Anda di halaman 1dari 5

Muhammad Alamsyah Budi Utama

1184060063 / HUMAS 5B
UAS HUMAN RELATIONS
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Betty
Tresnawaty, S.Sos., M.Ikom.

PENERAPAN NILAI-NILAI HUMAN RELATIONS DI ERA DIGITAL DAN


PANDEMIC

Era Digital
Perkembangan teknologi ke arah serba digital saat ini semakin pesat. Pada era digital
seperti ini, manusia secara umum memiliki gaya hidup baru yang tidak bisadilepaskan dari
perangkat yang serba elektronik. Teknologi menjadi alat yang mampu membantu sebagian besar
kebutuhan manusia. Teknologi telah dapat digunakan oleh manusia untuk mempermudah
melakukan apapun tugas dan pekerjaan. Peran penting teknologi inilah yang membawa
peradaban manusia memasuki era digital. Era digital telah membawa berbagai perubahan yang
baik sebagai dampak positif yang bisa gunakan sebaik-baiknya. Namun dalam waktu yang
bersamaan, era digital juga membawa banyak dampak negatif, sehingga menjadi tantangan baru
dalam kehidupan manusia di era digital ini. Tantangan pada era digital telah pula masuk ke
dalam berbagai bidang sepertipolitik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, dan
teknologi informasi itu sendiri.
Era digital terlahir dengan kemunculan digital, jaringan internet khususnya teknologi
informasi komputer. Media baru era digital memiliki karakteristik dapat dimanipulasi, bersifat
jaringan atau internet. Media massa beralih ke media baru atau internet karena ada pergeseran
budaya dalam sebuah penyampaian informasi. Kemampuan media era digital ini lebih
memudahkan masyarakat dalam menerima informasi lebih cepat. Dengan media internet
membuat media massa berbondong-bondong pindah haluan.Semakin canggihnya teknologi
digital masa kini membuat perubahan besar terhadap dunia, lahirnya berbagai macam teknologi
digital yang semakin maju telah banyak bermunculan. Berbagai kalangan telah dimudahkan
dalam mengakses suatu informasi melalui banyak cara, serta dapat menikmati fasilitas dari
teknologi digital dengan bebas dan terkendali. Era digital juga membuat ranah privasi orang
seolah-olah hilang. Data pribadi yang terekam di dalam otak komputer membuat penghuni
internet mudah dilacak, baik dari segi kebiasaan berselancar atau hobi.Era digital bukan
persoalan siap atau tidak dan bukan pula suatu opsi namun sudah merupakan suatu konsekuensi.
Teknologi akan terus bergerak ibarat arus laut yang terus berjalan ditengah-tengah kehidupan
manusia. Maka tidak ada pilihan lain selain menguasai dan mengendalikan teknologi dengan
baik dan benar agar memberi manfaat yang sebesar-besarnya.
Era Pandemi
Penyebaran virus corona baru bernama Covid-19 telah menyebabkan begitu banyak korban
jiwa ke hampir semua negara di dunia. Para peneliti mencurigai bahwa virus ini berasal
dari pasar tradisional di Kota Wuhan Tiongkok yang menjual berbagai macam hewan basah
segar yang diperdagangkan untuk konsumsi, termasuk kelelawar dan trenggiling yang akhirnya
menularkan virus ke manusia. World Health Organization telah mengkonfirmasi bahwa
penularan Covid-19 melalui tetesan atau percikan dari orang yang terinfeksi melalui percakapan,
bersin, atau batuk. Dengan melihat korban yang terus bertambah, kepala negara di seluruh dunia
membuat peraturan dan kebijakan untuk menangani kasus covid-19. Urgensi pembentukan
aturan terkait dengan pencegahan Covid-19 ini wajib dibentuk dalam Peraturan Pemerintah
dan Peraturan Menteri Kesehatan karena kedua peraturan tersebut merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
(Telaumbanua, 2020). Penanganan yang disiapkan oleh pemerintah dimaksudkan dapat menekan
bertambahnya korban jiwa. Di Indonesia, penanganan virus covid-19 berupa pemberlakuan
lock down atau karantina terbatas. Selain itu, Kementrian Kesehatan menerbitkan peraturan
mengenai PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). PSBB dimaksudkan untuk membatasi
kegiatan penduduk dalam wilayah tertentu yang diduga terkontaminasi penyakit untuk mencegah
kemungkinan tersebarnya penyakit. Hal-hal yang dilakukan selama masa PSBB adalah memakai
masker, angkutan umum dibatasi, menjaga jarak dalam beribadah, bepergian dan berkumpul,
serta dianjurkan agar dirumah saja atau tidak bepergian. Juru bicara Pemeritah untuk penanganan
Covid-19 mengatakan bahwa povinsi yang telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) adalah merupakan episenter virus corona Covid-19 (Sari, 2020).
Masalah yang muncul dengan adanya covid-19 adalah ketidakpatuhan masyarakat terhadap
pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang dianjurkan oleh pemerintah dan
ketidakpedulian masyarakat terhadap penjagaan diri selama masa pandemic covid-19. Kepatuhan
masyarakat kepada pemerintah dalam masa pandemik covid-19 adalah hal yang sangat
dibutuhkan. Pemerintah dan masyarakat bahu membahu dalam mengatasi virus covid-19. Hal itu
merupakan bentuk kerja sama dan usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi covid-19. Oleh
karena itu, wajib bagi kita untuk mematuhi pemerintah dalam upaya menghadapi covid-19.
Penerapan nilai nilai human relations di era digital dan pandemic
