Kondisi iklim di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan penambangan pasir kuarsa
PT. Bintang Delapan Enam merupakan gambaran regional yang diperoleh dari Data Iklim Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Tanjungpandan pada 11 tahun terakhir (tahun 2008 – 2017
dan 2019). Komponen iklim penting untuk ditelaah terutama karena terkait erat dengan sifat-sifat
parameter lingkungan lainnya.
Iklim dibentuk oleh beberapa unsur, seperti : curah hujan/presipitasi, suhu udara,
kelembaban udara, lama penyinaran dan radiasi matahari, pengawanan serta arah dan kecepatan
angin. Diantara unsur-unsur tersebut presipitasi atau curah hujan dan suhu udara memiliki
pengaruh yang lebih dominan dalam menentukan tipe iklim suatu wilayah. Untuk mengetahui tipe-
tipe iklim suatu wilayah terdapat beberapa klasifikasi yang biasa digunakan dengan kriteria-kriteria
berdasarkan parameter yang berbeda-beda. Klasifikasi menurut posisi matahari misalnya
menentukan tipe iklim berdasarkan posisi lintang (terdiri dari iklim tropika, sedang dan kutub),
klasifikasi iklim Koppen berdasarkan rata-rata curah hujan dan temperatur, klasifikasi Schmidth-
Fergusson dan klasifikasi Oldeman berdasarkan bulan basah dan bulan kering, klasifikasi Junghuhn
berdasarkan ketinggian tempat.
1) Curah Hujan
Berdasarkan data curah hujan selama 11 tahun terakhir (2008 – 2017 dan 2019) yang
diperoleh dari Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika HAS Hanandjoeddin
Tanjungpandan, diketahui bahwa curah hujan rata-rata bulanan di wilayah studi berkisar antara
101,63 – 453,49 mm/bulan. Rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Desember (453,49
mm) dan terendah pada Bulan September (101,63 mm). Rata-rata curah hujan tahunan sebesar
253,06 mm/tahun.
Klasifikasi iklim menurut Koppen dalam Schmidt dan Fergusson (1951) mengenai
perbandingan bulan basah dan bulan kering, maka tipe iklim di wilayah studi tergolong tipe iklim
Af (hujan tropik basah) yang dicirikan oleh curah hujan bulanan terkering > 60 mm dan suhu rata-
rata bulanan > 18 0C. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Fergusson (1951) tipe iklim di
wilayah studi termasuk dalam klasifikasi tipe iklim A yang dicirikan oleh 0 - 1 bulan kering, nilai
Q < 0,143. Berdasarkan klasifikasi Oldeman, areal studi termasuk kedalam tipe iklim C1 yang
dicirikan oleh banyaknya bulan basah 5 - 6 bulan basah berturut-turut dengan curah hujan > 200
mm/bulan dan mempunyai pola curah hujan yang merata sepanjang tahun tanpa adanya bulan
relatif kering yang jelas.
Data curah hujan 11 tahun terakhir di wilayah studi secara jelas dapat dilihat pada Tabel
2.1. dan data rekapitulasi parameter iklim pada tahun terakhir (2019) dapat dilihat pada Tabel 2.2.
serta grafik rata-rata curah hujan tahunan dari tahun 2008 sampai 2017 dan 2019 di wilayah studi
dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Tabel 2.1. Rekapitulasi Curah Hujan Periode 2008 – 2019 di Wilayah Studi
Curah Hujan (mm) Tahun Rata2
Bulan Bulanan
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2019
(mm/bln)
Jan 107,60 280,70 260,80 196,20 147,70 210,00 180,9 263 478.8 440.7 456,1 274,77
Feb 109,60 56,70 82,40 104,10 221,70 241,00 0,0 257 506.0 247.3 267,5 190,30
Mar 342,10 266,40 196,80 218,50 108,50 122,40 174,5 166 188.4 271.1 54,6 191,75
Apr 417,30 347,10 224,90 169,00 317,00 345,20 481,7 453 435.1 383.6 485,6 369,05
Mei 215,60 105,10 400,60 392,10 83,10 496,40 523,0 253 249.0 284.5 351,4 304,89
Juni 108,20 67,50 384,60 251,00 169,00 192,00 267,3 93 174.7 215.7 128 186,45
Juli 85,10 87,50 422,50 207,50 77,80 279,00 65,4 17 223.9 540.4 31,4 185,23
Agt 324,70 19,50 364,90 17,90 90,90 152,00 79,3 0 265.1 105.9 1,4 129,24
Sep 153,50 36,80 315,90 104,20 19,10 59,00 25,3 0 283.4 111.2 9,5 101,63
Okt 398,60 52,90 278,60 370,80 424,40 355,00 61,8 116,1 268.8 407.4 182 265,13
Nop 225,00 342,30 411,90 365,60 721,50 444,00 356,5 454,4 332.0 218.3 360,7 384,75
Des 443,30 282,90 376,60 526,90 591,70 703,00 334,8 577,3 347.4 395.7 408,8 453,49
∑ 2930,6 1945,4 3720,5 2923,8 2972,4 3599,00 2550,5 2649,8 3752,6 3621.80 2737 3036,67
Rata2
Bulanan 244,22 162,12 310,04 243,65 247,70 299,92 212,54 220,82 312,72 301.82 228,08 253,06
(mm/bulan)
Sumber : Data Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Tanjungpandan, 2020.
Gambar 2.1. Grafik Rata-rata Curah Hujan Tahunan Periode 2008 – 2019 di Wilayah Studi
adalah 4 knots yang terjadi pada Bulan Agustus dan terendah adalah 1,43 Knots yang terjadi pada
Bulan April dan November.
b. Kualitas Udara
Parameter kualitas udara yang diamati dan disajikan pada rona lingkungan hidup awal ini
adalah kualitas udara ambien. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, pada pasal 1, ayat 4 dinyatakan bahwa : “udara ambien adalah
udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi
Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan
unsur lingkungan hidup lainnya”. Sedangkan pada ayat 5 dinyatakan bahwa : “mutu udara ambien
adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas”.
Berdasarkan hasil pengujian kualitas udara ambien pada saat dilakukan studi (rona awal)
secara umum masih tergolong baik, karena kadar parameter kunci dari polutan gas seperti : SOx,
NOx, dan CO serta polutan berupa partikulat debu seluruhnya berada di bawah baku mutu yang
ditetapkan sesuai Permenaker-trans-13-2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor
Kimia di Tempat Kerja, dan Lampiran Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 1999 tentang Baku
Mutu Udara Ambien Nasional. Dengan demikian, kondisi mutu udara ambien di lokasi studi pada
saat rona awal belum membahayakan kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan
hidup lainnya.
Pengujian kualitas udara ambien di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan
penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan Enam dilakukan pada 4 (empat) titik pengamatan,
yaitu pada tapak proyek dengan kondisi area semak belukar (U1), tapak proyek area rencana
basecamp (U2) dan area luar tapak proyek semak belukar (U3) dan area pemukiman penduduk
terdekat (Dusun Batu Air) (U4). Lama pengambilan sampel adalah selama satu jam (paramerter
SO2 dan NO2), sedangkan untuk parameter TSP diukur selama 24 jam. Hasil pengujian kualitas
udara ambien di lokasi studi adalah seperti yang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2.3. Hasil Pengujian Kualitas Udara Ambien di Wilayah Studi
Hasil Pengukuran Baku Mutu
Parameter Satuan PERMENAKE
PPRI
U1 U2 U3 U4 R TRANS-13-
No.41/1999
2011
Sulfur Dioksida (SO2) µg/Nm3 <40,7 <40,7 <40,7 - 900 250
Karbon Monoksida
µg/Nm3 - - - - 30.000 29.000
(CO)
Nitrogen Dioksida
µg/Nm3 <26,5 <26,5 <26,5 - 400 5.634
(NO2)
Partikulat Debu (TSP) µg/Nm3 - - - 62,0 230 -
Sumber : Hasil Analisis Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup, Belitung, 2020
Keterangan : Lokasi pengukuran pada lokasi tapak proyek semak belukar (U1) (X : 838842, Y : 9647244)
Lokasi pengukuran pada lokasi tapak proyek area rencana basecamp (U2) (X : 839535, Y : 9647234)
Lokasi pengukuran pada area luar tapak proyek semak belukar (U3) (X : 840785, Y : 9647710)
Lokasi pengukuran pada pemukiman terdekat Dusun Batu Air (U4) (X : 840415, Y : 9645793)
kegiatan antropogenik, seperti pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batu arang) yang
mengandung senyawa sulfur.
Pembakaran bahan-bahan yang mengandung sulfur akan menghasilkan sulfur dioksida dan
sulfur trioksida. Kedua jenis sulfur oksida tersebut di atmosfer akan diubah menjadi H2SO4 oleh
proses-proses fotolitik dan katalitik. Pengaruh sulfur oksida pada tanaman dapat terjadi baik akibat
kontak dengan gas SO2 maupun akibat asam sulfat (H2SO4). Pengaruh SOx terhadap manusia
terutama berkaitan dengan iritasi sistem pernafasan. Reaksi SO x dengan uap air di udara yang
menghasilkan asam sulfat yang selanjutnya akan membentuk hujan asam juga menyebabkan korosi
terhadap beberapa jenis logam, pelarutan karbonat dari bahan-bahan marmer, serta pelapukan
beberapa jenis serat tekstil.
Berdasarkan hasil analisis laboratorium, konsentrasi SO2 pada tapak proyek rencana lokasi
penambangan pasir kuarsa dengan kondisi area semak belukar (U1), area rencana basecamp dan
area luar tapak proyek berupa semak belukar masing-masing sebesar <40,7 µg/Nm3. Hasil
pengujian SO2 tersebut menunjukan bahwa nilai konsentrasinya masih jauh berada di bawah nilai
ambang batas baku mutu lingkungan hidup sesuai Baku Mutu Udara Ambien Nasional yaitu
sebesar 900 µg/Nm³ berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
2) Karbon Monoksida (CO)
Gas karbon monoksida (CO) memiliki sifat tak berwarna, tak berbau dan tak mempunyai
rasa. Umumnya gas CO berasal dari reaksi pembakaran yang tidak sempurna, reaksi CO 2 dengan C
pada suhu tinggi dan penguraian CO 2 pada suhu tinggi. Proses-proses alam berupa geofisik dan
biologis dapat menghasilkan gas CO, akan tetapi sumbangan terbesar gas CO di atmosfir berasal
dari aktivitas manusia seperti kegiatan transportasi, proses-proses pembakaran dan berbagai jenis
industri.
Pengaruh gas CO terhadap gangguan kesehatan manusia terkait dengan sifat afinitas CO
terhadap haemoglobin darah yang jauh lebih tinggi dibanding oksigen sehingga sangat berpengaruh
pada sistem transportasi oksigen dalam tubuh. Pengaruh racun gas CO dalam tubuh bersifat
menetap sementara, dimana konsentrasi gas CO dalam darah akan tetap bertahan selama
konsentrasi CO di udara sekelilingnya tidak berubah dan secara perlahan akan mencapai
keseimbangan sesuai fluktuasi kadar CO di udara sekelilingnya.
3) Oksida-oksida Nitrogen (NOx)
Nitrogen oksida adalah kelompok gas yang terdiri dari nitrit oksida (NO dan nitrogen
dioksida (NO2). Nitrit oksida tidak berwarna dan tidak berbau, sedangkan nitrogen oksida berwarna
coklat kemerahan dan berbau tajam. Pada suhu tinggi (di atas 1.210 0C) oksigen dan nitrogen udara
dapat bereaksi membentuk nitrik oksida. Pembentukan NO 2 yang berasal dari reaksi lanjutan antara
NO dan O2 terjadi dalam jumlah relatif kecil. Secara keseluruhan jumlah gas NO x yang dihasilkan
aktivitas manusia sangat kecil dibanding gas NOx yang dihasilkan alam. Akan tetapi masalah yang
ditimbulkan oleh polutan gas NOx dari hasil aktivitas manusia adalah dalam hal distribusinya yang
cenderung tidak merata dan terkonsentrasi pada daerah tertentu. Sumber utama gas NO x berasal
dari aktivitas pembakaran minyak, gas dan batu arang. Jika suhu pembakaran semakin tinggi maka
oksida nitrogen yang terbentuk semakin banyak.
Pada konsentrasi tertentu, NOx udara dapat mengakibatkan kerusakan bagi tanaman, baik
secara kontak langsung atau timbulnya polutan sekunder dalam siklus fotolitik NO 2. Selain itu NOx
juga bersifat toksik bagi manusia. Pada konsentrasi normal NO x tidak berbahaya tetapi dapat
mengalami oksidasi menjadi NO2 yang jauh lebih beracun. Konsentrasi NO 2 pada tapak proyek
rencana lokasi penambangan pasir kuarsa dengan kondisi semak belukar (U1), tapak proyek area
rencana basecamp (U2), tapak luar proyek (U3) masing-masing sebesar <26,5 µg/Nm3. Hasil
pengukuran NO2 di lokasi studi tersebut masih berada di bawah nilai ambang batas baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan sesuai Baku Mutu Udara Ambien Nasional yang besarnya
400 µg/Nm³ berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
4) Partikulat Debu (TSP)
Debu merupakan polutan udara yang berbentuk partikel-partikel kecil padatan dan droplet
cairan. Partikel yang berukuran >10 mikron umumnya dihasilkan oleh proses-proses mekanis
seperti pelindasan benda-benda oleh kendaraan. Partikel berukuran 1-10 mikron biasanya termasuk
tanah, debu dan produk pembakaran industri. Partikel berukuran 0,1-1 mikron terutama berasal dari
produk-produk pembakaran dan aerosol fotokimia. Partikel yang berukuran < 0,1 mikron berasal
dari sumber-sumber pembakaran. Sumber debu (total suspended particulate) di lokasi studi berasal
dari aktivitas operasional kendaraan pengangkut dan alat berat dari kegiatan operasional
penambangan pasir kuarsa oleh perusahaan lain yang sedang berjalan.
Konsentrasi debu pada area pemukiman penduduk terdekat (Dusun Batu Air) (U4) sebesar
62,0 µg/Nm3. Berdasarkan data hasil pengukuran tersebut, konsentrasi partikulat debu di wilayah
desa studi masih berada di bawah nilai ambang batas baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan sesuai Baku Mutu Udara Ambien Nasional yang besarnya 230 µg/Nm3 berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Tabel 2.4. Kondisi Cuaca pada Saat Pengambilan Sampel Udara Ambien
Hasil Pengukuran /Pengamatan
No. Parameter Satuan
U1 U2 U3 U4
1. Kondisi cuaca umum - Cerah Cerah Cerah Cerah
2. Suhu udara o
C 30,9 32,8 32,4 32,1
Selatan ke Timur Laut Selatan ke
Selatan ke
3. Arah angin dominan - Utara ke Barat Utara
Utara
Daya
4. Kecepatan angin m/dtk 1,25 3,8 1,5 0,2
5. Kelembaban udara % 71,3 66,5 65,2 65,6
Sumber : Hasil Analisis Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup, Belitung, 2020
Keterangan : Lokasi pengukuran pada lokasi tapak proyek semak belukar (U1) (X : 838842, Y : 9647244)
Lokasi pengukuran pada lokasi tapak proyek area rencana basecamp (U2) (X : 839535, Y : 9647234)
Lokasi pengukuran pada area luar tapak proyek semak belukar (U3) (X : 840785, Y : 9647710)
Lokasi pengukuran pada pemukiman terdekat Dusun Batu Air (U4) (X : 840415, Y : 9645793)
5) Kebisingan
Hasil pengukuran intensitas kebisingan di pemukiman terdekat yaitu Dusun Batu Air sebesar
63,6 dB(A). Jika dibandingkan dengan baku mutu yang telah ditetapkan, maka hasil pengukuran
tersebut berada di atas ambang batas yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan maupun
berdasarkan Permenakertrans No. 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan
Faktor Kimia di Tempat Kerja.
c. Bentang Lahan
1) Kondisi Geologi
Menurut Baharuddin dan Sidarto (1995), Pulau Belitung dikelompokkan dalam sembilan
formasi geologi yaitu : Endapan Alluvial dan Pantai (Qa), Pasir Berkarbon (Qpk), Formasi Tajam
(PCTm), Formasi Kelapa Kampit (PCKs), formasi Siantu (PCsv), Granit Tanjungpandan (Trtg),
Adamelit Baginda (Jma), Granodiorit Burungmandi (Kbg) dan Diorit Kuarsa Batubesi (Kbd).
