Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit periodontal merupakan penyakit peradangan pada jaringan sekitar

gigi yang berawal dari inflamasi gingiva dan berlanjut ke kerusakan struktur

jaringan penyangga gigi lainnya, seperti sementum, jaringan periodontal, dan

tulang alveolar.1 Penyebab utama penyakit periodontal yaitu plak bakteri dan

kalkulus yang terakumulasi pada permukaan gigi.2,3 Penyakit periodontal

merupakan salah satu penyakit gigi dan mulut yang sering dialami masyarakat

Indonesia.4

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi

masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia sebesar 25,9%, 5 sementara itu

Riskesdas tahun 2018 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi menjadi

57,6%.6 Penyakit periodontal memiliki prevalensi cukup tinggi, banyak diderita

oleh hampir seluruh manusia di dunia dan mencapai 50% dari jumlah populasi

dewasa.7 Penyakit periodontal yang paling sering dijumpai yakni peradangan

gingiva atau gingivitis.

Gingivitis merupakan reaksi inflamasi dari gingiva yang ditandai dengan

perubahan warna, perdarahan, adanya pembengkakan, dan lesi pada gingiva.

Gingivitis sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Gingivitis pada anak

atau puberty gingivitis terjadi karena adanya peningkatan hormon endokrin yang

1
biasa terjadi pada anak di bawah usia 17 tahun atau selama masa remaja. 8

Sedangkan gingivitis pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh akumulasi

biofilm pada plak di sekitar margin gingiva dan respon peradangan terhadap

bakteri. Plak yang tidak dibersihkan dari lapisan luar gigi akan menjadi tempat

berkumpulnya bakteri. Bakteri tersebut akan mengeluarkan zat yang bersifat asam

dan dapat merusak gingiva, di samping itu bakteri mendukung perubahan plak

yang tidak dibersihkan sehingga akan menjadi karang gigi atau kalkulus.9

Tindakan untuk menghilangkan deposit bakteri dan kalkulus yang

menyebabkan gingivitis salah satunya ialah tindakan skeling. Tindakan skeling

yang dikombinasikan dengan selalu memperhatikan kebersihan gigi dan mulut

pasien, merupakan bentuk perawatan dasar yang efektif dalam merawat gingivitis

yang diinduksi oleh plak dan kalkulus. Diharapkan pasca tindakan skeling akan

terjadi proses penyembuhan berupa hilangnya peradangan dalam jaringan ikat

gingiva. 7,10

Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Sam Ratulangi (RSGM Unsrat)

merupakan satu-satunya rumah sakit gigi dan mulut yang ada di kota Manado

yang terletak di Jl. Dr. Sutomo nomor 3, kelurahan pinaesaan, kecamatan wenang.

Rumah sakit tersebut terdiri atas empat lantai dan memiliki beberapa pelayanan

kesehatan gigi dan mulut, salah satunya yaitu tindakan skeling. Rata-rata jumlah

kunjungan skeling perbulan pada tahun 2018 berjumlah 32 orang. Berdasarkan

uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

efektivitas skeling terhadap gingivitis di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas

Sam Ratulangi Manado.

2
B. Rumusan Masalah

Bagaimana efektivitas skeling terhadap gingivitis di Rumah Sakit Gigi dan

Mulut Unsrat Manado?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui efektivitas skeling terhadap gingivitis di Rumah Sakit

Gigi dan Mulut Unsrat Manado.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai efektivitas skeling

terhadap gingivitis.

2. Bagi institusi

Memberikan informasi kepada praktisi kesehatan sebagai salah satu

pertimbangan dalam menyusun upaya promotif dan preventif.

3. Bagi peneliti

Menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman saat melaksanakan

penelitian mengenai efektivitas skeling terhadap gingivitis.

E. Hipotesis

H0 : Tidak terdapat efektivitas skeling terhadap gingivitis di RSGM Unsrat

Manado.

Ha : Terdapat efektivitas skeling terhadap gingivitis di RSGM Unsrat Manado.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gingiva

1. Pengertian gingiva

Gingiva atau gusi adalah bagian mukosa di dalam rongga mulut yang

mengelilingi gigi dan menutupi linggir alveolar. Gingiva merupakan bagian dari

jaringan pendukung gigi, periodonsium, dan membentuk hubungan dengan gigi.

Gingiva berfungsi melindungi jaringan di bawah perlekatan gigi terhadap

pengaruh lingkungan rongga mulut. Secara klinis gingiva dapat terlihat di dalam

rongga mulut, sedangkan struktur periodonsium lainnya yaitu ligament

periodontal, tulang alveolar, dan sementum tidak terlihat. Gingiva terbagi atas tiga

bagian yaitu gingiva bebas, gingiva cekat, dan gingiva interdental.11

Gambar 1. Anatomi gingiva. 11

2. Gambaran klinis gingiva sehat

4
Beberapa istilah yang dipakai untuk menggambarkan jaringan gingiva

sehat penting untuk diketahui. Konsep yang jelas mengenai gambaran klinis

gingiva yang sehat akan memungkinkan seseorang untuk mengenali kondisi

tidak normal pada pemeriksaan gingiva. Gambaran klinis gingiva yang

normal terdiri dari:

a. Warna gingiva

Warna gingiva normal umumnya berwarna merah jambu (coral

pink) yang diakibatkan oleh adanya suplai darah dan derajat lapisan

keratin epitelium serta sel-sel pigmen. Warna ini bervariasi pada setiap

orang dan erat hubungannya dengan pigmentasi kutaneous. Pigmentasi

pada gingiva biasanya terjadi pada individu yang memiliki warna kulit

gelap. Pigmentasi pada attached gingiva mulai dari coklat sampai

hitam. Warna pada alveolar mukosa alveolar tidak mempunyai lapisan

keratin dan epitelnya tipis. 11

b. Ukuran gingiva

Ukuran gingiva ditentukan oleh jumlah elemen seluler, interseluler,

dan suplai darah. Perubahan ukuran gingiva merupakan gambaran yang

paling sering dijumpai pada penyakit periodontal. 11

c. Kontur gingiva

Kontur dan ukuran gingiva sangat bervariasi. Keadaan ini

dipengaruhi oleh bentuk dan susunan gigi geligi pada lengkungnya,

lokalisasi dan luas area kontak proksimal, dan dimensi embrasur

5
(interdental) gingiva oral maupun vestibular. Interdental papil menutupi

bagian interdental gingiva sehingga tampak lancip. 11

d. Konsistensi gingiva

Gingiva melekat erat ke struktur di bawahnya dan tidak

mempunyai lapisan submukosa sehingga gingiva tidak dapat

digerakkan dan kenyal. Konsistensi gingiva normal adalah kaku dan

tegas.11

e. Tekstur gingiva

Permukaan attached gingiva berbintik-bintik seperti kulit jeruk.

