Anda di halaman 1dari 18

MEKANISME PELAKSANAAN KONSELING PASCA BENCANA

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Bimbingan Konseling Pasca Bencana

Dosen Pengampu : H. Dede Lukman, S.Sos.I., M.Ag

Disusun oleh : Kelompok 1

Rohmat Kurniawan 1184010163

Seli Siti Nurhasanah 1174010144

Sheni Nindriyani S 1174010145

Siti Mardiah 1174010150

Siti Zahra Salsabila 1174010154

Susi Rahayu 1174010158

Syifa Nurfadiilah 1174010160

Tian Rohyani 1174010163

Tiani Sylvia Novianti 1174010164

Yuli Mulyana 1174010173

Zakiatul Fiqriah 1174010180

JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bandung , 03 November 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2
C. Tujuan.............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
A. WAKTU PELAKSANAAN KONSELING PASCA BENCANA.................................3
B. AKTIVITAS PELAKSANAAN KONSELING PASCA BENCANA..........................3
C. FOKUS LAYANAN KONSELING...............................................................................7
D. PERBEDAAN KONSELING PASCA BENCANA DENGAN KONSELING BIASA 9
E. MEKANISME KONSELING PASCA BENCANA....................................................10
BAB III PENUTUP..................................................................................................................12
A. KESIMPULAN.............................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 menjelaskan
bahwa bencana adalah sebuah rangkaian kejadian yang mengganggu dan
mengancam penghidupan dan kehidupan masyarakat sekitar yang disebabkan oleh faktor
alam, non alam, atau faktor manusia yang menelan korban jiwa manusia, rusaknya
lingkungan, kehilangan harta benda, dan dampak pada psikologis. Indonesia adalah
negara yang rawan akan bencana alam. Kondisi tersebut membuat Indonesia
dilanda oleh bencana alam yang datang silih berganti setiap tahunnya (Rahmat et
al., 2020). Penanganan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan haruslah dilakukan
sesegera mungkin setelah bencana terjadi. Semakin cepat penanganan dilakukan
maka dampak negatif semakin depat pula dapat direduksi serta dapat
mempercepat pula proses pemulihan fungsipsikologis korban bencana alam.

Dalam menangani dampak negatif yang ditimbulkan oleh bencana alam


bukanlah suatu perkara yang mudah tetapi butuh berbagai pihak yang
berkolaborasi untuk menanganinya. Begitu juga bencana memiliki akibat yang
cukup fatal yaitu dampak psikologis. Dampak psikologis dipengaruhi oleh
interaksi perubahan atau gangguan fisik, psikologi, situasi sosial, dan masalah yang
bersifat material (Rahmat et al., 2018). Akibat dari bahaya trauma ini diperlukan
suatu solusi untuk mengurangi dampak psikologis pada korban bencana.

Melihat kondisi yang demikian, maka diperlukanlah suatu layanan


konseling pada individu yang mengalami trauma-trauma maupun dampak
psikologis agar tidak sampai belebihan seperti stress dan depresi yang berdampak mereka
tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Dalam melakukan
konseling traumatik, keberadaan konsep deteksi awal akan menjadi hal penting untuk
dipahami dan diperhatikan oleh pemberi bantuan sehingga tergambar berbagai
sifat atau jenis trauma yang diderita oleh korban seperti trauma ringan, sedang, dan
berat. Namun, tidak semuaperistiwa yang dialami manusia bermuara kepada trauma.
Metode yang digunakan oleh konselor dalam menangani konseli juga berbeda-beda,
hal ini wajar karena setiap orang berbeda-beda dalam memahami orang lain. Dalam
pendekatannya,ada yang menggunakan pendekatan persuasif dan ada juga dengan
pendekatan intensif. Maka dari itu penulis akan membahas mengenai Mekanisme
pelaksanaan konseling pasca bencana pada makalah ini.

1
B. Rumusan Masalah
1. Kapan Waktu Pelaksanaan Konseling Pasca Bencana?
2. Bagaimana Aktivitas Layanan Konseling Pasca Bencana?
3. Bagaimana Fokus Pelaksanaan Konseling Pasca Bencana?
4. Apa Perbedaan Konseling Pasca Bencana Dan Konseling Biasa?
5. Bagaimana Mekanisme Konseling Pasca Bencana?

