Anda di halaman 1dari 1

PKN – Tugas Pentigraf

Aura Najma XI IPA 1/5

Ada anak baru masuk di kelas Mikan hari ini. Dalam sekejap, dia menjadi perhatian yang lainnya,
sebab warna matanya yang tidak lazim—biru terang seperti langit siang di bulan Juli. Kulitnya putih
pucat dan punya bitnik-bintik kemerahan di sekitar hidung dan pipi. Meski perempuan, ia menjulang
nyaris satu kepala lebih tinggi dari teman-teman lelaki Mikan di kelas. Seperti Barbie, pikir Mikan.
Namanya Daniella, seperti yang tertera di name tag kain yang terjahit di dada kanannya. Saat
memperkenalkan diri, Daniella tersedak ludahnya sendiri karena gugup dan menatap lantai alih-alih ke
depan. Aksen bicaranya terdengar aneh dan asing. Lantas, seorang anak lelaki di pojok kelas menceletuk
nyaring, “Dani! Jenenge koyok arek lanang! Pelat sisan!”

Wali kelas mereka menegur keras. Mikan dapat melihat Daniella nyaris menangis—air mata
merebak di pelupuk matanya, tapi tidak ada satupun yang menetes. Ia menegakkan tubuh dan duduk di
tempat disediakan. Pada jam istirahat, banyak anak perempuan mengerubungi Daniella sebab warna
rambutnya yang kuning jagung cerah—mencolok di antara murid-murid lain yang hitam pekat. Daniella
bercerita dengan Bahasa Indonesia patah-patah bercampur gerak tangan kalau ia pindah dari London ke
Surabaya karena pekerjaan ayahya. Mata anak-anak di sekelilingnya membulat. Untuk mereka, London
itu jauh sekali—bagai negeri impian dalam dongeng. Keluargaku naik pesawat hampir seharian untuk
tiba ke sini, papar Daniella. Pertanyaan demi pertanyaan mengalir seperti air bah tentang London; apa di
sana benar-benar ada salju, bagaimana makanan di sana, apa semua orang di sana punya mata biru dan
rambut kuning seperti Daniella. Gadis kecil itu menanggapinya satu persatu dengan sabar dan riang.

Bulan demi bulan berlalu. Bahasa Indonesia Daniella semakin lancar. Ketika mereka naik ke kelas
4, dia sudah memahami beberapa kalimat dalam Bahasa Jawa dan mulai mencampur kalimatnya dengan
Bahasa Jawa juga. Kemampuan menyerap bahasanya seperti spons dimasukkan ke air. Daniella menjadi
kesayangan semua orang ketika pelajaran PJOK dan Bahasa Inggris—dia jagonya. Home run kasti nyaris
menjadi rutinitas, larinya cepat, badannya pun lentur. Daniella bahkan jago bermain sepak bola—hal
yang akhirnya membuat para anak lelaki menyerah mengejeknya. Mata biru, rambut kuning, dan kulit
putih pucatnya masih terlihat begitu mencolok, tapi tidak banyak lagi yang berpikir kalau perbedaan itu
menganggu seperti sebelumnya. Herannya, di kelas saat pelajaran IPS tentang penjajahan Indonesia,
tetap ada yang mengejek gadis kecil itu. Tuh, nenek moyangmu dulu jajah Indonesia lama banget!
Wooo, nggak cinta Indonesia juga yo kowe! Londo! Mendengarnya membuat Mikan kesal. Apa mereka
tidak tahu bedanya Inggris dan Belanda? Mikan nyaris berteriak membela Daniella, tapi teman
sebangkunya itu menahan Mikan. Jangan, bisik Daniella. Aku sudah sering digituin. Nggak papa kok.
Lagian mereka nggak bener. Aku sayang banget sama Indonesia meski ini bukan tempat lahirku. Papa
dan Mama juga punya KTP. Lagian, cinta sama negara ini nggak diukur dari warna rambut atau mataku
‘kan?

Anda mungkin juga menyukai