Bintik-bintik ini biasanya disebut stippling. Stippling akan terlihat jelas

apabila permukaan gingiva dikeringkan. 11

Gambar 2. Keadaan gingiva yang sehat. 11

B. Gingivitis

1. Pengertian gingivitis

Gingivitis adalah sebuah reaksi inflamasi dari gingiva yang disebabkan

oleh akumulasi biofilm pada plak di sepanjang gingiva margin dan respon

host inflamasi terhadap produk bakteri. Gejala klinis gingivitis ditandai

dengan perubahan warna, perdarahan, adanya pembengkakan, dan lesi pada

6
gingiva (Gambar 3). Gingivitis apabila dibiarkan dapat berlanjut menjadi

periodontitis.9

Gambar 3. A. Perubahan warna gingiva. B. Perdarahan gingiva.


C. Pembengkakan gingiva. D. Lesi pada gingiva.11

2. Karakteristik gingivitis

a. Perubahan warna gingiva

Tanda klinis dari peradangan gingiva ialah perubahan warna.

Warna gingiva ditentukan oleh beberapa faktor termasuk jumlah dan

ukuran pembuluh darah, ketebalan epitel, keratinisasi, dan pigmen di

dalam epitel. Gingiva menjadi merah ketika vaskularisasi meningkat

atau derajat keratinisasi epitel mengalami reduksi atau menghilang.

Warna merah atau merah kebiruan akibat proliferasi dan keratinisasi

disebabkan adanya peradangan gingiva kronis. Perubahan warna

gingiva akan memberikan kontribusi pada proses peradangan.11

b. Perubahan konsistensi

Kondisi kronis maupun akut dapat menghasilkan perubahan pada

konsistensi gingiva normal yang kaku dan tegas. Pada kondisi gingivitis

kronis terjadi perubahan destruktif atau edema dan reparatif atau fibrous

7
secara bersamaan serta konsistensi gingiva ditentukan berdasarkan

kondisi yang dominan.11

c. Perubahan klinis histopatologis

Gingivitis menyebabkan perdarahan gingiva akibat vasodilatasi,

pelebaran kapiler, dan penipisan atau ulserasi epitel. Kondisi tersebut

disebabkan karena kapiler melebar sehingga menjadi lebih dekat ke

permukaan dan menipis akibatnya epitelium kurang protektif sehingga

menyebabkan ruptur pada kapiler dan perdarahan gingiva.11

d. Perubahan tekstur jaringan gingiva

Tekstur permukaan gingiva normal seperti kulit jeruk yang biasa

disebut sebagai stippling. Stippling terdapat pada daerah subpapila dan

terbatas pada attached gingiva secara dominan, tetapi meluas sampai ke

papila interdental. Tekstur permukaan gingiva ketika terjadi peradangan

kronis ialah halus, mengkilap, dan kaku yang dihasilkan oleh atropi

epitel tergantung pada perubahan eksudatif atau fibrotik.11

e. Perubahan posisi gingiva

Lesi pada gingiva merupakan salah satu gambaran pada gingivitis.

Lesi yang paling umum pada mulut merupakan lesi traumatik seperti

lesi akibat kimia, fisik, dan termal. Lesi akibat kimia termasuk karena

aspirin, hidrogen peroksida, perak nitrat, fenol, dan bahan endodontik.

Lesi karena fisik termasuk tergigit, tindik pada lidah, dan cara

menggosok gigi yang salah yang dapat menyebabkan resesi gingiva.

Lesi karena termal dapat berasal dari makanan dan minuman yang

8
panas. Gambaran umum pada kasus gingivitis akut ialah epitelium yang

nekrotik, erosi atau ulserasi, dan eritema, sedangkan pada kasus

gingivitis kronis terjadi dalam bentuk resesi gingiva.11

f. Perubahan kontur gingiva

Perubahan kontur gingiva berhubungan dengan peradangan gingiva

atau gingivitis tetapi perubahan tersebut dapat juga terjadi pada kondisi

yang lain. Peradangan gingiva terjadi resesi ke apikal menyebabkan

celah menjadi lebih lebar dan meluas ke permukaan akar. Penebalan

pada gingiva yang diamati pada gigi kaninus ketika resesi telah

mencapai mucogingiva junction disebut sebagai istilah McCall

festoon.11

3. Etiologi gingivitis

Ada dua faktor penyebab terjadinya gingivitis atau inflamasi gingiva,

yaitu faktor sistemik dan faktor lokal. Faktor sistemik berupa perubahan

kadar hormon, merokok, dan obat-obatan. Faktor lokal berupa kebersihan

gigi dan mulut, trauma jaringan lunak, pernapasan melalui mulut, dan

pemakaian alat ortodonti.11

a. Faktor sistemik

Gingivitis yang dipengaruhi oleh faktor sistemik, termasuk di sini

ialah gingivitis terkait pubertas. Gingivitis yang berkaitan dengan siklus

menstruasi, kehamilan, granuloma piogenikum, diabetes melitus, serta

gingivitis terkait kelainan darah seperti leukemia. Perubahan level

hormon yang terjadi selama pubertas atau usia dewasa muda akan

9
mempengaruhi jaringan gingiva yang mengubah respon terhadapjjj

produk plak. Pada usia ini terjadi peningkatan hormon sehingga

sensitivitas gingiva mengalami reaksi yang lebih besar terhadap

berbagai iritan sehingga dapat menyebabkan gingivitis. Begitu pula

obat antikonvulsan (phenytoin, dilatin, DPH) yang digunakan atau yang

terinduksi dan penggunaan obat kontrasepsi oral dapat menyebabkan

hiperplasia gingiva yang hampir menutupi seluruh mahkota gigi

sehingga memudahkan terbentuknya plak dan terjadinya gingivitis.

