Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“Islam Dan Politik Lokal”

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Mata Islam Dan Politik Lokal Di
Aceh

DISUSUN OLEH :

NAMA : Zulhamzah
NIM : 180220081
KELAS : 3C
Prodi : ILMU POLITIK

DOSEN PENGASUH : Dr. DAHLAN A RAHMAN, S.Ag., M.Si

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “ISLAM DAN POLITIK LOKAL” ini dapat
diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata kuliahislam dan politik lokal di
aceh. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan
referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi
bahan makalah.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan,
karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti
milik kita sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Peurelak ,21 Januari 2021

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kata orang, sebuah pemikiran atau konsep merupakan anak zamannya, at-turats ibn
‘ashrih, lahir dari konteks zamannya. Demikian pula dengan gagasan Islam Rahmatan
Lil’alamin ini. Secara bahasa kata Islam berasal dari kata salama atau salima yang berarti
damai, keamanan, kenyamanan, dan perlindungan. Menurut Muhammad Tahir-ul-Qadri
(2014: 74) dalam Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri, “seperti makna literalnya,
Islam adalah pernyataan absolut tentang perdamaian. Dan sebagai agama, Islam adalah
manifestasi damai itu sendiri. Dia mendorong manusia untuk menciptakan hidup
proporsional, damai, penuh kebaikan, keseimbangan, toleransi, sabar, dan menahan marah.”
Dari kata salima menjadi yaslaamu, salaaman, dan salaamatan, serta kata turunan lainnya,
yang di dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa setiap kata berasal, terderivasi, serta
terkonjungasi dari kata Islam, secara esensial merujuk kepada pengertian damai,
perlindungan, keamanan, dan kenyamanan (Tahir-ul-Qadri, 2014: 82).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah islam dan politik lokal ?
2. Bagaimana proses islam dan politik lokal di aceh?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana sejarah islam dan politik lokal di aceh,dan mengkaji lebih
dalam megenai islam dan politik lokal di aceh
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
BAB 1...................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................3
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................3
BAB II...................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...................................................................................................................................4
A. Pengertian Islam Rahmatan Lil’alamin......................................................................................4
B. Ekstremisme/Ghuluw Tantangan Islam Rahmatan Lil’alamin...................................................5
C. Demokratisasi Politik Lokal Dalam Perspektif Otonomi Daerah...............................................5
D. Demokratisasi di Daerah dan Perubahan Sistem Politik Lokal..................................................6
BAB III..................................................................................................................................................9
PENUTUP.............................................................................................................................................9
KESIMPULAN.................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................10

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Islam Rahmatan Lil’alamin


Kata orang, sebuah pemikiran atau konsep merupakan anak zamannya, at-turats ibn
‘ashrih, lahir dari konteks zamannya. Demikian pula dengan gagasan Islam Rahmatan
Lil’alamin ini. Secara bahasa kata Islam berasal dari kata salama atau salima yang berarti
damai, keamanan, kenyamanan, dan perlindungan. Menurut Muhammad Tahir-ul-Qadri
(2014: 74) dalam Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri, “seperti makna literalnya,
Islam adalah pernyataan absolut tentang perdamaian. Dan sebagai agama, Islam adalah
manifestasi damai itu sendiri. Dia mendorong manusia untuk menciptakan hidup
proporsional, damai, penuh kebaikan, keseimbangan, toleransi, sabar, dan menahan marah.”

Istilah rahmatan lil’alamin terdiri atas dua kata rahmat yang berarti kasih sayang, dan
lil’alamin yang berarti seluruh alam. Istilah ini sebagaimana tercantum di dalam surat Al-
Anbiya’ (21): 107. Menurut Ath-Thabari (224-310/838-923) di dalam Jami’ul Bayan fi
Ta’wil al-Qur’an, para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai maksud ayat ini, apakah
rahmat itu [diutusnya Nabi Muhammad] ditujukan kepada seluruh alam, termasuk orang-
orang kafir? atau hanya kepada orang-orang beriman? Menurut Ath-Thabari yang paling
benar adalah pendapat pertama. Adapun [rahmat] bagi orang beriman maka sesungguhnya
Allah memberikan petunjuk kepadanya dan memasukkan keimanan ke dalam dirinya dan
memasukkanya ke dalam surga dengan mengerjakan amal yang diperintahkan Allah. Adapun
bagi orang kafir [maka rahmat] itu berupa penundaan bala’ sebagaimana yang diturunkan
kepada umat-umat yang mendustakan rasul-rasul Allah sebelumnya.

