Anda di halaman 1dari 7

1.

Hipertiroid
Hipertiroidisme (Tiroktosikosis) merupakan suatu keadaan di mana
didapatkan kelebihan hormon tiroid karena ini berhubungan dengan suatu kompleks
fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon
tiroid berlebihan.
Hipertiroidisme dapat didefinisikan sebagai respon jaringan-jaringan terhadap
pengaruh metabolik terhadap hormon tiroid yang berlebihan (Price & Wilson: 337)
Hipertiroidisme (Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar
tiroid bekerja secara berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang
berlebihan di dalam darah.
Hipertiroidisme adalah kadar TH yang bersirkulasi berlebihan. Gangguan ini
dapat terjadi akibat disfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus.
a. Patofisiologi
Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika. Pada
kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali dari
ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel folikel
ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali dibandingkan
dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya
beberapa kali lipat dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada normal.
Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang
“menyerupai” TSH, Biasanya bahan – bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang
disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang berikatan dengan reseptor
membran yang sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut
merangsang aktivasi cAMP dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme.
Karena itu pada pasien hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi
TSI meningkat. Bahan ini mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar
tiroid, yakni selama 12 jam, berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam.
Tingginya sekresi hormon tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan
pembentukan TSH oleh kelenjar hipofisis anterior.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon hingga diluar
batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid
membesar. Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk
akibat dari sifat hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme
tubuh yang diatas normal. Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang ini,
terkadang penderita hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan
sinaps saraf yang mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini
menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik,
sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi atau
diatas normal juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler.
Eksopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah
jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya bola mata terdesak keluar.
Hipertiroid mempunyai ciri overproduksi T3 (triodtironin) dan T4 (tiroksin).
Gejalanya yaitu efek jantung (tachycardia, atriumfibrilasi), strauma, serta bola mata
menonjol abnormal (exopthalamus). Gejala lainnya dapat berupa menurunnya berat
badan akibat peningkatan kecepatan metabolisme dan penggunaan energi, palpitasi,
tremor, transpirasi, gelisah, rasa takut, sukar tidur, diare akibat peningkatan peristaltik
dan nafsu makan bertambah.

Hipertiroid ini dapat disebabkan oleh kelebihan minum obat yang mengandung
iod atau iodida (obat batuk) dalam jangka waktu yang panjang ataupun makanan yang
mengandung kadar iod tinggi . (Drs. Tan Hoan Tjay “obat-obat penting” hal 764-765).

b. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosa bergantung kepada beberapa hormon berikut ini:
1. Pemeriksaan darah yang mengukur kadar HT (T3 dan T4), TSH, dan TRH akan
memastikan diagnosis keadaan dan lokalisasi masalah di tingkat susunan saraf
pusat atau kelenjar tiroid.
2. TSH (Tiroid Stimulating Hormone)
3. Bebas T4 (tiroksin)
4. Bebas T3 (triiodotironin)
5. Diagnosa juga boleh dibuat menggunakan ultrasound untuk memastikan
pembesaran kelenjar tiroid
6. Hipertiroidisme dapat disertai penurunan kadar lemak serum
7. Penurunan kepekaan terhadap insulin, yang dapat menyebabkan hiperglikemia.

2. Hepatitis
Hepatitis virus adalah istilah yang digunakan untuk infeksi hepar oleh virus
disertai nekrosis dn inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan
perubahan klinis, biokomia serta seluler yang khas.
Hepatitis (Radang Hati) dapat ditimbulkan oleh banyak sebab, tetapi paling
sering terjadi karena terinfeksi oleh suatu virus hepatitis. Sebab sebab lain hepatitis
adalah demam kuning dan penyumbatan saluran empedu (akibat batu empedu), zat zat
kimia atau obat-obatan tertentu dan terlalu banyak minum minuman beralkohol.
Gejala utama yaitu kulit dan putih mata menjadi kuning. Gejala lainnya yaitu
gangguan lambung-usus, rasa letih, demam, nyeri perut, nyeri otot. Tinja dapat hilang
warnanya dan urine berwarna gelap. (Drs. Tan Hoan Tjay “obat-obat penting” hal
120-121).
a. Patofisiologi

