Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

HUKUM LINGKUNGAN DAN TATA RUANG


“Keterkaitan Dokumen Lingkungan Hidup Dengan Hukum Tata Ruang”
Dibuat Guna Memenuhi Nilai Tugas Hukum Lingkungan dan Tata Ruang

Dosen: Ilva Nurfitriati

Anggota Kelompok:
Putri Salsabila M A 6051801073
Brahma Kautsar B 6051801137
Emmanuela Clarissa E 6051801156
Ambria Rahma W 6051801326

KELOMPOK 8
KELAS C

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hukum
Lingkungan dan Tata Ruang berjudul “Keterkaitan Dokumen Lingkungan Hidup dengan Hukum
Tata Ruang” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Hukum
Lingkungan dan Tata Ruang. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ilva Nurfitriati selaku dosen Hukum
Lingkungan dan Tata Ruang yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari makalah yang
Kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, Januari 2021,

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
BAB I : PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Tujuan 3
BAB II : PEMBAHASAN 8
2. 1. Keterkaitan Dokumen Lingkungan Hidup dengan Hukum Tata Ruang 8
a. AMDAL 8
b. UKL dan UPL 9
c. SPPL 10
d. DELH dan DPLH 11
e. KLHS 13
2. 2. Perbandingan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Terhadap Undang-Undang Cipta Kerja. 15
2. 3. Kesesuaian Berusaha dalam Undang-Undang Cipta Kerja 16
2. 4. Perubahan Nomenklatur Pada RUU Cipta Kerja tentang Lingkungan Hidup terutama Izin
Lingkungan 17
2. 5. Perubahan Undang - Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PPLH) dalam UU Cipta Kerja. 18
BAB III : PENUTUP 21
3. 1. Kesimpulan 21
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Para pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan usahanya memerlukan ruang atau wilayah
yang dapat digunakan, kegiatan usaha yang dilakukan berbagai macam yakni dari kegiatan usaha
kecil yang tidak memerlukan wilayah tertentu untuk menjalankan hingga kegiatan usaha yang dapat
mengakibatkan kerusakan lingkungan terhadap sekitar. Terdapat berbagai syarat yang perlu
dipenuhi oleh para pelaku usaha sebelum dapat menjalankan kegiatan usahanya sebagaimana yang
diatur dalam Undang - Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang
Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup, dan Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. yang sekarang sudah
diatur dalam Undang - Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Ciptaker”), apabila
syarat yang sudah ditentukan dalam UU Ciptaker tidak dipenuhi maka para pelaku usaha dilarang
untuk menjalankan kegiatan usahanya.

Ketentuan dalam melakukan kegiatan usaha dalam UU Ciptaker dibagi berdasarkan jenis
kegiatan usaha yang akan dilakukan seperti kegiatan usaha yang tidak memiliki dampak terhadap
lingkungan, kegiatan usaha yang berdampak terhadap lingkungan, serta berdasarkan kesanggupan
pelaku usaha dalam mengelola dan memantau dampak lingkungan hidup dari kegiatan usahanya.
Beberapa jenis kegiatan usaha berkesinambungan dengan tata ruang yang ada di Indonesia,
sehingga pengaturan tata ruang dalam UU Ciptaker perlu untuk diperhatikan.

Pada dasarnya peran tata ruang dimaksudkan agar dapat mencapai pemanfaatan sumber
daya yang optimal dan dapat menghindari konflik ketika melakukan pemanfaatan sumber daya,
serta mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup dan meningkatkan keselarasan terhadapnya,
hal ini menyebabkan tata ruang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup.
Pengertian tata ruang berdasarkan Pasal 1 angka 2 adalah wujud Struktur Ruang dan Pola
Ruang, yang mana dijelaskan lebih lanjut dalam angka 3 yang dimaksud dengan struktur ruang
adalah susunan pusat - pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi
sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarki memiliki hubungan
fungsional, dan dalam angka 4 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pola Ruang adalah
distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi
lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

Dokumen Lingkungan Hidup berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup


Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang
Telah Memiliki Izin Usaha Dan/Atau Kegiatan Tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan
Hidup, dalam Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa “dokumen yang memuat pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup yang terdiri atas analisis mengenai dampak lingkungan hidup
(amdal), upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-
UPL), surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL),
dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (DPPL), studi evaluasi mengenai dampak
lingkungan hidup (SEMDAL), studi evaluasi lingkungan hidup (SEL), penyajian informasi
lingkungan (PIL), penyajian evaluasi lingkungan (PEL), dokumen pengelolaan lingkungan hidup
(DPL), rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL-RPL),
dokumen evaluasi lingkungan hidup (DELH), dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPLH),
dan Audit Lingkungan.”

