Anda di halaman 1dari 9

Maleo, Burung Endemik Sulawesi Yang Masih Menyisakan Teka Teki

JAY FAJAR

13 SEP 2014

Indonesia merupakan negara mega biodiversity, tempat hidup aneka spesies hewan dan tumbuhan, yang
secara hipotesis terbagi antara garis Wallacea dan Weber. Dua garis ini memisahkan wilayah geografis
hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia, dan di timur
kebanyakan berhubungan dengan spesies Australia, serta kawasan peralihan diantaranya.

Salah satu keragaman spesies hewan khas ekosistem Wallacea adalah burung maleo (Macrocephalon
maleo). Banyak cerita yang beredar soal burung maleo antara lain bahwa burung endemik Sulawesi ini
merupakan burung anti poligami. Burung maleo akan pisang setelah bertelur. Namun kondisi
sesungguhnya perlu dibuktikan secara ilmiah.

Salah seorang peneliti burung maleo, Mobius Tanari yang menyelesaikan S3-nya di Institut Pertanian
Bogor mengatakan selama tujuh tahun lebih melakukan penelitian terhadap burung ini. Dan hingga kini
belum diketahui bagaimana burung maleo itu kawin.

“Apakah cara kita melakukan riset yang salah? Karena kan katanya maleo itu monogami, tetapi ini juga
perlu dibuktikan betulkah maleo ini monogami. Saya coba tanya peneliti di lapangan alasannya mereka
sederhana, setiap maleo itu terbang itu pasti berpasangan. Ada saatnya maleo datang sendiri. Asumsi
mereka ketika dia datang sendiri berarti pasangannya sudah mati. Sehingga mereka katakan maleo ini
monogami,” katanya.

Namun ia masih ragu bila maleo itu monogami, karena belum melihat bagaimana burung itu kawin.
Sampai saat ini belum ada peneliti yang bisa menjawab asumsi burung endemik Sulawesi itu anti
poligami.

Teka teki perkawinan itu, termasuk pingsannya burung maleo setelah menikah, yang membuat Mobius
terus meneliti burung bertonjolan kepala besar ini..
“Ini (pingsanya maleo) juga perlu pembuktian. Burung maleo ketika mau bertelur itu sudah diintai
predator. Secara logika jika dia pingsan, bukan hanya telurnya yang diincar tapi juga burung maleo-nya,”
ujarnya.

Mobius berhasil mengetahui tentang penetasan telur maleo, setelah pada tahun 2005-2006 ia
melakukan uji coba pengeraman dengan temperatur 34 derajat celsius dan kelembaban 70, dengan
keberhasilan 70 persen telur menetas.

Peduli Maleo

Burung maleo merupakan burung endemik Sulawesi. Habitat burung nan cantik dengan panjang sekitar
55 cm ini terdapat di beberapa tempat di Pulau Sulawesi. Diantaranya adalah Desa Saluki, Kecamatan
Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Burung dengan tonjolan atau jambul keras berwarna hitam ini dilindungi melalui PP No.7/1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dan masuk daftar burung dengan kategori endangered oleh
International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan daftar Appendix 1 dari Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

Dalam Buku “Konservasi Maleo Di Sulawesi”, disebutkan asal usul burung khas kawasan wallacea ini
masih belum jelas. Ada dua teori asal usulnya yaitu bahwa nenek moyang maleo berasal dari Australia
dan teori kedua bahwa moyang maleo berasal dari Asia Tenggara sebelum tiba di Australia. Namun
persamaan kedua teori itu adalah moyang maleo telah terisolasi di Australia untuk waktu yang lama dan
telah berevolusi menjadi burung yang tidak lagi mengerami telurnya sendiri. Maleo kemudian menyebar
ke Papua Nugini dan pulau-pulau di sekitar Indonesia Timur.

