Disusun oleh :
KELAS A
Puji syukur kita panjatkan atas rahmat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta hidayah-Nya terutama hikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kita bisa
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Sejarah Peradaban Islam dengan judul “Fikih
Jihad dan Moderatisme” dengan lancar.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh
dari buku panduan yang berkaitan dengan Studi Fiqih, serta informasi dari media massa
yang berhubungan dengan Fiqih Jihad dan Moderatisme, tak lupa penyusun ucapkan
terima kasih kepada Ibu Anita Sufia, M.A selaku pengajar mata kuliah Studi Fiqih atas
bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa
yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan,
atau pun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon
maaf. Dengan penuh kesadaran hati menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan agar membangun
kesempurnaan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi almamater,
temanteman, maupun siapa saja yang berkenan membacanya.
Kelompok 8
i
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
Banyak sekali ayat al-Quran yang berbicara tentang jihad dalam arti
khusus ini (perang), antara lain:2
1. Tentang keharusan siaga perang (QS 3:200, 4:71); (Ali Imran)
(An-Nisa)
2. Ketentuan atau etika perang (QS 2:190,193, 4:75, 9:12, 66:9);
(At-Taubah) (At-Tahrim)
3. Sikap menghadapi orang kafir dalam perang (QS 47:4),
(Muhammad)
4. Uzur yang dibenarkan tidak ikut perang (QS 9:91-92).
Jihad melawan hawa nafsu pada hakitatnya merupakan pondasi utama
bagi jihad-jihad lainnya, seperti jihad dalam bidang pendidikan, jihad dalam
2
Risalah Islam, Pengertian Jihad yang sebenarnya (02 Agustus 2014)
6
bidang dakwah, jihad dalam bidang ekonomi untuk menyejahterakan
masyarakat, dan jihad di bidang-bidang lainnya.3 Sebab orang yang tidak
dapat melawan hawa nafsunya sendiri tidak mungkin berjihad secara
sempurna dalam jihad bidang lain yang dilakukannya. Lebih dari itu, jihad
melawan hawa nafsu bahkan menjadi penentu suatu perjuangan dapat disebut
sebagai jihad atau tidak. Sebab perjuangan apapun yang tidak dilandasi
tujuan memuliakan agama Allah, maka tidak dapat disebut sebagai jihad,
sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Khaldun dalam kitabnya al-
Muqaddimah halaman 435.
Jihad melawan hawa nafsu juga merupakan jihad yang paling berat,
karena dalam jihad ini manusia melawan dirinya sendiri. Imam al-Ghazali
mengatakan:
َ َارقَ ِة َما ه ََواهُ اْ ِإل ْن
سا ُن َ علَى ُمف َّ اع ْال ِج َها ِد ال
َ صب ُْر َ َ َ َوأ
ِ شدُّ أ ْن َو
Artinya “Macam jihad yang paling berat dilaksanakan adalah bersabar
tidak melakukan keinginan hawa nafsu.”
Walhasil menurut fiqih Islam, cakupan makna jihad sebenarnya luas,
mulai dari jihad fisik, ekonomi, pendidikan, hingga jihad ruhani yaitu jihad
masing-masing orang melawan hawa nafsunya sendiri. Jihad melawan hawa
nafsu inilah jihad yang paling utama dan menjadi pondasi bagi jihad di
bidang-bidang lainnya. Adapun jihad dengan makna peperangan secara fisik
hanya merupakan sebagian dari jihad yang dimaksud dalam fiqih Islam, dan
itupun boleh dilakukan bila persyaratan-persyaratannya terpenuhi. Terlebih
dalam konteks negara bangsa yang damai seperti di Indonesia sekarang, jihad
perang fisik tidak boleh serampangan dilakukan tanpa komando dari
pemerintahan yang sah.
2.1.2 Hukum Jihad
Jihad pada kondisi khusus memiliki hukum fardhu kifayah, atas dasar
Quran Surah At-Taubah ayat 122 berikut.
ِ طائِ َفةٌ ِلِّيَتَ َف َّق ُهوا فِي ال ِد
ِّين َ َو َما َكانَ ْال ُمؤْ مِ نُونَ ِليَنف ُِروا كَافَّةً ۚ فَلَ ْو ََل نَف ََر مِ ن ُك ِِّل ف ِْر َق ٍة ِ ِّم ْن ُه ْم
ََو ِليُنذ ُِروا قَ ْو َم ُه ْم ِإذَا َر َجعُوا ِإلَ ْي ِه ْم َل َع َّل ُه ْم يَحْ ذَ ُرون
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
3
mui digital, Apakah sebenarnya makna jihad?
7
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Dalam sirah Rasulullah SAW, ada dua macam kondisi yang membuat
jihad menjadi fardhu ‘ain :
1) ketika pemimpin negara Islam sudah mewajibkan
2) ketika musuh memasuki wilayah Islam untuk menjajah atau
menguasai (jihad untuk pertahanan).
