Anda di halaman 1dari 22

NAMA   : JENNIFER T.

H PANGULIMANG
NIM       : 19 502 004
MK        : BIOKONSERVASI SATWA ENDEMIK

TUGAS : GAMBARAN POTRET PROFIL SATWA ENDEMIK SULAWESI


HEWAN ENDEMIK : BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo)

Indonesia merupakan negara mega biodiversity, tempat hidup aneka


spesies hewan dan tumbuhan, yang secara hipotesis terbagi antara garis
Wallacea dan Weber. Dua garis ini memisahkan wilayah geografis hewan
Asia dan Australia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies
Asia, dan di timur kebanyakan berhubungan dengan spesies Australia,
serta kawasan peralihan diantaranya.

Salah satu keragaman spesies hewan khas ekosistem Wallacea adalah


burung maleo (Macrocephalon maleo).  Banyak cerita yang beredar soal
burung maleo antara lain bahwa burung endemik Sulawesi ini merupakan
burung  anti poligami. Burung maleo akan pisang setelah bertelur. Namun
kondisi sesungguhnya perlu dibuktikan secara ilmiah.

Salah seorang peneliti burung maleo, Mobius Tanari yang menyelesaikan


S3-nya di Institut Pertanian Bogor mengatakan selama tujuh tahun lebih
melakukan penelitian terhadap burung ini. Dan hingga kini  belum
diketahui bagaimana burung maleo itu kawin.
“Apakah  cara kita melakukan riset yang salah?  Karena kan katanya
maleo itu  monogami, tetapi ini juga perlu dibuktikan betulkah maleo ini
monogami. Saya coba tanya peneliti di lapangan alasannya mereka
sederhana, setiap maleo itu terbang itu pasti berpasangan. Ada saatnya
maleo datang sendiri. Asumsi mereka ketika dia datang sendiri berarti
pasangannya sudah mati. Sehingga mereka katakan maleo ini monogami,”
katanya.

Namun ia masih ragu bila maleo itu  monogami, karena belum melihat
bagaimana burung itu kawin. Sampai saat ini belum ada peneliti yang bisa
menjawab asumsi burung endemik Sulawesi itu anti poligami.

Teka teki perkawinan itu, termasuk pingsannya burung maleo setelah


menikah, yang membuat Mobius terus meneliti burung bertonjolan kepala
besar ini.. “Ini (pingsannya maleo) juga perlu pembuktian. Burung maleo
ketika mau bertelur itu sudah diintai predator.

Secara logika jika dia pingsan, bukan hanya telurnya yang diincar tapi juga
burung maleonya,” ujarnya. Mobius berhasil mengetahui tentang
penetasan telur maleo, setelah pada tahun 2005-2006 ia melakukan uji
coba pengeraman dengan temperatur 34 derajat celsius dan kelembaban
70, dengan keberhasilan 70 persen telur menetas.

Klasifikasi Burung Maleo

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Famili : Megapodiidae
Genus : Macrocephalon
Spesies : Macrocephalon maleo
Informasi Spesies

Nama latin : Macrocephalon maleo S.


Muller, 1846

Nama : Maleo
Inggris

Nama : Maleo, sengkawor,


Lokal sengkawur,
Maleoson(Minahasa),
Molo(Sulteng)

Status : IUCN : Genting/


Konservasi Endangered(versi 3.1)
CITES : Appendix II
PP  no.7 th 1999 :
Dilindungi pemerintah
RI

Identifikasi Spesies

 Burung ini memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna
kuning, iris mata merah kecokelatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu
sisi bawah berwarna merah-muda keputihan.
 Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam.
Jantan dan betina serupa.
 Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam
dibanding burung jantan.
 Maleo Sengkawor adalah monogami spesies.

Perilaku Spesies

 Maleo adalah burung siang, pada waktu malam tidur di pepohonan


 satwa ini hidup berkoloni
 Maleo menghabiskan sebagian besar waktunya mencari makanan di
permukaan tanah dengan mengais-ngais tanah
 Maleo lebih suka berlari bersembunyi di tetumbuhan daripada terbang
ketika ada bahaya

Reproduksi Spesies
Proses reproduksi atau perpanjangan keturunannya. Burung maleo yang bertelur
itu tidak kemudian mengerami telurnya, ia lebih memilih mengubur telurnya di
dalam pasir yang memiliki panas geotermal alami hingga menetas. Cara unik ini
dilakukannya karena telur burung maleo itu sangatlah besar jika dilihat dari
bentuk tubuhnya yang terhitung kecil. Ukuran telur burung maleo mampu
memiliki ukuran 5 kali lebih besar dari ukuran telur ayam, bahkan karena
saking besarnya telur burung maleo, ia sampai harus mengalami pingsan karena
proses bertelur tersebut.
Setelah proses bertelur selesai, maleo kecil harus menunggu kurang lebih 80
hari untuk bisa keluar dari cangkangnya dan sekuat tenaga mengeluarkan diri
dari timbunan pasir sedalam setengah meter. Setelah perjuangan berat ini baru
maleo dapat hidup dan bertemu orang tuanya. Tak jarang ada anak maleo yang
harus mati ketika mencoba keluar dari tanah timbunan mereka. Sebab memang
cukup berat, bahkan usahanya keluar dari tanah timbunan tersebut berkisar
selama 48 jam.
Pakan Spesies
Pakan burung ini terdiri dari aneka biji-bijian, buah, semut, kumbang serta
berbagai jenis hewan kecil.
Habitat Spesies
Maleo bersarang di daerah pasir yang terbuka, daerah sekitar pantai gunung
berapi dan daerah-daerah yang hangat dari panas bumi untuk menetaskan
telurnya yang berukuran besar, mencapai lima kali lebih besar dari telur ayam.
Setelah menetas, anak Maleo menggali jalan keluar dari dalam tanah dan
bersembunyi ke dalam hutan. Berbeda dengan anak unggas pada umumnya
yang pada sayapnya masih berupa bulu-bulu halus, kemampuan sayap pada
anak maleo sudah seperti unggas dewasa, sehingga ia bisa terbang, hal ini
dikarenakan nutrisi yang terkandung di dalam telur maleo lima kali lipat dari
telur biasa, anak maleo harus mencari makan sendiri dan menghindari hewan
pemangsa, seperti ular, kadal, kucing, babi hutan dan burung elang.
Penyebaran Alami Spesies

Tidak semua tempat di Sulawesi bisa ditemukan maleo. Sejauh ini, ladang
peneluran hanya ditemukan di daerah yang memiliki sejarah geologi yang
berhubungan dengan lempeng Pasifik atau Australia.
Populasi burung endemik Indonesia ini hanya ditemukan di hutan tropis dataran
rendah pulau Sulawesi seperti di Gorontalo (Bone Bolango dan Pohuwato)
dan Sulawesi Tengah (Sigi dan Banggai). Populasi maleo
di Sulawesi mengalami penurunan sebesar 90% semenjak tahun 1950-an.
Berdasarkan pantauan di Cagar Alam Panua, Gorontalo dan juga pengamatan
di Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah, jumlah populasi dari maleo terus
berkurang dari tahun ke tahun karena dikonsumsi dan juga telur-telur yang terus
diburu oleh warga
Identifikasi Tidak Langsung
 Untuk mengidentifikasi Keberadaan burung maleo tanpa perjumpaan
langsung dapat diketahui dengan fasenya yang seperti feses kebanyakan
burung lainnya
 Maleo tidak terlalu memiliki suara khas
 cara paling mudah adalah mengecek gundukan tanah atau lubang secara
sporadis dalam radiusnya

Informasi Tambahan

 Tonjolan di kepala
 Maleo memiliki tonjolan (tanduk atau jambul keras berwarna hitam)
dikepala. Pada saat masih anak dan remaja, tonjolan di kepala ini belum
muncul, namun pada saat menginjak dewasa tonjolan ini pun mulai
tampak. Diduga tonjolan ini dipakai untuk mendeteksi panas bumi yang
sesuai untuk menetaskan telurnya (Meskipun hal ini masih memerlukan
pembuktian secara ilmiah).
 Tidak suka terbang
Meskipun memiliki sayap dengan bulu yang cukup panjang, namun lebih
senang jalan kaki dari pada terbang.
 Habitat dekat sumber panas bumi
Maleo hanya bisa hidup di dekat pantai berpasir panas atau di
pegunungan yang memiliki sumber mata air panas atau kondisi geotermal
tertentu. Sebab di daerah dengan sumber panas bumi itu, Maleo
mengubur telurnya dalam pasir.
 Telur yang besar.
Maleo memiliki ukuran telur yang besar, mencapai 5 kali lebih besar dari
telur ayam. Beratnya antara 240 hingga 270 gram tiap butirnya.

