2.MANFAAT HEWAN
Burung maleo adalah salah satu hewan kebanggaan Indonesia khususnya masyarakat
Sulawesi karena merupakan hewan endemik yang artinya ia hanya ada di daerah Sulawesi
saja dan tidak akan ditemukan di daerah atau negara lain. Selain itu maleo juga dikenal akan
keunikannya yaitu sangat setia dimana ketika pasangannya telah mati maka ia tidak akan
mencari penggantinya atau pasangan baru. Yang uniknya lagi telur maleo bisa dikatakan
berukuran cukup besar jika dibandingkan dengan ukuran tubuhnya. Bisa mencapai berat
hingga 270 gram. Jauh lebih besar daripada manfaat telur ayam.
Sementara maleo memiliki ukuran tubuh sedang dengan ukuran kepala yang jauh lebih kecil
dan berwarna hitam. Panjang tubuhnya rata-rata 55 cm serta memiliki bulu tubuh bagian atas
berwarna hitam dan bulu tubuh bagian bawah merah muda keputihan. Meskipun merupakan
hewan endemik Sulawesi namun maleo tidak dapat ditemukan di semua wilayah Sulawesi.
Biasanya ia hidup di hutan tropis dataran rendah dan bertelur di daerah berpasir seperti pantai
namun yang dekat dengan gunung berapi atau daerah-daerah lain yang dekat dengan sumber
panas bumi.
Ini berhubungan dengan gaya reproduksinya yang menghasilkan telur namun tidak
mengeraminya. Setelah bertelur maleo akan mengubur telurnya di dalam pasir dan
membiarkannya menetas sendiri dengan memanfaatkan panas dari bumi. Setelah tiba saatnya
menetas anak maleo akan berjuang keluar dari pasir dan dapat langsung hidup mandiri.
Namun sayangnya kini populasi maleo terancam punah karena perburuan liar, predator alami,
dan faktor-faktor lainnya. Hewan ini diburu dengan berbagai tujuan baik untuk dikonsumsi
atau hanya sekedar dijadikan koleksi.
Tidak hanya manfaat dagingnya saja yang diincar, telurnya yang terkenal berukuran besar
pun juga diincar oleh pemburu liar sehingga semakin mengancam kelestarian hewan ini.
Namun kini telah ada organisasi seperti AlTo (Alliance for Tompotika Consevation) yang
peduli akan kelestarian maleo dan mengajak warga sekitar untuk turut melestarikan hewan
kebanggaan Sulawesi ini. Sebagai hewan endemik yang dijaga kelestariannya berikut
beberapa manfaat burung maleo yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia khususnya
masyarakat Sulawesi:
Ya maleo merupakan kekayaan hayati Indonesia yang menjadi kebanggan sekaligus warisan
bagi anak cucu sehingga harus dilestarikan seperti hewan-hewan lain yang juga terancam
punah diantaranya manfaat orangutan, manfaat anoa bagi manusia, dan manfaat burung jalak
bali.
Indonesia kaya akan manfaat adat istiadat yang patut dijaga. Salah satunya ritual adat
molabot tumpe yang berasal dari Sulawesi Tengah. Ritual adat ini telah ada sejak zaman
dahulu dan melibatkan penggunaan telur burung maleo dimana telur maleo dalam jumlah
ratusan dibawa dari daerah Batui ke Pulau Peling. Setelah itu disambung dengan ritual
monsawe dimana sebagian telur dimakan oleh masyarakat dan sebagian lagi dijadikan obat.
Namun mengingat populasi burung maleo yang semakin terancam punah ritual adat ini
mendapat protes atau keberatan dari lembaga yang peduli dengan kelangsungan habitat
burung maleo.
