Anda di halaman 1dari 26

TUGAS : PRAKTEK KLINIK KEBIDANAN

MAKALAH

EVIDENCE BASED DALAM KEGAWATDARURATAN

KELOMPOK VII

(20.1302.023) DEWY AMRIYATI AMRAN

(20.1302.028) ANDI ITA PERMATASARI

KELAS B 20

PROGRAM STUDI DIV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEPERAWATAN


UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR
MAKASSAR
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Evidence Based dalam
Kegawatdaruratan” dalam Mata Kuliah Praktek Klinik Kebidanan.

Dalam penulisan makalah ini penyusun mendapat bantuan dari berbagai pihak yang
berupa bimbingan, pengarahan maupun dukungan moral yang sangat membantu penyusun.
Untuk itu pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini penyusun berusaha untuk membuat yang terbaik,
akan tetapi dengan keterbatasan yang ada penyusun menyadari dalam makalah ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun, supaya makalah ini menjadi lebih baik. Semoga ini bermanfaat
khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca.

Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI…...……………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang….……………….………………………………………… 4
B. Rumusan Masalah….………………………...……......…………………… 5
C. Tujuan Penulisan...……………….………………………………………… 5

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan tentang Kegawatdaruratan..……………………..……………….. 6


B. Tinjauan tentang Evidence Based ....……………………………………….. 11
C. Tinjauan tentang Hubungan Evidence Based dengan Kegawatdaruratan ..… 17

BAB III PEMBAHASAN

A. Jurnal-jurnal tentang Kegawatdaruratan…………………………………… 18

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………….………………………………… 19
B. Saran………………………………………………………………………… 20

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah kegawatan dan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan yang serius, yang harus
mendapatkan pertolongan segera. Kegawatdaruratan dalam kebidanan adalah kegawatan
atau kegawatdaruratan yang terjadi pada wanita hamil, melahirkan atau nifas (Maryunani
A, 2016).
Evidence Base artinya berdasarkan bukti. Artinya tidak lagi berdasarkan pengalaman
atau kebiasaan semata. Semua harus berdasarkan bukti. Bukti inipun tidak sekedar bukti.
Tapi bukti ilmiah terkini yang bisa dipertanggungjawabkan. 
Dengan pelaksanaan praktik asuhan kebidanan kegawatdaruratan yang berdasarkan
evidence based tersebut tentu saja bermanfaat membantu mengurangi angka kematian
ibu hamil dan risiko-risiko yang di alami selama persalinan bagi ibu dan bayi serta
bermanfaat juga untuk memperbaiki keadaan kesehatan masyarakat.
Kegawatdaruratan obstetri dan neonatal merupakan suatu kondisi yang dapat
mengancam jiwa seseorang, hal ini dapat terjadi selama kehamilan, ketika kelahiran
bahkan saat hamil. Sangat banyak sekali penyakit serta gangguan selama kehamilan yang
bias mengancam keselamatan ibu maupun bayi yang akan dilahirkan. Kegawatan
tersebut harus segera ditangani, karena jika lambat dalam menangani akan menyebabkan
kematian pada ibu dan bayi baru lahir.
Kejadian kematian dan kesakitan ibu masih merupakan masalah kesehatan yang
sangat penting yang dihadapi di Negara-negara berkembang. Berdasarkan riset World
Health Organization (WHO) pada tahun 2017 Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia masih
tinggi dengan jumlah 289.000 jiwa. Beberapa Negara berkembang AKI yang cukup
tinggi seperti di Afrika Sub-Saharan sebanyak 179.000 jiwa, Asia Selatan sebanyak
69.000 jiwa, dan di Asia Tenggara sebanyak 16.000 jiwa. AKI di Negara – Negara Asia
Tenggara salah satunya di Indonesia sebanyak 190 per 100.000 kelahiran hidup, Vietnam
sebanyak 49 per 100.000 kelahiran hidup, Thailand sebanyak 26 per 100.000 kelahiran
hidup, Brunei sebanyak 27 per 100.000 kelahiran hidup, dan Malaysia sebanyak 29 per
100.000 kelahiran hidup (WHO, 2017).
Dalam menangani kasus gawatdaruratan, penentuan masalah utama (diagnosis) dan
tindakan pertolongan harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang (tidak panik),
walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarannya mungkin dalam kepanikan.
Semuanya dilakukan dengan cepat, tepat dan terarah (Maryunani A dan Eka P, 2013).

B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah Makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan tentang Kegawatdaruratan?
2. Bagaimana tinjauan tentang Evidence Based?
3. Bagaimana tinjauan tentang Hubungan Evidence Based dengan
kegawatdaruratan?

C. Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan Penulisan Makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui & memahami mengenai Tinjauan Kegawatdaruratan.
2. Dapat mengetahui & memahami mengenai Tinjauan Evidence Based .
3. Dapat mengetahui & memahami mengenai Tinjauan Hubungan Evidence Based
dengan kegawatdaruratan.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Tentang Kegawatdaruratan


1. Pengertian Kegawatdaruratan
Istilah kegawatan dan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan yang serius,
yang harus mendapatkan pertolongan segera. Kegawatdaruratan dalam kebidanan
adalah kegawatan atau kegawatdaruratan yang terjadi pada wanita hamil,
melahirkan atau nifas (Maryunani A, 2016).
2. Prinsip Dasar Penanganan Gawat Darurat
Dalam menangani kasus gawatdaruratan, penentuan masalah utama
(diagnosis) dan tindakan pertolongan harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan
tenang (tidak panik), walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarannya
mungkin dalam kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, tepat dan terarah
(Maryunani A dan Eka P, 2013).
1) Menghormati pasien:
a. Setiap pasien harus diperlakukan dengan rasa hormat, tanpa
memandang status sosial dan ekonominya.
b. Dalam hal ini petugas juga harus memahami dan peka bahwa
dalam situasi dan konidisi kegawatdarurat perasaan cemas,
ketakutan, dan kepribadian adalah wajar bagi setiap manusia dan
keluarga yang mengalaminya.
2) Kelembutan
a. Dalam melakukan penegakan diagnosis, setiap langkah harus
dilakukan dengan penuh kelembutan.
b. Dalam hal ini, termasuk dalam menjelaskan keadaan pasien bahwa
rasa sakit atau kurang enak badan tidak dapat dihindari sewaktu
melakukan pemeriksaan dan memberikan pengobatan, tetapi
prosedur itu akan dilakukan selembut mungkin sehingga perasaan
kurang enak itu di upayakan sedikit mungkin.
3) Komunikatif
a. Petugas kesehatan harus memiliki keterampilan dalam
berkomunikasi, tentunya dalam bahasa dan kalimat yang mudah
dimengerti, mudah dipahami, dan memperhatikan nilai norma
kebudayaan setempat.
b. Menjelaskan kondisi yang sebenarnya pada paien sangatlah
penting.
4) Hak pasien
Hak – hak pasien harus dihormati, seperti penjelasan dalam pemberian
persetujuan tindakan (inform consent).
5) Dukungan keluarga
Dukungan keluarga sangatlah penting bagi pasien. Oleh karena itu,
petugas kesehatan harus mengupayakan hal itu antara lain dengan
senantiasa memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang
kondisi akhir pasien, peka akan masalah keluarga yang berkaitan
dengan keterbatasan keuangan (finansial), keterbatasan transportasi,
dan sebagainya.

3. Prinsip Umum Penanganan Kasus Gawat Darurat


Dalam prinsip umum, petugas kesehatan dan pasien adalah sama-sama subjek,
sebagai mitra yang bekerja sama dalam menangani suatu kondisi suatu kasus
kegawatdaruratan (Maryunani A dan Eka P, 2013).
1) Stabilisasi pasien
Setelah kita mengenali kondisi kegawatdaruratan, lakukan stabilisasi
keadaan pasien sebelum melakukan rujukan. Elemen – elemen penting
dalam stabilisasi pasien:
a. Menjamin kelancaran jalan nafas, pemulihan respirasi dan
sirkulasi.
b. Menghentikan sumber perdarahan dan infeksi
c. Mengganti cairan tubuh yang hilang
d. Mangatasi rasa nyeri atau gelisah
2) Terapi cairan
a. Antisipasi ini dilakukan pada tahap awal untuk persiapan jika
kemudian hari penambahan cairan di butuhkan.
b. Pemberian cairan ini harus di perhatikan baik jenis cairan
banyaknya cairan yang diberikan, kecepatan pemberian misalnya
cairan yang sesuai dengan diagnosis.
c. Misalnya pemberian cairan untuk menggantikan cairan tubuh yang
hilang pada kasus syok hipovolemik seperti pada perdarahan
berbeda pada saat pemberian cairan pada syok septik.
3) Resusitasi jantung paru (RJP)
a. Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan gabungan penyelamatan
pernafasan (bantuan nafas) dengan kompresi dada eksternal. RJP di
gunakan ketika seseorang mengalami henti jantung dan henti nafas.
b. Dalam melakukan RJP, sebagai seorang penolong harus:
 Mempertahankan terbukanya jalan nafas (Airway=A)
 Memberikan nafas untuk pasien (Breathing=B)
 Mengusahakan kembalinya sirkulasi pasien (Circulation=c)
c. Dalam prinsip RJP selalu mengikutsertakan ABC:
 Suatu pernafasan tidak ada akan efektif jika jalan nafas
tidak terbuka.
 Pernafasan buatan tidak efektif pula jika sirkulasi terhenti.
 Darah yang bersikulasi tidak akan efektif, kecuali darah
tersebut teroksigenisasi.
 Selalu di ingat jika perdarahan dapat mengganggu sirkulasi
 Oleh karena itu jika seorang pasien kehilangan darah terlalu
banyak maka RJP yang dilakukan tidak efektif.
d. Pemantauan kandung kemih
 Dalam pemantauan kandung kemih, sebaiknya
menggunakan kateter untuk mengukur banyaknya urin yang
keluar guna menilai fungsi ginjal dan keseimbangan
pemasukan dan pengeluaran cairan.
 Jika katerisasi tidak mungkin dilakukan, urin di tampung
dan dicatat kemungkinan terdapat peningkatan konsetrasi
urin (urin berwarna gelap) atau produksi urin berkurang
sampai tidak ada urin sama sekali.
 Jika produksi urin mula – mula rendah kemudian semakin
bertambah, hal ini menunjukan bahwa kondis pasien
membaik.
 Diharapkan produksi urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau
30 ml/ jam.
e. Rujukan
 Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima terbatas
untuk menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang
adekuat, maka kasus harus di rujuk ke fasilitas kesehatan
lain yang lebih lengkap
 Seharusnya sebelum kasus di rujuk, fasilitas kesehatan yang
akan menerima rujukan sudah di hubungi dan di beritahu
terlebih dahulu sehingga persiapan penanganan ataupun
perawatan inap telah dilakukan dan di yakini rujukan kasus
tidak akan ditolak.
4. Penanganan Kasus Gawat Darurat Pada Pasien Abortus Inkompletus
Menurut Maryunani A, (2016:98-99) Penanganan yang bisa dilakukan pada pasien
abortus inkompletus ini adalah:
a. Segera rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap (rumah sakit)
b. Optimalisasi keadaan umum ibu dengan pemberian cairan, pemberian
oksigen atau bila dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika.
c. Pada keadaan syok segera diberikan infus cairan fisiologis NaCl atau
Ringer Laktat. (kondisi penderita harus di perbaiki, kontrol tekanan darah,
nadi dan pernafasan)
d. Penanganan yang ideal adalah menghentikan sumber perdarahan segera
dengan penanganan curretase setelah diagnosa dipastikan.

Menurut Maryunani A, (2016:99) hal- hal penting yang perlu diperhatikan


pada tatalaksana abortus inkompletus, antara lain:

a. Membuat diagnosa
b. Mengawasi perdarahan
c. Segera mempersiapkan pasien untuk segera dirujuk ke rumah
sakit/fasilitas kesehatan yang lebih lengkap untuk mendapatkan
pertolongan yang tepat.
5. Jenis-Jenis Kegawatdaruratan Obstetri
Jenis-jenis kegawatdaruratan obstetri yaitu sebagai berikut:
a. Pendarahan Pasca Salin
Perdarahan pasca salin merupakan penyebab penting kematian
maternal meliputi ¼ dari seluruh kematian di dunia.3Menurut WHO,
perdarahan pasca salin diklasifikasikan sebagai perdarahan pasca Salin dini
(perdarahan dari jalan lahir ≥ 500 ml dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir)
dan perdarahan pasca salinlanjut (perdarahan dari jalan lahir ≥ 500 ml setelah
24 jam pertama persalinan).
b. Ruptur uteri
Ruptura uteri terjadi jika terdapat robekan dinding uterus saat
kehamilan atau persalinan. Kasus ini merupakan keadaan emergensi obstetri
yang mengancam nyawa ibu dan janin. Ruptura uteri dapat bersifat komplit
atau inkomplit. Disebut ruptura uteri komplit apabila robekan yang
menghubungkan rongga amnion dan rongga peritoneum sehingga semua
lapisan dinding uterus terpisah. Sedangkan ruptur uteri inkomplit terjadi jika
rongga abdomen dan rongga uterus masih dibatasi oleh peritoneum viserale.
Bila terjadi ruptur uteri total maka biasanya akan berakibat fatal bagi ibu dan
janin.
Faktor risiko terjadinya ruptura uteri adalah adanya riwayat ruptura
uteri sebelumnya, riwayat seksio sesarea atau histertektomi, riwayat reseksi
kornu pada kehamilan ektopik, riwayat perforasi uterus, kuretase, overdistensi
uterus, kehamilan multifetus, polihidramnion, persalinan dengan forceps atau
vakum, plasenta akreta, dan partus macet.
Tanda dari ruptur uteri berupa kematian janin, syok hipovolemik, atau
perdarahan pervaginam. Secara umum diagnosis ruptur uteri ditegakkan
dengan ditemukannya Van Bandl Ring yang semakin tinggi, segmen bawah
uterus menipis, nyeri abdomen, his kuat terus menerus, dan tanda gawat janin.
Manajemen yang dilakukan setelah terjadi rupturauteri adalah mengatasi syok
dengan resusitasi cairan/transfusi darah, tindakan operatif (histerorafi atau
histerektomi), dan pemberian antibiotika.
c. Distosia Bahu
Distosia bahu adalah suatu keadaan gawat darurat yang tidak dapat
diprediksi dimana kepala janin sudah lahir tetapi bahu terjepit dan tidak dapat
dilahirkan.
Diagnosa :
1. Kepala janin lahir tetapi bahu tetap terjepit kuat didalam vulva
2. Dagu mengalamiretraksi dan menekan perineum
3. Traksi pada kepala gagal untuk melahirkan bahu yang terjepit dibelakang
symphisis pubis.
d. Hipertensi Dalam Kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan adalah komplikasi kehamilan setelah
kehamilan 20 minggu yang ditandai dengan timbulnya hipertensi, disertai
salah satu dari edema, proteinuria, atau kedua-duanya. Yang merupakan
kegawatdarutan adalah preeklampsia dan eklampsia.
Komplikasi preeklampsia berat yang umumnya dapat dijumpai pada
kehamilan lebih dari 20 minggu yaitu bila dijumpai :
1. Tekanan darah sistolik > 160 mmhg, diastolik > 110 mmhg
2. Proteinuri lebih dari 5 gram /24 jam
3. Gangguan cerebral atau visual
4. Edema
5. Nyeri epigastrik atau kwadran atas kanan
6. Gangguan fungsi hati tanpa sebab yang jelas
7. Trombositopeni
8. Pertumbuhan janin terhambat
9. Peningkatan serum kreatini

B. Tinjauan Tentang Evidence Based


1. Pengertian Evidence based medicine (EBM)
Evidence based medicine (EBM) adalah proses yang digunakan secara
sistematik untuk melakukan evaluasi, menemukan, menelaah/ me-review, dan
memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik.
Menurut Sackett et al. (2000), Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu
pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan
pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian, dalam praktek, EBM memadukan
antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang
paling dapat dipercaya.
Dengan demikian, maka salah satu syarat utama untuk memfasilitasi
pengambilan keputusan klinik yang evidence-based adalah dengan menyediakan
bukti-bukti ilmiah yang relevan dengan masalah klinik yang dihadapi, serta
diutamakan yang berupa hasil meta-analisis, review sistematik, dan randomized
double blind controlled clinical trial (RCT).
Secara ringkas, ada beberapa alasan utama mengapa Evidence based medicine
(EBM) diperlukan:

1. Bahwa informasi yang selalu diperbarui (update) mengenai diagnosis, prognosis,


terapi dan pencegahan, promotif, rehabilitatif sangat dibutuhkan dalam praktek sehari-
hari. Sebagai contoh, teknologi diagnostik dan terapi selalu disempurnakan dari waktu
ke waktu.
2. Bahwa informasi-informasi tradisional (misalnya yang terdapat dalam textbook)
tentang hal-hal di atas sudah sangat tidak adekuat pada saat ini; beberapa justru sering
keliru dan menyesatkan (misalnya informasi dari pabrik obat yang disampaikan oleh
duta-duta farmasi/detailer), tidak efektif (misalnya continuing medical education yang
bersifat didaktik), atau bisa saja terlalu banyak, sehingga justru sering
membingungkan (misalnya majalah (journal-journal) biomedik/ kedokteran yang saat
ini berjumlah lebih dari 25.000 jenis).
3. Dengan bertambahnya pengalaman klinik seseorang, maka kemampuan/ketrampilan
untuk mendiagnosis dan menetapkan bentuk terapi (clinical judgement) juga
meningkat. Namun pada saat yang bersamaan, kemampuan ilmiah (akibat terbatasnya
informasi yang dapat diakses) serta kinerja klinik (akibat hanya mengandalkan
pengalaman, yang sering tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah) menurun
secara bermakna (signifikan).
4. Dengan meningkatnya jumlah pasien, waktu yang diperlukan untuk pelayanan
semakin banyak. Akibatnya, waktu yang dimanfaatkan untuk meng-update ilmu
(misalnya membaca journal-journal kedokteran) sangat kurang.

Secara lebih rinci, Evidence based medicine (EBM) merupakan keterpaduan antara:

1. Best research evidence.

Di sini mengandung arti bahwa bukti-bukti ilmiah tersebut harus berasal dari
studi-studi yang dilakukan dengan metodologi yang sangat terpercaya (khususnya
randomized double blind controlled clinical trial), yang dilakukan secara benar. Studi
yang dimaksud juga harus menggunakan variabel-variabel penelitian yang dapat
diukur dan dinilai secara obyektif (misalnya tekanan darah, kadar Hb, dan kadar
kolesterol), di samping memanfaatkan metode-metode pengukuran yang dapat
menghindari resiko “bias” dari penulis atau peneliti.

2. Clinical expertise.

Untuk menjabarkan Evidence based medicine (EBM) diperlukan suatu


keterampilan klinik (clinical skills) yang memadai. Di sini termasuk keterampilan
untuk secara cepat mengidentifikasi kondisi pasien dan menentukan diagnosis secara
cepat dan tepat, termasuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang menyertai serta
memperkirakan kemungkinan manfaat dan resiko (risk and benefit) dari bentuk
intervensi yang akan diberikan. Keterampilan klinik ini hendaknya juga disertai
dengan pengenalan secara baik terhadap nilai-nilai yang dianut oleh pasien serta
harapan- harapan yang tersirat dari pasien.

3. Patient values.

Setiap pasien, dari manapun berasal, dari suku atau agama apapun, tentu
mempunyai nilai-nilai yang unik tentang status kesehatan dan penyakitnya. Pasien
juga tentu mempunyai harapan-harapan atas upaya penanganan dan pengobatan yang
diterimanya. Hal ini harus dipahami benar oleh seorang klinisi atau praktisi medik,
agar setiap upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan, selain dapat diterima dan
didasarkan pada bukti-bukti ilmiah, juga mempertimbangkan nilai-nilai subyektif
yang dimiliki oleh pasien.