UUPR menghasilkan produk rencana yang disebut Rencana Tata Ruang yang ditetapkan
secara berjenjang dengan peraturan perundang-undangan. Rencana tata ruang menjadi dasar bagi
seluruh kegiatan pemanfaatan ruang, dimana secara materil memuat:
1. Rencana struktur ruang wilayah;
2. Rencana pola ruang wilayah;
3. Penetapan kawasan strategis;
4. Arahan pemanfaatan ruang;
5. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
1.2. Rumusan Masalah

1) Apa saja keterkaitan Dokumen Lingkungan Hidup dengan Hukum Tata Ruang?
2) Apa saja yang termasuk dalam Dokumen Lingkungan Hidup?
3) Apa perubahan tentang Dokumen Lingkungan Hidup dan Tata Ruang pada Undang-Undang
Ciptaker?
4) Apa perubahan nomenklatur serta prosedur tahapan tentang izin lingkungan dari UU
Lingkungan Hidup terhadap UU Ciptaker?
5) Apa perubahan aspek lingkungan hidup yang diatur dalam UU Ciptaker?

1.3. Tujuan

Dari penjelasan rumusan diatas maka tujuan pembuatan makalah ini dapat disimpulkan
dalam sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui jenis - jenis Dokumen Lingkungan Hidup
2) Untuk mengetahui apa saja keterkaitan Dokumen Lingkungan Hidup dengan Hukum Tata
Ruang
3) Untuk mengetahui perubahan yang mengatur tentang lingkungan hidup dari peraturan
perundang - undangan terkait Lingkungan Hidup dengan yang diatur dalam UU Ciptaker.
4) Untuk mengetahui perubahan nomenklatur dan prosedur tahapan tentang izin lingkungan
dari UU Lingkungan Hidup terhadap UU Ciptaker
5) Untuk mengetahui perubahan pengaturan tentang aspek lingkungan hidup yang diatur dalam
UU Ciptaker.
BAB II

PEMBAHASAN

2. 1. Keterkaitan Dokumen Lingkungan Hidup dengan Hukum Tata Ruang

A. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).

Salah satu dokumen lingkungan hidup adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau
AMDAL yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan dan Peraturan Menteri No.5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang sekarang
sudah diatur dalam Undang – Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( “UU Ciptaker” ).

Pengertian AMDAL mengalami perubahan berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU Ciptaker yaitu


menjadi kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan
yang direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam perizinan berusaha atau persetujuan
pemerintah pusat atau pemerintah daerah.1

AMDAL merupakan dokumen yang digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan


suatu wilayah dan membantu dalam proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan
hidup dari rencana usaha atau kegiatan yang dibuat. Pada dasarnya AMDAL digunakan sebagai
salah satu syarat perizinan yang harus dimiliki para pelaku usaha sebelum mendirikan dan
menjalankan usahanya. Dalam proses pembuatan AMDAL melibatkan tim uji kelayakan
lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup pemerintah pusat,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 Ayat (3) dalam UU Ciptaker yaitu melibatkan tim uji
kelayakan lingkungan hidup yang terdiri atas unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah dan ahli
bersertifikat. Selanjutnya, dalam ayat (4) mengatur bahwa pemerintah pusat atau pemerintah

1 Undang - Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja


daerah menetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil uji kelayakan
lingkungan hidup.

Maka berdasarkan ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa ketika para pelaku usaha akan
membuka usahanya yang memiliki potensi untuk menyebabkan dampak penting terhadap
lingkungan, yang diatur dalam maka salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi adalah harus
mempunyai AMDAL. Penyusunan AMDAL dilakukan berdasarkan tata ruang, ini merupakan
bahan kajian yang melihat apakah lokasi yang akan digunakan untuk mendirikan usaha sudah sesuai
dengan jenis kegiatan yang akan dilakukan, jika sudah sesuai maka dapat mengajukan AMDAL.

B. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
(UPL).

Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
(UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh
penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup). UKL-UPL merupakan
perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk
menerbitkan izin melakukan usaha dan atau kegiatan. Fungsi UKL/UPL antara lain adalah:
a. Sebagai acuan dalam melakukan penge/olaan dan pemantauan atau lingkungan hidup
suatu usaha dan atau kegiatan;
b. Sebagai syarat untuk memperoleh melakukan usaha dan atau kegiatan.

Dalam menentukan kriteria wajib yang harus dimiliki UKL-UPL, dipertimbangkan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
a. Kesederhanaan dan kemudahan proses prosedur;
b. Efektifitas hasil dari pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur


mengenai hak Masyarakat untuk mengetahui setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib
UKL-UPL. Dalam Pasal 5 ayat 2 diterangkan bahwa masyarakat berhak untuk mendapatkan atas
informasi lingkungan hidup. Dalam memenuhi amanat UU tersebut maka Pemrakarsa bersama-
sama dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup
Kabupaten/Kota atau Provinsi atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup) wajib
memberitahukan kepada masyarakat setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang akan atau telah
diterbitkan rekomendasi UKL-UPL.

Anggota masyarakat yang ingin memberikan masukan, saran, dan tanggapan atas rencana
usaha dan atau kegiatan tersebut, maka dapat diajukan secara tertulis kepada Pemrakarsa atau
instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota atau
Provinsi atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup).

Bagi kegiatan yang tidak melaksanakan UKL/UPL tentu saja berlaku sanksi baginya. Sesuai
ketentuan yang berlaku, sanksi administratif dapat dikenakan bagi usaha dan atau kegiatan yang
tidak menyusun UKL.UPL, yaitu tidak akan diberikan izin usaha yang sifatnya
mengikat/dominan/tetap operasi. Selain sanksi administratif, sanksi pidana juga dapat diberlakukan
bagi usaha dan atau kegiatan yang tidak menyusun UKL-UPL dan kegiatan tersebut mencemari
lingkungan hidup, yaitu sesuai dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

C. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan (SPPL).

Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) adalah Dokumen


Lingkungan Hidup (DLH) berupa surat yang menyatakan kesanggupan pelaku usaha untuk
mengelola dan memantau dampak lingkungan hidup dari kegiatan usahanya.

SPPL ini merupakan jenis DLH yang paling sederhana dan paling sesuai bagi pelaku UKM
pada umumnya, khususnya jika kegiatan usaha yang dikerjakan termasuk yang tidak wajib memiliki
UKL-UPL atau AMDAL.

Agar dapat memperoleh SPPL, maka pelaku usaha harus memiliki area tanah setidaknya
seluas 0–2.000 m2. Jika yang dimiliki adalah bangunan, maka jumlah lantainya maksimal 4 lantai.
Selain itu, berdasarkan Pasal 9 ayat 1-2 Permen LH No.16/2012 serta edaran tentang syarat SPPL
BPLH Kota Bandung, dokumen lain yang dibutuhkan sebagai persyaratan adalah sebagai berikut:
1. Sertifikat kepemilikan tanah atau dokumen bukti perjanjian sewa;
2. Surat Keterangan Rencana Kota (KRK);
3. Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) asli;
5. Bukti Pembayaran PBB tahun terakhir;
6. Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli;

Meskipun tidak dipungut biaya, tetapi ada tahapan yang harus dilalui dalam proses
permohonan ini. Antara lain pengajuan, pemeriksaan dan verifikasi, pemeriksaan teknis serta
administrasi, dan revisi. Setelah itu, rekomendasi dan permohonan SPPL akan disetujui sehingga
dapat diberikan kepada pemrakarsanya.

Untuk masa berlakunya, SPPL tetap valid dan sah selama tidak ada perubahan yang
berkaitan dengan usahanya. Dokumen SPPL dapat diajukan oleh pemilik badan usaha tidak
berbadan hukum, badan usaha berbadan hukum, dan pengusaha yang perorangan.

