OLEH :
KELOMPOK II
STIFA D 2017
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Obat tradisional dibedakan menjadi 2 macam yaitu jamu, obat
herbal terstandar, dan fitofarmaka. Jamu adalah bahan atau ramuan
bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Produk yang banyak diminati masyarakat adalah jamu pegal linu
dan penambah nafsu makan. Jamu pegal linu digunakan untuk
menghilangkan pegal linu, nyeri otot dan tulang, memperlancar peredahan
darah,memperkuat daya tahan tubuh dan menghilangkan sakit seluruh
badan.
Minat masyarakat yang besar sering disalah gunakan produsen
jamu yang nakal untuk menambahkan bahan kimia obat. Pemakaian
bahan kimia obat dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan fungsi
organ tubuh. Oleh karena itu dibutuhkan BPOM untuk tidak beredar bahan
kimia obat yang ditambahkan dalam jamu.
Dengan perkembangan obat tradisonal yang cukup pesat, serta
minimnya informasi toksisitas dan interaksi, maka perlu ada jaminan,
keamanan, kemanjuran dan kontrol kualitas dari obat tradisonal.
Kasus serupa terulang pada akhir tahun 2010 dimana 46 produk jamu
ditarik dari peredaran. Jamu-jamu yang ditarik dari peredaran tersebut
oleh Badan POM justru merupakan jamu-jamu yang laris di pasaran
karena efeknya yang cepat dalam mengobati berbagai penyakit seperti
pegal linu, rematik, sesak napas, masuk angin dan suplemen kesehatan.
Bahan-bahan kimia berbahaya yang digunakan meliputi metampiron,
fenilbutazon, deksametason, allopurinol, CTM, sildenafil sitrat, tadalafil
dan parasetamol. Obat-obat yang mengandung bahan bahan kimia
tersebut memiliki efek samping berbahaya. Misalnya jamu yang
mengandung fenilbutazon dapat menyebabkan peradangan lambung dan
dalam jangka panjang akan merusak hati dan ginjal (Badan Pengawasan
Obat & Makanan RI, 2010).
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud percobaan
Adapun maksud dari percobaan ini yaitu untuk mengetahui
kandungan bahan kimia dari bahan obat tradisonal.
I.2.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini yaitu melakukan analisis
kandungan bahan kimia obat pada jamu pegal linu dan jamu penambah
nafsu makan dan melakukan evaluasi keseragaman bobot terhadap
sediaan obat tradisional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Obat tradisional merupakan bahan atau tanaman yang berupa bahan
tumbuhan, bukan hewan, bahan mineral, sediaam sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, obat tradisional dilarang
menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat,
narkotika, atau psikotoprika dan hewan atau tumbuhan yang dilindungi
(BPOM RI, 2006).
Kecenderungan masyarakat Indonesia menggunakan obat tradisional
(lebih dikenal sebagai jamu) sebagai alternatif dalam upaya pemeliharaan,
peningkatan dan penyembuhan penyakit semakin meningkat (Sari, 2006).
Peningkatan ini disebabkan adanya persepsi bahwa jamu lebih aman dari
obat sintetik. Namun hal ini tidak selalu benar karena masih sering
ditemukan adanya penambahan bahan kimia obat kedalam jamu seperti
antalgin, paracetamol dan lain-lain (BPOM, 2009).
Penggunaan jamu mengandung bahan kimia obat dalam jangka waktu
panjang dapat menimbulkan resiko efek samping obat yang berbahaya.
Mentri kesehatan Republik Indonesia telah melarang penambahan bahan
kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat obat kedalam obat
tradisional (Kemenkes, 2012).
Analgesik merupakan senyawa yang berfungsi untuk menekan rasa
nyeri, salah satu kelebihan dari analgesik yakni mampi menghilangkan
rasa sakit pada pasien tanpa menyebabkan pasien kehilangan kesadaran.
Analgesik dibagai menjadi 2 yakni analgesik kuat dan analgesik lemah
(Ebel, 1992).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu dari banyak
teknik kromatografi yang sering digunakan untuk menganalisis bahan
analgesik. Dasar pemisahan pada KLT adalah perbedaan kecepatan
migrasi diantar fasedian yang berupa padatan (alumina, silika gel, atau
selulosa) dan fase gerak merupakan campuran solven (eluen) yang juga
dikenal dengan istilah pelarut pengembangan campur KLT menggunakan
parameter karakteristik faktor reterdasi (Rf) untuk menganalisis baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Nilai Rf merupakan parameter spesifik
suatu senyawa secara kualitatif dapat diidentifikasi dari nilai Rf (Fatah,
1987).
Fase gerak pada KLT biasanya dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih
sering dipilih dengan trial dan error. Sistem paling sederhana adalah
sistem dua pelarut organik karena daya elusi campuran dari dua pelarut
ini dapat dengan mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisaha dapat
terjadi secara optimal. Berikut adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh
fase gerak adalah: (stahl, 1985)
a. Fase gerak harus memiliki kemurniaan yang sangat tinggi karena KLT
sangat sensitif
b. Daya elusi fase gerak harus diatur agar harga Rf terletak antara 0,1-
0,8 untuk pemisahan yang maksimal
c. Untuk pemisahan senyawa yang polar yang biasanya fase diamnya
berupa silika gel, maka polaritas dari fase gerak sangat menentukan
kecepatan elusi atai pengembangan yang berarti juga akan
menentukan nilai Rf.
II.2 Uraian Bahan
1. METHAMPIRON (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : METHAMPIRON
Nama lain : Antalgin, metampiron
Rm/Bm : C13H16N3 NaSO4/ 351,37 g/mol
Pemerian : serbuk hablur, putih atau kekuningan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai analgetik antipiretik
2. AETHANOLUM (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Alkohol, etanol, etrialkohol
Perhitungan Nilai Rf
Jarak tempuhnoda
Rf A = Jarak tempuh eluen
4,7 cm
= 5,5 cm
= 0,85cm
Jarak tempuhnoda
Rf B =
Jarak tempuh eluen
5,5 cm
= 5,5 cm
= 1cm
Jarak tempuhnoda
Rf C = Jarak tempuh eluen
2,9 cm
= 5,5 cm
= 0,52cm
IV.2 Pembahasan
Obat tradisional merupakan bahan atau tanaman yang berupa
bahan tambahan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenit)
atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (BPOM RI, 2013)
Penggunaan jamu mengandung bahan kimia obat dalam jangka
waktu panjang dapat menimbulkan resiko efek samping obat yang
berbahaya. Menteri kesehatan RI telah melarang penambahan bahan
kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat obat kedalam obat
tradisional (Kemenkes, 2012)
Pada percobaan ini, dilakukan pengamatan kandungan Bahan
Kimia Obat menggunakan KLT. KLT (Kromatografi Lapis Tipis)
merupakan salah satu dari banyak teknik kromatografi yang digunakan
untuk menganalisis bahan analgetik. Dasar pemisahan KLT adalah
perbedaan kecepatan migrasi diantara fase diam yang berupa padatan
dan fase gerak merupakan campuran solven (eluen) yang juga dikenal
dengan istilah pelarut pengembangan campur KLT menggunakan
parameter karakteristik faktor reterdasi (Rf) untuk menganalisis baik
secara kualitatif maupun kuantitatif (Fatah, 1987).
Pada percobaan analisis obat tradisional ini digunakan sampel
pegal linu untuk melihat ada tidaknya BKO pada jamu. Berdasarkan hasil
pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan BPOM, jamu pegal linu
sering dicemari BKO seperti fenobarbutasol, antalgin, diklofenak sodium,
piroksikam, paracetamol, prednison atau deksametason (BPOM, 2013).
Alasan digunakan lampu UV 254 nm ialah untuk melihat flouresensi
pada lempeng dikarenakan cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya
yang dipancarkan oleh komponen tersebut. Alasan digunakan lampu UV
366 nm ialah untuk melihat flouresensi pada noda, karena terjadinya
flouresensi pada noda karena daya interaksi antara lampu UV 366 nm
dengan gugus kromotor yang terdapat pada sampel. (Alimin dkk, 2007).
Pada percobaan analisis antalgin dengan sampel jamu ............
dibuat dalam jenis larutan A (serbuk jamu), larutan B (serbuk
jamu+antalgin), dan larutan C (baku antalgin). Sampel jamu disari dengan
petroleum eter agar senyawa-senyawa yang memiliki kepolaran sama
akan berpartisi ke petroleum eter. Penambahan antalgin pada sampel
jamu dimaksudkan untuk dibandingkan dengan larutan A yang tidak diberi
penambahan antalgin. Tahap selanjutnya ialah dilakukan uji Kromatografi
Lapis Tipis (KLT). Pengujian KLT yang dilakukan pada jamu pegal linu,
digunakan dua sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm.
Pada UV 254 nm didapatkan 3 noda pada plat, yaitu larutan A 4,7 cm,
larutan B 5,5 cm, dan larutan C 2,9 cm. Sementara pada sinar UV 366 nm
tidak terlihat noda pada plat KLT. Adapun nilai Rf yang diperoleh pada
larutan A (sampel) sebesar 0.85, larutan B (sampel + antalgin 25mg), 1,
dan larutan C (larutan baku antalgin) ialah 0,52. Menurut Fatimah, dkk
(2017) mengatakan bahwa jika nilai Rf sampel sama dengan nilai Rf
standar antalgin dan fluoresensi sampel dan standar juga sama maka
sampel dikatakan positif mengandung BKO. Berdasarkan hasil percobaan
diketahui bahwa nilai Rf larutan A mendekati nilai Rf larutan C (larutan
baku antalgin), sehingga jamu pegal linu Sabdo Ginseng tersebut positif
mengandung BKO yaitu antalgin
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum ini yaitu bahwa jamu pegal linu
banyak mengandung bahan kimia obat contohnya seperti antalgin.
V.2 Saran
V.2.1 Saran Untuk Laboratorium
Sebaiknya pada saat praktikum alat dan bahan praktikum dapat
dilengkapi agar praktikum yang dilakukan memperoleh hasil yang
diinginkan.
V.2.2 Saran Untuk Dosen
Sebaiknya dosen mendampingi praktikan dan ikut serta pada saat
praktikum berlangsung.
V.2.3 Saran Untuk Asisten
Sebaiknya tiap kelompok praktikan ada satu asisten yang
mendampingi agar praktikan bisa memahami praktikum yang
dilaksanakan
DAFTAR PUSTAKA
Alimin, dkk. 2007. Kimia Analitik. Makassar : Alauddin