Herman Sasia menjelaskan tentang burung maleo kepada para siswa SMA 1 Balaesang Donggala saat
berkunjung ke penangkaran Maleo di Saluki. Foto: Herman Sasia

Herman Sasia menjelaskan tentang burung maleo kepada para siswa SMA 1 Balaesang Donggala saat
berkunjung ke penangkaran Maleo di Saluki. Foto: Herman Sasia

Adalah Herman Sasia (42), salah seorang petugas polisi khusus Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu,
yang peduli dengan maleo. Dia mencoba menjaga populasi burung maleo dengan cara menyelamatkan
telur-telurnya dari predator seperti biawak dan juga perburuan manusia.
Telur-telur maleo itu dia coba selamatkan di sebuah tempat penangkaran di dalam kawasan hutan
lindung wilayah 1 Taman Nasional Lore Lindu. Dan hingga kini kurang lebih sebanyak 800 anak burung
maleo hasil penetasan sudah dilepaskan kembali ke alamnya.

Burung seukuran ayam betina ini tidak mengerami telurnya, melainkan menguburnya di dalam tanah
maupun pasir. Telur berukuran rata-rata 11 cm, dengan berat 240 – 270 gram per butirnya, atau 5 – 8
kali lipat lebih besar dari dari telur ayam.

Untuk menetaskan telur-telur maleo ini, dibutuhkan sumber panas bumi yang cukup berkisar antara 32-
35 derajat celsius. Butuh waktu antara 62-85 hari bagi telur untuk menetas. Setelah menetas, maleo
mampu langsung terbang dan bertahan hidup layaknya maleo dewasa.

Menurut Herman, burung maleo selalu membuat beberapa lubang tipuan untuk menyimpan telurnya,
demi mengecoh para predator.

“Tapi kita sudah tahu mana lubang yang ada telurnya dan yang tidak. Nanti telur-telur itu kita tetaskan di
tempat penangkarannya,” ujarnya.

Herman yang sudah hampir 13 tahun mengurusi burung maleo ini sudah paham betul prilaku burung
nan cantik dan ancaman terhadap telurnya. Kalau betinanya menyimpan telurnya, sang jantan pasti
menemani. Dan keduanya gantian berjaga. Kalau betina yang menggali tanah si jantan pasti berjaga-jaga.
Begitu pula sebaliknya.

Jerih payah Herman Sasia dan kepeduliannya terhadap burung maleo akhirnya membuahkan hasil.
Bapak tiga anak ini pada Juli 2014 lalu tak menyangka mendapat Kalpataru, penghargaan tertinggi
bidang lingkungan hidup di Indonesia. Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman Nasional Lore
Lindu, Ahmad Yani mengatakan mereka bangga atas prestasi yang diterima Herman Sasia.

Herman Sasia, pejuang peduli burung maleo ketika menerima penghargaan Kalpataru 2014 dari Wakil
Presiden Boediono. Foto: Herman Sasia
Herman Sasia, pejuang peduli burung maleo ketika menerima penghargaan Kalpataru 2014 dari Wakil
Presiden Boediono. Foto: Herman Sasia

“Pada saat itu penghargaan diberikan langsung oleh Wakil Presiden Boediono kepada Herman. Dan
Herman merupakan satu-satunya penerima Kalpataru di Sulawesi Tengah untuk kategori pengabdian
lingkungan,” kata Yani.

Karena ketekunan dan keseriusannya terhadap populasi maleo, Herman kini banyak dikenal orang.
Menurut Herman karena populasi maleo di Saluki terus berkembang. Rencanannya pada September ini
sejumlah pecinta burung maleo dari Manado Sulawesi Utara akan beranjangsana ke Desa Saluki untuk
melihat lebih dekat burung maleo ini.

Perlindungan Telur

Di Sulawesi Utara, ada Iwan Hunowu (42), aktivis Wildlife Conservation Society (WCS), yang bertanggung
jawab dalam program konservasi burung maleo di propinsi itu.