Manfaat burung maleo lainnya adalah sebagai sumber tambahan penghasilan bagi masyarakat
sekitar. Bagaimana bisa? Masyarakat yang sebelumnya memburu burung maleo kini dapat
mengambil pekerjaan untuk menjaga kawasan atau daerah yang khusus diperuntukkan bagi
maleo dari gangguan baik manusia atau hewan lain yang mengintai dan mengancam
keberadaannya. Dengan ini warga bisa mendapat tambahan penghasilan.
Luar biasa bukan manfaat burung maleo? Meskipun kini daging atau telurnya tidak dapat
diambil sembarangan namun ia masih memiliki beberapa manfaat membanggakan yang bisa
dirasakan oleh masyarakat Indonesia secara umum dan masyarakat Sulawesi secara khusus.
Mari kita jaga dan lestarikan flora dan fauna di sekitar kita.
Burung maleo adalah atau sering juga disebut maleo senkawor adalah burung endemik
(hanya hidup secara alami di suatu kawasan) di Pulau Sulawesi. Burung ini endemik di hutan
tropis dataran rendah pulau Sulawesi seperti di Gorontalo (Bone Bolango dan Pohuwato) dan
Sulawesi Tengah (Sigi dan Banggai). Sampai saat ini habitat yang digunakan untuk bertelur
hanya ditemukan didaerah yang memiliki sejarah geologi yang berhubungan dengan lempeng
pasifik atau australia. Burung Maleo memiliki nama ilmiah Macrocephalon maleon yang
berarti kepala besar. Fungsi tonjolan besar diatas kepalanya yaitu untuk mendeteksi panas
guna menetaskan telurnya.
Habitat burung cantik dengan panjang sekitar 55 cm ini terdapat di beberapa tempat di Pulau
Sulawesi. Diantaranya adalah Desa Saluki, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulawesi
Tengah.Fakta unik dari burung maleo yaitu mereka akan pinsang setelah bertelur. Maleo
bersarang di daerah pasir yang terbuka, daerah sekitar pantai gunung berapi dan daerah-
daerah yang hangat dari panas bumi untuk menetaskan telurnya. Besar telurnya kira-kira 5
hingga 8 kali lebih besar dari telur ayam kampung. Selain akan pingsan setelah bertelur, Yang
menarik dari burung ini yaitu sesaat setelah menetas, anak burung Maleo sudah dapat
langsung terbang. Hal itu terjadi karena kandungan nutrisi yang terdapat pada telur burung
maleo lbih besar sekitar 5 sampai 8 kali lebih besar dari telur ayam kampung.Fakta unik
lainnya yaitu burung maleo merupakan burung anti poligami.
Selain sebagai satwa endemik Burung Maleo (Macrocephalon maleo) ini yang mulai langka
dan dilindungi ini juga merupakan burung yang unik. Keunikannya mulai dari struktur tubuh,
habitat, hingga tingkah lakunya yang salah satunya adalah anti poligami. Makanya tidak
mengherankan jika sejak tahun 1990 berdasarkan SK. No. Kep. 188.44/1067/RO/BKLH
tanggal 24 Pebruari 1990, Burung Maleo ditetapkan sebagai “Satwa Maskot” provinsi
Sulawesi Tengah.
Dalam Buku “Konservasi Maleo Di Sulawesi”, disebutkan asal usul burung khas kawasan
wallacea ini masih belum jelas. Ada dua teori asal usulnya yaitu bahwa nenek moyang maleo
berasal dari Australia dan teori kedua bahwa moyang maleo berasal dari Asia Tenggara
sebelum tiba di Australia. Namun persamaan kedua teori itu adalah moyang maleo telah
terisolasi di Australia untuk waktu yang lama dan telah berevolusi menjadi burung yang tidak
lagi mengerami telurnya sendiri. Maleo kemudian menyebar ke Papua Nugini dan pulau-
pulau di sekitar Indonesia Timur.
Burung Maleo (Macrocephalon maleo) memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata
berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah
berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras
berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan
berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.
