Anda di halaman 1dari 17

KONSEP-KONSEP DALAM BERPIKIR KRITIS

(Aksioma, Postulata, Presumsi, dan Asumsi)

MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu Keislaman
Pengampu : Dr. H. Ahmad Ismail, M.Ag.

Oleh :
Tri Rahayu (1903018041)

PROGRAM MAGISTER
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020
A. Pendahuluan
Berpikir merupakan suatu aktivitas yang tidak bisa dielakkan
manusia dalam kehidupannya. Sepanjang waktu manusia selalu
berpikir tentang sesuatu. Berpikir tentang dirinya sendiri maupun
berpikir di luar dirinya serta berpikir tentang mikrokosmos atau
makrokosmos. Dengan demikian, berpikir merupakan suatu
keniscayaan bagi manusia.
Manusia selalu dituntut untuk menggunakan akalnya untuk
memikirkan ciptaan-Nya dan akan terjebak dalam kegelapan dan
kesesatan bilamana ia tidak mau bertadhabur, tidak mau berpikir,
karena berpikir ialah sebuah aktivitas rohani untuk meraih
pengetahuan.1 Meskipun manusia berpikir sepanjang perjalanan
bersama matahari sejak pagi hingga petang belumlah pasti ia
berpikir secara kritis dan mendalam sampai memahami hakikat
sesuatu yang dipikirkan. Hakikat sesuatu tidak dapat diketahui atau
dimengerti dengan berpikir tanpa pola atau berpikir asal-asalan,
melainkan harus berpikir secara kritis dan mendalam.
Berpikir kritis merupakan aktifitas menuju dunia filsafat.
Filsafat dapat membantu memberikan pemahaman yang mendalam
dan metode yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan yang

1
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Obor
Indonesia, 1995), hlm. 1-4.

1
tepat melalui empat cara, yakni kebijaksanaan, emosi, pemikiran
kreatif dan kritis, serta etika.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka
makalah ini akan fokus membahas konsep-konsep dalam berpikir
kritis yang meliputi aksioma, postulata, presumsi, dan asumsi.

B. Konsep-Konsep dalam Berpikir Kritis


Berpikir kritis (critical thinking) adalah proses disiplin
intelektual aktif dan kemahiran dalam mengkonsep, menerapkan,
mensintesa, dan mengevaluasi informasi dari hasil pengumpulan
atau ditimbulkan dari pengamatan, pengalaman, perenungan,
penalaran atau komunikasi sebagai petunjuk yang dapat dipercaya
dan dalam bertindak.2
Maksud dari berpikir kritis adalah untuk mencari kesimpulan
yang benar dengan pemecahan masalah, menjawab keraguan, dan
mampu membedakan antara doktrin dengan kebijakan. Bisakah
kita melakukannya? Mengertikah kita kapan kita berhenti dan
kapan kita berpikir? Serta, apa yang harus dilakukan?
Penulis mengutip pendapat beberapa ahli filsafat tentang
berpikir kritis. Menurut Deweys berpikir adalah suatu kegiatan

2
Ivone J. 2010. Intelectual skills, reasoning and clinical
reasoning.http://repository.maranatha.edu/1652/1/Critical%20thinking,%
20intelectual%20skills,%20reasoning,%20and%20critic.pd.

2
yang aktif, tepat, dan hati-hati dalam mempercayai sesuatu atau
informasi yang datang dari luar sehingga tidak salah dalam
merefleksikan pemikiran tersebut ketika membuat suatu
3
kesimpulan. Selanjutnya, Menurut Deweys (1938, dalam Akshir,
2007) refleksi pemikiran akan membedakan suatu tindakan dalam
mencari dan menemukan materi untuk menjawab keraguan,
kebingungan, dan kesulitan mental dalam berpikir.4
Menurut Ennis berpikir kritis merupakan alasan untuk
merefleksikan pemikiran yang terpusat pada apa yang dipercaya
dan apa yang dilakukan.5 Facione menjelaskan berpikir kritis
berhubungan dengan perkembangan dan evaluasi dari seseorang
ketika berargumentasi.6 Selanjutnya, Lipman menjelaskan,
berargumen adalah bagian dari berpikir, dan dilengkapi dengan
tanggung jawab yang tinggi ketika menyatakan sesuatu, karena (1)
apa yang disampaikan merupakan realita, (2) merupakan koreksi

3
Dewey J, Democracy and Education, (New York: The Free
Press A Division of Macmillan Publish Co, Inc, 1944), hlm. 207.
4
Akhsir MAK, Critical Thinking a Family Resemblance in
Conceptions, 2007, Journal of Education and Human Development Vol. 1
No. 2, hlm 11-23.
5
Ennis, R.H. A Logical Basis for Measuring Critical Thinking
Skills, (New York: tp, 1985), Educational Leadership, hlm. 44-48.
6
Facione PA, Toward a Theory of Critical Thinking, (Itaca
Illinois: FE Peacock Publisher, Inc, 1984), Liberal Education, hlm. 253.