2.1.3 Macam-macam jihad
1) Jihad terhadap orang-orang kafir yang memerangi orang
Islam. Jihad seperti ini bisa dilakukan dengan
kekuatan/kekuasaan, lisan, dan hati (niat). Rasulullah SAW
bersabda, “Perangilah orang-orang musyrik (jika kondisi telah
memenuhi syarat) dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.“
2) Jihad terhadap orang-orang suka berbuat maksiat. Rasulullah
SAW bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan
kekuatan/kekuasaannya, jika tidak bisa maka dengan
ucapan/tulisannya, atau jika tidak bisa maka dengan hatinya,
dan itu adalah selemah-lemahnya iman.“
3) Jihad terhadap setan. Setan merupakan musuh bagi umat
islam, karena setan sudah memproklamirkan akan mencegah
manusia dari ketaatan kepada Allah SWT. Cara berjihad
terhadap setan ada dua; (1) meluruskan syubhat-syubhat yang
disebarkan setan dan (2) meninggalkan godaan syahwat.
Syubhat merupakan penyakit pertama yang menyebabkan
seseorang tersesat, dan ini merupakan akibat dari tidak adanya
ilmu. Penyakit syubhat lebih berbahaya daripada penyakit
syahwat, karena orang yang terjebak dengan syubhat sering
merasa bahwa ia berada pada jalan yang paling benar
meskipun ia berada di jalan yang sesat.
Syahwat secara umum berarti keinginan; syahwat diberikan
pada manusia untuk membedakan antara orang-orang yang
mempergunakan syahwat sesuai dengan ketentuan Allah dan
yang tidak. Secara khusus, syahwat berarti keinginan yang
tidak baik. Allah memberi peringatan agar manusia tidak
8
tertipu oleh yang suka menipu (setan).
4) Jihad terhadap hawa nafsu. Cara berjihad terhadap hawa nafsu
adalah dengan belajar, mengamalkan, dan mengajarkan
agama. Dalam belajar agama, ada hal-hal yang wajib diketahui
dan ada hal-hal yang tidak wajib diketahui oleh seluruh kaum
muslimin. Sebagai contoh, belajar terkait waris, yang secara
umum hukumnya adalah fardhu kifayah. Namun bagi yang
sudah menggeluti bidang tersebut, maka hukumnya fardhu
‘ain baginya. Dalam sebuah hadits (dhaif) disebutkan bahwa
jihad terhadap hawa nafsu merupakan jihad yang terbesar.
2.1.4 Hikmah Jihad
Tujuan utama syariat jihad adalah agar hanya Allah SWT yang
disembah. Untuk menyembah Allah SWT, harus ada kondisi dimana orang
bebas mengajak orang lain untuk menyembah Allah tanpa adanya halangan.
Allah berfirman dalam Quran Surah Al-Anfal ayat 39:
ير
ٌ صِ ََّللا بِ َما يَ ْع َملُونَ ب ِ َّ ِ َُوقَاتِلُوهُ ْم َحت َّ ٰى ََل ت َ ُكونَ فِتْنَةٌ َويَ ُكونَ ال ِدِّي ُن ُكلُّه
َ َّ ّلِل ۚ فَإِ ِن انتَ َه ْوا فَإِ َّن
Artinya :“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan
supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari
kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka
kerjakan.”
Fitnah di sini berarti kesesatan (menyembah kepada selain Allah
SWT), dan kondisi dimana umat Islam menjadi objek siksaan kaum kafir
akibat tidak memiliki kekuatan.
2.1.5 Keutamaan Jihad
Jihad memiliki keutamaan yang besar. Allah membeli diri dan harta
orang-orang beriman dengan surga, sebagaimana yang tertera dalam Quran
Surah At-Taubah berikut:
ََّللا فَيَ ْقتُلُون َ س ُه ْم َوأ َ ْم َوالَ ُهم بِأ َ َّن لَ ُه ُم ْال َجنَّةَ ۚ يُقَاتِلُونَ فِي
ِ َّ سبِي ِل َ َُّللا ا ْشت ََر ٰى مِ نَ ْال ُمؤْ مِ نِينَ أَنف
َ َّ إِ َّن
َّللا ۚ فَا ْست َ ْبش ُِروا ِب َب ْي ِع ُك ُم ِ نجي ِل َو ْالقُ ْر
ِ َّ َآن ۚ َو َم ْن أ َ ْوفَ ٰى بِعَ ْه ِد ِه مِ ن ِ ْ علَ ْي ِه َحقًّا ِفي الت َّ ْو َراةِ َو
ِ اإل َ َويُ ْقتَلُونَ ۖ َو ْعدًا
الَّذِي بَايَ ْعتُم ِب ِه ۚ َو ٰذَلِكَ ه َُو ْالف َْو ُز ْال َعظِ ي ُم
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh.
