Burung Maleo yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo adalah sejenis burung yang
berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55cm. Burung Maleo adalah satwa endemik Sulawesi,
artinya hanya bisa ditemukan hidup dan berkembang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Selain langka,
burung ini ternyata unik karena anti poligami.
Sayangnya semakin hari, satwa endemik yang unik ini semakin langka. Oleh IUCN, burung
Maleo masuk dalam kategori “terancam punah”. CITES juga memasukkan binatang khas
Sulawesi Tengah ini dalam kategori Appendix I.
Kelangkaan fauna unik ini antara lain disebabkan oleh terdesaknya habitat terutama yang
berada di luar kawasan konservasi, perburuan telur Maleo oleh manusia serta ancaman
predator antara lain : Biawak (Varanus sp), Babi Hutan (Sus sp), dan Elang.
Untungnya Dinas Kehutanan Melalui Balai Taman Nasional Lore Lindu berhasil membuat
penangkarannya, bekerja sama dengan masyarakat setempat. Paling tidak usaha ini mampu
sedikit meminimalisir bahaya kepunahan yang mengancam burung anti poligami ini.
Klasifikasi ilmiah; Kerajaan: Vertebrata; Filum: Chordata; Kelas: Aves (Burung); Ordo:
Galliformes; Famili: Megapodiidae; Genus: Macrocephalon; Spesies: Macrocephalon maleo;
Nama binomial; Macrocephalon maleo
Burung Maleo (Macrocephalon maleo) merupakan sejenis burung langka yang berasal dari
famili megapodiidae dan genus macrocephalon.
Burung Maleo tergolong unik karena hewan ini terkenal karena mempunyai sifat setia
terhadap pasangannya dan tidak akan berpaling ke burung jantan atau betina lain.
Burung Maleo tidak bisa ditemukan di daerah lain dan hanya bisa ditemukan di Pulau
Sulawesi sehingga burung ini disebut dengan satwa endemik Sulawesi.
Status hewan ini masuk dalam “hampir punah” oleh IUCN, sedangkan CITES memasukkan
status burung ini dengan kategori Appendix I.
Burung maleo menjadi langka karena habitatnya terus terdesaknya hutan akibat penebangan
liar ataupun banyaknya perburuan telur dan burung ini oleh manusia ataupun hewan
predator seperti Elang, Kucing, Babi Hutan (Sus sp), dan Biawak (Varanus sp).
Namun untuk saat ini keberadaan dari burung ini sedikit terlindungi dari ancaman punah
berkat adanya kerja sama antara Dinas Kehutanan Melalui Balai Taman Nasional Lore Lindu
dan masyarakat setempat yang berhasil membuat tempat penangkarannya.
Ciri-ciri
Burung maleo memiliki ukuran tubuh yang tergolong sedang dengan panjang sekitar
55 cm
Burung Maleo memiliki bulu yang didominasi dengan warna hitam
Adanya warna kuning pada kulit sekitar mata
Iris mata berwarna merah kecoklatan
Kaki berwarna abu-abu
Paruh berwarna jingga dan adanya warna merah muda yang agak putih pada bulu sisi
bawah
Memiliki jambul yang keras atau tanduk yang berwarna hitam. Tonjolan ini hanya
muncul pada saat burung maleo memasuki usia dewasa dan tidak akan bisa ditemukan
pada saat burung masih anak-anak atau remaja
Ciri-ciri fisik antara jantan dan betina hampir sama hanya saja biasanya untuk burung
yang betina memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dan berwarna lebih kelam bila
dibandingkan dengan burung maleo jantan
Hewan ini memiliki telur yang berukuran besar yaitu sekitar 250 gram atau lebih
besar 5 kali daripada ukuran telur ayam kampung.
Sifat
Burung maleo memiliki sifat yang setia kepada pasangannya dimana burung maleo hanya
memiliki satu pasangan dalam hidupnya. Burung ini tidak akan bertelur lagi walaupun
pasangannya telah mati.
Burung ini lebih memilih jalan kaki daripada terbang walaupun memiliki bulu yang cukup
panjang pada bagian sayapnya.
Burung maleo memiliki tonjolan pada bagian kepalanya dimana tonjolan ini diduga
digunakan untuk mendeteksi panas bumi yang sesuai untuk menetaskan telurnya.
Anak burung maleo yang berhasil mencapai permukaan mempunyai kemampuan untuk
terbang serta mampu mencari makan sendiri tanpa bantuan dari induk.
Maleo tidak akan mengerami telurnya. Telur burung maleo akan dikubur ke dalam pasir
dengan kedalaman sekitar 50 cm yang biasanya berada di dekat sumber mata air panas.
Setelah menimbun telur ke dalam pasir induk akan meninggalkan telur itu dan tidak akan
pernah kembali lagi.
Lamanya masa telur untuk menetas adalah sekitar 2 hingga 3 bulan dan suhu yang diperlukan
adalah sekitar 32-35 derajat Celcius.