3
dari diri sendiri, dan (3) pernyataan tersebut sesuai dengan apa
yang dibicarakan.7
Siegel menambahkan, untuk meningkatkan kemampuan
berpikir, seorang pemikir kritis harus mempunyai semangat
berpikir kritis, yang bisa dilihat dari kemampuan alami dan
perasaan untuk berpikir kritis.8 Penjelasan singkat Paul tentang
berpikir adalah berpikirlah tentang pemikiranmu karena ketika
kamu berpikir akan membuat pemikiranmu menjadi lebih baik.9
Konsep McPecks tentang berpikir kritis berbeda dengan
Ennis dan Paul, dia menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan
skill yang tidak bisa digeneralkan, karena berpikir kritis tidak bisa
diisolasi secara lengkap. Esensi dari berpikir kritis adalah perasaan
dan skill untuk meningkatkan kemampuan dalam beraktifitas yang
cenderung membuat seseorang untuk menjadi skeptis. McPecks
menganggap tidak mungkin ada penyelesaian ketika berpikir
tentang sesuatu karena akan selalu ada permasalahan yang muncul
dan bisa dipertanyakan.10

7
Lipman M, Critical Thinking-What Can it Be?, 1988,
Educational Leadership, hlm. 38.
8
Siegel H, The Generalizability of Critical Thinking, 1991,
Educational Philosophy and Theory Vol. 23 No. 1, hlm. 19.
9
Paul R, Critical Thinking: How to Preapare Students for A
Rapidly Changing World, (California: Foundational for Critical Thinking,
1995), hlm. 25.
10
McPecks J, Teaching Critical Thinking, (Great Britain:
Routledge, 1990), hlm. 16-18.

4
Menurut Burton et.al dalam berpikir seseorang harus
menjalani; pertama, proses yang mampu meningkatkan keraguan
dalam pemikiran, dan kedua mengetahui kesulitan dalam keraguan
tersebut. Ketiga menguji keraguan tersebut dengan memberikan
fakta, merancang hipotesis dan mencari fakta-fakta baru dengan
melakukan observasi, keempat mengkritisi fakta tersebut,
kemudian menginterpretasikannya, dan kelima membuat
kesimpulan berdasarkan teori, temuan dan realita yang ada.11
Berkaitan dengan lima proses sebagaimana dikemukakan
oleh Burton, setidaknya ada empat konsep yang perlu dipahami
dalam berpikir kritis, di antaranya yaitu aksioma, postulata,
presumsi, dan asumsi.
1. Aksioma
Aksioma merupakan pernyataan yang dapat diterima
tanpa pembuktian karena telah terlihat kebenarannya.12
Aksioma dalam Bahasa Inggris: axion, sedangkan dalam
Bahasa Yunani: axioma yang memiliki arti pantas atau layak.
Aksioma adalah pendapat yang dijadikan pedoman dasar dan
merupakan dalil pemula, sehingga kebenarannya tidak perlu
dibuktikan lagi. Aksioma yaitu suatu pernyataan yang diterima

11
Burton HW, Kimbal RB& Wing RL, Education for Effective
Thinking, (New York: Aappleton Century Crofts, Inc), 1960.
12
https://www.wordpress.com/2011/04/27/definisi-dan-
karakteristik-ilmu-2/amp/, diakses pada Kamis, 23 April 2020.

5
sebagai kebenaran dan bersifat umum, tanpa memerlukan
pembuktian. Dengan kata lain, aksioma yitu kebenaran yang
dapat diterima oleh semua orang.
Beberapa pengertian lain tentang aksioma yakni
a. Suatu pernyataan dasar yang tidak dapat disimpulkan dari
pernyataan-pernyataan lain. Aksioma merupakan titik awal
dari mana pernyataaan-pernyataan lain dapat disimpulkan.
Aksioma-aksioma dapat dibuktikan dengan cara yang sama
sebagaimana pernyataan-pernyataan yang disimpulkan dari
aksioma-aksioma. Buktinya dikaitkan sejauh mana hal-hal
itu dapat digunakan untuk membangun suatu sistem yang
koheren dan inklusif.
b. Pernyataan dalam teori ilmu pengetahuan yang dibangun
sedemikian sehingga pernyataan itu diambil sebagai titik
mulai dan tidak usah dibuktikan dalam teori yang
bersangkutan. Dari aksioma itu pernyataan-pernyataan lain
dalam teori itu ditarik sesuai dengan aturan-aturan yang
pasti.13

13
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996),
hlm. 34.