(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al
Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?
9
Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah: 111)
Jihad hendaklah dilakukan dengan rapi dan tidak serampangan. Allah
berfirman dalam Quran Surah Ash-Shaf:
وص
ٌ صُ صفًّا َكأَنَّ ُهم بُ ْنيَا ٌن َّم ْر َ َّللا يُحِ بُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي
َ سبِي ِل ِه َ َّ إِ َّن
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang
dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu
bangunan yang tersusun kokoh.” (QS Ash-Shaf: 4)
Perang Uhud memberi pelajaran bagaimana pentingnya mengatur
barisan serta ketaatan terhadap komando.
Dalam ayat yang lain pada Surah Ash-Shaf, Allah menyebut berbagai
balasan bagi orang-orang beriman yang mau melakukan jual-beli dengan
Allah SWT.
سو ِل ِه ِ َّ ] تُؤْ مِ نُونَ ِب١٠[ ب أَل ٍِيم
ُ اّلِل َو َر ٍ عذَا َ نجي ُكم ِ ِّم ْن ِ ُ ارةٍ ت َ علَ ٰى تِ َجَ َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ه َْل أَدُلُّ ُك ْم
] يَ ْغف ِْر لَ ُك ْم ذُنُوبَ ُك ْم١١[ ََّللا بِأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َوأَنفُ ِس ُك ْم ۚ ٰذَ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَّ ُك ْم إِن ُكنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون
ِ َّ سبِي ِل َ َوت ُ َجا ِهدُونَ فِي
]١٢[ عد ٍْن ۚ ٰذَلِكَ ْالف َْو ُز ْالعَظِ ي ُم َ ت ِ طيِِّبَةً فِي َجنَّا
َ َساكِن َ ار َو َم ُ ت ت َ ْج ِري مِ ن ت َ ْحتِ َها ْاْل َ ْن َه ٍ َويُدْخِ ْل ُك ْم َجنَّا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku
tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang
pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di
jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah ‘Adn.
Itulah keberuntungan yang besar.” (QS Ash-Shaf: 10-12)
Di akhirat nanti, manusia hanya terbagi menjadi dua golongan dan
tidak ada golongan pertengahan; orang yang menang yang masuk surga dan
orang yang kalah/merugi yang masuk neraka. Orang-orang yang timbangan
kebaikan dan keburukannya sama, dimasukkan ke dalam golongan orang
yang menang, sebagaimana yang Allah sampaikan pada Surah Ali Imran ayat
185, “Barang siapa yang diselamatkan dari adzab neraka lalu dimasukkan ke
dalam surga, maka ia telah menang.”
Orang-orang yang syahid itu tidak mati, tetap hidup dan selalu
menerima rezeki dari Allah SWT, sebagaimana tertera pada Quran Surah Ali
Imran:
] فَ ِرحِ ينَ بِ َما١٦٩[ ََّللا أ َ ْم َواتًا ۚ بَ ْل أَ ْحيَا ٌء عِندَ َربِِّ ِه ْم ي ُْرزَ قُون َ سبَ َّن الَّذِينَ قُتِلُوا فِي
ِ َّ سبِي ِل َ َو ََل ت َ ْح
10
َعلَ ْي ِه ْم َو ََل هُ ْم يَ ْحزَ نُون ٌ ض ِل ِه َويَ ْست َ ْبش ُِرونَ بِالَّذِينَ لَ ْم يَ ْل َحقُوا بِ ِهم ِ ِّم ْن خ َْل ِف ِه ْم أ َ ََّل خ َْو
َ ف ْ ََّللاُ مِ ن ف
َّ آت َاهُ ُم
]١٧٠[
Artinya : “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di
jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan
mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah
yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap
orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka,
bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (QS Ali Imran: 169-170)
2.1.6 Keutamaan Jihad dalam Hadist
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah ditanya, “Siapa
manusia yang paling utama (baik)?” Beliau SAW menjawab orang beriman
yang berjihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah SWT dan orang
mukmin yang beribadah di suatu lembah (beribadah secara sembunyi-
sembunyi) serta berusaha untuk tetap beribadah walau dalam keadaan sulit.
Rasulullah SAW juga mengatakan bahwa perumpamaan orang yang
berjihad di jalan Allah adalah seperti orang yang berpuasa dan orang yang
berdiri (melaksanakan qiyamullail), dan Allah SWT cuma memberi dua
pilihan; jika ia meninggal dalam medan jihad maka akan masuk surga, dan
jika ia kembali maka akan mendapat kebaikan besar (pahala dan ghanimah).
