Beranda
Daftar Isi
Mengenai Saya
Produk & Layanan
Troubleshooting
Analisa akar masalah (Root Cause Analysis / RCA) adalah sebuah alat kerja yang sangat
berguna untuk mencari akar masalah dari suatu insiden yang telah terjadi. Sedangkan untuk
menganalisa masalah yang belum terjadi, kita menggunakan alat yang disebut FMEA yang
telah dibahas pada posting terdahulu.
Menemukan akar masalah merupakan kata kunci. Sebab, tanpa mengetahui akar
masalahnya, suatu insiden tidak dapat ditanggulangi dengan tepat, yang berakibat pada
berulangnya kejadian insiden tersebut dikemudian hari. Berikut ini adalah tahap-tahap yang
perlu dilakukan untuk memulai suatu aktifitas RCA.
1. Klasifikasi Insiden
Tidak seluruh insiden atau masalah yang terjadi dilakukan prosedur lengkap RCA. Masalah
harus dilakukan klasifikasi dan prioritas. Tujuannya agar terjadi efisiensi dalam pekerjaan.
Hal ini karena prosedur lengkap RCA memerlukan sumber daya yang khusus, jumlahnya
terbatas di organisasi, dan memakan waktu yang tidak sebentar. Sehingga, organisasi perlu
menetapkan suatu metode klasifikasi dan prioritas masalah. Hanya masalah yang masuk
kriteria saja yang dilanjutkan ke prosedur RCA. Sementara masalah lain yang tidak masuk
kriteria, tetap dilakukan analisa menggunakan prinsip-prinsip RCA tetapi tidak seluruh
urutan prosedur lengkap RCA dilakukan. Yang dimaksud prosedur lengkap RCA adalah
seluruh tahapan prosedur dilakukan.
Salah satu alat yang dapat dipakai untuk melakukan klasifikasi dan prioritas masalah adalah
membuat peringkat masalah berdasarkan Konsekuensi (Consequence) dan Likelihood.
Consequence adalah seberapa berat dampak dari masalah itu. Sedangkan Likelihood adalah
seberapa sering masalah itu terjadi. Consequence dan Likelihood diperingkat menggunakan
angka dari 1 sampai 5. Makin tinggi angka berarti makin berat atau makin sering. Setelah
angka nilai Consequence (C) dan Likelihood (L) didapat, kedua angka tersebut dilakukan
perkalian. Angka hasil perkalian itulah yang menentukan peringkatnya. Makin tinggi
angkanya, makin tinggi peringkatnya. Kita dapat menggolongkan peringkat menjadi empat
golongan, yaitu ekstrim (15 – 25), besar (8 – 12), sedang (4 – 6), kecil (1 – 3).
Penjelasan tentang Consequence dan Likelihood dapat dilihat disini. Organisasi dapat
membuat kebijakan bahwa hanya masalah yang mempunyai peringkat ekstrim (15 – 25) saja
yang dilakukan prosedur RCA.
Contoh:
Perawat tertusuk jarum. Konsekuensi dari insiden ini adalah 4, karena dampak dari tertusuk
jarum adalah berat (dapat tertular penyakit HIV, Hepatitis B, C, dll). Likelihood dari insiden
ini adalah 5, karena insiden ini terjadi setiap bulan. Sehingga, peringkat risikonya adalah: 4
X 5 = 20 (ekstrim). Peringkat insiden ini memenuhi kriteria untuk dilakukan prosedur RCA.
Catatan:
untuk kejadian yang berdampak berat (konsekuensinya 4 atau 5, tetapi sangat jarang
terjadi, peringkat resikonya disamakan dengan ekstrim dan dilakukan prosedur RCA.
Membentuk tim RCA merupakan langkah berikutnya yang penting. Tanpa tim yang
representatif, hasil aktifitas RCA tidak akan valid. Rekomendasi yang dihasilkannya pun
tidak tepat. Oleh karena itu, perlu perhatian khusus untuk menentukan siapa saja yang
dipilih untuk menjadi anggota tim.
Sebagai pedoman, anggota tim haruslah orang-orang yang kompeten dalam bidang yang
akan dibahas. Kemudian, mereka juga harus dalam posisi netral, bukan orang yang ada
sangkut-pautnya langsung dengan masalah yang akan dibahas. Jika diperlukan, dapat
ditunjuk seorang ahli dari luar organisasi untuk menambah bobot dari tim ini. Jumlah
anggota tim jangan terlalu banyak. Ukuran yang normal adalah antara 5 sampai 8 orang.
Contoh:
Pada kasus tertusuk jarum di atas, anggota tim RCA adalah: manajer keperawatan, manajer
mutu, koordinator pengendalian infeksi, manajer penunjang medis, koordinator K3.
Tim kemudian bekerja mengumpulkan data. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran
seobyektif mungkin atas peristiwa yang telah terjadi. Ingat, yang dikumpulkan hanya data,
bukan asumsi, kesan, atau tafsiran. Sumber data dapat diperoleh dari:
catatan medis
wawancara orang yang terlibat
wawancara dengan seluruh saksi
kunjungan ke lokasi kejadian
peralatan yang terlibat
dll.
Data-data di atas diperlukan untuk melihat kesenjangan (gap) yang terjadi antara fakta yang
terjadi dengan yang seharusnya dilakukan.
Setelah seluruh data terkumpul, insiden yang terjadi direkonstruksi dengan menggunakan
data-data yang tersedia. Seluruh data disusun menurut urutan kejadiannya. Ada beberapa
alat yang dapat dipakai untuk memetakan urutan kejadian ini, misalnya:
Narrative Chronology
Time Person Grid
Timelines
Tabular Timelines
Informasi perihal kapan masing-masing alat tersebut dipakai, kelebihan, kekurangan, dan
contohnya dapat dilihat disini (halaman 5).
Pada kasus tertusuk jarum seperti di atas, kita cukup menggunakan narrative chronology,
karena insiden tersebut merupakan peristiwa tunggal dan prosesnya tidak kompleks.
Contoh:
5. Identifikasi dan Memprioritaskan Masalah
Setelah seluruh data dipetakan, mulailah kita masuk ke tahap awal analisa masalah, yaitu
dengan mengidentifikasinya. Identifikasi masalah ini sangat penting, dan hanya dapat
dilakukan oleh orang yang memahami proses yang standard (yang seharusnya terjadi).
Caranya adalah dengan meneliti seluruh urutan informasi untuk mencari tahu apakah
kejadian-kejadian tersebut terjadi sudah sesuai dengan seharusnya atau tidak.
Untuk memastikan hal ini, diperlukan berbagai dokumen seperti: Kebijakan dan prosedur
internal organisasi, peraturan atau perundang-undangan, standard mutu, referensi ilmiah
terkini, dan lain-lain. Jika ditemukan ketidaksesuaian dengan kebijakan, prosedur, standard,
referensi ilmiah terkini, itulah yang disebut sebagai masalah. Setelah masalah teridentifikasi,
barulah kita lakukan prioritas masalah. Masalah-masalah kecil yang tidak penting dan tidak
berpengaruh besar pada terjadinya insiden kita singkirkan, dan kita focus pada masalah-
masalah utama.
Pada kasus sederhana seperti tertusuk jarum di atas, masalah tertusuk jarum dapat dipakai
sebagai masalah itu sendiri. Tetapi jika masalahnya kompleks dan melibatkan banyak
pihak / departemen, masalahnya harus diidentifikasi satu demi satu.
6. Analisa Untuk Mencari Faktor yang Berperan
Masalah-masalah yang telah diidentifikasi kemudian dianalisa untuk mencari faktor yang
berkontribusi. Ada dua alat terkenal yang biasanya dipakai untuk analisa ini, yaitu 5 Why
dan diagram tulang ikan. Contoh format diagram tulang ikan dapat dilihat disini.
