Anda di halaman 1dari 2

Tahap Pertama Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan: Tetapkan Indikator

Oleh: Erich Richardo dan Hanevi Djasri

Pengukuran merupakan konsep sentral dalam peningkatan mutu. Dengan pengukuran akan
tergambarkan apa yang sebenarnya sedang dilakukan sarana pelayanan kesehatan dan
membandingkannya dengan target sesungguhnya atau harapan tertentu dengan tujuan untuk
mengidentifikasi kesempatan untuk adanya peningkatan mutu (Shaw, 2003).

Mengukur mutu pelayanan kesehatan baik di tingkat primer seperti Puskesmas dan tingkat lanjut seperti
rumah sakit memerlukan indikator mutu yang jelas. Namun menyusun indikator yang tepat tidaklah
mudah. Kita perlu mempelajari pengalaman berbagai institusi yang telah berhasil menyusun indikator
mutu pelayanan kesehatan yang kemudian dapat digunakan secara efektif mengukur mutu dan
meningkatkan mutu.

Salah satu pengalaman tersebut dapat dipelajari dari program Performance Assessment Tool for Quality
Improvement in Hospital (PATH) dengan langkah-langkah sebagai berikut (WHO, 2006):

Menyusun model konseptual: identifikasi dimensi dan sub-dimensi dan bagaimana hubungan antaranya
satu sama lain

Melakukan penapisan awal indikator kinerja yang ada dan critical review

Menetapkan indikator komplementer untuk mengisi area-area yang belum ditunjang oleh indikator awal
berdasarkan literatur ilmiah

Melakukan pemilihan awal indikator berdasarkan expert opinion dan bukti-bukti awal

Melakukan penelitian yang ekstensif untuk mendapatkan literatur mengenai angka prevalensi, bukti
pendukung, reliabitas dan validitas, survey pada negara yang berpartisipasi

Melakukan pemilihan akhir berdasarkan pakar, berdasarkan informasi yang didapatkan pada langkah 5,
menggunakan nominal group tehnic (NGT)

Dalam pemilihan tersebut, WHO menggunakan kriteria-kriteria berikut ini (WHO, 2006):

Kriteria untuk indikator

tingkat kepentingan dan relevansi: indikator harus menggambarkan aspek-aspek yang bermanfaat bagi
penggunanya dan relevan dengan konteks kesehatan saat ini. Kepentingan tersebut dapat diperjelas
dengan adanya kebijakan nasional ataupun internasional (seperti WHO Health for All Framework).
Indikator klinis harus berfokus pada kejadian yang memiliki angka prevalensi tinggi (high prevalence
rate) dan memiliki beban berat (high burden).

berpotensi untuk dapat digunakan (dan disalahgunakan) dan hasilnya dapat ditindaklanjuti: rumah sakit
harus dapat menindaklanjuti permasalahan yang muncul dari indikator yang ada. Dengan demikian,
rumah sakit harus memiliki tanggung jawab, kontrol substansial, dan kemampuan untuk
mengimplementasikan strategi untuk peningkatan kinerja.

Kriteria untuk alat ukur

reliabilitas: Indikator diharapkan memiliki spesifikasi yang detail dan jelas untuk numerator dan
denominatornya. Pengumpulan data yang seragam mudah dipahami dan mudah untuk
diimplementasikan. Reliabilitas meningkat ketika pengukuran yang dilakukan hanya sesedikit mungkin
bergantung pada penilaian subyektif. Ini juga termasuk konsep konsistensi internal, stabilitas test/test
ulang, dan kesepahaman antar pengukuran.

face validity (juga dikenal sebagai akseptabilitas): terdapat kesepakatan di antara pengguna dan pakar
bahwa pengukuran ini berhubungan dengan dimensi (atau subdimensi) yang akan dijangkau.

content validity: model teoritis mendukung bahwa pengukuran ini berhubungan dengan subdimensi
kinerja yang akan dijangkau dan pengukuran ini menjangkau seluruh domain dan tidak hanya sebagian
aspek spesifik saja.

contruct validity: bukti empiris menunjukkan bahwa pengukuran ini berhubungan dengan pengukuran
kinerja yang lainnya

beban untuk pengumpulan data: ini termasuk juga pertimbangan ketersediaan data, biaya, ketepatan
waktu sehingga didapatkan data yang berkualitas, dan derajat kemudahan untuk pengumpulan data.
Indikator (misalnya kejadian sentinel) tidak harus dieksklusi hanya karena data yang dibutuhkan tidak
akurat atau sering hilang. Justru adanya pengukuran ini dapat dipergunakan sebagai kesempatan untuk
mengidentifikasi dan menangg

Anda mungkin juga menyukai