6
2. Postulata
Postulata berasal dari Bahasa Latin postulatum dan
postulare yang artinya meminta dan menuntut.14 Istilah postulat
biasanya digunakan untuk menunjukkan proposisi yang
merupakan titik tolak pencarian yang bukan definisi atau
pengandaian sementara.
Postulata merupakan cara pandang yang/dan tidak perlu
lagi diverifikasi secara empiris. Cara pandang itu bisa ditolak
atau diterima tidak berdasarkan fakta empiris sebab pernyataan
yang disimpulkan ditarik dari pendekatan tertentu. Pendekatan
tersebut biasa terkait dengan ideologi atau falsafah sehingga
ditolak atau diterimanya sebuah postulat harus dilihat dari sudut
pendekatan yang digunakan, jadi tidak melalui pengujian secara
empiris. Postulat merupakan pernyataan yang “dianggap benar”
dan diperlukan untuk menyusun kerangka berpikir. Postulat
yaitu anggapan dasar yang begitu saja diterima.15 Diterima atas
dasar kepercayaan.
Postulat memiliki pengertian yang sama dengan aksioma;
yakni kebenaran-kebenaran dasar yang tidak membutuhkan
bukti lagi. Dalam filsafat, postulat berarti dalil yang dianggap

14
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996),
hlm. 73.
15
Maman Rachman, dkk, Filsafat Ilmu, (Semarang: UPT MKU
Unnes, 2006), hlm. 145-150.

7
benar, meskipun kebenarannya tidak dapat dibuktikan.
Misalnya dalil tentang adanya Tuhan dalam filsafat Kant.
Menurut Kant, dalil tentang adanya Tuhan merupakan postulat
yang perlu supaya hidup manusia berlaku secara susila.
Demikian pula dengan ilmu, dalam mengemukakan
konklusinya, ilmu selalu bersandar kepada postulat-postulat
tertentu atau kebenaran-kebenaran apriori yang telah diterima
sebelumnya secara mutlak. Adapun postulat ilmu pengetahuan
adalah sebagai berikut; pertama, dunia itu ada dan manusia
dapat mengetahui bahwa dunia itu ada. Kedua, dunia empiris itu
dapat diketahui oleh manusia melalui panca indera. Ketiga,
fenomena-fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan
satu sama lain secara kausal. Keempat, percaya akan
keseluruhan homogenitas alam. Alam merupakan satu
keseluruhan yang homogen. Alam tidak terbagi-bagi dalam
realm yang berbeda-beda yang bertentangan dengan hukum
alam. Kelima, percaya akan keseragaman hukum alam. Keenam,
percaya akan nilai-nilai perorangan (individual). Demikianlah
postulat yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan.16
Dari pernyataan-pernyaatn tersebut dapat disimpulkan
bahwa, Postulat merupakan pernyataan yang kebenarannya

16
Ilyas Supena, Paradigma Unity of Sciences IAIN Walisongo
dalam Tinjauan Filsafat Ilmu, (Semarang: LP2M IAIN Walisongo, 2014),
hlm. 56.

8
tidak perlu diuji sebab sudah diterima oleh umum. Contohnya
matahari terbenam di Barat.17
3. Presumsi
Presumsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
penguraian, pengandaian.18 Presumsi merupakan suatu
pernyataan yang disokong oleh bukti atau percobaan-percobaan,
meskipun tidak dianggap sebagai benar walaupun
19
kemungkinannya tinggi bahwa pernyataan itu benar. Presumsi
muncul dari kesepakatan yang ada terhadap suatu pernyataan.
4. Asumsi
Asumsi (atau anggapan dasar) ialah anggapan yang
menjadi titik tolak penelitian. Asumsi secara implisit
terkandung dalam paradigma, perspektif, dan kerangka teori
yang digunakan dalam penelitian. Asumsi umumnya diterima
begitu saja sebagai suatu yang benar dengan sendirinya. Asumsi
bisa berasal dari postulat, yaitu kebenaran (dalil-dalil) a priori
yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Michael Polanyi
menyebut asumsi-asumsi itu sebagai ‘dimensi yang tidak
terungkap atau tersembunyi dalam ilmu pengetahuan’.