Interaksi Iwan dengan maleo berawal dari pendataan sarang burung itu di Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone,Gorontalo. Iwan yang aktif di LSM konservasi sejak 1999 itu kemudian mempelajari perilaku
bertelur maleo dalam memilih sarang dengan membersihkan beberapa tempat bertelurnya (nesting
ground), dan sisanya dibiarkan alami ditumbuhi semak-semak.

“Dan ternyata burung maleo itu lebih suka dan memilih sarang yang dibersihkan untuk meletakkan
telurnya. Termasuk juga ada pohon pelindung. Dari hasil pengamatan itu, nesting ground itu kita
bersihkan secara berkala,” katanya.

Iwan memberdayakan satu hingga dua orang masyarakat setempat dibantu polisi hutan untuk
membersihkan sarang maleo. Selain itu, WCS membuat hatchery berukuran 2×3 meter hingga 5×2 meter
untuk meletakkan dan melindungi telur-telur maleo itu dari ancaman predator. Setelah menetas, barulah
burung-burung itu dilepaskan ke alam.

“Sudah hampir 9000 anakan maleo yang kita lepas di alam,” kata alumi Fakultas Pertanian Unsrat dengan
spesialisasi di bidang agroferestry ini.
Meski begitu, Iwan tak mengetahui apakah anakan burung maleo yang telah dilepas ke alam selamat
sampai dewasa. Dan apakah burung maleo dewasa selamat di alam bebas serta akan kembali dalam satu
atau dua tahun, biarlah itu menjadi seleksi alam.

(Visited 1 times, 4 visits today)

Burung maleo adalah atau sering juga disebut maleo senkawor adalah burung endemik (hanya hidup
secara alami di suatu kawasan) di Pulau Sulawesi. Burung ini endemik di hutan tropis dataran rendah
pulau Sulawesi seperti di Gorontalo (Bone Bolango dan Pohuwato) dan Sulawesi Tengah (Sigi dan
Banggai). Sampai saat ini habitat yang digunakan untuk bertelur hanya ditemukan didaerah yang
memiliki sejarah geologi yang berhubungan dengan lempeng pasifik atau australia. Burung Maleo
memiliki nama ilmiah Macrocephalon maleon yang berarti kepala besar. Fungsi tonjolan besar diatas
kepalanya yaitu untuk mendeteksi panas guna menetaskan telurnya.

maleo

Habitat burung cantik dengan panjang sekitar 55 cm ini terdapat di beberapa tempat di Pulau Sulawesi.
Diantaranya adalah Desa Saluki, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.Fakta unik dari
burung maleo yaitu mereka akan pinsang setelah bertelur. Maleo bersarang di daerah pasir yang
terbuka, daerah sekitar pantai gunung berapi dan daerah-daerah yang hangat dari panas bumi untuk
menetaskan telurnya. Besar telurnya kira-kira 5 hingga 8 kali lebih besar dari telur ayam kampung. Selain
akan pingsan setelah bertelur, Yang menarik dari burung ini yaitu sesaat setelah menetas, anak burung
Maleo sudah dapat langsung terbang. Hal itu terjadi karena kandungan nutrisi yang terdapat pada telur
burung maleo lbih besar sekitar 5 sampai 8 kali lebih besar dari telur ayam kampung.Fakta unik lainnya
yaitu burung maleo merupakan burung anti poligami.

Selain sebagai satwa endemik Burung Maleo (Macrocephalon maleo) ini yang mulai langka dan
dilindungi ini juga merupakan burung yang unik. Keunikannya mulai dari struktur tubuh, habitat, hingga
tingkah lakunya yang salah satunya adalah anti poligami. Makanya tidak mengherankan jika sejak tahun
1990 berdasarkan SK. No. Kep. 188.44/1067/RO/BKLH tanggal 24 Pebruari 1990, Burung Maleo
ditetapkan sebagai “Satwa Maskot” provinsi Sulawesi Tengah.
Dalam Buku “Konservasi Maleo Di Sulawesi”, disebutkan asal usul burung khas kawasan wallacea ini
masih belum jelas. Ada dua teori asal usulnya yaitu bahwa nenek moyang maleo berasal dari Australia
dan teori kedua bahwa moyang maleo berasal dari Asia Tenggara sebelum tiba di Australia. Namun
persamaan kedua teori itu adalah moyang maleo telah terisolasi di Australia untuk waktu yang lama dan
telah berevolusi menjadi burung yang tidak lagi mengerami telurnya sendiri. Maleo kemudian menyebar
ke Papua Nugini dan pulau-pulau di sekitar Indonesia Timur.