C. Tujuan
1. Mengetahui Waktu Pelaksanaan Konseling Pasca Bencana
2. Mengetahui Aktivitas Layanan Konseling Pasca Bencana
3. Mengetahui Fokus Pelaksanaan Konseling Pasca Bencana
4. Mengetahui Perbedaan Konseling Pasca Bencana Dan Konseling Biasa
5. Mengetahui Mekanisme Konseling Pasca Bencana

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. WAKTU PELAKSANAAN KONSELING PASCA BENCANA

Konseling Pasca Bencana sangat berbeda dengan konseling biasa dilakukan


oleh konselor, perbedaan ini terletak pada waktu, fokus, aktivitas, dan tujuan. Adapun
konseling Pasca Bencana memerlukan waktu yang lebih lama dari konseling biasa,
fokus pada trauma yang dirasakan sekarang, lebih banyak melibatkan orang banyak
dalam membantu konseli dan yang paling aktif berperan adalah konselor (Tambusai,
2008). Adapun proses konseling Pasca Bencana adalah proses tengah berlangsung dan
memberi makna bagi klien yang mengalami trauma dan memberi makna pula bagi
konselor yang membantu mengatasi trauma kliennya.

B. AKTIVITAS PELAKSANAAN KONSELING PASCA BENCANA

Konseling pasca bencana lebih banyak melibatkan banyaknya orang dalam


membantu klien dan yang paling banyak aktif adalah konselor, konselor berusaha
mengarahkan, mensugesti, memberi saran, mencari dukungan dari keluarga dan teman
klien, melibatkan orang atau agen lain yang kompeten secara legal untuk membantu
klien, dan mengusulkan berbagai perubahan lingkungan untuk kesembuhan klien.

Konselor memiliki peranan penting untuk membantu korban yang selamat dari
bencana alam yaitu dengan memberikan pelayanan Disaster Counseling (konseling
bencana). Layanan konseling bencana pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban
bencana yang mengalami trauma atau situasi krisis. Peran konselor yaitu dengan
memberikan layanan konseling. Adapun jenis layanan yang dapat diberikan kepada
korban yaitu :

1. Play Therapy
Menurut Kaplan,dkk (1997), konselor dapat memberikan layanan berupa
play theraphy kepada para korban bencana berusia anak-anak. Anak-anak
cenderung lebih mudah mengalami trauma dibandingkan orang dewasa karena
anak-anak belum memiliki kematangan identitas diri dan kemampuan koping
terhadap stres masih terbatas, sehingga jika trauma psikis terjadi pada anak-anak

3
biasanya akan terjadi penghentian perkembangan emosional. Layanan yang
diberikan kepada anak-anak hendaknya dapat sesuai dengan karakteristik
perkembangan, baik aspek sosial, kognitif, emosi, maupun psikomotorik anak. Play
therapy menekankan pada kekuatan permainan sebagai alat untuk membantu klien
yang memerlukan bantuan. Hasil penelitian oleh Mukhadiono dkk (2016)
membuktikan bahwa Play therapy menjadi salah satu alternatif penanganan yang
cukup efektif untuk membantu mengatasi trauma pada anak-anak korban bencana
alam.
Menurut The Association for Play Therapy (dalam Nawangsih, 2014),
terdapat 14 macam keuntungan yang diperoleh bila menggunakan play therapy,
yaitu :
a. Mengatasi resistensi. Anak-anak biasanya sulit untuk diajak konsultasi dengan
konselor, apalagi mempunyai keinginan sendiri.
b. Komunikasi. Permainan merupakan salah satu cara untuk menarik anak agar
bisa terlibat dalam kegiatan konseling. Permainan adalah media alami yang
digunakan anak untuk mengeskpresikan dirinya. Konselor bisa menggunakan
berbagai pilihan permainan yang dapat memancing anak untuk dapat terus
terlibat dalam permainan.
c. Kompetensi. Bermain memberikan kesempatan bagi anak untuk memenuhi
kebutuhan anak untuk mengeksplorasi dan menguasai se-suatu keterampilan.
Konselor bisa membangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa anak
sedang melakukan kerja keras dan menunjukkan kemajuan.
d. Berpikir kreatif. Keterampilan problem solving dikembangkan, sehingga
pemecahan atas persoalan anak bisa tercapai. Permainan memberikan peluang
yang besar bagi anak untuk mengembangkan kemampuan diri untuk berpikir
kreatif atas persoalan yang dialami
e. Chatarsis. Melalui permainan anak-anak dapat menyampaikan tekanan emosi
yang dialaminya dengan lebih bebas, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan
berkembang secara optimal tanpa beban mental
f. Abreaction. Dalam bermain, anak mendapat kesempatan untuk mem proses
dan menyesuaikan kesulitan yang pernah dialami secara simbolis dengan
ekspresi emosi yang lebih tepat\
g. Role playing. Anak dapat mempraktekkan berbagai tingkah laku yang baru
dan mengembangkan kemampuan empati dengan orang lain