Secara geologis, areal pencadangan untuk kegiatan pertambangan pasir kuarsa oleh PT.
Bintang Delapan Enam yang terletak di Desa Simpang Pesak dan Desa Tanjung Batu Itam,
Kecamatan Simpang Pesak, Kabupaten Belitung Timur berada di Formasi Kelapa Kampit (PCks)
seluas 461,11 ha, Endapan Aluvial dan Pantai (Qa) seluas 150,86 ha dan Adamelit Baginda (Jma)
seluas 10,03 ha. Formasi kelapa kampit (PCks) adalah batuan sedimen flysch yang terlipat lemah
hingga sedang, terdiri atas batu pasir malih berselingan dengan batusabak, batulumpur, serpih batu
lanau, tufan dan rijang. Pada kondisi geologi Endapan Aluvial dan Pantai (Qa) terdiri dari kerikil-
kerikil, pasir, lanau, lempung, dan pecahan koral.
2) Kondisi Morfologi dan Kelerengan
Pada Peta Rupabumi Indonesia skala 1 : 50.000 lembar 1212-64 dan 1312 – 43, lokasi
rencana penambangan pasir kuarsa oleh PT. Bintang Delapan Enam secara umum merupakan
daerah dengan morfologi yang datar atau kurang dari 25 m dpl. Terdapat beberapa satuan lahan
(morfologis) yang dapat di perhatikan antara lain : dataran rendah belukar, terletak dekat dengan
pantai. Ketinggian kontur lahan lokasi rencana penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan
Enam berkisar antara 5 – 10 meter (dpl).
Lereng adalah kenampakan permukaan alam yang disebabkan oleh adanya perbedaan
ketinggian, apabila perbedaan ketinggian tersebut dibandingkan dengan jarak lurus mendatar akan
diperoleh besarnya kelerangan. Bentuk lereng tergantung pada proses erosi, gerakan tanah dan
pelapukan. Berdasarkan peta kelas lereng, dapat diketahui bahwa lokasi rencana penambangan
pasir kuarsa oleh PT. Bintang Delapan Enam berada pada kelas lereng A (0-3 %) seluas 606,4 ha,
B (3-8 %) seluas 13,82 ha dan kelas C (8-15%) seluas 1,78 ha. Peta Kelas Lereng disajikan pada
Gambar 2.3.
yang dicadangkan untuk rencana kegiatan penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan Enam
merupakan lahan yang ditumbuhi semak belukar (294,52 ha), hutan (226,01 ha) dan area terbuka
(101,47 ha). Peta penutupan lahan di wilayah studi disajikan pada Gambar 2.4.
c) Porositas
Porositas total tanah adalah persentase ruang pori yang ada dalam tanah terhadap volume
nah. Porositas tanah diukur berdasarkan perbandingan berat isi (BI) tanah dengan berat
jenis/kerapatan partikel (BJ) tanah. Pengukuran berat jenis partikel diukur dengan piknometer.
Berdasarkan hasil analisis laboratorium, persentase pori total dari tanah pada kedua titik sampel di
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan Enam pada
kedalaman 0-30 cm masing-masing sebesar 58,49% dan 49,81%, sedangkan pada kedalaman 30-60
cm sebesar 59,25% dan 49,06%.
d) Permeabilitas
Derajat pelulusan air atau permeabilitas tanah adalah kecepatan air melewati tubuh tanah
secara vertikal dengan satuan cm/jam. Pengukuran derajat pelulusan air menggunakan double ring
permeameter. Berdasarkan pengukuran di laboratorium, nilai derajat pelulusan air pada kedua titik
sampel tanah di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan penambangan pasir kuarsa PT. Bintang
Delapan Enam pada kedalaman 0-30 cm masing-masing sebesar 39,07 cm/jam dan 1,08 cm/jam,
sedangkan pada kedalaman 30-60 cm sebesar 38,29 cm/jam dan 1,02 cm/jam.
Tabel 2.6. Sifat Fisik Tanah di Areal Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Pasir
Kuarsa PT. Bintang Delapan Enam
Lokasi 1 Lokasi 2
No. Uraian Satuan
0-30 30-60 0-30 30-60
1. Bulk Density g/cc 1,10 1,08 1,33 1,35
2. Ruang Pori Total % 58,49 59,25 49,81 49,06
3. Permeabilitas cm/jam 39,07 38,29 1,08 1,02
4. Air Tersedia % 10,41 10,47 17,61 17,74
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Fisik Tanah, Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB,2020.
Keterangan : - Lokasi 1 = Jenis tanah troposapris
- Lokasi 2 = Jenis tanah quartzipsam
sekitar 0,10% dan 0,51% (pada kedalaman 30-60 cm). Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat
pelapukan dan kehilangan/pencucian bahan organik dibanding suplai dari sumber-sumber bahan
organik.
(4) Nitrogen
Nitrogen adalah unsur hara makro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar dan
mutlak harus tersedia dalam tanah untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Unsur nitrogen dalam tanah dapat berasal dari mineralisasi bahan organik, fiksasi nitrogen udara,
dan pupuk yang mengandung nitrogen. Kandungan bahan organik yang rendah pada tanah di areal
rencana usaha dan/atau kegiatan penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan Enam
menyebabkan rendahnya kandungan nitrogen yang terdapat pada tanah tersebut. Hasil analisis
laboratorium menunjukkan kadar nitrogen total pada kedua sampel tanah di lokasi studi sebesar
0,06% dan 0,09% (pada kedalaman 0-30 cm), serta sebesar 0,01% dan 0,06% (pada kedalaman 30-
60 cm). Nilai N total tersebut berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Lembaga Penelitian
Tanah, 1983) termasuk dalam kriteria sangat rendah. Berdasarkan hasil analisis C-Organik dan N
total maka dapat diketahui bahwa rasio C/N adalah sebesar 16 dan 10 (pada kedalaman 0-30 cm)
serta 10 dan 9 (pada kedalaman 30-60 cm). Perbadingan C/N sangat menentukan apakah bahan
organik akan termineralisasi atau sebaliknya nitrogen yang tersedia akan termobilisasi.
(5) Kejenuhan Basa (KB) dan Kation Basa
Kation-kation yang terdapat dalam kompleks jerapan koloid dapat dibedakan menjadi
kation-kation basa dan kation-kation asam. Unsur logam basa yang berfungsi sebagai unsur hara
bagi tanaman diantaranya terutama adalah ion-ion kalium (K +), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+),
dan natrium (Na+). Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-kation basa
dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan
tanah. Jumlah maksimum kation yang dapat diserap tanah menunjukkan besarnya nilai kapasitas
kation tanah tersebut.
Nilai KB dari tanah di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan penambangan pasir kuarsa
PT. Bintang Delapan Enam berdasarkan hasil analisis kimia, yaitu terukur sebesar 28,76% dan
10,27% (pada kedalaman 0-30 cm), serta sebesar 69,78% dan 19,41% (pada kedalaman 30-60 cm).
Nilai kejenuhan basa tanah tersebut termasuk sangat rendah sampai tinggi (rendah apabila KB <
20% dan tinggi 51%<KB<70%). Namun, walaupun terdapat beberapa sampel tanah yang
mempunyai KB yang tinggi, tanah tersebut tidak dapat dikategorikan subur, karena nilai KTK yang
sangat rendah sehingga kemampuan tanah untuk mempertukarkan kation-kation yang terjerap
menjadi sangat rendah dan ketersediaan unsur-unsur hara dalam tanah pun menjadi sangat terbatas.
Berdasarkan hasil analisis laboratorium dapat diketahui bahwa kesuburan tanah baik di
lokasi jenis tanah troposapris maupun quartzipsam dapat dikatakan tidak subur jika dilihat dari
unsur-unsur penentu kesuburan tanah seperti, C-Organik, pH, N-Total, KB, KTK, serta unsur-unsur
basa. Subur tidaknya tanah tidak hanya ditentukan oleh jenis tanah dan tutupan vegetasi namun
juga dilihat dari komposisi hara dan sifat fisik tanah sesuai dengan hasil analisis laboratorium yang
telah disajikan pada tabel di atas.
e. Hidrologi, Debit Sungai dan Laju Erosi
Keadaan hidrologi di daerah rendah dan pelembahan dicirikan oleh stagnasi air yang telah
berlangsung lama sehingga kondisi lapisan bawah didominasi oleh lapisan konkresi besi yang
kedap air. Air hujan cenderung mengalir sebagai aliran permukaan (run off) dan menggerus
permukaan (sheet erosion). Karena keadaan porositas yang tinggi, pola drainase bersifat dendritik
tak terarah dan membentuk meander pada daerah yang mendekati hulu sungai.
1) Morfologi DAS
Berdasarkan telaah Peta Hidrologi, tidak terdapat sungai yang melewati areal usaha dan/atau
kegiatan penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan Enam, namun di bagian utara lokasi
kegiatan terdapat aliran air yang menuju rawa dalam tapak proyek. Selanjutnya air dari rawa tapak
proyek mengalir ke bagian hulu sungai yang terdekat dengan lokasi tambang yaitu Sungai
A.Sambar yang bermuara ke Sungai A.Sembulu (sebelah timur) dan Sungai A. Kelong yang
bermuara langsung ke perairan Selat Karimata (sebelah selatan) sehingga beban pencemaran akibat
kegiatan penambangan akan masuk ke dalam Sungai A.Sambar dan Sungai A.Kelong merupakan
bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Tanjung Batu Air. Lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan penambangan pasir kuarsa oleh PT. Bintang Delapan Enam seluas 618,58 ha berada di
dalam DAS Tanjung Batu Air dan seluas 3,42 ha berada didalan DAS Kebal.
Sungai terdekat yang terdapat di luar areal rencana kegiatan penambangan pasir kuarsa PT.
Bintang Delapan Enam (Sungai A.Kelong) mempunyai pola aliran dendritik dan ukuranya relatif
kecil serta tidak terlalu jauh dari muaranya (jarak ke laut cukup dekat). Lebar sungai di wilayah
studi berkisar antara 4 - 5 meter dengan kedalaman berkisar 1,5 – 2 meter. Sungai tersebut tidak
difungsikan sebagai sarana transportasi. Selain itu aliran sungai studi tersebut letaknya jauh dari
pemukiman penduduk sehingga airnya tidak dijadikan sumber air baku untuk kebutuhan
masyarakat. Begitu juga dengan Sungai A.Sambar mempunyai pola aliran dendritik dan ukuranya
lebih serta tidak terlalu jauh dari muaranya (jarak ke Sungai A.Sembulu cukup dekat). Lebar sungai
di wilayah studi berkisar antara 10 - 15 meter dengan kedalaman berkisar 1,5 – 2 meter. Sungai
tersebut tidak difungsikan sebagai sarana transportasi dan letaknya jauh dari pemukiman penduduk
sehingga airnya tidak dijadikan sumber air baku untuk kebutuhan masyarakat.
Tabel 2.8. Aliran Sungai di Lokasi Rencana Kegiatan Penambangan Pasir Kuarsa PT. Bintang
Delapan Enam
Luas DAS (Ha)
Nama DAS Sungai Dalam Areal IUP
Total Dalam IUP
DAS Tanjung Batu Air (Sungai
A.Kelong dan Sungai 12.344,32 618,58 Tidak ada
A.Sambar)
Sub DAS Kebal
6.977,73 3,42 Tidak ada
Di wilayah studi tidak ditemukan danau alami, akan tetapi banyak ditemukan kolong-
kolong bekas penambangan yang dilakukan oleh perusahaan lain yang sudah tidak beroperasi lagi.
Gambaran Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terdapat di areal studi adalah sebagaimana disajikan
pada Gambar 2.6. Secara visual, kondisi air pada beberapa sungai di wilayah studi usaha dan/atau
kegiatan penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan Enam dapat dikatakan masih cukup baik
dan masih bisa digunakan oleh masyarakat setempat untuk keperluan perkebunan.
Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana disajikan pada tabel di atas, terlihat bahwa
debit sungai sesaat dari Sungai A. Kelong dan Sungai A. Sambar relatif yaitu masing-masing 3,15
m3/detik dan 17,5 m3/detik. Pada saat musim kemarau panjang, debit Sungai A.Kelong dan Sungai
A.Sambar akan berkurang.
b) Debit Puncak
Untuk mengetahui besarnya air larian (debit puncak) dihitung dengan menggunakan
metode rasional; Qp = 0,0028 C.i.A ; dimana : Qp = laju puncak aliran permukaan untuk suatu
hujan dengan interval kejadian tertentu (m 3/det), C = koefisien aliran permukaan, i = intensitas
hujan harian maksimum (mm/jam), dan A = luas DAS (ha).
Berdasarkan data curah hujan 11 tahun terakhir diketahui bahwa curah hujan maksimum
/tertinggi bulanan di wilayah studi terjadi pada Bulan November Tahun 2012 yaitu sebesar 721,50
mm/bulan dengan jumlah hari hujan sekitar 26 hh, jika lamanya kejadian hujan rata-rata pada bulan
tersebut 10 jam/hari hujan, maka nilai i maksimum adalah = (721,50 mm/bln) (1 bln/26 hh) (1
hh/10 jam) = 2,7750 mm/jam.
Luas total sub-DAS masing-masing sungai yang mengalir di dalam areal rencana
penambangan adalah seperti yang disajikan pada tabel di bawah ini. Dengan demikian dapat
dihitung besarnya debit puncak untuk sungai yang terdapat di daerah studi yaitu sebagaimana
disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2.11. Debit Puncak Sungai di Wilayah Studi
Intensitas Curah
Luas Koefisien Debit Puncak (Qp)
No. Nama Sungai Hujan Maksimum
(Ha) Air Larian (m3/det)
(mm/jam)
A C i Qp = 0,0028 C.i.A
DAS Tanjung Batu Air
1. (Sungai A. Kelong dan Sungai 618,58 0,309 2,7750 1,4852
A.Sambar)
Sumber : Hasil Perhitungan Tim AMDAL PT. Bintang Delapan Enam, 2020
4) Laju Erosi
Erosi merupakan peristiwa hilangnya atau terangkutnya tanah dari suatu tempat ke tempat
lainnya oleh media alami. Dalam studi ini, laju erosi tanah dihitung dengan menggunakan metode
Universal Soil Loss Equations (USLE) menurut Wischmeir dan Schmidt (1978). Laju erosi
terhitung tersebut merupakan laju erosi aktual, yaitu erosi yang terjadi dengan kondisi faktor-faktor
penyebab erosi yang ada pada setiap masing-masing lahan.
A = R x K x Lx S x C x P
Keterangan :
A = Dugaan erosi tanah (ton/Ha/tahun),
R = Erosivitas hujan,
K = Faktor erodibilitas tanah,
L = Indeks panjang lereng (m),
S = Indeks kemiringan lereng (%),
C = Indeks faktor tutupan lahan oleh vegetasi,
P = Indeks faktor teknik konservasi tanah.
- Erodibilitas Tanah (K) = 0,01 {2,713M1,14(10-4) (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3)}..........
(Wischmeir dan Schmidt, 1978)
dimana :
M = (% pasir halus + % debu) x (100 - % liat) = 6.209,440 (nilai % dari rata-rata
hasil analisis tanah pada tapak proyek dengan kedalaman 0 – 30 cm)
A = % bahan organik tanah (C-organik x 1,724) = 1,2103
B = Kode struktur tanah = 3 (Granular sedang – kasar)
C = Kode permeabilitas tanah = 2 (sedang - cepat)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 =5x6x7x8 10 11
1. Semak Belukar 0-3 285,76 178,968 0,6249 0,4 0,01 0,447 1 Sangat Ringan
3-8 7,26 178,968 0,6249 0,4 0,01 0,447 1 Sangat Ringan
8-15 1,50 178,968 0,6249 1,4 0,01 1,566 1 Sangat Ringan
2. Hutan 0-3 224,28 178,968 0,6249 0,4 0,001 0,045 1 Sangat Ringan
3-8 1,73 178,968 0,6249 0,4 0,001 0,045 1 Sangat Ringan
3. Area Terbuka 0-3 96,35 178,968 0,6249 0,4 0,95 42,498 2 Ringan
3-8 4,84 178,968 0,6249 0,4 0,95 42,498 2 Ringan
8-15 0,28 178,968 0,6249 1,4 0,95 148,743 3 Sedang
Rata-rata Laju Erosi (Tertimbang) 7,356 1 Sangat Ringan
Sumber : Hasil Perhitungan Tim AMDAL , 2020
Kironoto, 2000
Catatan : *) = ton/ha/tahun
Keterangan:
R : Erosivitas, Indeks Daya Erosi Curah Hujan di Wilayah Studi
K : Erodibilitas, Kepekaan Tanah terhadap Erosi
LS : Faktor Lereng
CP : Faktor Tumbuhan dan Usaha Pencegahan Erosi
TBE : Tingkat Bahaya Erosi berdasarkan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rahabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, 1986.