Burung Maleo (Macrocephalon maleo) memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna
kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-
muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Jantan dan
betina serupa. Biasanya betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.

Populasi terbanyaknya kini tinggal di Sulawesi Tengah. Salah satunya adalah di cagar alam Saluki,
Donggala, Sulawesi Tengah. Di wilayah Taman Nasional Lore Lindu ini, populasinya ditaksir tinggal 320
ekor. Karena populasinya yang kian sedikit, burung unik dan langka ini dilindungi dari kepunahan. Maleo
dikategorikan sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES
Appendix I.

Kelangkaan fauna unik ini antara lain disebabkan oleh terdesaknya habitat terutama yang berada di luar
kawasan konservasi, perburuan telur Maleo oleh manusia serta ancaman predator antara lain : Biawak
(Varanus sp), Babi Hutan (Sus sp), dan Elang.

Klasifikasi ilmiah;

Kerajaan: Vertebrata;

Filum: Chordata;

Kelas: Aves (Burung);

Ordo: Galliformes;

Famili: Megapodiidae;

Genus: Macrocephalon;

Spesies: Macrocephalon maleo;


Nama binomial; Macrocephalon maleo (S. Müller, 1846)

Fakta Unik Burung Maleo

tonjolan kepala maleo

Tonjolan di kepala

Maleo memiliki tonjolan (tanduk atau jambul keras berwarna hitam) dikepala. Pada saat masih anak dan
remaja, tonjolan di kepala ini belum muncul, namun pada saat menginjak dewasa tonjolan inipun mulai
tampak. Diduga tonjolan ini dipakai untuk mendeteksi panas bumi yang sesuai untuk menetaskan
telurnya (Meskipun hal ini masih memerlukan pembuktian secara ilmiah).

Tidak suka terbang

Meskipun memiliki sayap dengan bulu yang cukup panjang, namun lebih senang jalan kaki dari pada
terbang.

Habitat dekat sumber panas bumi

Maleo hanya bisa hidup di dekat pantai berpasir panas atau di pegununungan yang memiliki sumber
mata air panas atau kondisi geothermal tertentu. Sebab di daerah dengan sumber panas bumi itu, Maleo
mengubur telurnya dalam pasir.

Telur yang besar.

Maleo memiliki ukuran telur yang besar, mencapai 5 kali lebih besar dari telur ayam. Beratnya antara 240
hingga 270 gram tiap butirnya.

telur maleo

Maleo tidak mengerami telurnya.

Telur burung endemik ini dikubur sedalam sekitar 50 cm dalam pasir di dekat sumber mata air panas
atau kondisi geothermal tertentu. Telur yang ditimbun itu kemudian ditinggalkan begitu saja dan tak
pernah diurus lagi. Suhu atau temperatur tanah yang diperlukan untuk menetaskan telur maleo berkisar
antara 32-35 derajat celsius. Lama pengeraman pun membutuhkan waktu sekitar 62-85 hari.

Perjuangan anak Maleo.

Anak maleo yang telah berhasil menetas harus berjuang sendiri keluar dari dalam tanah sedalam kurang
lebih 50cm (bahkan ada yang mencapai 1 m) tanpa bantuan sang induk. Perjuangan untuk mencapai
permukaan tanah akan membutuhkan waktu selama kurang lebih 48 jam. Inipun akan tergantung pada
jenis tanahnya. Sehingga tak jarang beberapa anak maleo dijumpai mati “ditengah jalan”.