4
h. Fantacy. Anak-anak dapat menggunakan imajinasinya untuk mengerti akan
pengalamannya yang menyakitkan. Mereka juga bisa mencoba mengubah
hidup mereka secara perlahan-lahan
i. Metaphoric teaching. Anak-anak dapat memperoleh pengertian yang
mendalam atas kesulitan dan ketakutan yang dialaminya dengan kiasan yang
dimunculkan dalam permainan.
j. Attachment formation. Anak dapat mengembangkan suatu ikatan dengan
konselor serta mengembangkan kemampuan untuk membangun koneksi
dengan orang lain.
k. Peningkatan hubungan. Hubungan terapi yang positif, memberikan kebebasan
anak untuk mewujudkan aktualisasi diri dan tumbuh semakin dekat dengan
orang lain disekitarnya. Anak dapat mengenal cinta dan perhatian yang positif
terhadap lingkungannya
l. Emosi positif. Anak-anak menikmati permainan, dengan suasana hati ini
mereka bisa tertawa dan mempunyai waktu yang menyenangkan di tempat
yang mereka merasa diterima.
m. Menguasai ketakutan. Dengan permainan yang diulang-ulang akan
mengurangi kegelisahan dan ketakutan anak. Bekerja dengan mainan, seni dan
media bermain lainnya mereka akan menemukan berbagai keterampilan dalam
mengatasi ketakutan
n. Bermain game. Game membantu anak untuk bersosialisasi dan
mengembangkan kekuatan egonya. Mereka mempunyai peluang untuk
meningkatkan keterampilan.
2. Penenangan

Bencana alam menyisahkan luka yang mendalam bagi korban yang selamat
bahkan para korban yang berada di pengungsian terkadang mengalami suasana
yang mencekam, rasa cemas yang tinggi, stres, kecemasan neuratik, dan trauma
yang mendalam kepada korban yang selamat setelah terjadinya bencana, sehingga
memerlukan penanganan (teknik dan pendekatan) khusus untuk membantu
menghilangkan rasa cemas yang dialami oleh korban. Ada dua teknik penenangan
yang dapat diberikan kepada korban yaitu:

5
a. Relaksasi, yaitu merupakan teknik yang bertujuan untuk membantu korban
yang mengalami ketegangan psikis agar menjadi lebih tenang (Taufik dan
Karneli, 2012).
b. Disensitisasi, yaitu merupakan suatu pedekatan yang digunakan untuk
mengubah tingkah laku melalui perpaduan beberapa teknik yang terdiri dari
memikirkan sesuatu, menenangkan diri, dan membayangkan sesuatu (Munro,
Manthei, dan Small, 1985).

Teknik penenangan merupakan suatu teknik intervensi dalam konseling


yang dapat dilakukan oleh konselor untuk membantu korban agar menjadi lebih
relaks. Kondisi rileks adalaah kondisi dimana korban dalam keadaan tenang dan
dalam suasana emosi yang tenang (Sutarjo, Arum, & Suarni, 2014), serta
berkurangnya kesensitifan terhadapperangsang tertentu. Menurut Afnibar (2012),
teknik penenangan (relaksasi dan disensitisasi) merupakan salah satu teknik yang
tepat untuk digunakan dalam mengatasi trauma yang dialami oleh korban bencana
alam. (Saputra et al., n.d.)

