Anda di halaman 1dari 25

Case Report Session

PTERIGIUM

Oleh :
Reza Afriyan Indra (19100707360803150)

Pembimbingr :
dr. Romi Yusardi, Sp.M

SMF MATA

RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus
ini dengan judul “Pterigium” yang merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik
dari Bagian mata.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada dr.
Romi Yusardi Sp. M selaku pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan laporan kasus ini tepat waktu demi memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Senior.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kata
sempurna, karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca
untuk penyempurnaan laporan kasus ini. Akhir kata penulis mengucapkan
terimakasih.

Bukittinggi, 05 agustus 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3


2.1Anatomi Bola Mata.......................................................................... 3
2.1.1 Konjungtiva............................................................................. 5
2.2 Pterigium.......................................................................................... 6
2.2.1 Defenisi .................................................................................. 6
2.2.2 Etiologi ................................................................................... 7
2.2.3 Faktor Resiko ......................................................................... 7
2.2.4 Patofisiologi ........................................................................... 8
2.2.5 Gejala Klinis ........................................................................... 9
2.2.6 Klasifikasi .............................................................................. 10
2.2.7 Diagnosis ................................................................................ 12
2.2.8 Diagnosis Banding ................................................................. 12
2.2.9 Penatalaksanaan ..................................................................... 14
2.2.10 Komplikasi ........................................................................... 16
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................16
BAB IV PENUTUP..............................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pterigium merupakan suatu pertumbuhan neoformasi fibrovaskuler non

malignan pada permukaan okular yang menunjukkan penebalan konjungtiva bulbi,

yang berbentuk segitiga horisontal dengan puncak mengarah ke bagian tengah kornea

dan dasarnya terletak di bagian tepi bola mata bagian nasal dan atau temporal,

sehingga bentuknya menyerupai sayap.1 Pterigium ini lebih sering tumbuh di bagian

nasal daripada di bagian temporal. Dapat juga terjadi pertumbuhan nasal dan

temporal pada satu mata disebut double pterygium. Pterigium dapat mengenai kedua

mata dengan derajat pertumbuhannya yang berbeda.2,3 Beberapa teori telah

dikemukakan untuk menerangkan patogenesis terjadinya pterigium, akan tetapi

etiologi dan penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi durasi paparan sinar

matahari, jenis pekerjaan, riwayat keluarga, kelembapan yang rendah, dan

mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok dan pasir.4

Pemicu pterigium tidak hanya dari etiologinya saja tetapi terdapat faktor risiko

yang mempengaruhinya antara lain faktor usia, jenis kelamin, jenis pterigium. 5

Kejadian pterigium jarang terdapat pada usia dibawah 20 tahun. Angka prevalensi

pterigium paling tinggi terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.6

Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah beriklim panas

dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering

mempengaruhi adalah letak suatu daerah yang dekat dengan khatulistiwa yaitu daerah

yang letaknya kurang dari 37° lintang utara dan selatan dari khatulistiwa. Prevalensi

1
tinggi mencapai 22% didapati di daerah dekat khatulistiwa dan kurang dari 2% pada

daerah di atas lintang 40°. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang

prevalensinya meningkat dan daerah-daerah yang sering terkena penyinaran sinar

ultraviolet.5,7

Menurut Rikesdas di Indonesia pada tahun 2015 menunjukkan bahwa kejadian

pterigium nasional adalah sebesar 8,3% dengan kejadian tertinggi ditemukan di Bali

(25,2%), diikuti Maluku (18,0%), Riau (6,0%), Banten (3,9%), dan Nusa Tenggara

Barat terendah yaitu (3,7%).

