Anda di halaman 1dari 171

BAB I

TATA GUNA LAHAN


1.1 Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief,
hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang
selanjutnya semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan,
termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia, baik masa lampau
maupun sekarang (FAO, 1976) dalam Arsyad (1989:207). Lahan
mengandung pengertian ruang atau tempat maka lahan mengandung
makna yang lebih luas dari tanah atau topografi.
Marbut (1968) dalam Su Ritohardoyo (2009:9) mengemukakan
batasan arti lahan yang diartikan sebagai gabungan dari unsur-unsur
permukaan dan dekat dengan permukaan bumi yang penting bagi
manusia. Dari definisi di atas lahan merupakan sumber daya alam yang
sangat penting bagi kehidupan manusia, lahan sangat penting mengingat
kebutuhan penduduk baik untuk melangsungkan hidupnya maupun
kegiatan kehidupan sosio-ekonomi dan sosio-budayanya. Lahan
digunakan manusia sebagai tempat aktivitasnya, sehingga manusia
selalu mengolah lahan yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

[1]
Peta Batas Admistrasi Nusa Tenggara Barat

[2]
1.2 Penggunaan Lahan
Menurut UU Nomor 41 tahun 2009 penggunaan lahan adalah
bentuk penutupan permukaan lahan atau pemanfaatan lahan baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.
Menurut para ahli :
1. Menurut Malingreau (1978 : 6) penggunaan lahan adalah segala
bentuk campur tangan atau kegiatan manusia baik secara siklis
maupun permanen terhadap suatu kumpulan sumber daya alam dan
sumber daya buatan yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan
tujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan baik materiil
maupun spiritual ataupun kedua-duanya. Penggunaan lahan
merupakan interaksi antara manusia dengan lahan. Manusia
merupakan faktor yang mempengaruhi atau yang melakukan
kegiatan terhadap lahan dalam usaha memenuhi kebutuhan
hidupnya, sedangkan lahan merupakan faktor yang dipengaruhi
sebagai tempat tinggal maupun sebagai tempat untuk mencari
nafkah.
2. Sitanala Arsyad (1989 : 207) mengartikan penggunaan lahan
sebagai setiap bentuk campur tangan menusia terhadap lahan
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun
spiritual. Penggunaan lahan merupakan hasil interaksi antara dua
faktor, yaitu faktor manusia dan faktor alam. Manusia merupakan
faktor yang mempengaruhi atau melakukan kegiatan terhadap
lahan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan
lahan pada hakekatnya 17 merupakan perwujudan keseluruhan
kehidupan penduduk dalam ruang
3. (Bintarto, 1983 : 12). Penggunaan lahan sekarang ini merupakan
pertanda adanya dinamika eksploitasi oleh manusia (baik
perorangan atau masyarakat) terhadap sekumpulan sumber daya
alam. Penggunaan lahan timbul sebagai akibat adanya kebutuhan
dari aktivitas hidup manusia. Aktivitas manusia ini berupa tempat
tinggal, mata pencaharian, transportasi dan lain-lain. Contohnya
daerah perkotaaan biasanya banyak dibuat permukiman,
perkantoran, dan industri. Berbeda dengan daerah pedesaan yang
biasanya digunakan sebagai lahan pertanian, perkebunan, dan
peternakan. Penggunaan lahan digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan pemilik lahan tersebut. Penduduk akan merubah
penggunaan lahan yang dimilikinya agar dapat menghasilkan
keuntungan yang lebih besar.

[3]
1.2.1 Klasifikasi Penggunaan Lahan
Klasifikasi adalah proses penetapan objek-objek, kenampakan atau
satuan-satuan menjadi kumpulan-kumpulan, di dalam suatu sistem
pengelompokan yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat khusus, atau
berdasarkan kandungan isinya (Su Ritohardoyo, 2009 : 23).
Klasifikasi penggunaan lahan sangat penting dilakukan di dalam
studi maupun inventarisasi penggunaan lahan. Kuantitas dan kualitas
penggunaan lahan ditunjukkan oleh tipe atau jenis penggunaanlahan.
Macam-macam sistem klasifikasi penggunaan lahan dari beberapa ahli
adalah sebagai berikut :
1. Jerzy Kostrowicki (Sutanto, 1986 : 11) Mengemukakan lima
kelas dasar penggunaan lahan yang masingmasing masih dapat
dirinci. Lima kelas penggunaan lahan tersebut meliputi :
a) Lahan pertanian (Agricultural land) yang terbagi
menjadi cropland atau arable land, perennial crop,
grassland.
b) Lahan hutan (woodland).
c) Perairan (waters).
d) Permukiman (Settlements).
e) Lahan tidak produktif (Unproduktve land).
2. International Geography United (IGU) (Sutanto, 1986 : 11) IGU
membagi lahan menjadi 9 kelas penggunaan lahan, yaitu :
a) Permukikan dan lahan pertanian lainnya.
b) Lahan tidak produktif.
c) Lahan holtikultura.
d) Tumbuhan dan tanaman perennial lain.
e) Lahan pertanian (crop land).
f) Improved permanent pasture.
g) Improved grazing land.
h) Swamps and marshes.
i) Lahan hutan (woodland).
3. Malingreu (1997) Klasifikasi dalam penelitian ini terbagi
menjadi 5 penggunaan lahan yaitu :
a) Lahan permukiman
Lahan permukiman merupakan sebidang tanah yang
dibangun oleh penduduk untuk menjadi tempat tinggal,
sarana perkantoran, perdagangan dan olah raga. Lahan

[4]
permukiman sangat dibutuhkan oleh manusia untuk
berlindung dan melakukan segala aktivitas. Lahan
permukiman semakin bertambah karena permukiman
pada saat ini merupakan investasi yang meguntungkan,
sehingga banyak penduduk yang membangun
permukiman untuk investasi jangka panjang.
b) Lahan sawah
Lahan sawah merupakan sebidang tanah yang diolah
oleh manusia untuk ditanami berbagai macam tanaman
pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan hidupnya.
Lahan sawah terbagi menjadi dua sawah irigasi dan
sawah tadah hujan. Pada umumnya lahan sawah di
Indonesia ditanami dengan tanaman padi, tanaman padi
dipilih karena makanan pokok penduduk Indonesia
adalah nasi, sehingga penduduk di Indonesia menanam
padi di lahan sawah mereka.
c) Lahan kebun campuran
Lahan kebun campuran merupakan sebidang tanah yang
terletak di luar pekarangan, dan ditumbuhi oleh macam-
macam tanaman secara tercampur. Berbagai tanaman ini
dapat berupa tanaman musiman dan tanaman tahunan
seperti tanaman buah-buahan atau pohon-pohon yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti pohon jati.
d) Lahan tegalan
Jenis pertanian lahan kering tegal lazimnya terdapat di
daerah yang berpenduduk jarang, namun sekarang ini
terdapat pula di daerah yang berpenduduk padat.
Tanaman yang diusahakan adalah tanaman musiman
seperti kacang-kacangan dan umbi-umbian. Pada
umumnya lahan tegalan ini banyak dijumpai di daerah-
daerah yang mempunyai iklim agak kering.
e) Lahan semak belukar
Lahan semak belukar berupa lahan yang didiamkan dan
ditumbuhi tumbuhan yang tumbuh dengan sendirinya.
Lahan ini pada umumnya lahan yang tidak produktif,
berada di lereng yang curam atau lahan yang rusak
sehingga pengolahannya sulit. Lahan ini oleh penduduk
didiamkan saja sehingga ditumbuhi semak-semak atau
belukar

[5]
[6]
A. Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)
Standar Nasional Indonesia menggunakan terminology penutup lahan dalam mengelompokkan penggunaan
lahan, membedakan klas penggunaan lahan berdasarkan skala 1:1.000.000, 1:250.000 dan 1:50.000/25.000. Tabel 1
dan 2 di bawah ini mempresentasikan klasifikasi penutup lahan skala.

Tabel Klasifikasi PenutupLahan Skala 1:1.000.000

No Klas Penutup Lahan


1. Daerah Vegetasi
1.1 Daerah Pertanian
1.1.1 Sawah
1.1.2 Ladang, tegal atau huma
1.1.3 Perkebunan
1.2 Daerah Bukan Pertanian
1.2.1 Hutan lahan kering
1.2.2 Hutan lahan basah
1.2.3 Semak dan belukar
1.2.4 Padang rumput alang – alang dan sabana
1.2.5 Rumput rawa
2. Daerah Tak Bervegetasi
2.1 Lahan Terbuka

[6]
2.2 Pemukiman dan lahan bukan pertanian
2.2.1 Lahan terbangun
2.2.1.1 Permukiman
2.2.1.2 Jaringan Jalan (Jalan Arteri dan Jalan Kolektor)
2.2.1.3 Jaringan jalan kereta api
2.2.1.4 Bandar udara domestic / internasional
2.2.1.5 Pelabuhan Laut
2.2.2 Lahan tidak terbangun
2.3 Perairan
2.3.1 Danau atau waduk
2.3.2 Rawa
2.3.3 Sungai
2.3.4 Terumbu Karang

sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2010

[7]
Tabel Klasifikasi Penutup Lahan Skala 1:250.000

No Klas Penutup Lahan


1. Daerah Vegetasi
1.1 Daerah Pertanian
1.1.1 Sawah
1.1.2 Sawah pasang surut
1.1.3 Ladang
1.1.4 Perkebunan
1.1.5 Perkebunan Campuran
1.1.6 Tanaman Campuran
1.2 Daerah Bukan Pertanian
1.2.1 Hutan lahan kering
1.2.2 Hutan lahan basah
1.2.3 Semak dan belukar
1.2.4 Padang rumput alang – alang dan sabana
1.2.5 Rumput rawa
2. Daerah Tak Bervegetasi

[8]
2.1 Lahan Terbuka
2.1.1 Lahar dan Lava
2.1.2 Hamparan pasir pantai
2.1.3 Beting pantai
2.1.4 Gumuk pasir
2.2 Pemukiman dan lahan bukan pertanian
2.2.1 Lahan terbangun
2.2.1.1 Permukiman
2.2.1.2 Jaringan Jalan (Jalan Arteri, Jalan Kolektor dan Jalan Lokal)
2.2.1.3 Jaringan jalan kereta api
2.2.1.4 Bandar udara domestic / internasional
2.2.1.5 Pelabuhan Laut
2.2.2 Lahan tidak terbangun
2.2.2.1 Pertambangan
2.2.2.2 Tempat penimbunan sampah
2.3 Perairan
2.3.1 Danau atau waduk
2.3.2 Tambak
2.3.3 Rawa
2.3.4 Sungai
2.3.5 Terumbu Karang
2.3.6 Gosong pantai
Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2010

[9]
B. Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut National Landuse Database
Sistem klasifikasi penggunaan lahan National Landuse Database merupakan system penggunaan lahan yang
dirintis oleh Pemerintah Inggris. Sistem klasifikasi ini mengelompokkan penggunaan lahan atas 12 divisi utama dan 49
kelas. Table 3 di bawah ini memrepresentasikan system klasifikasi penggunaan lahan National Landuse Database.

Tabel Klasifikasi Penggunaan Lahan National Landuse Database


Divisi Kelas
1. Pertanian 1. Sawah/tanaman pangan
2. Lading
3. Tanah hijau
4. Kebun Hortikultura
5. Padang rumput
6. Batas lading
2. Daerah hutan 1. Hutan
2. Hutan campuran
3. Hutan berdaun lebar
4. Hutan kecil
5. Semak belukar
6. Hutan gundul
7. Lahan penghijauan
3. Padang rumput 1. Padang rumput
2. Semak

[10]
3. Pakis
4. Dataran tinggi
4. Air dan lahan basah 1. Laut/muara
2. Air terjun
3. Sungai
4. Rawa air tawar
5. Rawa air garam
6. Rawa
5. Batuan dan tanah pesisir 1. Batuan dasar
2. Batuan pantai dan tebing
3. Pasang surut pasir dan lumpur
4. Bukit pasir
6. Barang Tambang dan tempat 1. Tambang
pembuangan akhir 2. TPA
7. Rekreasi 1. Rekreasi di dalam ruangan
2. Rekreasi di luar ruangan
8. Transportasi 1. Jalan
2. Parkir mobil
3. Jalan kereta api
4. Bandara
5. Pelabuhan
9. Pemukiman 1. Permukiman

[11]
2. Lembaga kemasyarakatan
10. Bangunan umum 1. Bangunan institusi
2. Bangunan Pendidikan
3. Bangunan keagamaan
11. Industry dan komersial 1. Industry
2. Kantor
3. Gudang
4. Sarana/fasilitas
5. Bangunan pertanian
12. Lahan / Bangunan Kosong 1. Sebelu dikembangkan
kemudian kosong
2. Bangunan kosong
3. Bangunan terlantar
Sumber: National Landuse Database, 2006
C. Klasifikasi Penggunaan Lahan pada Perencanaan Tata Ruang

Dalam kaitannya dengan penataan ruang, berdasarkan fungsi utamanya, wilayah yang ada di permukaan
bumi terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Kawasan Lindung, adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan
hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan (UU Penataan Ruang NO.26/2007).
2. Kawasan Budidaya, adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi
dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan (UU Penataan Ruang No. 26/2007).
Tabel Klasifikasi Kawasan Lindung

[12]
Jenis Definisi
A. Kawasan Yang memberikan perlindungan bagi Kawasan bawahnya
1. Kawasan hutan berfungsi Kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mempunyai
lindung fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya, dan atau yang mampu
memberikan perlindungan kepada Kawasan sekitar maupun
bawahnya yaitu sebagai pengatur tata air, pencegah
banjir, dan erosi, serta memelihara kesuburan tanah.

2. Kawasan bergambut Kawasan yang unsur pembentuk tanahnya Sebagian


besar berupa sisa – sisa bahan organic yang tertimbun dalam
waktu lama.
3. Kawasan resapan air Kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk
meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian
air hujan sehingga merupakan tempat
pengisian air bumi yang berguna sebagai sumber air.
B. Kawasan Suaka Alam
1. Kawasan cagar alam/ cagar bahari Kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya
mempunyai kekhasan tumbuhan satwa dan ekosistemnya
atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan
perkembangannya berlangsung secara
alami.

[13]
2. Kawasan suaka margasatwa / suaka Kawasan suaka alam yang ditunjuk merupakan tempat hidup
perikanan dan perkembangbiakan dari suatu jenis satwa yang perlu
dilakukan upaya jenis satwa yang perlu dilakukan upaya
konservasinya, memiliki keanekaragaman dan populasi
satwa yang tinggi, da/atau merupakan tempat dan kehidupan
jenis satwa
migran tertentu.
3. Kawasan suaka alam laut dan Kawasan yang memiliki ekosystem khas di lautan maupun
perairan lainnya perairan lainnya, yang merupakan habitat alami yang
memberikan tempat maupun perlindungan bagi
perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa yang ada.
C. Kawasan Pelestarian
1. Taman Nasional/Taman Laut Kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan system
Nasional zonasi yang dimanfatkan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan, Pendidikan,
pariwisata dan rekreasi.
2. Taman hutan raya Kawasan pelestarian yang terutama dimanfaatkan untuk
tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa, alami atau buatan,
jenis asli dan/atau bukan asli, pengembangan ilmu
pengetahuan, pendidikan, dan
Latihan, budaya pariwisata dan rekreasi.
B.

[14]
3. Taman wisata alam/Taman Kawasan pelestarianalam di darat maupun di laut yang
Wisata Laut terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi
alam.
4. Kawasan cagar budaya dan ilmu Kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil
pengetahuan budaya manusia yang bernilai tinggi maupun bentukan
geologi alami yang khas.
D. Kawasan Rawan Bencana
1. Kawasan rawan bencana Kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami
gunung berapi bencana akibat letusan gunung berapi
2. Kawasan rawan gempa bumi Kawasan yang pernah terjadi dan diidentifikasikan
mempunyai potensi terancam bahaya gempa bumi baik
gempa bumi tektonik maupun vulkanik.
3. Kawasan rawan gerakan tanah Kawasan yang berdasarkan kondisi geologi dam geografi
dinyatakan rawan longsor atau Kawasan yang mengalami
kejadian longsor dengan frekuensi cukup
tinggi
4. Kawasan rawan banjir Kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi
tinggi terjadi banjir
E. Kawasan perlindungan setempat
1. Sempadan pantai Kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat
penting untuk mempertahankan kelestarian
fungsi pantai

[15]
2. Sempadan sungai Kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai
buatan/kanla/saluran irigasi primer yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian
fungsi sungai.
3. Kawasan sekitar waduk dan situ Kawasan tertentu di sekeliling waduk atau situ yang
mempunyai manfaat penting untuk memepertahankan
kelestarian fungsi waduk atau situ.
4. Kawasan sekitar mata air Kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfat
penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air.

5. Ruang terbuka hijau (RTH) RTH merupakan salah satu bentuk dari ruang terbuka, yang
termasuk di dalamnya hutan kota ditandai oleh keberadaan pepohonan sebagai pengisi lahan
yang utama, yang kemudian didukung pula oleh keberadaan
tanaman lain sebagai pelengkap (perdu, semak, rerumputan,
dan tumbuhan penutup
tanah lainnya).
F. Kawasan perlindungan lainnya
1. Taman buru Kawasan pelestarian alam di darat yang terutama
dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam, khusunya
perburuan satwa yang bersifat dapat dikembangbiakkan dan
tidak termasuk satwa yang
dilindungi
C.

[16]
2. Daerah perlindungan laut local Wilayah perairan laut di suatu desa/kecamatan yang
(DPL) disepakati Bersama oleh warga setempat untuk
ditetapkan sebagai DPL
3. Kawasan perlindungan plasma Kawasan di luar Kawasan suaka alam dan pelestarian
nuftah eks-situ alam yang diperuntukkan bagi pengembangan dan pelestarian
pemanfaatan plasma nuftah tertentu.
4. Kawasan pengungsian satwa Kawasan yang memiliki fungsi sebagai tempat
perlindungan satwa5
5. Kawasan pantai berhutan Kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan
bakau bakau yang berfungsi memberi perlindungan
kepda perikehidupan pantai dan lautan.
Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kemeterian Pekerjaan Umum, Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Lindung, 2007

Tabel Klasifikasi Kawasan Budidaya

Jenis Definisi
A. Kawasan Hutan Produksi
1. Kawasan hutan produksi Kawasan yang diperuntukkan bagi hutan produksi terbatas di
terbatas mana eksploitasinya hanya dapat dengan
tebang pilih tanam
2. Kawasan hutan produksi tetap Kawasan yang diperuntukkan bagi hutan produksi tetap
dimana eksploitasinya dapat dengan tebang pilih atau
tebang habis dan tanam

[17]
3. Kawasan hutan produksi Kawasan hutan yang bilaman diperlukan dapat
konversi dialihgunakan
4. Kawasan hutan rakyat Kawasan hutan yang dapat dibudidayakan oleh
masyarakat sekitarnya dengan mengikuti ketentuan
yang ditetapkan
B. Kawasan pertanian
1. Kawasan tanaman pangan Kawasan yang diperuntukkan bagi tanaman pangan
Lahan basah lahan basah dimana pengairannya dapat diperoleh secara
alamiah ataupun teknis
2. Kawasan tanaman pangan lahan Kawasan yang diperuntukkan bagi tanaman pangan
kering lahan kering untuk tanaman pangan lahan kering untuk
tanaman palawija, holtikultura, atau tanaman pangan
3. Kawasan tanaman tahunan Kawasan yang diperuntukkan bagi tanaman tahunan /
/ perkebunan perkebunan yang menghasikan baik bahan pangan dan bahan
baku industry.
4. Kawasan peternakan Kawasan yang secara teknis dapat digunakan untuk usaha
peternakan baik sebagai sambilan, cabang usaha, usaha
pokok maupun industry, serta sebagai
padang penggembalaan ternak.
5. Kawasan perikanan darat Kawasan yang diperuntukkan bagi perikanan, baik berupa
pertambakan/kolam maupun perairan darat
lainnya.

[18]
6. Kawasan perikanan ika Kawasan yang diperuntukkan untuk kegiatan perikanan air payau dan laut dalam bentuk
payau dan laut n budidaya maupun
penagkapan.
C. Kawasan Pertambangan
1. Kawasan pertambangan Kawasan yang diperuntukkan bagi pertambangan baik
wilayah yang sedang maupun yang akan segera dilakukan kegiatan pertambangan.

D. Kawasan budidaya lainnya


1. Kawasan perindustrian Kawasan yang diperuntukkan bagi industry, berupa
tempat pemusatan kegiatan industri
2. Kawasan pariwisata Kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata
3. Kawasan permukiman Kawasan yang secara teknis dapat digunakan untuk permukiman yang aman dari bahaya
bencana alam maupun buatan manusia, sehat dan mempunyai akses
untuk kesempatan berusaha

4. Kawasan pemerintahan Kawasan yang diperuntukkan sebagai pusat


pemerintahan.
Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, Pedoman Kriteria Teknis Kawasan
Budidaya, 2007

[19]
1.2.2 Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan merupakan perubahan yang dilakukan
oleh manusia dalam mengelola lahan, hal ini dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia itu sendiri. Perubahan penggunaan lahan terjadi
karena berbagai faktor, baik itu dari penduduk sendiri atau pembangunan
dari pemerintah. Perubahan penggunaan lahan yang dilakukan oleh
penduduk biasanya karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan penduduk
itu sendiri, seperti pembangunan rumah di lahan pertanian dan pembangunan
perkebunan atau tegalan di daerah hutan. Perubahan penggunaan yang
berasal dari pemerintah dilakukan karena untuk memenuhi sarana-prasarana
umum seperti taman kota, pembangunan gedung pemerintahan, dan sarana
prasarana umum. Perubahan lahan yang dilakukan pihak swasta merubah
penggunaan lahan untuk dijadikan pabrik, gudang, kawasan perdagangan,
perkebunan dan lain sebagainya.
Perubahan penggunaan lahan terjadi karena tuntutan ekonomi, yaitu
karena dalam penggunaan yang sebelumnya kurang menghasilkan
keuntungan yang besar, sehingga penduduk dan perusahaan swasta merubah
penggunaan lahannya ke penggunaan lahan yang hasilnya lebih
menguntungkan. Namun, terdapat perubahan penggunaan lahan yang tidak
disesuaikan dengan kemampuan lahan tersebut, akibatnya terjadi
penyimpangan antara penggunaan lahan dengan kemampuan lahan.

1.2.3 Faktor – Faktor Penggunaan Lahan


1. (Bourne,1982 dalam Yusuf Setiadi,2007) Ada 4 faktor utama yang
yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan yaitu :
a) Perluasan batas kota
b) Peremajaan pusat kota
c) Perluasan jaringan infrastruktur terutama jaringan
transportasi
d) Tumbuh dan hilangnya pemusatan aktivitas tertentu,
misalnya tumbuh aktivitas industri dan pembangunan
sarana rekreasi atau wisata
2. Menurut Cullingswoth (1997) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, perubahan
penggunaan yang cepat di perkotaan dipengaruhi oleh empat faktor,
yakni :
a) Adanya konsentrasi penduduk dengan segala aktivitasnya
b) Aksesibilitas terhadap pusat kegiatan dan pusat kota
c) Jaringan jalan dan sarana transportasi
[20]
d) Orbitasi, yakni jarak yang menghubungkan suatu wilayah
dengan pusat- pusat pelayanan yang lebih tinggi.
3. Menurut Chapin (1979) juga mengungkapkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan yaitu
topografi,penduduk,nilai lahan, aksesbilitas, sarana dan prasarana
serta daya dukung lingkungan.

1.3 Kesesuaian lahan


Menurut ( Soemarno, 2006: 6 ). Kesesuaian lahan merupakan
penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan
tertentu dalam bidang pertanian, kesesuaian lahan dikaitkan dengan
penggunaannya untuk usaha pertanian.
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk
suatu penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah dapat
berbeda – beda tergantung pada penggunaan lahan yang dikehendaki.
Klasifikasi kesesuaian lahan menyangkut mencocokan ( matching ) antara
kualitas lahan dengan persyaratan tumbuh penggunaan lahan yang diinginkan.

1.3.1 Kelas kesesuaian lahan


Kelas kesesuaian lahan merupakan pembagian yang lebih lanjut dari
ordo dan menggambarkan tingkat kesesuaian dari suatu ordo. Pada dasarnya
terdapat lima kelas kesesuaian lahan sebagai berikut ( Lutfi Rayes, 2007:
175-176 ):
Ordo merupakan keadaan kesesuaian lahan secara umum
1. Kelas S1 ( sangat sesuai/highly suitable )
Lahan tidak mempunyai pembatas yang berarti atau nyata terhadap
penggunaan secara berkelanjutan, atau hanya mempunyai pembatas
tidak berarti dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi serta
tidak menyebabkan kenaikan masukan yang diberikan pada
umumnya.
2. Kelas S2 ( cukup sesuai/moderately suitable )
Lahan pada kelas S2 ini mempunyai faktor pembatas agak berat untuk
mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas
akan mengurangi produktivitas dan keuntungan, serta meningkatkan
masukan yang diperlukan.
3. Kelas S3 ( sesuai marginal/marginally suitable )
Lahan mempunyai pembatas yang sangat berat untuk
mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas

[21]
akan mengurangai produktivitas dan keuntungan. Perlu peningkatan
masukan yang diperlukan.
4. Kelas N1 ( tidak sesuai saat ini/currently not suitable )
Lahan mempunyai faktor pembatas yang lebih berat, tapi masih
mungkin untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat
pengetahuan saat ini dengan biaya yang rasional. Faktor – faktor
pembatasnya begitu berat sehingga menghalangi keberhasilan
penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
5. Kelas N2 ( tidak sesuai selamanya )Lahan mempunyai pembatas yang
sangat berat, sehingga tidak mungkin digunakan sebagai suatu
penggunaan yang lestari

1.3.2 Kualitas Lahan


Kualitas lahan adalah sifat-sifat atau atribut yang bersifat kompleks dari
satu bidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance)
yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu.
Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi secara langsung di lapangan, tetapi
pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteistik lahan.
Sifat/attribute yang bersifat kompleks, karakteristik lahan yang mempunyai
pengaruh langsung terhadap persyaratan dasar dari penggunaan lahan, terdiri
dari :
1. Kualitas lahan ekologi
Kualitas lahan ekologi adalah kualitas lahan yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dan hewan. Misalnya ketersediaan air,
ketersediaan hara, ketersediaan oksigen, bahaya banjir, suhu, lama
musim tanam, dan lain – lain.
2. Kualitas lahan pengelolaan
Kualitas lahan pengelolaan adalah kualitas lahan yang mempengaruhi
pengelolaan usaha tani. Misalnya kemungkinan untuk mekanisasi
lokasi dalam hubungannya dengan pasar dan lain – lain.
3. Kualitas lahan konservasi
Kualitas lahan konservasi adalah kualitas lahan yang mempengaruhi
degradasi lahan. Misalnya bahaya erosi, salinitas, alkalinisasi,
pemadatan tanah, dan lain – lain.
4. Kualitas lahan perbaikan
Kualitas lahan perbaikan adalah kemungkinan untuk merubah kondisi.
Misalnya dapat diairi, tanggapan terhadap pemupukan dan lain – lain.

[22]
Kualitas lahan kemungkinan berperan positif atau negatif terhadap
penggunaan lahan tergantung dari sifat – sifatnya. Kualitas lahan yang
bersifat positif adalah yang bersifat menguntungkan bagi suatu penggunaan
lahan. Sebaliknya kualitas lahan yang bersifat negatif karena keberadaannya
akan merugikan (menjadi kendala) dalam penggunaan tertentu, sehingga
merupakan faktor pembatas atau penghambat.

[23]
[24]
Diagram luas panen dan prokdivitas menurut Kabupaten / Kota diProvinsi Nusa
Tenggara Barat (ha) tahun 2019

Sumber : Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2020

Diagram luas panen tanaman sayuran dan buah – buahan semusim menurut jenis
tanaman diProvinsi Nusa Tenggara Barat (ha) tahun 2017 - 2019

Sumber : Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2020

[26]
Diagram produksi tanaman sayuran dan buah – buahan semusim menurut jenis
tanaman diProvinsi Nusa Tenggara Barat (Ton) tahun 2016 – 2019

Sumber : Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun 2020

 Tipe Bawang Merah


Untuk memudahkan sistem penamaan dan pengelompokan melon,
para ahli Menurut Suriani (2011), klasifikasi membagi bawang merah
adalah sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Divisi: Spermatophyta;
Kelas: Monocotyledoneae; Ordo: Liliales; Famili: Liliaceae; Genus:
Allium, Spesies: Allium ascalonicum L. Menurut Suriani (2011),
Secara morfologi, bagian tanaman bawang merah dibedakan atas akar,
batang, daun, bunga, buah dan biji. Akar tanaman bawang merah
terdiri atas akar pokok (primary root) yang berfungsi sebagai tempat
tumbuh akar adventif (adventitious root) dan bulu akar yang berfungsi
untuk menopang berdirinya tanaman serta menyerap air dan zat-zat
hara dari dalam tanah. Akar dapat tumbuh hingga kedalaman 30 cm,
berwarna putih, dan jika diremas berbau menyengat seperti bau
bawang merah (Pitojo, 2003).
 Syarat Tumbuh Bawang Merah
Iklim

Bawang merah tidak tahan kekeringan karena sistem


perakaran yang pendek. Sementara itu kebutuhan air
terutama selama pertumbuhan dan pembentukan umbi cukup
banyak. Di lain pihak, bawang merah juga paling tidak tahan
terhadap air hujan, tempat-tempat yang selalu basah atau
becek. Sebaiknya bawang merah ditanam di musim kemarau
atau di akhir musim penghujan. Dengan demikian, bawang
merah selama hidupnya di musim kemarau akan lebih baik
apabila pengairannya baik (Wibowo, 2005). Daerah yang

[27]
paling baik untuk budidaya bawang merah adalah daerah
beriklim kering yang cerah dengan suhu udara panas.
Tempatnya yang terbuka, tidak berkabut dan angin yang
sepoi-sepoi. Daerah yang mendapat sinar matahari penuh
juga sangat diutamakan, dan lebih baik jika lama penyinaran
matahari lebih dari 12 jam. Perlu diingat, pada tempat-
tempat yang terlindung dapat menyebabkan pembentukan
umbinya kurang baik dan berukuran kecil (Wibowo, 2005).