Bisa dikatakan gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini masih konsep abstrak. Agar lebih
operasional, pengertian Nur Syam berikut ini bisa menjelaskan gagasan Islam rahmatan
lil’alamin tersebut, yaitu gagasan dan upaya orang Islam khususnya di Indonesia menjadikan:
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya keselamatan bagi manusia tetapi juga
untuk alam lainnya. Yang diselamatkan adalah hablum minallah, hablum minan nas dan juga
hablum minal alam. Keselamatan manusia tidak ada artinya jika alam tidak dalam
keselamatan. Makanya Islam yang menyelamatkan adalah Islam yang memberikan
keselamatan bagi semuanya.

Lebih lanjut Nur Syam mengatakan bahwa gagasan Islam rahmatan lil’alamin
mengembangkan pola hubungan antar manusia yang pluralis, humanis, dialogis dan toleran,
serta mengembangkan pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan rasa kasih sayang. Pluralis
dalam arti memiliki relasi tanpa memandang suku, bangsa, agama, ras ataupun titik lainnya
yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Humanis dalam arti menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan menghargai manusia sebagai manusia. Dialogis dalam arti
semua persolan yang muncul sebagai akibat interaksi sosial didiskusikan secara baik dan
akomodatif terhadap beragam pemikiran. Dan toleran dalam arti memberi kesempatan kepada
yang lain untuk melakukan sebagaimana yang diyakininya, dengan penuh rasa damai.
Kaitannya dengan profil manusia/siswa yang dihasilkan oleh institusi pendidikan agama
Islam ke depan adalah bangunan Islam Indonesia yang berwajah menyelamatkan relasi antar
manusia dan relasi antar manusia dengan alam, sebagai perwujudan Islam yang rahmatan lil
alamin, yang dalam konteks dunia Islam pada umumnya dan Indonesia pada khususnya
sedang mengahadapi persoalan yang berkebalikan dengan gagasan Islam rahmatan lil’alamin
seperti kekerasan, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.

B. Ekstremisme/Ghuluw Tantangan Islam Rahmatan Lil’alamin


Sejak kasus serangan ke menara kembar WTC 9 September 2001, label radikal dan
bahkan teroris sering dikaitkan tidak saja kepada orang Islam, bahkan kepada Islam itu
sendiri. Ada yang beranggapan bahwa AlQur’an dan Hadis Nabi memang mengajarkan orang
Islam untuk melakukan kekerasan kepada orang lain.12 Namun faktanya menyebutkan
sebaliknya bahwa mayoritas masyarakat Islam di seluruh dunia tetap dalam pemahaman yang
sama bahwa Islam adalah agama cinta perdamaian. Lahirnya pemahaman yang “menyelisihi”
pemahaman mayoritas orang Islam tentang pesan damai Islam yang akhirnya membentuk
pemahaman radikal/ekstrem (Arab: ghuluw) oleh sebagian kecil umat Islam, sebenarnya dari
perspektif sejarah, sudah dimulai pada zaman Nabi masih hidup dilanjutkan oleh mereka-
mereka yang membelot pada zaman Khalifah Usman dan Khalifah Ali yang kemudian
disebut dengan Khawarij.

C. Demokratisasi Politik Lokal Dalam Perspektif Otonomi Daerah


Indonesia saat ini dihadapkan oleh berbagai tantangan. Upaya untuk mewujudkan system
pemerintahan yang demokratis dan tidak nsentralistik serta otoritarian telah diterapkan
dengan konsep otonomi daerah yanhg diterapkan sejak tahun 1999. Dari sisi manajemen
pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan instrument utama
untuk mencapai suatu Negara yang mampu menghadapi kondisi sentralisme dan tidak
efektifnya pemerintahan.