5 Why dilakukan dengan cara bertanya “Why” sampai 5 kali terhadap suatu masalah sampai
tidak ada jawaban lagi yang dapat dikemukakan. Namun, 5 Why mempunyai kelemahan
mendasar, yaitu bentuk pertanyaannya sangat terbuka dan tidak terarah. Sehingga,
hasilnya sangat tergantung pada latar belakang penanya dan yang ditanya. Boleh jadi,
untuk satu masalah yang sama tapi dilakukan oleh dua orang yang berbeda, akan
didapatkan hasil yang berbeda.
Karena 5 Why mempunyai kelemahan mendasar, maka yang dianjurkan adalah menganalisa
masalah menggunakan diagram tulang ikan. Diagram tulang ikan dirancang untuk mencari
faktor yang berperan dengan terarah. Untuk memudahkan mencari faktor yang berperan
pada diagram tulang ikan, dapat digunakan pertanyaan triase faktor yang berperan.
Pertanyaan triase tersebut dapat anda lihat disini (halaman 8). Anda juga dapat mencari
faktor yang berperan dengan menggunakan alat bantu tabel contributing faktor yang
dikeluarkan oleh NPSA, yang dapat anda lihat disini (halaman 14).
Pada kasus tertusuk jarum seperti di atas, contoh diagram tulang ikannya dapat dilihat disini
(halaman 22).
Hasil dari analisa ini adalah didapatkannya faktor yang berperan terhadap insiden tersebut.
Untuk setiap faktor yang berperan, dilakukan prosedur pertanyaan “5 Why” sampai tidak
ada jawaban lagi yang dapat dikemukakan. Jawaban terakhir itulah yang biasanya
merupakan akar masalah.
Sebagai bagian akhir dari analisa ini, kita mencoba membuat pernyataan sebab akibat,
untuk menguji apakah akar masalah yang kita dapatkan berhubungan sebab akibat dengan
insiden yang terjadi. Juga untuk menguji, apakah jika akar masalah tersebut di atasi, insiden
dapat dihindari.
Menyusun rekomendasi merupakan hal yang paling penting dari aktifitas RCA ini. Karena
tanpa rekomendasi, masalah tidak dapat diselesaikan dan terus membebani organisasi.
Ibarat berobat ke dokter, pasien tidak cukup diberi tahu tentang diagnosanya, tapi jauh
lebih penting adalah diberi pengobatan yang tepat.
Ada satu alat yang sangat berguna untuk menyusun penyelesaian masalah ini. Alat itu
disebut analisa penghalang (barrier analysis).
Namun, sebelum masuk ke dalam analisa penghalang, kita perlu memahami dahulu
pengertian penghalang dihubungkan dengan kemampuannya mencegah terjadinya insiden.
Ilustrasi tentang penghalang dihubungkan dengan kemampuannya mencegah terjadinya
insiden adalah sebagai berikut:
Dari ilustrasi di atas, jelas terlihat bahwa tebal lapisan penghalang tidaklah sama. Yang
paling kuat adalah adanya alat, sedangkan yang paling lemah adalah kebijakan / prosedur.
Contoh:
Aktifitas berenang: Memakai pelampung (alat) jauh lebih efektif dalam mencegah insiden
tenggelam dibandingkan berenang dengan prosedur yang benar (kebijakan / prosedur).
Ilustrasi di atas memberikan penjelasan kepada kita, bahwa jika kita ingin mencari solusi
atas suatu masalah, utamakan solusinya adalah berupa alat / disain. Jika alat tidak ada,
barulah cari solusi lain.
Sekarang kita kembali ke analisa penghalang. Dengan berpedoman pada ilustrasi di atas,
maka analisa penghalang untuk kasus tertusuk jarum tersebut adalah seperti yang dapat
anda lihat disini (halaman 23).
Contoh rekomendasi kasus tertusuk jarum dapat anda lihat disini (halaman 24).
Laporan RCA berisi rincian seluruh kegiatan pelaksanaan RCA mulai dari awal sampai
rekomendasi yang diberikan. Laporan ini kemudian disampaikan kepada pemimpin
organisasi untuk disetujui. Proses persetujuan ini sangat penting. Karena tanpa persetujuan
pemimpin, rekomendasi tak dapat dieksekusi dan dilaksanakan.
Sumber: