah standar dibandingkan dengan eritrosit aktivitas trans ketolase
(Bagian 20.1.2) (Baines dan Davies, 1988) .
Beberapa peneliti telah menyarankan mengukur TPP dalam darah utuh
daripada eritrosit dicuci karena lebih nyaman (Talwar et al., 2000). Thiamin
pirofosfat stabil selama 48 jam pada suhu kamar; ketika disimpan di -70oC, itu
stabil untuk setidaknya 7 mo. Hal ini juga dapat diukur dengan metode HPLC
yang sama seperti yang digunakan untuk TPP dalam eritrosit. Selain itu, korelasi
kuat antara pengukuran thiamin pirofosfat dalam eritrosit dan darah utuh (r =
0,97) telah dilaporkan (Talwar et al., 2000).
3. Pengukuran thiamin kemih
Metode klasik untuk mengukur thiamin dalam urin adalah prosedur
fluorometricthiochrome. Dalam menthod langsung, thiamin diukur sebelum dan
sesudah penghancuran thiochromefluorscence, dengan penambahan
benzylsulfonyl klorida (Leveille, 1972). Senyawa campur dalam urin dapat
dihilangkan dengan menggunakan resin penukar kation, sebelum konversi thiamin
elusi ke fluorescer yang: derivatif thichrome. Yang terakhir ini kemudian diukur
dengan spektrofluorometer sebuah (ICNND, 1963)
Thiamin kemih juga dapat diukur dengan uji mikrobiologi menggunakan
Lactobacillus viridescens, L.fermenti, atau Ochromonasdanica, beberapa tes
tersebut kini telah otomatis (Icke dan Nicol, 1994). Kromatografi cair kinerja
tinggi (HPLC) teknik telah memiliki penggunaan yang terbatas (Rosser et al,,
1978). Sampel urin untuk analisis thiamin stabil untuk setidaknya 2thn ketika
membeku di -20C
2.11 Jumlah Thiamin dalam darah utuh dan eritrosit
Tingkat total thiamin dalam darah utuh dan eritrosit telah diteliti sebagai
indeks potensi status thiamin. Studi awal menunjukkan bahwa konsentrasi thiamin
seluruh darah yang indeks sensitif status thiamin, hanya penurunan sederhana
yang diamati, bahkan dalam kasus kekurangan klinis (Kawai et al,, 1980). Namun,
dengan metode pengujian HPLC perbaikan yang telah meningkatkan sensitivitas
dan mengurangi variabilitas, pengukuran yang dapat diandalkan dari total
concetrations thiamin dalam eritrosit sekarang mungkin.
Beberapa peneliti telah mencatat korelasi yang signifikan dari konsentrasi
eritrosit thiamin dengan koefisien aktivitas eritrosit transketolase (Warnock et al,,
1978, Baines dan Davis, 1988, Fidanza et al, 1989) namun temuan ini belum
konsisten (Bailey et al,, 1994. Herve et al,, 1995). Perbedaan tersebut mungkin
timbul baik dari variabilitas analitis atau biologis. Tentu saja, variabilitas yang
besar dalam nilai-nilai thiamin eritrosit ada di antara individu-individu, bahkan
ketika mereka mengkonsumsi asupan thiamin yang sama, seperti disebutkan
sebelumnya untuk kegiatan eritrosit transketolase (Van Dokkum et al, 1990).
Perbedaan tersebut dapat terjadi akibat variasi ditandai dalam penggunaan obat,
aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol yang paling penting-, merokok (Fibglas,
1993, Bailey et al,, 1997) dan berat badan (Patrini et al..2004). dalam sebuah studi
dariInggris yang hidup bebas wanita tua, misalnya, korelasi asupan thiamin
dengan eritrosit thiamin hanya menjadi signifikan ketika merokok diperhitungkan
(Bailey et al,, 1997).
Thyamin pirofosfat (TPP) konsentrasi juga dapat diukur dalam eritrosit
atau darah utuh dengan menggunakan HPLC dengan deteksi UV (Talwar et al,,
2000). Pirofosfat Thiamin adalah bentuk utama dari thiamin koenzim dalam
eritrosit. Konsentrasi jatuh al tingkat yang sama seperti pada jaringan lain ketika
penurunan Status thiamin (McCoonick dan Greene.1994).
Dalam sebuah studi dari New Zealend ,eritrosit nilai TPP yang sucsesfully
digunakan untuk menyaring individu dengan defisiensi thiamin subklinis untuk
masuk ke percobaan suplementasi. Dalam penelitian ini, hanya subyek yang
memiliki eritrosit persistenly rendah konsentrasi TPP (yaitu,, <140 nmol / L),
benefied dari thiamin tambahan, dengan peningkatan kualitas tekanan darah hidup
dan lebih rendah dan berat badan. Mereka yang hanya satu terisolasi rendah nilai
pirofosfat eritrosit thiamin sebelum pengacakan tidak manfaat dari pengobatan
(Wilkinson et al,, 1997).