 Maleo tidak mengerami telurnya.


Telur burung endemik ini dikubur sedalam sekitar 50 cm dalam pasir di
dekat sumber mata air panas atau kondisi geotermal tertentu. Telur yang
ditimbun itu kemudian ditinggalkan begitu saja dan tak pernah diurus
lagi. Suhu atau temperatur tanah yang diperlukan untuk menetaskan telur
maleo berkisar antara 32-35 derajat celsius. Lama pengeraman pun
membutuhkan waktu sekitar 62-85 hari.
 Perjuangan anak Maleo.
Anak maleo yang telah berhasil menetas harus berjuang sendiri keluar
dari dalam tanah sedalam kurang lebih 50cm (bahkan ada yang mencapai
1 m) tanpa bantuan sang induk. Perjuangan untuk mencapai permukaan
tanah akan membutuhkan waktu selama kurang lebih 48 jam. Ini pun
akan tergantung pada jenis tanahnya. Sehingga tak jarang beberapa anak
maleo dijumpai mati “di tengah jalan”.
 Anak yang mandiri.
Anak yang baru saja mencapai permukaan tanah sudah memiliki
kemampuan untuk terbang dan mencari makan sendiri (tanpa asuhan sang
induk).
 Monogami.
Maleo adalah monogami spesies (anti poligami) yang dipercaya setia
pada pasangannya. Sepanjang hidupnya, ia hanya mempunyai satu
pasangan. Burung ini tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya mati.

Konservasi Maleo Sengkawor Melalui SRAK

Maleo sengkawor atau dengan nama latin Macrocephalon maleo adalah burung


endemik yang hanya bisa ditemukan di Sulawesi. Namun, karena status
keterancamannya, IUCN (International Union for Conservation Nature) yang
merupakan badan konservasi internasional, memasukkan maleo dalam daftar
merah berlabel Genting (Endangered).
Maleo juga terdaftar dalam CITES Appendix I dan dilindungi Undang-undang
Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999.

Maleo juga masuk dalam arahan rencana strategis konservasi spesies


nasional. Peningkatan populasinya sebesar 10 persen pun tercantum dalam
kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014-2019 Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai acuan. Lalu, bagaimana
kegiatan konservasi maleo saat ini?

Pada 24 dan 25 Agustus 2017, para pemangku kebijakan yang terkait dengan
penyelamatan maleo di Sulawesi berkumpul di Gorontalo untuk membahas
konservasi maleo melalui sistematika SRAK. SRAK adalah kepanjangan dari
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi.

Mereka adalah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA)


Sulawesi Selatan, Balai KSDA Sulawesi Utara, Balai KSDA Sulawesi Tengah,
Balai KSDA Sulawesi Tenggara, Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu,
Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, dan Balai Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai, serta Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Manado. Juga hadir akademisi dari perguruan tinggi di
Sulawesi serta lembaga swadaya masyarakat.

Pertemuan ini difasilitasi oleh E-PASS (Enhancing Protected Area System in


Sulawesi) for Biodiversity Conservation, yang saat ini berjalan di TNBNW,
diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama UNDP (United
Nations Development Programme), untuk mendukung pembangunan konservasi
di Sulawesi. Maleo merupakan salah satu satwa target project E-PASS dalam
pengelolaan populasi spesies.

Hanom Bashari, Protected Area Spesialis, dari E-PASS Bogani Nani


Wartabone, menjelaskan, proses penyusunan SRAK diawali dengan
penyusunan draf awal, konsultasi para pihak, penyempurnaan draf, review para
ahli, finalisasi dokumen, dan terakhir adalah pengesahan permenhut.

Hanom dalam presentasinya mengungkapkan sistematika SRAK Maleo melalui


bio ekologi dan kondisi terkininya Dilihat melalui taksonomi, morfologi, dan
persebarannya. Selain itu, yang menjadi perhatian adalah status keterancaman
global, habitat, perilaku umum dan perilaku berbiak, persebaran lokasi-lokasi
peneluran, dan kondisi terkini pemantauan di lokasi peneluran. Termasuk juga
ancaman dan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi ancaman
konservasi maleo.