Suhu dan ketinggian tempat

Dataran rendah sesuai untuk membudidayakan tanaman


bawang merah. Ketinggian tempat yang terbaik untuk
tanaman bawang merah adalah kurang dari 800 m di atas
permukaan laut (dpl). Namun sampai ketinggian 1.100 m
dpl, tanaman bawang merah masih dapat tumbuh.
Ketinggian tempat suatu daerah berkaitan erat dengan suhu
udara, semakin tinggi letak suatu daerah dari permukaan
laut, maka suhu semakin rendah (Pitojo, 2003). Tanaman
bawang merah menghendaki temperatur udara antara 25 - 32
oC. Pada suhu tersebut udara agak terasa panas, sedangkan
suhu rata-rata pertahun yang dikehendaki oleh tanaman
bawang merah adalah sekitar 30 oC. Selain itu, iklim yang
agak kering serta kondisi tempat yang terbuka sangat
membantu proses pertumbuhan tanaman dan proses
produksi. Pada suhu yang rendah, pembentukan umbi akan
terganggu atau umbi terbentuk tidak sempurna (Sumadi,
2003). Sinar matahari berperan cukup besar bagi kehidupan
tanaman bawang, terutama dalam proses fotosintesis.
Tanaman bawang merah menghendaki areal pertanaman
terbuka karena tanaman ini memerlukan penyinaran yang
cukup, minimal sekitar 70% intensitas cahaya matahari
(Rukmana, 2002).

Tanah

Tanaman bawang merah lebih baik pertumbuhannya pada


tanah yang gembur, subur, dan banyak mengandung bahan-
bahan organik. Tanah yang sesuai bagi pertumbuhan bawang

[28]
merah misalnya tanah lempung berdebu atau lempung
berpasir, yang terpenting keadaan air tanahnya tidak
menggenang. Pada lahan yang sering tergenang harus dibuat
saluran pembuangan air (drainase) yang baik. Derajat
kemasaman tanah (pH) antara 5,5 – 6,5 (Sartono, 2009).
 Tipe cabai
Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan yang
memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabai mengandung kapsaisin,
dihidrokapsaisin, vitamin (A, C), damar, zat warna kapsantin, karoten,
kapsarubin, zeasantin, kriptosantin, clan lutein. Selain itu juga
mengandung mineral, seperti zat besi, kalium, kalsium, fosfor, dan
niasin. Zat aktif kapsaisin berkhasiat sebagai stimulan, jika seseorang
mengonsumsi kapsaisin terlalu banyak akan mengakibatkan rasa
terbakar di mulut dan keluarnya airmata. Selain kapsaisin, cabai juga
mengandung kapsisidin, khasiatnya untuk memperlancar sekresi asam
lambung dan mencegah infeksi sistem pencernaan. Unsur lain di
dalam cabai adalah kapsikol yang dimanfaatkan untuk mengurangi
pegal-pegal, sakit gigi, sesak nafas, dan gatal-gatal.
 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Cabai Merah :
Menurut klasifikasi dalam tata nama (sistem tumbuhan) tanaman
cabaitermasuk kedalam :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Solanales Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annum L
Cabai termasuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan
merupakan tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah
ataupun di dataran tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung
vitamin A dan vitamin C serta mengandung minyak atsiri
capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan
kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu
dapur). Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa dipakai
untuk kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar
Harpenas, Asep & Dermawan (2010).

[29]
 Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Merah :

Iklim
Suhu berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, demikian
juga terhadap tanaman cabai. Suhu yang ideal untuk
budidaya cabai adalah 24-28°C. Pada suhu tertentu seperti
15°C dan lebih dari 32°C akan menghasilkan buah cabai
yang kurang baik. Pertumbuhan akan terhambat jika suhu
harian di areal budidaya terlalu dingin. Tjahjadi (2010)
mengatakan bahwa tanaman cabai dapat tumbuh pada
musim kemarau apabila dengan pengairan yang cukup dan
teratur. Iklim yang dikehendaki untuk pertumbuhannya
antara lain: a. Sinar Matahari adalah penyinaran secara
penuh bila penyinaran tidak penuh pertumbuhan tanaman
tidak akan normal. b. Curah Hujan adalah untuk tanaman
cabai tumbuh baik di musim kemarau tetapi juga
memerlukan pengairan yang cukup. Adapun curah hujan
yang dikehendaki yaitu 800-2000 mm/tahun. c. Suhu dan
Kelembaban adalah tinggi rendahnya suhu sangat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Adapun suhu yang
cocok untuk pertumbuhannya adalah siang hari 21°C-28°C,
malam hari 13°C-16°C, untuk kelembaban tanaman 80%. d.
Angin yang cocok untuk tanaman cabai adalah angin sepoi-
sepoi, angin berfungsi menyediakan gas CO2 yang
dibutuhkannya.

Ketinggian tempat
Ketinggian tempat untuk penanaman cabai adalah dibawah
1400 m dpl. Berarti tanaman cabai dapat ditanam pada
dataran rendah sampai dataran tinggi (1400 m dpl). Di
daerah dataran tinggi tanaman cabai dapat tumbuh, tetapi
tidak mampu berproduksi secara maksimal

[30]
Tanah
Cabai sangat sesuai ditanam pada tanah yang datar. Dapat
juga ditanam pada lereng-lereng gunung atau bukit. Tetapi
kelerengan lahan tanah untuk cabai adalah antara 0-
100.Tanaman cabai juga dapat tumbuhdan beradaptasi
dengan baik pada berbagai jenis tanah, mulai dari tanah
berpasir hingga tanah liat (Harpenas, Asep & Dermawan,
2010). Pertumbuhan tanaman cabai akan optimum jika
ditanam pada tanah dengan pH 6-7. Tanah yang gembur,
subur, dan banyak mengandung humus (bahan organik)
sangat disukai, (Sunaryono dan Rismunandar, 2007).
Sedangkan menurut Tjahjadi (2010) tanaman cabai dapat
tumbuh disegala macam tanah, akan tetapi tanah yang
cocok adalah tanah yang mengandung unsur-unsur pokok
yaitu unsur N dan K, tanaman cabai tidak suka dengan air
yang menggenang. Cabai merah besar memiliki sifat
mudah rusak, sifat mudah rusak ini dipengaruhi oleh kadar
air dalam cabai yang sangat tinggi sekitar 90% dari
kandungan cabai merah itu sendiri. Kandungan air yang
sangat tinggi ini dapat menjadi penyebab kerusakan cabai
pada musim panen raya. Hal ini dikarenakan hasil panen
yang melimpah sedangkan proses pengeringan tidak dapat
berlangsung serentak, sehingga menyebabkan kadar air
dalam cabai masih dalam keadaan besar, sehingga
menyebabkan pembusukan (Setiadi, 2005).

[31]
[32]
[33]
BAB II
KETAHANAN PANGAN

2.1 Ketahanan pangan


Menurut UU No. 18/2012 tentang Pangan. Ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan".

Menurut FAO (1997) situasi dimana semua rumah tangga mempunyai


akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh
anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami
kehilangan kedua akses tersebut.

Menurut FIVIMS (2005) kondisi ketika semua orang pada segala waktu
secara fisik, social dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup,
aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan
seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.

Menurut Mercy Corps (2007) keadaan ketika semua orang pada setiap
saat mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap kecukupan
pangan, aman dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk
hidup produktif dan sehat.

Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa


ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :

1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu


2. Dimensi watu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses
3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu,
baik fisik, ekonomi dan sosial
4. Berorientasi pada pemenuhan gizi
5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif

[32]
2.2 Sistem Ketahanan Pangan
2.2.1 Konsep Sistem Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan
pangan dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti
banyak diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan
yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin
bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep
ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan
pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia.

Konsep ketahanan pangan mulai mengalami pekembangan dari 1970-an


hingga dipertegas lagi mengenai pengertian ketahanan pangan pada World
Food Summit yang dilaksanakan tahun 1996 menyatakan bahwa ketahanan
pangan tercapai bila semua orang secara terus-menerus, baik secara fisik,
sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup,
bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan
makanan untuk hidup secara aktif dan sehat (DKP, 2009).

Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah


tangga yang tercermin dari:

1. tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya;


2. aman;
3. merata;
4. terjangkau

Sumber (Departemen Pertanian, 2001).

Konsep ketahanan pangan semakin dipertegas dengan kebijakan


pembangunan global yaitu Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan
utama pembangunan MDGs yaitu mengurangi proporsi penduduk yang
hidup kemiskinan dan kelaparan sampai setengahnya pada tahun 2015.
Indonesia menjadi salah satu negara yang berkomitmen untuk
mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan
nasional. Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mencapai target
MDGs. Upaya yang dilakukan oleh Indonesia antara lain adalah dengan
melaksanakan pembangunan ketahanan pangan sebagai salah satu program
utama pembangunan nasional.

[33]
Sumber : Kerangka
Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi (RAN PG 2006-2011)

2.2.2 Elemen Sistem Ketahanan Pangan


Elemen sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu
ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi
merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan
penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh.
Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum
dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun
pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses
individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka
ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.

[34]
Secara rinci penjelasan mengenai sub sistem tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Sub sistem ketersediaan (food availability) : yaitu


ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan
bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang
berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan
maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus
mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai
jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang
aktif dan sehat

[35]
2. Akses pangan (food access) : yaitu kemampuan semua
rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang
dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk
kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi
pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan
pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari
akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung
pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik
menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana
distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang
preferensi pangan.

[36]
3. Penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan
pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi
kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan.
Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada
pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan
ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta
penyuluhan gisi dan pemeliharaan balita. (Riely et.al ,
1999).

4. Stabiltas (stability) merupakan dimensi waktu dari

[37]
ketahanan pangan yang terbagi dalam kerawanan pangan
kronis (chronic food insecurity) dan kerawanan pangan
sementara (transitory food insecurity). Kerawanan pangan
kronis adalah ketidak mampuan untuk memperoleh
kebutuhan pangan setpa saat, sedangkan kerawanan
pangan sementara adalah kerawanan pangan yang terjadi
secara sementara yang diakibatkan karena masalah
kekeringan banjir, bencana, maupun konflik sosial.
(Maxwell and Frankenberger 1992).
5. Status gizi (Nutritional status ) adalah outcome ketahanan
pangan yang merupakan cerminan dari kualitas hidup
seseorang. Umumnya satus gizi ini diukur dengan angka
harapan hidup, tingkat gizi balita dan kematian bayi.

2.3 Faktor – Faktor Ketahanan Pangan

Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, setidaknya ada faktor hal


penting dan berpengaruh yang ketersediaan ketahanan pangan antara lain
sebagai berikut :

1. Luas lahan
Makin banyak dan luas lahan untuk pertanian pangan maka
ketahanan pangan negara tersebut semaki baik. Maraknya
pembangunan untuk industri dan pemukiman membuat lahan
pertanian semakin menyusut dan ini menjadi pertanda serius dan
ancaman bagi NKRI. Pertambahan penduduk dan penyebaran
yang tidak merata menyebabkan lahan pertanian semakin
menyempit oleh dorongan aktivitas manusia.
2. Cuaca dan iklim
Pertanian lahan basah sangat bergantung pada kondisi jatuhnya
musim. Jika terjadi kemarau panjang maka biasanya terjadi
paceklik atau gagal panen. Nelayan di pantai juga sangat
bergantung pada kondisi perairan disekitarnya. Jika ada badai
maka mereka tidak melaut. Selain itu kadangkala terjadi anomali
cuaca yang menyebabkan perubahan pola tanam.
3. Teknologi

[38]
Kemajuan teknologi sangat mempengaruhi produktivitas
pertanian. Di negara maju, panen sudah menggunak mesin
otomatis sehingga hemat biaya dan waktu. Selain itu pengolahan
berbagai macam produk juga memerlukan teknologi yang
canggih.
4. Infrastruktur
Baik tidaknya suatu infrastruktur akan sangat mempengaruhi
stabilitas ketahanan pangan. Infrastruktur menjadi tanggung
jawab pemerintah untuk menyediakannya, dan menjadi tanggung
jawab rakyat untuk menjaga dan memeliharanya agar terjadi
simbiosis mutualisme demi tercapainya kemajuan di suatu
bangsa, yang bagian kecilnya adalah tercapainya ketahanan
pangan.
5. Kondisi ekonomi, politik, sosial dan keamanan
Ketahanan pangan dapat tercipta apabila aspek penting dalam
suatu negara terpenuhi. Aspek ini ada empat poin yakni kondisi
ekonomi, politik, sosial, dan keamanan. Sebab, apabila dari
keempat aspek tersebut tidak dapat berjalan dengan baik maka
dampaknya dapat meluas ke segi lainnya yang merugikan
masyarakat termasuk ketahanan pangan.
6. Degradasi lahan
Diperkirakan 40% dari lahan pertanian di dunia terdegradasi
secara serius. Pertanian intensif mendorong terjadinya penurunan
kesuburan tanah dan penurunan hasil.
7. Hama dan penyakit
Penyakita dan hama dapat mempengaruhi sebuah produksi
budidaya pertenakand dan tanaman sehingga dapat berdampak
bagi ketersediaan suatu bahan pangan. Contoh penyakit tanaman
Ug99, salah satu tipe penyakit karat batang pada gandum dapat
menyebabkan kehilangan hasil pertanian hingga 100%.
8. Kritis air global
Tingginya muka air tanah terus menurun di berbagai negara
dikarenakan pemompaan yang berlebihan. Diberbagai negara di
dunia telah melakukan importasi gandum yang disebabkan oleh
terjadinya defisit air, negara-negara besar sudah mengalaminya
seperti China dan India.
9. Perebutan lahan
Kepemilikan lahan lintas batas negara semakin meningkat.
Perusahaan Korea Utara Daewoo Logistics telah mengamankan
satu bidang lahan yang luas di Madagascar untuk mebudidayakan
jagung dan tanaman pertanian lainnya untuk produksi biofuel.
10. Perubahan iklim

[39]
Fenomena cuaca yang ekstrim seperti kekeringan dan banjir
diperkirakan akan meningkat karena perubahan iklim terjadi.
Kejadian ini akan memiliki dampak di sektor pertanian.
Diperkirakan pada tahun 2040, hampir seluruh kawasan sungai
Nil akan menjadi padang pasir di mana aktivitas budidaya tidak
dimungkinkan karena keterbatasan air.

2.4 Strategi Ketahanan Pangan

Lima strategi utama yang dilakukan untuk mewujudkan arah kebijakan


pemantapan ketahanan pangan yaitu :

1. Memprioritaskan pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan


pedesaan dengan tujuan meningkatkan kapasitas produksi pangan
domestik dan menyediakan lapangan kerja, dan meningkatkan
pendapatan masyarakat.
2. Pemenuhan pangan bagi kelompok masyarakat diutamakan bagi
masyarakat miskin kronis dan transien akibat bencana alam, sosial,
dan ekonomi melalui distribusi bantuan pangan.
3. Pemberdayaan masyarakat yang bertujuan agar masayarkat mampu
memanfaatkan pangan beragam, bergizi seimbang dan aman berbasis
sumber daya lokal.
4. Promosi dan edukasi kepada masyarakat untuk memanfaatkan pangan
yang beragam, bergizi seimbang, dan aman yang berbasis sumber
daya lokal.
5. Penanganan keamanan dan mutu pangan segar.

Untuk mencapai sasaran strategis berbagai langkah operasional dilakukan


oleh Badan Ketahanan Pangan sebagai program aksi, langkah operasional
yang dilakukan antara lain :
1. Pemantapan ketersediaan dan penanganan rawan pangan melalui
penyusunan serta analisis Neraca Bahan Makanan (NBM) dan peta
ketahanan dan kerentanan pangan (Peta FSVA), implementasi sistem
kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG), dan intervensi dan mitigasi
penanganan rawan pangan
2. Pemberdayaan kawasan mandiri pangan
3. Kajian responsif dan antisipatif
4. Pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan

[40]
5. Peningkatan kesejahteraan petani kecil, melalui pemberdayaan petani
kecil dan gender, pengembangan rantai nilai tanaman perkebunan,
pengembangan pemasaran dan produksi pertanian
6. Peningkatan kemampuan kelembagaan distribusi dan cadangan
pangan serta stabilitas harga pangan, melalui penguatan lembaga
distribusi pangan masyarakat (LDPM), pemberdayaan lumbung
pangan masyarakat (LPM), pengembangan usaha pangan masyarakat
(PUPM)/Toko Tani Indonesia (TTI)
7. Pemantauan pasokan harga pangan menghadapi hari besar keagamaan
nasional (HBKN)
8. Pemantauan pasokan, harga, distribusi, dan cadangan pangan serta
tindak lanjut gejolak harga pangan
9. Kajian responsi dan antisipatif distribusi pangan
10. Peningkatan penganekaragaman konsumsi pangan dan keamanan
pangan melalui pemberdayaan pekarangan pangan, analisa pola
konsumsi dan kebutuhan konsumsi pangan, pengembangan usaha
pengolahan pangan lokal UMKM dan rumah tangga, dan pengawasan
keamanan dan mutu pangan.
Moderanisasi pertanian juga perlu dilakukan dengan lebih mendekatkan
pada peningkatan efisiensi dan produktivitas lahan pertanian, penggunaan
benih unggul, alat dan mesin pertanian, serta pengendalian hama terpadu,
pasca panen, dan pengolahan panen. Selain itu, pengembangan jaringan dan
sistem informasi antar instansi atau lembaga yang terkait dengan sektor
pertanian dapat menjadi upaya dalam memantapkan pembangunan ketahanan
pangan dan juga membangun pola kemitraan bisnis pangan yang berkeadilan.
Pembangunan ketahanan pangan dapat menjadi berdaya saing tinggi dengan
melakukan pengembangan prasarana dan sarana jalan pertanian agar aktivitas
kegiatan pertanian lebih dinamis. Dalam jangka panjang, konsolidasi lahan
agar lahan pertanian dapat dikelola lebih efisien dan efektif, meningkatkan
aktivitas ekonomi dan pedesaan, dan perluasan pemilikan lahan pertanian oleh
petani dapat menjadi upaya dalam pengembangan ketahanan pangan yang
efektif dan efisien.

[41]
2.5 Kebijakan Ketahanan Pangan

Searah dengan undang-undang pangan yang berlaku, arah kebijakan


pangan yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian
dengan memperhatikan kondisi ketahanan pangan masyarakat selama lima
tahun terkahir yaitu pemantapan ketahanan pangan. Pemantapan ketahanan
pangan ini meliputi aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan dan
pemanfaatan pangan. Kebijakan ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan
pangan difokuskan pada peningkatan ketersediaan pangan yang
beranekaragam berbasis potensi sumber daya lokal, peningkatan penanganan
kerawanan pangan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan kelaparan.
Dalam aspek keterjangkauan pangan difokuskan pada stabilisasi pasokan dan
harga pangan serta pengelolaan cadangan pangan. Selain itu, fokus dari aspek
pemanfaatan pangan dalam kebijakan ketahanan pangan adalah percepatan

[42]
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya dan kearifan lokal
dan pengawasan mutu dan keamanan pangan segar.

[43]
BAB III
ANALISIS

3.1 METODOLOGI

Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan dapat digolongkan ke


dalam dua komponen: Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Kronis,
yang mencerminkan aspek ketersediaan pangan, akses terhadap pangan serta
pemanfaatan pangan (9 indikator). Kerentanan terhadap Kerawanan
Pangan Transien, dicerminkan melalui indikator kerentanan terhadap
bencana alam dan bencana lainnya (3 indikator).

3.2 INDIKATOR
Indikator yang digunakan dalam FSVA Provinsi terdiri dari 9 (sembilan)
indikator kronis dan tiga indikator transien. Data yang digunakan dalam
penyusunan FSVA Provinsi dapat disesuaikan dengan ketersediaan data dan
kesepakatan Tim FSVA Provinsi.

[44]
[45]
[46]
3.3 Penentuan Range Indikator
Penentuan jumlah range indikator individu menggunakan metode sebaran
empiris atau mengikuti pengelompokkan yang sudah ditetapkan aturan
nasional atau internasional yang berlaku. Penetapan range delapan indikator
Tabel Range
mengikuti Indikator
pola sebaran empiris. Satu indikator yaitu presentase balita
INDIKATOR RANGE
stunting mengikuti aturan World Health Organization (WHO). Klasifikasi
penentuan range indikator tercantum pada Tebel
1 . Rasio konsumsi normatif karbohidrat terhadap ≥ 1,50
ketersediaan pangan 1,25 - <1,50
1,00 - <1,25
0,75 - <1,00
0,50 - <0,75
< 0,50
II. Akses terhadap Pangan
2 . Persentase penduduk miskin ≥ 35
25 - < 35
20 - < 25
15 - < 20
10 - < 15
<10

[47]
2 . Persentase rumah tangga tanpa akses listrik ≥ 50 40
- < 50 30 -
< 40 20 -
< 30 10 -
< 20
< 10
III Pemanfaatan Pangan
3 . Rata-rata lama sekolah perempuan diatas 15 tahun <6
6 - < 6,5
6,5 - < 7,5
7,5 - < 8,5
8,5 - < 9
≥9
4 . Persentase rumah tangga tanpa akses air bersih ≥ 70
60 - <70
50 - <60
40 - <50
30 - <40
< 30
≥ 30
5 . Rasio jumlah Penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat
20 - < 30
kepadatan penduduk
15 - < 20
10 - < 15
5 - < 10
6 . Persentase balita dengan tinggi badan di bawah standar <5
(stunting) ≥ 40
30 - < 39
20 - < 29
< 20
7 . Angka Kesakitan >=17
14 - <17
12 - <14
10 - <12
7 - <10
>7

3.4 Analisis Komposit

[48]
Berdasarkan kesepakatan dalam Kelompok Kerja Teknis FSVA, pendekatan
metodologi yang diadopsi untuk analisis komposit adalah dengan
menggunakan metode pembobotan. Metode pembobotan digunakan untuk
menentukan tingkat kepentingan relatif indikator terhadap masing-masing
aspek ketahanan pangan. Metode pembobotan dalam penyusunan FSVA
mengacu pada metode yang dikembangkan oleh The Economist Intelligence
Unit (EIU) dalam penyusunan Global Food Security Index (EIU 2016 dan
2017) dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) dalam
penyusunan Gobal Hunger Index (IFPRI 2017). Goodridge (2007)
menyatakan jika variabel yang digunakan dalam perhitungan indeks berbeda,
maka perlu dilakukan secara tertimbang (pembobotan) untuk membentuk
indeks agregat yang disesuaikan dengan tujuannya.
Langkah-langkah perhitungan analisis komposit adalah sebagai berikut:
1. Standarisasi nilai indikator dengan menggunakan z-score dan distance to
scale (0 – 100)
2. Menghitung skor komposit kecamatan dengan cara menjumlahkan hasil
perkalian antara masing-masing nilai indikator yang sudah distandarisasi
dengan bobot indikator, dengan rumus:

𝟗
𝒀(𝒋) = ∑ 𝒂𝒊 𝑿𝒊𝒋 …………………………………………………………….
…………...… (1)
𝒊=𝟏
Dimana:
Yj : Skor komposit kecamatan ke-j
ai : Bobot masing-masing indikator ke-i
Xij : Nilai standarisasi masing-masing indikator ke-i pada kecamatan
ke-j i : Indikator ke 1, 2, …, 9
j : Kecamatan ke 1, 2, …dst

Besaran bobot masing-masing indikator berdasarkan rekomendasi para


ahli (expert judgement) yang berasal dari akademisi dan pemerintah (Tabel
3.1). Khusus untuk analisis wilayah kecamatan di perkotaan hanya
digunakan delapan (8) indikator dari aspek keterjangkauan dan
pemanfaatan pangan, mengingat ketersediaan pangan di tingkat perkotaan
tidak dipengaruhi oleh produksi yang berasal dari wilayah sendiri tetapi
berasal dari perdagangan antar wilayah. Oleh karena itu, pada perhitungan
komposit wilayah kecamatan di perkotaan indikator rasio konsumsi
normatif terhadap ketersediaan bersih tidak digunakan. Nilai bobot 0,30
[49]
dari indikator aspek ketersediaan pangan kemudian dialihkan kepada 8
indikator lainnya secara proporsional berdasarkan masing-masing aspek.
Bobot untuk setiap indikator mencerminkan signifikansi atau pentingnya
indikator tersebut dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu
wilayah.

[50]
Tabel Bobot Indikator Individu

Bobot
No Kecamatan Kecamatan di Kabupaten di Kota

Indikator

Aspek Ketersediaan Pangan

1. Rasio kosumsi normatif terhadap 0,30 -


ketersediaan bersih per kapita per hari
Sub Total 0,30 -
Aspek Keterjangkauan Pangan
2. Persentase penduduk dibawah garis 0,15 0,20
kemiskinan
3. Persentase rumah tangga dengan proporsi 0,075 0,125
pengeluaran untuk pangan lebih dari 65%

[51]
terhadap total pengeluaran
4. Persentase rumah tangga tanpa akses 0,075 0,125
listrik
Sub Total 0,30 0,45
Aspek Pemanfaatan Pangan
5 Persentase rumah tangga tanpa akses ke air 0,15 0,18
bersih
6 Angka kesakitan 0,10 0,13
7 Rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 0,05 0,08
tahun
8 Rasio jumlah penduduk per tenaga 0,05 0,08
kesehatan terhadap tingkat kepadatan
penduduk
9 Prevalensi balita stunting 0,05 0,08
Sub Total 0,40 0,55

3. Mengelompokan kecamatan ke dalam 6 kelompok prioritas berdasarkan cut

[52]
4. off point komposit. Skor komposit yang dihasilkan pada masing-masing
wilayah dikelompokkan ke dalam 6 kelompok berdasarkan cut off point
komposit. Cut off point komposit merupakan hasil penjumlahan dari
masing- masing perkalian antara bobot indikator individu dengan cut off
point indikator individu hasil standarisasi z-score dan distance to scale (0-
100).

𝟗
𝑲(𝒋) = ∑ 𝒂𝒊 𝑪𝒊𝒋 …………………………………………………….
……………...……... (2)
𝒊=𝟏

Dimana:
Kj : cut off point komposit ke-j
ai : Bobot indikator ke-i

Cij : Nilai standarisasi cut off point indikator ke-i


komposit ke-j i....: indikator ke 1,2,3,… 9
j : komposit ke 1,2,3,….........6

FSVA komposit menggunakan 6 prioritas. Pengelompokan prioritas


komposit ketahanan pangan didasarkan pada sebaran nilai komposit
dari masing- masing provinsi. Nilai cut off point komposit FSVA
provinsi sebelumnya (2018/2019) dapat dijadikan dasar
pengelompokan nilai komposit di FSVA 2020. Prioritas 1
merupakan prioritas utama yang menggambarkan tingkat kerentanan
pangan wilayah yang paling tinggi (sangat rentan), sedangkan
prioritas 6 menunjukkan wilayah dengan tingkat ketahanan pangan
yang paling baik (sangat tahan). Dengan kata lain, wilayah prioritas
1 memiliki tingkat risiko kerawanan pangan yang lebih besar
dibandingkan wilayah lainnya sehingga memerlukan perhatian
segera. Meskipun demikian, wilayah yang berada pada prioritas 1
tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi rentan rawan
pangan, juga sebaliknya wilayah pada prioritas 6 tidak berarti semua
[53]
penduduknya tahan pangan.

3.5 Pemetaan
Peta-peta yang dihasilkan menggunakan pola warna seragam dalam gradasi warna
merah dan hijau. Gradasi merah menunjukkan variasi tingkat kerentanan terhadap
kerawanan pangan dan gradasi hijau menggambarkan variasi ketahanan pangan.
Warna yang semakin tua menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari ketahanan
atau kerentanan pangan. Prirotas 1 (sangat rentan) digambarkan oleh warna merah
tua, sedangkan prioritas 6 (sangat tahan) digambarkan dengan warna hijau tua.
Pemetaan dilakukan dengan menggunakan software QuantumGis.

3.6 Penghitungan Produksi Netto Pangan Serealia


A. Padi

 Kumpulkan data produksi padi untuk seluruh kecamatan pada satu


provinsi (P). Biasanya bersumber dari Angka Tetap (ATAP) dari BPS atau
Dinas Pertanian.
 Kurangi dengan data Benih (s), Pakan (f) dan Tercecer (w) untuk
mendapatkan data netto ketersediaan Padi (P net), nilai konversi untuk
benih, pakan, dan tercecer masing-masing adalah:

Perhitungan Susut Gabah: Benih (s)


= P x 0,90%
Pakan ternak (f) = P x 0,44%
Tercecer (w) = P x 4,92%

Faktor konversi untuk benih, pakan ternak dan tercecer diambil dari
Neraca Bahan Makanan (NBM) (BKP 2019).
 Untuk mendapat produksi netto beras (Rnet), kalikan data netto padi dengan
Faktor Konversi (c) di masing-masing kecamatan. Untuk seluruh
kecamatan menggunakan Faktor Konversi nasional adalah 0,6402 (atau
64,02%).

