Case 1 Pterigium Dr. Heksan
Case 1 Pterigium Dr. Heksan
PTERIGIUM
Oleh :
Reza Afriyan Indra (19100707360803150)
Pembimbingr :
dr. Romi Yusardi, Sp.M
SMF MATA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus
ini dengan judul “Pterigium” yang merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik
dari Bagian mata.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada dr.
Romi Yusardi Sp. M selaku pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan laporan kasus ini tepat waktu demi memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Senior.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kata
sempurna, karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca
untuk penyempurnaan laporan kasus ini. Akhir kata penulis mengucapkan
terimakasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................... 2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
yang berbentuk segitiga horisontal dengan puncak mengarah ke bagian tengah kornea
dan dasarnya terletak di bagian tepi bola mata bagian nasal dan atau temporal,
sehingga bentuknya menyerupai sayap.1 Pterigium ini lebih sering tumbuh di bagian
nasal daripada di bagian temporal. Dapat juga terjadi pertumbuhan nasal dan
temporal pada satu mata disebut double pterygium. Pterigium dapat mengenai kedua
Pemicu pterigium tidak hanya dari etiologinya saja tetapi terdapat faktor risiko
yang mempengaruhinya antara lain faktor usia, jenis kelamin, jenis pterigium. 5
Kejadian pterigium jarang terdapat pada usia dibawah 20 tahun. Angka prevalensi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah beriklim panas
dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah letak suatu daerah yang dekat dengan khatulistiwa yaitu daerah
yang letaknya kurang dari 37° lintang utara dan selatan dari khatulistiwa. Prevalensi
1
tinggi mencapai 22% didapati di daerah dekat khatulistiwa dan kurang dari 2% pada
daerah di atas lintang 40°. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang
ultraviolet.5,7
pterigium nasional adalah sebesar 8,3% dengan kejadian tertinggi ditemukan di Bali
(25,2%), diikuti Maluku (18,0%), Riau (6,0%), Banten (3,9%), dan Nusa Tenggara
Tujuan Penulisan
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
Bola mata berbentuk bulat dengan diameter maksimal 24 mm. Bola mata di
bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat
hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan padat dan berwarna putih
antaranya dilalui oleh berkas akson nervus opticus. Permukaan luar sklera
anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis jaringan elastik halus, episklera,
berpigmen coklat pada permukaan dalam sklera adalah lamina fusca, yang
2. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea dibatasi
oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada
Jaringan uvea ini terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris terdapat
pupil yang tersusun dari 3 lapisan otot yang dapat mengatur jumlah sinar yang
3
sedangkan sfingter iris dan otot siliar dipersarafi oleh parasimpatis. Otot siliar
akomodasi.
Badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik mata
3. Lapisan ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan terdiri
sebagai berikut: (1) membran limitans interna; (2) lapisan serat saraf, yang
(3) lapisan sel ganglion; (4) lapisan pleksiform dalam, yang mengandung
sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar; (5) lapisan inti
dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan horisontal; (6) lapisan pleksiform
luar, yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel horisontal dengan
fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel foto reseptor; (8) membran limitans
eksterna; (9) lapisan foto reseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut;
4
Gambar 2.1 Anatomi Mata. (Wibowo, 2009)
2.1.1 Konjungtiva
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
5
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, lunak, dan mudah bergerak (plica
mata pada beberapa hewan kelas rendah. Struktur epidermoid kecil semacam daging
merupakan zona transisi yang mengandung baik elemen kulit maupun membran
mukosa.10
2.2 Pterigium
2.2.1 Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang berarti sayap.
pada permukaan kornea, bersifat degeneratif dan invasif, umumnya bilateral di sisi
nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala atau apex menghadap ke sentral
2.2.2 Etiologi
Etiologi pterigium masih belum diketahui secara pasti, diduga merupakan suatu
neoplasma, radang dan degenerasi, juga diduga disebabkan iritasi lama akibat debu,
6
cahaya sinar matahari, dan udara yang panas.5 Selain itu beberapa kondisi kekurangan
fungsi lakrimal film baik secara kuantitatis maupun kualitas, konjungtivitis kronis
Pterigium juga diduga disebabkan oleh mikro trauma kronis pada mata, infeksi
mikroba atau virus.16,20 Beberapa kasus dilaporkan pterigium juga diturunkan secara
genetik.14,15
a. Usia
pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan
b. Pekerjaan
orang yang sering bekerja di luar ruangan seperti, petani dan nelayan.16
c. Faktor genetik
d. Tempat tinggal
7
mempunyai angka kejadian pterigium lebih tinggi dari pada daerah lain, hal itu
bisa disebabkan karena garis lintang yang rendah dan pancaran sinar UV yang
kuat.
e. Jenis kelamin
f. Faktor lain
2.2.4 Patofisiologi
yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu, dan kekeringan. Semua
kotoran pada konjungtiva akan menuju kebagian nasal, kemudian melalui pungtum
walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan
terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B adalah mutagen untuk p53 tumor
supresor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis TGF-β diproduksi dalam
dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansi propia
yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran
8
disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala
inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan
interpalpebral limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik dari
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien diantaranya adalah :
d. Pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual
interpalpebralis sampai kornea, tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang
berwarna coklat kemerahan, umunya tumbuh di daerah nasal. Dibagian depan dari
9
apex pterigium terdapat infiltrat kecil-kecil. Pterigium yang mengalami iritasi dapat
2.2.6 Klasifikasi
1) Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Area ini juga merupakan area
3) Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile, lembut, merupakan
area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung.
2) Derajat II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil,
3) Derajat III : jika pterigium sudah melebihi derajat II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm).
mengganggu penglihatan.
10
Gambar 2.2 Klasifikasi pterygium Derajat I (gambar A), derajat II (gambar B),
derajat III (gambar C), derajat IV (gambar D). (Sidarta, 2008)
2.2.7 Diagnosis
seperti mata merah, gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu
juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar
11
ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula
yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskular dan flat. Pterigium
paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal,
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang
disebabkan oleh pterigium. Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat
Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga
yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya. Beda dengan pterigium selain
letaknya, pseudopterigium tidak harus pada celah kelopak atau fisura palpebra juga
kornea.
12
Gambar 2.3 Pseudopterigium. (Sidarta, 2008)
orang tua, terutama yang matanya sering terkena matahari, debu, dan angin panas.
Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama di bagian nasal. Pinguekula
masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi, maka
sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang melebar. Pada
pinguekula tidak perlu diberikan pengobatan, akan tetapi bila terlihat adanya tanda
13
Gambar 2.4 Pinguekula. (Sidarta,2008)
2.2.9 Penatalaksanaan
a) Non farmakologi
resiko lebih tinggi. Pasien disarankan untuk memakai topi, dan kacamata
penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada
petani, nelayan).
b) Farmakologi
Pada pterigium yang ringan tidak perlu diobati. Untuk pterigium derajat
1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata
kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan
c) Bedah
14
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan ptrerigium yaitu memberikan hasil
Bare scelra, Simple closure, Sliding flap, Rotational flap, Conjungtival graft,
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil.
d) Terapi tambahan
dengan pemberian :
3. Sinar Beta.
15
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/3
2.2.10 Komplikasi
penglihatan, mata merah, iritasi, gangguan pergerakan bola mata, timbul jaringan
parut kronis dari konjungtiva dan kornea, dry eye sindrome. Sedangkan jika sudah
dilakukan insisi adalah dapat terjadi infeksi, ulkus kornea, graft konjungtiva yang
BAB III
LAPORAN KASUS
16
Keluhan utama
Mata kiri merah, perih dan panas terutama bila terkena cahaya matahari atau
angin.
OD OS
Palpebra superior normal normal
17
Konjungtiva Normal Jaringan fibrovaskular
Visus
OD : 6/6
OS : 6/6
Tonometri
OD : 18 mmHg
OS : 18 mmHg
Slit Lamp
- Pada mata kiri :Konjungtiva bulbi tampak fibro vaskular, kornea tampak
18
3.5 Diagnosis
- Ptegerium garde II okulus sinistra
3.6 Medikamentosa
- Lubricant eyedrops 3x tetes per hari
3.7 Prognosis
- Dubia ad bonam
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
biasanya pertumbuhannya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
19
konjungtiva yang meluas kebagian tengah kornea. Penyebab pterigium masih belum
diketahui secara pasti, diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.
Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi apparatus lakrimal baik secara
DAFTAR PUSTAKA
20
3. Tan DTH. Pterigium. Holland EJ Mannis MJ. Ocular Surface Disease. New
York, USA. Springer-Verlag New York, Inc. 2002;65–85.
5. Gazzard G, Saw SM, Farook M, Koh D, widjaja D, Chia SE, et al. Pterygium
in indonesia: prevalence, severity and risk factors. Br J Ophthalmol. 2005; 86:
1341—6.
8. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Jakarta: FK UI. 2008.
12. Vughan & Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi Ke-17. Jakarta : EGC . 2010.
13. Liang QF, Xu L, Jin XY, You QS, Yang XH, Cui TT. Epidemiology of
Pterygium in Aged Rural Population of Beijing, China. Chinese Medical
Journal. 2012; 14(4):2-5.
14. Suhardjo Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi Pertama. Bagian Ilmi Penyakit
Mata FK UGM: Yogyakarta.2005.
16. Hiarie S. 2012. Maluku dalam Angka 2012. h. 17. Badan Pusat Satatistik
Maluku.
21
17. Amadi A. Common ocular problems in alba metropolis of Alba state, Eastern
Nigeria. Federal Medical Center Owerri. 2009; 6(1):32-5.
18. Josefien S. Vascular endothelial growth factor air mata sebagai faktor risiko
tumbuh ulang pterygium. Journal Indonesian Medical Association. 2013;
7(4):139-43.
19. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbit Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104.
22. Skuta Cantor GL, Weiss LB, Jayne S. Clinical approach to depositions and
degenerations of the conjungtiva, cornea, and sclera. Dalam: American
Academy of Ophtalmology. External disease and cornea. San Fransisco: MD
Association. 2008.
22