Pandemi Covid-19 bukan hanya menjadi persoalan medis dan ekonomis, tapi juga
menyangkut persoalan etis. Etika atau moral adalah salah satu nilai humanism yang mengulas
baik buruknya sikap dan tindakan manusia. Perubahan yang mendadak telah memaksa manusia
melakukan penyesuaian dan perubahan di berbagai sisi kehidupannya. Namun hal yang
sebenarnya tidak semestinya berubah di dalam diri manusia yaitu nilai kemanusiaan itu sendiri.
Masyarakat global pada saat ini sedang diuji rasa solidaritasnya terhadap sesama. Seberapa kuat
kita sebagai manusia mampu untuk saling berempati terhadap kesusahan hidup orang lain.
Memudarnya rasa saling tolong menolong dan goyahnya prinsip moral masyarakat pada saat ini
sudah mulai tampak, alih-alih kita sebut sudah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan.
Etika atau moral memang tidak bisa dilepaskan dari setiap aktivitas manusia, termasuk saat
berkomunikasi. Etika memberikan panduan dalam berkomunikasi dengan baik di segala situasi
lewat berbagai pendekatan, termasuk mempertimbangkan konsekuensi perilaku dan keputusan
moral. Sifat dasar etika yang kritis membekali manusia untuk berpikir rasional dan bertanggung
jawab. Etika yang sering disebut sebagai filsafat moral adalah cabang filsafat yang membahas
tentang baik buruknya tindakan serta kewajiban manusia. Dengan kata lain, etika membahas
bagaimana seharusnya manusia bertindak. Etika berhubungan dengan bagian kelabu dalam
kehidupan manusia, tetapi belakangan sering dilupakan. Keputusan moral yang berhubungan
dengan etika dapat diambil dengan mudah ketika seseorang bisa membedakan mana yang hitam
dan putih. Namun, keadaan terkadang batasan antara hitam dan putih menjadi samar.
Dalam konteks etika komunikasi, filsuf Aristoteles lewat pemikirannya the golden mean
mengatakan kepalsuan, kebohongan, atau ketidakjujuran merupakan kejahatan. Sementara
kebenaran adalah suatu wujud kemuliaan. Aristoteles menjelaskan etika lebih bersandar pada
karakter ketimbang perilaku. Jadi, komunikator yang baik adalah orang yang menjunjung tinggi
etika, berkaitan dengan kejujuran dan kebajikan. Sementara Onong Uchyana Effendi (2003)
berpendapat komunikator yang baik adalah orang yang humanistik, yakni bersifat unik, otonom,
giat mencari informasi, memiliki kebebasan memilih, bertanggung jawab, dan sadar mempunyai
keterlibatan dengan masyarakat sekitar.
Meski demikian seberapa berbakatnya orang dan betapa pun unggulnya dia, kesuksesan
tidak akan diperoleh tanpa penguasaan keterampilan komunikasi. Hal ini juga berlaku dalam
komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19. Jika ingin
sukses mendapatkan kepatuhan masyarakat, maka pemerintah sebagai komunikator harus
membuat strategi komunikasi yang efektif dan beretika untuk menyampaikan pesan dan
mendapatkan kepercayaan di tengah pandemi Covid-19. Kepercayaan menjadi kunci penting
dalam keberhasilan komunikasi, apalagi di tengah krisis. Jadi, membangun kepercayaan menjadi
salah satu komponen penting dalam strategi komunikasi krisis yang efektif. Kepercayaan
berkaitan dengan sejumlah standar etika, seperti kejujuran, kepedulian, serta kebijaksanaan. Saat
kepercayaan publik meningkat, maka komunikasi pun semakin mudah, cepat, dan efektif.
Komunikasi krisis bakal semakin efektif saat komunikator memperhatikan salah satu unsur
etika, yakni kepedulian atau empati. Komunikasi empati merupakan bentuk tertinggi dalam
komunikasi, yaitu komunikator lebih dulu memahami karakter dan peran komunikan.
Menjelaskan maksud dan harapan menjadi bagian penting untuk membangun kepercayaan dalam
komunikasi empati. Komunikator harus menyatakan harapan secara eksplisit, memperlihatkan
integritas pribadi, dan berkata jujur dalam kondisi apapun. Sebab tidak ada kerja sama tanpa
kepercayaan.
Rasa hormat, saling menghargai, empati, keterbukaan, dan sikap rendah hati merupakan
dasar dari etika berkomunikasi yang harus dipertahankan. Empati dan saling menghargai
memudahkan komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan sesuai kondisi, termasuk
krisis. Dalam situasi krisis sangat penting mengetahui kondisi komunikan sebelum
berkomunikasi. Dengan demikian nantinya pesan dapat tersampaikan tanpa ada halangan
psikologis atau penolakan penerima. Salah satu kejadian yang bisa dijadikan refleksi atas
rendahnya sikap empati kita terhadap sesama misalnya saja adalah stigma yang dilekatkan
kepada orang yang terkena virus Covid-19, sebuah statement yang dikeluarkan oleh pemerintah
dan di sosial media dengan gamblang menyebutkan identitas korban, lengkap dengan alamat
tempat mereka tinggal. Ini tentunya tidak menjadi masalah apabila tujuannya adalah untuk
kehati-hatian. Namun kita lupa, di satu sisi hal ini juga menimbulkan stigma terhadap para
korban. Padahal di lain sisi mereka membutuhkan dukungan dan optimisme bahwa peluang
hidup dan sembuh juga sesuatu yang dimungkinkan. Namun sepertinya rasa ketakutan telah
mengalahkan rasa kemanusiaan kita sehingga yang tersebar hanyalah kepanikan dan prasangka
terhadap para korban.
Cara menerapkan nilai nilai human relations di era pandemic dan digital :

Etika komunikasi empati bisa diterapkan pemerintah di tengah pandemi Covid-19 untuk
menjangkau masyarakat, termasuk dengan memanfaatkan media sosial. Tidak dapat dimungkiri,
media sosial seperti Twitter dan Instagram menjadi sarana komunikasi yang cukup efektif di era
digital. Media sosial bisa menjadi saluran untuk menyampaikan informasi sekaligus berinteraksi.
Dennis McQuail (2010) mengatakan media sosial merupakan wujud media baru yang
beradaptasi pada sistem publikasi dan peran audiens. Media sosial memungkinkan pengguna
memproduksi, menyebarkan, sekaligus mengonsumsi pesan yang bersifat masif. Media sosial
bukan lagi sarana komunikasi antarpribadi, tetapi bisa menjadi saluran komunikasi massa. Tetapi
pemanfaatan media sosial untuk menyampaikan pesan kepada khalayak harus dilakukan dengan
benar agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan memicu hoaks.

Itulah sebabnya etika dalam komunikasi krisis melalui media sosial yang dilakukan
pemerintah perlu diperhatikan dengan cermat. Jika tujuannya mendapatkan kepatuhan
masyarakat, maka sampaikan pesan yang mudah diterima semua kalangan. Pahami kondisi
psikologis masyarakat di tengah pandemi yang rentan stres bahkan depresi karena segala
keterbatasan dalam beraktivitas meski Covid-19 adalah sesuatu yang baru dan memerlukan
penanganan cepat. Isi pesan yang disampaikan melalui berbagai saluran harus dipertimbangan,
sehingga tidak memperkeruh suasana. Dengan demikian sangat penting bagi pemerintah
membuat perencanaan komunikasi krisis yang baik dan beretika agar tujuan komunikasi untuk
menanggulangi dampak pandemi Covid-19 yang diinginkan tercapai.

Pada akhirnya, kerja keras pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19
sampai sejauh ini patut diacungi jempol. Banyak pelajaran penting dan berharga dari Covid-19
yang dikategorikan sebagai bencana non-alam. Virus corona penyebab Covid-19 memang sangat
cepat menyebar hingga menyebabkan kepanikan. Apalagi sampai saat ini obat untuk mengatasi
Covid-19 belum ditemukan. Tetapi ada cara terbaik untuk meredam kepanikan akibat persebaran
virus corona, yakni dengan komunikasi krisis yang efektif dan beretika. Empati, kejujuran, serta
keadilan, menjadi kunci komunikasi krisis untuk menciptakan kerja sama yang harmonis antara
pemerintah dan rakyat dalam menanggulangi dampak pandemi Covid-19.

Contoh kasus nyata :

Konsep new normal paling ramai dibahas pada 29 Mei 2020 dengan total 38.418 kicauan
di Twitter. Selanjutnya tren percakapan tersebut menurun dan kembali meningkat pada 10 Juni
2020 dengan total 22.259 kicauan di Twitter. Namun tren percakapan soal new normal tersebut
terus menurun sampai Senin (15/6/2020), jikalau meningkat jumlahnya tidak signifikan,
sehingga kurvanya stabil melandai. Dari ribuan kicauan soal new normal di Twitter, mayoritas
warganet Indonesia menunjukkan sentimen positif dengan total sekitar 12.349 kicauan.
Sementara itu sekitar 5.756 kicauan menunjukkan pola sentimen negatif serta sekitar 772 lainnya
tampak netral.

Opini netizen tersebut membuktikan narasi pemerintah dalam menyampaikan kebijakan


new normal belum sepenuhnya dipahami. Sentimen negatif tentang new normal yang bisa jadi
merupakan bentuk keresahan warganet soal kondisi negara Indonesia yang dilanda krisis
pandemi Covid-19. Seperti halnya kebijakan new normal yang kebanyakan dipahami sebagai
back to normal atau kembali pada keadaan normal. Jika dicermati, masih banyak orang di
Indonesia yang tidak mematuhi imbauan pemerintah di era new normal. Konsep new normal
sebenarnya dibuat agar masyarakat kembali produktif di tengah pandemi dengan sejumlah aturan
ketat, mulai dari menerapkan protokol kesehatan, menjaga jarak fisik, sampai menghindari
kerumunan. Tetapi yang terjadi justru kehidupan kembali normal seperti sebelum pandemi
Covid-19 terjadi. Banyak orang bergerombol di pinggir jalan raya setelah bersepeda bersama
tanpa menjaga jarak. Bahkan restoran, kafe, pusat perbelanjaan, hingga salon mulai kebanjiran
pengunjung yang sering kali mengabaikan protokol kesehatan. Jika sudah begini, pemerintah
bisa apa? Teguran dan segala ancaman yang disampaikan agaknya tidak mempan untuk
mengatur warga yang ngeyel.

Hal itu menunjukkan ketidaksiapan pemerintah Indonesia menghadapi krisis sebagai


dampak pandemi Covid-19. Pemerintah tidak memiliki pemimpin khusus di tengah krisis Covid-
19. Padahal, pola komunikasi krisis di tengah bencana harus dilakukan dengan cermat agar tidak
menimbulkan krisis lain, yakni krisis komunikasi. Perdebatan kebijakan, jumlah kasus yang tidak
jelas, hingga stigma soal pasien Covid-19 menunjukkan kegagalan pemerintah Indonesia
menciptakan pola komunikasi krisis yang baik. Penyampaian data yang tidak transparan
merupakan bentuk pelanggaran standar etika berupa kejujuran yang semestinya dijunjung tinggi
oleh pemerintah dalam penyelenggaraan negara. Tetapi yang terjadi justru kebijakan pemerintah
dalam penanganan Covid-19 sering kali tumpang tindih. Ketidakjelasan ini menyebabkan
kebingungan publik sehingga respons krisis tidak disertai empati menghambat penanganan
wabah Covid-19 di Indonesia. Padahal dalam kondisi seperti ini sangat penting menerapkan etika
respons komunikasi krisis yang cepat untuk menanggulangi dampak buruk pandemi Covid-19.

Anda mungkin juga menyukai