3. Layanan pendalaman.
Setiap orang yang menjadi korban bencana alam memiliki respon,
masalah,dan kondisi trauma yang bervariasi dan dengan intensitas yang berbeda-
beda pula. Layanan pendalaman adalah layanan yang diberikan kepada korban
bencana alam yang memerlukan penanganan secara mendalam melalui layanan
konseling. Beberapa masalah yang dirasakan oleh korban bencana alam mungkin
dapat terselesaikan melalui layanan play therapy dan teknik penenangan atau
melalui teknik-teknikyang lainnya. Namun, ada beberapa masalah yang lain
mungkin masih memerlukan penanganan secara mendalam agar dapat terentaskan.
Layanan pendalaman yang dapat diberikan kepada korban bencana alam
yang selamat yaitu melalui berbagai jenis layanan konseling (layanan orientasi,
layanan informasi, layanan penempatan dan penyaluran, layanan penguasaan
konten, layanan konseling perorangan, layanan bimbingan kelompok, layanan
konseling kelompok, layanan konsultasi, layanan mediasi, dan layanan advokasi)
(Tim Konseling Trauma, 2009).
Penerapan jenis layanan konseling tergantung pada tingkat, jenis, dan
kondisi permasalahan yang dialami oleh korban bencana alam, serta
pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan (lokasi

6
pegungsian). Sedangkan untuk mengetahui, apakah korban bencana alam
memerlukan layanan pendalaman, maka konselor perlu untuk menanyakan
intensitas masalah yang masih dialami setelah mengikuti kegiatan konseling
trauma. Korban yang menyatakan bahwa masalah yang dialaminya belum
terentaskan dan memerlukan tindakan lanjutan (layanan pendalaman). Maka
konselor harus mendekati korban baik secara individu maupun kelompok
(tergantung pada masalah yang dialami), untuk selanjutnya diberikan layanan
pendalaman. (Safitri & Irawan, 2018).

C. FOKUS LAYANAN KONSELING

Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban


selamat yang mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua maupun anak-
anak. Anak-anak perlu dibantu untuk bisa menatap masa depannya dan membangun
harapan baru dengan kon- disi yang baru pula. Bagi orang tua, layanan konseling
trauma akan mem-bantu mereka memahami dan menerima kenyataan hidup saat ini;
untuk selanjutnya mampu melupakan semua tragedi dan memulai kehidupan baru.

Di samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan konseling trauma


bagi orang tua idealnya juga memberikan keterampilan yang dapat dijadikan modal
awal memulai kehidupan baru dengan pekerjaan-pekerjaan baru sesuai kapasitas yang
dimiliki dan daya dukung lingkungan. Dengan demikian, mereka bisa sesegera
mungkin menjalani hidup secara mandiri sehingga mereka tidak terus-menerus
menyandarkan kehidupannya pada orang lain, termasuk pada pemerintah. Untuk
mencapai efektifitas layanan, konseling trauma dilakukan dengan dua format, yaitu
format individual (untuk korban yang tingkat stres dan depresinya berat), dan format
kelompok (untuk individu yang beban psikologisnya masih pada derajat sedang).

Sebelum pelaksanaan layanan konseling diberikan, langkah pertama adalah


menciptakan rasa aman (Weaver, dkk.2003). Bagi individu yang mengalami trauma,
dunia ini dirasa tidak aman dan nyaman. Oleh sebab itu, mereka memerlukan orang
lain yang bisa memberikan perlindungan dan rasa nyaman pada mereka, sehingga
mereka merasa tidak sendirian dalam hidup ini. Penciptaan rasa aman teresebut bisa
dilakukan dengan mengadakan permainan yang bisa mendorong individu untuk
melupakan sejenak peristiwa traumatis yang dialaminya. Bagi individu yang

7
mengalami trauma karena perampokan di tempat kerja, penciptaan rasa aman bisa
dilakukan dengan memberi izin untuk tidak masuk kerja dalam beberapa hari; dan
bagi yang kena rampok di rumah, bisa dilakukan dengan pindah rumah buat
sementara.

Pendekatan klasikal bisa diterapkan untuk kasus-kasus yang berhubungan


dengan rasa takut yang tidak adaptif (Prawitasari, 2011). Salah satu teknik yang
digunakan secara luas bagi klien yang mengalami masalah kecemasan karena
peristiwa traumatis adalah disensitisasi sistematik (Holden, dalam Locke, Myers, dan
Herr, 2001; George dan Cristiani, 1995). Prawitasari (2011:159) menyebutnya dengan
istilah “nirpeka beraturan”. Teknik ini didasarkan atas prinsip classical conditioning.
Asumsi dasar yang mendasari teknik ini adalah bahwa semua perilaku individu
terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar, dan untuk mengubah, memodifikasi
atau menghilangkan perilaku tersebut juga melalui belajar. Oleh sebab itu, responsi
terhadap kecemasan itu bisa dipelajari atau dikondisikan (Wolpe, dalam Hock, 1999),
dan proses ini disebut dengan terapi (Corey, 2012).

Sebelum disensitisasi dimulai, konselor melakukan konseling untuk


mengetahui informasi spesifik tentang kecemasan klien guna memahami latar
belakang diri klien secara komprehensif. Konselor harus mengidentifikasi gejala-
gejala trauma atau PTSD yang dialami oleh klien (Lawson, 2001) dengan me-
nanyakan kepada klien tentang kondisi atau peristiwa khusus yang memicu rasa takut
tersebut. Hal ini bisa dilakukan jika klien merasa nyaman, dan rasa nyaman itu
diciptakan oleh konselor.

Setelah penyulut kecemasan terdeteksi, konselor bersama klein menyusun


daftar urutan situasi yang menyulut kecemasan dalam bentuk hirarki, mulai dari
situasi yang menimbulkan kecemasan rendah sampai tinggi (Wolpe, dalam Hock,
1999; Holden, dalam Locke, Myers, dan Herr, 2001). Jumlah tahapan atau hirarki
urutan kecemasan yang disusun tergantung pada tingkat kecemasan yang dialami
klien, biasanya sampai lima, enam, atau lebih (Wolpe, dalam Hock, 1999). “Dalam
teknik ini, klien dilatih dulu untuk relaksasi ke- mudian secara bertahap relaksasi ini
dipasangkan dengan situasi yang menakutkannya sampai akhirnya ia dapat mengatasi
rasa takutnya” (Prawitasasi, 2011: 159).

8
Proses disensitisasi dimulai dengan menyuruh klien duduk dalam keadaan
santai dan nyaman sambil memejamkan matanya. Teknik ini disebut latihan rileksasi,
yaitu proses penegangan dan pengenduran berbagai otot, seperti lengan, tangan,
wajah, perut, kaki, dan lain sebagainya (Wolpe dalam Hock, 1999). Setelah klien
merasa rileks, ia diminta untuk membayangkan sesuatu Ayang paling sedikit
menimbulkankecemasan sesuai dengan hirarki yang telah disusun. Apabila klien
masih bisa santai dalam membayangkan peristiwatersebut, konselor bisa bergerak
maju dalam hirarki selanjutnya sampai klien memberi isyarat bahwa pada situasi
itulah dia mengalami kecemasan, dan pada saat itu pula skenario dihentikan A(Wolpe,
dalam Hock, 1999). Klien disuruh membuka matanya dan disuruh duduh santai.

Apabila klien tidak bersedia melanjutkan pada hirarki kecemasan yang lebih
tinggi, konselor bersama klien membahas secara mendalam apa yang dialaminya, atau
melanjutkannya pada konseling berikutnya. Sebaliknya bila klien bersedia
melanjutkan kon- seling, pengendoran ketegangan dimulai lagi dan dilanjutkan
dengan hirarki kecemasan yang lebih tinggi lagi. Konseling dihentikan manakala
klien sudah tidak mengalami kecemasan lagi. Dengan demikian, pada klien yang
meng- alami PTSD yang tinggi, teknik disensitisasi cenderung dilakukan berulang-
ulang.