Kelas Erosi :1 = Sangat Ringan (<15 ton/ha/thn)
5) Beban Sedimen
Proses sedimentasi merupakan suatu peristiwa alami yang terdapat di aliran sungai. Proses
terjadinya sedimentasi meliputi proses erosi, angkutan sedimen oleh air limpasan dan aliran sungai
serta pengendapan. Beban sedimentasi terhadap sungai-sungai yang berada di dalam dan sekitar
lokasi rencana kegiatan penambangan pasir kuarsa akan bertambah akibat dari adanya aktivitas
pembukaan lahan dan operasional penambangan. Hasil perhitungan beban sedimentasi di perairan
(sungai-sungai) yang mengalir di areal studi adalah seperti yang disajikan pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13. Beban Sedimentasi Perairan di Wilayah Studi
Padatan tersuspensi total adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan
pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus
serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa
sampai ke badan air. Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik,
akan tetapi jika berlebihan, terutama TSS, dapat meningkatkan kekeruhan, yang selanjutnya akan
menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses
fotosintesis di perairan.
Nilai TSS yang terukur di perairan sungai studi, yaitu <4 mg/l pada Sungai A.Kelong, Sungai
A. Sambar dan air rawa sekitar lokasi tapak proyek. Nilai TSS di ketiga sungai studi tersebut
berada di bawah nilai baku mutu untuk Kelas Mutu mutu III yang nilainya 400 mg/l berdasarkan
Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air. Nilai kadar TSS di ketiga perairan studi tersebut masih tergolong baik.
b) Sifat Kimia Air
Dari hasil analisis parameter kualitas kimia air sungai yang terdapat di dalam wilayah studi
dapat dijelaskan sebagai berikut :
(1) Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) air dapat memberikan gambaran tentang keseimbangan asam dan
basa yang secara mutlak ditentukan oleh besarnya konsentrasi ion hidrogen (H +) dalam perairan.
Perairan air tawar umumnya mempunyai kisaran pH netral yaitu antara 6-9. Derajat keasaman
sangat penting dalam menentukan nilai guna air untuk kehidupan organisme dan keperluan lainnya.
Berubahnya nilai pH menimbulkan perubahan terhadap keseimbangan kandungan karbondioksida,
bikarbonat dan karbonat dalam air. Selain itu pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa
kimia. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan
berakhir jika pH rendah.
Hasil pengukuran nilai pH di perairan Sungai A. Kelong, Sungai A.Sambar dan air rawa
sekitar tapak proyek menunjukkan nilai pH yang rendah, yaitu masing-masing secara berurutan
nilainya 3,91; 3,95 dan 4,31, dimana nilainya lebih rendah dari kisaran baku mutu nilai pH yang
dipersyaratkan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (kisaran pH untuk semua kelas mutu adalah 6,0 –
9,0). Nilai pH di ketiga perairan sungai studi tersebut menunjukan kondisi air tergolong asam.
(2) Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO)
Oksigen terlarut merupakan parameter yang sangat penting dalam pengendalian kualitas air.
Adanya oksigen terlarut dalam air sangat penting untuk menjaga kehidupan organisme air.
Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut dalam air adalah adanya degradasi bahan-bahan
buangan organik oleh bakteri yang mengkonsumsi oksigen. Selain itu dapat dipengaruhi pula oleh
adanya proses fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya yang menghasilkan oksigen.
Kadar oksigen terlarut di perairan alami dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan
tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar
oksigen terlarut semakin kecil. Kelarutan oksigen juga akan berkurang dengan meningkatnya
salinitas. Kadar oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/liter. Semakin
besar nilai oksigen terlarut suatu perairan maka kualitas air dilihat dari parameter DO semakin
baik. Sumber oksigen terlarut berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35%)
dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton.
Konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh bervariasi tergantung dari suhu dan
tekanan atmosfir. Semakin tinggi suhu air semakin rendah tingkat kejenuhan, sebaliknya semakin
tinggi tekanan atmosfir maka semakin tinggi tingkat kejenuhan. Pada kondisi STP (suhu 20 0C dan
tekanan 1 atmosfir) konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh adalah 9,2 mg/l, sedangkan
pada suhu 280C dan tekanan 1 atm konsentrasi oksigen terlarut adalah sekitar 7,9 mg/l.
Hasil pengukuran kadar oksigen terlarut di perairan sungai studi masing-masing adalah
sebesar 3,4 mg/l; 3,4 mg/l; dan 3,2 mg/l, dimana nilai tersebut berada pada kisaran nilai baku mutu
yang ditetapkan untuk Kelas Mutu II - III berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
(3) Biological Oxygen Demand (BOD)
BOD (Biological Oxygen Demand) menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan
oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan organik dalam perairan. Nilai
BOD merupakan gambaran jumlah secara relatif dari oksigen yang dibutuhkan organisme untuk
mengoksidasi bahan organik, jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin
kecilnya sisa oksigen terlarut maka berarti kandungan bahan-bahan buangan dalam air
membutuhkan oksigen yang tinggi.
Hasil pengukuran nilai BOD di ketiga perairan sungai studi masing-masing adalah 18,8 mg/l;
11,4 mg/l; dan 26,2 mg/l. Hasil pengukuran kadar BOD di perairan studi berada pada kisaran
ambang baku mutu untuk Kelas Mutu III dan IV berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, yaitu dimana
nilainya 6 hingga 12 mg/l. Hal tersebut diduga sebagai akibat tingginya bahan organik dalam
perairan, sehingga akan membutuhkan oksigen yang banyak untuk mengoksidasinya. Tingginya
BOD ini dipengaruhi oleh kegiatan lain di sekitar lokasi rencana kegiatan seperti kegiatan IUP lain
yang disertai dengan pencucian hasil tambang.
(4) Chemical Oxygen Demand (COD)
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi seluruh bahan organik (mudah terurai dan sukar terurai) secara kimia dengan
menggunakan oksidator kuat. Dalam perairan yang masih alami, kadar COD umumnya sekitar 1,5 -
2 kali lebih tinggi dibandingkan kadar BOD.
Hasil pengukuran kadar COD di ketiga perairan studi terukur masing-masing sebesar 44,4
mg/l; 24,6 mg/l; dan 64,8 mg/l. Jika dilihat dari baku mutu yang ditetapkan berdasarkan Peraturan
Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, maka dapat diketahui bahwa nilai COD pada air rawa berada di atas baku mutu
untuk Kelas mutu III yang nilainya 50 mg/l.
(5) Nitrat (NO3)
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi
pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil.
Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi
yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam
siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh
bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter.
Kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang mendapatkan energi
dari proses kimiawi.
Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih
dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas
manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya
eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan
air secara pesat (booming). Pada perairan yang menerima limpasan air dari daerah yang banyak
mengandung pupuk, kadar nitrat dapat mencapai 1000 mg/l (Davis dan Cornwell, 1991).
Berdasarkan hasil analisis laboratorium diketahui bahwa kadar nitrat di perairan sungai
studi seluruhnya berada di bawah ambang baku mutu untuk kelas mutu I berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air. Kadar nitrat di perairan sungai studi tersebut masing-masing adalah sebesar 0,62 mg/l; 0,25
mg/l; dan 5,17 mg/l. Nilai kadar nitrat pada perairan sungai studi menggambarkan belum terdapat
gangguan yang berasal dari aktivitas manusia, atau dapat dikatakan bahwa kualitas air sungai masih
tergolong baik jika dilihat dari parameter kadar nitrat.
(6) Fosfat (PO4)
Fosfat merupakan salah satu senyawa nutrien yang sangat penting. Fosfat tersebut diabsorbsi
oleh fitoplankton dan seterusnya masuk ke dalam rantai makanan. Kadar fosfat akan semakin
meningkat dengan masuknya limbah domestik. Seperti halnya nitrogen, kandungan fosfat yang
tinggi dapat disebabkan oleh adanya pencucian fosfat dan merupakan salah satu ciri terjadinya
eutrofikasi yang menyebabkan booming-nya tumbuhan air.
Hasil pengukuran kadar total fosfat (P) di ketiga perairan sungai studi masing-masing adalah
0,318 mg/l; 0,326 mg/l; dan 0,261 mg/l. Hasil pengukuran kadar fosfat pada seluruh sungai studi
masih di bawah baku mutu Kelas Mutu III tetapi telah melampaui nilai baku mutu untuk Kelas
Mutu I dan II yang nilainya sebesar 0,2 mg/l. Tingginya nilai total fosfat (P) di perairan studi
diduga akibat adanya pencucian unsur fosfat.
(7) Logam-logam Berat
Logam-logam berat dalam air secara alami umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat
rendah. Kecenderungan adanya logam berat dalam jumlah yang melampaui batas terutama berasal
dari kegiatan manusia berupa limbah industri yang masuk ke dalam perairan. Logam berat tersebut
mencemari lingkungan hidup karena melebihi ambang batas yang berbahaya bagi lingkungan
hidup. Logam berat tersebut diketahui dapat mengumpul /terakumulasi di dalam tubuh organisme,
dan tetap tinggal dalam tubuh dengan jangka waktu yang lama sebagai racun yang terakumulasi.
Hasil pengukuran logam berat di ketiga perairan studi untuk parameter yang dianalisis
menunjukkan bahwa konsentrasi logam-logam Besi (Fe), Mangan (Mn), Arsen (As), Kobalt (Co),
Barium (Ba) dan Boron (B) terukur cukup kecil dan masih berada di bawah masing-masing
ambang batas sebagaimana ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk Kelas Mutu III,
sedangkan konsentrasi logam Seng (Zn), pada setiap perairan sungai A.Kelong dan A.Sambar
nilainya telah melampaui baku mutu untuk Kelas Mutu III.
2) Sedimentasi
Sedimentasi adalah terbawanya material hasil dari pengikisan dan pelapukan oleh air atau
angin ke suatu wilayah kemudian diendapkan. Bahan-bahan yang diangkut oleh air, sebagian kecil
diendapkan di dasar sungai, sedangkan sebagian besar bahan-bahan yang halus diendapkan di
muara sungai. Jenis sedimen yang berasal dari sisa erosi dan/atau padatan tersuspensi dari daratan
memiliki ukuran yang sangat bervariasi, mulai dari ukuran kerikil hingga material liat dan material
terlarut. Tekstur sedimen dasar sungai di perairan wilayah studi berdasarkan hasil analisis
laboratorium disajikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.15. Tekstur Sedimen Dasar Sungai di Wilayah Studi
Perairan
No. Parameter Pengujian Satuan
Sungai A.Kelong Sungai A.Sambar Air Rawa
Sebaran butir (Tekstur 5 Fraksi)
1. Pasir kasar (200µ - 2mm) % 89,8 66,0 99,5
2. Pasir Halus (100µ - 200µ) % 3,2 27,9 0,2
3. Pasir Sangat Halus (50µ - 100µ) % 0,2 1,4 0,1
4. Debu (2µ - 50µ) % 2,3 2,3 0,1
5. Liat (0.2µ - 2µ) % 4,5 2,4 0,1
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium SEAMEO Biotrop, 2020.
Berdasarkan data hasil pengukuran sedimen pada ketiga perairan studi, kondisi substrat
dasar perairan di dalam rencana lokasi WIUP cukup bervariasi antara pasir kasar, pasir halus, pasir
sangat halus, debu dan liat. Fraksi pasir kasar mendominasi sedimen di ketiga perairan studi. Hal
ini menyebabkan perairan di Sungai studi tidak mudah keruh.
2. Komponen Biologi
Untuk mengetahui parameter komponen biologi maka terlebih dahulu harus mengenali tipe
ekosistem di lokasi studi. Ekosistem dapat dianggap sebagai komunitas dari seluruh tumbuhan dan
satwa termasuk lingkungan fisiknya, yang secara bersama-sama berfungsi sebagai suatu unit yang
tidak terpisahkan atau saling tergantung satu sama lain. Odum (1993) menerangkan bahwa
ekosistem adalah suatu unit fungsional dasar dalam ekologi yang di dalamnya tercakup organisme
dan lingkungannya (lingkungan biotik dan abiotik) dan diantara keduanya saling mempengaruhi.
Ekosistem yang berbeda memiliki komunitas yang berbeda dan pola interaksi antara biota dan
lingkungan biofisiknya juga berbeda. Kekayaan spesies tumbuhan pada tiap ekosistemnya
berbeda-beda tergantung kepada struktur penyusunnya. Krebs (1985) menyebutkan ada enam
faktor yang menyebabkan perubahan keanekaragaman jenis organisme dalam suatu ekosistem,
yaitu : (1) Waktu, (2) Pemangsaan, (3) Heterogenitas ruang, (4) Persaingan, (5) Stabilitas
lingkungan, dan (6) Produktivitas. Sebagai contoh, Indriyanto (2008) menyebutkan bahwa formasi
ekosistem hutan dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang dominan terhadap pembentukan dan
perkembangan komunitas dalam ekosistem hutan.
a. Biota Darat
1) Tumbuh-tumbuhan / Vegetasi
Berdasarkan hasil survei lapangan diketahui bahwa jenis ekosistem lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan Enam terdiri dari ekosistem
hutan kerangas, hutan rawa, semak-belukar, tanah terbuka, dan kolong / danau bekas tambang.
Ekosistem hutan kerangas adalah hutan yang terdapat pada tanah-tanah podsol dari pasir kuarsa
yang miskin hara dan sangat masam, serta keadaan iklim yang sama dengan hutan hujan dataran
rendah, tetapi struktur fisiognami dan floranya berbeda dari hutan hujan dataran rendah. Ciri-ciri
hutan kerangas, yaitu pohon-pohonnya kerdil dan jarang serta tajuknya terbuka. Hutan rawa di
dalam tapak proyek merupakan ekosistem hutan dengan jenis vegetasi tidak terlalu banyak pada
tanah berawa / tergenang air, terutama pada musim hujan. Di dalam lokasi tapak proyek, hutan
rawa ini terdapat pada daerah tanah rendah / cekungan dan/atau sekitar aliran sungai. Jenis
vegetasi yang dominan pada ekosistem hutan rawa di dalam lokasi rencana tapak proyek yaitu
Perepat paya (Combretocarpus rotundatus) dan Gelam (Melaleuca leucadendron).
Ekosistem semak belukar di dalam lokasi rencana tapak proyek umumnya adalah lahan
bekas hutan kerangas dan/atau hutan rawa yang rusak akibat pembukaan lahan ataupun akibat
kebakaran pada musim kemarau, tetapi telah mulai ditumbuhi kembali oleh vegetasi semak dan
pohon kecil. Sedangkan tanah terbuka di dalam tapak proyek adalah seluruh kenampakan lahan
terbuka tanpa vegetasi ataupun telah ditumbuhi rumput / alang-alang yang umumnya berupa
hamparan pasir bekas kegiatan penambangan. Kolong adalah tubuh air pada lubang bekas galian
tambang timah yang menyerupai kolam/ danau buatan.
Ekosistem hutan kerangas di dalam rencana IUP dan di sekitarnya cukup mendominasi.
Kondisi biofisik hutan kerangas tersebut sangat spesifik, dimana vegetasinya didominasi oleh
vegetasi pohon jenis Sesapu (Baeckea frutescens) dan Gelam (Melaleuca leucadendron).
Masyarakat setempat sering menyebut ekosistem tersebut dengan “Padang Sapu” dan sering
menganggapnya ekosistem ini tidak produktif karena lahan tersebut tidak dapat digunakan untuk
kegiatan budidaya pertanian. Sebenarnya secara ekologis, ekosistem hutan kerangas yang
menyerupai padang savana ini dapat menjadi kantong-kantong resapan air sekalipun tanahnya
sangat marginal (tidak subur).