Rasulullah SAW juga pernah ditanya agar menunjukkan amalan yang
menyerupai jihad. Beliau menjawab bahwa tidak ada dan memberi
gambaran, “Apakah bisa jika di saat orang yang berjihad itu keluar dan
dalam waktu bersamaan kamu masuk masjid lalu kamu shalat sampai ia
kembali? Atau kamu berpuasa hingga orang yang berjihad itu pulang? Siapa
yang bisa seperti itu?”
Dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak ada seorang pun yang
berjihad lalu ia terluka, maka wangi darahnya di akhirat nanti seperti misk
(kesturi).
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan Abu Daud, An-Nasa’i, dan
Imam Ahmad disebutkan bahwa barang siapa yang meninggal, ia tidak
pernah ikut berperang dan tidak punya niat untuk berjihad/berperang, maka
ia meninggal dalam kondisi membawa kemunafikan. Karena itu, orang
beriman hendaklah bersiap atau berniat untuk ikut berperang di jalan Allah
SWT dalam hidupnya.
11
2.1.7 Persiapan Jihad (I’dad)
Kaum muslimin perlu melakukan persiapan jihad dengan
mempersiapkan kekuatan-kekuatan yang diperlukan. Allah berfirman pada
Quran Surah Al-Anfal:
عد َُّو ُك ْم َوآخ َِرينَ مِ ن َ ط ْعتُم ِ ِّمن قُ َّوةٍ َومِ ن ِ ِّربَاطِ ْال َخ ْي ِل ت ُ ْر ِهبُونَ بِ ِه
ِ َّ عد َُّو
َ َّللا َو َ َ َوأ َ ِعدُّوا لَ ُهم َّما ا ْست
ْ ُ ف إِ َل ْي ُك ْم َوأَنت ُ ْم ََل ت
َظلَ ُمون ِ َّ سبِي ِل
َّ َّللا ي َُو َ ش ْيءٍ فِي َ َّللاُ يَ ْعلَ ُم ُه ْم ۚ َو َما تُن ِفقُوا مِ ن
َّ دُونِ ِه ْم ََل ت َ ْعلَ ُمونَ ُه ُم
Artinya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa
saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang
(yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya;
sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan
Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan).” (QS Al-Anfal: 60)
Rasulullah SAW menafsirkan kekuatan sebagai keahlian
melempar/melontar (disebutkan sebanyak 3 kali) dan keahlian dalam
mengendarai (kuda).
Keahlian dalam melempar mulai dari tombak, panah, meriam, pistol,
hingga rudal. Allah SWT akan memasukkan ke surga dari satu saham (anak
panah) tiga orang; orang yang membuat anak panah tersebut, orang yang
melontarkan/melesatkan anak panah tersebut, dan orang yang
mengumpulkan anak panah tersebut.
Keahlian dalam melontar lebih bagus daripada keahlian dalam
menunggang kuda.
Juga disebutkan bahwa tidak ada permainan kecuali dalam 3 perkara :
1) Bagaimana seseorang melatih kudanya
2) Bercengkerama dengan keluarganya (istrinya)
3) Berlatih memanah.
2.2 Fiqih Moderatisme
2.2.1 Pengertian Fiqih Moderat dan Moderat
Fikih moderat adalah fikih wasathiyah atau madhhab pertengahan
yang menjembatani dua atau lebih dari beberapa madzhab yang berbeda.
Sementara Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, moderation
yang artinya adalah sikap sedang atau sikap tidak berlebihan. Jika dikatakan
orang itu bersikap moderat berarti ia bersikap Wajar, biasa-biasa saja dan
tidak ekstrem. Sementara dalam bahasa Arab, kata “moderasi” bisa
12
diistilahkan dengan Wasath atau wasathiyah orangnya disebut wâsith. Kata
wâsith sendiri sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang memiliki tiga
pengertian, yaitu 1) penengah, pengantara (misalnya dalam perdagangan,
bisnis dan sebagainya), 2) pelerai (pemisah, pendamai) antar yang berselisih,
dan 3) pemimpin di pertandingan. Yang jelas, menurut pakar bahasa arab,
kata tersebut merupakan “segala yang baik sesuai objeknya”. Sebaikbaik
segala sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah. Misalnya dermawan
yaitu sikap di antara kikir dan boros, pemberani yaitu sikap di antara penakut
dan nekat, dan lain-lain.4 Islam adalah sebuah agama yang rasional, universal
dan sesuai dengan kebutuhan segala zaman. Islam bersifat rasional karena
hampir seluruh konsep dan ajarannya tidak banyak bertentangan dengan
konsep dan pemikiran manusia secara umum. Islam dikatakan universal
karena agama ini dianut oleh hampir seluruh manusia yang ada di belahan
bumi ini dan tidak banyak perbedaan yang tampak karena ajarannya
sempurna sehingga dapat mengatur seluruh sendi kehidupan manusia
walaupun itu persoalan kecil. Islam juga dikatakan sesuai dengan zaman
karena seluruh ajarannya dapat disesuaikan dengan seluruh peristiwa zaman
karena isi al-Qur‟ân dan hadis dapat menjadi rujukan bagi segala peristiwa
yang terjadi di pada segala zaman.5 Substansi ajaran Islam mengedepankan
dakwah secara damai ramah dan toleran. Karena pada dasarnya manusia
diarahkan untuk berada di garis lurus tanpa pernah berlaku yang keras baik
terhadap sesama muslim maupun non-muslim. Gambaran moderat juga
terdapat pada diri Rasulullah Saw yang tidak pernah mengusik penganut
ajaran lain berbuat zalim maupun sikap yang lainnya bahkan lebih dari itu
beliau selalu mengajak para sahabat untuk selalu bersikap lemah lembut dan
hidup rukun serta menjauhi bersikap kasar kepada orang lain.6
Moderasi Islam dalam bahasa Arab disebut dengan al-Wasathiyyah
al-Islamiyyah. Al-Qardawi menyebut beberapa kosakata yang serupa makna
dengannya termasuk kata tawâzun, i'tidâl, ta'âdul dan istiqâmah. Sementara
dalam bahasa Inggris sebagai Islamic Moderation. Moderasi Islam adalah
sebuah pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil posisi tengah
dari dua sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga salah satu dari
4
Departemen Agama RI, Moderasi Islam, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟ân, 2012, hal. 5.