D. PERBEDAAN KONSELING PASCA BENCANA DENGAN KONSELING


BIASA
      Koseling pasca bencana adalah upaya konselor untuk membantu klien yang
mengalami trauma melalui proses hubungan pribadi sehingga klien dapat memahami
diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk
mengatasinya sebaik mungkin. Konseling pasca bencana sangat berbeda dengan
konseling biasa dilakukan oleh konselor, perbedaan ini terletak pada waktu,fokus,
aktivitas, dan tujuan. Perbedaan itu adalah:
1. Dilihat dari segi waktu : konseling pasca bencana sangat butuh waktu yang
panjang dari pada konseling biasa.
2. Kemudian dari segi fokus : konseling pasca bencana lebih memerhatikan pada
satu masalah, yaitu trauma yang dirasakan sekarang. Adapun konseling biasa,
pada umumnya suka menghubungkan satu masalah klien dengan masalah lainnya,
seperti latar belakang klien, proses ketidak-sadaran klien, masalah komunikasi
klien, transferensi dan conter transferensi antara klien dan konselor, kritis

9
identitas dan seksualitas klien, keterhimpitan pribadi klien dan konflik nilai yang
terjadi pada klien.
3. Dilihat dari segi aktivitas : konseling pasca bencana lebih banyak melibatkan
banyaknya orang dalam membantu klien dan yang paling banyak aktif adalah
konselor, konselor berusaha mengarahkan, mensugesti, memberi saran, mencari
dukungan dari keluarga dan teman klien, melibatkan orang atau agen lain yang
kompeten secara legal untuk membantu klien, dan mengusulkan berbagai
perubahan lingkungan untuk kesembuhan klien.
4. Dilihat dari segi tujuan, konseling traumatik lebih menekankan pada pulihnya
kembali klien pada keadaan sebelum trauma dan mampu menyesuaikan diri
dengan keadaan diri dengan keadaan lingkungan yang baru. Secara lebih
spesifik, kottman (1995) Menyebutkan, bahwa tujuan konseling pasca bencana
adalah :
a. Berpikir realistis, bahwa trauma adalah bagian dari kehidupan
b. Memperoleh pemahaman tentang peristiwa dan situasi yang menimbulkan
trauma
c. Memahami dan menerima perasaan yang berhubungan dengan trauma, serta
d. Belajar ketrampilan baru mengatasi trauma.
Proses konseling pasca bencana terlaksana karena hubungan konseling
berjalan dengan baik, proses konseling pasca bencana adalah peristiwa yang tengah
berlangsung dan memberi makna bagi klien yang mengalami trauma dan memberi
makna pula bagi konselor yang membantu mangatasi trauma kliennya tersebut.

E. MEKANISME KONSELING PASCA BENCANA


Sebagai mana proses konseling pada umumnya, proses dalam strategi
konseling pasca bencana juga dibagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap awal konseling,
tahap pertengahan (tahap kerja), dan tahap akhir konseling (Nurihsan, 2005: Rahmat,
2019). Berikut adalah penjelasan dari strategi konseling traumatik dalam mereduksi
dampak psikologis korban bencana alam:

1. Tahap awal konseling. Adapun pada tahap awal ini terjadi sejak konselor bertemu
dengan konseli sehingga berjalanlah proses konseling dan menemukan defenisi
masalah klien. Adapun yang dilakukan oleh konselor dalam proses konseling ini
adalah sebagai berikut: (a) membangun hubungan konseling traumatik yang

10
melibatkan klien yang mengalami trauma; (b) memperjelas dan mendefenisikan
masalah trauma; (c) membuat penjajakan alternatif bantuan untuk mengatasi
masalah trauma; dan (d) menegosiasikan kontrak.