Mengingat bahwa Evidence based medicine (EBM) merupakan suatu cara


pendekatan ilmiah yang digunakan untuk pengambilan keputusan terapi, maka dasar-
dasar ilmiah dari suatu penelitian juga perlu diuji kebenarannya untuk mendapatkan
hasil penelitian yang selain update, juga dapat digunakan sebagai dasar untuk
pengambilan keputusan.
2. Langkah Langkah Evidence Based Medicine
Evidence based medicine dapat dipraktekkan pada berbagai situasi, khususnya
jika timbul keraguan dalam hal diagnosis, terapi, dan penatalaksanaan pasien. Adapun
langkah-langkah dalam Evidence based medicine (EBM) adalah:

1. Memformulasikan pertanyaan ilmiah yang berkaitan dengan masalah penyakit yang


diderita oleh pasien.
2. Penelusuran informasi ilmiah (evidence) yang berkaitan dengan masalah yang
dihadapi.
3. Penelaahan terhadap bukti-bukti ilmiah yang ada.
4. Menerapkan hasil penelaahan bukti-bukti ilmiah ke dalam praktek pengambilan
keputusan.
5. Melakukan evaluasi terhadap efikasi dan efektivitas intervensi.

Langkah I. Memformulasikan pertanyaan ilmiah

Setiap saat seorang dokter menghadapi pasien tentu akan muncul pertanyaan-
pertanyaan ilmiah yang menyangkut beberapa hal, seperti diagnosis penyakit, jenis terapi
yang paling tepat, faktor- faktor resiko, prognosis, hingga upaya apa yang dapat dilakukan
untuk mengatasi masalah yang dijumpai pada pasien.
Dalam situasi tersebut diperlukan kemampuan untuk mensintesis dan menelaah
beberapa permasalahan yang ada. Sebagai contoh, dalam skenario 1 disajikan suatu kasus dan
bentuk kajiannya.

Pertanyaan-pertanyaan yang mengawali EBM selain dapat berkaitan dengan


diagnosis, prognosis, terapi, dapat juga berkaitan dengan resiko efek iatrogenik, kualitas
pelayanan (quality of care), hingga ke ekonomi kesehatan (health economics). Idealnya setiap
issue yang muncul hendaknya bersifat spesifik, berkaitan dengan kondisi pasien saat masuk,
bentuk intervensi terapi yang mungkin, dan luaran (outcome) klinik yang dapat diharapkan.

Jenis-jenis pertanyaan klinik

Secara umum terdapat 2 jenis pertanyaan klinik yang biasa diajukan oleh seorang praktisi
medik atau klinisi pada saat menghadapi pasien.

 Pertama, yang disebut dengan “background question” merupakan pertanyaan-


pertanyaan umum yang berkaitan dengan penyakit.
 Kedua, “foreground question” merupakan pertanyaan-pertanyaan spesifik yang
berkaitan dengan upaya penatalaksanaan.

Langkah II. Penelusuran informasi ilmiah untuk mencari “evidence”

Setelah formulasi permasalahan disusun, langkah selanjutnya adalah mencari dan


mencoba menemukan bukti-bukti ilmiah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Untuk ini diperlukan keterampilan penelusuran informasi ilmiah (searching
skill) serta kemudahan akses ke sumber-sumber informasi. Penelusuran kepustakaan
dapat dilakukan secara manual di perpustakaan- perpustakaan Fakultas Kedokteran atau
rumahsakit-rumahsakit pendidikan dengan mencari judul-judul artikel yang berkaitan
dengan permasalahan yang ada dalam jurnal-jurnal.

Pada saat ini terdapat lebih dari 25.000 jurnal biomedik di seluruh dunia yang dapat
di-akses secara manual melalui bentuk cetakan (reprint). Dengan berkembangnya
teknologi informasi, maka penelusuran kepustakaan dapat dilakukan melalui internet dari
perpustakaan, kantor-kantor, warnet-warnet (warung internet), bahkan di rumah, dengan
syarat memiliki komputer dan seperangkat modem, serta saluran telepon untuk
mengakses internet.

Langkah III. Penelaahan terhadap bukti ilmiah (evidence) yang ada


Dalam tahap ini seorang klinisi atau praktisi dituntut untuk dapat melakukan penilaian
(appraisal) terhadap hasil-hasil studi yang ada. Tujuan utama dari penelaahan kritis ini
adalah untuk melihat apakah bukti-bukti yang disajikan valid dan bermanfaat secara
klinis untuk membantu proses pengambilan keputusan. Hal ini penting, mengingat dalam
kenyataannya tidak semua studi yang dipublikasikan melalui majalah (jurnal-jurnal)
internasional memenuhi kriteria metodologi yang valid dan reliabel.

Untuk mampu melakukan penilaian secara ilmiah, seorang klinisi atau praktisi harus
memahami metode yang disebut dengan “critical appraisal” atau “penilaian kritis” yang
dikembangkan oleh para ahli dari Amerika Utara dan Inggris. Critical appraisal ini
dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk menjaring apakah artikel-artikel
yang kita peroleh memenuhi kriteria sebagai artikel yang dapat digunakan untuk acuan.

Langkah IV. Penerapan hasil penelaahan ke dalam praktek

Dengan mengidentifikasi bukti-bukti ilmiah yang ada tersebut, seorang klinisi dapat
langsung menerapkannya pada pasien secara langsung atau melalui diskusi-diskusi untuk
menyusun suatu pedoman terapi. Berdasarkan informasi yang ada, maka dapat saja pada
Skenario 1 diputuskan untuk segera memulai terapi dengan warfarin. Ini tentu saja
didasarkan pada pertimbangan resiko dan manfaat (risk-benefit assessment) yang
diperoleh melalui penelusuran bukti-bukti ilmiah yang ada.

Dalam Tabel Levels of evidence dipresentasikan derajat evidence, yaitu kategorisasi


untuk menempatkan evidence berdasarkan kekuatannya.

Evidence level 1a, misalnya, merupakan evidence yang diperoleh dari meta-analisis
terhadap berbagai uji klinik acak dengan kontrol (randomized controlled trials). Evidence
level 1a ini dianggap sebagai bukti ilmiah dengan derajat paling tinggi yang layak untuk
dipercaya.
Tabel Levels of evidence

Sumber : sign (scottish intercollegiate guideline network)

Langkah V. Follow-up dan evaluasi

Tahap ini harus dilakukan untuk mengetahui apakah current best evidence yang
digunakan untuk pengambilan keputusan terapi bermanfaat secara optimal bagi pasien,
dan memberikan resiko yang minimal. Termasuk dalam tahap ini adalah mengidentifikasi
evidence yang lebih baru yang mungkin bisa berbeda dengan apa yang telah diputuskan
sebelumnya. Tahap ini juga untuk menjamin agar intervensi yang akhirnya diputuskan
betul-betul memberi manfaat yang lebih besar dari resikonya (“do more good than
harm”). Rekomendasi mengenai keputusan terapi yang paling baik dibuat berdasarkan
pengalaman klinik dari kelompok ahli yang menyusun pedoman pengobatan.

C. Tinjauan Tentang Hubungan Evidence Based Dengan Kegawatdaruratan

Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-
tiba, seringkali merupakan kejadian yang berbahaya (Dorlan, 2011).
Kegawatdaruratan dapat juga didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala
berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan
segera guna menyelamatkan jiwa/nyawa (Campbell, 2000).
Sedangkan kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang
mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan
dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang
mengancam keselamatan ibu dan bayinya (Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer,
1999).

Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab
utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir (Saifuddin, 2002). Masalah kedaruratan
selama kehamilan dapat disebabkan oleh komplikasi kehamilan spesifik atau penyakit
medis atau bedah yang timbul secara bersamaan.

Evidence Base artinya berdasarkan bukti. Artinya tidak lagi berdasarkan


pengalaman atau kebiasaan semata. Semua harus berdasarkan bukti. Bukti inipun
tidak sekedar bukti. Tapi bukti ilmiah terkini yang bisa dipertanggungjawabkan. 

Evidence based medicine (EBM) adalah proses yang digunakan secara


sistematik untuk melakukan evaluasi, menemukan, menelaah/ me-review, dan
memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik.

Jadi dengan pelaksanaan praktik asuhan kebidanan kegawatdaruratan yang


berdasarkan evidence based tersebut tentu saja bermanfaat membantu mengurangi
angka kematian ibu hamil dan risiko-risiko yang di alami selama persalinan bagi ibu
dan bayi serta bermanfaat juga untuk memperbaiki keadaan kesehatan masyarakat.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Jurnal-Jurnal Tentang Kegawatdaruratan


1. Nama Jurnal : Bidan Prada: Jurnal Publikasi Kebidanan Akbid YLPP
Purwokerto
Judul : “Pelaksanaan Sistem Rujukan Pada Kasus Kegawatdaruratan
Maternal Neonatal Di Puskesmas Kembaran I”
Penulis : Dewi Ambarwati, Wilis Dwi Pangesti, Sawitri Dewi
Vol 9, No 2 (2018)
Publis : 2018

WHO menyatakan bahwa salah satu aspek utama pelayanan primer


termasuk kesehatan ibu dan anak adalah keterkaitan yang erat dengan
tingkatan di atas, hal ini terlihat dari bagaimana sistem rujukan bekerja secara
efektif. Upaya pemerintah dalam menurunkan AKI dan AKB adalah dengan
menyelenggarakan pelayanan kesehatan ibu dan bayi yang berkualitas.
Tujuan Meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak melalui
pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. Metode Penelitian kualitatif
menggunakan rancangan penelitian studi kasus, melalui wawancara mendalam
dengan bidan pelaksana, puskesmas dan pasien yang sudah mendapat rujukan
kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya dan fasilitas yang
dimiliki puskesmas sudah sesuai dengan APKK dan APKR. Dana yang
digunakan masyarakat adalah jaminan kesehatan seperti KIS, BPJS,
Jamkesmas dan Jampersal. Pelaksanaan sistem rujukan diawali dengan
koordinasi menggunakan SIJARIEMAS ke rumah sakit jaringan dan
konsultasi dengan dokter wali, penatalaksanaan stabilisasi pasien kasus gawat
darurat maternal neonatal berdasarkan SOP yang berlaku sebelum rujukan,
proses rujukan pasien ke rumah sakit jaringan menggunakan ambulans dan
didampingi oleh bidan yang kompeten.
Kesimpulannya, sarana prasarana yang dimiliki Puskesmas Kembaran
I sudah memenuhi syarat minimal dalam pelaksanaan penatalaksanaan darurat
neonatal ibu dan proses pelaksanaan rujukan.