Terjadinya ekosistem hutan kerangas sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang
sangat spesifik dan cukup ekstrim terutama faktor edafis, yaitu diantaranya tanah sebagai tempat
tumbuhnya berupa tanah podsol ataupun aluvial yang sudah tercuci berat sehingga sangat miskin
unsur hara, pH tanah sangat rendah (masam), tekstur tanah didominasi oleh pasir (kuarsa) dan
sangat sarang, kondisi kadar air dan suhu tanah sering mengalami perubahan yang cukup
mencolok, yaitu dimana kadar air (kelembaban) tanah sangat rendah (kering) pada saat tidak ada
hujan dan jenuh atau bahkan dapat terendam air pada saat terjadi hujan sebagai akibat adanya
lapisan yang kedap air di bawah lapisan pasir. Dengan kata lain perbedaan kondisi tanah kering
dan basah sangat jelas. Di dalam ekosistem hutan kerangas terkandung suatu mekanisme proses
pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme yang tumbuh pada kondisi lingkungan yang
khusus (Kissinger 2002). Kuantitas spesies yang rendah pada ekosistem kerangas dikarenakan
kondisi ekstrimnya yang menampakkan tanah pasir terbuka dan kanopi hutannya terbuka dengan
tinggi pohonnya hanya 5 – 10 m (Whitmore 1986).
Jenis vegetasi pohon yang paling dapat beradaptasi pada kondisi yang ekstrim tersebut
adalah jenis Sesapu (Baeckea frutescens), Gelam (Melaleuca leucadendron) dan Samak (Eugenia
lepidocarpa). Pada lokasi tertentu (terutama pada tanah yang lapisan atasnya masih mengandung
bahan organik / serasah) kadang-kadang vegetasi Sesapu, Gelam dan/atau Samak tersebut
bercampur dengan jenis lainnya, seperti Perepat paya (Combretocarpus rotundatus) pada lokasi
yang sering tergenang air (rawa), serta Betor (Calophyllum depressinervosum), Pelawan
(Tristaniopis sp.) dan rerumputan / herba / perdu lainnya pada lokasi yang agak kering.
Tabel 2.16. Vegetasi Pohon Tingkat Semai (T < 1,5 m) di Lokasi Rencana Tapak Proyek
Jenis K KR FR INP
No. F H' E
Nama Lokal Nama Ilmiah (Ind./Ha) (%) (%) (%)
1 Arang-arangan Syzygium napiforme 50 2,53 0,02 2,90 5,43
2 Balangeran Shorea balangeran 50 2,53 0,02 2,90 5,43
3 Betor padang Calophyllum depressinervosum 100 5,06 0,04 5,80 10,86
4 Gelam Melaleuca leucadendron 425 21,52 0,10 14,49 36,01
5 Gerunggang Cratoxylon glaucum 75 3,80 0,03 4,35 8,15
6 Idat 50 2,53 0,02 2,90 5,43
7 Jemang Rhodamnia cinerea 50 2,53 0,02 2,90 5,43
8 Kabal Lithocarpus blumeanus 25 1,27 0,01 1,45 2,72
9 Kedindiman Syzygium incarnatum 25 1,27 0,01 1,45 2,72
10 Kemantuan Syzygium euneura 25 1,27 0,01 1,45 2,72
11 Libut Endospermum diadenum 25 1,27 0,01 1,45 2,72
12 Medang kalong Cinnamomum parthenoxylon 25 1,27 0,01 1,45 2,72
13 Mensira Ilex cymosa 50 2,53 0,02 2,90 5,43
14 Mentenu Commersonia bartramia 25 1,27 0,01 1,45 2,72
15 Nasi-nasi / Penasian Syzygium bankense 25 1,27 0,01 1,45 2,72 2,97 0,89
16 Pelawan Tristaniopsis sp. 150 7,59 0,06 8,70 16,29
17 Pelempang hitam Adinandra dumosa 25 1,27 0,01 1,45 2,72
18 Pelempang putih Adinandra sarosanthera 25 1,27 0,01 1,45 2,72
19 Pelepak Hynocarpus sp. 50 2,53 0,02 2,90 5,43
20 Perepat paya Combretocarpus rotundatus 125 6,33 0,05 7,25 13,58
21 Renggadai/ Riang-riang Ploiarium alternifolium 50 2,53 0,02 2,90 5,43
22 Saga Ormosia bancana 50 2,53 0,02 2,90 5,43
23 Samak Syzygium lepidocarpa 100 5,06 0,04 5,80 10,86
24 Sesapu Baeckea frutescens 250 12,66 0,07 10,14 22,80
25 Sekuncung Leptospermium flavescens 25 1,27 0,01 1,45 2,72
26 Singkang Syzygium lineatum 25 1,27 0,01 1,45 2,72
27 Terunjam Calophyllum wallichianum 25 1,27 0,01 1,45 2,72
28 Lain-lain - 50 2,53 0,02 2,90 5,43
Jumlah 1975 100,00 0,69 100,00 200,00
Sumber : Hasil Inventarisasi dan Analisis Vegetasi Tim AMDAL PT. Bintang Delapan Enam, 2020.
Tabel 2.17. Vegetasi Pohon Tingkat Pancang (T > 1,5 m dan Ø < 10 cm) di Lokasi Rencana Tapak Proyek
Jenis K KR FR INP
No. F H' E
Nama Lokal Nama Ilmiah (Ind./Ha) (%) (%) (%)
1 Akasia Acacia mangium 12 1,33 0,03 1,33 2,65
2 Ara Ficus lepicarpa 8 0,88 0,02 0,88 1,77
3 Arang-arangan Syzygium napiforme 20 2,21 0,05 2,21 4,42
4 Balangeran Shorea balangeran 12 1,33 0,03 1,33 2,65
5 Betor padang Calophyllum depressinervosum 32 3,54 0,08 3,54 7,08
6 Gelam Melaleuca leucadendron 128 14,16 0,32 14,16 28,32
7 Gerunggang Cratoxylon glaucum 24 2,65 0,06 2,65 5,31
8 Jemang Rhodamnia cinerea 12 1,33 0,03 1,33 2,65
9 Ladi / Temaras Pternandra coerulescens 16 1,77 0,04 1,77 3,54
10 Leben Vitex pubescens 16 1,77 0,04 1,77 3,54
11 Libut Endospermum diadenum 12 1,33 0,03 1,33 2,65
12 Medang kalong Cinnamomum parthenoxylon 20 2,21 0,05 2,21 4,42
13 Mensira Ilex cymosa 12 1,33 0,03 1,33 2,65
14 Mentenu Commersonia bartramia 16 1,77 0,04 1,77 3,54
15 Pelangas Aporosa microcalyx 12 1,33 0,03 1,33 2,65
16 Pelawan Tristaniopsis sp. 56 6,19 0,14 6,19 12,39 3,05 0,89
17 Pelempang hitam Adinandra dumosa 12 1,33 0,03 1,33 2,65
18 Pelempang putih Adinandra sarosanthera 8 0,88 0,02 0,88 1,77
19 Pelepak Hynocarpus sp. 20 2,21 0,05 2,21 4,42
20 Perepat paya Combretocarpus rotundatus 96 10,62 0,24 10,62 21,24
21 Renggadai/ Riang-riang Ploiarium alternifolium 12 1,33 0,03 1,33 2,65
22 Saga Ormosia bancana 16 1,77 0,04 1,77 3,54
23 Samak Syzygium lepidocarpa 80 8,85 0,20 8,85 17,70
24 Sesapu Baeckea frutescens 104 11,50 0,26 11,50 23,01
25 Sekuncung Leptospermium flavescens 20 2,21 0,05 2,21 4,42
26 Seru Schima wallichii 40 4,42 0,10 4,42 8,85
27 Simpur Dillenia sumatrana 12 1,33 0,03 1,33 2,65
28 Singkang Syzygium lineatum 24 2,65 0,06 2,65 5,31
29 Terentang Campnosperma auriculata 12 1,33 0,03 1,33 2,65
30 Terunjam Calophyllum wallichianum 20 2,21 0,05 2,21 4,42
31 Lain-lain - 20 2,21 0,05 2,21 4,42
Jumlah 904 100,00 2,26 100,00 200,00
Sumber : Hasil Inventarisasi dan Analisis Vegetasi Tim AMDAL PT. Bintang Delapan Enam, 2020.
Tabel 2.18. Vegetasi Pohon Tingkat Tiang (10 cm < Ø < 20 cm) di Lokasi Rencana Tapak Proyek.
No Jenis K KR FR D DR INP
F H' E
. Nama Lokal Nama Ilmiah (Ind./Ha) (%) (%) (m2/Ha) (%) (%)
1Akasia Acacia mangium 2 2,94 0,02 3,08 0,0265 2,20 8,21
2Ara Ficus lepicarpa 1 1,47 0,01 1,54 0,0154 1,27 4,28
3Balangeran Shorea balangeran 1 1,47 0,01 1,54 0,0177 1,46 4,47
4Betor Calophyllum depressinervosum 3 4,41 0,03 4,62 0,0462 3,82 12,85
5Gelam Melaleuca leucadendron 13 19,12 0,11 16,92 0,2452 20,29 56,33
6Gerunggang Cratoxylon glaucum 3 4,41 0,03 4,62 0,0681 5,63 14,66
7Jemang Rhodamnia cinerea 2 2,94 0,02 3,08 0,0265 2,20 8,21
8Jering Archidendron pauciflorum 2 2,94 0,02 3,08 0,0402 3,33 9,34
9Ketembab Lithocarpus elegans 2 2,94 0,02 3,08 0,0308 2,55 8,56
10 Libut Endospermum diadenum 1 1,47 0,01 1,54 0,0177 1,46 4,47
11 Medang kalong Cinnamomum parthenoxylon 2 2,94 0,02 3,08 0,0308 2,55 8,56
12 Mensira Ilex cymosa 2 2,94 0,02 3,08 0,0226 1,87 7,89
13 Pelangas Aporosa microcalyx 1 1,47 0,01 1,54 0,0177 1,46 4,47
14 Pelawan Tristaniopsis sp. 3 4,41 0,03 4,62 0,0462 3,82 12,85 2,88 0,88
15 Pelempang hitam Adinandra dumosa 1 1,47 0,01 1,54 0,0154 1,27 4,28
16 Pelempang putih Adinandra sarosanthera 1 1,47 0,01 1,54 0,0201 1,66 4,67
17 Pelepak Hynocarpus sp. 2 2,94 0,02 3,08 0,0353 2,92 8,94
18 Perepat paya Combretocarpus rotundatus 9 13,24 0,08 12,31 0,2289 18,94 44,48
19 Saga Ormosia bancana 1 1,47 0,01 1,54 0,0154 1,27 4,28
20 Samak Syzygium lepidocarpa 6 8,82 0,06 9,23 0,1060 8,77 26,82
21 Sesapu Baeckea frutescens 3 4,41 0,03 4,62 0,0236 1,95 10,98
22 Seru Schima wallichii 2 2,94 0,02 3,08 0,0353 2,92 8,94
23 Singkang Syzygium lineatum 1 1,47 0,01 1,54 0,0133 1,10 4,11
24 Terentang Campnosperma auriculata 1 1,47 0,01 1,54 0,0154 1,27 4,28
25 Terunjam Calophyllum wallichianum 1 1,47 0,01 1,54 0,0133 1,10 4,11
26 Lain-lain - 2 2,94 0,02 3,08 0,0353 2,92 8,94
Jumlah 68 100,00 0,65 100,00 1,2085 100,00 300,00
Sumber : Hasil Inventarisasi dan Analisis Vegetasi Tim AMDAL PT. Bintang Delapan Enam, 2020.
Tabel 2.19. Vegetasi Tingkat Pohon (Ø > 20 cm) di Lokasi Rencana Tapak Proyek.
Jenis K KR FR D DR INP
No. F H' E
Nama Lokal Nama Ilmiah (Ind./Ha) (%) (%) (m2/Ha) (%) (%)
1 Bakil Artocarpus elastica 0,25 4,17 0,01 4,17 0,0143 5,31 13,65
2 Balangeran Shorea balangeran 0,25 4,17 0,01 4,17 0,0123 4,56 12,89
3 Betor Calophyllum depressinervosum 0,25 4,17 0,01 4,17 0,0095 3,53 11,86
4 Gelam Melaleuca leucadendron 0,75 12,50 0,03 12,50 0,0311 11,57 36,57
5 Gerunggang Cratoxylon glaucum 0,5 8,33 0,02 8,33 0,0226 8,40 25,06
6 Jering Archidendron pauciflorum 0,25 4,17 0,01 4,17 0,0123 4,56 12,89
7 Kabal Lithocarpus blumeanus 0,25 4,17 0,01 4,17 0,0123 4,56 12,89
8 Medang kalong Cinnamomum parthenoxylon 0,25 4,17 0,01 4,17 0,0095 3,53 11,86 2,36 0,89
9 Pelawan Tristaniopsis sp. 0,25 4,17 0,01 4,17 0,0123 4,56 12,89
10 Pelempang putih Adinandra sarosanthera 0,25 4,17 0,01 4,17 0,0095 3,53 11,86
11 Pelepak Hynocarpus sp. 0,25 4,17 0,01 4,17 0,0087 3,21 11,55
12 Perepat paya Combretocarpus rotundatus 1,75 29,17 0,07 29,17 0,0791 29,39 87,72
13 Samak Syzygium lepidocarpa 0,5 8,33 0,02 8,33 0,0226 8,40 25,06
14 Seru Schima wallichii 0,25 4,17 0,01 4,17 0,0133 4,93 13,26
Jumlah 6,00 100,00 0,24 100,00 0,2693 100,00 300,00
Sumber : Hasil Inventarisasi dan Analisis Vegetasi Tim AMDAL PT. Bintang Delapan Enam, 2020.
c) Penyebaran Jenis
Tingkat penyebaran jenis vegetasi pohon di dalam areal rencana usaha/ kegiatan
penambangan pasir kuarsa dapat diketahui dari besarnya nilai frekuensi (F) dari masing-masing
jenis vegetasi yang teridentifikasi. Semakin besar nilai F, maka jenis tersebut penyebarannya
semakin luas /merata dan mudah dijumpai pada berbagai variasi tempat tumbuhnya di dalam lokasi
studi. Sebaliknya jenis vegetasi dengan nilai F yang kecil berarti penyebaran jenis tersebut tidak
cukup luas (cenderung mengelompok). Jenis yang penyebarannya hampir merata di areal rencana
penambangan adalah jenis Gelam, Sesapu, Perepat paya, Samak, dan Pelawan terutama pada
ekosistem hutan kerangas dan hutan rawa. Di bawah ini disajikan 5 jenis vegetasi pohon yang
penyebarannya paling luas di lokasi rencana tambang.
Tabel 2.21. Lima Jenis Vegetasi Pohon dengan Tingkat Penyebaran Jenis (F) Terbesar Secara
Berurutan di Lokasi Studi
No. Semai Pancang Tiang Pohon
Uru Nilai Nilai Nilai
Jenis Jenis Jenis Nilai F Jenis
t F F F
1. Gelam 0,10 Gelam 0,32 Gelam 0,11 Perepat paya 0,07
2. Sesapu 0,07 Sesapu 0,26 Perepat paya 0,08 Gelam 0,03
3. Pelawan 0,06 Perepat paya 0,24 Samak 0,06 Samak 0,02
4. Perepat paya 0,05 Samak 0,20 Betor 0,03 Gerunggang 0,02
Betor padang, Gerunggang,
5. 0,04 Pelawan 0,14 0,03 Betor 0,01
Samak Pelawan
Sumber : Hasil Analisis Tim Amdal, 2020.
d) Penguasaan jenis
Untuk mengetahui jenis vegetasi pohon yang paling berkuasa di lokasi studi dapat dilihat
dari nilai dominansi jenis (D) yang paling besar. Nilai D adalah hasil perbandingan luas bidang
dasar pohon (m2) dengan luas areal pengukuran (Ha). Semakin besar nilai D suatu jenis, maka jenis
tersebut tingkat penguasaannya semakin besar. Dalam analisis vegetasi ini, perhitungan nilai D
hanya dilakukan pada vegetasi tingkat tiang (10 cm < diameter < 20 cm) dan tingkat pohon
(diameter > 20 cm). Untuk lebih jelasnya 5 jenis vegetasi dengan tingkat penguasaan jenis terbesar
secara berurutan disajikan pada table di bawah ini.
Tabel 2.22. Lima Jenis Vegetasi Pohon dengan Nilai Dominansi Jenis (D) Terbesar Secara
Berurutan di Lokasi Studi
No. Tiang Pohon
Urut Jenis Nilai D (m2/Ha) Jenis Nilai D (m2/Ha)
1. Gelam 0,2452 Perepat paya 0,0791
2. Perepat paya 0,2289 Gelam 0,0311
3. Samak 0,1060 Gerunggang 0,0226
4. Gerunggang 0,0681 Samak 0,0226
5. Betor, Pelawan 0,0462 Bakil 0,0143
Sumber : Hasil Analisis Tim Amdal, 2020
Berdasarkan hasil analisis di atas secara umum dapat dikatakan bahwa di lokasi rencana
usaha / kegiatan penambangan, vegetasi pohon (tingkat tiang + pohon) jenis Perepat paya
(Combretocarpus rotundatus) dan Gelam (Melaleuca leucadendron) adalah jenis yang paling
berkuasa/dominan, kemudian disusul jenis Samak (Syzygium lepidocarpa), dan Gerunggang
(Cratoxylon glaucum). Apabila dilihat dari jumlah total nilai D vegetasi pohon tingkat tiang dan
pohon yaitu 1,2085 + 0,2693 = 1,4778 m 2/ha, artinya bahwa dalam setiap luasan lahan 1 ha maka
penguasaan ruang (bagian permukaan lahan) oleh vegetasi pohon yaitu seluas 1,4778 m2 atau
sekitar 0,0148%.
Pada Tabel 2.23 disajikan 5 jenis vegetasi dengan nilai INP terbesar di lokasi rencana
penambangan pasir kuarsa.
Tabel 2.23. Lima Jenis Vegetasi Pohon dengan Nilai INP Terbesar di Lokasi Studi
No. Semai Pancang Tiang Pohon
Uru
Jenis INP Jenis INP Jenis INP Jenis INP
t
36,0 87,72
1. Gelam Gelam 28,32 Gelam 56,33 Perepat paya
1
22,8 36,57
2. Sesapu Sesapu 23,01 Perepat paya 44,48 Gelam
0
16,2 25,06
3. Pelawan Perepat paya 21,24 Samak 26,82 Samak
9
13,5 25,06
4. Perepat paya Samak 17,70 Gerunggang 14,66 Gerunggang
8
Betor padang, 10,8
5. Pelawan 12,39 Betor, Pelawan 12,85 Bakil 13,65
Samak 6
Sumber : Hasil Analisis Tim Amdal, 2020.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi pohon di atas menunjukan bahwa di lokasi yang akan
dijadikan area penambangan pasir kuarsa oleh PT. Bintang Delapan Enam, jenis vegetasi pohon
yang paling berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem atau dalam menciptakan
kualitas lingkungan yang lebih baik pada tingkat permudaan (semai dan pancang) adalah jenis
Gelam (Melaleuca leucadendron) dan Sesapu (Baekkea frutescens), pada tingkat tiang jenis Gelam
dan Perepat paya (Combretocarpus rotundatus), sedangkan pada tingkat pohon adalah jenis Perepat
paya dan Gelam.
Tabel 2.25. Nilai Keanekaragaman Jenis (H’) Vegetasi Pohon di Lokasi Studi
Indeks Kriteria Indeks Kriteria
Tingkat Pertumbuhan
No. Shannon- Keanekaragaman Kemantapan
Pohon
Wiener (H’) Jenis Ekosistem
1. Semai 2,97 Tinggi Mantap
Berdasarkan hasil analisis di atas diketahui bahwa dilihat dari nilai indeks keanekaragaman
jenis vegetasi (H’) maka kriteria nilai indeks keanekaragaman jenis vegetasi pohon pada tingkat
semai, tiang dan pohon tergolong tinggi (mantap), serta pada tingkat pancang termasuk sangat
tinggi (mantap sekali). Tingginya nilai H’ tersebut selain dipengaruhi oleh banyaknya komposisi
jenis vegetasi, juga disebabkan oleh hampir meratanya peranan seluruh jenis vegetasi pohon dalam
menjaga kualitas lingkungan hidup (nilai INP setiap jenis hampir merata, tidak ada yang sangat
mendominasi).
g) Kemerataan Jenis (E)
Besarnya indeks kemerataan jenis (E) dapat menggambarkan stabilitas dari komunitas yang
ditunjukan oleh kesamarataan sebaran individu antar jenis. Kriteria kestabilan suatu komunitas
menurut Kusumahadi (2012) adalah sebagai berikut :
0,00 < E < 0,50 = komunitas berada pada kondisi tertekan,
0,50 < E < 0,75 = komunitas berada pada kondisi labil,
0,75 < E < 1,00 = komunitas berada pada kondisi stabil.
Besarnya nilai indeks keseragaman jenis (E) vegetasi pohon di dalam areal yang menjadi
lokasi rencana usaha / kegiatan penambangan oleh PT. Bintang Delapan Enam dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 2.26. Nilai Keseragaman Jenis (E) Vegetasi Pohon di Lokasi Studi
Indeks Keseragaman Jenis Kriteria Kestabilan
No. Tingkat Pertumbuhan Pohon
(E) Komunitas
1. Semai 0,89 Stabil
2. Pancang 0,89 Stabil
3. Tiang 0,88 Stabil
4. Pohon 0,89 Stabil
Sumber : Hasil Analisis Tim Amdal, 2020.
Selain vegetasi pohon, di lokasi studi banyak ditemukan pula vegetasi bukan pohon (vegetasi
bawah) yang tumbuh sebagai perdu, herba dan liana yang dapat memperkaya keanekaragaman jenis
vegetasi terestial. Sebagaimana umumnya ekosistem yang tutupan tajuk pohonnya tidak terlalu
rapat, permukaan lahannya cukup banyak ditumbuhi vegetasi bawah. Dalam analisis vegetasi ini,
untuk tumbuhan bawah tidak diinventarisir (dihitung jumlahnya) melainkan hanya diidentifikasi
(dicatat jenisnya). Di bawah ini disajikan beberapa jenis tumbuhan bawah yang teridentifikasi di
lokasi rencana penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan Enam.
Tabel 2.27. Jenis Vegetasi Bukan Pohon (Tumbuhan Bawah) di Lokasi Studi
Jenis Sesapu (Baekkea frutescens) termasuk ke dalam family Myrtaceae dari ordo Myrtales
dan merupakan tumbuhan berbentuk perdu hingga semak berkayu dengan ketinggian mencapai 5 -
6 meter, dan sangat toleran terhadap tanah podsol atau pasir yang miskin unsur hara, pH rendah
(masam), serta perbedaan kondisi tanah kering dan basah sangat jelas. Tumbuhan ini mempunyai
daun yang berhadapan, helaian daun yang sangat sempit seperti garis dan berkelenjar, tebalnya
sekitar 0,8 mm dan panjangnya 5 mm sampai 16 mm (Plantmor; 2008). Di wilayah studi, tumbuhan
ini masih tergolong tumbuhan liar yang belum dibudidayakan. Di Indonesia tumbuhan ini dapat
ditemukan di wilayah pesisir Sumatera dan Kepulauan Bangka Belitung (penyebarannya sangat
terbatas). Masyarakat setempat biasa memanfaatkan ranting tumbuhan Sesapu ini untuk membuat
sapu pembersih halaman dan obat herbal /teh herbal (untuk nifas).
Deskripsi
Habitus berbentuk semak dengan tinggi mencapai 6 m dan dengan diameter mencapai 11 cm.
Daunnya harum, berbentuk seperti jarum/memita, tegak, berukuran 5,5 - 11,5 mm × 0,4-0,8 mm.
Panjang gagang daun 0,5-0,6 mm dan tunggal. Daunnya saling berhadapan, menggerombol pada
setiap ruas. Panjang gagang daun 0,5-0,6 mm. Kayu Sesapu berwarna merah tua, dan keras.
Pepagan dan percabangan berwarna abu-abu. Bunganya berukuran 3 mm, berwarna putih-merah
muda, termasuk bunga tunggal, dan tumbuh di ujung percabangan. Di tiap-tiap percabangan,
gagang perbungaan kadang ditemui dengan panjang 0,2-1,7 mm kadang juga tidak. Daun gantilan
lanset menyempit, panjang ± 1,5 mm. Cepat luruh sebelum penyerbukan. Hipatium mengerucut
sungsang hingga menghentak panjang 1,5-2,2 mm, dan licin. Perhiasan bunga berupa mahkota
putih, membundar dengan kelenjar minyak. Benang sari berjumlah 7-13, dan dikelompokkan dalam
1-3 hipatium. Tangkai sari panjangnya 0,3-0,8 mm. Putik berbentuk galah, kepala putik berbentuk
bongkol melebar. Buah berukuran sekitar berdiameter 3 mm, warnanya hijau-merah-coklat, dan
buahnya termasuk buah buni. Bakal buah terbagi menjadi 2-3 ruang, berbentuk separuh bola hingga
lonceng, berukuran 1,6-2 mm × 2,3-2,5 mm. Biji berukuran ± 5 mm dan berwarna coklat.
Tumbuhan Sesapu berbunga sepanjang tahun, dan berbuah hampir sepanjang tahun pula. Buah
Sesapu dijumpai pada Bulan Juni-Oktober, Februari dan April. Biji dapat berkecambah selama 52-
66 hari.
Kegunaan
Kayu Sesapu sering digunakan untuk membuat pagar. Disebutkan bahwa kayunya berwarna
merah tua, sangat keras dan padat, berat, dan awet/tahan lama. Daunnya digunakan untuk minuman
penyegar, teh, peluruh kencing (diuretik), dan abortivum. Dalam pengobatan tradisional di
Indonesia, digunakan untuk menyegarkan tubuh ibu yang baru saja melahirkan. Lumatan daun
Sesapu yang dicampur dengan air berkhasiat untuk menyembuhkan pegal-pegal. Daunnya juga
bermanfaat sebagai obat gosok ke seluruh tubuh. Daunnya diperjualbelikan di Semenanjung
Malaya semasa penjajahan Kolonial Belanda dengan nama daun cucur atap. Bunga Sesapu dalam
pengobatan tradisional bermanfaat untuk mengobati masalah nafsu makan. Di Lembah Baliem
(Papua Barat), digunakan untuk obat demam, sakit perut, dan pengusir nyamuk dan dibuat untuk
sapu. Simplisia (bahan obat dasar) dari tumbuhan ini, secara farmakognosi dikenal sebagai
Baeckea Folium, dan setidaknya pada masa lalu dimasukkan sebagai salah satu simplisia yang
wajib tersedia di apotik.
Sesapu berbau harum, seperti lavender karena mengandung minyak esensial (pinena, g-
terpinena, p-sinmonena, limonena, linalol, dan lain-lain). Ia juga mengandung zat (glikosida) yang
berbau seperti damar. Fenol dan baeckeol dapat diisolasi dari tumbuhan Sesapu ini.
Ekstrak etanol dari Sesapu menunjukkan aktifitas sitotoksik melawan sel leukemia dalam
jaringan. Tiga flavonoid yang ditemukan dari daun Sesapu, yakni BF-4, BF-5, dan BF-6
menunjukkan aktifitas sitosik yang kuat melawan sel leukemia. Baeckea frutescens ini juga
diketahui bersifat potensial anti-karies terhadap Streptococcus mutans. Ekstrak Sesapu
menunjukkan aktifitas anti-inhibisi yang kuat terhadap parasit malaria (Plasmodium falciparum)
namun tidak terhadap dengan babesial (Babesia gibsoni).
Seduhan daun tumbuhan Sesapu juga menunjukkan pengaruh yang berarti terhadap daur
birahi, jumlah ketidakhamilan, jumlah anak, dan cacat fisik terhadap anak yang dilahirkan.
Seduhan daun Sesapu secara oral pada dosis 45, 90, dan 180 mg/kg berat badan tidak menunjukkan
pengaruh yang berarti terhadap daur birahi dan tidak mengakibatkan adanya cacat fisik pada anak
yang dilahirkan. Seduhan daun Sesapu pada dosis 90 mg/kg b.b menunjukkan persentase
ketidakhamilan paling besar (60%) dan pengurangan jumlah anak yang berarti.
Semua ekstrak metanol Sesapu tidak menunjukkan aktivitas anti bakteri terhadap Escherchia
coli, Morganella morgani, Serratia marcescens, Salmonella typhii, dan Listeria monocytogens.
Namun, walaupun Sesapu tidak menunjukkan aktivitas anti bakteri, p-cymene yang terkandung
pada Sesapu diketahui bersifat anti-bakteri. Dia tidak mengganggu sel normal. Itu menandakan
bahwa Sesapu baik sebagai obat dalam, karena tidak mengganggu pertumbuhan sel normal.
Dikatakan pula, 50% sel leukemia mati oleh ekstrak metanol Sesapu, sehingga ekstrak metanol
Sesapu mungkin bisa dikomersialkan sebagai anti-leukemia.
(2) Perepat paya (Combretocarpus rotundatus)
Taksonomi
Kingdom : Plantae,
Kelas : Dicotyledonae,
Ordo : Anisophylleales,
Famili : Anisophylleaceae,
Genus : Combretocarpus,
Spesies : C. rotundatus
Jenis ini memiliki beberapa nama daerah, yaitu : Marapat (Dayak, Ngaju, Kalimantan), Perepat
(Palembang), Perepat darat / paya (Belitung), dan Teruntum batu (Bangka).
Ciri-ciri Morfologi
Pohon Combretocarpus rotundatus berukuran sedang sampai besar dengan tinggi bisa
mencapai 40 m dan diameter 100 cm. Permukaan kulit batang tidak beraturan dan beralur dalam,
berwarna cokelat terang sampai cokelat keabu-abuan, sedangkan bagian dalam kulit batang keras
berwarna cokelat kejingga-jinggaan. Jenis ini hidup di daerah rawa, terkadang dengan bantalan
dari akar nafas berwarna coklat kemerahan berbentuk seperti benang. Buahnya merupakan buah
kering, umumnya bersayap tiga, dengan masing-masing buah mengandung satu pucuk yang
berbentuk kumparan. Ukuran buah 23 cm x 1,5–2 cm. Daun berbentuk alternate, mengerucut pada
bagian pangkal, membulat pada bagian ujung dan tidak memiliki stipula, dengan ukuran daun 8–
14,5 cm x 5,5–9,5 cm. Daun muda berwarna merah tua terang sampai merah gelap.
terbuka. Jenis ini tumbuh pada tanah tergenang pada hutan bergambut dan kerangas dengan
ketinggian mencapai 100 – 300 m dpl.
2) Satwa
a) Habitat
Untuk mengetahui kualitas habitat satwa secara umum didekati dengan melihat kondisi
penutupan lahan di dalam lokasi rencana penambangan dan sekitarnya, serta kekayaan jenis
vegetasi yang biasa dijadikan sumber pakan oleh satwaliar. Penutupan vegetasi akan sangat
berpengaruh terhadap kualitas habitat satwaliar. Semakin tinggi kualitas ekosistem alami, maka
kualitas habitat satwaliar akan semakin baik. Kualitas habitat yang baik dicirikan oleh tingginya
prosentase tutupan vegetasi, keanekaragaman jenis (biodiversity) vegetasi, dan tingginya
kelimpahan masing-masing jenis terutama vegetasi yang dapat menjadi sumber pakan satwa.
Berdasarkan data hasil analisis vegetasi pada areal rencana usaha dan/atau kegiatan
penambangan pasir kuarsa, dilihat dari komposisi jenis, kerapatan vegetasi, dominansi jenis, indeks
keanekaragaman jenis dan indeks keseragaman jenis pada tingkat tiang – pohon secara keseluruhan
termasuk kecil (buruk) dibandingkan dengan tingkat semai dan pancang. Rendahnya beberapa
parameter penting untuk vegetasi tingkat tiang – pohon dapat mengakibatkan rendahnya prosentase
tutupan tajuk pohon dan ketersediaan sumber pakan satwa. Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, tutupan tajuk vegetasi pohon di lokasi studi < 60%. Dilihat dari kualitasnya, habitat
tersebut tidak terlalu baik untuk dapat menjamin kelangsungan hidup satwaliar. Penutupan kanopi
yang biasa dijadikan habitat satwa relative kurang untuk dijadikan sebagai tempat berlindung,
bersarang, mencari makan, bermain, dan berkembang biak satwa, sehingga intensitas perjumpaan
langsung dengan satwa pada saat survey cukup sulit. Sebagian besar data jenis satwa di lokasi studi
diperoleh dari informasi masyarakat sekitar.