2. Tahap pertengahan konseling. Berdasarkan kejelasan trauma klien yang disepakati


pada tahap awal, kegiatan selanjutnya adalah mengkonfrontasikan pada: (a)
penjelajahan trauma yang dialami klien; (b) bantuan apa yang akan diberikan
berdasarkan penilaian kembali apa-apa yang telah dijelajahi tentang trauma klien.
3. Tahap akhir konseling. Pada tahap ini, konseling ditandai dengan beberapa hal
berikut ini: (a) menurunnya kecemasan klien yang diketahui setelah konselor
menanyakan keadaan kecemasannya; (b) adanya perubahan perilaku klien ke arah
yang lebih positif, sehat, dan dinamik; (c) adanya tujuan hidup yang jelas di masa
yang akan datang dengan program yang jelasp pula; (d) terjadinya perubahan sikap
yang positif terhadap masalah yang dialaminya, dapat mengoreksi diri dan
meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar seperti orang tua, teman, dan
keadaan yang tidak menguntungkan.

11
12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Konseling pasca bencana sangat berbeda dengan konseling biasa dilakukan oleh
konselor, perbedaan ini terletak pada waktu, fokus, aktivitas, dan tujuan. Konseling pasca
bencana memerlukan waktu yang lebih lama dari konseling biasa, fokus pada trauma
yang dirasakan sekarang, lebih banyak melibatkan orang banyak dalam membantu
konseli dan yang paling aktif berperan adalah konselor. Adapun proses konseling
traumatik adalah proses tengah berlangsung dan memberi makna bagi klien yang
mengalami trauma dan memberi makna pula bagi konselor yang membantu mengatasi
trauma kliennya. Sedangkan dampak psikologis dari bencana alam dapat diketahui
berdasarkan tiga faktor yaitu faktor pra bencana, faktor saat bencana, dan faktor pasca
bencana. Dalam implementasi konseling pasca bencana dalam mereduksi dampak
psikologis korban bencana alam menggunakan beberapa strategi dalam tiga tahap yaitu
tahap awal konseling, tahap pertengahan konseling, dan tahap akhir konseling.

13
14
DAFTAR PUSTAKA

C.G. 2010. Self-ReportPotentially Traumatic Live Events and Symptoms of Post-


Traumatic Stress and Dissociation. Nordic Journal of Psychiatry. 64, 19-26.
Corey, G. 2012. Theory & Practice of Group Counceling. Belmont, CA: Brooks/ Cole.
George, R.L. dan Cristiani, T.S. 1995. Counseling: Theory and practice. Needham
Heights, Massachusetts: Allyn and Bacon.
Goleman, D. 1995. Emotional Intelligen- ce. New York: Bantam Books.
Hock, R.R. 1999. Forty Studies That Changed Psychology. Upper Saddle River, New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Kinchin, D. 2007. A Guide to Psychological Debriefing. London: Jessica Kingsley
Publishers.
Lawson, D.M. 2001. The Development pf Abusive Personality: A Trauma Response.
Journal of Counceling & Development, 79. 505-509.
Locke, D.C.; Myers, J.E.; dan Herr, E.L. (Eds.). (2001). The Handbook of Counseling.
Thousand Oaks, California: Sage Publications.
Marotta, S.A. 2000. Best Practices for Councelors Who Treat Post-traumatic Stress
Disorder. Journal of Counceling & Development, 78, 492-495. Nilson, R.; Gustafsson,
P.E.; dan Svedin,
Nirwana, H. (N.D.). Konseling Trauma Pasca Bencana. 126-128.
Nurihsan, A. J. (2005). Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT Refika
Aditama.
Prawitasari, J.E. 2011. Psikologi Klinis: Pengantar terapan mikro & makro. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Rahmat, H. K. (2019). Implementasi Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling
Komprehensif Bagi Siswa Tunanetra di MTs Yaketunis Yogyakarta. Hisbah: Jurnal
Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, 16(1), 37-46
Soemantri, H. 2012. Strategi Pengarasutamaan Pengurangan Resiko Bencana Di Sekolah.
Makalah disajikan dalam Rapat Kooordinasi Tim Pengembangan Kurikulum Propinsi dan
Kabu- paten/Kota Se Indonesia, Tanggal 23-26 Juli di Hotel Mercure Ancol Jakarta.
Weaver, A.J., Flannelly, L.T., dan Preston, J.D. 2003. Counseling Survivors of Traumatic
Events: A handbook for pastors and other helping professional. Avenue South, Nashville:
Abingdon Press.

15

Anda mungkin juga menyukai