5
Muhammad AR, Bunga Rampai Budaya Sosial dan Keislaman, Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2016, cet. 3, hal. 11.
6
M. Zainuddin dan Muhammad In‟am Esha, Islam Moderat Konsepsi Interpretasi Dan aksi, hal. 65.
13
kedua sikap yang dimaksud tidak mendominasi dalam pikiran dan sikap
seseorang. Dengan kata lain seorang Muslim moderat adalah Muslim yang
memberi setiap nilai atau aspek yang berseberangan bagian tertentu tidak
lebih dari porsi yang semestinya. Istilah moderasi menurut Khale Abou el
Fadl dalam The Great Theft adalah paham yang mengambil jalan tengah,
yaitu paham yang tidak ekstem kanan dan tidak pula ekstrem kiri.7
Allah SWT berfirman:
ش ِه ْيدًا ۗ َو َما َج َع ْلنَا
َ علَ ْي ُك ْم
َ س ْو ُل َّ َاس َو َي ُك ْون
ُ الر ِ َّعلَى الن َ ش َهدَ ۤا َء
ُ طا ِلِّت َ ُك ْونُ ْواً س َ َوك َٰذلِكَ َج َع ْل ٰن ُك ْم ا ُ َّمةً َّو
َعلَى الَّ ِذيْن
َ َت لَ َك ِبي َْرةً ا ََِّل َ ع ٰلى
ْ ع ِق َب ْي ۗ ِه َوا ِْن كَان َ ُس ْو َل مِ َّم ْن يَّ ْنقَلِب َ َْال ِق ْبلَةَ الَّ ِت ْي ُك ْنت
َّ علَ ْي َها ٓ ا ََِّل ِلنَ ْعلَ َم َم ْن يَّت َّ ِب ُع
ُ الر
ٌ اس لَ َر ُء ْو
ف َّرحِ ْي ٌم َ ُض ْي َع اِ ْي َمانَ ُك ْم ۗ ا َِّن ه
ِ ََّّللا بِالن َّللاُ َۗو َما َكانَ ه
ِ َّللاُ ِلي َهدَى ه
Terjemahan
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat
pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak
menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar
Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke
belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.
2.2.2 Posisi Moderat dalam konteks Teori dan Realitas
Karakteristik moderatisme Islam yang dimiliki oleh Islam Indonesia
yaitu, Pertama, Ideologi dan kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Kedua
mengadopsi pola kehidupan modern beserta seluruh derivasinya seperti sains
dan teknologi demokrasi HAM dan semacamnya. Ketiga, penggunaan
pemikiran rasional dalam mendekati dan memahami ajaran Islam. keempat,
menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami sumber-sumber
ajaran Islam. Kelima, penggunaan ijtihâd dalam menetapkan hukum Islam
istinbâth namun demikian kelima karakteristik tersebut dapat diperluas
menjadi beberapa karakteristik lagi seperti toleransi, harmoni dan kerjasama
antar kelompok agama yang berbeda. Moderatisme ajaran Islam yang sesuai
dengan misi rahmatan li al-„âlamȋn maka memang diperlukan sikap anti
kekerasan dalam bersikap di kalangan masyarakat memahami perbedaan
yang mungkin terjadi mengutamakan kontekstualisasi dalam memaknai ayat
7
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari Moderasi, Keutamaan, dan Kebangsaan, Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2010, hal.13.