Stres juga berhubungan dengan kebersihan mulut yang buruk,

peningkatan sekresi glukokortikoid, dan lebih berpotensi terkena

penyakit periodontal.13

Selain itu, pembakaran rokok dapat mempengaruhi respon

inflamasi gingiva. Tar yang terkandung dalam asap rokok mengendap

pada permukaan gigi dan menyebabkan permukaan gigi menjadi kasar,

sehingga mudah dilekati plak. Akumulasi plak pada tepi margin gingiva

diperparah dengan kebersihan mulut yang kurang baik, sehingga dapat

menyebabkan terjadinya inflamasi pada gingiva.14

b. Faktor lokal

Kebersihan mulut yang buruk merupakan penyebab utama

terjadinya gingivitis karena adanya penumpukan bakteri plak. Salah

satu faktor yang memudahkan terjadinya penumpukan plak yaitu

adanya kalkulus. Gingivitis ini terjadi akibat infeksi ringan yang

disebabkan oleh adanya plak yang tidak tersikat, yang berkaitan dengan

10
perubahan flora gram positif aerob ke gram negatif anaerob. Keadaan

ini mengakibatkan perubahan peradangan pada gingiva.12 Trauma

jaringan lunak dapat disebabkan oleh penggunaan sikat gigi yang tidak

benar. Penyikatan secara lateral dapat menyebabkan luka pada

permukaan interdental papila dan juga dapat menyebabkan resesi

gingiva di sekitar akar gigi. Penyikatan arah vertikal juga dapat

menyebabkan luka pada free attached gingiva.15

4. Penilaian gingivitis

Penilaian status gingiva dapat dilakukan dengan menggunakan

modified gingiva index (MGI) menurut Lobene dkk (1986). MGI

mempunyai dua perbedaan dengan gingiva indeks (GI) dari Loe dan Sillness

(1967), yaitu untuk menghilangkan probing gingiva dalam memeriksa ada

atau tidaknya perdarahan dan terdapat definisi ulang sistem penilaian

peradangan gingivitis ringan sampai parah. Perancang MGI memutuskan

untuk menghilangkan probing karena dapat mengganggu plak dan

mengiritasi gingiva. MGI merupakan sebuah indeks yang bersifat

noninvasif, dapat diaplikasikan untuk pemeriksaan yang berulang.11

Tabel 1. Kriteria gingiva untuk modifikasi gingiva indeks


Skor Keadaan gingiva
0 Tidak ada inflamasi
1 Inflamasi ringan 1: sedikit perubahan warna dan sedikit
perubahan tekstur pada seluruh permukaan, tetapi tidak
mencakup bagian marginal atau papila gingiva
2 Inflamasi ringan 2: sedikit perubahan warna dan tekstur yang
meliputi semua permukaan, termasuk bagian marginal atau
papila gingiva
3 Inflamasi sedang: permukaan mengkilat, kemerahan, edema,
dan atau hipertrofi pada marginal atau papila gingiva

11
4 Inflamasi parah: tanda kemerahan, edema, dan atau hipertrofi
pada marginal atau papila gingiva; perdarahan spontan, ulserasi

Hasil penilaian MGI dikriteriakan sebagai:

Tabel 2. Indeks gingiva


Skor Kriteria

0,1 – 1,0 Gingivitis ringan


1,1 – 2,0 Gingivitis sedang
2,1 – 3,0 Gingivitis parah

C. Skeling

1. Pengertian skeling

Skeling merupakan proses pembuangan plak dan kalkulus dari

permukaan gigi supragingiva dan subgingiva. Tujuan utama skeling untuk

memulihkan kesehatan gingiva dengan menghilangkan plak dan kalkulus

yang memicu peradangan gingiva.11

2. Jenis-jenis skeling

a. Skeling manual

Skeling ini dapat dilakukan dengan instrumen tangan. Alternatifnya

skeling manual ialah prosedur campuran yang menggabungkan

penggunaan instrumen tangan dengan kekuatan skeling yang

digunakan. Pertimbangan dalam pemilihan metode ini meliputi efisien,

keamanan, kenyamanan, dan ekonomi dari pasien. Penggunaan skeling

manual membutuhkan kehati-hatian untuk mencapai hasil yang

memuaskan serta membutuhkan waktu dalam melakukan skeling.16

b. Skeling ultrasonik

12
Skeler ultrasonik merupakan alat skeling yang lebih mudah untuk

menghilangkan kalkulus pada permukaan gigi dibanding dengan

skeling manual. Alat ini mempunyai ujung yang dapat bergetar

sehingga dapat melepaskan kalkulus dari permukaan gigi. Alat ini dapat

mengeluarkan air sehingga daerah perawatan menjadi lebih bersih

karena permukaan gigi langsung dicuci dengan air yang keluar dari alat

ini.17

Gerakan alat sama dengan gerakan skeler manual tetapi tidak

boleh ada gerakan mengungkit. Ujung skeler hanya digunakan untuk

memecah kalkulus yang besar dengan cara ditempelkan pada

permukaan kalkulus dengan tekanan ringan sampai kalkulus terlepas.

Selanjutnya untuk menghaluskan permukaan gigi dari sisa kalkulus,

maka tepi blade skeler ultrasonik ditempelkan pada permukaan gigi

kemudian digerakkan dalam arah lateral (vertikal, horizontal, dan oblik)

ke seluruh permukaan sampai diperkirakan halus. Pada skeling

ultrasonik perlu keterampilan khusus dalam melakukannya, karena alat

ini dijalankan dengan mesin yang kadang sulit dikontrol gerakannya.17

Skeler ultrasonik memiliki sebuah water lavage yang memiliki

tiga manfaat terhadap daerah yang dilakukan skeling yaitu :18

i. Flushing action

Membilas kalkulus, darah, bakteri, dan plak pada daerah yang

dilakukan skeling.

ii. Cavitation

13
Cavitation merupakan tempat keluarnya air dari ujung skeler yang

membentuk sebuah semprotan bergelembung kecil yang

menghasilkan gelombang getar.

iii. Acoustic streaming

Aliran air yang terus-menerus menghasilkan tekanan yang sangat

besar di dalam ruang yang terbatas pada poket periondontal. Efek

ini disebut dengan acoustic streaming. Bakteri batang gram

negatif sensitif terhadap acoustic streaming.

3. Teknik skeling

a. Teknik skeling kalkulus supragingiva

Kalkulus supragingiva tidak sekeras kalkulus subgingiva.

Keuntungan lainnya ialah pada kalkulus subgingiva tidak dibatasi oleh

jaringan yang mengelilinginya. Hal ini merupakan kemudahan dalam

aplikasi dan penggunaan alat. Sickle lebih umum digunakan untuk

skeling supragingiva, sedangkan hoe dan chisel lebih jarang

digunakan.17

Tata cara skeling supragingiva diawali dengan penempatan alat

pada apikal dari kalkulus supragingiva, membentuk sudut 450-900

terhadap area permukaan gigi yang akan dibersihkan. Dengan gerakan

yang kuat dan dalam jarak pendek arah vertikal (koronal), horizontal,

maupun oblik mendorong maupun mengungkit kalkulus sampai terlepas

dari gigi. Skeling dilakukan sampai permukaan gigi terbebas dari

kalkulus baik secara visual maupun perabaan dengan bantuan alat

14
(misalnya: sonde). Skeling dikatakan bersih jika tidak ada kalkulus

pada permukaan gigi dan permukaan gigi tidak ada yang kasar. Alat

dengan ujung yang tajam (sickle) hendaknya digunakan secara hati-hati

karena lebih mudah melukai jaringan lunak di bawahnya.17

b. Teknik skeling dan root planning subgingiva

Skeling subgingiva jauh lebih kompleks dan rumit dibandingkan

skeling supragingiva. Kalkulus subgingiva umumnya lebih keras dari

pada supragingiva, selain itu kalkulus subgingiva kadang melekat pada

permukaan akar yang sulit dijangkau (misalnya daerah bifurkasi).

