Aku meminta Ben untuk bertemu. dia berjanji untuk datang sepulang kerja. Terakhir kali aku
mengecek, dia bilang sudah menuju tempatku. Sudah kusiapkan cemilan dan kopi untuk kami
berdua santap sambil berbincang. I’m about to make things right between us. Sudah
kubayangkan betapa akan berhasil nantinya hubunganku dengan Ben. Akhir-akhir ini dia tidak
pernah menghubungiku lagi, dan dia tidak pernah lagi mengajakku bertemu keluarganya, hanya
sekali itu. Dan disana, aku sangat tidak nyaman dengan keberadaan Shela. Kata Ben, mereka
hanya berteman. But by the way she look at him, its not. I can tell.
Tingtong.
Bell berbunyi, pasti Ben. Aku segera berjalan dan membuka pintu. Memasang senyumku. Dia
disana, wajahnya datar dan dia sedang memakan kemeja biru muda yang lengannya dia lipat
keatas. Kupersilahkan dia masuk dan dia duduk di sofa. Dia tenang seperti biasa, hanya saja
sangat dingin. Aku berusaha tersenyum, meletakkan mug berisi kopi kedepannya.
“your coffe, sir” ujarku bercanda. Dia tidak senyum. Hanya mengangkat alisnya.
“Natalie, kenapa manggil aku kesini?” tanya nya. Serius dan dingin. Aku mengatur posisi duduk
disebelahnya, meraih tangannya.
Ben diam saja. Tidak juga menatapku. Aku menjadi tidak sabar dan bertanya lagi.
“kamu masih marah, Ben?” aku makin mengenggam erat tangannya. Dia menatapku kali ini.
Menarik pelan tangannya dan berdiri dan mendekat ke jendela.
“Natalie, mau kamu apa? Minta aku datang sepulang kantor secepatnya” ujarnya pelan. “hanya
untuk bilang ‘I miss you’? i don’t think so”
Aku memberanikan diri mendekat. Masih ingin tenang merespon ucapan dan sikap dingin Ben.
Kudekati dia yang sedang melipat tangan didepan dadanya dan tidak menatapku sedikitpun.
Sekali lagi aku memegang tangannya, namun dia menariknya pelan.
“what you want, Natalie?” nadanya menjadi lebih dingin. Aku menarik tanganku.
“aku mau minta maaf Ben.” Kataku pelan. “aku juga mau memperbaiki hubungan kita, Ben.”
“kita baik-baik saja, Natalie. Apapun itu, aku selalu menerima kamu.” Ujarnya. Aku sedikit
merasa lega mendengar ucapan itu. Ada senyum timbul di wajahku. “menerima kamu, walau
hanya sebatas teman.” Lanjutnya. Senyumku hilang.
“teman? Ben, aku mau memperbaiki hubungan kita yang dulu. I love you Ben.”
Ben menarik napas panjang, menatapku dalam. Ben ku yang dulu, aku tidak menemukannya
pada orang yang berdiri didepanku saat ini. Masih kuharap ada harapan untukku. Setitik saja.
“Ben kamu kemana aja sih beberapa hari terakhir? Ngilang dari aku” putusku. Dia mengalihkan
pandangan dariku. Aku sudah tidak sabar, aku rasa semua sudah ku bela-bela demi mengikuti
Ben. Tapi kenapa, hanya membalas perasaanku tidak bisa diberikan. Padahal jelas saja dia pasti
masih menyayangiku, dan tidak ada orang lain yang pernah berasamanya setelah denganku. Aku
maish menginginkan hubungan kami bisa kembali seperti dulu.
“Natalie, please listen to me” katanya. Kali ini dia menatapku lagi. Dingin skali. “kamu, tidak
bisa seperti ini terus.” Ujarnya.
Ben berdiri dan berjalan menuju pintu. Aku mengejar dan menghentikannya. Kupeluk dia dari
belakang. Dia diam saja tidak bergerak.
“Ben please. Dengan cara apa lagi, biar kamu paham aku benar-benar mau memperbaiki
hubungan kita?”
Ben melepas tangaku. Dia berbalik badan. Dia meminta aku tenang, lalu kami duduk lagi berdua.
Lebih tenang. Dia meminta ku untuk menenangkan diri dulu dan dia tidak akan kemana-mana.
Kutata perasaanku yang sempat kacau. Lalu dia bilang ‘let’s talk’. Well, that’s what all I ask for.
“Natalie, setelah kejadian 4 tahun yang lalu” katanya perlahan. “jujur, aku sudah memaafkan
kamu. Menerima kamu sebagai teman, apalagi aku sudah mengenal kamu sejak kecil.”
“aku tahu Ben. Dan aku juga tahu, kamu masih sayang sama aku.”
“please, izinkan aku bicara Natalie.”
“setelah mendapati kamu, rasanya aku benar-benar hancur. Kamu tidak akan paham bagaimana
aku benar-benar perlahan bangkit untuk kerja. Aku harus memulai dari nol, pindah ke kota lain
hanya untuk menghindari kamu.”
“but then, I came along. Following you everywhere.” Kataku. Dia menarik tanganku.
“tapi, tidak sekali saja Natalie kamu bertanya apa yang aku rasa.” Ben menunduk. “beratnya hati
ku, ingin sekali marah, dan rasanya tercekik setiap lihat kamu, Natalie.”
“aku…” ucapku.
“Natalie, aku pernah cinta sama kamu. Aku bisa kasih kamu dunia yang kamu harapkan. Tapi,
diantara kita, siapa yang melepaskan?” ucapnya. “atau, siapa yang mengusir?”
“aku…kedatanganku ke Indonesia ini, untuk melupakan kamu Natalie. Tapi kamu datang juga”
“dan artinya, takdir masih minta kita bersama. Aku tahu kamu sayang sama aku Ben”
Aku mengangguk.
“tapi, bukan sama kamu.” Katanya. “aku mau kamu bahagia dengan orang lain, dan aku akan
bahagia juga.”
“Shela. jangan bilang, kamu dan Shela?” kataku. Aku menatap Ben. Tepat pada kedua bola
matanya. Hatiku rasanya tertusuk. “jadi bener, kamu sama Shela? jangan-jangan kamu hilang
karena dia, kan?”
“jangan seret-seret dia Natalie dalam pembahasan kita. Ini soal kamu dan aku”
***
Empat tahun yang lalu. Aku adalah perempuan yang beruntung. Punya pacar yang sebegitu
sayang sama aku—namanya Benjamin. Dia bukan cowok ribet, yang kusuka adalah karena dia
menyayangiku. Itu saja. Aku bekerja di salah satu perusahaan brand fashion ternama. Relasi
kubangun dengan banyak orang. Dan setahun yang lalu, temanku Karla datang ke kota ku untuk
liburan. Dia punya kenalan orang yang bisa berpengaruh besar untuk perusahaanku. Aku orang
yang tidak ingin melewatkan kesempatan dalam bekerja, sebagai perantau, caraku survive tentu
dengan banyak hal.
Karla akan mengenalkanku pada orang ini di sebuah night club. Hidupku di sini memang tidak
benar-benar jauh dari kehidupan seperti ini. It’s a free country. Aku dan Karla, kita berbincang
ditemani minuman kami. Tidak beberapa lama, seorang laki-laki datang. Dia berjabat tangan
dengan Karla dan membuka pembicaraan kecil, dan dia mengenalkanku. Lelaki ini mengenakan
jas dan sangat rapih, sepertinya baru saja kembali dari kantornya. Namanya Leon. He’s amazing.
Sejak itu, kami sering bertemu. yang awalnya hanya membahas seputar pekerjaan, akhirnya ada
rasa cocok diantara aku dan Leon. Entah sejak kapan mulainya, aku merasa senang disekitarnya.
Kami menjadi makin sering ketemu, dan tentu saja aku menyembunyikan ini dari Ben. Ben—dia
benar-benar sibuk dan kami hanya berbicara lewat face time setiap malam. Aku paham itu, dan
kami hanya ketemu setiap weekend.
Waktu berjalan. Entah bagaimana hubungan ku dan Leon menjadi lebih seperti spesial. Satu hari,
Leon datang ke kantor ku, menunggu di Lobby. Aku tidak menyangka dia akan datang memberi
kejutan padaku. Aku sangat kaget namun senang sekali. Dia bilang akan mengajakku dinner. I
don’t see why not. Apalagi Ben sedang dikota sebelah kerja. Ya, aku memang sangat jahat, tidak
memikirkan perasaan Ben saat itu. Tapi, merasa match, dan perasaan ini luar biasa.
Entah sudah berapa lama Ben ada disana. Dia tidak mengatakan apa-apa. Aku memutuskan
untuk tetap mengikuti Leon. Aku sangat bingung harus apa. Sebelum akan melewati Ben, dia
berlalu dan segera ke mobilnya. Aku—sepanjang hari hanya memikirkan hubunganku. Agar bisa
berbicara dengan Ben, aku bilang ke Leon untuk segera mengantarku pulang. Aku pura-pura
sakit.
Setelah itu aku menuju flat Ben. Yes he is very upset. Dia tidak mengizinkankmu masuk
awalnya. Aku memaksa. Aku berusaha menjelaskan, dia seperti begitu kesal, namun tidak
mengekspresikan perasaannya. Matanya memerah dan berkaca. Lalu dia memintaku pergi. Dia
juga bilang. Hubungan kita sudah berakhir.
Aku memberinya ruang, untuk melegakan hatinya yang sudah kupatahkan demikian. Sebulan
berlalu, kuberanikan diri menemuinya. Dia terima. Dia sudah lebih tenang. Dia memaafkan
salahku. Aku benar-benar menyesal. Aku ingin memperbaiki hubungan kita berdua, tapi dia
benar-benar menghindariku. Ben pindah 2 kali namun aku tetap selalu mencarinya. Kali ini di
Indonesia, tentu saja aku tetap mengikutinya. Walau kali in, aku hanya kebetulan diminta kerja
beberapa bulan saja di Indonesia. Aku benar-benar serius memperbaik hal antara aku dan Ben.
Perihal diriku dan Leon, walaupun aku nyaman dengan dia, sedari awal dia hanya teman bisnis.
Kurasa dia juga menganggap hubungan kami hanya itu saja. Aku dan Leon, kami tetap masih
sering berhubungan.