Di samping itu, penerapan desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah juga


merupakan prasyarat dalam rangka mewujudkan demokrasi dan pemerintahan yang
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Namun dalam pelaksanaannya selama ini, kebijakan
otonomi daerah masih menghadapi beberapa kelemahan seperti : otonomi daerah hanya
dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institusional belaka, perhatian dalam otonomi
daerah hanya pada masalah pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah, tetapi mengabaikan
esensi dan tujuan kebijakan tersebut, otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan
kemandirian dan prakarsa masyarakat di daerah sesuai tuntutan alam demokrasi.
Sementara itu, berkembangnya system kepartaian dalam pemilihan umu baik di tingkat
pusat maupun daerah telah mengubah karakteristik dan kondisi demokratisasi di Indonesia
selama ini. Pemilihan umum yang langsung dilakukan oleh rakyat, sebenarnya merupakan
upaya pemerintah untuk mewujudkan system politik yang demokratis, tetapi pada
kenyataannya, rakyat hanya menjadi bagian pasif dari pesta demokrasi tadi. Di daerah
apalagi, harapan bahwa pemilu dan pemilihan pemimpin daerah adalah orang-orang yang
dekat dengan rakyat, pada praktisnya rakyat tidak kenal dan tidak tahu calon pemimpon dan
bahkan pemimpin daerah mereka sendiri.

Elit-elit politik yang telah berkuasa melebar sayapnya dengan merekrut keluarga dan
sanak saudaranya menjadi pemimpin daerah dan “membiayai” partai-partai politik
pendukungnya. Mereka adalah pemain-pemain lama di daerah,  atau orang-orang yang
selama ini berada di Jakarta dan yang selama ini tidak turut memebesarkan daerah, tiba-tiba
atas nama “ putra daerah “, mereka pulang dan menjajal kekuatannya untuk menjadi
pemimpin daerah.Akibatnya, para putra daerah yang berfrofesi sebagai pemain sinetron dan
telah lama menetap di Jakarta pun menjadi bupati atau gubernur daerah yang sama sekali
tidak dikuasainya. Kondisinya memang tragis. Jika pola ini berlangsung terus dan undang-
undang otonomi dan pemerintahan daerah tidak dirubah, maka tidak akan lama lagi, Negara
ini akan habis sumber dayanya untuk memperkaya golongan dan individual tertentu.

D. Demokratisasi di Daerah dan Perubahan Sistem Politik Lokal


Pemberian otonomi yang luas kepada daerah-daerah di Indonesia seperti yang tercantum
dalam UU nomor 22 dan 25 tahun 1999, yang diperbaharui dalam UU nomor 32 tahun 2004
tentang Otonomi Daerah merupaka bagian rekayasa kelembagaan untuk mempercepat proses
demokratisasi di Indonesia dan di daerah (Marijan, 2010). Undang-undang tersebut tidak
hanya mengatur tentang system administrasi daerah pelimpahan kewenangan dari pusat
kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri.

Kacung Marijann (2010)  dalam bukunya Sistem Politik Indonesia juga menjelaskan
bahwa ototnomi daerah sekaligus merupakan upaya pelaksanaan system desentralisasi politik,
dimana telah terjadi perubahan relasi antara pemerintahan pusat dan daerah. JIka sebelumnya,
kewenangan terpusat di pusat datau desenttralisasi kekuasaan dan kewenangan, dalam system
otonomi daerah kemudian, urusan pemerintah di transfer ke daerah. Tambahan lagi, relasi
antar lembaga eksekutif dan legislative di daerah pun berubah. Saat ini lembaga DPRD dan
bupati atau gubernur dalam posisi yang sejajar. Kedua lembaga ini, saat ini dijuluki sebagai
“unsure pimpinan daerah”. Hak dan kewenangan DPRD dalam otonomi daerah menjadi
diperbesar. Dalam konteks inilah DPRD tidak lagi menjadi subordinasi dari eksekutif atau
sebaliknya didaerah-daerah.

Reformasi terhadap hak dan kewajiban dua lembaga dalam system pemerintahan daerah
ini menjadi semacam harapan baik bagi bangunan system politik yang demokratis. Lebih dari
itu, system politik local di daerah pun akan mengalami perubahan dan perbaikan kea rah yang
lebih baik. Tetapi dengan banyaknya peristiwa dan kondisi pelaksanaan system politik local
yang dilakukan selama ini, muncul pertanyaan, apakah dengan menguatkan system
pemerintahan daerah melalui pemberdayaan yang lebih luas pada lembaga eksekutif dan
legislative daerah cukup menjamin terlaksanannya system politik local yang demokratis? Hal
inilah yang akan dicari pemecahannya.

Dalam banyak literature tentang otonomi daerah, demokrasi, dan pemguatan politik local
banyak diuraikan tentang perlunya memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
lembaga-lembaga politik daerah, terutama eksekutif dan legislative. Penguatan kelembagaan
local menjadi penting untuk menjamin terwujudnya demokratisasi di daerah. Di Indonesia,
sejak pemberlakuan UU otonomi daerah dan pergeseran paradigm kewenangan pusat kepada
daerah telah direspons oleh setiap daerah dengan cara yang berbeda. Dengan demikian,
muncullah kekhasan system politik dan pemerintahan daerah/local yang disesuaikan dengan
karakter dan budaya local masyarakat yang ada.