Rekomendasi UKL-UPL dan SPPL digunakan sebagai dasar untuk memperoleh izin
lingkungan dan melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Pejabat pemberi izin
wajib mencantumkan persyaratan dan kewajiban rekomendasi UKL-UPL ke dalam penerbitan izin
lingkungan, sehingga bagi usaha dan/atau kegiatan yang UKL-UPLnya ditolak, maka pejabat
pemberi izin wajib menolak penerbitan izin bagi usaha dan/atau kegiatan bersangkutan.

D. Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) & Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup
(DPLH).

DELH Merupakan dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
yang merupakan bagian dari proses audit lingkungan hidup yang dikenakan bagi usaha dan/atau
kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen
AMDAL. Contohnya adalah usaha/kegiatan yang sudah berjalan atau berproduksi dan masuk
dalam kategori wajib AMDAL tetapi tidak mempunyai dokumen AMDAL.

DPLH Merupakan dokumen yang memuat pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
yang dikenakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang sudah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan
tetapi belum memiliki UKL-UPL. Contohnya adalah usaha/kegiatan yang sudah berjalan atau
berproduksi dan masuk dalam kategori wajib UKL/UPLtetapi tidak mempunyai dokumen UKL /
UPL.

DELH atau DPLH wajib disusun oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria:
1. Telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan sebelum diundangkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2. Telah melakukan kegiatan tahap konstruksi sebelum diundangkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3. Lokasi usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana
tata ruang kawasan; dan
4. Tidak memiliki dokumen lingkungan hidup atau memiliki dokumen lingkungan hidup tetapi
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Keterkaitan Hukum Tata Ruang dan DELH & DPLH adalah:


- Lokasi usaha atau kegiatan harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana
tata ruang kawasan;
- Hukum Tata ruang mengatur tentang pengawasan penataan tata ruang yang mencakup
pengawasan terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan melalui kegiatan pemantauan,
evaluasi, dan pelaporan
- Pelaksanaan penataan ruang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang, dimana DELH & DPLH menjadi salah satu dokumen
untuk menjalankan pemanfaatan ruang.

E. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis,
menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program. norma yang tegas menyatakan KLHS merupakan instrumen wajib, berimplikasi
bahwa KLHS memegang peranan penting terhadap kualitas rencana tata ruang di Indonesia. Dalam
ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf a UU PPLH dinyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah
daerah wajib melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi rencana tata ruang wilayah
beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan
jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Dalam rangka menjalankan amanat KLHS, Pasal 19 UU PPLH menyatakan bahwa untuk
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata
ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS dan Perencanaan tata ruang wilayah ditetapkan dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Hal ini menunjukan fungsi
KLHS yang sangat berpengaruh pada materi muatan rencana tata ruang. KLHS digunakan untuk
merencanakan dan mengevaluasi kebijakan, rencana dan/atau program yang akan atau sudah
ditetapkan seperti:
- Dalam penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk
menyiapkan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program agar dampak
dan/atau risiko lingkungan yang tidak diharapkan dapat diminimalkan,
- Dalam evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk
mengidentifikasi dan memberikan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau
program yang menimbulkan dampak dan/atau risiko negatif terhadap lingkungan.

Berkenaan dengan KLHS, pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Negara


Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2011 Tentang Pedoman Umum Kajian
Lingkungan Hidup Strategis. Beberapa hal yang menjadi materi muatan peraturan menteri tersebut
antara lain:
1. KLHS ditujukan untuk menjamin pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam
pembangunan. Tiga nilai penting dalam penyelenggaraan KLHS yang mencerminkan
penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan adalah:
(1) keterkaitan (interdependency):
Penyelenggaraan KLHS mempertimbangkan keterkaitan antara satu komponen
dengan komponen lain dengan membangun pertautan tersebut maka KLHS dapat
diselenggarakan secara komprehensif.
(2) keseimbangan (equilibrium)
Penyelenggaraan KLHS dipenuhi nilai-nilai keseimbangan, seperti keseimbangan
antara kepentingan sosial ekonomi dengan kepentingan lingkungan hidup,
keseimbangan jangka panjang dan jangka pendek, dll.
(3) keadilan (justice);
Melalui KLHS dapat dihasilkan kebijakan, rencana, dan program yang tidak
mengakibatkan marginalisasi golongan masyarakat tertentu karena pembatasan akses
dan kontrol terhadap sumber-sumber alam atau modal dan pengetahuan.
2. Untuk penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program yang terkait penataan
ruang, kewajiban penyelenggaraan KLHS melekat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Dalam PP ini telah diatur bahwa
penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan daya dukung, daya tampung dan daya
lenting lingkungan hidup melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Hal ini sesuai dengan
UU PPLH yang mewajibkan penyelenggaraan KLHS dalam penyusunan dan evaluasi atau
peninjauan kembali rencana tata ruang dengan memperhatikan daya dukung, daya tampung
dan daya lenting lingkungan hidup.
3. Dalam penyusunan dan evaluasi RPJP dan RPJM, baik untuk tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota, wajib dilaksanakan KLHS. Pengintegrasian KLHS secara teknis untuk
RPJP/RPJM pada tingkat nasional akan ditentukan lebih lanjut oleh Bappenas, dan pada
tingkat provinsi dan kabupaten/kota oleh Kementerian Dalam Negeri.
4. Identifikasi dan pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan dapat dilakukan sesuai
proses dan prosedur penyusunan dan evaluasi masing-masing kebijakan, rencana, dan/atau
program. misalnya untuk penyusunan rencana tata ruang, hal ini mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam
Penataan Ruang.
5. Peraturan ini mendeskripsikan keterkaitan dengan KLHS yaitu bahwa dalam penetapan
struktur ruang, misalnya penetapan susunan pusat permukiman, harus ditetapkan dengan
mempertimbangkan akibatnya pada perubahan daya dukung lingkungan hidup (seperti
penurunan ketersediaan sumber daya air) atau berakibat pada penurunan jasa ekosistem
(seperti penurunan luas kawasan hutan lindung). Lebih lanjut dalam penetapan kawasan
budidaya tertentu harus memperhatikan berakibat pada perubahan daya dukung lingkungan
hidup (seperti kapasitas pasokan pangan); berakibat pada jasa ekosistem (seperti
berkurangnya kawasan resapan air) atau berakibat pada dampak lingkungan (seperti
kebisingan dan polusi udara).
Berdasarkan pengaturan tersebut, sudah terdapat keterkaitan langsung antara dokumen
KLHS dengan penataan ruang serta dalam penyusunan dan evaluasi rencana tata ruang,

2. 2. Perbandingan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup Terhadap Undang-Undang Cipta Kerja.

Hal UUPPLH UU Cipta Kerja

Tahapan 1. Proses dokumen 1. Proses dokumen


lingkungan (Amdal atau lingkungan (Amdal atau
UKL-UPL); UKL-UPL);
2. Persetujuan lingkungan; 2. Persetujuan Lingkungan;
3. Izin Lingkungan; 3. Perizinan Berusaha
4. Izin Usaha

Dasar proses perizinan - Dampak penting bagi - Risiko tinggi;


lingkungan; - Risiko menengah;
- Tidak berdampak penting - Risiko rendah.
bagi lingkungan.

Penilai Amdal Komisi Penilai Amdal (KPA) Lembaga Uji Kelayakan


(LUK)

Pembentuk Penilai Amdal Menteri, Gubernur, atau Pemerintah Pusat


Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya

Anggota Penilai Amdal - Instansi lingkungan hidup LUK menunjuk Tim Uji
dan teknis terkait; Kelayakan yang terdiri dari:
- Pakar bidang lingkungan - Unsur pemerintah pusat
dan pakar sesuai jenis pemerintah daerah;
kegiatan/ usaha; - Pakar bersertifikat yang
- Wakil dari masyarakat kompeten di bidangnya;
yang berpotensi terkena - Masyarakat yang terkena
dampak; dampak langsung.
- Organisasi lingkungan
hidup.

Unsur masyarakat yang - Masyarakat yang terkena Masyarakat yang terkena


dilibatkan dalam penilaian dampak kegiatan/usaha; dampak langsung.
Amdal - Pemerhati lingkungan;
- Masyarakat yang
terpengaruh atas segala
bentuk keputusan dalam
proses Amdal.