“Hal-hal yang dibutuhkan dalam penyusunan SRAK Maleo adalah status dan
informasi lokasi peneluran maleo, aksi konservasi yang telah dilakukan para
pihak, serta isu yang akan dihadapi terkait konservasi maleo,” ungkapnya.

Lokasi

Noel Layuk Allo, Kepala Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
(TNBNW), menuturkan bahwa maleo terdaftar sebagai jenis satwa prioritas
melalui Permenhut No. P.42/Menhut-2/2008 tentang arahan strategis konservasi
spesies nasional 2008-2018.

Mengutip Butchart dan Baker, Noel Layuk Allo menyebutkan, berdasarkan


hasil-hasil penelitian sebelumnya, diketahui setidaknya ada sekitar 132 lokasi
peneluran. Sekitar 12 lokasi tidak diketahui statusnya. Sementara, dari 120
lokasi yang ada , sebanyak 42 lokasi ditinggalkan, 42 lokasi sangat terancam, 31
lokasi terancam, dan hanya 5 lokasi yang belum terancam.

Daerah penyebaran yang ada di sekitar TNBNW berjumlah 27 lokasi yang 9


diantaranya ada di dalam kawasan TNBNW.

“Sementara hasil penelitian Gorog, menunjukkan bahwa dari 36 lokasi yang ada
di dalam dan sekitar TNBNW, hanya tersisa 18 lokasi, yakni 10 di luar dan 8 di
dalam kawasan TNBNW.”
Untuk site monitoring maleo di TNBNW, terdapat tiga lokasi yakni;
Hungayono, SPTN Wilayah I Suwawa dengan luas 7 hektare; Tambun, SPTN
Wilayah II Doloduo dengan luas 5 hektare; dan Muara Pusian, SPTN Wilayah
III Maelang dengan luas 4 hektare.

Sementara untuk konservasi maleo di TNBNW, menurut Noel Layuk Allo,


sudah dilakukan sejak 2001 bekerja sama dengan WCS Indonesian Program
dengan melakukan perlindungan maleo. Kegiatannya melalui pengelolaan
ladang peneluran di Tambun dan Muara Pusian Kabupaten Bolaang
Mongondow dan di Hungayono Kabupaten Bone Bolango. “Kami juga
membangun bangunan penetasan telur maleo (hatchery). Serta membuat local
guardianship, yaitu kerja sama antara WCS dengan TNBNW untuk melatih dan
mempekerjakan penjaga yang berasal dari desa-desa di sekitar ladang

peneluran. Kemudian membangun awareness dengan cara melaksanakan


kampanye konservasi maleo, serta menerbitkan poster dan brosur,” katanya.

Upaya

Saat ini, di tiga site monitoring maleo yang ada di TNBNW telah ditetapkan


pembangunan sanctuary maleo atau pusat pembinaan populasi suaka satwa
maleo berdasarkan surat keputusan Dirjen KSDAE pada tanggal 30 September
2016.

Namun demikian menurut Noel Layuk Allo, yang perlu ditingkatkan saat ini
adalah petugas khusus pengelola data cctv di lokasi sanctuary maleo, serta
membuat standar operasional prosedur (SOP) pelepasliaran maleo, baik anakan,
remaja, dan dewasa. “Juga, membuat SOP pemindahan telur maleo, perawatan
kandang habituasi, fasilitas kesehatan medis satwa di sanctuary maleo, serta
penelitian tentang Maleo,” ujarnya.

Max Welly Lela, pengelola lokasi peneluran di Tambun yang merupakan bagian
dari Resort Dumoga Timur dan Lolayan, SPTN Wilayah II Doloduo,
mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan monitoring kehadiran
pasangan Maleo di lokasi peneluran Tambun sejak September 2001 hingga
Desember 2016, bersama WCS Indonesia Program.

“Hasilnya, sebanyak 7.058 telur diselamatkan dan telah dilepas liarkan 3.971
anakan maleo.”

Lokasi peneluran Maleo di Tambun luasnya adalah 3,5 hektar dengan tipe hutan
dataran rendah dan memiliki sumber panas geotermal. Sementara untuk fasilitas
yang dimiliki adalah tiga menara pengamatan, dua hatchery aktif, dua kandang
habituasi, satu kandang isolasi, papan-papan petunjuk, serta jalur pengamatan
burung.

Seperti halnya di tempat lain, menurutnya, ancaman yang terjadi


di site monitoring Tambun adalah pencurian telur, pemangsaan oleh biawak
(Varanus salvator) dan gangguan anjing. “Untuk mengurangi ancaman, tindakan
yang kami lakukan adalah pemagaran, pengusiran, monitoring rutin siang dan
sore, dan juga pos yang ditempati harian,” tandasnya.

Penangkaran Maleo di Bolaang


Mongondow Diresmikan
Bupati Yasti bersama Dirjen dari Kementerian Lingkungan Hidup memegang
foto burung maleo.(foto/ad)
BOLMONG,MANADONEWS,-.Bupati Kabupaten Bolaang Mongondow
(Bolmong) Yasti Soepredjo Mokoagow pada Jumat (20/7) ikut menemani
Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ir Wiratno M.Sc untuk
meresmikan penangkaran Burung Maleo di Desa Tambun dan Muara Pusian
Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) di Desa
Pinonobatuan, Kecamatan Dumoga Timur Jumat.
Pada kesempatan tersebut, Bupati Yasti Mengatakan, Burung Maleo adalah
jenis burung yang berukuran sedang dengan panjang sekitar 55 Cm, dan
merupakan satwa endemik Sulawesi Utara (Sulut) yang hanya bisa ditemukan di
Tiga Provinsi di Pulau Sulawesi. Masing-masing di Sulut, Gorontalo dan
Sulteng.

Bupati Yasti saat memegang burung maleo (foto/ad)

Oleh karena itu, saat ini Burung Maleo dikategorikan burung yang terancam
punah, karena maraknya perburuan, ditambah lagi dengan perilaku masyarakat
lokal yang suka mengumpulkan telur maleo untuk dikonsumsi, diperjualbelikan
serta dijadikan cendera mata.
“Burung ini sangat langka. Olehnya saya berharap kita semua mampu
meningkatkan populasi Burung Maleo di habitatnya dan mampu meminimalisir
bahasa kepunahan yang mengancam habitat burung ini,” ujarnya.
Dirinya pula mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Konservasi SDM dan Kehutanan

Kementerian LH serta Balai TNBNW atas peresmian Sanctuary Maleo tersebut.


“Suatu kehormatan tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat Bolmong atas
kunjungan Dirjen kali ini. Oleh sebab itu, saya selaku pribadi, keluarga dan atas
nama pemerintah mengucapkan selamat datang di Bolmong kepada Dirjen
Konservasi SDA dan Ekosistem Kementerian LH dan Kehutanan RI bersama
rombongan,” katanya.
Sementara itu, Dirjen Konservasi SDA dan Ekosistem Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan RI dalam sambutannya memberikan apresiasi dan ucapan
terima kasih kepada Bupati Bolmong, Kepala Balai Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone serta kepada Sangadi dan Masyarakat Desa Pinonobatuan atas
kerja keras dan upaya untuk tetap melestarikan habitat burung maleo yang
merupakan hewan endemik Sulawesi sekaligus ikon kebanggaan khususnya
bagi Kabupaten Bolmong.
“Kiranya dengan peresmian Santuary Maleo Tambun dan Muara Pusian pada
hari ini akan lebih banyak lagi Wisatawan Asing dan Wisatawan Domestik yang
datang berkunjung di Sanctuary Maleo ini sehingga pendapatan ekonomi
masyarakat Desa Pinonobatuan lebih meningkat lagi,” katanya.
Selain itu, Dirjen mengusulkan kepada Pemerintah Bolmong untuk membuat
Kolam Air Panas yang ada di Santuary Maleo Tambun ini.