Jaringan lunak yang membatasi kalkulus subgingiva juga merupakan

masalah, karena pandangan operator menjadi terhalang, terutama jika

saat tindakan skeling, darah yang keluar cukup banyak maka pandangan

menjadi semakin tidak jelas. Oleh karena itu operator dituntut

menggunakan kepekaan perasaan dengan bantuan skeler untuk

mengetahui keberadaan dan posisi kalkulus subgingiva.17

Pada skeling subgingiva, arah, dan keleluasaan menjadi sangat

terbatas dengan adanya dinding poket yang mengelilinginya. Oleh

karena itu untuk mencegah trauma dan kerusakan jaringan yang lebih

besar, maka alat skeler harus diaplikasikan dan digunakan secara hati-

hati serta yang lebih penting lagi ialah pemilihan alat dengan

penampang yang tipis agar mudah masuk ke dalam subgingiva. Selain

itu operator dituntut untuk menguasai morfologi gigi pergigi dengan

berbagai kemungkinan variasinya. Hal ini penting untuk membedakan

15
antara adanya kalkulus atau karena adanya bentukan yang variatif dari

permukaan akar.17

Daerah lain yang sulit dijangkau adalah kalkulus di bawah titik

kontak antara dua gigi, yaitu daerah batas sementum dan enamel

(cemento-enamel junction / CEJ) karena pada daerah ini terdapat

cekungan yang lebih dalam dibanding CEJ pada permukaan fasial

maupun lingual/palatal. Kalkulus pada daerah ini umumnya melekat

erat pada cekungan, sehingga diperlukan berbagai variasi gerakan

skeler secara vertikal, oblik, maupun horizontal agar kalkulus dapat

terlepas.17

Tata cara skeling kalkulus subgingiva mirip dengan skeling

kalkulus supragingiva, hanya ada batasan-batasan tertentu seperti yang

tersebut di atas. Skeling subgingiva diawali dengan penempatan skeler

sedapat mungkin pada apikal dari kalkulus subgingiva, membentuk

sudut 450-900 terhadap area permukaan gigi yang akan dibersihkan. 17

c. Pemolesan

Agar permukaan gigi menjadi halus licin dan mengkilat, maka

tindakan akhir yang merupakan rangkaian skeling dan root planing

ialah pemolesan. Pada tahap awal pemolesan disarankan untuk

memoles gigi dengan bantuan brush yang dijalankan dengan bur

dengan diberi pasta gigi untuk menghilangkan sisa-sisa jaringan

nekrotik. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari mudahnya

16
perlekatan kembali plak dan kalkulus dalam waktu yang singkat jika

permukaan gigi kasar.16

4. Faktor-faktor yang terkait efektivitas perawatan skeling

a. Asesibilitas

Faktor ini mentukan efektivitas perawatan, yang berhubungan

dengan posisi operator. Hal ini penting karena berkaitan pula dengan

kenyamanan dan ketahanan fisik operator selama perawatan. Skeling

merupakan tindakan perawatan yang dilakukan pada seluruh gigi,

sehingga membutuhkan waktu dan energi yang cukup, oleh karena itu

perlu dipertimbangkan faktor kenyamanan posisi.18

i. Posisi operator

Operator harus dalam posisi lengan sejajar dengan lantai, harus

seimbang, paha sejajar dengan lantai, sudut pinggul 900, dan

ketinggian kursi operator diposisikan cukup rendah sehingga tumit

kaki operator menyentuh lantai. Hindari memposisikan kaki di

bawah sandaran kursi pasien. Punggung lurus dan kepala tegak.18

ii. Posisi pasien

Posisi kepala pasien harus lebih tinggi dari sandaran kepalanya.

Untuk skeling daerah mandibula dagu ditundukkan, sedangkan

untuk skeling daerah maksila dagu diangkat. Sandaran kepala harus

disesuaikan, dapat dinaikkan, dan diturunkan.18

b. Visibilitas, iluminasi, retraksi

17
Pandangan langsung dibantu dengan penerangan yang terang

diperlukan. Jika pandangan tidak bisa secara langsung tertuju pada area

perawatan (misalnya distal gigi molar), maka pandangan dapat dibantu

dengan kaca mulut. Kaca mulut dalam hal ini juga berfungsi sebagai

retraktor lidah sehingga operator dapat mencapai area perawatan tanpa

adanya halangan.17

c. Kondisi alat

Sebelum digunakan, hendaknya alat dalam keadaan baik, bersih,

dan steril. Bagian cutting edge seharusnya tajam agar memudahkan

pengambilan kalkulus. Keuntungan dari alat yg tajam dapat

memudahkan pembersihan kalkulus. Alat yang tumpul cenderung tidak

dapat memberikan hasil yang baik, karena kalkulus tidak terambil

secara menyeluruh serta kepekaan operator terhadap adanya kalkulus

dengan bantuan alat yang tumpul menjadi tidak optimal.17

d. Stabilisasi alat

Stabilitas alat diperlukan agar penggunaan alat dapat dikendalikan

dengan baik oleh operator, sehingga tergelincirnya alat (cutting edge)

dari permukaan gigi dapat dicegah. Selain itu juga mencegah injuri

pada tangan operator.18

Stabilisasi alat terdiri dari :

i. Cara memegang alat

Cara memegang alat menentukan efektivitas perawatan karena

berhubungan dengan ketepatan kontrol pergerakan alat selama

18
skeling dan root planing. Ada tiga cara memegang alat, yaitu:

modified pen grasp, standard pen grasp, dan palm and thumb

grasp. Modified pen grasp merupakan metode yang paling efektif

dan stabil untuk skeling. Cara memegang modified pen grasp

seperti memegang pulpen dan memungkinkan kontrol yang tepat

saat skeling.18

ii. Tumpuan jari

Tumpuan digunakan untuk mencegah adanya pergerakan alat yang

tidak terkontrol. Dengan tumpuan, akan mencegah kerusakan

jaringan dan injuri pada tangan operator. Tumpuan umumnya

diperankan oleh jari manis. Tumpuan dengan jari tengah tidak

disarankan karena jari tengah kurang peka untuk mendeteksi

adanya kalkulus pada permukaan gigi. Selama berfungsi sebagai

tumpuan, jari manis seharusnya secara keseluruhan menempel pada

jari tengah, karena jika tidak maka operator akan kehilangan

kekuatan selama skeling dan gerakan menjadi tidak terkontrol.18

D. Efektivitas Skeling pada Gingivitis

Gingivitis adalah penyakit periodontal yang diakibatkan oleh

penumpukan koloni bakteri plak berupa Streptococcus mutans,

Streptococcus sanguis, jenis Actinomyces, dan Spirochaeta yang terdapat di

permukaan gigi seseorang. Koloni Streptococcus meliputi 50% dari populasi

bakteri plak. Bakteri plak akan menyebar dan berkembang, kemudian toksin

yang dihasilkan bakteri akan mengiritasi gingiva sehingga merusak jaringan

19
pendukungnya. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan warna gingiva

menjadi lebih merah dari normal, gingiva membengkak, permukaan

mengkilat, berubah konturnya, dan gingiva menjadi lebih mudah berdarah.19

Skeling merupakan tindakan perawatan untuk menghilangkan plak

bakteri supragingiva dan subgingiva. Tindakan skeling dapat

mengembalikan komposisi bakteri menjadi komposisi mikroflora

subgingiva yang normal serupa dengan periodontal sehat. Penyembuhan

yang sempurna tidak akan tercapai jika masih terdapat bakteri yang terus

menyebabkan respon inflamasi. Tindakan skeling baik manual maupun

ultrasonik yang dikombinasi dengan kontrol plak yang efisien merupakan

bentuk perawatan dasar yang efektif dalam merawat penyakit periodontal,

khususnya gingivitis.10

E. Kerangka Teori

Pernafasan
melalui mulut Skeling

Trauma
jaringan
Faktor lokal lunak

Kebersihan
mulut Gingivitis
(kalkulus)

Pemakaian
alat
orthodontik

Merokok

Obat-obatan

20
Faktor
sistemik
Perubahan
hormon

Gambar 4. Kerangka teori

Keterangan: : Variabel yang diteliti


:Variabel yang tidak diteliti

F. Kerangka Konsep

Skeling Gingivitis

Gambar 5. Kerangka konsep

21
BAB 3

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental dengan

pendekatan one grup pre and post test design.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2019 di Bagian Periodonsia Rumah

Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Universitas Sam Ratulangi Manado.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi penelitian yang diambil yaitu pasien penderita gingivitis yang

melakukan perawatan skeling pada bulan Mei 2019 di bagian Periodonsia

22
RSGM Unsrat berjumlah 32 orang yang dihitung dari rata-rata jumlah

kunjungan pada tiga bulan terakhir.

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan purposive

sampling method dengan menggunakan rumus Slovin yang memenuhi

kriteria inklusi.

N 32 32
2 2
n = N.d + 1 = 32(0,05) + 1 = 1,08 = 29,6 = 30
Keterangan:
n : jumlah sampel

N : jumlah populasi

d : margin kesalahan 0,05

a. Kriteria inklusi

i. Pasien penderita gingivitis disebabkan oleh plak yang berusia 17-

45 tahun dan melakukan tindakan skeling

ii. Pasien tidak menderita penyakit sistemik

iii. Bersifat kooperatif selama penelitian

b. Kriteria eksklusi

i. Tidak menyetujui persetujuan penelitian (informed consent)

ii. Pasien merokok

iii. Pasien mengkonsumsi obat-obatan

iv. Pasien yang sedang hamil

v. Pernafasan melalui mulut.

D. Variabel Penelitian

23
1. Variabel Dependen : Gingivitis sebelum skeling

2. Variabel Independen : Gingivitis pasca skeling

E. Definisi Operasional

1. Gingivitis sebelum skeling yang dimaksud merupakan gingivitis yang sudah

didiagnosa oleh operator. Penilaian gingivitis menggunakan modified

gingiva index (MGI). Pemeriksaan dilakukan pada gigi 16 sisi bukal, 11 sisi

labial, 26 sisi bukal, 36 sisi lingual, 31 sisi labial, dan 46 sisi lingual.

Apabila salah satu gigi yang diperiksa sudah tanggal, maka diganti dengan

gigi yang di sebelah mesialnya. Selanjutnya dijumlahkan dan dibagi

jumlah indeks gigi yang diambil dikali jumlah permukaan yang

diperiksa akan didapat skor indeks gingiva seseorang. Jumlah skor semua

gigi yang diperiksa dibagi dengan jumlah gigi yang diperiksa maka

diperoleh skor MGI.

2. Gingivitis pasca skeling yang dimaksud pada penelitian ini yaitu gingivitis

yang dilihat kembali pasca dua hari tindakan skeling. Penilaian gingivitis

menggunakan MGI. Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan prosedur

pemeriksaan gingivitis sebelum skeling. Jumlah skor semua gigi yang

diperiksa dibagi dengan jumlah gigi yang diperiksa maka diperoleh skor

MGI.

Tabel 1. Kriteria gingiva untuk modifikasi gingiva indeks11


Skor Keadaan gingiva
0 Tidak ada inflamasi
1 Inflamasi ringan 1: sedikit perubahan warna dan sedikit
perubahan tekstur pada seluruh permukaan, tetapi tidak

24
mencakup bagian marginal atau papila gingiva
2 Inflamasi ringan 2: sedikit perubahan warna dan tekstur yang
meliputi semua permukaan, termasuk bagian marginal atau
papila gingiva
3 Inflamasi sedang: permukaan mengkilat, kemerahan, edema,
dan atau hipertrofi pada marginal atau papila gingiva
4 Inflamasi parah: tanda kemerahan, edema, dan atau hipertrofi
pada marginal atau papila gingiva; perdarahan spontan, ulserasi

Kemudian hasil penilaian MGI dikriteriakan sebagai berikut.

Tabel 2. Indeks gingiva11


Skor Kriteria
0,1 – 1,0 Gingivitis ringan
1,1 – 2,0 Gingivitis sedang
2,1 – 3,0 Gingivitis parah
F. Instrumen Penelitian, Alat, dan Bahan

1. Instrumen penelitian

a. Lembar pemeriksaan gingivitis

b. Lembar persetujuan (informed consent)

2. Alat dan bahan

a. Masker

b. Sarung tangan medis

c. Kaca mulut

d. Nierbeken

e. Alat tulis menulis berupa pulpen dan pensil

f. Kamera handphone.

G. Teknik Pengambilan Data

1. Pertimbangan etik

25
Penelitian ini diawali dengan mengajukan izin kepada Direktur RSGM

Unsrat untuk melakukan penelitian di RSGM Unsrat yang menjadi lokasi

penelitian. Sebelum melakukan penelitian, peneliti memberikan informed

consent kepada calon reponden yang akan dijadikan subjek penelitian.

2. Pengumpulan data

Data primer dilakukan dengan pemeriksaan langsung terhadap sampel

penelitian. Data primer yang dimaksud yaitu pemeriksaan gingivitis pada

sampel. Data sekunder dalam penelitian ini didapat dari jumlah kunjungan

pasien perbulan di bagian periodonsia.

3. Prosedur penelitian

a. Responden menyetujui untuk menjadi subjek penelitian dan mengisi

informed consent.

b. Sebelum tindakan skeling, peneliti melakukan pemeriksaan pada

gingiva sampel dengan menggunakan MGI.

c. Dua hari pasca skeling, peneliti melakukan kembali pemeriksaan pada

gingiva sampel dengan menggunakan MGI untuk melihat kondisi

gingivitisnya membaik atau tidak.

H. Pengolahan Data dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

a. Editing dilakukan untuk memeriksa kembali kelengkapan data yang

telah diperoleh.

26
b. Coding dilakukan untuk mengklasifikasikan hasil penelitian yang

diperoleh melalui pemberian kode, dengan demikian lebih mudah untuk

mengolah data yang diperoleh.

c. Data entry dilakukan untuk memasukkan data-data hasil penelitian

yang terkumpul ke dalam tabel sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

2. Analisis data

Data yang telah diperoleh pada penelitian ini, kemudian dilakukan analisis

untuk mengetahui efektivitas skeling terhadap gingivitis di Rumah Sakit

Gigi dan Mulut Universitas Sam Ratulangi Manado dengan menggunakan

program aplikasi komputer.

a. Analisis univariat, digunakan untuk memperoleh gambaran pada

masing-masing variabel dan akan disajikan dalam bentuk tabel.

b. Analisis bivariat, digunakan untuk mengetahui pengaruh antara variabel

dependen dan variabel independen. Untuk mengetahui ada tidaknya

pengaruh tersebut, dilakukan uji statistik paired sample t-test dengan

menggunakan derajat kepercayaan 95% (α = 0,05%). Pada penelitian

ini akan digunakan program aplikasi komputer, yang nantinya akan

diperoleh nilai ρ. Nilai ρ akan dibandingkan dengan nilai α, dengan

ketentuan sebagai berikut:

i. Jika nilai ρ < α (ρ < 0,05), maka hipotesis H0 ditolak.

ii. Jika nilai ρ > α (ρ > 0,05), maka hipotesis H0 diterima.