Tujuan Penulisan

 Mampu mengerti dan Memahami tentang Pterigium


 Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Rumah Sakit
Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2020
 Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian
Mata Rumah Sakit Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2020

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi bola mata

Bola mata berbentuk bulat dengan diameter maksimal 24 mm. Bola mata di

bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat

bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda.8

Bola mata dibungkus oleh 3 lapisan jaringan, yaitu :

1. Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang

hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan padat dan berwarna putih

serta berbatasan dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus

opticus di posterior. Pita-pita kolagen dan jaringan elastin membentang di

sepanjang foramen sklera posterior, membentuk lamina cribrosa, yang di

antaranya dilalui oleh berkas akson nervus opticus. Permukaan luar sklera

anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis jaringan elastik halus, episklera,

yang mengandung banyak pembuluh darah yang mendarahi sklera. Lapisan

berpigmen coklat pada permukaan dalam sklera adalah lamina fusca, yang

membentuk lapisan luar ruang suprakoroid. 9

2. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea dibatasi

oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada

ruda paksa yang disebut dengan perdarahan suprakoroid.

Jaringan uvea ini terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris terdapat

pupil yang tersusun dari 3 lapisan otot yang dapat mengatur jumlah sinar yang

masuk ke dalam bola mata. Otot dilator dipersarafi oleh parasimpatis,

3
sedangkan sfingter iris dan otot siliar dipersarafi oleh parasimpatis. Otot siliar

yang terletak di badan siliar mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan

akomodasi.

Badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik mata

(akuos humor), yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak di pangkal

iris pada batas kornea dan sklera.8

3. Lapisan ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan terdiri

dari 10 lapisan. Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah

sebagai berikut: (1) membran limitans interna; (2) lapisan serat saraf, yang

mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju nervus opticus;

(3) lapisan sel ganglion; (4) lapisan pleksiform dalam, yang mengandung

sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar; (5) lapisan inti

dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan horisontal; (6) lapisan pleksiform

luar, yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel horisontal dengan

fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel foto reseptor; (8) membran limitans

eksterna; (9) lapisan foto reseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut;

dan (10) epitel pigmen retina.8,9

4
Gambar 2.1 Anatomi Mata. (Wibowo, 2009)

2.1.1 Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan

kulit pada tepi palpebra dan dengan epitel kornea di limbus.

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan

melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke

posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera

menjadi konjungtiva bulbaris.

Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat

berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan

memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (Duktus-duktus kelenjar lakrimal

bermuara ke forniks temporal superior). Konjungtiva bulbaris melekat longgar pada

kapsul tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di limbus.

5
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak, dan mudah bergerak (plica

semilunaris) terletak di kantus internus dan merupakan selaput pembentuk kelopak

mata pada beberapa hewan kelas rendah. Struktur epidermoid kecil semacam daging

(caruncula) menempel secara superfisial ke bagian dalam plica semilunaris dan

merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit maupun membran

mukosa.10

2.2 Pterigium

2.2.1 Definisi

Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang berarti sayap.

Pterigium merupakan jaringan fibrovaskular yang menginfiltrasi konjungtiva bulbi,

pada permukaan kornea, bersifat degeneratif dan invasif, umumnya bilateral di sisi

nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala atau apex menghadap ke sentral

kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada kantus.11

Menurut Vaughan dan Taylor, pterigium merupakan suatu perluasan pinguecula

berbentuk segitiga yang menyerupai daging. Sedangkan menurut Ilyas, pterigium

merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang biasanya

pertumbuhannya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal

konjungtiva yang meluas kebagian kornea.12

2.2.2 Etiologi

Etiologi pterigium masih belum diketahui secara pasti, diduga merupakan suatu

neoplasma, radang dan degenerasi, juga diduga disebabkan iritasi lama akibat debu,

6
cahaya sinar matahari, dan udara yang panas.5 Selain itu beberapa kondisi kekurangan

fungsi lakrimal film baik secara kuantitatis maupun kualitas, konjungtivitis kronis

dan defisiensi vitamin A juga berpotensi timbulnya pterigium.12,13

Pterigium juga diduga disebabkan oleh mikro trauma kronis pada mata, infeksi

mikroba atau virus.16,20 Beberapa kasus dilaporkan pterigium juga diturunkan secara

genetik.14,15

2.2.3 Faktor resiko

a. Usia

Prevalensi pterigium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui

pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan

berpendapat pterigium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.