“Disini memang sangat cocok dibuat kolam air panas. Sebab di Sanctary Maleo
Tambun ini sangat bagus kualitasnya,” tutupnya.
(Adve/stvn)
Konservasi Burung Maleo (Macrocephalon maleo) di TN Rawa Aopa
Watumohai, Sulawesi Tenggara

“Dahulu kami sering bepergian melewati Mempaho dan Pampaea, berhamburan


burung-burung maleo terbang di sekitar jalan yang kami lalui. Apalagi kalau
menengok tanah berpasir di pinggir sungai Pampaea. Mereka rebutan bikin
lubang buat telur-telurnya. Kasihan itu maleo, sekarang sudah semakin
jarang…” tutur Pak La Sifu.
Perlindungan Maleo
Maleo (Macrocephalon maleo) merupakan salah satu burung endemik Sulawesi
yang banyak menarik perhatian baik lokal maupun Internasional dan memiliki
keunikan tersendiri dibandingkan jenis unggas lainnya. Penyebarannya di
Sulawesi cukup luas utamanya di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara dan Sulawesi Tengah.
Maleo adalah sejenis megapoda yang memiliki telur besar.  Ukuran telur maleo
enam kali besar telur ayam.  Burung maleo memiliki sistem perkembangbiakan
yang unik, yaitu dengan cara meletakkan telurnya secara bersama-sama di suatu
tempat yang berpasir. Keberadaannya dilindungi berdasarkan Undang-undang
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya
serta PP No.7 Tahun 1999, tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa
Karakteristik Habitat Maleo
Maleo merupakan salah satu spesies prioritas nasional yang keberadaannya
dilindungi di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Salah satu habitatnya
adalah Blok hutan Mempaho. Secara administratif, blok hutan ini berdekatan
dengan batas Kabupaten Bombana dan Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Blok hutan Mempaho memiliki 2 tipe formasi vegetasi, yaitu formasi vegetasi
hutan pegunungan dataran rendah dan kelompok vegetasi khas Savana.  Ke arah
perbukitan, formasi vegetasi  didominasi oleh beberapa jenis pepohonan seperti,
Kuia (Alstonia scolaris), Nona (Metrosideros petiolata),  dan Bitti/kulipapo
(Vitex sp) dan Dalisi.  Selain tumbuhan berhabitus pohon juga banyak tumbuh
sejenis tumbuhan berduri berbentuk semak yang biasa disebut Seu-seu. 
Sementara ke arah dataran yang luas mengikuti Sungai Pampaea dan Mandu-
mandula terbentuk suatu formasi vegetasi yang didominasi Cemara (Casuarina
sp), Bambu duri (Bambusa spinosa) dan Nona (Metrosideros petiolata),
Kasumeeto (Diospyros sp), Taipa hada (Mangifera sp). dll. Sedangkan
hamparan Savana didominasi oleh rumput Kurapada dan Alang-alang (Imperata
cylindrical).
Kondisi topograsi dicirikan oleh karakteristik lahan yang rata dan berbukit.
Areal peneluran berada di atas bukit berbatu yang merupakan bekas galian
material batu untuk timbunan.  Pada sisi sebelah Utara dan Timur merupakan
lahan terbuka dan datar dan merupakan bagian dari hamparan Savana yang luas
ke arah Sungai Mandu-mandula.  Sedangkan pada sisi sebelah Barat hingga
Selatan merupakan daerah berbukit yang ditumbuhi oleh semak dan pepohonan
yang merupakan bagian dari kawasan hutan luas yang melintasi Gunung
Watumohai. Di sebelah Timur terdapat Sungai Mandu-mandula yang berjarak
sekitar 600 meter.
Manusia, ancaman terbesar kelestarian maleo
DAS Mempaho saat ini mengalami tekanan akibat berbagai aktivitas manusia.
Perburuan liar masih sering terjadi. Meskipun tidak memiliki daging sebanyak
rusa, maleo tak luput dari sasaran perburuan. Ancaman kelestarian lainnya
terutama diakibatkan oleh pengambilan telur di habitat aslinya.
Kejadian tersebut sangat ironis mengingat maleo hanya menghasilkan telur
dalam jumlah yang sangat sedikit/tahun. Itu pun hanya terjadi di musim-musim
bertelur saja. Jumlah itu belum dikurangi oleh aktivitas satwa pemakan telur
seperti biawak, semut dan babi hutan yang sering melakukan penggalian untuk
mencari makan. Namun, aksi satwa predator tersebut bukan sesuatu yang paling
diwaspadai. Sebab telur yang dimakan biasanya hanya telur-telur yang tidak
terlalu dalam terkubur sehingga mudah digali. Ini agak jarang terjadi mengingat
maleo merupakan burung yang cukup protektif dan sangat berhati-hati dalam
menaruh telurnya.
Kebakaran menjadi ancaman rutin di musim kemarau
Intensitas kebakaran hutan di Mempaho tergolong cukup tinggi terutama terjadi
di areal padang savana. Alang-alang yang mendominasi savana merupakan
bahan yang mudah terbakar. Kondisi kekeringan yang berlangsung lama
mendorong terjadinya kebakaran. Pada umumnya kebakaran yang terjadi di
daerah ini sebagian besar diduga dilakukan secara sengaja oleh manusia.
Kebakaran hutan dan savana merupakan salah satu ancaman kelestarian maleo
dan berbagai jenis burung lainnya. Kebakaran menyebabkan hilangnya sumber
pakan dan tempat berbiak (sarang). Dalam jangka panjang tentu saja hal ini
akan berakibat menurunnya populasi satwa yang hidup di daerah ini.
Upaya pembinaan habitat
Pembinaan habitat burung maleo di Mempaho telah dirintis sejak tahun 2006
silam. Tim Balai TNRAW yang terdiri atas para fungsional Pengendali
Ekosistem Hutan (PEH) melakukan pengkajian lapang habitat Mempaho.
Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa kondisi habitat
yang sebenarnya. Data-data yang diperoleh kemudian diolah untuk merancang
bentuk-bentuk pembinaan habitat yang akan dilakukan. Diharapkan dengan
adanya pembinaan habitat maleo ini, laju degradasi populasi maleo di TNRAW
dapat ditahan.
Baru pada akhir tahun 2006 dilakukan kegiatan fisik pembinaan habitat yang
terbagi menjadi 2 bentuk, yaitu pemagaran dan pengkayaan vegetasi sumber
pakan. Kegiatan pengkayaan vegetasi dilakukan dengan maksud untuk
meningkatkan daya dukung habitat terhadap populasi maleo. Jenis-jenis pohon
yang dipilih memiliki 2 fungsi, yaitu sebagai tanaman pelindung dan sumber
pakan. Pemilihan ini tidak dilakukan secara sembarangan karena jenis tanaman
yang dipilih haruslah merupakan flora asli setempat. Hal ini terkait dengan
usaha mengawetkan keunikan ekosistem asli di Mempaho.