27
I. Alur Penelitian

Populasi penelitian:
Pasien gingivitis yang melakukan tindakan skeling

Sampling frame:
Kriteria inklusi dan kriteria eksklusi

Besar sampel sesuai kriteria inklusi

Pengisian persetujuan penelitian

Pemeriksaan gingivitis sebelum skeling

Pemeriksaan gingivitis pasca skeling

Hasil pemeriksaan

Pengolahan28
dan analisis data
Kesimpulan

Gambar 6. Alur penelitian

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Profil lokasi penelitian

Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas

Sam Ratulangi (RSGM Unsrat) berlokasi di pusat kota Manado Jl. Dr.

Sutomo nomor 3, kelurahan Pinaesaan, kecamatan Wenang, provinsi

Sulawesi Utara. Rumah Sakit Gigi dan Mulut Unsrat dikelola oleh

Universitas Sam Ratulangi yang merupakan tempat Pendidikan Profesi

Dokter Gigi. Rumah Sakit Gigi dan Mulut Unsrat menyediakan berbagai

macam pelayanan seperti pembersihan karang gigi, pencabutan gigi,

29
penambalan gigi, pembuatan gigi palsu, dan lain-lain yang ditangani oleh

mahasiswa co-ass dibawah bimbingan instruktur dokter gigi yang

merupakan dosen Universitas Sam Ratulangi serta tenaga dokter gigi

anggota Persatuan Dokter Gigi Indonesia cabang Sulawesi Utara.

2. Karakteristik sampel

Penelitian ini dilakukan di bagian periodonsia RSGM Unsrat dengan

sampel pasien yang akan melakukan tindakan skeling ultrasonik dan pasca

dua hari tindakan skeling. Karakteristik sampel dikelompokkan berdasarkan

jenis kelamin, usia, serta efektivitas skeling sebelum dan dua hari pasca

skeling terhadap gingivitis.

a. Distribusi karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin

Tabel 3. Distribusi karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin


Jenis Kelamin N %
Laki-laki 15 50,0
Perempuan 15 50,0
Total 30 100

Tabel 3 menunjukkan karakteristik sampel berdasarkan jenis

kelamin. Dari 30 sampel yang dilakukan penelitian, jumlah sampel

yang berjenis kelamin laki-laki sama besar dengan jumlah sampel yang

berjenis kelamin perempuan, yaitu masing-masing sebesar 15 orang

(50,0%).

b. Distribusi karakteristik sampel berdasarkan usia

Tabel 4. Distribusi karakteristik sampel berdasarkan usia


Usia (Tahun) N %
17-25 18 60,0
26-35 8 26,7
36-45 4 13,3

30
Total 30 100

Tabel 4 menunjukkan distribusi sampel berdasarkan usia. Dari 30

sampel yang didapatkan, sampel yang berusia 17-25 tahun merupakan

jumlah sampel terbanyak yaitu sebesar 60,0% dan jumlah sampel yang

paling sedikit berusia 36-45 tahun yaitu sebesar 13,3%.

3. Analisis univariat

Analisis univariat digunakan untuk menunjukkan gambaran hasil

penelitian dari masing-masing variabel yaitu gingivitis sebelum skeling dan

gingivitis dua hari pasca skeling di RSGM Unsrat. Hasil dari analisis

univariat pada penelitian ini disajikan dalam bentuk grafik distribusi.

a. Gingivitis sebelum skeling dan dua hari pasca skeling

80.00%
70.00%
60.00%
50% 50%
50.00%
40.00%
70%
30.00%
20.00%
10.00% 23% 0.07
0.00%
Gingivitis Sebelum Skeling Gingivitis 2 Hari Setelah Skeling

Gingivitis Ringan Gingivitis Sedang Gingivitis Parah


Gambar 7. Grafik distribusi kriteria gingivitis sebelum skeling dan dua hari
pasca skeling

Gambar 7 menunjukkan kriteria gingivitis sebelum skeling. Sampel

yang didapati mengalami gingivitis sedang terbanyak sebesar 70,0%

dan jumlah sampel paling sedikit yang mengalami gingivitis parah yaitu

sebesar 6,7%, sedangkan distribusi karakteristik dua hari pasca skeling

31
sampel yang mengalami gingivitis ringan maupun gingivitis sedang

yaitu 50,0%.

b. Gingivitis sebelum skeling dan dua hari pasca skeling berdasarkan jenis

kelamin

80
70
60
50
40
73.4 66.7
30
20
33.3
10
13.3 13.3
0
Laki-laki Perempuan

Gingivitis Ringan Gingivitis Sedang Gingivitis Parah

Gambar 8. Grafik distribusi kriteria gingivitis sebelum skeling berdasarkan

karakteristik jenis kelamin

Gambar 8 menunjukkan kriteria gingivitis sebelum skeling

berdasarkan jenis kelamin. Dari 30 sampel yang dilakukan penelitian,

sampel dengan jumlah terbanyak terjadi pada laki-laki dengan keadaan

gingivitis sedang sebesar 73,4%.

70
60
50
40
30
53.4 60
20 46.6 40
10
0
Laki-laki Perempuan

Gingivitis Ringan Gingivitis Sedang Gingivitis Parah


Gambar 9. Grafik distribusi kriteria gingivitis dua hari pasca skeling

berdasarkan karakteristik jenis kelamin

32
Gambar 9 menunjukkan kriteria gingivitis dua hari pasca skeling

berdasarkan jenis kelamin. Gingivitis ringan pada perempuan paling

banyak terjadi sebesar 60% dan paling sedikit terdapat pada perempuan

yang mengalami gingivitis sedang sebesar 40,0%.

c. Gingivitis sebelum skeling dan dua hari pasca skeling berdasarkan usia

120
100
80
60
100
40
66.6 62.5
20 12.5
27.8 5.6 25
0
17-25 26-35 36-45

Gingivitis Ringan Gingivitis Sedang Gingivitis Parah

Gambar 10. Grafik distribusi kriteria gingivitis sebelum skeling berdasarkan

karakteristik usia

Gambar 10 menunjukkan bahwa kriteria gingivitis sebelum skeling

berdasarkan usia. Usia sampel paling banyak yaitu usia 17-25 tahun

yang mengalami gingivitis sedang yaitu sebesar 66,6%.

120
100
80
60
100
40 77.8 75
20
22.2 25
0
17-25 26-35 36-45

Gingivitis Ringan Gingivitis Sedang Gingivitis Parah

Gambar 11. Grafik distribusi kriteria gingivitis dua hari skeling berdasarkan

karakteristik usia

33
Gambar 11 menunjukkan kriteria gingivitis dua hari pasca skeling

berdasarkan usia. Sampel pada usia 17-25 tahun yang mengalami

gingivitis ringan sebesar 77,8%.

4. Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat gingivitis sebelum skeling

dan dua hari pasca skeling yang diuji statistik dengan uji paired samples t-

test menggunakan program aplikasi komputer.