Anak yang mandiri.

Anak yang baru saja mencapai permukaan tanah sudah memiliki kemampuan untuk terbang dan
mencari makan sendiri (tanpa asuhan sang induk).

Monogami.

Maleo adalah monogami spesies (anti poligami) yang dipercaya setia pada pasangannya. Sepanjang
hidupnya, ia hanya mempunyai satu pasangan. Burung ini tidak akan bertelur lagi setelah pasangannya
mati.

DhanyInfo™ - Maleo Senkawor atau Maleo, yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo adalah
sejenis burung gosong berukuran sedang, dengan panjang sekitar 55cm, dan merupakan satu-satunya
burung di dalam genus tunggal Macrocephalon. Yang unik dari maleo adalah, saat baru menetas anak
burung maleo sudah bisa terbang. Ukuran telur burung maleo beratnya 240 gram hingga 270 gram per
butirnya, ukuran rata-rata 11 cm, dan perbandingannya sekitar 5 hingga 8 kali lipat dari ukuran telur
ayam. Namun saat ini mulai terancam punah karena habitat yang semakin sempit dan telur-telurnya
yang diambil oleh manusia. Diperkirakan jumlahnya kurang dari 10.000 ekor saat ini.

Burung ini memiliki bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah
kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan. Di atas
kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Jantan dan betina serupa. Biasanya betina
berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung jantan.

Maleo Senkawor adalah monogami spesies.


Tidak semua tempat di Sulawesi bisa ditemukan maleo. Sejauh ini, ladang peneluran hanya ditemukan di
daerah yang memliki sejarah geologi yang berhubungan dengan lempeng pasifik atau Australasia.
Populasi burung endemik Indonesia ini hanya ditemukan di hutan tropis dataran rendah pulau Sulawesi
seperti di Gorontalo (Bone Bolango dan Pohuwato) dan Sulawesi Tengah (Sigi dan Banggai). Populasi
maleo di Sulawesi mengalami penurunan sebesar 90% semenjak tahun 1950-an. Berdasarkan pantauan
di Cagar Alam Panua, Gorontalo dan juga pengamatan di Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah,
jumlah populasi dari maleo terus berkurang dari tahun ke tahun karena dikonsumsi dan juga telur-telur
yang terus diburu oleh warga.

Maleo bersarang di daerah pasir yang terbuka, daerah sekitar pantai gunung berapi dan daerah-daerah
yang hangat dari panas bumi untuk menetaskan telurnya yang berukuran besar, mencapai lima kali lebih
besar dari telur ayam. Setelah menetas, anak Maleo menggali jalan keluar dari dalam tanah dan
bersembunyi ke dalam hutan. Berbeda dengan anak unggas pada umumnya yang pada sayapnya masih
berupa bulu-bulu halus, kemampuan sayap pada anak maleo sudah seperti unggas dewasa, sehingga ia
bisa terbang, hal ini dikarenakan nutrisi yang terkandung di dalam telur maleo lima kali lipat dari telur
biasa, anak maleo harus mencari makan sendiri dan menghindari hewan pemangsa, seperti ular, kadal,
kucing, babi hutan dan burung elang.

Pakan burung ini terdiri dari aneka biji-bijian, buah, semut, kumbang serta berbagai jenis hewan kecil.
Berdasarkan dari hilangnya habitat hutan yang terus berlanjut, tingkat kematian anak burung yang tinggi,
populasi yang terus menyusut serta daerah dimana burung ini ditemukan sangat terbatas, Maleo
Senkawor dievaluasikan sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam
CITES Appendice I.

Predator yang sering ditemukan pada malam hari adalah ular, soa-soa atau biasa disebut biawak, kucing,
anjing, babi, dan tikus. Pada siang hari predatornya adalah elang dan manusia yang sering mengambil
telurnya dan menggunakan jerat untuk menangkap satwa maleo.

Anda mungkin juga menyukai