Maka, produksi netto beras dihitung sebagai berikut:

Rnet = c * Pnet
[54]
di mana:

Pnet = P – (s+f+w)

B. Jagung
 Ambil data produksi jagung untuk seluruh kecamatan pada satu provinsi
yang bersumber dari Angka Tetap (ATAP) dari BPS atau Dinas Pertanian.
Angka produksi dikalikan 87% untuk mendapatkan angka produksi siap
pakai/konsumsi (M).

Produksi Jagung (M) = Produksi x 87%

 Kurangi dengan data Benih (s), Pakan (f) dan Tercecer (w) untuk
mendapatkan data netto ketersediaan Jagung (M net), nilai konversi untuk
benih, pakan, dan tercecer masing-masing adalah:

Perhitungan susut:
Benih (s) = M x 0,9%
Pakan ternak (f) = M x 53,4%
Tercecer (w) = M x 7,16%

Faktor konversi untuk benih, pakan ternak dan tercecer diambil dari Neraca
NBM (BKP 2019).
Produksi Netto Jagung (Mnet) dihitung dengan cara sebagai berikut:

Mnet = M - (s+f+w)

C. Umbi-umbian
1. Ubi Kayu
 Ambil data produksi ubi kayu untuk seluruh kecamatan pada satu provinsi
(C). Biasanya bersumber dari Angka Tetap (ATAP) dari BPS atau Dinas
[55]

Perhitungan ubi kayu


Pertanian. Kurangi dengan data Pakan (f) dan Tercecer (w) untuk
mendapatkan data netto ketersediaan Ubi Kayu (C net), nilai konversi untuk
pakan, dan tercecer masing-masing adalah:

Faktor konversi untuk pakan ternak dan tercecer diambil dari NBM (BKP
2019).
Produksi Netto Ubi Kayu (Cnet) dihitung dengan cara sebagai berikut:

Cnet = C - (f+w)

2. Ubi Jalar
 Ambil data produksi ubi jalar untuk seluruh kecamatan pada satu provinsi
(SP). Biasanya bersumber dari Angka Tetap (ATAP) dari BPS atau Dinas
Pertanian.
 Kurangi dengan data Pakan (f) dan Tercecer (w) untuk mendapatkan data
netto ketersediaan ubi jalar (SPnet), nilai konversi untuk pakan, dan tercecer
masing-masing adalah:

Perhitungan ubi jalar

Pakan ternak (f)= SP x 2% Tercecer


(w)= SP x 6,03%

Faktor konversi untuk pakan ternak dan tercecer diambil dari NBM (BKP
2017).
Produksi Netto Ubi Jalar (SPnet) dihitung dengan cara sebagai berikut:

SPnet = SP - (f+w)

Untuk produksi bersih rata-rata ubi kayu dan ubi jalar (Tnet) agar setara
dengan beras, maka harus dikalikan dengan 1/3 (1 kg beras atau jagung
ekivalen dengan 3 kg ubi kayu dan ubi jalar dalam hal nilai kalori), dengan
perhitungan sebagai berikut:

Tnet = 1/3 * (Cnet + SPnet)


[56]
Maka, Produksi Netto Pangan Serealia (Padi, Jagung dan umbi- umbian)
atau Pfood:

Ptood = Rnet + Mnet + Tnet

3.7 Penghitungan Ketersediaan Pangan Serealia Per Kapita Per


Hari
Gunakan data total penduduk tahun tengah (tpop) kecamatan pada data produksi
pangan serealia. Ketersediaan pangan serealia per kapita per hari (F) dihitung
dengan cara sebagai berikut:

Pfood
F
= t pop *
365

Satuan untuk perhitungan ini adalah dalam Gram.


Perhitungan produksi pangan tingkat kecamatan dilakukan dengan
menggunakan data produksi untuk komoditas padi, jagung, ubi kayu dan ubi
jalar karena sumber energi utama dari asupan energi makanan berasal dari
serealia dan umbi- umbian. Pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan
bahwa hampir 50% dari kebutuhan total kalori berasal dari tanaman serealia.
Data rata-rata bersih dari komoditi padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar dihitung
dengan menggunakan faktor konversi baku. Sedangkan data total penduduk
menggunakan data tahun 2019.

3.8 Konsumsi Normatif


Rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan netto pangan serealia per kapita
per hari adalah merupakan petunjuk kecukupan pangan pada satu wilayah.
Konsumsi Normatif (Cnorm) didefinisikan sebagai jumlah pangan serealia yang
harus dikonsumsi oleh seseorang per hari untuk memperoleh kilo kalori energi
dari serealia. Pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan bahwa hampir
50% dari kebutuhan total kalori berasal dari serealia. Standar kebutuhan kalori
per hari per kapita adalah 2.150 Kkal, dan untuk mencapai 50% kebutuhan
kalori dari serealia dan umbi-umbian (menurut angka Pola Pangan Harapan),
[57]
maka seseorang harus mengkonsumsi kurang lebih 300 gram serealia per hari.
Oleh sebab itu dalam analisis ini, kita memakai 300 gram sebagai nilai
konsumsi normatif (konsumsi yang direkomendasikan).

Perlu dijelaskan bahwa dalam analisis ini dipilih penggunaan konsumsi


normatif daripada penggunaan konsumsi aktual sehari-hari; karena konsumsi
aktual (konsumsi sehari-hari) dipengaruhi oleh banyak hal di luar aspek
ketersediaan pangan itu sendiri (misalnya: daya beli, pasar dan infrastruktur
jalan, kemampuan penyerapan serealia, kebiasaan/budaya, dll).
3.9 Penghitungan Rasio Ketersediaan Pangan
Rasio Ketersediaan Pangan/Food consumption - availability ratio (IAV):

Cnorm
IAV =
F

dimana,Cnorm : Konsumsi Normatif (300 gram); dan F : Ketersediaan Pangan


Serealia.

Jika nilai ‘IAV’ lebih dari 1, maka daerah tersebut defisit pangan serealia, atau
kebutuhan konsumsi normatif tidak bisa dipenuhi dari produksi bersih serealia
(beras dan jagung) serta umbi-umbian yang tersedia di daerah tersebut. Dan
bila nilai ‘IAV’ kurang dari 1, maka menunjukkan kondisi surplus pangan
serealia di daerah tersebut.

[58]
[59]
BAB IV
LANGKAH ANALISIS

4.1 LANGKAH – LANGKAH ANALISIS

Buka file excel Data Latihan FSVA Banten 2018. File ini berisi data yang diperlukan untuk analisis, mulai dari data jumlah
penduduk sampai dengan angka stunting per kecamatan.

[59]
Buka folder Form Analisis FSVA Provinsi 2020 (Kec-Wilayah KAB) Vers.Hs2. Folder ini berisi 5 file excel, yaitu form 0-3 dan
template.

[60]
Kemudian pilih file 0. Form Validasi Data FSVA Kec 2020 (Wilayah KAB) ver.Hs2. Tampilan form 0 adalah sebagai berikut.
Terdapat 6 sheet pada form 0, yaitu Produksi Padi, Produksi Jagung, Produksi Ubi Kayu, Produksi Ubi Jalar, Indikator Akses
Pangan, dan Indikator Pemanfaatan.

[61]
Kemudian isi warna kuning pada masing-masing sheet dengan data latihan (wilayah kabupaten). Kolom warna hijau wajib diisi.

Pada sheet 1.1 Produksi Padi, isi kolom berwarna kuning dengan data-data produksi padi yang dimiliki dan bersumber dari
berbagai instansi (misal Dinas Pertanian/BPS). Kemudian isi kolom KESEPAKATAN (warna hijau) sesuai dengan data yang
disepakati akan digunakan. (Pada data Latihan, dapat diambil dari kolom Padi, kemudian copy-paste.)

[62]
Kemudian isi kolom Jumlah Penduduk. (Pada data Latihan, dapat diambil dari kolom Jumlah Penduduk, kemudian copy-paste.)

Pada sheet 1.2 Produksi Jagung, isi kolom berwarna kuning. Lalu isi kolom KESEPAKATAN (warna hijau) sesuai dengan data
yang disepakati akan digunakan. (Pada data Latihan, ambil dari kolom Jagung, kemudian copy-paste)

[63]
Pada sheet 1.3 Produksi Ubi Kayu, isi kolom berwarna kuning. Lalu isi kolom KESEPAKATAN (warna hijau) sesuai dengan data
yang disepakati akan digunakan. (Pada data Latihan, ambil dari kolom Ubi Kayu, kemudian copy- paste)

[64]
Pada sheet 1.4 Produksi Ubi Jalar, isi kolom berwarna kuning. Lalu isi kolom KESEPAKATAN (warna hijau) sesuai dengan
data yang disepakati akan digunakan. (Pada data Latihan, ambil dari kolom Ubi Jalar, kemudian copy- paste)

[65]
Pada sheet 2. Indikator Akses Pangan, isi kolom berwarna kuning. Lalu isi kolom KESEPAKATAN (warna hijau) sesuai dengan
data yang disepakati akan digunakan. (Pada data Latihan, ambil dari kolom 2. POVERTY untuk kolom J,

3. FOOD EXPENDITURE >65 untuk kolom Q, dan 4. NoELECTRIC untuk kolom X, kemudian copy-paste).

[66]
[67]
[68]
Pada sheet 3. Indikator Pemanfaatan, isi kolom berwarna kuning. Lalu isi kolom KESEPAKATAN (warna hijau) sesuai dengan
data yang disepakati akan digunakan. (Pada data Latihan, ambil dari kolom 5. NoWATER untuk kolom J dan 6. Morbidity untuk
kolom Q, kemudian copy-paste).

[69]
[70]
Kemudian isi kolom Jumlah Tenaga Kesehatan dan Density, secara otomatis hitungan rasio akan muncul pada kolom 7. RASIO
PDDK per TENKES per Density dan KESEPAKATAN (warna hijau).

[71]
(Pada data Latihan, ambil dari kolom Tenaga Kesehatan dan Density).

Kemudian isi kolom kuning pada bagian 8. FEMALE SCHOOL dan 9. STUNTING. Lalu isi kolom KESEPAKATAN (warna
hijau) masing-masing sesuai dengan data yang disepakati akan digunakan. (Pada data Latihan, ambil dari kolom 8. FEMALE
SCHOOL untuk kolom AG dan 9. STUNTING untuk kolom AM, kemudian copy-paste).

[72]
[73]
Input data pada form 0 telah selesai. Kemudian klik Save/Simpan dan buka form 1.

[74]
Pilih file 1. Form Hitung NCPR FSVA Kec 2020 (Wilayah KAB) ver.Hs2.

Form 1 ini akan otomatis menghitung karena terdapat link dengan form sebelumnya. Hitungan akan muncul dengan klik Enable
Content.

[75]
Terdapat 5 sheet pada form ini, yaitu Padi 2019, Jagung 2019, Ubi Kayu 2019, Ubi Jalar 2019, dan Ketersediaan Pangan. Pada
sheet Ketersediaan Pangan, hitungan NCPR yang akan digunakan adalah Rasio Konsumsi Normatif terhadap Produksi Bersih
(NCPR) ADJUST.

Kemudian klik Save dan buka form 2.


[76]
Pilih file 2. Form Analisis FSVA Kec 2020 (Wilayah KAB) ver.Hs2.

Form 2 ini juga akan otomatis menghitung karena terdapat link dengan form sebelumnya. Hitungan akan muncul dengan klik Enable
Content.

[77]
Pada form 2 terdapat 6 sheet sebagai berikut:
1. Data 2019 & Entry Bobot, berisi data (kecamatan) dan bobot indikator

Cut Off Individu & Komposit, berisi dasar perhitungan titik potong komposit
[78]
2. Komposit & Indek KP, berisi titik potong komposit (baseline 2018) yang menjadi dasar titik potong komposit FSVA 2020.

[79]
[80]
3. Perhitungan Individu, berisi hasil prioritas individu dan komposit 2018

4. Data Indikator & Komposit, berisi data indikator individu dan prioritas komposit 2018

[81]
[82]
Ringkasan Umum, berisi hasil ringkasan

Untuk melihat hasil ringkasan, arahkan kursor ke salah satu bagian pivot table, lalu klik Data > Refresh All > Yes.

[83]
[84]
Maka hasil yang akan muncul sebagai berikut:

Arahkan kursor di filter Prioritas Komposit pada bagian 1. Jumlah Kecamatan di Masing-masing Prioritas Komposit,
kemudian klik sehingga muncul pilihan seperti di bawah. Kemudian unchecklist tanda strip (-) > OK.

[85]
[86]
Hasil yang muncul sebagai berikut:

Hal ini juga dilakukan untuk bagian 2. Presentase Kecamatan di Masing- masing Prioritas Komposit dan bagian 3. Jumlah
Kecamatan per Prioritas Komposit di Masing-masing Kabupaten.

[87]
Kemudian di bagian 4. Rata-rata Nilai Indikator Individu di Prioritas Rentan (1-3), arahkan kursor pada PRIORITAS
KOMPOSIT (All), lalu klik sehingga muncul seperti gambar di bawah. Kemudian checklist prioritas rentan (pada contoh ini 2 dan
3) > OK.

[88]
[89]
Hasil yang muncul sebagai berikut:

Hal yang sama juga dilakukan pada bagian 5.


Kemudian di bagian 5. Rata-rata Nilai Indikator Individu di Prioritas Tahan (4-6), arahkan kursor pada PRIORITAS
KOMPOSIT (All), lalu klik sehingga muncul seperti gambar di bawah. Kemudian checklist prioritas tahan (4, 5, dan 6) > OK.

[90]
Bagi yang pertama kali menyusun (baseline), maka berhenti sampai form 2 kemudian klik Save/Simpan.

Sedangkan apabila akan menyusun update FSVA 2020 dan sudah pernah menyusun (baseline) sebelumnya, maka proses input
data dimulai dari form 0, form 1 dan form 2. Khusus form 2 hanya sampai pada sheet 3 (3. Komposit & Indek KP). Setelah itu
klik Save dan dilanjutkan membuka file form 3.

[91]
Pilih file 3. Form Compare Kec 2020 (Wil KAB) (Baseline 2018) ver.Hs2.

Form 3 memiliki 3 sheet, yaitu Perbandingan 2020 vs 2018, Ringkasan Umum


2020, dan Hasil 2020 (Baseline 2018). Pada sheet 1 (Perbandingan 2020 vs 2018), bagian yang perlu diisi adalah bagian BASELINE
yang berwarna kuning.
[92]
Isi warna yang bagian kuning dengan titik potong komposit (yang digunakan sebagai baseline). Kemudian prioritas komposit akan
muncul secara otomatis.