Bantuan dari pemerintah Bagi usaha dan/atau kegiatan Bagi usaha dan/atau kegiatan
berupa fasilitasi, biaya, dan/ golongan ekonomi lemah yang golongan ekonomi lemah yang
atau penyusunan Amdal berdampak penting terhadap berdampak penting terhadap
lingkungan hidup lingkungan hidup

Jika terjadi pelanggaran Konsekuensi terhadap Izin Konsekuensi terhadap


lingkungan Lingkungan Perizinan Berusaha

2. 3. Kesesuaian Berusaha dalam Undang-Undang Cipta Kerja

Perizinan lingkungan bagi pelaku usaha diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UUPPLH). UUPLH tidak mengatur secara tegas
hubungan hukum antara izin lingkungan dengan izin usaha atau kegiatan. UU Cipta Kerja
menyederhanakan proses perizinan dengan Perizinan Berusaha.

Bab III UU Cipta Kerja mengatur tentang peningkatan investasi dan kegiatan usaha. Pasal 6
menjelaskan peningkatan investasi yang meliputi kemudahan izin usaha yaitu penyederhanaan
persyaratan dasar perizinan usaha, pengadaan lahan, dan pemanfaatan lahan, penyederhanaan
persyaratan investasi.

UU Cipta Kerja mempermudah perizinan usaha dari yang awalnya berbasis izin menjadi
berbasis risiko dan skala usaha. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 BAB III. Tingkat risiko adalah
potensi terjadinya bahaya terhadap kesehatan hingga lingkungan. Untuk bisnis berisiko rendah
perizinan usaha hanya cukup dengan Nomor Induk Berusaha (NIB). Bisnis berisiko menengah
izinnya ditambah dengan pemenuhan sertifikat standar. Sedangkan yang berisiko tinggi
membutuhkan persetujuan dari pemerintah pusat untuk memulai usaha.

Pada pasal berikutnya menyebutkan penghapusan izin lokasi dengan kesesuaian tata ruang.
Kemudian integrasi persetujuan lingkungan dalam izin berusaha. Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) hanya untuk kegiatan usaha berisiko tinggi terhadap lingkungan. UU
Ciptaker juga menghapus syarat investasi yang ada dalam UU sektor, dan memindahkannya ke
dalam Peraturan Presiden Daftar Prioritas Investasi.
2. 4. Perubahan Nomenklatur Pada RUU Cipta Kerja tentang Lingkungan Hidup terutama
Izin Lingkungan

Adanya RUU Cipta Kerja, memberikan dampak bagi Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Pengolahan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). RUU Cipta Kerja ini dinilai
melemahkan perlindungan lingkungan hidup seperti diatur dalam UU PPLH. Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) diatur secara tidak
tegas dalam RUU Cipta Kerja. Dalam UU PPLH, UKL-UPL disebut bagian dari proses operasional
kegiatan.

Selain itu, RUU Cipta Kerja juga menghapus jenis sanksi administratif yang sebelumnya
sangat jelas tertuang dalam Pasal 76 ayat (2) UU PPLH. Kemudian, RUU Cipta Kerja juga
menghapus “izin lingkungan” menjadi “persetujuan lingkungan” yang juga berdampak pada
pelemahan. Padahal, izin lingkungan diperlukan untuk memperkuat syarat analisis dampak
lingkungan (AMDAL) yang selama ini izin lingkungan/izin usaha membuka ruang partisipasi
masyarakat melalui gugatan ke PTUN jika izin yang diterbitkan ternyata melanggar aturan seperti
diatur Pasal 93 UU PPLH. Jika RUU Cipta Kerja ini disahkan, maka tertutup ruang bagi
masyarakat sipil untuk mengajukan gugatan terhadap izin lingkungan yang diterbitkan pejabat
terkait.

Selanjutnya, tidak sedikit ketentuan RUU Cipta Kerja yang menarik kewenangan
pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Padahal, tidak semua urusan lingkungan hidup dapat
ditarik ke tingkat pusat. Selama ini pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota punya kewajiban
mengurusi soal lingkungan hidup, seperti kualitas udara, sampah, dan limbah termasuk limbah B3.
Apabila semua urusan lingkungan hidup ditarik dari daerah ke pusat, belum tentu Pemerintah Pusat
mampu untuk menyelesaikan semua masalah mengenai izin lingkungan dari berbagai provinsi di
Indonesia.