Populasi terbanyaknya kini tinggal di Sulawesi Tengah. Salah satunya adalah di cagar alam
Saluki, Donggala, Sulawesi Tengah. Di wilayah Taman Nasional Lore Lindu ini, populasinya
ditaksir tinggal 320 ekor. Karena populasinya yang kian sedikit, burung unik dan langka ini
dilindungi dari kepunahan. Maleo dikategorikan sebagai terancam punah di dalam IUCN Red
List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendix I.
Kelangkaan fauna unik ini antara lain disebabkan oleh terdesaknya habitat terutama yang
berada di luar kawasan konservasi, perburuan telur Maleo oleh manusia serta ancaman
predator antara lain : Biawak (Varanus sp), Babi Hutan (Sus sp), dan Elang.
Klasifikasi ilmiah;
Kerajaan: Vertebrata;
Filum: Chordata;
Kelas: Aves (Burung);
Ordo: Galliformes;
Famili: Megapodiidae;
Genus: Macrocephalon;
Spesies: Macrocephalon maleo;
Nama binomial; Macrocephalon maleo (S. Müller, 1846)
Monogami.
Maleo adalah monogami spesies (anti poligami) yang dipercaya setia pada
pasangannya. Sepanjang hidupnya, ia hanya mempunyai satu pasangan. Burung ini
tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya mati.
4.PENYEBAB KELANGKAAN
Maleo hidup di hutan hujan tropis Sulawesi dan menimbun telurnya di tanah yang hangat atau di
pantai yang terpapar panas matahari. Masyarakat lokal mengumpulkan telur untuk dikonsumsi,
diperdagangkan, dan dijadikan cendera mata.
John mengatakan, ancaman kepunahan maleo didengungkan pertama kali pada 1949. Hal itu
dilanjutkan dan dipertegas dalam program konservasi maleo pada 1978 di Panua (Gorontalo), di
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (Sulawesi Utara) tahun 1985, dan kemudian di Taman
Nasional Lore Lindu (Sulawesi Tengah) 1990. Tahun ini, Kelompok Kerja Maleo Indonesia
berinisiatif melaksanakan Konferensi Internasional Maleo yang pertama untuk memberikan
landasan pengelolaan konservasi maleo bagi lembaga swadaya masyarakat, badan pemerintah,
dan masyarakat luas. Konferensi ini merupakan upaya diseminasi 25 tahun konservasi maleo di
dunia.
Berdasarkan kajian Renne Dekker (1986), Marc Argeloo (1990), Stuart Buchart dan Gillian
Baker (1998), serta Antonia Gorog dkk. (2003), terdapat 142 lokasi peneluran maleo yang
tercatat di Sulawesi dan Buton. Pada tahun 2017, hanya ada 20% lokasi peneluran yang
masih aktif atau diperkirakan aktif. Lokasi tersisa ini, sebagian besar berada di kawasan
konservasi.
Upaya pelestarian burung maleo tidak saja bertumpu pada pengelolaan dan perlindungan
lokasi peneluran. Pelestarian maleo harus dipandang sebagai kesatuan bentang alam secara
menyeluruh, dengan melibatkan semua pihak.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan maleo sebagai
satu dari 25 satwa terancam punah yang diprioritaskan untuk ditingkatkan populasinya
sebanyak 10% pada periode 2015-2019.
Hal yang dihadapi dalam program konservasi burung maleo adalah belum adanya
keseragaman sistem pemantauan populasi. Sehingga tidak ada informasi yang cukup untuk
menyatakan apakah populasi maleo secara nyata meningkat atau menurun.
Program Konservasi Burung Maleo sebagai satwa prioritas sejatinya harus diterapkan secara
nasional. Dengan sinergis melibatkan berbagai unsur dari mulai pemerintah pusat, pemerintah
daerah, hingga ke masyarakat setempat. Dilengkapi oleh perguruan tinggi, lembaga penelitian
dan lembaga non-pemerintah.