Patofisiologi hepatitis yaitu perubahan morfologi yang terjadi pada hati,


seringkali mirip untuk berbagai virus yang berlainan. Pada kasus yang klasik, hati
tampaknya berukuran basar dan berwarna normal, namun kadang-kadang agak edema,
membesar dan pada palpasi “terasa nyeri di tepian”. Secara histologi. Terjadi
kekacauan susunan hepatoselular, cedera dan nekrosis sel hati dalam berbagai derajat,
dan peradangan periportal. Perubahan ini bersifat reversibel sempurna, bila fase akut
penyakit mereda. Namun pada beberapa kasus nekrosis, nekrosis submasif atau masif
dapat menyebabkan gagal hati fulminan dan kematian (Price dan Daniel, 2005: 485).

b. Pemeriksaan Diagnostik

1. Tes fungsi hati : abnormal (4-10 kali dari normal). Catatan : merupakan batasan
nilai untuk membedakan hepatitis virus dengan nonvirus
2. AST(SGOT atau ALT(SGPT) : awalnya meningkat. Dapat meningkat satu sampai
dua minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun
3. Darah lengkap : SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup SDM
(gangguan enzim hati atau mengakibatkan perdarahan)
4. Leucopenia : trombositopenia mungkin ada (splenomegali)
5. Diferensial darah lengkap : lekositosis, monositosis, limfosit atipikal, dan sel
plasma
6. Alkali fosfatase : agak meningkat (kecuali ada kolestasis berat)
7. Fesses : warna tanak liat, steatorea (penurunan fungsi hati)
8. Albumin serum : menurun
9. Gula darah : hiperglikemia transien/hipoglikemia (gangguan fusngsi hati)
10. Anti-HAV IGM : Positif pada tipe A
11. HBSAG : dapat positif (tipe B) atau negative (tipe A). catatan : merupakan
diagnostic sebelum terjadi gejala kinik
12. Massa protrombin : mungkin memanjang (disfungsi hati)
13. Bilirubin serum : diatas 2,5 mg/100mm (bila diatas 200mg/mm, prognosis buruk
mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler)
14. Tes eksresi BSP : kadar darah meningkat
15. Biaosi hati : menentukan diagnosis dan luasnya nekrosis
16. Scan hati : membantu dalam perkiraan beratnya ketrusakan parenkim

3. Ikterus Obstruktif
Ikterus obstruktif adalah kegagalan aliran bilirubin ke duodenum dimana
kondisi ini akan menyebabkan perubahan patologi di hepatosit dan ampula vateri.
Perubahan makroskopik pada ikterus obstruktif berupa hepar yang membesar,
berwarna kehijauan, edema dengan tepi tumpul.
Ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Greek, yang berarti kuning. Ikterus
adalah gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan mukosa yang menjadi
kuning karena adanya peningkatan konsentrasi bilirubin dalam plasma, yang
mencapai lebih dari 2 mg/dl. Terdapat 3 jenis ikterus berdasarkan lokasi
penyebabnya, yaitu ikterus prahepatik (hemolitik), ikterus intrahepatik
(parenkimatosa), dan ikterus ekstrahepatik (obstruktif). Ikterus obstruktif merupakan
ikterus yang disebabkan oleh adanya obstruksi pada sekresi bilirubin pada jalur post
hepatik, yang dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal.
a. Patofisiologi
Ikterus secara umum terbagi menjadi 3, yaitu ikterus prehepatik, ikterus
hepatik, dan ikterus posthepatik atau yang disebut ikterus obstruktif. Ikterus obstruktif
disebut juga ikterus posthepatik karena penyebab terjadinya ikterus ini adalah pada
daerah posthepatik, yaitu setelah bilirubin dialirkan keluar dari hepar.
Pada ikterus obstruktif, terjadi obstruksi dari pasase bilirubin direk sehingga
bilirubin tidak dapat diekskresikan ke dalam usus halus dan akibatnya terjadi aliran
balik ke dalam pembuluh darah. Akibatnya kadar bilirubin direk meningkat dalam
aliran darah dan penderita menjadi ikterik. Ikterik paling pertama terlihat adalah pada
jaringan ikat longgar seperti sublingual dan sklera. Karena kadar bilirubin direk dalam
darah meningkat, maka sekresi bilirubin dari ginjal akan meningkat sehingga urine
akan menjadi gelap dengan bilirubin urin positif. Sedangkan karena bilirubin yang
diekskresikan ke feses berkurang, maka pewarnaan feses menjadi berkurang dan feses
akan menjadi berwarna pucat seperti dempul (acholis).

b. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan rutin
a) Darah : Perlu diperhatikan jumlah leukosit, bila jumlahnya meningkat, maka
berarti terdapat infeksi. Perhatikan juga apakah terdapat peningkatan
prothrombin time (PT) atau tidak, karena apabila prothrombin time meningkat,
maka perlu dicurigai adanya penyakit hepar, atau obstruksi bilier.
b) Urin : Penting untuk mengetahui apakah warna urin merah kecoklatan seperti
teh secara makroskopis, serta terdapat kandungan bilirubin dalam urin atau
tidak. Apabila urin berwarna gelap kecoklatan, perlu dicurigai adanya
peningkatan kadar bilirubin direk yang diekskresikan melalui urin yang
mengarah pada ikterus obstruktif.
c) Feses : untuk mengetahui apakah feses berwarna dempul atau tidak. Feses
yang berwarna dempul, menandakan bahwa terdapatnya gangguan aliran
bilirubin direk ke dalam saluran intestinal akibat adanya suatu sumbatan pada
aliran empedu.
2. Tes faal hati :
Merupakan tes untuk mengetahui gambaran kemampuan hati untuk
mensintesa protein (albumin, globulin, faktor koagulasi), dan memetabolisme zat
yang terdapat dalam darah, meliputi:
a) Albumin
Albumin disintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan distribusi air
dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Albumin membantu transport beberapa
komponen darah, seperti ion, bilirubin, hormone, enzim, dan obat. Apabila
nilai albumin menurun, maka perlu dicurigai adanya gangguan fungsi hepar,
infeksi kronis, edema, ascites, sirosis, serta perdarahan.
b) Alanin Aminotransferase (ALT/SGOT)
Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga terdapat
pada jantung, otot, dan ginjal, namun ALT lebih banyak terdapat di dalam hati,
dan lebih spesifik menunjukan fungsi hati daripada AST. Apabila terjadi
peningkatan kadar ALT, maka perlu dicurigai adanya penyakit hepatoseluler,
sirosis aktif, obstruksi bilier, dan hepatitis. Nilai peningkatan yang signifikan
adalah adalah dua kali lipat dari nilai normal.
c) Aspartase Aminotransferase (AST/SGPT)
AST merupakan enzim yang memiliki aktivitas metabolism yang tinggi,
ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfe, pankreas dan paru-
paru. Penyakit yang menyebabkan perubahan, kerusakan, atau kematian sel
pada jaringan tersebut akan mengakibatkan enzim ini terlepas ke dalam
sirkulasi. Apabila terjadi peningkatan, dapat dicurigai adanya penyakit hati,
pancreatitis akut, juga penyakit jantung seperti MI.
d) Gamma Glutamil Transferase (Gamma GT)
GGT terutama terdapat pada hati dan ginjal. GGT merupakan enzim marker
spesifik untuk fungsi hati dan kerusakan kolestatis dibandingkan ALP. GGT
adalah enzim yang diproduksi di saluran empedu sehingga meningkat nilainya
pada gangguan empedu, seperti kolesistitis, koletiasis, sirosis, atresia bilier,
obstruksi bilier. GGT sangat sensitif tetapi tidak spesifik. Jika terjadi
peningkatan hanya kadar GGT (bukan AST, ALT) bukan menjadi indikasi
kerusakan hati.
e) Alkali fosfatase
Enzim ini merupakan enzim yang berasal dari tulang, hati, dan plasenta.
Konsentrasi tinggi dapat ditemukan dalam kanalikuli bilier, ginjal, dan usus
halus. Pada penyakit hati, kadar alkali fosfatase akan meningkat karena
ekskresinya terganggu akibat obstruksi saluran bilier.
f) Bilirubin
Peningkatan kadar bilirubin indirek lebih sering terjadi akibat adanya penyakit
hepatoseluler, sedangkan apabila terjadi peningkatan bilirubin direk biasanya
terjadi karena adanya obstruksi pada aliran ekskresi empedu.

Daftar Pustaka

Price, S.A & Wilson. L.M. .2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 vol 2. Jakarta: EGC.
Drs. Tan Hoan Tjay.2007. “obat-obat penting”. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Smeltzer, suzzane C. 2002. Keperawatan Medikal Bedah vol 2 Jakarta:Buku Kedokteran

EGC.

Anda mungkin juga menyukai