17
http://www.informasiahli.com/2015/07/pengertian-asumsi-
dalam-penelitian.html# , diakses pada Kamis, 23 April 2020.
18
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), hlm. 102.
19
https://www.wordpress.com/2011/04/27/definisi-dan-
karakteristik-ilmu-2/amp/, diakses pada Kamis, 23 April 2020.

9
Misalnya, dalam empirisme terkandung asumsi bahwa alam ini
ada, fenomena alam seragam dan sama di mana saja, alam dapat
diketahui melalui pengamatan dan rasio atau metode empiris-
eksperimental, fenomena alam ditentukan oleh hukum-hukum
alam (determanistik) dan seterusnya.20
Asumsi yakni pernyataan yang harus diverifikasikan
kebenarannya apakah materi yang dikandung pernyataan itu
sesuai dengan kenyataan atau tidak. Dalam asumsi kita harus
menilai, apakah pernyataan itu ‘benar’ atau ‘tidak benar’, dilihat
dari realitas empiris. Setiap pernyataan yang bersifat asumtif
haruslah berdasarkan penelitian mengenai dunia empiris.
Asumsi merupakan anggapan yang mengacu kepada realitas.21
Asumsi yaitu pernyataan yang dapat diuji kebenarannya secara
empiris berdasarkan pada penemuan, pengamatan dan
percobaan dalam penelitian yang dilakukan sebelumnya.
Asumsi merupakan kesepakatan terhadap diterimanya
suatu pernyataan. Asumsi muncul meminta disepakati untuk
dicarikan kebenaran, setelah terbukti kebenarannya, maka
munculla hipotesis dari pernyataan yang telah diuji. Baru

20
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik hingga
Kontemporer, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 77.
21
Maman Rachman, dkk., Filsafat Ilmu, (Semarang: UPT MKU
Unnes, 2006), hlm. 146-150.

10
setelah itu bisa dinyatakan untuk disepakati bersama apakah
suatu pernyataan tersebut terbukti benar atau tidak benar.
Selain postulat, ilmu juga bersandar pada asumsi-asumsi
tertentu sebelum melakukan penyelidikan ilmiah. Asumsi ialah
anggapan yang sudah dianggap benar, yang tidak diragukan
lagi, terutama oleh ilmuan itu sendiri. Asumsi merupakan
anggapan yang menjadi dasar dan titik tolak segala kegiatan
yang dihadapi oleh ilmuan. Ada dua kemungkinan yang
dilakukan ilmuan dalam mengambil anggapan atau asumsi
dasarnya; pertama, asumsi tersebut diambil dari postulat, yaitu
kebenaran-kebenaran apriori atau dalil yang dianggap benar
walaupun kebenarannya tidak dapat dibuktikan. Kedua,
mengambil dari teori yang dikemukakan pemikir terdahulu
yang kebenarannya tidak disangsikan lagi oleh masyarakat,
terutama oleh ilmuan itu sendiri.
Untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah, ilmu membuat
beberapa asumsi mengenai objek-objek empiris yang berfungs
memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan. Sebuah
pengetahuan baru dianggap benar selama asumsi yang
dikemukakannya bisa diterima. Semua teori keilmuan

11
mempunyai asumsi-asumsi, baik yang dinyatakan secara
tersurat (eksplisit) maupun tersirat (implisit).22
Untuk mendapatkan pengetahuan, ilmu membuat
beberapa asusmsi mengenai obyek-obyek empiris. Asumsi ini
perlu, sebab pernyataan asumtif inilah yang memberi arah dan
landasan bagi kegiatan penelaahan kita. Sebuah pengetahuan
baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang
dikemukakannya.23
Menurut Jujun, secara lebih terperinci ilmu mempunyai
tiga asumsi mengenai obyek empiris. Asumsi-asumsi yang
mendasari ilmu pengetahuan sebagai berikut; pertama, objek-
objek tertentu memiliki keserupaan satu sama lain, umpamanya
dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan
asumsi ini, orang dapat mengelompokkan beberapa objek yang
serupa ke dalam suatu golongan. Klasifikasi merupakan
pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek-objek yang
ditelaahnya dan taxonomi merupakan cabang keilmuan yang
pertama kali berkembang. Asumsi kedua adalah anggapan
bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka

22
Ilyas Supena, Paradigma Unity of Sciences IAIN Walisongo
dalam Tinjauan Filsafat Ilmu, (Semarang: LP2M IAIN Walisongo, 2014),
hlm. 57-59.
23
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Obor
Indonesia, 1995), hlm. 6.