Berikut ini jenis-jenis tanaman yang digunakan untuk pengkayaan jenis :


TABEL JENIS-JENIS POHON PENGKAYA VEGETASI MALEO
No
Jenis
Fungsi
Strata

Pelindung
Sumber Pakan

1
Kirinyuh (Eupathorium sp)
+

D
2
Rao (Dracontomelon mangiferum)
+
+
C/B
3
Beringin (Ficus spp)
+
+
C/B
4
Kemiri (Aleurites molucana)
+
+
C/B
5
Caesalpinia pulcherrima
+

B/A
6
Mangga hutan (Mangifera sp)
+
+
C/D
Keterangan : (+) ya (-) tidak
Penanaman dilakukan di daerah-daerah terbuka di sekitar tempat bertelur dan
juga di daerah bervegetasi namun miskin sumber pakan. Tempat bertelur
dibiarkan terbuka untuk merangsang burung maleo untuk datang dan bertelur.
Sayangnya upaya penanaman ini masih belum memberikan hasil yang optimal.
Namun demikian Balai TNRAW merencanakan upaya pembinaan habitat dan
populasi satwa ini sebagai salah satu prioritas pengelolaan keanekaragaman
hayati. Tentunya upaya ini perlu didukung oleh semua pihak agar sukses.
Mudah-mudahan.
Daftar Pustaka

- http://ksdasulsel.menlhk.go.id/post/identifikasi-spesies-kunci-sulawesi-
maleo-si-burung-anti-poligami
- https://brainly.co.id/tugas/5577174
- https://www.mongabay.co.id/2017/09/02/konservasi-maleo-senkawor-
melalui-srak-seperti-apa/
- https://www.mongabay.co.id/2014/09/13/maleo-burung-endemik-
sulawesi-yang-masih-menyisakan-teka-teki/
- https://www.manadonews.co.id/2018/07/20/penangkaran-maleo-di-
bolmong-diresmikan/
- https://tnrawku.wordpress.com/2012/03/20/konservasi-burung-maleo-
macrocephalon-maleo-di-tn-rawa-aopa-watumohai-sulawesi-tenggara/

Anda mungkin juga menyukai