Satwa yang dapat bertahan hidup (survive) pada ekosistem hutan kerangas di lokasi studi
adalah satwa yang dapat berlindung dan masih memiliki sumber makanan di habitatnya. Beberapa
jenis vegetasi yang dapat menjadi sumber pakan satwa di wilayah studi antara lain adalah :
Keremuntingan (Rhodomyrtus tomentosa), Nasi-nasi (Syzygium bankense), Keleta/Senduduk
(Melastoma malabathricum), Jemang (Rhodamnia cinerea), Samak (Syzygium lepidocarpa),
Palawan (Tristaniopsis sp.), Gelam (Melaleuca leucadendron), dan Betur (Calophyllum
depressinervosum), yaitu terutama sebagai sumber pakan berbagai jenis burung, primata dan lebah.
Vegetasi rumput-rumputan dan semak-belukar yang masih muda juga dapat dijadikan sebagai
sumber pakan bagi mamalia seperti Pelanduk dan Lutung. Berbagai jenis satwa tersebut
membentuk jaring-jaring makanan dalam ekosistem hutan kerangas yang terdiri dari herbivora,
karnivora dan omnivora.
(1) Mamalia
Satwa dari kelas mamalia yang terdapat di dalam areal studi populasinya sangat terbatas,
sebagai akibat kurangnya kualitas habitat di wilayah studi dilihat tutupan vegetasi dan adanya
aktivitas manusia. Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan informasi dari masyarakat sekitar,
di dalam dan sekitar areal rencana kegiatan penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan Enam
teridentifikasi 13 jenis mamalia dan diantaranya terdapat 5 jenis yang dilindungi sesuai Lampiran
Permen LHK No. P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang
Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Jenis mamalia yang masih sering dijumpai
diantaranya adalah Bajing, Kera dan Lutung. Dari 13 jenis mamalia yang diinformasikan
masyarakat ada 4 jenis (30,77%) yang dapat dijumpai langsung pada saat survey di lapangan.
Secara ringkas jenis mamalia yang hidup di wilayah studi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.28. Jenis Mamalia di Lokasi Studi
No. Nama Daerah /Umum Nama Ilmiah Status Sumber Data
1 Babi hutan Sus spp. Tidak dilindungi Informasi masyarakat
2 Bajing Callosciurrus notatus Tidak dilindungi Jumpa langsung
3 Bajing terbang Petinomys spp. Tidak dilindungi Informasi masyarakat
Untuk berbagai jenis burung yang dijumpai langsung pada jalur pengamatan vegetasi dan
satwa dilakukan penghitungan dengan periode waktu 15 menit untuk setiap titik pengamatan,
kemudian dihitung kelimpahannya (N) dalam waktu 1 jam, nilai Indeks Keanekaragaman Jenis
(H’) dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener, serta nilai Indeks Kemerataan Jenis (E)
menggunakan rumus Magurran, 1982. Hasil dari analisis / inventarisasi jenis burung tersebut
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.31. Jenis Burung yang Dijumpai Langsung di Wilayah Studi
K
No Nama Daerah /Umum Nama Ilmiah n pi pi lnpi H' E
(Ind./Ha/Jam)
1 Bangau putih / Rawe Ciconia ciconia 2 0,32 0,03 -0,11206
2 Berebe Pycnonotus plumosus 6 0,96 0,10 -0,22811
3 Butbut / Teragup Centropus rectunguis 3 0,48 0,05 -0,14814
4 Emprit Lonchura leucogastroides 12 1,91 0,20 -0,31986
5 Kake/ Cekakak belukar Actenoides concretus 2 0,32 0,03 -0,11206
6 Kelajut hitam Chalcostetha insignis 3 0,48 0,05 -0,14814
7 Kelinsak / Serindit Loriculus galgulus 1 0,16 0,02 -0,06739
8 Keruak Amaurornis phoenicurus 3 0,48 0,05 -0,14814 2,38 0,90
9 Kerucik /Prinjak Prinia familiaris 10 1,59 0,16 -0,29644
10 Kutilang Pycnonotus aurigaster 4 0,64 0,07 -0,17866
11 Layang Hirundo rustica 8 1,27 0,13 -0,26642
12 Pentis Prionochilus thoracicus 2 0,32 0,03 -0,11206
13 Pipit Lonchura punctulata 4 0,64 0,07 -0,17866
14 Tekukur Streptopelia chinensis 2 0,16 0,02 -0,06739
Jumlah 62 9,71 1,00 -2,3835
Sumber : Hasil Survey Tim AMDAL PT. Bintang Delapan Enam, 2020.
Secara kuantitatif, kekayaan jenis burung yang teridentifikasi melalui perjumpaan langsung
di lokasi studi adalah sebanyak 14 jenis dengan kelimpahan sekitar 9,71 individu/ha/jam, nilai
indeks keanekaragaman jenis (H’) sebesar 2,38 (kriteria tinggi, ketahanan ekosistem mantap), dan
indeks keseragaman jenis (E) sebesar 0,90 (komunitas stabil). Jenis burung yang dapat dijumpai
langsung di lapangan diantaranya terdapat 3 (tiga) jenis yang dilindungi sesuai Lampiran Permen
LHK No. P.92/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/8/2018, yaitu Burung Bubut / Teragup (Centropus
rectunguis), Kake / Cekakak belukar (Actenoides concretus) dan Burung Kelinsak / Serindit
(Loriculus galgulus).
muncul pada anakan yang masih bayi atau baru saja lahir, pada umur enam bulan berubah jadi
hitam, coklat atau abu-abu.
Dalam hidupnya jenis Lutung ini membentuk kelompok dengan beberapa individu mulai dari
6 hingga 23 ekor. Dalam setiap kelompok terdapat jantan sebagai pemimpin kelompok, dan
beberapa betina serta anak-anak yang masih dalam asuhan induknya (Supriatna dan Wahyono,
2000). Menurut Napier dan Napier (1967), jenis primata ini memiliki kecenderungan lebih besar
jika habitatnya terbuka dan di daerah kering.
Lutung jantan mendominasi anggota kelompok dalam hal perlindungan, pengamatan dan
pergerakan harian. Jantan selalu menjaga anggota kelompok dari berbagai gangguan yang berasal
dari luar atau dari kelompok lainnya. Jantan dominan berperan dalam menggerakan atau
mengarahkan pergerakan kelompoknya, baik dalam mencari makan, tempat tidur atau tempat
beristirahat (Napier dan Napier, 1967).
- Habitat
Habitat alami Lutung hitam adalah kawasan hutan dengan berbagai variasi mulai hutan
bakau di pesisir pantai, hutan rawa air tawar, hutan dataran rendah, hutan kerangas, hingga hutan
dataran tinggi sampai ketinggian mencapai 3.500 m dpl.
- Status Konservasi
Ancaman yang serius terhadap Lutung adalah pengrusakan hutan yang dapat menyebabkan
luasan habitat berkurang dan terfregmentasi, sehingga semakin memperkecil penyebaran Lutung,
mengurangi daerah jelajah serta mempercepat pengurangan dan pemusnahan populasinya. Populasi
yang kecil rentan terhadap tekanan inbreeding sepression, genetic drift (Primack, 1998). Populasi
Lutung hitam (Trachypithecus auratus) semakin mengalami penurunan. Karena itu jenis satwa ini
pada tahun 2008 dikategorikan oleh IUCN Redlist dalam status konservasi Terancam (Vulnerable).
CITES juga memasukkan spesies ini dalam Apendiks II. Bahkan pada tahun 2018 berdasarkan
Lampiran PerMen LHK No. P.92/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2018, jenis Lutung ini masuk dalam
daftar jenis satwa yang dilindungi.
- Status Konservasi
Karena perburuan gelap dan banyak rusaknya habitat buaya ini di alam, IUCN memasukkan
Buaya siam ke dalam kategori kritis (CR, critically endangered). Pada 1992 populasinya bahkan
sempat dianggap punah di alam, atau mendekati situasi itu. Akan tetapi menurut perhitungan
sekarang di dunia, total populasinya di alam diperkirakan kurang dari 5.000 ekor. Di penangkaran,
sebagian individu Buaya siam adalah merupakan hibridisasi dengan Buaya muara, disamping
beberapa ribu ekor yang masih asli yang dipelihara pada berbagai tempat penangkaran, terutama di
Thailand dan Kamboja.
Di Indonesia, bersama dengan Buaya muara (Crocodylus porosus), Buaya Irian (Crocodylus
novaeguineae) dan Buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii), Buaya air tawar (Crocodylus
siamensis) termasuk satwa dilindungi berdasarkan Lampiran PerMen LHK No.
P.92/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2018.
- Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Order : Coraciiformes
Family : Alcedinidae
Genus : Actenoides
Species : Actenoides concretus
- Deskripsi
Burung Cekakak belukar / hutan (Actenoides concretus) berukuran sedang, panjang tubuh
total (diukur dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 27 cm. Dominan berwarna coklat dan
biru, dengan dagu, kerongkongan dan dada berwarna putih. Kepala, leher dan perut hingga pantat
coklat merah. Sayap, mantel dan ekor biru menyala. Penutup sayap bagian atas dan ujung sayap
coklat gelap atau kehitaman. Ketika terbang, sisi bawah sayap tampak biru dengan bulatan putih
besar di tengahnya. Iris mata coklat, paruh dan kaki merah.
- Perkembangbiakan
Burung Cekakak biasa kawin pada bulan Februari sampai September. Ia mampu bertelur
sebanyak 4 – 7 butir. Telurnya berbentuk bulat, berwarna putih seukuran buah kelengkeng.
Anaknya bisa tumbuh dengan cepat. Dalam waktu 3 minggu bulunya sudah penuh dan bulu
kapasnya telah hilang. Dalam 1 bulan ia mulai bisa terbang. Pada awal belajar terbang, induknya
selalu menjaga dari kejauhan dan tetap memberi makan sampai beberapa bulan sampai cukup
mampu berburu sendiri.
- Status Konservasi
Banyak faktor yang digunakan untuk menentukan status konservasi suatu spesies : tidak
hanya jumlah populasi spesies yang tersisa, namun juga seluruh peningkatan atau penurunan
populasi dari waktu ke waktu, tingkat keberhasilan perkembangbiakan, dan ancaman-ancamannya.
Mengacu pada Lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.92/Menlhk/Setjen/ Kum.1/8/2018, jenis burung Cekakak belukar / hutan (Actenoides concretus)
termasuk satwa yang dilindungi. Sesuai peraturan perundangan yang terkait dengan perlindungan
satwa (diantaranya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistem), untuk jenis yang dilindungi tersebut dilarang dari segala kegiatan perburuan dan
penangkapan untuk diperdagangkan maupun sebagai burung peliharaan.
b. Biota Air
Secara umum alur sungai yang terdapat di dalam wilayah studi rencana usaha dan/atau
kegiatan penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan Enam merupakan aliran air yang
mengalir lambat namun tidak terlalu dalam. Untuk mengetahui parameter biota air dilakukan
pengamatan dan analisis biota air pada lokasi pengambilan sampel yang bersamaan dengan sampel
kualitas air sungai studi.
1) Plankton
Plankton merupakan biota air yang melayang secara pasif dan penyebarannya tergantung
pada arus air. Biota air ini terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu phytoplankton dan
zooplankton. Phytoplankton adalah tumbuhan hijau yang bersifat planktonis, sedangkan
zooplankton adalah hewan air yang bersifat planktonis. Kedua jenis plankton ini hidup bersama dan
keduanya saling terlibat dalam hubungan rantai makanan yang erat, artinya dalam kehidupan
plankton mempunyai peranan penting dalam ekosistem perairan baik dalam tingkatan tropik
maupun peranannya dalam merombak bahan organik. Selain itu kondisi kehidupan plankton juga
dapat memberikan gambaran mengenai tingkat pencemaran suatu perairan. Untuk lebih jelasnya
populasi plankton untuk masing-masing genus di perairan sungai studi disajikan pada Tabel 2.32.
Di sungai yang diamati dalam kajian ini diperoleh nilai indeks keanekaragaman jenis (H’)
fitoplankton berkisar antara 1,535 – 1,679 (sedang), indeks keseragaman jenis 0,174 – 0,186 (tidak
merata) dan indeks dominansi sebesar 0,205 – 0,230 (tidak terjadi dominansi / rendah). Untuk
indeks keanekaragaman jenis zooplankton berkisar antara 0,683 – 1,309 (sangat rendah - rendah),
indeks keseragaman jenis 0,088 – 0,157 (tidak merata) dan indeks dominansi sebesar 0,292 – 0,510
(rendah hingga tinggi).
Tabel 2.32. Populasi Plankton pada Perairan Sungai di Lokasi Studi Rencana Kegiatan
Penambangan Pasir Kuarsa PT. Bintang Delapan Enam.
Hasil Analisis
Organisma Sungai A. Sungai A. Kriteria
Air Rawa
Kelong Hilir Sambar Hilir
A. PHYTOPLANKTON
BACILLARIOPHYCEAE
Nitzschia sp. 1750 1400 2450
Coscinodiscus sp. - - 2100
Fragillaria sp. 1050 1050 1400
Tabellaria sp. 2100 - -
Asterlonella sp. - 700 -
CHLOROPHYCEAE
Chlorococcus sp. - - 1050
Closterium sp. 1050 700 700
Staurastrum sp. 700 - 700
Melosira sp - 1400 -
Jumlah Taksa 5 5 6
Jumlah Individu / liter 6650 5250 8400
Indeks Keragaman Shannon (H') 1,535 1,564 1,679 Sedang
Indeks Keseragaman (E) 0,174 0,183 0,186 Tidak Merata
Indeks Dominansi (D) 0,230 0,218 0,205 Rendah
B. ZOOPLANKTON
ROTIFERA
Brachionus sp. - 700 700
Keratella sp. 1050 350 1050
Cyclopoid sp. - - 700
CRUSTACEAE
Nauplius sp. 1400 1050 1750
Jumlah Taksa 2 3 4
Jumlah Individu / liter 2450 2100 4200
Sangat Rendah -
Indeks Keragaman Shannon (H') 0,683 1,011 1,309
Rendah
Indeks Keseragaman (E) 0,088 0,132 0,157 Tidak Merata
Indeks Dominansi (D) 0,510 0,389 0,292 Rendah – Tinggi
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium BIOTROP, Bogor, 2020
Keterangan : Kriteria H’ menurut Lee et al., 1978
Kriteria E dan D menurut Simpson.
2) Benthos
Benthos adalah organisme hewani maupun tumbuhan yang hidup dipermukaan dasar
perairan atau dalam dasar perairan. Benthos yang teridentifikasi adalah dari kelompok
makrozoobenthos, yang merupakan jenis benthos yang tertahan pada saringan dengan mata jaring 1
mm2.
Indeks keragaman jenis (H’) benthos pada ketiga sungai studi yang diamati berkisar antara
1,040 – 1,373 (rendah), indeks keseragaman berkisar antara 0,244 – 0,269 (cukup merata) dan
indeks dominansi berkisar antara 0,256 – 0,375 (tidak terjadi dominasi jenis / rendah). Untuk lebih
jelasnya populasi benthos yang ditemukan untuk masing-masing spesies di lokasi studi adalah
sebagaimana disajikan pada Tabel 2.33.
Tabel 2.33. Populasi Benthos pada Perairan Sungai di Lokasi Studi Rencana Kegiatan
Penambangan Pasir Kuarsa PT. Bintang Delapan Enam.
Hasil Analisis
Sungai
Organisma Sungai A. Kriteria
A. Sambar Air Rawa
Kelong Hilir
Hilir
GASTROPODA
Lymnaea sp. - - 30
Tarebia sp. 30 30 45
Melanoides sp. 15 30 45
DIPTERA
Chironomus sp. 15 30 45
Jumlah Taksa 3 3 4
Jumlah Individu / m2 60 90 165
Indeks Keragaman Shannon (H') 1,040 1,099 1,373 Rendah
Indeks Keseragaman (E) 0,254 0,244 0,269 Cukup Merata
Indeks Dominansi (D) 0,375 0,333 0,256 Rendah
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium BIOTROP, Bogor, 2020
Keterangan : Kriteria H’ menurut Lee et al., 1978
Kriteria E dan D menurut Simpson.