[93]
[94]
BAB V
PENGGUNAAN SOFTWARE QUANTUM GIS

5.1 PENGENALAN SOFTWARE QUANTUM-GIS


a. Sistem Informasi Geografi (SIG)

Ada 3 pandangan mengenai definisi SIG, yaitu menurut


pendekatan dengan sudut pandang kegunaan alat (tool box
approach), pendekatan database dan pendekatan proses.
Dari sudut pandang kegunaan alat, SIG dapat didefinisikan
sebagai seperangkat peralatan yang dipergunakan untuk
mengoleksi, menyimpan, membuka, mentransformasi dan
menampilkan data spasial dari sebuah kondisi geografis yang
sebenarnya (real world). Sedangkan dari sudut pandang
pendekatan database, SIG adalah sebuah sistim pangkalan
data (database) dimana sebagian besar data diindex secara
spatial/geografis dan dioperasikan dengan menggunakan
seperangkat prosedur yang ditujukan untuk menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan data spasial/geografi.
Menurut pandangan pendekatan proses SIG adalah
seperangkat fungsi dengan kemampuan yang canggih, yang
dapat digunakan oleh para profesional untuk menyimpan,
menampilkan, dan memanipulasi/ mengoreksi data
geografis/spasial. Ketiga definisi tersebut sepakat adanya
sebuah data yang mempunyai orientasi spasial/geografi.
Data Spasial adalah data representasi permukaan bumi baik

[95]
dalam bentuk bentuk titik, garis ataupun area yang
mempunyai referensi keruangan atau data yang memiliki
orientasi geografi. Orientasi geografi dicirikan dengan adanya
informasi koordinat.
Pembangunan Data SIG

Pembangunan data SIG dapat dibedakan menjadi 4 tahapan


besar, yaitu pengumpulan data dan input, pengelolaan
database, analisis untuk mencapai tujuan pembangunan data
SIG dan pelaporan.
SIG dapat dibangun dari berbagai jenis data, yaitu data peta
analog, peta dijital, data statistic, data survey lapangan, foto
udata ataupun satelit.

a. Peta analog (antara lain peta topografi, peta tanah, dsb.) Peta
analog adalah peta dalam bentuk cetakan/hard print. Pada
umumnya peta analog dibuat dengan teknik kartografi, sehingga
sudah mempunyai referensi spasial seperti koordinat, skala,
arah mata angin dsb. Peta analog dapat dikonversi menjadi peta
digital dapat dilakukan dengan proses digitasi atau scan.
Digitasi akan menghasilkan data vector sedangkan scan akan
menghasilkan data berupa raster. Teknik input dua format data
ini secara detil akan disampaikan pada bab selanjutnya.

b. Data dari penginderaan jauh/Remote Sensing (antara lain citra


satelit, foto-udara, dsb.). Data pengindraan jauh merupakan data
yang memegang peranan penting karena ketersediaannya secara
berkala/regular. Selain itu data pengindraan jauh mempunyai
berbagai tingkat ketelitian, dari ketelitian di bawah satu meter
hingga 1 km. Biasanya sebelum data penginderaan jauh
[96]
digunakan sebagi input SIG, data tersebut diolah terlebih dahulu
misalnya dirubah menjadi data penutupan lahan.
c. Data hasil pengukuran/observasi lapangan. Pada bidang
kehutanan/ konservasi keanekaragaman hayati, data ini
merupakan data yang penting. Untuk memperolah data
lapangan yang baik diperlukan usaha, waktu dan biaya yang
tidak sedikit. Biasanya data lapangan merupakan data dari hasil
inventarisasi yang dilengkapi dengan posisi geografi (GPS),
misalnya data keberadaan species langka (raflesia, owa jawa,
harimau Sumatra, badak dll), data pakan, dan home range. Data
ini biasanya direpresentasikan dalam format vector (Puntodewo
dkk, 2003).

Obyek di permukaan bumi dapat direpresentasikan SIG


dengan menggunakan berbagai fitur, yaitu titik,garis, atau
polygon. Reprsentasi ini sifatnya relative tergantung dari
skala. Pada skala 1 : 1000 sebuah rumah dapat
direpresentasikan sebagai polygon, namun akan menjadi
sebuah point ketika direpresentasikan pada skala 1: 100000.
Demikian juga jalan pada skala 1 : 1000 akan berupa polygon,
namun bisa terlihat sebagai garis ketika direpresentasikan
pada skala 1 : 100 000.

Fitur (Features) (points, lines, dan polygons)

Contoh data feature (Sumber : ArcGis Desktop Help)


[97]
Fitur-fitur geografi ini merepresentasikan permukaan
bumi, seperti fenomena alam (sungai dan vegetasi), bangunan
(seperti jalan, saluran-saluran, dinding, dan gedung-gedung),
higga batas-batas suatu kawasan atau negara.
a. Point (titik), biasa digunakan untuk merepresentasikan
permukaan bumi yang untuk ukuran sebuah garis atau polygon
dinilai terlalu kecil. Misalnya telepon umum, pom bensin dsb.
Titik juga bisa merepresentasikan lokasi seperti alamat suatu
tempat, koordinat GPS, atau puncak gunung.

b. Lines (garis) digunakan untuk menggambarkan suatu hal yang


memiliki jalur dan panjang, bukan suatu area, misalnya garis
kontur, jaringan jalan, sungai, listrik, kabel telepon, dsb.
c. Polygon (poligon) memperlihatkan suatu feature yang memiliki
luas, misalnya batas suatu Negara, tipe tanah, land system, atau
batas-batas kawasan lainnya.

Ketiga fitur disebutkan diatas biasanya tersimpan dalam


bentuk vector. Sedangkan keterangan mengenai fitur tersebut
tersimpan pada sebuah pangkalan data yang terkoneksi
dengan ID yang unik. Pangkalan data tersebut disebut sebagai
atribut.

[98]
Attributes (data atribut)

Attribute data (data atribut) menerangkan isi yang


berada di dalam suatu feature atau raster data dalam bentuk
tabel. Selayaknya setiap data, baik vector maupun raster
memiliki data attribute untuk mencirikan diri data tersebut

dan menjadi pembeda dengan data lainnya.


Imagery

Selain data vector, ArcGis juga memiliki kemampuan

[99]
dalam pengolahan data raster, seperti foto udara, citra satelit
(optik maupun radar) dalam satuan piksel.

Contoh data imagery (Sumber : ArcGis Desktop Help)

Contoh nilai digital hasil kalkulasi data raster menggunakan


Raster Calculation (Sumber : ArcGis Desktop Help)
Continuous surfaces (misalnya ketinggian)

Misalnya Digital Elevation Model (DEM), atau Triangulated


Irregular Network
(TIN)

Contoh data Data kontur dan DEM / DTM (Sumber :


ArcGis Desktop Help)

[100]
Contoh data Data kontur dan TIN (Sumber : ArcGis
Desktop Help)

Dalam pembuatan atau pengeditan data spasial, dalam


ArcGis Desktop pada umumnya mengunakan ArcMap
dan ArcCatalog . ArcMap adalah salah satu sub bagian dari
kesatuan software ArcGIS Desktop yang memiliki banyak
fungsi, mulai membuat, mengedit menampilkan, melakukan
query dan analisis spasial hingga menghasilkan informasi
spasial, baik dalam bentuk peta maupun dalam bentuk report
dalam bentuk tabel (attribute) (MCRP, 2005).

Pengenalan ArcMap pada bagian ini lebih ditujukan


untuk menampilkan hal-hal dasar yang berkaitan erat dengan
proses editing. Sedangkan ArcCatalog digunakan untuk
melakukan pembuatan file dan management data spasial.
b. ArcMap
ArcMap merupakan modul utama di dalam ArcGis yang
digunakan untuk membuat (create), menampilkan (viewing),
memilih (query), editing, composing dan publishing peta (GIS
Consortium). Untuk menampilkan Arcmap ada beberapa cara yaitu
[101]
melalui ArcCatalog dengan memilih button
Menu (launch ArcMap).
bar
Cara lain langsung menampilkan ArcMap dari Start Program >Tool
ArcGis > ArcMap. Beberapa hal yang dapatData frame olehbar
dilakukan
Layer
ArcMap diantaranya yaitu penjelajahan data (exploring), analisa
SIG (analyzing), presenting result, customizing data dan
programming.
Table of
1. Table of Contents (TOC) content
Arc
Dapat diaktifkan dari
MapMenu bar Windows > Table of
Toolbox
Content, merupakan listarea
atau daftar isi data yang terdapat
dalam Map Area.. TOC terdiri atas Data Frame yang berisi
layer-layer yang merepresentasikan data yang ada. Beberapa
aksi yang dapat dilakukan dalam TOC antara lain:
 Mengatur susunan layer-layer yang ada.

 Melihat sistem koordinat yang digunakan.

 Membuka tabel attribut data spasial.


TOC memiliki 3 mode tampilan (untuk ArcGIS 9.3), yaitu:

 Mode Display, merupakan mode standar dan paling sering


digunakan.
 Mode Source, digunakan untuk melihat sumber data spasial yang
ditampilkan

 Mode Selection, digunakan untuk menentukan layer yang


dapat dipilih dengan menggunakan selection tool.
2. ArcToolbox

Merupakan kumpulan alat bantu yang disediakan


untuk melaksanakan operasi- operasi tertentu. Toolbox dapat

[102]
diaktifkan dari menu Window > ArcToolbox atau dengan
mengklik icon ArcToolbox pada menu Toolbar Standar.

Tipe-tipe tampilan ArcToolbox


 Favorites : tool ditampilkan pada folder-folder
ArcToolbox berdasarkan pengelompokkan
fungsi.
 Index : tool ditampilkan berdasarkan pencarian menurut urutan
huruf / abjad.

 Search : tool ditampilkan berdasarkan pencarian kata perintah.

 Result : tool ditampilkan berdasarkan proses-


proses yang berlangsung sebelumnya.
3. Toolbar

Merupakan kumpulan tool yang diletakkan didalam


bar. Secara logis toolbar memiliki tool-tool yang berkaitan
secara erat dalam melaksanakan operasi-operasi

tertentu. Sebagaimana layaknya aplikasi modern lainnya yang


mengandung konsep user friendly, toolbar dapat ditampilkan
atau tidak ditampilkan, dikustomasi sesuai keinginan kita dll
(sama seperti pada Ms. Office).

[103]
Tool bar bisa diaktifkan melalui
Menu Bar Tools > Customize. Selain itu
juga dapat diaktifkan dengan cara klik
kanan pada Menu Bar hingga muncul
tampilan seperi di samping. Tanda
menunkukkan bahwa tool tersebut sudah
dimunculkan / aktif pada Tools Bar.

[104]
5.1.1 LANGKAH PENGGUNAAN PROGRAM QUANTUM GIS (QGIS)
A. Membuka Peta di QGIS
Buka program QGIS dengan cara klik tombol Start, pilih folder QGIS 2.18, kemudian pilih QGIS Desktop 2.18.15. Tampilan
awal QGIS sebagai berikut.

[107]
Default tampilan QGIS menggunakan Bahasa Inggris, apabila ingin mengubah menjadi Bahasa Indonesia, langkah yang perlu
dilakukan adalah Klik Setting > Options > Locale > centang/silang Override system locale > ganti US English menjadi
Bahasa Indonesia, dan klik OK.

Setelah itu tutup aplikasi QGIS dan buka kembali maka tampilan QGIS telah terganti menjadi Bahasa Indonesia.
B. Menambahkan Peta atau Data di QGIS
Untuk menambahkan peta dan data ke dalam QGIS, maka klik Layer > Tambah Lapisan > Tambahkan Layer Vektor.
[108]
Kemudian akan muncul jendela Layer Vektor. Pilih Navigasi > pilih file (Peta_Kab514_Banten.shp) > Open. Apabila sudah
terinput di Dataset, maka klik Open.

[109]
[110]
Cara lain adalah dengan memilih file yang diinginkan dari Browser Panel, kemudian klik dua kali pada file yang diinginkan
atau klik dan tarik file ke Layers Panel.

Apabila file yang dipilih adalah data excel yang memiliki beberapa sheet, maka akan muncul tampilan seperti di bawah. Pilih
sheet yang diinginkan, kemudian klik OK.

[111]
5.1.2 MENGGABUNGKAN DATA EXEL DENGAN PETA

Untuk menggabungkan data pada file Excel (format: xls, xlsx, csv) dan peta QGIS ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,
yaitu:
1. Data Excel dan QGIS mempunyai satu nama ”field (Kolom)” yang sama sebagai penghubung untuk proses penggabungan
tabel ini.
2. Jumlah baris/record dan isi record pada field penghubung di Excel dan QGIS harus sama dan identik contohnya
‘Kode_Kec’.
3. Kolom Excel pada baris paling atas digunakan sebagai judul kolom. Judul kolom ini
tidak dalam kondisi “gabungan/merger dari beberapa kolom”.
[112]
A. Mengubah Nama (Rename) Data Excel
Mengingat ada keterbatasan jumlah karakter pada judul kolom yang akan digabung (maksimal 10 karakter setelah di gabung),
maka layer ‘Data FSVA Banten’ harus diubah namanya ke nama yang lebih pendek.
Ubah nama data excel menjadi lebih pendek dengan cara klik kanan pada Data FSVA Banten 2018 > Ubah nama. Ubah
nama menjadi satu karakter, misal D.

[113]
B. Menggabungkan Data Excel dan Peta Kecamatan
Pilih Peta Kecamatan (Indo_Kec_Banten) > klik kanan > Properti. Setelah muncul jendela Properti, pilih Gabung > pilih
tanda maka akan muncul jendela Tambah penggabungan vektor.

[114]
Pada lapisan yang digabungkan pilih D. Kemudian pada field yang digabungkan pilih Kode
Kec, pada field target pilih IDKEC. Kemudian klik OK.

[115]
Setelah itu, klik OK.

Kemudian, periksa apakah penggabungan sudah sesuai dengan cara klik kanan pada Peta Kecamatan > Buka Tabel Atribut.

[116]
[117]
Apabila sudah tergabung, data akan menjadi seperti gambar di bawah. Kolom yang diawali dengan D adalah data yang berasal
dari data excel.

[118]
C. Menyimpan File Hasil Penggabungan
Simpan file hasil penggabungan dengan cara pilih Peta Kecamatan > klik kanan

> Simpan sebagai.


Setelah muncul jendela simpan, beri nama file (banten join) > Navigasi > pilih folder untuk menyimpan file > Save.
Kemudian pilih OK.

[119]
Setelah file hasil join disimpan, maka layer D dan Peta Kecamatan dapat dihapus dengan cara: pilih D > klik kanan > Buang dan
pilih INDO_KEC_2016_BANTEN

> klik kanan > Buang.

[120]
[121]
5.1.3 MEMBUAT PETA TEMATIK

A. Pemberian Warna Sesuai Prioritas


Pilih peta Banten join > klik kanan > Properti. Kemudian pilih Style > klik Single symbol > pilih Dikategorikan.