Tabel 5. Hasil Uji Paired Sampels Test skor MGI sebelum dan pasca skeling
Sig.
Sebelum skeling – pasca skeling
0.000

Berdasarkan hasil uji paired samples t-test di program aplikasi

komputer. Dari hasil uji didapatkan nilai ρ = 0.000 yang menunjukkan

adanya perubahan bermakna sebelum skeling dan dua hari pasca dilakukan

skeling.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSGM Unsrat dengan

jumlah sampel yang didapat berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi berjumlah

30 orang, didapatkan hasil penelitian pada Tabel 3 menunjukkan bahwa sampel

yang berjenis kelamin perempuan sama besar dengan jumlah sampel yang berjenis

kelamin laki-laki, yaitu masing-masing sebesar 15 orang (50,0%). Hal ini

dikarenakan laki-laki kurang menjaga kebersihan rongga mulutnya, sedangkan

pada perempuan walaupun sering menjaga kebersihan rongga mulutnya tetapi

perempuan lebih rentan terhadap penyakit periodontal karena dipengaruhi oleh

faktor hormon estrogen dan progesteron. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

34
Homata et al di Yunani pada tahun 2016 tentang perbedaan jenis kelamin pada

status kesehatan gigi dan mulut dan perilaku kesehatan gigi dan mulut pada

mahasiswa kedokteran gigi yang mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan

memiliki resiko yang sama terhadap penyakit periodontal, sehingga baik laki-laki

maupun perempuan sama-sama membutuhkan perawatan kesehatan gigi dan

mulut, misalnya seperti tindakan skeling.20

Tabel 4 menunjukkan bahwa kelompok usia terbanyak yang melakukan

tindakan skeling terdapat pada usia 17-25 tahun berjumlah 18 orang (60%). Hal

ini menunjukkan bahwa kelompok remaja akhir mempunyai kebutuhan akan

perawatan kesehatan gigi dan mulut yang didasarkan gejala awal dari kelainan

jaringan gingiva, sedangkan pada usia yang lebih lanjut, rendahnya permintaan

akan perawatan gigi lebih berkurang karena motivasi merawat diri yang juga

berkurang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini pada tahun

2015 tentang gambaran status kebersihan rongga mulut dan status gingiva pasien

RSGM Universitas Jember di dapatkan sampel terbanyak yang berkunjung ke

RSGM ialah kelompok remaja akhir.21,22

Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 7 menunjukkan bahwa gingivitis

sebelum skeling banyak terjadi pada kriteria gingivitis sedang sebesar 21 orang

(70%) dan yang mengalami gingivitis paling sedikit terjadi pada gingivitis parah

sebesar 2 orang (6,70%), sedangkan dua hari pasca skeling didapatkan adanya

penurunan skor MGI dimana gingivitis ringan dan sedang menjadi sama besar

yaitu masing-masing 15 orang (50%). Dilakukan pemeriksaan dua hari pasca

tindakan skeling karena penyembuhan gingivitis merupakan berhentinya proses

35
inflamasi pada gingiva yang dapat dilihat secara klinis dan laboratoris, dimana

secara klinis penyembuhan gingivitis dapat dilihat secara visual dengan

mengamati perubahan gingiva dari inflamasi menjadi normal yang dapat dilihat

mulai dari dua hari pasca skeling. Hal ini juga didukung oleh penelitian

sebelumnya tentang efektivitas skeling terhadap penyakit periodontal yang dikutip

oleh Perry et al yang menyatakan bahwa tindakan skeling dapat membantu

penyembuhan penyakit periodontal khususnya gingivitis karena skeling

mengeliminasikan bakteri yang terdapat pada plak dan kalkuklus yang menjadi

penyebab gingivitis, sehingga keparahan gingivitis dapat menurun.23,29

Data hasil penelitian selanjutnya pada Gambar 8 menunjukkan sebelum

skeling gingivitis tertinggi didapatkan sampel jenis kelamin laki-laki dengan

kriteria gingivitis sedang sebesar 11 orang (73,4%) dan sampel dengan jenis

kelamin perempuan yang mengalami gingivitis terbanyak yaitu gingivitis sedang

sebesar 10 orang (66,7%). Hal ini dapat terjadi dikarenakan perempuan cenderung

lebih mengutamakan kebersihan dan kesehatan gigi dan mulutnya dibandingkan

laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur di Surabaya pada

tahun 2016 tentang keparahan gingivitis pada pasien poli puskesmas Sawahan

Surabaya yang di dapatkan sampel pada laki-laki menunjukkan gingivitis yang

lebih tinggi dari pada sampel perempuan.24

Data hasil penelitian selanjutnya pada Gambar 9 menunjukkan dua hari

pasca skeling pada sampel berjenis kelamin laki-laki yang mengalami gingivitis

terbanyak yaitu gingivitis sedang sebesar 8 orang (53,4%) dan pada sampel

berjenis kelamin perempuan yang mengalami gingivitis terbanyak menjadi

36
gingivitis ringan yaitu sebesar 9 orang (60,0%). Penelitian ini menunjukkan dua

hari pasca skeling didapatkan penurunan skor MGI yang berarti skeling efektif

dalam penyembuhan gingivitis walaupun pada sampel berjenis kelamin

perempuan penyembuhan gingivitis memakan waktu lebih lama karena kesehatan

jaringan periodontal pada perempuan dipengaruhi oleh fluktuasi hormon estrogen

dan progesteron yang dapat berpengaruh pada proses pemulihan gingiva pasca

skeling.13,25

Data hasil penelitian selanjutnya pada Gambar 10 menunjukkan gingivitis

sebelum skeling yang paling banyak muncul terjadi pada usia 17-25 tahun sebesar

18 orang dengan gingivitis sedang sebesar 12 orang (66,6%). Hal ini terjadi

karena usia remaja akhir cenderung mengonsumsi makanan rendah vitamin C dan

rendah kalsium, namun tinggi konsumsi minuman berkarbonasi, sehingga sampel

berumur 17-25 tahun banyak yang menderita defisiensi vitamin C dan kalsium

yang akan mempengaruhi kesehatan jaringan periodontalnya. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Tadjoedin dkk pada tahun 2017 di Jakarta tentang

korelasi antara usia dan penyakit periodontal yang menyatakan bahwa kelompok

usia remaja akhir yang berumur 17-25 tahun mempunyai prevalensi gingivitis

yang lebih tinggi.26

Data hasil penelitan selanjutnya pada Gambar 11 menunjukkan pada

pemeriksaan dua hari pasca skeling, gingivitis paling banyak muncul terjadi pula

pada usia 17-25 tahun dengan mengalami gingivitis ringan sebesar 14 orang

(77,8%), sedangkan gingivitis pada usia 36-45 tahun sebesar 4 orang (100%)

masih sama dengan gingivitis sebelum skeling yaitu masih berada di kriteria

37
gingivitis sedang tetapi telah mengalami penurunan skor MGI menjadi lebih

rendah dari sebelum skeling. Pada usia 17-25 tahun gingivitis ringan masih

banyak terjadi pada dua hari pasca skeling, tetapi terdapat penurunan kriteria

gingivitis ringan dari kriteria gingivitis sedang saat sebelum skeling. Hal ini dapat