3) Nekton
Nekton adalah makhluk air yang mampu bergerak melawan arus, hidup di kolom perairan
dan beberapa di dasar perairan. Jenis-jenis nekton / ikan yang dijumpai di wilayah studi areal
rencana usaha dan/atau kegiatan penambangan pasir kuarsa PT. Bintang Delapan Enam disajikan
pada Tabel 2.34. Menurut informasi masyarakat setempat, di perairan sungai studi terdapat sekitar
enam belas (16) jenis ikan, namun yang dapat dijumpai langsung pada saat survei hanya sekitar 6
(enam) jenis, yaitu : Ikan Babetok / Kepuyu, Bantak / Seluang, Kemuring, Mengar, Mengkawak /
Gabus, dan Sepat. Banyaknya jenis ikan yang terdapat pada perairan menunjukan jumlah taksa
yang cukup tinggi dan berarti perairan sungai ini cukup stabil dan kaya akan unsur sumberdaya
alam hayati yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan pengamatan dan
informasi di lapangan, masyarakat setempat menjadikan perairan tawar di sungai studi yang berada
di dalam dan sekitar lokasi rencana kegiatan sebagai tempat untuk mencari ikan dengan cara
dipancing. Pencarian ikan air tawar oleh masyarakat hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga
sendiri (tidak untuk dijual).
Tabel 2.34. Jenis Ikan pada Perairan Tawar (Sungai dan Rawa) di Dalam dan Sekitar Areal
Rencana Kegiatan Penambangan Pasir Kuarsa PT. Bintang Delapan Enam.
No. Nama Daerah Nama Ilmiah Perolehan Data
1 Babetok / Kepuyu Anabas testudineus Jumpa langsung
2 Bantak / Seluang Rasbora einthovenii Jumpa langsung
3 Baung Hemibagrus nemurus Informasi masyarakat
4 Bebidis Mystacoleucus padangensis Informasi masyarakat
5 Belut Macrotema caligans Informasi masyarakat
6 Cempedik Osteochilus sp. Informasi masyarakat
7 Keli Encheloclarias kelioides Informasi masyarakat
8 Kemuring Puntius lineatus Jumpa langsung
9 Kepinding Pristolepis fasciat Informasi masyarakat
10 Lele Clarias meladerma Informasi masyarakat
11 Linggang / Keli Clarias nieuhofii Informasi masyarakat
12 Mengar - Jumpa langsung
13 Mengkawak / Gabus Ophiocephalus striatus Jumpa langsung
14 Mentutu Oxyeleotris marmorata Informasi masyarakat
15 Sepat Trichogaster pectoralis Jumpa langsung
16 Tupok - Informasi masyarakat
Sumber : Hasil Survei Tim AMDAL, 2020.
Desa Tanjung Batu Itam memiliki luas wilayah 68 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak
1.831 jiwa yang terdiri dari laki-laki 940 jiwa dan perempuan 891 jiwa (data registrasi penduduk
per-Desember 2018), sehingga kepadatan penduduk di desa ini adalah 27 jiwa/km2. Dilihat dari
perbandingan jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki dengan perempuan diketahui bahwa sex
ratio penduduk di Desa Tanjung Batu Itam adalah 105,50% yang berarti bahwa dalam setiap 100
orang perempuan terdapat 106 orang laki-laki. Sedangkan Desa Simpang Pesak memiliki luas
wilayah 119 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 3.770 jiwa yang terdiri dari laki-laki 1.963
jiwa dan perempuan 1.807 jiwa (data registrasi penduduk per-Desember 2018), sehingga kepadatan
penduduk di desa ini adalah 32 jiwa/km2. Dilihat dari perbandingan jumlah penduduk berjenis
kelamin laki-laki dengan perempuan diketahui bahwa sex ratio penduduk di Desa Simpang Pesak
adalah 108,63% yang berarti bahwa dalam setiap 100 orang perempuan terdapat 109 orang laki-
laki.
Tabel 2.36. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Wilayah Studi , 2018
Jumlah Jiwa
Kecamatan
No. Kelompok Umur Desa Tanjung Desa Simpang
....... Simpang Pesak
Batu Itam Pesak
1. 0 – 14 460 992 2159
2. 15 – 64 1266 2613 5777
3. > 65 105 165 438
Jumlah 1831 3770 8374
Sumber : Kecamatan Simpang Pesak dalam Angka, 2019.
b. Sosial Ekonomi
1) Kesempatan Kerja dan Berusaha
Rencana kegiatan penambangan pasir kuarsa di PT. Bintang Delapan Enam selama tahap
operasional diperkirakan akan menyerap tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja akan diprioritaskan
bagi penduduk setempat sesuai dengan kebutuhan dan keterampilan. Penerimaan tenaga kerja
tersebut berarti akan memberikan kesempatan kerja bagi penduduk lokal dan pendatang. Dengan
adanya penerimaan tenaga kerja akan memberikan peningkatan pendapatan dan mendorong
terciptanya peluang berusaha bagi penduduk setempat dalam usaha perdagangan
(warung/kios/toko) untuk menyediakan kebutuhan bagi penduduk, karyawan, dan perusahaan.
Bahkan akan bermunculan berbagai industri rumah tangga, pertukangan, bengkel, sarana
telekomunikasi, sarana kendaraan darat dan air. Jadi bukan hanya perusahaan yang menyerap
tenaga kerja, tetapi semua usaha tersebut banyak membutuhkan sumberdaya manusia yang
terampil.
Secara garis besar ketenagakerjaan di wilayah studi terdiri penduduk bukan angkatan kerja
dan penduduk angkatan kerja. Penduduk bukan angkatan kerja terdiri dari pelajar dan ibu rumah
tangga, sedangkan angkatan kerja terdiri dari penduduk yang bekerja dan pencari kerja, yaitu
sebagaimana disajikan pada table berikut.
Tabel 2.37. Penduduk Usia Produktif (15 – 64 Tahun) di Wilayah Studi, 2018
Jumlah Jiwa
Kecamatan
No. Uraian Desa Tanjung Desa Simpang
...... Simpang Pesak
Batu Itam Pesak
1. Bukan angkatan kerja :
- Pelajar 191 411 829
- Ibu Rumah
522 981 2295
Tangga
Jumlah 1 713 1392 3124
2. Angkatan kerja :
Selanjutnya dapat dihitung Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) di desa wilayah studi dengan rumus
sebagai berikut :
BK
TKK = X 100%
AK
dimana:
TKK = Tingkat Kesempatan Kerja
BK = Penduduk yang Bekerja
AK = Angkatan Kerja
Tabel 2.38. Tingkat Kesempatan Kerja di Wilayah Studi
TKK
No. Desa Studi BK AK
(%)
1. Tanjung Batu Itam 507 553 91,75
2. Simpang Pesak 1148 1221 94,02
Jumlah 1655 1774 93,31
Sumber : Hasil Perhitungan Tim Amdal
Jumlah penduduk yang belum / tidak bekerja (pengangguran terbuka) dapat dihitung dengan
persamaan = Penduduk Usia Produktif (PUP) – Bukan Angkatan Kerja (BAK) – Penduduk yang
Bekerja (BK) :
- Desa Tanjung Batu Itam :
Penduduk belum / tidak bekerja (TBK) = 1266 – 713 – 507 = 46 orang
- Desa Simpang Pesak :
Penduduk belum / tidak bekerja (TBK) = 2613 – 1392 – 1148 = 73 orang
Sedangkan besarnya Tingkat Pangangguran Terbuka (TPT) dihitung dengan persamaan :
TBK
TPT = X 100%
PUP
Tabel 2.39. Tingkat Kesempatan Kerja di Wilayah Studi
TPT
No. Desa Studi TBK PUP
(%)
1. Tanjung Batu Itam 46 1266 3,60
2. Simpang Pesak 73 2613 2,79
Jumlah 119 3879 3,06
Sumber : Hasil Perhitungan Tim Amdal
2) Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk di wilayah desa studi berorientasi pada pertanian/peternak,
nelayan, buruh harian dan lainnya. Berdasarkan jenis mata pencaharian sehari-hari, mayoritas
penduduk di wilayah studi umumnya bekerja sebagai di bidang pertanian dan nelayan serta buruh
harian. Secara ringkas, distribusi penduduk menurut mata pencaharian di lokasi studi disajikan
dalam Tabel 2.36.
Tabel 2.36. Mata Pencaharian Penduduk Desa dan Kecamatan Wilayah Studi Tahun 2018
Desa Tanjung Kecamatan Simpang
No. Jenis Pekerjaan Desa Simpang Pesak
Batu Itam Pesak
1. Pertanian/Pertenak 18 212 315
2. Nelayan 163 48 412
3. Perdagangan 8 33 63
4. PNS/TNI/Polri 11 81 127
5. Karyawan Swasta 17 48 90
6. Honorer 9 30 49
7. Guru/Dosen 6 5 14
8. Buruh Harian 275 691 1.337
9. Pelajar 319 685 1.381
10. Mengurus Rumah 522 981 2.295
11. Lainnya 413 956 2.145
Total 1.761 3.770 8.228
Sumber : Kecamatan Simpang Pesak dalam Angka, 2019.
Pada tahun 2017 jaringan jalan di Kecamatan Simpang Pesak sebagian besar sudah di aspal
sepanjang 44 km, meskipun masih juga terdapat jalan yang berupa tanah dan batu sepanjang 53,5
km. Berbagai jenis kendaraan sebagai sarana transportasi juga tersedia di Kecamatan Simpang
Pesak, mulai dari mobil, motor, sepeda dan lainnya.
Tabel 2.39. Panjang Jalan dan Jumlah Kendaraan di Kecamatan Simpang Pesak
Panjang Jalan (Km) (2017)
Kecamatan Studi
Aspal Batu Tanah
Simpang Pesak 44 2 51,5
Desa/Kecamatan Jenis sarana Angkutan ( 2018)
Studi Sepeda motor Mobil Penumpang Bus Truck
Simpang Pesak 2.913 240 1 161
Sumber: Kecamatan Simpang Pesak Dalam Angka, 2018 dan 2019.
5) Sarana Perekonomian
Perkembangan perekonomian selain didukung oleh sumber daya alam dan manusia yang
memadai juga ditentukan oleh sarana dan prasarana perekonomian serta aksesibilitas yang cukup.
Pada tahun 2018 di Kecamatan Simpang Pesak masih memiliki 16 pasar tradisional yang letaknya
berada di Desa Simpang Pesak. Berikut ini disajikan data jumlah sarana perekonomian serta
lembaga keuangan yang terdapat di wilayah studi.
Tabel 2.40. Jumlah Sarana Perekonomian di Kecamatan Simpang Pesak Tahun 2018
Toko Kelontong
No. Desa Pasar Minimarket Toko Kelontong
Sembako
1. Tanjung - - 48 -
2. Tanjung Batu Itam - - 33 33
3. Dukong - - 15 15
4. Simpang Pesak 16 - 25 29
Jumlah 16 - 21 77
Sumber : Kecamatan Simpang Pesak Dalam Angka, 2019.
Tabel 2.41. Jumlah Lembaga Keuangan di Kecamatan Simpang Pesak Tahun 2018
No. Desa KUD BANK
1. Tanjung Kelumpang - -
2. Tanjung Batu Itam - -
3. Dukong 1 -
4. Simpang Pesak 12 2
Jumlah 2
Sumber : Kecamatan Simpang Pesak Dalam Angka, 2019.
Tabel 2.43. Pertumbuhan PDRB Kabupaten Belitung Timur (dalam miliar rupiah)
Juta Rupiah
No. Jenis PDRB
2015 2016 2017 2018 2019
1. Atas Dasar Harga Berlaku 6.125,94 6.604,20 7.151,80 7.408,79 7.728,23
Atas Dasar Harga Konstan
2. 4.675,21 4.873,88 5.110,30 5.325,48 5.503,99
2010
Sumber : Belitung Timur Dalam Angka, 2020.
c. Sosial Budaya
1) Persepsi dan Sikap Masyarakat
Parameter persepsi dan sikap masyarakat dalam studi ini diarahkan kepada persepsi dan sikap
masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan penambangan pasir kuarsa oleh PT. Bintang
Delapan Enam di wilayah mereka serta persepsi dan sikap masyarakat terhadap keberadaan
lingkungan hidup yang merupakan tempat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
Persepsi dan sikap masyarakat terhadap adanya rencana usaha dan/atau kegiatan biasanya
bersifat dinamis, artinya sering berubah dari waktu ke waktu tergantung pada situasi dan kondisi
pada saat pengambilan data, dimana sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman masyarakat
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan, kepentingan, dan pengalaman yang telah dialaminya
ataupun informasi dari pihak lainnya terkait adanya usaha sejenis yang telah berlangsung.
Berdasarkan hasil angket dan wawancara langsung terhadap masyarakat di wilayah studi
diketahui bahwa sebagian besar masyarakat (51,12% responden) belum mengetahui tentang adanya
rencana kegiatan penambangan pasir kuarsa yang akan dilaksanakan oleh PT. Bintang Delapan
Enam dan sebagian masyarakat (48,88% responden) sudah mengetahui rencana kegiatan tersebut
dan sudah mengetahui dampak positif ataupun negatif yang akan ditimbulkannya. Umumnya
masyarakat sudah tidak asing lagi dengan kegiatan penambangan pasir kuarsa. Berdasarkan hasil
pengolahan data diperoleh bahwa sebanyak 41,57% responden dari masyarakat setempat memberi
tanggapan positif terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan penambangan pasir kuarsa oleh PT.
Bintang Delapan Enam dengan memberi syarat agar selama kehadiran perusahaan dapat
memberikan manfaat kepada masyarakat, seperti memberikan lapangan ke masyarakat,
melaksanakan program CSR yang tepat sasaran kepada masyarakat, serta dapat meningkatkan
perekonomian lokal. Sedangkan sebanyak 23,60% masyarakat memberi tanggapan negatif dengan
kekhawatiran bahwa rencana kegiatan tersebut dapat mencemari lingkungan dan sering terjadi
banjir serta menimbulkan permasalahan dengan masyarakat sekitar lokasi kegiatan. Sisanya
sebanyak 34,83% responden tidak memberi tanggapan/sikap terhadap rencana kegiatan ini,
mengingat kekhawatiran masyarakat akan penggunaan tenaga kerja pendatang yang komposisinya
lebih banyak daripada tenaga kerja lokal, selain itu kekhawatiran masyarakat bahwa perusahaan
tidak akan melaksanakan tanggungjawab sosialnya sehingga dapat memicu keresahan serta konflik
sosial dengan masyarakat setempat.
Tabel 2.44. Tanggapan Responden Mengenai Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan
Pasir Kuarsa oleh PT. Bintang Delapan Enam
Jumlah Pendapat Masyarakat
No. Sikap dan Persepsi Desa Tanjung Batu
Desa Simpang Pesak Jumlah Total
Itam
n % n % n %
A. Pengenalan
1. a. Sudah tahu 36 39,13 51 59,30 87 48,88
2. b. Belum tahu 56 60,87 35 40,70 91 51,12
Jumlah 92 100,00 86 100,00 178 100,00
B. Sikap dan Persepsi
1. Positif(+), dengan syarat
a. Memberikan lapangan
30 32,61 12 13,95 42 23,60
kerja ke masyarakat lokal
b. Meningkatkan
12 13,04 14 16,28 26 14,61
perekonomian lokal
c. Harus menjaga
0 0,00 6 6,98 6 3,37
lingkungan
Jumlah 42 45,65 32 37,21 74 41,57
2. Negatif
a. Pencemaran lingkungan
3 3,26 35 40,70 38 21,35
dan terjadi banjir
b. Kurang menyerap tenaga
0 0,00 0 0,00 0 0,00
kerja lokal
c. Timbul permasalahan
0 0,00 4 4,65 4 2,25
dengan masyarakat
Jumlah 3 3,26 9 45,35 42 23,60
2) Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakatan atau pranata sosial merupakan tatanan sosial dalam kehidupan
masyarakat yang didalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan
batas-batas perangkat unsur-unsur yang menunjuk pada satu keteraturan perilaku sehingga dapat
memberikan bentuk sebagai masyarakat. Lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa Simpang
Pesak dan Desa Tanjung Batu Itam terdiri dari lembaga formal dan non formal. Lembaga formal
antara lain LPMD/LPMK, dan Rukun Tetangga (RT). Sedangkan lembaga non formal antara lain
Kelompok Tani/Nelayan, dan Lembaga Adat.