Anak burung maleo yang baru menetas dari telur akan berusaha naik ke permukaan tanah
dengan usahanya sendiri tanpa bantuan dari induk burung. Lamanya masa mencapai ke
permukaan tanah tergantung dari jenis tanah, namun biasanya mencapai 2 hari.
Jika anak burung maleo yang baru menetas tidak bisa naik ke permukaan selama 3 hari maka
bisa dipastikan anak burung maleo tersebut mati.
Makanan
Makanan alami dari burung maleo adalah aneka buah-buahan, biji-bijian, kumbang, semut,
dan berbagai macam jenis serangga kecil.
KLASIFIKASI DAN CIRI-CIRI TUMBUHAN PAKU LAUT
Klasifikasi ilmiah
Kingdom: Plantae
Divisi: Pteridophyta
Kelas: Pteridopsida
Ordo: Pteridales
Pteridaceae
Famili:
(Polypodiaceae)
Genus: Acrostichum
Spesies: A. aureum
Paku laut adalah sejenis paku-pakuan berukuran besar, yang biasa tumbuh di tanah di bawah
naungan hutan bakau atau lahan basah lainnya. Paku atau pakis ini juga dikenal dengan
banyak nama lain seperti paku larat, papah, piai (Mal.: piai raya), paku hata diuk (Sd.),
warakas, krakas, kakakeok (Jw.), rewayang (Hal.) dan lain-lain.[1] Nama-namanya dalam
bahasa Inggris di antaranya golden leather fern, swamp fern, dan mangrove fern.
Daftar isi
1 Pemerian botanis
2 Ekologi
3 Manfaat
4 Penyebaran
5 Jenis yang serupa
6 Referensi
7 Pranala luar
Pemerian botanis[sunting | sunting sumber]
Paku dalam rumpun yang besar, dapat mencapai tinggi 4 m, dan lebar rumpun yang kurang
lebih sama. Batang pendek dan kekar, tegak, tertutupi oleh sisik-sisik besar kecoklatan.
Daun-daun majemuk menyirip, liat serupa kulit (jangat), panjangnya dapat mencapai 3 m,
namun dengan tak lebih dari 30 pasang anak daun yang terletak tak beraturan dan, kadang-
kadang, renggang. Beberapa pasang (5 pasang atau lebih) anak daun di ujung kerap fertil dan
berwarna karat atau kecoklatan, dengan sisi bawah yang tertutupi oleh banyak sporangia
yang besar-besar. Anak-anak daun yang steril (mandul) berada di bagian bawah, lebih
panjang dan berujung tumpul atau membulat, serta dengan tonjolan ujung kecil yang pendek.[2]
Paku laut, tumbuh di antara tegakan rumbia di rawa dekat pantai
Tumbuh menahun, paku laut hidup di lingkungan hutan bakau (mangrove), rawa pantai,
tambak, serta di sepanjang sungai, parit dan kanal dekat laut. Meski demikian, Acrostichum
aureum tak seberapa tahan oleh penggenangan pasang air laut dan tak menyukai tanah-tanah
dengan salinitas tinggi; tak sebagaimana kerabat dekatnya, A. speciosum.[2]
Meski bersifat halofit (halophytic), paku laut membutuhkan pasokan air tawar yang cukup
agar dapat tumbuh optimal. Di tempat-tempat di mana frekuensi penggenangan pasang laut
cukup tinggi (10-28 kali perbulan), pakis ini tumbuh kerdil atau bahkan sama sekali tak mau
tumbuh. Terhadap penyinaran matahari, paku ini dapat mentolerir pelbagai kondisi seperti
tumbuh di bawah naungan hingga ke tempat-tempat terbuka yang terik. Bahkan, paku ini
dapat menginvasi lahan-lahan bekas tebangan dan membentuk padang paku laut yang cukup
luas.
Manfaat
Daun-daun paku laut yang dikeringkan dipergunakan sebagai atap rumah. Pucuknya yang
muda juga dimanfaatkan sebagai sayuran di beberapa daerah. Daun-daun yang tua dan juga
akarnya digunakan sebagai bahan obat tradisional.
Penyebaran
Acrostichum aureum ditemukan menyebar di wilayah-wilayah tropis dan ugahari di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia.
Jenis yang serupa
Acrostichum speciosum memiliki perawakan yang mirip dengan A. aureum, dengan sedikit
perbedaan. Anak-anak daun yang steril pada A. speciosum memiliki ujung yang meruncing, tak
seperti A. aureum yang berujung tumpul atau membulat.
A. speciosum ditemukan pada habitat yang serupa dengan A. aureum di Nusantara, namun
umumnya lebih menyukai tempat-tempat yang kelindungan.
Acrostichum danaefolium serupa pula bentuknya dengan A. aureum. Hanya saja anak daun
yang fertil –dengan sporangia di sisi bawahnya– tidak terbatas pada pasangan anak-anak
daun di ujung, melainkan juga hingga pasangan-pasangan dekat pangkal daun. A. danaefolium
tidak terdapat di Nusantara.