14
ilahiyah menggunakan istinbâth untuk menerapkan hukum terkini serta
menggunakan pendekatan sains dan teknologi untuk membenarkan dan
mengatasi dinamika persoalan di masyarakat Indonesia.8 Rasulullah pun
ditugaskan memberi pelajaran bahwa esensi Islam adalah moderatisme,
beliau memberi jaminan bahwa berpegang pada al-Qur'ân tidak akan sesat.
2.2.3 Penerapan Fiqh dalam Moderasi Ajaran Islam
Moderasi ajaran Islam tercermin antara lain dalam hal-hal berikut:
a) Akidah
Secara teologis akidah tauhid Islam menolak pengkultusan
Nabi sehingga berbeda dengan umat sebelumnya yang bahkan
menuhankan nabinya, Islam juga menolak penghinaan Nabi
sehingga berbeda dengan umat sebelumnya yang bahkan
membunuh nabinya dalam bidang syariat Islam menentukan
halal dan haram bukan seperti umat sebelumnya yang
mengharamkan apa saja sesuka hati, Islam juga bukan seperti
salah satu umat sebelumnya yang menghalalkan apa
saja.9Akidah Islam sejalan dengan fitrah kemanusiaan, berada
di tengah antara mereka yang tunduk pada khurafat dan
mempercayai kepada segala sesuatu walau tanpa dasar, dan
mereka yang mengingkari segala sesuatu yang berwujud.
metafisik.Selain mengajar beriman kepada yang ghaib, Islam.
mengajarkan manusia untuk membuktikan ajakannya secara
rasional.
b) Ibadah dalam Syiar Islam
Islam mewajibkan penganutnya untuk melakukan ibadah
dalam bentuk dan jumlah yang sangat terbatas, misalnya salat
lima waktu dalam sehari, puasa sebulan dalam setahun, haji
sekali seumur hidup, agar selalu ada komunikasi antara
manusia dengan Tuhannya. Selebihnya, Allah
mempersilahkan manusia untuk berkarya dan bekerja mencari
rezeki Allah dimuka bumi. Kewajiban melaksanakan ibadah
tidak banyak dan menyulitkan juga, tidak menghalangi
seseorang untuk bekerja mencari nafkah.2
8
M. Zainuddin dan Muhammad In‟am Esha, Islam Moderat Konsepsi Interpretasi dan Aksi, hal. 71.
9
Jabbar Sabil, Muslim Moderat Tadabbur Sirkularitas Keilmuan Islam, hal. 84.
15
c) Akhlaq
Manusia terdiri dari dua unsur jasmani dan rohani. Jasmani
berasal dari tanah atau bumi yang melambangkan kerendahan.
Adapun rohani berasal dari Tuhan, dan bahkan ia merupakan
unsur ketuhanan (lahut) yang terdapat dalam diri manusia
yang melambangkan ketinggian10
Al-Ghulluww dalam beragama yang menjauh dari wasathiyyah
ditandai dengan beberapa sikap antara lain:
a. Fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu pandangan.
Sikap fanatik yang berlebihan ini mengakibatkan seseorang
menutup diri dari pandangan-pandangan lain dan menganggap
pandangan yang berbeda dengannya sebagai pandangan yang
salah atau sesat. Padahal para salaf alshâlih bersepakat
menyatakan bahwa setiap orang dapat diambil dan
ditinggalkan pandangannya, kecuali Rasulullah Saw. Perasaan
bahwa dirinyalah yang paling benar membuat seseorang tidak
bisa bertemu dengan lainnya, sebab pertemuan akan mudah
terjadi jika berada di tengah jalan. sementara dia tidak tahu
mana bagian tengah dan tidak mengakui keberadaannya,
seakan dia memposisikan dirinya berada di timur dan orang
lain di barat. Akan lebih berbahaya lagi jika kemudian diikuti
dengan pemaksaan pendapat atau pandangan yang dianutnya
kepada orang lain dengan menggunakan kekerasan atau
dengan melempar tuduhan sebagai ahli bid'ah atau sesat, atau
bahkan kafir, terhadap mereka yang berbeda pandangan
dengannya.11
b. Cenderung mempersulit
Dalam beragama seseorang boleh saja berpegangan pandangan
yang ketat, terutama dalam masalah masalah fiqih, seperti
tidak menggunakan rukhshah/keringanan, atau kemudahan,
padahal itu dibolehkan sebagai bentuk kehatihatian, tetapi
akan kurang bijak jika kemudian mengharuskan masyarakat
mengikutinya. Padahal kondisi mereka tidak memungkinkan,
10
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, hal 53.
11
Muchlis M. Hanafi, Moderasi Islam Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, hal. 16.
16
atau berdampak menyulitkan orang lain. Sebagai contoh,
mengajarkan masyarakat untuk melakukan ibadah sunnah
seakan ibadah wajib, atau sesuatu yang makruh diposisikan
sebagai sesuatu yang haram. Apalagi hal itu dilakukan
terhadap mereka yang baru mengenal Islam atau baru bertobat
dari kesalahan masa lampau secara pribadi, atau dalam
kesendirian Rasulullah adalah seorang yang sangat kuat dalam
beribadah sampaisampai setiap salat beliau memanjangkan
bacaan atau salatnya sehingga kedua kakinya bengkak
(kapalan), tetapi manakala mengimami salat di masjid, beliau
memperhatikan kondisi jam‟ah yang sangat beragam dan tidak
memperpanjang bacaan.
c. Berprasangka Buruk kepada orang lain
Sikap merasa paling benar menjadikan seseorang
berprasangka buruk kepada orang lain dan melihat orang lain
dengan kacamata hitam putih, seakan tidak ada kebaikan
kepada orang lain serta tidak berusaha memahami dasar
pemikiran orang lain yang berbeda dengannya, sehingga bila
ada yang berbeda dengannya seperti dalam hal memegang
tongkat saat khutbah atau makan di lantai, seperti yang
dilakukan Nabi, dianggap tidak mengikuti sunnah atau tidak
mencintai Rasul atau bila mendapati seseorang ulama berfatwa
dalam hukum yang memberi kemudahan, dianggap telah
menggampangkan atau sebagai sebuah keteledoran dalam
beragama. Padahal salaf al-shâlih mengajarkan agar setiap
muslim selalu berprasangka baik kepada orang lain dan
berusaha memahami alasannya sampai pun bila ada sepuluh
indikator kesalahan, sebab boleh jadi masih ada satu indikator
lain yang menunjukkan dirinya benar
d. Mengkafirkan orang lain
Kritik terhadap golongan Islam lain tidak dilarang namun
kritikan tersebut memiliki batas-batas yang etis dan tidak
menafikan keislaman mereka. Mengkafirkan sesama muslim
haram hukumnya. Nabi bersabda: “Apabila seorang Muslim
mengkafirkan saudaranya, maka tuduhan itu akan kembali
17
pada salah satunya.” Karena apabila kritik itu berupa
pengkafiran dan pensyirikan, maka itu sama dengan
menghalalkan darah sesama muslim. Padahal hal tersebut
bukan saja haram tapi akan sangat mengancam sendi-sendi
persatuan umat Islam.
2.3 Nilai Moderat dalam Makna Jihad
Sumber ajaran Islam ialah al-Qur‟ân dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Rujukan
paling utama dalam ajaran Islam yaitu kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umat manusia. Hakikat diturunkannya al-
Qur‟ân adalah menjadi acuan moral secara universal bagi umat manusia dalam
memecahkan problematik sosial yang timbul di tengah-tengah masyarakat. Itulah
sebabnya, metode penafsiran al-Qur‟ân secara tematik, justru dihadirkan untuk
menjawab perbagai problematik aktual yang dihadapi masyarakat sesuai dengan konteks
dan dinamika sejarahnya.
Era teknologi informasi dan komunikasi yang datang tak terelakkan ini telah
menyisakan sebuah tantangan yang mesti kita hadapi bersama. Tantangan tersebut tak
lain berupa perubahan dalam sebuah lini dan aspek kehidupan, semangat globalisasi
telah memangkas bola dunia yang luas menjadi sempit dalam wujud desa buana.
Sebagai dampaknya, laju informasi dan komunikasi bukan saja sulit disaring apa lagi
dibendung, tetapi sekaligus mengaburkan nilai-nilai kemanusiaan dalam pranata
kehidupan umat beragama sehari-hari.12
Sebagai agama samawi terakhir yang diturunkan Allah Swt melalui Nabi
Muhammad Saw, Islam dipersepsikan mengandung ajaranajaran moderat di dalamnya,
yang sering dikenal dengan istilah Moderasi Islam. Dalam struktur ajarannya, Islam
selalu memadukan kedua titik ekstrimitas yang saling berlawanan, Sebagai contoh,
ajaran Islam tidak semata memuat persoalan ketuhanan secara esoterik, melainkan juga
hal-hal lain menyangkut kemanusiaan dengan implikasinya dalam kehidupan sehari-
hari.
Islam selalu bersikap moderat dalam menyikapi setiap persoalan, bahkan prinsip
moderasi ini menjadi karakteristik Islam dalam merespon segala persoalaan.13Dalam
konteks keseimbangan, Rasulullah pun melarang umatnya untuk tidak terlalu berlebihan
meski dalam menjalankan agama sekalipun. Beliau lebih senang jika hal itu dilakukan
12
Abu Yasid, Islam Moderat, Jakarta: Erlangga, 2014), hal. 1.
13
Alif Cahya Setiyadi, Pendidikan Islam Dalam Lingkaran Globalisas, Jurnal University of Darussalam Gontor Vol. 7,
No. 2, Desember 2012, hal. 252.