Dengan otonomi pula daerah-daerah di Indonesia mulai berbenah diri. Mereka memilih
sendiri pemimpinan daerah mereka, yang jika dalam rezim orde baru hal ini tidak mungkin
dilakukan, karena pemimpin daerah merupakan drop-dropan dari pusat terutama para anggota
militer yang dekat dengan kalangan istana atau Suharto. Daerah ingin putra daerah
memimpin. Karena asumsinya putra daerahlah yang mengetahui kondisi dari persoalan di
daerahnya dibandingkan dengan orang-orang dari Jakarta yang selama ini tidak pernah
tinggal di daerah setempat.

Jika melihat hasil pemilukada beberapa daerah dalam sepuluh tahun belakangan ini
terlihat bahwa para putra daerah hamper telah memenuhi jabatan-jabatan orang nomor satu di
daerah asal masing-masing. Meskipun masih ditemui beberapa daerah yang kepala daerahnya
adalah orang asli daerah tetapi lama tinggal di Jakarta. Apapun hasilnya, masyarakat daerah
tetap memercayai kepemimpinan mereka.Ketika system kepartaian diberlakukan dengan
intensif di tanah air semenjak pasca orde baru, maka partai-partai politik mulai mesang 
kader-kader terbaiknya untuk maju dalam pemilukada diberbagai daerah.

Politik uang dan segala cara dilakukan oleh para individu mulai dari kader-kader terbaik
partai, incumbent, mantan menteri dan elit-elit di Jakarta, serta artis-artis ibukota mendekat
kepada partai politik untuk diusung menjadi pamimpin daerah. Oleh karena itu, parpolpun
menggunakan mereka untuk kepentingan parpol juga. Lembaga legislatif diatur sedemikian
rupa hingga mampu menguasai suara mayoritas. Dengan suara mayoritas, maka legitimasi
pemimpin atau eksekutif daerah akan lebih mudah dan langgeng harapannya.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Indonesia saat ini dihadapkan oleh berbagai tantangan. Upaya untuk mewujudkan
system pemerintahan yang demokratis dan tidak nsentralistik serta otoritarian telah
diterapkan dengan konsep otonomi daerah yanhg diterapkan sejak tahun 1999. Dari sisi
manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan
instrument utama untuk mencapai suatu Negara yang mampu menghadapi kondisi
sentralisme dan tidak efektifnya pemerintahan.

Di samping itu, penerapan desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah juga


merupakan prasyarat dalam rangka mewujudkan demokrasi dan pemerintahan yang
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Namun dalam pelaksanaannya selama ini, kebijakan
otonomi daerah masih menghadapi beberapa kelemahan seperti : otonomi daerah hanya
dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institusional belaka, perhatian dalam otonomi
daerah hanya pada masalah pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah, tetapi mengabaikan
esensi dan tujuan kebijakan tersebut, otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan
kemandirian dan prakarsa masyarakat di daerah sesuai tuntutan alam demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya

Kitab-kitab Hadis di dalam Al-Maktabah al-Syamilah

Al-Attas, Syed Muhammad Naguib, Some Aspects of Sufism: as Understood and Practised
Among the Malays. Singapore: Malaysian Sociological Research Institute, 1963.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII: Akar Pembaruan Islam Nusantara, edisi revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2004.

………………….., Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana danKekuasaan.


Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989.

Syam, Nur, Merumuskan Islam Rahmatan Lil’alamin di http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=514


…………………., Membangun Pendidikan Berbasis Islam Rahmatan Lil’alamin, ppt.

Tahir-ul-Qadri, Muhammad, Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri. Jakarta: LPPI,
2014.

Ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Mua’assasah arRisalah, 2000), Al-
Maktabah asy-Syamilah.

Yahya, Ismail, Ancaman Kelompok Radikal: Mitos atau Realitas? Belajar dari Pengalaman
Surakarta, dalam Generasi Baru Peneliti Muslim Indonesia: Mencari Ilmu di Australia.
Canberra: Australia-Indonesia Institute, 2008.

Johns, A.H., “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History.” JSAH, Vol. 2, No.
2 (Jul. 1961): 10-23

Anda mungkin juga menyukai