RUU Cipta Kerja juga melemahkan Pasal 98 dan Pasal 99 UU PPLH yang mengatur sanksi
pidana bagi pihak yang melakukan perusakan lingkungan hidup termasuk kebakaran hutan dan
lahan (Karhutla). Tapi, RUU Cipta Kerja mengatur pertanggungjawaban pidana dalam Pasal 98 dan
99 UU PPLH harus menempuh skema sanksi administrasi terlebih dahulu.
Penghapusan ruang partisipasi publik yang selama ini diatur Pasal 93 UU PPLH juga
dihapuskan dalam RUU Cipta Kerja. Hak partisipasi publik ini bisa dilakukan lewat jalur
pengadilan yang tujuannya mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan/atau izin usaha melalui
PTUN. Tapi, RUU Cipta Kerja ini menghapus Pasal 93 UU PPLH.

2. 5. Perubahan Undang - Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dalam UU Cipta Kerja.

Diterbitkannya Undang – Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker)
membawa beberapa perubahan pengaturan tentang lingkungan hidup sebagaimana yang diatur
dalam Undang – Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (PPLH), hal ini dilakukan agar memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam
memperoleh persetujuan lingkungan. Beberapa pasal yang mengalami perubahan, yaitu2 :

1. Izin Lingkungan

Pasal 40 UU PPLH tentang Izin Lingkungan dihapuskan dalam UU Ciptaker, dalam


pasal tersebut mengatur bahwa izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan, yang mana dalam hal izin lingkungan dicabut maka izin usaha
dan/atau kegiatan dibatalkan. Apabila usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, maka
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.

2. Pelibatan Penyusunan Amdal

Pasal 26 UU PPLH mengalami perubahan dalam UU Ciptaker mengenai pelibatan


penyusunan Amdal, perubahan yang dimaksudkan yaitu dalam UU PPLH melibatkan
masyarakat yang terdampak serta pemerhati lingkungan dalam Menyusun Amdal, tetapi
dalam UU Ciptaker hanya melibatkan masyarakat yang terdampak saja.

3. Tanggungjawab Limbah B3

Pasal 88 UUPPLH mengalami perubahan dalam Pasal 88 UU Ciptaker mengenai


tanggung jawab mutlak atas kerugian, dalam UUPPLH mengatur bahwa setiap orang yang

2 Diskusi Public “Izin Lingkungan Hidup UU Ciptaker”, https://leip.or.id/diskusi-publik-izin-lingkungan-hidup-


uu-ciptaker/#:~:text=Dalam%20UU%20Ciptaker%2C%20Amdal%20yang,kelayakan%20lingkungan
%20hidup%20pemerintah%20pusat., diakses pada tanggal 19 Januari 2021 pada pukul 13.00
karena usaha atau kegiatannya menghasilkan limbah B3 maka harus bertanggung jawab
secara mutlak tanpa perlu ada pembuktian unsur kesalahan tetapi dalam UU Ciptaker frasa
“tanpa perlu ada pembuktian unsur kesalahan” dihapuskan.

4. Pembekuan atau Pencabutan Izin


Pasal 79 UU PPLH dihapuskan dalam UU Ciptaker yang mengatur tentang
pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan
dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan
pemerintah.

5. Kegunaan Amdal3
Pasal 1 angka 11 UUPPLH mengalami perubahan dalam UU Ciptaker, yang
mengatur bahwa Amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan, apabila tidak ada rekomendasi Amdal dari
Komisi Penilai Amdal, yang dibentuk Menteri, gubernur, atau bupati/ wali kota sesuai
kewenangannya, maka izin lingkungan tak akan terbit.
Tetapi dalam UU Ciptaker mengatur bahwa Amdal merupakan dasar uji kelayakan
lingkungan dalam penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Uji kelayakan lingkungan
tersebut dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan
hidup pemerintah pusat, yang terdiri atas unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
ahli bersertifikat. Hasil dari uji kelayakan berupa rekomendasi mengenai apakah suatu
lingkungan layak atau tidak layak untuk digunakan, dan berdasarkan rekomendasi tersebut
kemudian pemerintah pusat atau pemerintah daerah akan menetapkan keputusan tentang
kelayakan lingkungan, dan penetapan kelayakan lingkungan tersebut akan digunakan
sebagai persyaratan penerbitan perizinan berusaha.