b. Pekerjaan

Pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan sinar UV. Biasanya

orang yang sering bekerja di luar ruangan seperti, petani dan nelayan.16

c. Faktor genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium

dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,

kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.14,15

d. Tempat tinggal

Gambaran yang paling mencolok dari pterigium adalah distribusi

geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tetapi berdasarkan beberapa

survey menunjukkan bahwa negara yang dekat dengan garis khatulistiwa

7
mempunyai angka kejadian pterigium lebih tinggi dari pada daerah lain, hal itu

bisa disebabkan karena garis lintang yang rendah dan pancaran sinar UV yang

kuat.

e. Jenis kelamin

Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.

f. Faktor lain

Kelembapan yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu

seperti asap rokok dan pasir.17,18

2.2.4 Patofisiologi

Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan

yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu, dan kekeringan. Semua

kotoran pada konjungtiva akan menuju kebagian nasal, kemudian melalui pungtum

lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.19

Terjadinya pterigium sangat beruhubungan erat dengan paparan sinar matahari,

walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan

terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B adalah mutagen untuk p53 tumor

supresor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis TGF-β diproduksi dalam

jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Akibatnya terjadi

perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular.20

Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik)

dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansi propia

yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran

bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering

8
disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan

mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat

normal, tebal atau tipis dan terkadang terjadi displasia.20

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan

defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala

dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi,

inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan jaringan fibrotik. Tanda ini juga

ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan

bahwa pterigium merupakan manisfestasi dari defisiensi atau disfungsi localized

interpalpebral limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik dari

kolagen serta proliferasi fibrovaskular yang ditutupi oleh epitel.5

2.2.5 Gejala klinis

Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan

sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien diantaranya adalah :

a. Mata sering berair dan tampak merah

b. Merasa seperti ada benda asing di mata

c. Dapat menimbulkan astigmatisme akibat kornea tertarik

d. Pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual

sehingga ketajaman penglihatan menurun.

Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging berwarna putih tampak

jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva

interpalpebralis sampai kornea, tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang

berwarna coklat kemerahan, umunya tumbuh di daerah nasal. Dibagian depan dari

9
apex pterigium terdapat infiltrat kecil-kecil. Pterigium yang mengalami iritasi dapat

menjadi merah dan menebal.

2.2.6 Klasifikasi

Pembagian pterigium secara anatomi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

1) Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada

kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan

menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Area ini juga merupakan area

kornea yang kering.

2) Bagian whistish. Terletak langsung setelah cap, merupaka suatu lapisan

vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.

3) Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile, lembut, merupakan

area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung.

Berdasarkan stadium pterigium dibagi menjadi 4 derajat yaitu :

1) Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

2) Derajat II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil,

tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

3) Derajat III : jika pterigium sudah melebihi derajat II tetapi tidak melebihi

pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar

3-4 mm).

4) Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan.

10
Gambar 2.2 Klasifikasi pterygium Derajat I (gambar A), derajat II (gambar B),
derajat III (gambar C), derajat IV (gambar D). (Sidarta, 2008)

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi yaitu :

1) Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea

di depan kepala pterigium (desebut cap dari pterigium).

2) Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk

membran, tetapi tidak pernah hilang.

Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus

diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu :

1) T1 (atrofi) : pembuluh darah episklera jelas terlihat

2) T2 (intermediet) : pembuluh darah episklera sebagian terlihat

3) T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.8,21

2.2.7 Diagnosis

Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dengan anamnesis lengkap dan

pemeriksaan fisik. Umumnya pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien

seperti mata merah, gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu

juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar

11
ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula

ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik mata, inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan

fibrovaskular pada permukaan konjungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran

yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskular dan flat. Pterigium

paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal,

tetapi dapat pula ditemukan pada daerah temporal.

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi

kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang

disebabkan oleh pterigium. Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat

apakah visus terpengaruh, dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk

menvisualisasi pterigium tersebut.

2.2.8 Diagnosis banding

Diagnosis banding yang mungkin adalah pseudopterigium dan pinguekula.

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.

Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga

konjungtiva menutupi kornea. Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva

yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya. Beda dengan pterigium selain

letaknya, pseudopterigium tidak harus pada celah kelopak atau fisura palpebra juga

pada pseudopterigium ini dapat diselipkan sonde dibawahnya. Pada pseudopterigium

selamanya terdapat anamnesis adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti tukak

kornea.

12
Gambar 2.3 Pseudopterigium. (Sidarta, 2008)

Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada

orang tua, terutama yang matanya sering terkena matahari, debu, dan angin panas.

Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama di bagian nasal. Pinguekula

merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva. Pembuluh darah tidak

masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi, maka

sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang melebar. Pada

pinguekula tidak perlu diberikan pengobatan, akan tetapi bila terlihat adanya tanda

peradangan (penguekulitis), dapat diberikan obat-obat anti radang.8

13
Gambar 2.4 Pinguekula. (Sidarta,2008)

2.2.9 Penatalaksanaan

a) Non farmakologi

Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi sinar ultraviolet untuk

mengurangi resiko berkembangnya pterigium pada individu yang mempunyai

resiko lebih tinggi. Pasien disarankan untuk memakai topi, dan kacamata

sebagai pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini lebih

penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada

pasien yang memiliki aktivitas di luar ruangan (misalnya, pekerja bangunan,

petani, nelayan).

b) Farmakologi

Pada pterigium yang ringan tidak perlu diobati. Untuk pterigium derajat

1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata

kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan

juga bahwa pemberian kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan

tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea. Penggunaan

Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren,

mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.17,22

c) Bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi

pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian

konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva

yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka

14
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan ptrerigium yaitu memberikan hasil

yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin,

angka kekambuhan yang rendah.

Teknik pembedahan pterigium dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu,

Bare scelra, Simple closure, Sliding flap, Rotational flap, Conjungtival graft,

Amnion membran transplantasi, Lamellar keratoplasty.17,23 Indikasi

dilakukannya pembedahan pada pterigium, yaitu:

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus.

2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi

pupil.

3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair, dan

silau karena astigmatismus.

4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.5

d) Terapi tambahan

Untuk mencegah terjadinya kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan

dengan pemberian :

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitotastika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,

bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari

kemudian tappering off sampai 6 minggu.

2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes /hari selama 14 hari,

diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

3. Sinar Beta.

15
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/3

jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik

Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.

2.2.10 Komplikasi

Komplikasi yang muncul baik sebelum dilakukan insisi adalah gangguan

penglihatan, mata merah, iritasi, gangguan pergerakan bola mata, timbul jaringan

parut kronis dari konjungtiva dan kornea, dry eye sindrome. Sedangkan jika sudah

dilakukan insisi adalah dapat terjadi infeksi, ulkus kornea, graft konjungtiva yang

terbuka, diplopia, adanya jaringan parut di kornea.6

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. M
Usia : 55 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
3.2 Anamnesis

16
Keluhan utama

Mata kiri merah, perih dan panas terutama bila terkena cahaya matahari atau
angin.

Riwayat Penyakit Sekarang


Mata sebelah kiri terasa perih dan gatal
Riwayat penyakit dahulu :
Tidak ada
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada
Riwayat pemakaian kaca mata
Tidak ada
Riwayat pengobatan
Tidak ada
3.3 Status Generalisata
Kesadaran : Composmentis cooperative
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4 Status Oftalmologis

  OD OS
Palpebra superior normal normal

Palpebra inferior normal Normal

17
Konjungtiva Normal Jaringan fibrovaskular

Kornea Normal Membran


membetuk segitiga
Iris Normal Tidak normal

Pupil Normal normal

Lensa jernih jernih

Visus
OD : 6/6
OS : 6/6

Tonometri

OD : 18 mmHg

OS : 18 mmHg

Slit Lamp

- Pada mata kanan : normal

- Pada mata kiri :Konjungtiva bulbi tampak fibro vaskular, kornea tampak

membrane membentuk segitiga.

18
3.5 Diagnosis
- Ptegerium garde II okulus sinistra
3.6 Medikamentosa
- Lubricant eyedrops 3x tetes per hari
3.7 Prognosis
- Dubia ad bonam

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

biasanya pertumbuhannya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal

19
konjungtiva yang meluas kebagian tengah kornea. Penyebab pterigium masih belum

diketahui secara pasti, diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.

Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi apparatus lakrimal baik secara

kuantitatis maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga

berpotensi timbulnya pterigium.

DAFTAR PUSTAKA

1. Erry Mulyani UA & Susilowati D. Distribusi dan Karakteristik Pterigium di


Indonesia. Badan Penelitian Sistem Kesehatan.2011.
2. Tan Donald. Strategies for Successful Pterygium Surgery. Current Concept in
Ophthalmology. Jakarta: January 2004;1–32.

20
3. Tan DTH. Pterigium. Holland EJ Mannis MJ. Ocular Surface Disease. New
York, USA. Springer-Verlag New York, Inc. 2002;65–85.

4. Julianti S. Pterygium. Riau: Universitas Riau. 2009.

5. Gazzard G, Saw SM, Farook M, Koh D, widjaja D, Chia SE, et al. Pterygium
in indonesia: prevalence, severity and risk factors. Br J Ophthalmol. 2005; 86:
1341—6.

6. Jerome P. Pterygium. [online] Img.medscape.com. 2020. [Accessed 05 August


2020]. Available at:
https://img.medscape.com/pi/android/medscapeapp/html/A1192527-
business.html
7. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of pterygium [internet]. USA:
American Academy of Ophtalmology; 2010 [Accessed 09 July 2020]. Tersedia
dari: http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-
Dec-2010.pdf

8. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Jakarta: FK UI. 2008.

9. Wibowo DS. Anatomi Tubuh Manusia. Singapore: Wisland house I. 2009.

10. Riordan Eva P, Whitcher J. Vaughan & Asbury OFTALMOLOGI UMUM.


17th ed. Jakarta: EGC; 2009.

11. Waller GS, Adams PA. Pterigium, Duane’s Clinical Ophtalmologi.


Philadelphia: Lippincot Wiliams & Wilkins. 2004;6(35):1-10

12. Vughan & Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi Ke-17. Jakarta : EGC . 2010.

13. Liang QF, Xu L, Jin XY, You QS, Yang XH, Cui TT. Epidemiology of
Pterygium in Aged Rural Population of Beijing, China. Chinese Medical
Journal. 2012; 14(4):2-5.

14. Suhardjo Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi Pertama. Bagian Ilmi Penyakit
Mata FK UGM: Yogyakarta.2005.

15. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat [Tesis]. Medan;


Universitas Sumatera Utara. 2009.

16. Hiarie S. 2012. Maluku dalam Angka 2012. h. 17. Badan Pusat Satatistik
Maluku.

21
17. Amadi A. Common ocular problems in alba metropolis of Alba state, Eastern
Nigeria. Federal Medical Center Owerri. 2009; 6(1):32-5.

18. Josefien S. Vascular endothelial growth factor air mata sebagai faktor risiko
tumbuh ulang pterygium. Journal Indonesian Medical Association. 2013;
7(4):139-43.

19. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbit Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104.

20. American Academy of Ophtalmology. Basic and clinical science course.


External disease and cornea. Section 8. 2005 – 2006: 344 & 405.

21. Efstathios T. Pathogenetic Mechanism and Treatment Options for Ophthalmic


Pterygium: Trends and Perspectives (Review). International Journal of
Melecular Medicine. 2009;13(2):1-10.

22. Skuta Cantor GL, Weiss LB, Jayne S. Clinical approach to depositions and
degenerations of the conjungtiva, cornea, and sclera. Dalam: American
Academy of Ophtalmology. External disease and cornea. San Fransisco: MD
Association. 2008.

23. Khurana AK. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology.


Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age international Limited
Publisher. 2007: 443-457.

22

Anda mungkin juga menyukai