3) Adat Istiadat dan Pola Kebiasaan yang Berlaku
Pada umumnya penduduk di Desa Simpang Pesak dan Desa Tanjung Batu Itam didominasi
oleh etnis Melayu, meskipun terdapat juga etnis lain yang sangat sedikit jumlahnya seperti etnis
Tionghoa dan Jawa. Kehidupan sehari-hari masyarakat yang berasal dari berbagai suku tersebut
berjalan dengan harmonis. Adat istiadat di desa ini masih tergolong sangat kuat dan syarat akan
nuansa Islam sehingga pola kebiasaan yang berlaku di masyarakat banyak dipengaruhi oleh ajaran
agama Islam, walaupun di wilayah ini terdapat agama lain. Umumnya adat istiadat dan pola
kebiasaan yang berlaku bersifat apabila acara yang berhubungan dengan adat dilaksanakan. Acara-
acara tersebut antara lain : musyawarah adat, upacara adat perkawinan dan kegiatan keagamaan
pada hari-hari besar keagamaan.
Hutan Riding menurut informasi yang diberikan masyarakat adalah wilayah hutan yang
tidak boleh digarap karena dipercaya sebagai jalur perjalanan makhluk-makhluk halus. Pada saat
membuka lahan, biasanya Dukun Kampong menyisakan kawasan tertentu yang tidak boleh diubah.
Dukun Kampong yang memiliki kemampuan berhubungan dengan makhluk halus, memberikan
penghormatan kepada makhluk tersebut dengan tidak mengganggu jalur lintasan mereka. Sehingga
biasanya diantara lahan garapan yang dimanfaatkan penduduk terdapat kawasan lain yang
kondisinya dibiarkan apa adanya. Dengan demikian secara vegetatif hutan riding merupakan jenis
hutan alam yang masih asli.
Keleka’ adalah wilayah hutan yang terbentuk bersamaan dengan dibukanya areal
perkampungan baru. Keleka’ adalah wilayah khusus yang dihutankan kembali dari sebuah aktivitas
pembukaan lahan untuk kawasan hunian. Ketika masyarakat membuka perkampungan baru, maka
masyarakat membutuhkan juga lahan baru untuk ladang pertanian. Beberapa lahan dibuka dan
dijadikan tempat berbudidaya. Bersamaan dengan itu, masyarakat juga menyediakan lahan khusus
untuk ditanami jenis-jenis tanaman baqa, atau tanaman tahunan seperti pohon durian, manggis, dan
langsat. Lahan tersebut kemudian berkembang menjadi keleka’. Terdapat aturan yang ditetapkan
oleh masyarakat untuk tidak merusak dan mengambil kayu dari kawasan keleka’, karena akan
menyebabkan terputusnya siklus berbuah tanaman yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi
masyarakat diperbolehkan oleh Dukun Kampong untuk mengambil hasil hutan seperti buah dan
madu. Larangan membuka hutan keleka’ dimaksudkan karena fungsinya sebagai sumber makanan
masyarakat sambil menunggu hasil panen tanaman yang dibudidayakan.
Terakhir adalah Hutan Landing atau tali utan, adalah wilayah hutan sepanjang aliran sungai
yang juga dipercaya sebagai jalur makhluk-makhluk ghaib. Masyarakat tidak diperbolehkan
menebang pohon-pohon sepanjang lintasan sungai karena akan mengundang kemarahan makhluk-
makhluk ghaib tersebut.
Saat ini, ketetapan kultural tentang hutan tersebut di atas mengalami pergeseran, akan
tetapi orang-orang tua di wilayah studi masih tetap mempertahankan kearifan tradisional tersebut.
Secara umum tercermin bahwa praktek-praktek dalam penetapan hutan tersebut mengindikasikan
adanya hubungan antara manusia dan alam yang sangat erat. Ada kawasan-kawasan tertentu yang
dianggap boleh dimanfaatkan dan ada kawasan-kawasan tertentu yang harus tetap dijaga
keutuhannya.
Dari sudut pandang konservasi, kebijakan adat dipraktekkan oleh Dukun Kampong di
wilayah studi dimana sangat mendukung upaya-upaya pelestarian alam yang berkesinambungan.
Sebagian wilayah dijadikan sebagai zona inti, sebagian dijadikan zona penyanggah dan sebagian
lagi dijadikan sebagai zona pemanfaatan.
Hutan Riding dan Hutan Landing jelas menjadi kawasan inti yang dapat mempertahankan
kelestarian alam dan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Kebijakan adat tersebut secara nyata
memperlihatkan upaya-upaya pelestarian yang sangat komprehensif. Pelarangan penebangan pohon
di sepanjang sempadan sungai, akan menjaga ekosistem sungai tersebut. Fungsi daerah sempadan
adalah menjcegah terjadinya erosi dan sedimentasi pada badan sungai yang dapat mengakibatkan
pendangkalan. Jika sungai mengalami pendangkalan, maka sungai sebagai rumah ikan akan rusak,
sehingga berdampak kepada ikan dan jenis hewan lain yang hidup di sungai. Selain itu dapat
menyebabkan banjir dan kekeringan karena debit air yang dapat ditampung sungai menjadi sangat
fluktuatif.
Khusus Hutan Riding, karena alasan pelarangannya adalah jalur lintasan makhluk lain,
maka kawasan Hutan Riding membentuk sebuah jalur yang menghubungkan satu kawasan hutan
dengan kawasan hutan lain. Aturan adat ini, memungkinkan terbentuknya sebuah koridor alam
dalam konsep konservasi. Koridor dalam konsep konservasi adalah jalur hijau yang ditetapkan
sebagai jalur aktivitas satwa yang menghubungkan satu kawasan dengan kawasan yang lain.
Koridor ditetapkan untuk menjamin ketersedian pakan dan teritori yang cukup bagi kehidupan
satwa. Selain itu, kawasaan koridor menjadi penyangga bagi kelangsungan hidup satwa di tengah
maraknya pembukaan lahan yang dilakukan oleh manusia.
jari kaki orang dewasa. Sedangkan tirok berupa tombak yang matanya terbuat dari besi runcing,
gunanya untuk menangkap ikan. Panjang matanya tak tentu, tergantung kesukaan pembuatnya,
gagangnya terbuat dari kayu keras yang diraut sedemikan rupa sehingga tinggal sebesar jari
telunjuk orang dewasa. Nirok nanggok dilakukan pada musim kemarau yang agak lama. Aktivitas
penangkapan ini ditentukan waktu dan lokasinya oleh Dukun Kampong. Terdapat aturan yang tegas
mengenai waktu penangkapan ikan tersebut. Menurut sejarah, kepatuhan terhadap waktu
penangkapan ikan berhubungan dengan kesepakatan adat yang dikenal dengan “Sumpah Kelima
Bertangkup”.
Sampai saat ini, tata cara penangkapan ikan masih seperti sediakala. Masyarakat percaya
akan sumpah penguasa yang memimpin upacara adat yang disebut ”Sumpah Kelima Bertangkup”
yakni barang siapa berani mengambil ikan sebelum tiba saat penangkapan ikan bersama (waktu
nirok nanggok), ia akan mati tidak selamat. Beberapa sumber menyebutkan bahwa sumpah ini
memang terbukti. Sekarang ini, jika belum ada ketentuan penangkapan maka tidak seorangpun
yang berani mengambil ikan meskipun kelihatan jinak-jinak dan banyak sekali.
Kajian popular aktivitas nirok nanggok dapat diartikan sebagai aktivitas pemanenan
(harvesting). Aktivitas kultural tersebut memiliki kaidah pemanfaatan yang berkelanjutan
(sustainable utilization). Dari perspektif konservasi sumber daya alam, aktivitas nirok nanggok
dapat dijadikan sebagai model pemanenan yang tetap memperhatikan kekuatan alam dalam
memberikan suplai potensinya. Aturan adat yang mengikat masyarakat dalam melaksanakan
pengambilan ikan, memberikan kesempatan bagi ikan tersebut melakukan pemulihan jumlah
populasi, bahkan pemanenan yang dilakukan hanya pada musim kemarau tersebut memberikan
manfaat ekologis, yaitu mengurangi kepadatan populasi sehingga daya dukung perairan bagi
pertumbuhan ikan sungai tetap stabil. Periodisasi pemanenan ikan tersebut adalah salah satu bentuk
kearifan tradisional yang positif dipertahankan. Hal tersebut menunjukkan keakraban dan
pengetahuan mendalam yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah studi sejak jaman dahulu dalam
memanfaatkan apa yang terdapat di alam secara bijaksana (lestari).
Di Pulau Belitung, pemanfaatan hewan dan tumbuhan tertentu dalam kehidupan sudah
berlangsung sejak dahulu kala. Ada yang dijadikan sebagai obat-obatan, hiasan, bahan dasar
kesenian adat, bahan kerajinan, serta ada juga yang bersifat sebagai syarat untuk mengambil hasil
hutan. Sebagai contoh adalah kayu Nyatoh (Palaquium spp.) digunakan masyarakat sekitar hutan
sebagai bahan bangunan karena cukup kuat dan awet. Selain Nyatoh, kayu Betor (Callophyllum
pulcherrimum) juga digunakan untuk membangun rumah. Beberapa pemanfaatan hasil hutan
lainnya yang populer berlangsung sampai saat ini adalah :
(1) Tumbuhan Dalam Proses Pengambilan Madu Hutan
Tahapan prosesi pengambilan madu hutan di wilayah studi secara umum dibagi menjadi
tiga tahapan, yaitu : persiapan, pengambilan madu, dan pengemasan. Praktek etnobotani
berlangsung pada tahap persiapan pengambilan madu. Tahap persiapan dimulai dari penyiapan
wadah sebagai tempat sarang lebah yang akan diambil, serta penyiapan bahan tertentu yang diambil
dari tumbuhan untuk membuat asap. Asap dibutuhkan untuk mengusir lebah dari sarangnya.
Menurut masyarakat pengambil madu, tumbuhan untuk membuat asap haruslah tumbuhan tertentu.
Hal tersebut disebabkan karena fungsi asap tidak sekedar mengusir lebah dari sarangnya akan tetapi
juga menetralisir penyakit dan racun yang dikandung oleh sarang lebah dan madunya. Terdapat
tidak kurang dari 7 nama lokal jenis-jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pembuat asap,
diantaranya adalah Memperak, Betor, dan Pelawan.
Belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan pendapat masyarakat tersebut, namun
sampai saat ini kepercayaan tentang khasiat tumbuhan tersebut masih terus diyakini dan
dipertahankan. Menurut masyarakat pengambil madu, keterampilan dalam mengambil madu
diperoleh secara turun temurun dari generasi sebelumnya. Fenomena demikian menggambarkan
bahwa masyarakat di wilayah studi juga terdapat kearifan etnobotani. Kearifan tersebut jelas akan
bermanfaat dalam mendukung upaya-upaya pemanfaatan hewan dan tumbuhan secara bertanggung
jawab dan berkelanjutan.
(2) Tumbuhan Sebagai Obat
Masyarakat di wilayah studi juga memanfaatkan jenis-jenis tumbuhan sebagai obat.
Tumbuhan tersebut digunakan sebagai lulur, sebagian dikonsumsi air rebusannya, sebagian
tumbuhan lain dicampur dengan bahan tertentu. Praktek tersebut masih terus dipertahankan sampai
saat ini, terutama ramuan obat khusus bagi ibu-ibu yang digunakan setelah melahirkan. Cukup
banyak jenis tumbuhan liar di hutan yang dapat dijadikan ramuan obat-obatan, namun sangat
sedikit orang yang masih dapat mengenal jenis-jenis yang dimaksud. Disamping itu jenis-jenis
tersebut pun sudah banyak yang sulit ditemukan. Jenis yang disebut embuelan putih, merupakan
salah satu yang sulit ditemukan, namun embuelan hitam (Diospyros sp.) masih sering ditemukan.
Jenis-jenis yang umum ditemukan adalah matasiau (Paveta gracilifolia) dan mensalong
(Psychotria sp.), keduanya dari suku Rubiaceae. Kedua jenis ini selain berpotensi obat, juga
memiliki warna buah yang menarik sebagai hiasan. Pasak bumi (Eurycoma longifolia) atau
melawang, termasuk jenis yang masih sering dijumpai. Jenis pasak bumi dimanfaatkan oleh
masyarakat di wilayah studi sebagai obat malaria.
Demikian beragam pengetahuan tentang etnobotani yang telah dipraktekkan oleh
masyarakat. Hal tersebut secara langsung mendukung upaya-upaya konservasi pengelolaan sumber
daya alam yang terdapat di wilayah studi. Paradigma berfikir tentang pengelolaan sumber daya
alam harus diarahkan kepada pengelolaan bahan dasar yang terdapat di alam, sehingga jika bahan
dasar tersebut habis atau punah, maka produk yang dihasilkan dengan sendirinya akan habis.
Paradigma tersebut akan mengarahkan masyarakat dan pihak lainnya untuk menjaga dan menjamin
bahan dasar sumber daya alam yang digunakannya agar tetap lestari.
Hal selanjutnya yang harus diupayakan adalah menjaga kearifan tersebut agar tetap dapat
dilaksanakan oleh masyarakt. Tentu saja berlaku ketentuan ‘saling terkait dan terpadu’. Artinya jika
kearifan tersebut ingin dijaga, maka hutan tempat lebah memproduksi madu, tumbuhan yang
digunakan dalam pengambilan madu, tumbuhan bahan dasar obat, bahan dasar hiasan, serta
keterampilan dan pemahaman teknis pengelolaannya, seluruhnya harus dilestarikan.
Tabel 2.47. Jumlah Fasilitas/Tempat Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Simpang Pesak Tahun
2018
Desa Simpang Desa Tanjung Batu Kecamatan
No. Sarana dan Tenaga Itam Simpang Pesak
Pesak
Kesehatan
Sarana Kesehatan:
1. Puskesmas Induk 1 - 1
2. Puskesmas Pembantu - - 1
Tenaga Kesehatan
1. Dokter - - -
2. Medis dan Perawat 4 - 10
3. Bidan 1 1 5
Sumber: Kecamatan Simpang Pesak Dalam Angka, 2019.
2. Penyakit Malaria
Annual Parasite Incidence (API) adalah angka kesakitan malaria (berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium) per 1000 penduduk dalam 1 tahun dinyatakan dalam permil (‰).
Kegunaan API adalah untuk mengetahui insiden penyakit malaria pada satu daerah tertentu selama
satu tahun. Kegiatan penambangan berpotensi menimbulkan dampak terhadap kesehatan manusia
berupa penyakit malaria. Menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung Timur, pada tahun
2015 angka Annual Parasite Insiden (API) malaria di wilayah Kabupaten Belitung Timur adalah
sebesar 0,05 per-1.000 penduduk per-tahun. Angka API tersebut berada di bawah (tidak
melampaui) target eliminasi malaria yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI (API < 1 per-
1.000 penduduk per-tahun).
B. KEGIATAN LAIN DI SEKITAR LOKASI RENCANA USAHA DAN/ATAU
KEGIATAN
Kegiatan lain yang berada di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan penambangan
pasir kuarsa oleh PT. Bintang Delapan Enam diantaranya kegiatan pertambangan pasir oleh
perusahaan swasta lainnya, usaha tambang masyarakat, kebun masyarakat dan pemukiman
penduduk.
1. Kegiatan Pertambangan oleh Perusahaan Swasta Lainnya
Berdasarkan hasil pra-survei yang dilakukan oleh Tim AMDAL serta berdasarkan hasil
overlay peta lokasi penambangan pasir kuarsa oleh perusahaan di sekitarnya terdapat kegiatan
penambangan pasir kuarsa yang dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta lainnya, seperti PT.
Prima Bundiarta Nusa, PT. Setia Maju Pratama, PT. Multidinamik Binasejahtera, PT. Kurnia
Mandiri Adiperkasa, dan PT. Wijaya Mandiri Teknik Kreasi. Adanya kegiatan sejenis di sekitar
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan penambangan pasir kuarsa akan berpengaruh terhadap
besaran dampak yang akan terjadi yaitu dimana dampak tersebut akan terakumulasi, baik terhadap
komponen fisik-kimia, biologi, sosekbud dan kesehatan masyarakat. Dengan adanya kegiatan
pertambangan pasir dari perusahaan lain ikut memberi kontribusi terhadap akumulasi dampak
seperti penurunan kualitas air permukaan apabila tiap-tiap perusahaan tersebut tidak melaksanakan
pengelolaan dengan baik.
2. Kegiatan Tambang Timah Inkonvensional (TI) oleh Masyarakat