18
secara wajar tanpa adanya pemaksaan diri dari yang berlebihan. Dalam realitas
kehidupan nyata, manusia tidak dapat menghindarkan diri dari perkara-perkara yang
berseberangan, karena itu, al-Wasathiyyah Islamiyyah mengapresiasi unsur
Rabbaniyyah (ketuhanan) dan Insaniyyah (kemanusiaan), mengkombinasi antara
maddiyyah (materialisme) dan ruhiyyah (spiritualisme), menggabungkan antara wahyu
(revelation) dan akal (reason), antara maslahah „âmmah (aljamâiyyah) dan maslahah
individu (al-fardiyyah). Beberapa gambaran keseimbangan inilah yang biasa dikenal
dengan istilah “moderasi”. Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa inggris,
moderation, yang artinya adalah sikap sedang atau sikap tidak berlebihan. Jika dikatakan
orang itu bersikap moderat berarti ia wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrim,
sementara dalam bahasa Arab, kata moderasi biasa diistilahkan dengan wasath atau
wasathiyah; orangnya disebut wâsith.
Di dalam Tafsir al-Huda, makna jihad bukan hanya jihad dengan fisik saja seperti
perang, bukan juga hanya spiritual saja, akan tetapi ada juga dakwah, karena muslim
ideal adalah muslim yang mampu menyajikan tiga potensi dalam dirinya, yakni ijtihâd,
mujâhadah dan Jihâd. Ijtihâd adalah potensi yang berada pada tataran akal, cakap secara
intelektual akademis, sementara mujâhadah adalah potensi pada wilayah spiritual yang
dilakukan dengan olah batin dan terakhir adalah jihâd potensi yang berdimensi fisik,
yakni berjuang secara fisik untuk berbuat baik di jalan yang diridhoi Allah Swt.14
14
Fariz Alniezar, Jangan Membonsai Ajaran Islam, hal. 123.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Jihad segala bentuk usaha maksimal untuk penerapan agama Islam dan
pemberantasan kedzaliman serta kejahatan, baik terhadap diri sendir imaupun dalam
masyarakat. Kata-kata jihad dalam al-Quran kebanyakan mengandung pengertianumum.
Artinya, pengertiannya tidak hanya terbatas pada peperangan, pertempuran, dan
ekspedisi militer, tetapi mencakup segala bentuk kegiatan dan usaha yang maksimal
dalam rangka dakwah Islam, amar’makruf’nahyimunkar (memerintah kebajikan dan
mencegah kemunkaran). Dalam pengertian umum ini, berjihad harus terus berlangsung
baik dalam keadaan perang mau pun damai, karena tegaknya Islam bergantung pada
jihad. Jihad secara umum populer dimaknai dengan perang secara fisik menghadapi
musuh. Namun secara syariat, sebenarnya jihad tidak hanya sebatas itu.
Sementara Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, moderation yang
artinya adalah sikap sedang atau sikap tidak berlebihan. Jika dikatakan orang itu bersikap
moderat berarti ia bersikap Wajar, biasa-biasa saja dan tidak ekstrem. Jihad dengan
makna berperang secara fisik hanya merupakan sebagian kecil jihad dan itupun harus
memenuhi berbagai persyaratan-persyaratan tertentu, seperti atas izin kepala
pemerintahan, tidak ada perjanjian damai, tidak menimbulkan kehancuran yang sia-sia,
dan selainnya. Tidak sesederhana meneriakkan takbir “Allahu akbar” kemudian
menghancurkan apa saja yang di depannya.
3.2 SARAN
Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan
landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca agar melihat referensi lain yang
terkait dengan pembahasan makalah ini demi relevansi kajian ilmu yang akurat. Maka
dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian,
terimakasih.
20
DAFTAR PUSTAKA
Muntaha, Ahmad. 2021. Khutbah Jumat: Fiqih Jihad. Diakses pada Kamis, 11 November
2021, melalui https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-fiqih-jihad-PYnNl
Aryadillah, Mochammad, “Semangat Jihad dan Kerukunan Antar Umat Beragama, “ dalam
Jurnal Refleksi, Vol. 17 No. 1 Tahun 2018.
Azra, Azyumadi, Jihad dan Terorisme: Konsep dan Perkembangan Historis, dalam Jurnal
Islamika No. 4 April Juni, hal. 80.
Zaidan, Abdul Karim, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Media Dakwah, 1983).
Zainuddin, M. dan Muhammad In‟am Esha, Islam moderat konsepsi Interpretasi dan Aksi,
(Malang: Maliki Press, 2016).
Yusuf bin Sholeh al-‟Uyairy al-Battar, Petunjuk Praktis Menjadi Mujahid, diterjemahkan
oleh Syahida Man, (T.tp: Maktab Nida ul Jihad, t.t.).
Yusuf, Abdullah, Al-Qur‟ân Terjemahan dan Tafsirnya, diterjemahkan oleh Ali Audah,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
21