terjadi karena pada usia 17-25 tahun jaringan pada tubuh lebih mudah dan lebih

cepat untuk beregenerasi, sedangkan seiring dengan bertambahnya usia tubuh

manusia mengalami perubahan degeneratif pada jaringan tubuh sehingga proses

regenerasi tidak berjalan dengan cepat. Faktor ini menyebabkan pada usia 36-45

tahun gingivitis tetap pada kriteria yang sama namun terjadi penurunan skor MGI

yang berarti tetap terdapat efektivitas skeling terhadap gingivitis.27

Berdasarkan hasil uji paired samples t-test pada Tabel 5 sebelum skeling

dan dua hari pasca skeling terjadi perubahan yang bermakna, yang berarti

tindakan skeling efektif dalam perawatan jaringan periodontal khususnya pada

gingivitis karena faktor lokal penyebab terjadinya gingivitis seperti bakteri plak

dan kalkulus yang menempel pada supragingiva dan subgingiva dapat

tereliminasi. Tindakan skeling dilakukan karena dapat mengurangi etiologi

mikroba dan faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan penyakit gingivitis

dan mencegah perkembangan dari periodontitis. Hasil akhir dari tindakan skeling

menghentikan proses perkembangan penyakit dan mengembalikan kondisi

gingiva pada keadaan sehat.28 Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya

tentang efektivitas skeling terhadap penyakit periodontal yang dikutip oleh Perry

et al yang menyatakan bahwa skeling sangat efektif dalam penanganan penyakit

periodontal khususnya penanganan gingivitis.29

38
39
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSGM Unsrat, disimpulkan

bahwa skeling efektif terhadap gingivitis berdasarkan penilaian menggunakan

modifikasi gingiva indeks.

B. Saran

1. Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas skeling

terhadap gingivitis dengan jumlah populasi dan sampel yang lebih banyak

lagi untuk hasil yang lebih terperinci.

2. Diharapkan pada penelitian lebih lanjut, waktu kontrol dibuat menjadi lebih

lama atau lebih dari dua hari sehingga proses perbaikan jaringan periodontal

dapat lebih baik.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Astuti LA. Alternatif splinting pada kegoyangan gigi akibat penyakit


periodontal. J As-Syifaa 2015;7(2);209-18.

2. Sunarto H. Plak sebagai penyebab utama peradangan jaringan periodontal. J


UI 2014;2.

3. Krismariono A. Prinsip-prinsip dasar skeling dan root planing dalam


perawatan periodontal. Perio J 2009;1(1)30-4.

4. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. Pedoman usaha kesehatan gigi


sekolah. Jakarta: Kemenkes RI; 2012. h. 5-6.

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hasil utama Riskesdas


2013. Jakarta: Kemenkes RI; 2013. h. 110-1.

6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hasil utama Riskesdas


2018. Jakarta: Kemenkes RI; 2018. h. 94.

7. Wahyukundari MA. Perbedaan kadar matrix metalloproteinase-8 pasca


scaling dan pemberian tetrasiklin pada penderita periodontitis kronis. J
PDGI 2009;58(1);1-6.

8. Diah, Widodorini T, Nugraheni NE. Perbedaan angka kejadian gingivitis


antara usia pra-pubertas dan pubertas di kota Malang. E-Proden J of Dent
2018;2(1);108-15.

9. Kasiha HE, Kawengian SES, Juliatri. Gambaran tingkat pengetahuan ibu hamil
tentang gingivitis di puskesmas Kakaskasen Tomohon. J e-Gigi 2017;5(2);166-
71.

10. Octavia M, Soeroso Y, Kemal Y. Efek klinis pasca skeling dan penghalusan
akar kasus periodontitis kronis poket 4-6 MM. J UI 2015;18(3);211-7.

11. Newman MG, Takei HH, Carranza FA. Clinical periodontology. 9th ed.
Philadelphia: WB Saunder Co; 2002. p.16-32, 79-81, 269-77, 631.

12. Grant DA, Stern IB, Everett FG. Orban’s periodontics (a concept-theory and
practice). 4th ed. Saint Louis: The C.V Mosby Company; 1972. p.217-23.

13. Mitchell L, Mitchell DA, McCaul L. Kedokteran gigi klinik (semua bidang
kedokteran gigi). Ed 5. Jakarta: EGC; 2014. h.197.

41
14. Poana PM, Mariati NW, Anindita PS. Gambaran status gingiva pada
perokok di desa buku kecamatan Belang kabupaten Minahasa Tenggara. J
eG 2015;5(1);223-8.

15. Christiany J, Wowor VNS, Mintjelungan CN. Pengaruh teknik menyikat


gigi vertikal terhadap terjadinya resesi gingiva. J e-Gigi 2015;3(2);603-9.

16. Reynolds E. Effectiveness and efficiency in ultrasonik scaling - a peer


reviewed publication 1st ed. Penwell; 2008. p. 24.

17. Krismariono A. Prinsip-prinsip dasar skeling dan root planing dalam


perawatan periodontal. Perio J 2009;1(1)30-4.

18. Reddy S. Essentials of clinical periodontology and periodontitics. 3rd ed.


India: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2011. p. 280-90.

19. Nasri, Imran H. Efektivitas berkumur dengan larutan teh rosella dalam
menghambat plak gigi serta mempercepat penyembuhan gingivitis pasca
skeling. Aceh Nutr J 2017;2(1);18-24.

20. Homata EM, Kounari HK, Margaritis V. Gender differences in oral health
status and behavior of Greek dental student: a meta-analysis of 1981, 2000,
amd 2010 data. J Int Soc Prev Comm Dent 2016;6(1);60-8.

21. Anggraini CW, Aris M, Pujiastuti P. Gambaran status kebersihan rongga


mulut dan status gingiva. Jember Pustaka Kes J 2015;4(3);525-32.

22. Tadjoedin FM, Fitri AH, Kuswandani SO, et al. The correlation between
age and periodontal diseases. International Dental and Medical J
2017;10(2);327-32.

23. Puspaningrum EF, Hendari R, Mujayanto R. Ekstrak cymbopogon citratus


dan eugenia aromaticum efektif untuk penyembuhan gingivitis. Odonto
Dental J 2015:2(2);47-51.

24. Nur MR, Krismariono A, Rubianto M. Keparahan gingivitis pada pasien


poli puskesmas Sawahan Surabaya tahun 2016 menggunakan Gingival
Indeks (GI). Surabaya: Universitas Airlangga;2016;15-20.

25. Loannidou E. The sex and gender intersection in chronic periodontitis. Front
Pub Health 2017;5(5);189

26. Aljehani YA. Risk factors of periodontal disease: review of the literature.
Int J of Dent 2014;1-9.

42
27. Wijaya NPAP, Ulfah N, Krismariono A. Keparahan gingivitis pada pasien
poli gigi puskesmas mulyorejo tahun 2016 menggunakan gingiva indeks.
Surabaya: Universitas Airlangga;2016;8-12.

28. Zulfa L, Mustaqimah DN. Terapi periodontal non-bedah. Jakarta:


Universitas Indonesia;2011;10(1);36-41.

29. Perry DA, Schmid MO, Takei HH. Phase I periodontal therapy.In:Newman,
Takei H, Klokkevold PR, Carranza FA. Clinical periodontology. 10th ed.
Philadelphia: WB Saunder Co;2006. p.722-880.

43

Anda mungkin juga menyukai