6. Penyusunan Amdal

Pasal 25 huruf c UU PPLH mengalami perubahan dalam UU Ciptaker yang


mengatur tentang berkas yang diperlukan dalam penyusunan Amdal. Dalam UUPPLH
mengatur bahwa dokumen Amdal salah satunya harus memuat saran dan masukan dari

3 Point Perubahan UU Lingkungan Hidup di Omnibus Law, https://www.merdeka.com/peristiwa/poin-


perubahan-uu-lingkungan-hidup-di-omnibus-law-salah-satunya-soal-perizinan.html, diakses pada tanggal 19
Januari 2020 pada pukul 16.00
masyarakat yang terkena dampak langsung yang relevan dengan rencana usaha/ kegiatan,
tetapi dalam UU Ciptaker diubah menjadi saran masukan serta tanggapan berasal dari
masyarakat yang dalam hal ini tidak harus masyarakat secara langsung terkena dampak

7. Mekanisme Keberatan Amdal


Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 UU PPLH dihapuskan dalam UU Ciptaker yang
mengatur tentang mekanisme keberatan masyarakat terhadap dokumen Amdal. UU PPLH
mengatur bahwa masyarakat dapat mengajukan keberatan/ upaya hukum terhadap dokumen
Amdal. Penghapusan ketentuan tersebut menyebabkan tindakan masyarakat dipersempit
dalam memastikan kelestarian lingkungan, terutama dalam menjaga agar dokumen Amdal
tidak dibuat sembarangan oleh pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab.

BAB III

PENUTUP

3. 1. Kesimpulan

Terdapat berbagai syarat yang perlu dipenuhi oleh para pelaku usaha sebelum dapat
menjalankan kegiatan usahanya. Syarat tersebut diatur dalam Undang - Undang No.32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun
1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, dan Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. yang sekarang sudah diatur dalam Undang - Undang No.11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (“UU Ciptaker”), apabila syarat yang sudah ditentukan dalam UU Ciptaker tidak
dipenuhi maka para pelaku usaha dilarang untuk menjalankan kegiatan usahanya.

Pengertian Dokumen Lingkungan Hidup menurut Permen Lingkungan Hidup No. 14 tahun 2010
tentang DELH dan DPLH yaitu: (UKL-UPL), surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup (SPPL), dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
(DPPL), studi evaluasi mengenai dampak lingkungan hidup (SEMDAL), studi evaluasi lingkungan
hidup (SEL), penyajian informasi lingkungan (PIL), penyajian evaluasi lingkungan (PEL),
dokumen pengelolaan lingkungan hidup (DPL), rencana pengelolaan lingkungan dan rencana
pemantauan lingkungan (RKL-RPL), dokumen evaluasi lingkungan hidup (DELH), dokumen
pengelolaan lingkungan hidup (DPLH), dan Audit Lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan:

● Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;


● Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
● Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
● Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
● Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
● Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;
● Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan
yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
● Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2011
tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis;
● Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup.

Jurnal :

● Ady Thea DA. 2018. “RUU Cipta Kerja Dinilai Lemahkan Perlindungan Lingkungan
Hidup”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e4b949650958/ruu-cipta-kerja-
dinilai-lemahkan-perlindungan-lingkungan-hidup?page=all diakses pada Selasa, 19 Januari
2021 10.33
● Legalitas Kita. “SPPL (Surat Pernyataan Pernyataan Pengelolaan Lingkungan) Pengganti
UUG & HO”, https://legalitaskita.id/blog/sppl-surat-pernyataan-pernyataan-pengelolaan-
lingkungan-pengganti-uug-ho/ diakses pada Selasa, 19 Januari 2021 10.17

Berita :

● Diskusi Public “Izin Lingkungan Hidup UU Ciptaker”, https://leip.or.id/diskusi-publik-izin-


lingkungan-hidup-uu-ciptaker/#:~:text=Dalam%20UU%20Ciptaker%2C%20Amdal
%20yang,kelayakan%20lingkungan%20hidup%20pemerintah%20pusat., diakses pada
tanggal 19 Januari 2021 pada pukul 13.00

● Point Perubahan UU Lingkungan Hidup di Omnibus Law,


https://www.merdeka.com/peristiwa/poin-perubahan-uu-lingkungan-hidup-di-omnibus-law-
salah-satunya-soal-perizinan.html, diakses pada tanggal 19 Januari 2020 pada pukul 16.00

Anda mungkin juga menyukai