12
waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari
tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Asumsi
ketiga adalah determinisme yang menyatakan bahwa setiap
gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan,
tetapi mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan
urutan-urutan kejadian yang sama.24
C. Penutup
Dalam filsafat ilmu diperlukan beberapa konsep yang bisa
digunakan untuk berpikir secara kritis. Di dalam makalah ini
dibahas mengenai beberapa konsep yang bisa digunakan. Dari
beberapa konsep tersebut bisa dilakukan sedemikian rupa sehingga
suatu studi bisa dilaksanakan secara sistematis. Konsep-konsep
yang dibahas yaitu mengenai aksioma, postulata, presumsi, dan
asumsi.
Aksioma merupakan pernyataan yang dapat diterima tanpa
pembuktian karena telah terlihat kebenarannya. Kebenaran yang
dapat diterima oleh semua orang. Postulat merupakan pernyataan
yang “dianggap benar” dan diperlukan untuk menyusun kerangka
berpikir. Postulat yaitu anggapan dasar yang begitu saja diterima.
Postulat memiliki pengertian yang sama dengan aksioma; yakni
kebenaran-kebenaran dasar yang tidak membutuhkan bukti lagi.

24
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Obor
Indonesia, 1995), hlm. 7-8.

13
Kebenaran yang diterima atas dasar kepercayaan. Presumsi
merupakan suatu pernyataan yang disokong oleh bukti atau
percobaan-percobaan, meskipun tidak dianggap sebagai benar
walaupun kemungkinannya tinggi bahwa pernyataan itu benar.
Kebenaran yang diterima sesuai kesepakatan. Asumsi yakni
pernyataan yang harus diverifikasikan kebenarannya apakah materi
yang dikandung pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak.
Dalam asumsi kita harus menilai, apakah pernyataan itu ‘benar’
atau ‘tidak benar’, dilihat dari realitas empiris dan dari hipotesis
yang ada.

14
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.

H, Siegel, The Generalizability of Critical Thinking, 1991,


Educational Philosophy and Theory Vol. 23 No. 1.

HW, Burton, Kimbal RB& Wing RL, Education for


Effective Thinking, New York: Aappleton Century
Crofts, Inc, 1960.

J, Dewey, Democracy and Education, New York: The Free


Press A Division of Macmillan Publish Co, Inc, 1944.

J, Ivone, Intelectual skills, reasoning and clinical


reasoning.http://repository.maranatha.edu/1652/1/Criti
cal%20thinking,%20intelectual%20skills,%20reasonin
g,%20and%20critic.pd., 2010.

J, McPecks, Teaching Critical Thinking, Great Britain:


Routledge, 1990.

Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu: Klasik hingga


Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

MAK, Akhsir, Critical Thinking a Family Resemblance in


Conceptions, 2007, Journal of Education and Human
Development Vol. 1 No. 2.

15
PA, Facione, Toward a Theory of Critical Thinking, Itaca
Illinois: FE Peacock Publisher, Inc, 1984, Liberal
Education, hlm. 2531 Lipman M, Critical Thinking-
What Can it Be?, 1988, Educational Leadership.

R, Paul, Critical Thinking: How to Preapare Students for A


Rapidly Changing World, California: Foundational for
Critical Thinking, 1995.

R.H., Ennis, A Logical Basis for Measuring Critical Thinking


Skills, New York: tp, 1985, Educational Leadership.

Rachman, Maman dkk, Filsafat Ilmu, Semarang: UPT MKU


Unnes, 2006.

Supena, Ilyas, Paradigma Unity of Sciences IAIN Walisongo


dalam Tinjauan Filsafat Ilmu, Semarang: LP2M IAIN
Walisongo, 2014.

Suriasumantri, Jujun S, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Obor


Indonesia, 1995.

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:


Balai Pustaka, 2002.

https://www.wordpress.com/2011/04/27/definisi-dan-
karakteristik-ilmu-2/amp/, diakses pada Kamis, 23 April
2020.

http://www.informasiahli.com/2015/07/pengertian-asumsi-
dalam-penelitian.html# , diakses pada Kamis, 23 April 2020.

16

Anda mungkin juga menyukai