2.12 Absorbsi dan Transpor Tiamina (Vitamin B1)

a. Absorbsi Tiamina (Vitamin B1)


Tiamina dilepaskan melalui oleh aksi dari fosfatase dan pyrofosfatase di
bagian atas usus halus. Pada konsentrasi rendah, proses ini dimediasi oleh
senyawa pembawa (intermediate compound), dan pada konsentrasi tinggi,
penyerapan terjadi melalui difusi pasif . Transfer aktif paling besar terjadi di
dalam jejunum (bagian tengah dari usus kecil) dan ileum (bagian akhir dari usus
kecil), proses ini dapat dapat dihambat oleh konsumsi alkohol dan kekurangan
folat. Penurunan penyerapan tiamina terjadi pada asupan di atas 5 mg / hari. [16]
Sel-sel mukosa pada usus memiliki aktivitas enzim thiamine pyrophosphokinase,
tetapi tidak jelas apakah enzim ini terkait dengan penyerapan aktif. Mayoritas
tiamina ada di dalam usus dalam bentuk ThDP yang terfosforilasi, tapi ketika
tiamina berada pada bagian serosal usus, tiamina cenderung dalam bentuk bebas.
Penyerapan tiamina oleh sel mukosa kemungkinan memiliki cara tambahan untuk
proses fosforilasi atau defosforilasinya. Di sisi serosal usus, bukti menunjukkan
bahwa pelepasan dari vitamin oleh sel tergantung pada enzim Na+-dependent
ATPase.

b. Tiamina (Vitamin B1) Terikat pada Protein di dalam Plasma Darah

Mayoritas tiamina di dalam serum (plasma darah) terikat pada protein,


terutama albumin. Sekitar 90% dari total tiamina pada darah berada di dalam
eritrosit. Sebuah protein pengikat spesifik (specific binding protein) yang disebut
tiamina-binding protein (TBP) telah diidentifikasi pada serum tikus dan diyakini
merupakan hormone-regulated carrier protein yang berperan penting bagi
distribusi tiamina pada jaringan.

c. Penyerapan Seluler Tiamina (Vitamin B1)

Penyerapan tiamina oleh sel-sel darah dan jaringan lain terjadi melalui
transfer aktif dan difusi pasif. Otak membutuhkan tiamina pada jumlah yang jauh
lebih besar dibandingkan dengan sel tubuh lainnya. Banyak tiamina yang tertelan
tidak pernah mencapai otak karena adanya difusi pasif dan penghalang darah di
otak (blood brain barrier).Sekitar 80% dari tiamina intraseluler terfosforilasi dan
sebagian terikat dengan protein.Pada beberapa jaringan, penyerapan tiamina dan
sekresi tampaknya dimediasi oleh transporter yang larut dalam tiamina, dimana
transporter ini tergantung pada Na+ dan gradien proton transeluler.

d. Distribusi Tiamina (Vitamin B1) pada Jaringan

Penyimpanan tiamina pada manusia berjumlah sekitar 25 sampai 30 mg,


dengan konsentrasi terbesar berada pada otot rangka, jantung, otak, hati, dan
ginjal. ThMP dan tiamina bebas (unbelum terfosforilasi) hadir di dalam plasma,
susu, cairan serebrospinal, dan diduga, pada semua cairan ekstraseluler. Berbeda
dengan bentuk-bentuk tiamina yang terfosforilasi, ThMP dan tiamina bebas
mampu melintasi membran sel. Kandungan tiamina pada jaringan manusia lebih
sedikit bila dibandingkan dengan organisme lainnya.

e. Ekskresi Tiamina (Vitamin B1)

Tiamina dan metabolit asamnya (asam 2-metil-4-amino-5-pirimidin


karboksilat, asam 4-metil-tiazol-5-asetat, dan tiamina asam asetat) diekskresikan
melalui urin.

Anda mungkin juga menyukai