Anda di halaman 1dari 4

Moderasi Beragama, Untuk Apa?

By. Erni Mufida

Menteri Agama Fachrul Razi, kembali mengeluarkan pernyataan yang memicu polemik
di tengah-tengah ummat. Kali ini terkait dengan ajaran Islam yang dianggap tidak lagi relevan di
Indonesia. Pernyataan itu dijabarkan dalam Rencana Strategis (renstra) pembangunan di bidang
keagamaan lima tahun mendatang.

Renstra tersebut antara lain berupa review 155 buku pelajaran agama, pendirian rumah
moderasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri. Sebagai contoh adalah Universitas
Negeri (UIN) Walisongo, Semarang kini memiliki rumah moderasi beragama. Rumah moderasi
yang baru saja diresmikan Menteri Agama ini merupakan ikhtiar perguruan tinggi tersebut untuk
memperkuat toleransi di Jawa Tengah. Kedepannya, rumah moderasi akan semakin diaktifkan.

Pada kuliah umum di UIN Salatiga yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Jawa Tengah
Taj Yasin dikatakan bahwa “Moderasi Islam tidak hanya di Indonesia, tetapi keseluruhan dunia
yang mengatasnamakan Islam. Karena Islam itu kelanjutan dari tauhid, menjunjung keesaan
Allah SWT,” terangnya. Putera ulama kharismatik Alm KH Maimoen Zubair itu menjelaskan,
orang yang memahami moderasi Islam tidak akan menganggap dirinya paling benar dan tidak
mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat darinya.

“Artinya paham toleran dan menghormati pendapat orang lain muncul. Tasamuh atau toleransi
ini yang harus kita kedepankan karena mengajarkan bagaimana memahami Islam. Ketika ada
permasalahan, maka sesuai anjuran Islam, ada musyawarah,” jelasnya.

Gus Yasin ingin, para mahasiswa IAIN Salatiga dapat menjadi pelopor Islam yang moderat.
Sehingga dapat mengokohkan Islam yang rahmatan lil alamin.

“Saya harap mahasiswa menjadi pelopor Islam yang moderat. Kalau kita terjun ke daerah-daerah
terpencil, di tangan adik-adik saya harapkan Islam semakin dikenal, bagaimana Islam di
Indonesia ini adalah Islam yang rahmatan lil alamin,” harapnya.
Konten yang bermuatan radikal dan ekslusivis dihilangkan. Yakni penghapusan materi
Khilafah dan Jihad dalam kurikulum pendidikan Islam, meskipun pernyataan terbut telah
diklarifikasi Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin yang menyatakan pihaknya
bukan menghapus kata khilafah dan jihad melainkan hanya melakukan revisi pada penulisannya.
Dikatakan konten khilafah dan jihad tidak dihapus sepenuhnya dalam buku yang akan
diterbitkan, hanya dipindahkan tempatnya dari pelajaran fikih menjadi pelajaran sejarah.
Moderasi agama harus dibangun dari sekolah. Kata Fachrul Razi dalam keterangan resminya,
dikutip dari laman berita cnnindonesia. (2/7/2020).

Pernyataan senada datang dari direktur kurikulum, sarana, kelembagaan dan kesiswaan (KSKK)
madrasah pada kementrian agama, Umar, mengatakan, setiap materi ajaran yang berbau tidak
mengedepankan kedamaian, keutuhan, dan toleransi juga dihilangkan. Karena kita
mengedepankan Islam Wasathiya. (republika.co.id)

Tudingan Serius

Dalam buku hasil revisi tersebut, menurut Menteri Agama masih akan dibahas materi khilafah.
Namun, buku-buku tersebut akan memberikan penjelasan bahwa sistem pemerintahan Islam
tidak lagi relevan di Indonesia. Khilafah adalah fakta sejarah yang pernah ada dalam khasanah
sejarah peradaban Islam, tetapi tidak cocok lagi untuk konteks negara Indonesia yang telah
memiliki konstitusi. Pun terkait dengan jihad tidak ada lagi dalam materi fikih dan perspektifnya
diubah. Jihad tidak lagi harus berperang dan tidak harus aktivitas fisik. Ada perspektif baru soal
jihad.

Pernyataan tersebut mendapat tanggapan keras dari Ustadz Muhammad Ismail Yusanto-Direktur
Yayasan Pendidikan Insantama.