2. Nama Jurnal : Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta


Judul : “Karakteristik Suami Yang Berhubungan Dengan Sikap
Dalam Menangani Kegawatdaruratan Maternal Dan
Neonatal”
Penulis : Eko Mindarsih
Vol 5 No 1 (2018)
Publis : Feb 6, 2018
Status kesehatan sebuah negara akan bergantung salah satunya pada Angka
Kematian Ibu (AKI). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten
Kulonprogo, AKI diketahui mencapai 136,98 per 100.000 Kelahiran Hidup
pada tahun 2016. Angka itu meningkat cukup signifikan dibanding 2015 yang
tercatat sebesar 38,22 per 100.000. Dalam data absolut, jumlah kematian ibu
sepanjang 2016 mencapai tujuh kasus, sedangkan tahun sebelumnya hanya
dua kasus. Hasil studi pendahuluan, pada Januari 2017, Dusun Gebang I,
terdiri dari 47 Kepala Keluarga, pada tahun 2016 telah meberikan konstribusi
kematian maternal dan neonatal. Sikap dalam menangani kasus
kegawatdaruratan maternal dan neonatal penting agar tidak terjadi
keterlambatan.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan karakteristik suami dengan
sikap dalam penanganan kegawatdaruratan maternal neonatal.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik korelasi. Uji statistik
menggunakan Spearman’s Rho, Pendekatan waktu yang digunakan adalah
cross sectional. Teknik sample menggunakan purposiv sampling. Karakteristik
responden mayoritas berpendidikan menengah, berumur >60 tahun dan
bekerja sebagai petani. Sikap suami dalam penanganan kegawatdaruratan
maternal neonatal dalam kategori positif. Analisis bivariat menggunakan
Spearman’s Rho, p value = 0,282 pada pendidikan, p value=0,161 pada umur
dan p value=0,002 pada pekerjaan.
Kesimpulan penelitian ini adalah tidak ada Hubungan karakteristik pendidikan
dan umur dengan Sikap dalam Penanganan Kegawatdaruratan Maternal
Neonatal. Ada Hubungan pekerjaan suami dengan Sikap dalam Penanganan
Kegawatdaruratan Maternal Neonatal.

3. Nama Jurnal : MIDWINERSLION : Jurnal Kesehatan STIKes Buleleng

Judul :“Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Tentang Deteksi Dini


Kegawatdaruratan Maternal Terhadap Motivasi Ibu Hamil
Dalam Melakukan Antenatal Care (Anc) Di Puskesmas
Kubutambahan 1”

Penulis : Desak Ketut Sugiartini

Vol 3 No 1 (2018)

Publis : 2020-04-09

Pendahuluan: Tingginya kematian ibu masih disebabkan yaitu perdarahan,


eklamsi dan infeksi serta. Kurangnya informasi dan deteksi dini mengenai
kegawatdarurat maternal sebagai pemicu timbulnya kegawatdaruratan, perlu
diadakannya penyuluhan mengenai deteksi dini dalam menghadapi
kegawatdaruratan maternal. 

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan kesehatan


tentang deteksi dini kegawatdaruratan maternal terhadap motivasi ibu hamil
dalam melakukan antenatal care.
Metode: Desain penelitian atau rancang bangun usulan penelitian ini adalah
pra experimen dengan one group pre test post test design, dengan uji paired T
test, sebanyak 20 orang ibu hamil. Hasil: Sebelum diberikan penyuluhan
hamil  memiliki motivasi  cukup 7 orang (35%) dan dengan kategori kurang
sebanyak 5 orang (25%), dan kategori sangat kurang 3 orang (15%) dan
setelah diberikan penyuluhan mengalami peningkatan menjadi sangat kuat
sebanyak 3 orang (15%) kuat 15 orang (75%), cukup 2 orang (10%).

Kesimpulan: Dari hasil analisa data di dapatkan nilai p value 0,000 (p < 0,05)
artinya ada pengaruh penyuluhan kesehatan tentang deteksi dini
kegawatdaruratan maternal terhadap motivasi ibu hamil dalam melakukan
Antenatal Care.

4. Nama Jurnal : Jakiyah : Jurnal Ilmiah Umum dan Kesehatan Aisyiyah

Judul : “Efektivitas Metode Video Tutorial Dengan Demonstrasi


Pembelajaran Mata Kuliah Kegawatdaruratan Maternal
Neonatal Dalam Melakukan Pertolongan Persalinan
Sungsang Di Masa Pandemic Covid 19”

Penulis : Elsa Noftalina

Vol. 5 No. 2 (2020)

Publis : Dec 30, 2020

Latar Belakang: Saat ini Indonesia bahkan dunia sedang mengalami pandemi
suatu virus yaitu Coronavirus Diseases 2019 (COVID19), segala kegiatan
didalam dan diluar ruangan di semua sektor sementara waktu ditunda demi
mengurangi penyebaran corona terutama pada bidang pendidikan. Metode
pembelajaran tatap muka diganti dengan virtual atau menggunakan video
tutorial.

Tujuan Penelitian: Mengetahui perbedaan efektivitas metode video tutorial


dengan demonstrasi pada pembelajaran mata kuliah kegawatdaruratan
maternal neonatal dalam melakukan pertolongan persalinan sungsang di masa
pandemi Covid 19 di kampus Politeknik ‘Aisyiyah Pontianak Tahun 2020.

Rancangan Penelitian: Penelitian ini menggunakan true eksperimen dengan


pendekatan post test. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa tingkat 2
semester IV yaitu sebanyak 60 mahasiswa dengan pembagian 30 mahasiswa
yang mendapat perlakuan (metode video tutorial) dan 30 mahasiswa sebagai
kontrol (metode demonstrasi). Teknik pengambilan sampel yaitu dengan
menggunakaan total sampling. Analisis data dengan uji T independent
kemaknaan P-value (0,05).

Hasil analisis : Terdapat perbedaan hasil belajar (nilai/post test) yang


signifikan antara metode video tutorial dengan metode demonstrasi pada
pembelajaran mata kuliah kegawatdaruratan maternal neonatal dalam
melakukan pertolongan persalinan sungsang. Nilai rata-rata post test
responden dengan metode demonstrasi sebesar 84,45 dan nilai rata-rata post
test responden dengan metode video tutorial sebesar 51,09.

Kesimpulan: Terdapat perbedaan efektivitas yang signifikan antara metode


video tutorial dengan metode demonstrasi pada pembelajaran asuhan
kegawatdaruratan maternal neonatal pada pertolongan persalinan sungsang di
masa pandemi covid 19.

5. Nama Jurnal : Call For Paper Seminar Nasional Kebidanan

Judul : “Hambatan Rujukan pada Kasus Kegawatdaruratan Maternal”

Penulis : Luh Nik Armini

Vol 1, No 1 (2020)

Publis : 2020

Kematian maternal neonatal merupakan issue global baik di negara


berkembang maupun sedang berkembang. Indonesia sebagai negara
berkembang di Asia Tenggara masih memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) dan
Angka Kematian Bayi (AKB) yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara
ASEAN lain menurut Supas Tahun 2015.

Kehamilan dan persalinan merupakan hal yang fisiologis, tetapi sekitar 10-
15% berpotensi mengalami komplikasi. Sekitar  75% kematian ibu disebabkan
oleh perdarahan pasca salin, infeksi yang dialami selama pasca salin, tekanan
darah tinggi saat kehamilan (preeklampsia/eklampsia) dan partus lama/macet.
Kualitas pelayanan kesehatan yang siap dalam waktu 24 jam diperlukan guna
menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya. Tetapi dalam kenyataannya banyak
terjadi kendala, hambatan maupun keterlambatan dalam penanganan kasus
kegawatdaruratan obstetri sehingga kematian ibu dan bayi masih banyak.

Kasus kegawatdaruratan obstetri memerlukan penanganan segera di fasilitas


kesehatan yang memadai sehingga sering dilakukan rujukan. Metode yang
digunakan dalam penulisan artikel ini adalah literature review. Kriteria dari
artikel ini adalah fuultext yang diterbitkan dari Tahun 2010-2020.

Berdasarkan tujuh penelitian didapatkan bahwa hambatan rujukan pada


kegawatdaruratan maternal dikarenakan masalah pembiayaan, transportasi,
jarak, kurang komunikasi tenaga kesehatan, kurang pemahaman nakes
terhadap system rujukan. Tiga terlambat masih menjadi kunci utama tidak
efektifnya system rujukan. Tenaga kesehatan yang kompeten, ketersediaan
transportasi dan tertib administrasi kependudukan menjadi salah satu upaya
mengatasi kendala atau hambatan dalam system rujukan.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Istilah kegawatan dan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan yang serius, yang
harus mendapatkan pertolongan segera. Kegawatdaruratan dalam kebidanan adalah
kegawatan atau kegawatdaruratan yang terjadi pada wanita hamil, melahirkan atau
nifas (Maryunani A, 2016).
2. Menurut Sackett et al. (2000), Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu
pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk
kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian, dalam praktek, EBM
memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah
terkini yang paling dapat dipercaya.
3. Dengan pelaksanaan praktik asuhan kebidanan kegawatdaruratan yang berdasarkan
evidence based tersebut tentu saja bermanfaat membantu mengurangi angka
kematian ibu hamil dan risiko-risiko yang di alami selama persalinan bagi ibu dan
bayi serta bermanfaat juga untuk memperbaiki keadaan kesehatan masyarakat.

B. Saran
Terkait dengan kesimpulan, kami penulis menyarankan beberapa hal untuk

diperhatikan seperti berikut ini :

1. Kami mengharapkan pembaca dapat mengerti dan memahami tentang

Kegawatdaruratan.

2. Kami mengharapkan pembaca dapat mengerti dan memahami tentang Evidence

Based.

3. Kami mengharapkan pembaca dapat mengerti dan memahami tentang

Hubungan Antara Kegawatdaruratan dengan Evidence Based.

DAFTAR PUSTAKA

Dikutip dari: http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/08/Asuhan-


Kegawatdaruratan-Maternal-Neonatal-Komprehensif.pdf
Dikutipdari:http://wawasankoe.blogspot.com/2019/09/pengertian-evidence-based-
midwifery.html
Dikutip dari: http://journal.polita.ac.id/index.php/jakiyah/article/view/47
Dikutip dari: http://jurnal.unw.ac.id:1254/index.php/semnasbidan/article/view/643

Dikutip dari: http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/Keperawatan/article/view/738

Dikutip dari: http://ejournal.stikesbuleleng.ac.id/index.php/Midwinerslion/article/view/150

Dikutip dari: http://journal.polita.ac.id/index.php/jakiyah/article/view/47

Anda mungkin juga menyukai