Pada Kolom, klik tanda panah ke bawah dan pilih D_PRIORITA. Yang dimaksud dengan D_PRIORITA adalah Prioritas
Komposit. Judul ini sama dengan yang ada pada data sebelumnya.
[122]
[123]
Untuk menambahkan warna, klik tanda sebanyak 6 kali (sesuai dengan banyaknya Prioritas), hingga muncul enam
kotak warna pada bagian Simbol.
Kemudian klik dua kali di bawah Nilai, ketik 1, dan klik dua kali di bawah Legenda, ketik Prioritas 1. Hal ini dilakukan
sampai dengan Prioritas 6.

[124]
Untuk mengganti warna sesuai dengan pedoman, klik dua kali pada kotak warna pertama, kemudian klik pada Warna.
Ganti angka pada R, G, dan B sesuai dengan Tabel di bawah. Misal untuk Prioritas 1 maka warna yang digunakan adalah
merah tua dengan kode R 110, G 31, dan B 31. Kemudian klik OK.
Hal ini dilakukan sampai dengan Prioritas 6.

[125]
Untuk pewarnaan di kelas lainnya menggunakan pola warna RGB sebagai
berikut:
Prioritas Red Green Blue
Prioritas 1 (#6e1f1f) 110 31 31
Prioritas 2 (#e85961) 232 89 97
Prioritas 3 (#f4a1a7) 244 161 167
Prioritas 4 (#c9e077) 201 224 119
Prioritas 5 (#94c945) 148 201 69
Prioritas 6 (#3b703b) 59 112 59

Untuk mempermudah, kita dapat menyimpan warna yang digunakan


dengan cara klik Simpan > namai simbol dengan P1 – P6 > klik OK.
Kemudian klik OK.

Setelah keenam kategori telah mengikuti kaidah warna di atas, klik OK.

[126]
Hasil yang ditampilkan sebagai berikut:

B. Pemberian Batas dan Nama Kabupaten


Untuk memberikan batas kabupaten, pilih file Peta Kabupaten (Peta_Kab514_Banten).

[128]
[129]
Ganti warna Peta Kabupaten menjadi transparan dengan cara pilih
Peta_Kab514_Banten > klik kanan > Properti.

Kemudian pilih Style > Single symbol > Fill > Pengisian sederhana. Kemudian pada bagian Fill di bawah, klik tanda panah
ke bawah, pilih Transparent fill.

[130]
Untuk membedakan garis batas kecamatan dan kabupaten, ganti lebar garis tepi dari 0,2600 menjadi lebih tebal (misal 0,700)
> klik Apply.

Untuk memunculkan nama kabupaten, pilih Label > klik No label > pilih Show label for this layer. Kemudian pada Label with,
ganti dengan NAMA_KAB.
Setelah itu, untuk memperjelas tulisan pilih Penyangga > centang/silang Gambar penyangga teks > OK.

[131]
Setelah itu, ganti nama Peta_Kab514_Banten menjadi Batas Provinsi, dan

[132]
banten join menjadi Komposit Banten.

[133]
5.1.4 MEMBUAT LAYOUT PETA

Untuk membuat layout peta, pilih Project > New Print Composer. Setelah muncul jendela Judul Komposer, beri judul > klik
OK.

[134]
A. Menambahkan Peta
Untuk menambahkan peta, pilih Layout > Add Map. Kemudian buat kotak pada halaman yang tersedia.

Apabila peta terlalu besar atau kecil, dapat disesuaikan dengan mengubah Skala. Kemudian klik untuk menggeser peta agar
dapat disesuaikan.

[135]
Scroll ke bawah, kemudian pilih Raster-Raster, klik tanda > ganti jenis grid menjadi Frame and annotations only > ganti
Interval pada X dan Y dengan menyesuaikan peta masing-masing provinsi (misal X 0.5 dan Y 0,4).

[136]
Kemudian scroll ke bawah dan centang Gambar koordinat. Pada bagian Kiri dan Kanan, ganti Horizontal menjadi
Vertical ascending.
Lalu scroll ke bawah dan pilih Frame.

B. Menambahkan Tulisan (Judul)


Untuk menambahkan judul (atau tulisan), pilih Layout > Add Label. Kemudian buat kotak pada halaman yang tersedia di
atas gambar peta. Untuk mengganti tulisan, ganti di Properti utama.

[137]
[138]
Huruf yang digunakan dapat diganti dengan pilih Huruf, kemudian sesuaikan huruf yang diinginkan, misal Font Arial, Font style
Bold, dan Size 14. Kemudian klik OK. Untuk menyesuaikan tulisan agar berada di tengah kotak, pada Sejajar horizontal dan
Sejajar vertical pilih Tengah.
Untuk memberi frame pada kotak judul, centang/silang Frame.
[139]
[140]
[141]
C. Menambahkan Gambar
Untuk menambahkan gambar, pilih Layout > Add Image. Gambar yang perlu ditambahkan adalah gambar Logo BKP, Logo
Provinsi, dan gambar arah mata angin. Buat kotak pada halaman yang tersedia pada kotak judul,kemudian pada Properti item

pilih tanda .
Pilih gambar yang diinginkan (Logo BKP) > klik Open.

[142]
[143]
D. Menambahkan Bentuk
Pada sisi yang masih kosong di sebelah kanan peta, dapat ditambahkan kotak dan diisi dengan arah mata angin, legenda, dan
informasi lain yang dibutuhkan, seperti sumber data.
Untuk membuat kotak, pilih Layout > Add shape > Tambahkan persegi Panjang

> buat persegi Panjang pada bagian yang kosong.

[144]
E. Menambahkan Legenda
Untuk menambahkan Legenda, pilih Layout > Add Legend > klik dua kali pada bagian yang kosong di sebelah kanan.

Kemudian tambahkan gambar arah mata angin dengan cara pilih Layout > Add Image (dengan langkah seperti bagian C.
Menambahkan Gambar).

[145]
Untuk informasi lain juga dapat ditambahkan, seperti sumber data dan penyusun peta, dengan cara pilih Layout > Add Label
(dengan langkah seperti bagian B. Menambahkan Tulisan). Sumber data dpat menyesuaikan data yang digunakan.

[146]
F. Menambahkan Garis Skala (Scalebar)
Untuk menambahkan skala/scalebar, pilih Layout > Add Scalebar.

Kemudian klik dua kali pada bagian bawah peta. Atur scalebar dengan memilih pada
Style > ganti Kotak tunggal dengan Kotak ganda.
Atur satuan, pilih Scale with: Meter > Label unit analysis: 100.000 > Label for width: km.
[147]
Atur banyaknya segmen, kiri 1 dan kanan 2.

G. Menyimpan Sebagai Gambar


Untuk menyimpan sebagai gambar, pilih Composer > Export as Image.

[148]
Setelah muncul jendela Save composition as, pilih folder yang dikehendaki untuk menyimpan file gambar > beri nama
gambar (peta komposit banten) > Save as type (PNG format/JPEG format/format lain) > klik Save.
Setelah muncul jendela Image export options, dapat diatur Resolusi ekspor yang diinginkan > klik Save.

[149]
H. Menyimpan Project
Simpan project dengan cara pilih Composer > Simpan Proyek.

Setelah muncul jendela Simpan, pilih folder yang dikehendaki untuk menyimpan fileberi nama file (Peta Komposit Banten)

[150]
> Save.

[151]
[152]
BAB VI
STUDY KASUS TENTANG KETAHANAN
PANGAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

6.1 PENDAHULUAN

Kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat


strategis, dimana pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling hakiki
sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin.
Penyediaan pangan yang cukup, berkualitas dan merata adalah suatu hal yang
harus dipenuhi dalam peradaban masyarakat yang berkembang di masa kini
untuk memenuhi kualitas hidup yang maju, mandiri dan tenteram lahir dan batin
(LIPI, 2007).
Akses kecukupan pangan lebih menentukan ketahanan pangan dari pada
ketersediaannya. Mengingat ketahanan pangan di satu wilayah dan masyarakat
dicerminkan oleh kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau, yang prosesnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung baik langsung maupun tidak
langsung. Hal ini karena ketahanan pangan tidak hanya cukup ketersediaan
pangan di wilayah tersebut, akan tetapi juga ditentukan oleh terpenuhinya akses
pangan baik secara fisik, ekonomi maupun sosial dimana saja dan kapan saja.
Pribadi (2005) mengemukakan cakupan ketahanan pangan adalah: (1)
Ketersediaan pangan yang mencakup produksi, cadangan dan pemasukan; (2)
Distribusi atau aksesibilitas mencakup fisik (mudah dijangkau) dan ekonomi
(terjangkau daya beli); serta (3) Konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta
kecukupan gizi individu. Ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi

[151]
tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup, terdistribusi dengan harga yang
terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk mendorong aktivitas
sehari-hari. Dengan demikian ketahanan pangan ini mencakup tingkat rumah
tangga dan tingkat nasional. Paradigma yang digunakan dalam perencanaan
pangan dan gizi adalah keanekaragaman pangan dan keseimbangan gizi yang
sesuai dengan daya beli dan potensi sumber daya lokal.
Suharjo (1985) mengungkapkan ketersediaan pangan dalam rumah
tangga yang dipakai dalam pengukuran, mengacu pada pangan yang cukup dan
tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah
tangga.
Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, potensi pemanfaatan lahan kering
untuk pengembangan pertanian sangatlah besar. Menurut BPS Provinsi Nusa
Tenggara Barat (2016), terdapat seluas 1.436.086 ha lahan kering yang ada, hal
ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk menanam
tanaman pangan seperti ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Jika lahan tersebut bisa
dimanfaatkan, maka dapat menambah ketersediaan pangan utama.
Data menunjukkan Provinsi Nusa Tenggara Barat tidak hanya mampu
memenuhi kebutuhan pangan penduduknya yang berjumlah 5.070.385 jiwa,
akan tetapi juga dapat mensuplai kebutuhan pangan daerah tetangganya yang
kekurangan bahan pangan. Dilihat dari ketersediaan pangan Provinsi Nusa
Tenggara Barat juga.

6.2 METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan


menggunakan data produksi tahun 2015-2019 untuk ketersediaan pangan.
Pemilihan Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai daerah penelitian didasarkan
pada beberapa pertimbangan, antara lain Provinsi Nusa Tenggara Barat dikenal

[152]
sebagai daerah pensuplai pangan namun daerah ini dikategorikan sebagai
daerah cukup rawan pangan (BKPN , 2019) dan Provinsi Nusa Tenggara Barat
memiliki luas lahan kering terbesar di Nusa Tenggara Barat yakni seluas
1.436.086 ha dengan kondisi kekeringan tinggi Provinsi Nusa Tenggara Barat
terdiri dari 8 Kabupaten dan 2 Kota, sebagai daerah yang ditentukan secara
dengan pertimbangan sebaran luas.

wilayah dan jumlah penduduk.Lokasi penelitian ditetapkan


sebanyak delapan Kabupaten dan dua Kota. Pemilihan lokasi tersebut
dilakukan secara berdasarkan atas luas wilayah dan kondisi lahan yang
kering.
Rengganis (2010) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga adalah pendapatan dan
pendidikan. Untuk itu, penelitian ini juga akan mengacu kepada dua hal
tersebut, namun tetap melihat beberapa aspek pangan yakni ketersediaan,
distribusi dan konsumsi. Untuk itudilakukananalisis data sebagaiberikut:
Untuk analisis ketersediaanpangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
digunakan data sekunder dengan rumus sebagai berikut (BKPD Provinsi NTB,
2019) :
Ketersediaan Pangan perkapita pertahun (K)

K Pd
= netto
Tot
pop

Ketersediaan Pangan perkapita perhari (F)

[153]
F= Pd netto

Tot pop *(365 hari)

Rasio Ketersediaan Pangan rumah tangga (Iav)

Iav = Cnorm/F

Jika Iav lebih dari 1 (satu), maka daerah tersebut defisit pangan atau kebutuhan
konsumsi rumah tangga tidak bisa dipenuhi dari produksi pangan di daerah
tersebut, dan bila nilai Iav kurang dari 1, maka ini menunjukkan ketersediaan
pangan rumah tangga di daerah tersebut mengalami surplus pangan.
Untuk mengetahui akses dan konsumsi pangan dianalisis secara
deskriptif. Konsumsi dihitung secara kuantitatif menggunakan angka kecukupan
konsumsi pangan nasional dengan
Pola Konsumsi Pangan Harapan (Kalori: 2000/kkal/kapita/hari dan
Protein: 52 gr/kapita/hari).

[154]
6.3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketersediaan pangan utama (Padi, Jagung, Ubi Kayu, Ubi Jalar) di


Provinsi Nusa Tenggara Barat, terpetakan dalam beberapa sentra produksi,
sebagaimana pada komoditas pangan yang berbasis sawah dan lahan kering.
Penyebaran pusat produksi sangat terpengaruh oleh berbagai aspek,, dan secara
lebih rinci perkembangan produksi bahan pangan atau karbohidrat utama di
Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2015-2019 seperti pada tabel berikut.

[155]
[156]
Peta Indek Ketahanan dan Kerentanan Pangan

Sumber FSVA Nasional tahun 2020

[156]
[157]
Tabel
Perkembangan Produksi Pangan Utama di Provinsi Nusa Tenggara Barat 2015-2019

PERKEMBANGAN PRODUKSI PADI

PROPINSI : NUSA TENGGARA BARAT KOMODITI : TOTAL PADI

Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018 Tahun 2019
Luas Hasil/ Luas Hasil/ Luas Hasil/ Luas Hasil/ Luas Hasil/
No Kabupaten/Kota Produksi Produksi Produksi Produksi Produksi
Panen Hektar Panen Hektar Panen Hektar Panen Hektar Panen Hektar
'(Ton) '(Ton) '(Ton) '(Ton) '(Ton)
(Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha)
1 LOMBOK BARAT 34.791 56,26 195.720 35.253 53,22 187.605 34.726 54,25 188.375 38.931 51,76 201.515 24.271 47,96 116.410
2 LOMBOK TENGAH 90.740 50,50 458.248 92.090 42,29 389.440 96.103 50,10 481.513 97.342 51,17 498.144 71.943 49,33 354.915
3 LOMBOK TIMUR 82.850 56,18 465.479 73.472 48,08 353.273 74.224 53,95 400.451 76.986 54,07 416.251 46.834 55,59 260.367
4 SUMBAWA 97.023 49,57 480.924 86.884 49,81 432.730 91.003 48,95 445.440 89.186 51,83 462.232 58.110 47,68 277.059
5 DOMPU 42.743 51,59 220.506 38.422 44,41 170.644 48.921 46,34 226.708 52.566 48,60 255.487 18.825 49,10 92.429
6 BIMA 74.062 48,87 361.942 79.804 43,72 348.909 80.254 45,06 361.631 81.748 47,89 391.506 39.869 45,64 181.943
7 SUMBAWA BARAT 19.472 50,80 98.917 21.211 44,82 95.067 22.566 45,74 103.207 24.471 44,85 109.765 12.000 52,74 63.282
8 LOMBOK UTARA 13.485 47,22 63.673 11.075 42,13 46.655 11.872 42,65 50.636 12.264 46,16 56.614 4.567 59,50 27.170
9 MATARAM 5.028 64,16 32.258 5.634 65,74 37.040 5.115 61,54 31.476 5.052 68,37 34.540 2.466 63,50 15.658
10 KOTA BIMA 7.309 54,35 39.726 6.817 49,52 33.756 6.944 49,34 34.263 6.169 50,69 31.269 2.783 46,53 12.948

NTB 467.503 51,71 2.417.393 450.662 46,49 2.095.118 471.728 50,07 2.362.158 484.716 50,70 2.457.323 281.668 49,78 1.402.182

Sumber: Dinas Pertanian Propinsi NTB (2019)

[157]
PERKEMBANGAN PRODUKSI JAGUNG

PROPINSI : NUSA TENGGARA BARAT KOMODITI : TOTAL JAGUNG


Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018 Tahun 2019

Hasil/He Luas
No Kabupaten/Kota Luas Panen Hasil/Hektar Produksi Luas Panen Produksi Luas Panen Hasil/Hektar Produksi Luas Panen Hasil/Hektar Produksi Hasil/Hektar
ktar Panen Produksi '(Ton)
'(Ha) '(Ku/Ha) '(Ton) '(Ha) '(Ton) '(Ha) '(Ku/Ha) '(Ton) '(Ha) '(Ku/Ha) '(Ton) '(Ku/Ha)
'(Ku/Ha) '(Ha)

1 LOMBOK BARAT 5.040 77,46 39.041 9.481 61,90 58.687 9.407 88,63 83.374 38.931 51,76 201.515 13.636 80,63 109.948
2 LOMBOK TENGAH 2.166 63,04 13.654 4.489 67,13 30.134 17.076 67,03 114.464 97.342 51,17 498.144 13.973 60,58 84.650
3 LOMBOK TIMUR 17.772 66,75 118.630 28.713 54,51 156.514 28.706 64,57 185.342 76.986 54,07 416.251 22.560 63,97 144.319
4 SUMBAWA 49.712 66,36 329.885 76.674 60,94 467.240 96.667 64,28 621.405 89.186 51,83 462.232 110.035 63,36 697.183
5 DOMPU 29.813 73,41 218.855 34.851 64,30 224.101 87.651 69,78 611.616 52.566 48,60 255.487 81.742 64,91 530.587
6 BIMA 25.841 66,16 170.956 29.227 68,05 198.884 44.004 72,76 320.186 81.748 47,89 391.506 76.952 76,30 587.145
7 SUMBAWA BARAT 5.893 50,22 29.597 14.045 60,17 84.502 16.231 61,62 100.009 24.471 44,85 109.765 16.386 58,26 95.462
8 LOMBOK UTARA 5.661 56,76 32.130 7.690 62,24 47.864 9.144 82,22 75.184 12.264 46,16 56.614 9.504 64,98 61.758
9 MATARAM 2 65,00 13 - - - 39 59,23 231 5.052 68,37 34.540 174 67,13 1.168
10 KOTA BIMA 1.217 59,25 7.211 1.717 60,25 10.345 2.065 75,13 15.513 6.169 50,69 31.269 8.492 73,25 62.205

NTB 143.117 67,08 959.972 206.887 61,79 1.278.271 310.990 68,40 2.127.324 484.716 50,70 2.457.323 353.455 67,18 2.374.425

Sumber: Dinas Pertanian Propinsi NTB (2019)

[158]
PERKEMBANGAN PRODUKSI UBI JALAR

PROPINSI : NUSA TENGGARA BARAT KOMODITI : TOTAL UBI JALAR


Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018 Tahun 2019

Luas Hasil/ Luas Hasil/ Luas Hasil/ Luas Hasil/ Luas Hasil/
No Kabupaten/Kota Produksi Produksi Produksi Produksi Produksi
Panen Hektar '(Ton) Panen Hektar '(Ton) Panen Hektar '(Ton) Panen Hektar '(Ton) Panen Hektar '(Ton)
(Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha)
1 LOMBOK BARAT 89 143,87 1.280 69 67,25 464 85 112,64 960 94 107,01 1.001 206 207,28 4.270
2 LOMBOK TENGAH 272 173,96 4.732 215 79,67 1.713 118 286,93 3.386 97 170,61 1.655 341 127,33 4.342
3 LOMBOK TIMUR 422 160,09 6.756 310 127,65 3.957 274 167,18 4.579 291 158,75 4.626 262 198,51 5.201
4 SUMBAWA 113 162,35 1.835 53 79,06 419 10 152,73 151 9 220,80 194 6 206,67 124
5 DOMPU 62 209,34 1.298 73 204,11 1.490 99 242,42 2.410 81 322,93 2.606 81 210,74 1.707
6 BIMA 45 153,25 690 81 129,38 1.048 9 127,98 111 19 132,74 258 6 243,33 146
7 SUMBAWA BARAT 15 218,45 328 2 65,00 13 1 113,94 11 9 113,94 103 - - -
8 LOMBOK UTARA 97 205,80 1.996 113 83,45 943 71 172,34 1.224 11 171,52 189 47 170,43 801
9 MATARAM - - - - - - - - - - - - - - -
10 KOTA BIMA 5 220,06 110 - - - 2 128,26 26 - - - - - -

NTB 1.120 169,86 19.024 916 109,68 10.047 669 192,17 12.858 611 174,04 10.630 949 174,83 16.591

Sumber: Dinas Pertanian Propinsi NTB (2019)

[159]
PERKEMBANGAN PRODUKSI UBI KAYU

PROPINSI : NUSA TENGGARA BARAT KOMODITI : TOTAL UBI KAYU

Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018 Tahun 2019

No Kabupaten/Kota Luas Hasil/ Produksi Luas Hasil/ Produksi Luas Hasil/ Produksi Luas Hasil/ Produksi Luas Hasil/ Produksi
Panen Hektar '(Ton) Panen Hektar '(Ton) Panen Hektar '(Ton) Panen Hektar '(Ton) Panen Hektar '(Ton)
(Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha) (Ha) (Ku/Ha)
1 LOMBOK BARAT 263 174,40 4.587 169 261,39 4.415 183 185,13 3.386 247 226,48 5.594 254 235,63 5.985
2 LOMBOK TENGAH 383 89,96 3.445 150 220,37 3.306 140 221,15 3.096 180 195,44 3.518 165 248,12 4.094
3 LOMBOK TIMUR 719 160,57 11.545 648 143,47 9.303 796 224,36 17.857 789 171,63 13.542 830 262,78 21.811
4 SUMBAWA 378 351,24 13.277 314 410,75 12.906 173 269,35 4.657 143 283,64 4.056 130 234,00 3.042
5 DOMPU 1.291 309,89 40.007 39 294,87 1.150 174 328,41 5.711 189 366,40 6.925 107 252,15 2.698
6 BIMA 483 190,48 9.200 323 153,00 4.942 202 193,67 3.910 255 184,51 4.705 108 234,07 2.528
7 SUMBAWA BARAT 5 155,21 78 10 117,00 117 7 200,14 140 11 150,91 166 - - -
8 LOMBOK UTARA 1.336 163,17 21.799 732 223,66 16.372 337 241,35 8.131 486 212,96 10.350 655 241,94 15.840
9 MATARAM - - - - - - - - - - - - - -
10 KOTA BIMA 172 192,81 3.316 109 232,20 2.531 97 209,49 2.032 3 98,33 30 67 235,38 1.570

NTB 5.030 213,23 107.254 2.495 220,67 55.041 2.108 232,03 48.921 2.303 212,27 48.886 2.315 248,65 57.568

Sumber: Dinas Pertanian Propinsi NTB (2019)

[160]
Kondisi pangan utama tiga tahun terakhir mengalami perkembangan
produksi yang fluktuatif. Perkembangan produksi padi mengalami penurunan
yang sangat signifikan di tahun 2019 dan kenaikan paling tinggi pada tahun
2018.
pada peningkatan produksi jagung mengalami kenaikan dari tahun 2015
sampai 2018 dan penurunan pada tahun 2019.
Produksi ubi kayu dan ubi jalar juga mengalami peningkatan produksi
dari tahun ke tahun, akan tetapi belum menunjukkan peningkatan produksi yang
signifikan dengan ketersediaan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk
peningkatan produksi ubi kayu dan ubi jalar. Peningkatan produksi tidak
sebesar pada produksi padi dan jagung. Hal ini karena komoditas ubi kayu dan
ubi jalar belum diusahakan secara optimal, minat petani terhadap dua komoditas
ini juga masih kurang.
Ketersediaan pangan memang suatu hal yang penting, walaupun faktor
ini saja tidak cukup untuk menggambarkan ketahanan pangan di suatu wilayah.
Ketersediaan pangan tidak hanya diperoleh dari produksi pangan padi di suatu
wilayah, akan tetapi berasal dari kondisi netto ekspor yang diperoleh melalui
beberapa jalur. Oleh karena itu, sebagai indikator ketersediaan pangan utama
pada kondisi ini, digunakan proporsi konsumsi normatif terhadap ketersediaan
neto padi dan jagung yang layak dikonsumsi. Berikut data produksi padi,
jagung, ubi kayu dan ubi jalar yang sudah di konversi pada 5 tahun terakhir.
Tabel
Produksi Padi, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Provinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun 2015-2019

[161]
Rata - rata Produksi Pangan Pokok Jumlah (Ton)
Padi 2.146.834,80
Jagung 1.839.463,00
Ubi Kayu 63.534,00
Ubi Jalar 13.830,00
Total Produksi Pangan Pokok 4.063.661,80
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi NTB (yang sudah diolah)
Ketersediaan Pangan perkapita perhari (F) F = Pd Netto
Total Populasi *(365 hari)
= 4.063.661,80 x 1000000 (ton ke gram) 5.070.385 (Total Populasi)
x 365 Hari
= 2.195,75 gram
Rasio Ketersediaan Pangan Rumah Tangga (Iav) C = 300/ F
= 0,136
Iav = C/F
= 0,136/ 2.195,75
= 0,00006
Rasio ketersediaan pangan rumah tangga di Kabupaten Lombok Barat
sebesar 0,00006, artinya Iav < 1 yang mana daerah ini mengalami surplus
pangan atau dalam kondisi tahan pangan dimana perhitungannya dapat dilihat di
atas.
Pada tahun 2018 perhitungan indeks kebutuhan konsumsi normatif dan
perhitungan situasi pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan rasio
konsumsi normatif rata - rata sebesar 0,60 (FSVA, 2020). Pada tahun 2019
indeks kebutuhan konsumsi normatif di Provinsi Nusa Tenggara Barat
mengalami peningkatan, rasio konsumsi normatif yang tadinya 0,60 saat ini
hanya rata - rata 0,30. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Nusa Tenggara
Barat termasuk daerah surplus akan pangan utama.

[162]
Peta Rasio Konsumsi Normatif Provinsi Nusa Tenggara Barat

[163]
Dengan melihat indeks kebutuhan konsumsi normatif di Provinsi Nusa
Tenggara Timur yang menunjukkan angka surplus terhadap pangan utama, lalu
apakah menjamin ketahanan pangan di tingkat rumah tangga?. Berdasarkan data
primer yang dapatkan di wilayah penelitian, terdapat 80% wilayah yang tahan
pangan, kemudian wilayah yang tidak tahan pangan sebesar 20%. Hal ini
disebabkan bukan hanya akses masyarakat untuk mendapatkan pangan, akan
tetapi dipengaruhi juga oleh pola makan atau pola hidup masyarakat, dan rata-
rata pendapatan rumah tangga yang rendah.
Ketersediaan pangan utama dalam menentukan apakah rumah tangga
tersebut tahan atau tidak tahan pangan juga dapat dilihat dari konsumsi sehari-
harinya. Ketersediaan pangan tanpa adanya kecukupan gizi yang seimbang juga
mempengaruhi terjadinya gizi buruk, sehingga kecukupan kalori dan protein
yang seimbang juga harus diterapkan dalam suatu rumah tangga, apabila cukup
maka barulah suatu rumah tangga tersebut dinyatakan tahan pangan.
Ada beberapa hal yang dilihat untuk menentukan suatu wilayah tersebut
tahan pangan atau tidak. Salah satunya dengan melihat konsumsi makanan
dengan metode pengumpulan data konsumsi. Pengumpulan data konsumsi ini
dapat menggunakan metode 24-hour recall dengan mencatat makanan apa saja
[164]
yang dikonsumsi masyarakat per harinya.
Hasil menunjukkan bahwa, wilayah yang dapat memenuhi konsumsi
atau dapat mencukupi kebutuhan kalori dan protein sebesar 80%, Sementara itu
sebanayak 20% wilayah masih kurang memenuhi kebutuhan kalori dan protein.
Jadi, wilayah yang berada di daerah penelitian tergolong tahan pangan, karena
memenuhi kebutuhan konsumsi baik itu kalori dan protein sesuai dengan angka
kecukupan konsumsi nasional.

Secara keseluruhan Provinsi Nusa Tenggara Barat surplus akan


pangan bahkan mampu mensuplai pangan utama ke daerah lain. Dalam
penelitian ini, sebagian masyarakat yang tinggal di daerah lahan kering seperti
di pinggir pantai mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya, hanya saja yang
menjadi permasalahan adalah “social culture” masyarakat yang belum bisa
beralih pada pemikiran modern mengenai “diversifikasi makanan”. Selain
diversifikasi makanan, hal yang menjadi permasalahan untuk mendapatkan
makanan adalah akses yang jauh untuk memperoleh makanan dan pendapatan
masyarakat yang masih rendah.
Akses pangan merupakan hal yang sangat penting, karena akses
merupakan bagaimana rumah tangga memperoleh bahan makanannya sehari-
hari, apakah mudah atau tidak untuk memenuhi kebutuhan makanan.
Pada wilayah penelitian di Provinsi Nusa Tenggara Barat, lebih dari
14,56% masyarakat masih kesulitan dalam memperoleh bahan makanan. Hal ini
sangat berdampak negatif bagi suatu wilayah yang berimplikasi pada
“ketahanan pangan wilayah”, tahan atau tidak tahan pangan.
Hasil penelitian, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat
mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan makanan yang disebabkan oleh
jauhnya jarak tempat tinggal dengan pasar atau tempat memperoleh bahan
makanan, serta transportasi untuk menjangkau bahan makanan tidak mudah.

[165]
Berbagai keluhan masyarakat seperti tingginya harga bahan makanan dan akses
untuk memperoleh makanan menjadi kendala bagi masyarakat setempat. Seperti
yang terlihat pada data diatas, sebesar 14,56% wilayah masih kesulitan dalam
memperoleh bahan makanan, walaupun secara ketersediaan pangan selalu
tersedia di pasaran, akan tetapi pendapatan yang rendah dan akses yang sulit
dapat menyebabkan masyarakat terbatas dalam mencukupi kebutuhan
pangannya. Kebutuhan dan kecukupan pangan dalam hal ini dilihat dari
kebutuhan konsumsi kalori dan protein.

DAFTAR PUSTAKA

[166]
[167]

Anda mungkin juga menyukai