“Menyatakan khilafah tak lagi relevan di Indonesia, dalil Qur’an dan haditsnya apa? Yang pasti,
ajaran jihad dan sistem pemerintahan itu bagian dari Islam dan syariat Islam itu untuk seluruh
ummat manusia di mana pun berada, termasuk di negeri ini,” tegasnya. (mediaumat.news,
3/7/2020).

Jelaslah, moderasi Islam adalah pesanan dari musuh-musuh Islam untuk memperlemah umat
Islam sendiri. Karena ajaran Islam dipilah-pilah, sesuai dengan kemauan mereka. Parahnya lagi,
yang membahayakan eksistensi penguasa, disebut sebagai tidak moderat dan radikal yang wajib
ditolak. Islam selanjutnya diajarkan kepada anak-anak didik sesuai dengan apa yang diinginkan.
Materi jihad dan khilafah yang dianggap radikal dan bertentangan dengan moderasi beragama
pun dihapuskan. Padahal bagaimana mungkin seorang muslim bisa seperti itu? Karena dalam
ajaran Islam, seorang itu dituntut untuk menjadi muslim sesungguhnya, yaitu muslim yang
kaffah.

Sebagaimana dalam al-Qur’an, Allah Ta’ala menegaskan :

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan
janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.” (QS. Al-Baqarah:208).

Berdasarkan sejarah, Indonesia bisa menerima Islam berikut dengan khilafahnya.


Kesultanan-kesultanan di Nusantara, zaman dulu sebagian terhubung langsung ke khilafah.
Apalagi ajaran Islam itu akan selalu relevan dalam setiap waktu dan tempat. Mengatakan
khilafah tidak relevan lagi, berarti menuduh Allah Ta’ala mengeluarkan risalah yang tidak pas
pada manusia di suatu tempat pada suatu waktu. Sama halnya menganggap Allah Ta’ala
memiliki kelemahan karena membuat aturan yg tidak relevan untuk manusia.

Lebih dari itu, bukankah ajaran Islam tentang jihad yang telah membuat Islam
berkembang di seluruh dunia termasuk Indonesia? Dengan semangat jihad, para pahlawan dulu
berjuang melawan Belanda. Bagaimana bisa, sekarang setelah kita merdeka, yang merdekanya
atas berkat rahmat Allah Ta’ala, lalu kita menggusur ajaran Islam yang telah mengantarkan kita
pada kemerdekaan itu? Inilah keprihatinan kita sebagai seorang muslim

Beberapa waktu mendatang, saat ajaran Islam yaitu jihad dan khilafah dikaburkan dengan
penjelasan-penjelasan yang tidak sesuai dalil al-Qur’an dan hadits, bukan tak mungkin lahir
generasi yang rapuh. Ketika negeri ini diserang, mereka gagap bahkan untuk sekedar bertahan.
Meski dimobilisasi untuk berjihad, mereka malah bakal mempertanyakan tentang urgensi jihad.
Bila sudah demikian, jangan salahkan mereka, sebab mereka tidak paham dan tidak pernah
dipahamkan. Akibat di buku-buku pelajarannya, tidak ada pembahasan kedudukan jihad dalam
Islam.

Kembali Pada Ajaran Islam


Sistem pendidikan Islam menjadikan akidah Islam sebagai landasan. Karena itu,
keimanan dan ketaqwaan juga akhlaq mulia akan menjadi mutlak untuk ditanamkan kepada anak
didik. Halal haram pun menjadi standar perbuatan. Dengan begitu, anak didik dan masyarakat
akan selalu mengaitkan seluruh peristiwa dalam kehidupan mereka dengan keimanan dan
ketakwaan pada Sang Pencipta. Upaya untuk menegakkan moderasi dalam Islam dengan
sendirinya tertolak bahkan wajib ditinggalkan jauh-jauh di belakang umat.

Alhasil, pendidikan Islam dalam bingkai syariah yang kaffah akan menghasilkan pribadi
muslim yang taat kepada Allah Ta’ala, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Ajaran Islam termasuk jihad dan khilafah akan menjadi standar dan solusi yang bisa menjawab
segala persoalan dalam kehidupan manusia. Cukuplah firman Allah SWT berikut,

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah
menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami
datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari
Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.”
(QS Al An’aam:114)

Wallaahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai