Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEJARAH, PEMBINAAN, DAN PERKEMBENGAN ILMU HADITS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulum Al Hadits

Dosen Pengampu : Ma’murotus Sa’adah, M.S.I.

Disusun oleh:

KELOMPOK 3

1. Fadhilah Miftahul Ilmi (1908056010)


2. Kelvin Demanda (1908056015)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

TAHUN AJARAN 2019/2020


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ulum Hadits sebagai sebuah disiplin ilmu tidaklah muncul secara tiba-tiba dan lengkap
seperti yang kita jumpai sekarang ini. Ia tumbuh dan berkembang dalam kurun waktu tertentu.
Ilmu hadits juga mengalami periode-periode tertentu dan pembinaan-pembinaan sehingga
muncul spesifikasi cabang-cabang ilmu hadits yang beraneka ragam.
Dalam pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits itu sendiri, mulai zaman Rasulullah SAW
hingga masa setelah tabi` tabi`in,  ia mengalami pasang surut. Hal ini tentunya di pengaruhi oleh
beberapa faktor  dan karakteristik ulama` Islam pada masanya.
Menurut sementara ulama ilmu hadits, pertumbuhan ilmu hadits dibagi menjadi  5
masa/periode. Kelima periode itu adalah periode Rasulullah SAW, periode Sahabat, periode
Tabi’in, periode Tabi’ Tabi’in, dan periode setelah Tabi’ tabi’in (abad 4 H). Selain itu setiap
masa/periode juga memiliki karakteristik yang menyertainya yang mana masing-masing
memiliki perbedaan tersendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadis?
2. Bagaimana karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis?
3. Apa perbedaan antara pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis?
4. Apa usaha-usaha penghimpunan ilmu hadis?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah perkembangan ilmu hadis
2. Mengetahui karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis
3. Mengetahui perbedaan antara pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis
4. Mengetahui usaha-usaha penghimpunan hadis
BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis


Perkembangan ilmu hadis telah melalui tahap-tahap perkembangan dalam sejarah. Namun
ada beberapa hal yang menunjukkan adanya tahap-tahap perkembangan ilmu hadis yang belum
pernah dijadikan sebagai landasan penelitian historis oleh para peneliti terdahulu. Tahap-tahap
tersebut ada tujuh, yaitu :
a. Tahap Pertama, Kelahiran Ilmu Hadis
Tahap ini berlangsung pada masa sahabat sampai penghujung abad pertama Hijriah.
Ketika Nabi SAW wafat, para sahabatlah yang membawa panji-panji Islam. Kafilah ini
berjalan mengawalinya demi menyelamatkan kemanusiaan dan menyampaikan segala
sesuatu yang diajarkan oleh Rasul SAW, dimana pada waktu itu mereka telah hafal Al-Quran
dengan sempurna seperti halnya mereka menguasai dan memelihara hadis Nabi.
Ada beberapa faktor pendukung pemeliharaan hadis yang terpenting adalah sebagai berikut.
1) Kejernihan Hati dan Kuatnya Daya Hafal
Bangsa Arab dahulunya adalah umat yang ummi, tidak dapat membaca dan menulis,
namun hanya mengandalkan ingatan yang mana ingatan tersebut akan berkembang dan
semakin kuat apabila dipergunakan setiap diperlukan. Selain itu kesederhanaan
kehidupan dan jauhnya mereka dari hiruk pikuk peradaban kota dengan dengan segala
problematikanya menjadikan mereka berhati jernih.
2) Minat yang Kuat terhadap Agama
Bangsa Arab yakin bahwa tidak ada kebahagiaan di dunia dan keberuntungan di
akhirat, dan tidak ada jalan menuju kemuliaan dan kedudukan yang terhormat di antara
umat lain kecuali dengan agama Islam ini. Karena itu mereka mempelajari seluruh hadis
Nabi dengan penuh perhatian.
Selain itu, minat seperti ini diperkuat dengan imbauan Rasulullah Saw. Kepada
mereka agar menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang-orang. Imbauan
tersebut terdapat dalam banyak hadis salah satunya hadis Zaid bin Tsabit, katanya “Saya
mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya:
“Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits
dariku, lalu dia menghafalnya – dalam lafazh riwayat lain: lalu dia memahami dan
menghafalnya –, hingga (kemudian) dia menyampaikannya (kepada orang lain),
terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang
lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak
memahaminya”
(HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
3) Kedudukan Hadis dalam Agama Islam
Hadis merupakan sendi asasi yang telah membentuk pola pikir para sahabat serta
sikap perbuatan dan etika mereka. Sebab mereka senantiasa ikut dan tunduk kepada
Rasulullah SAW dalam segala hal, sehingga setiap kali mereka mendapatkan suatu
kalimat dari Nabi SAW maka kalimat itu akan mendarah daging dan menjelma dalam
perilaku mereka.
4) Nabi Tahu bahwa para Sahabat Akan Menjadi Pengganti Beliau dalam Mengemban
Amanah dan Menyampaikan Risalah
Nabi menempuh beberapa metode dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat
dan menempuh jalan hikmah agar mereka benar-benar mampu mengemban tanggung
jawab. Di antara cara beliau berbicara adalah sebagai berikut.
a) Nabi SAW tidak menyampaikan hadis secara beruntun, melainkan sedikit demi
sedikit, agar dapat meresap dalam hati.
b) Beliau tidak berbicara dengan panjang lebar, melainkan dengan sederhana.
c) Nabi sering kali mengulangi pembicaraannya agar dapat ditangkap oleh hati orang-
orang yang mendengarnya.
5) Penulisan Hadis
Penulisan adalah suatu media terpenting bagi pemeliharaan ilmu pengetahuan dan
penyebarannya kepada masyarakat luas. Tidak terkecuali ini telah menjadi suatu media
dalam upaya pemeliharaan hadis, meskipun dalam hal ini terdapat sejumlah riwayat yang
berbeda dan pandangan yang beraneka ragam.

b. Tahap Kedua: Tahap Penyempurnaan


Pada tahap ini ilmu hadis mencapai titik kesempurnaannya, karena setiap cabangnya
dapat berdiri sendiri dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan
dipergunakan oleh para ulama. Tahap ini berlangsung dari awal abad kedua sampai awal
abad ketiga, yang antara lain ditandai dengan sejumlah peristiwa yang menonjol.
1) Melemahnya daya hafal di kalangan umat Islam sebagaimana disebutkan al-Dzahabi
dalam kitab Tazkirat al-Huffazh,
2) Panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadis, lantaran bentangan jarak, waktu, dan
semakin banyaknya rawi. Ditambah lagi kemungkinan masuknya sejumlah faktor yang
mencatatkannya atau mengandung banyak ‘illat yang jelas atau samar.
3) Munculnya sejumlah kelompok umat Islam yang menyimpang dari jalan kebenaran yang
ditempuh para sahabat dan tabiin, seperti Mu’tazilah, Jabbariyah, Khawarij, dan
sebagainya.
Oleh karena itu, para imam umat Islam bangkit untuk mengantisipasi kekacauan ini
dengan langkah yang dapat menutup pengaruh yang timbul, antara lain dengan pembukuan
hadis secara resmi, sikap para ulama yang lebih kritis terhadap para rewi hadis, sikap
tawaqquf (tidak menolak dan tidak menerima) apabila mendapatkan hadis dari seseorang
yang tidak mereka kenal sebagai ahli hadis, dan sikap menelusuri sejumlah hadis untuk
mengungkap kecacatan yang mungkin tersembunyi didalamnya supaya setiap hal yang baru,
mereka membuat kaidah dan formula khusus dalam upaya mengenalkannya.1

c. Tahap Ketiga: Tahap Pembukuan Ilmu Hadis secara Terpisah


Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah. Abad
ketiga merupakan masa pembukuan hadis dan merupakan zaman keemasan Sunah, sebab
dalam abad inilah Sunah dan ilmu-ilmunya dibukukan dengan sempurna. Hal tersebut bukan
tanpa alasan, semakin banyaknya upaya dalam menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka
memaksakan pendapat mereka serta adanya momentum pertentangan mazhab.
Pada periode ini para Ulama Hadis memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan,
keberadaan dan terutama kemurnian Hadis-Hadis Nabi SAW, sebagai antisipasi mereka
terhadap kegiatan pemalsuan Hadis yang semakin marak.
1) Perlakuan ke daerah. Pengumpulan Hadis pada abad ke-2 H masih terbatas di daerah
perkotaan tertentu saja, sementara para perawi Hadis telah menyebar ke daerah-daerah
yang jauh memperluas dengan semakin meluasnya daerah di wilayah Islam. Dalam
rangka menghimpun Hadis- Hadis yang belum terjangkau pada masa sebelumnya, maka
pada abad ke-3 H para Ulama Hadis melakukan perlawatan penilaian para perawi Hadis
yang jauh dari pusat kota. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Imam Bukhari yang telah
melakukan perlawatan selama 16 tahun dengan kota Mekah, Madinah, Baghdad, Basrah,
Kufah, Mesir, Damsyik, Naisabur, dan lain-lain. Kegiatan seperti ini selanjutnya diikuti
oleh Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan lain-lain.
2) Pengklasifikasian Hadis untuk: Marfu ', Mawquf, dan Maqthu' Pada permulaan abad ke-3
H telah dilakukan pengelompokan Hadis untuk: (i) Marfu ', yaitu Hadis yang disandarkan
kepada Nabi Saw, (ii) Mawquf, yang disandarkan untuk Sahabat, dan (ii) Maqthu ', yang
disandarkan kepada Tabi'in. Dengan cara ini Hadis- Hadis Nabi SAW terpelihara dari
percampuran dengan fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi.
3) Penyeleksian kualitas Hadis dan pengklasifikasiannya kepada: Shahih, Hasan, dan Dha'if.
Penyeleksian kualitas Hadis dan pengklasifikasiannya kepada Shahih dan Dhaif dimulai
pada pertengahan abad ke-3 H yang dipelopori oleh Ishaq ibn Rahawaih. Kegiatan ini
dikuti oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Majah, dan lain-lain.
Pada awalnya Hadis dikelompokkan kepada Shahih dan Dha'f saja, namun setelah Imam
Tirmidzi, Hadis dikelompoldkan menjadi Shahih, Hasan, dan Dha’if.2

d. Tahap Keempat; Penyusunan Kitab-Kitab Induk ‘Ulum al-Hadits


1 Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2017), hlm. 25-52.
2 Nawir Yusem, ULUMUL HADIS (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 1998), hlm. 134-136.
Masa ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal abad ketujuh.
Pada periode ini, para ulama menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah disusun oleh
para ulama sebelumnya. Kemudian mereka menghimpun keterangan-keterangan yang masih
berserakan kemudian melengkapinya dengan keterangan-keterangan ulama lain yang
diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya. Sesudah itu mereka memberi
komentar terhadap keterangan-keterangan dan digali hukumnya.
Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali
berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap, adalah seorang
ulama sunni bernama al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-
Ramahurmuzi (w. 360 H), dengan kitabnya Al-Muhaddiits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-
Wa’i. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, karya ar-Ramahurmuzi ini belum mencakup seluruh
ilmu hadis. Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut, kitab ini sampai pada masanya
merupakan kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh para ulama berikutnya.3
Orang kedua setelah ar-Ramahurmuzi, ialah al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin
Abdillah an-Naisaburi (321-405H) dengan kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis. Pada kitab ini
dibahas sebanyak 52 macam pembahasan. Namun, seperti karya ar-Ramahurmuzi, karya al-
Hakim ini juga belum sempurna dan kurang sistematis dibanding dengan kitab-kitab karya
ulama berikutnya.4

e. Tahap Kelima: Kematangan dan Kesempurnaan Pembukuan ‘Ulum al-Hadits


Tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulum al-Hadis bermula pada abad
ketujuh dan berakhir pada abad kesepuluh. Pembukuan ‘Ulum al-Hadis pada tahap ini
mencapai tingkat kesempurnaan dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh
cabang ilmu hadis. Pada tahap ini dilakukan penelitian secara mendetail terhadap sejumlah
masalah dan upaya perbaikan sejumlah ungkapan yang memerlukan penghalusan redaksi.
Para penyusun kitab adalah para imam besar yang hapal semua hadis dan menyamai
pengetahuan dan penalaran para imam besar terdahulu terhadap cabang-cabang hadis, sanad
dan matannya.
Pelopor pembaharuan dalam pembukuan ilmu hadis pada masa ini ialah al-Imam al-
Muhaddits al-Faqih al-Hafidz al-Ushul Abu ‘Amr ‘Utsman ibn al-Shalah (w. 643) dengan
kitab ‘Ulum al-Hadis yang sangat masyhur. Keistimewaan kitab ini ialah:
1) Kemampuannya menarik kesimpulan yang sangat baik terhadap dan kaidah yang
dikemukakan para ulama.
2) Memberi batasan terhadap defenisi-defenisi yang ada sambil menguraikannya, juga
menjelaskan definisi-definisi yang belum pernah dijelaskan sebelumnya.

3 Shubhi as-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa mushthalahah (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1997), hlm 5.
4 Kitab Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits ini diikhtiarkan oleh Thahir al-Jaza’iri (w. 1338 H) dalam kitabnya berjudul “Taujih
an-Nazhar”
3) Mengomentari pendapat para ulama berdasarkan hasil penelitian dan ijtihad
penyusunnya.

Kitab-kitab yang tercatat sebagai tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan


‘Ulum al-Hadis ialah:
1) Al-Irsyad karya Imam Yahya ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H). Kitab ini merupakan
ringkasan dari kitab ‘Ulum al-Hadis kemudian diringkaskan lagi menjadi al-Taqrib wa al-
Taisir li Ahadis al-Basyir al-Nadzir.
2) Al-Tabshirah wa al-Tadzkirah. Kitab yang disusun dalam bentuk syair sebanyak seribu
bait karya al-Hafidz Abd al-Rahman ibn al-Husain al-Iraq (w. 806 H). Kitab ini
mencakup seluruh isi kitab ‘Ulum al-Hadis dengan menjelaskan dan menambah
kekurangannya dengan beberapa masalah lalu disyarahi dengan syarah yang sangat baik.
3) Al-Taqyid wa al-Lidhah li ma Uthliqa min Kitab ibn al-Shalah yang dikenal dengan
nama al-Nukat. Kitab ini diberi catatan kaki oleh Fadhilat al-Syaikh Muhammad Raghib
al-Thabbah dengan keterangan-keterangan yang sangat bermanfaat.
4) Al-Ifshah ‘ala Nukat ibn al-Shalah. Kitab syarah ‘Ulum al-Hadis disusun oleh al-Hafidz
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Atsqalani (w. 852 H). kitab ini sampai sekarang masih
dalam bentuk naskah tulisan tangan yang terdapat di India.
5) Fath al-Mughits Syarh Al-Fiyah al-Iraqi fi ‘Ilm al-Hadis karya al-Hafidz Syamsuddin
Muhammad al-Shakhawi (w. 902 H). Kitab ini memuat hasil studi kritis terhadap
masalah-masalah yang terdapat dalam kitab-kitab sunnah dan ‘Ulum al-Hadis. Kitab ini
dicetak di India dalam satu jilid tebal.
6) Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi karaya al-hafidz Jalaluddin Abd al-Rahman al-
Suyuthi (w. 911 H).
7) Nukhbat al-Fikr dan syarahnya Nuzhat al-Nadzar. Keduanya karya al-hafidz Ibn Hajar.5

f. Tahap Keenam: Masa Kebekuan dan Kejumudan


Dalam perkembangannya, ‘Ulum al-Hadis sempat mengalami masa kebekuan dan
kejumudan. Keadaan ini berlangsung dari abad kesepuluh sampai awal abad keempat belas
Hijriyah. Pada masa ini, ijtihad dalam masalah ilmu hadis dan penyusunan kitab nyaris
berhenti total. Kitab-kitab yang ditulis pada umumnya ringkas dan praktis, baik dalam bentuk
syair maupun prosa. Para penulis hanya sibuk dengan kritikan-kritikan terhadap istilah-istilah
yang terdapat dalam kitab yang telah ada tanpa ikut menyelami inti permasalahannya.
Mereka kurang melakukan penelitian dan ijtihad sehingga perkembangan ‘Ulum al-Hadis
mengalami kemandekan. Walaupun demikian masih ada penerbitan buku yang berkaitan
dengan ‘Ulum al-Hadis, di antaranya:

5 Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2017), hlm. 57-59.
1) Al-Manzhumat al-Baiquniyyah karya ‘Umar ibn Muhammad ibn futuh al-Baiquni al-
Dimasqi (w. 1080 H). kitab ini berisi 36 bait syair. Keistimewaan kitab karena disusun
secara sistematis dan dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga mudah dihapalkan
oleh orang-orang yang mempelajarinya.
2) Taudhih al-Afkar karya Al-Shan’ani Muhammad ibn Isma’il al-Amir (w. 1182 H).
3) Syarah Nuzhat al-Nazhar karya Syekh ‘Ali ibn Sulthan al-Harawi al-Qari’i (w. 1014 H).
Pada masa kebekuan dan kejumudan ini, bangkit pengkajian al-Hadis di India yang
dipelopori oleh al-Allamah al-Imam al-Muahddits syah Waliyu Aliah al-Dahlawi (w. 1176
H). Upaya pengkajian ini dilanjutkan oleh anak dan cucunya serta murid-muridnya dengan
berpedoman kepada kaedah-kaedah yang sudah baku.6

g. Tahap Ketujuh: Kebangkitan Kedua


Setelah mengalami masa kebekuan dan kejumudan, pengkajian terhadap ‘Ulum al-Hadis
semakin dikembangkan oleh ulama-ulama kontemporer. Tahap ini diistilahkan oleh Nur al-
Din sebagai masa kebangkitan kedua. Masa kebangkitan kedua bermula pada permulaan
abad keempat belas hijriyah. Umat Islam bangkit kembali karena khawatir pengaburan ajaran
agama akibat persentuhan dunia Islam dengan dunia Barat dan Timur, bentrokan militer yang
tidak manusiawi, orientalis kolonialisme pikiran yang lebih jahat dan lebih berbahaya.
Kondisi telah menuntut untuk disusunnya kitab-kitab yang membalas tuduhan dan
menyanggah kesalahan-kesalahan dan kedustaan mereka. Tuntutan ini menghasilkan
beberapa karya ulama antara lain:
1) Qawaid al-Tahdits karya Syekh Jamaluddin al-Qasimi. Kitab ini membahas: Hadis
Shahih dan Hadis Hasan, Hadis dhaif, dan Hal-hal yang berkaitan dengan ketiga hadis
tersebut.
2) Miftah al-Sunnah atau Tarikh Funun al-Hadis karya ‘Abd Aziz al-Khuli. Kitab ini
menjadi pelopor pengkajian sejarah Hadis dan perkembangan ilmu-ilmunya.
3) Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami karya Dr. Musthafa al-Siba’i. Kitab ini
membicarakan hal ikhwal orientalis, serangan mereka terhadap Hadis, dan serangan balik
mereka ketika kalah berargumentasi. Kitab ini juga menyanggah anggapan-anggapan
kelompok ingkar al-Sunnah baik dari generasi terdahulu dan pada saat itu.
4) Al-Hadis wa al-Muhadditsin karya Dr. Muhammad Abu Zahw. Kitab ini menjelaskan
tentang ketekunan para ulama dalam mengabdi kepada al-Sunnah disertai hasil penelitian
kondisi hadis pada periode pertama yaitu periode sahabat, tabi’in sampai periode
pembukuan hadis. Kitab ini juga dilengkapi dengan sanggahan terhadap isu dan anggapan
yang bathil berkenaan dengan hadis.

6 Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2017), hlm. 61.
5) Al-Manhaj al-Hadis fi ‘Ulum al-Hadis karya Dr. Syekh Muhammad al-simahi, yang
menguasai seluruh cabang Ilmu Hadis secara luas dan komprehensif, begitu juga kaidah-
kaidahnya yang panjang dan mencakup. Kitab ini terbagi atas empat bagian.
Bagian pertama : Sejarah Hadis terdiri atas tiga jilid
Bagian Kedua : Musthalah al-Hadis
Bagian Ketiga : Periwayatan Hadis
Bagian Keempat : Hal Ikhwal para rawi.7

2. Karakteristik Pertumbuhan dan Pembinaan Ilmu Hadis


Pertumbuhan secara etimologi diartikan hal keadaan tumbuh, perkembangan. Sedang
pembinaan terbentuk dari kata dasar “bina” dan mendapat imbuhan pe-an menjadi pembinaan
yang berarti usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakakukan secara berdaya guna dan berhasil
guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.8 Jadi, pertumbuhan ilmu hadis diartikan sebagai
perkembangan ilmu hadits mulai dari perintisannya sampai tumbuh dan perkembangnya hingga
masa sekarang. Sedang pembinaan ilmu hadis, secara singkat adalah usaha, tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna terhadap ilmu-ilmu hadits mulai
cikal bakalnya hingga hadits bisa menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sitematis,
luas dan lengkap bahasannya.
Secara umum karakteristik pertumbuhan Ilmu Hadist mulai zaman Nabi SAW sampai zaman
setelah Tabi’ tabi’in adalah sebagai berikut:
a. Masa Nabi Muhammad SAW
Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu hadits (IHR dan IHD) selalu mengiringinya
sejak masa Rasulullah SAW sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada
masa Nabi masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada persoalan karena jika
menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu
dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pemalsuanpun tidak pernah terjadi menurut
pendapat ulama ahli hadits.
Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits
memperhatikan adanya dasar – dasar dalam Al quran dan hadits Rasulullah SAW. Misalnya
anjuran pemeriksaaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil. Firman Allah
dalam Alquran surat Al Hujurat(49): 6, demikian juga dalam surat Al Baqoroh(2): 282 dan
At Thalaq(65): 2.9
Ayat – ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang fasik tidak diterima.
Ayat – ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang datang
dibawa seorang fasik yang tidak adil. Diperiksa untuk diverifikasi keobyektifannya dari
sumber berita tersebut. Demikian juga sabda Nabi Muhammad dalam haditsnya :

7 Ibid., hlm. 62-63.


8 https://kbbi.web.id/pembinaan
9 Abdul Majid Khon,Ulum Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009) hlm. 79.
Artinya: Allah menerangi (menggembirakan) seseorang yang mendengar sesuatu
daripada kami kemudian ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya.maka banyak
orang yang menyampaikan lebih mengerti daripada yang mendengar”. (HR. Al Turmuzdi).
Ayat dan hadits di atas menjadi dasar perlunya pemeriksaan dan penelitian berita dan
hadits yang yang dismpaikan oleh seseorang, cara memelihara, dan cara menyampaikannya
kepada orang lain.

b. Masa Sahabat
Setelah Rasulullah meninggal, kondisi sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatakan
hadits karena konsentrasi mereka terhadapa alquran yang baru dikodifikasikan pada masa
Abu Bakar tahap awal dan masa Usman tahap kedua. Masa ini terkenal dengan masa taqlil
ar riwayah (pembatasan periwayatan). Para sahabat tidak akan meriwayatkan hadits kecuali
disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadits yang ia riwayatkan benar-benar dari
Rasulullah SAW. Pada masa awal islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadits
karena orangnya masih jujur-jujur, saling mempercayai satu dengan yang lain. Tetapi setelah
timbulnya konflik fisik (fitnah) antar elit politik yakni antar pendukung Ali dan Muawiyah
dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syiah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah
itu mulai terjadi pemalsuan hadits (hadits maudlu`) dari masing – masing sekte dalam rangka
mencari dukungan politik dari massa yang lebih banyak. Pada masa ini dapat disimpulkan
bahwa ilmu hadits sudah timbul secara lisan dan eksplisit yang dibuktikan dengan adanya
keharusan mendatangkan saksi, bersumpah dan sanad (bila diperlukan).

c. Masa Tabi`in
Melihat kondisi seperti hal diatas para ulama` bangkit membendung hadits dari
pemalsuan dengan berbagai cara diantaranya pemeriksaan yang lama mengenai kebenaran
hadits dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapatkan hadits harus
disertai dengan sanad. Keharusan sanad dalam periwayatan bahkan menjadi tuntutan yang
sangat kuat ketika Ibnu Syihab Az Zuhri menghimpun hadits dari para ulama diatas lembaran
kodifikasi. Sanad merupakan syarat mutlak bagi yang meriwayatkan hadits, maka dapat
disimpulkan bahwa pada saat itu telah timbul pembicaraan periwayat mana yang adil dan
mana yang cacat (ilm jarh wa ta`dil), sanad mana yang terputus (munqothi`) dan yang
tersambung (muttashil), dan cacat (illat) yang tersembunyi.
Perkembangan ilmu hadits semakin berkembang pesat ketika ahli hadits membicarakan
tentang daya ingat para pembawa dan perowi hadits kuat apa tidak (dlobith), bagaimana
metode penerimaan dan penyampaiannya (tahammul wa ada`), hadits yang kontra berisifat
menghapus (nasikh dan mansukh) atau kompromi, kalimat hadis yang sulit dipahami (gharib
al hadits) dan lain-lain. Akan tetapi, aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru
berjalan secara lisan (syafawi) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Baru ketika pada
pertengahan abad kedua sampai dengan ketiga hijriyah ilmu hadits mulai ditulis dan
dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum
berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu – ilmu lain atau berbagai buku atau berdiri secara
terpisah. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan ilmu ushul fiqh, seperti dalam kitab Ar
Risalah yang ditulis oleh As Syafi`i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al Umm dan
solusi hadis-hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilaf Al-Hadits karya As Syafi`i
(w.204 H).10

d. Masa Tabi’ tabi’in


Pada masa ini sejalan dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadits , perkembangan
penulisan ilmu hadits juga pesat. Namun penulisan ilmu hadits masih terpisah – pisah belum
menyatu menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Ia masih dalam bentuk bab-bab saja. Diantara
kitab-kitab hadis pada abad ini adalah kitab Mukhtalif Al-Hadits yaitu Ikhtilaf Al Hadist
Ikhtilaf Al Hadist karya Ali Al Madani, Ta`wil Mukhtalif Al Hadits karya Ibnu Qutaibah
(w.276 H).
Diantara ulama ada yang menulis hadits pada mukadimah bukunya seperti Imam Muslim
dalam Shahih-nya dan At Tirmidzi pada akhir kitab Jami`- nya. Diantara mereka Bukhori
menulis tiga tarikh yaitu At Tarikh Al-Kabir, At- Tarikh Al-Awsath, dan At-Tarikh Ash-
Shaghir. Muslim menulis Tobaqot At Tabiin dan Al-Ilal . At Tirmidzi menulis Al-Asma wal
Kuna dan Kitab AT-Tawarikh dan Muhammad bin Sa`ad menulis At Thabaqot Al-Kubro .
dan diantara mereka ada yang menulis secara khusus tentang periwayat yang lemah sepertio
Ad Dluafa yang ditulis oleh Al Bukhori dan Adl-Dlua`fa ditulis oleh An Nasai dan lain-lain.
Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadis yang ditulis oleh para ulama abad ke-3 Hijriyah ini,
namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai ilmu hadis, ia hanya terdiri dari bab-
bab saja. Ringkasnya kitab-kitab itu mengenai al jarhu wa ta`di, ma`rifat as sahabat, tarikh ar
ruwat, ma`rifat al asma` wal kuna wal al-alqob, ta`wil musykil al hadits, ma`rifat an nasikh
wal mansukh, ma`rifat hgharib al hadits, ma`rifat ilal al hadits.

e. Masa Setelah Tabi` Tabi`in (abad 4 H)


Pada masa ini perkembangan ilmu hadis mencapai puncak kematangan dan berdiri
sendiri pada abad ke-4 H yang merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu
yang berserakan dan terpisah pada abad-abad sebelumnya. Orang yang pertama kali
memunculkan ilmu hadis secara paripurna dan bersendiri sendiri adalah Al-Qadhi Abu
Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi, dalam karyanya al-
muhaddits al-fashil bain ar-rawi wa al-wa`i. Akan tetapi tentunya tidak mencakup
keseluruhan permasalahan ilmu. Kemudian diikuti oleh Al-Hakim Abu Abdullah An-

10 Ibid., hlm. 81.


Naisaburi yang menulis al-jami li adab asy-syaikh wa as-sami` dan kemudian diikuti juga
oleh penulis-penulis lain sebagaimana berikut:
1) Al-kifayah fi `ilmi ar-riwayah dan al-jami` li akhlaq ar-rawi wa adab as-sami`, oleh Al-
Khatib Al-Baghdadi
2) Al-mustakhraj `ala ma`rifah ulum al-hadis, yang ditulis oleh Ash-Shabahani
3) Al-ilma` `ila ma`rifah ushul ar-riwayah wa taqyid as-sama`, oleh Al-Qadhi `Iyadh bin
Musa Al-Yahshubi
4) `Ulum al-hadits, oleh Abu Amr Utsman bin Abdurrahman Asy-Syarahzuri yang dikenal
dengan sebutan Ibnu Ash-Shalah
5) Nazhm ad-durar fi `ilmi al-atsar, oleh Zainuddin Abdurrahim bin Al-Husain Al-Iraqi
6) Nukhbat al-fikar fi mushtalah ahl al-atsar, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani
7) Fath al mughits fi syarhi alfiyah al-hadits, oleh As-Sakhawi
8) Al-manzhumah al-baiquniyah, oleh Umar bin Muhammad Al-Baiquni, dll. 11
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa karakteristik pertumbuhan dan
pembinaan ilmu hadits dari masa Nabi sampai pada masa setelah Tabi`in sebagaimana tabel
di bawah ini :

No Masa Karakteristik Indikator


1. Masa Nabi Telah ada dasar-dasar ilmu QS. Al-Hujurat (49: 6 dan Al-
hadis. Baqarah (2): 282
2. Masa Sahabat Timbul secara lisan secara Periwayatan harus disertai saksi,
eksplisit. bersumpah dan, dan sanad.
3. Masa Tabi`in Telah timbul secara tertulis Ilmu hadis bergabung dengan fikih
tetapi belum terpisah dan ushul fikih, seperti al-umm
dengan ilmu lain. dan ar risalah
4. Masa Tabi` Ilmu hadis telah timbul Telah muncul kitab-kitab ilmu
Tabi`in secara terpisah dari ilmu- hadis seperti at-tarikh dan al-
ilmu lain tetapi belum i`lal karya Muslim, kitab al-asma`
menyatu. wa al kuna dan kitab at-
tawarikh karya At-Tirmidzi
5. Masa setelah Berdiri sendiri sebagai Ilmu hadis pertama al-muhaddits
Tabi` Tabi`in ilmu hadis. al-fashil bayna ar -rawi wa al-
(abad ke 4 H) wa`I karya Ar-Ramahurmuzi.

3. Perbedaan antara Pertumbuhan dan Pembinaan Ilmu Hadis


Pada pembahasan di atas sudah dijelaskan secara singkat antara pertumbuhan dan pembinaan
ilmu hadis dari masa ke masa. Uraian di atas juga telah memaparkan secara jelas perbedaan
pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis.
Dari uraian di atas juga dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu hadits dalam pertumbuhannya
mengalami pasang surut. Hal ini terlihat jelas pada zaman sahabat yang menetapkan syarat-

11 Ibid., hlm. 81-82.


syarat yang ketat dalam periwayatan hadis. Sedang masa-masa sesudahnya, ilmu hadits
mengalami pertumbuhan yang cukup baik.
Adanya taqlil ar riwayat pada masa sahabat bukanlah semata-mata ulama pada masa ini
kurang memperhatikan ilmu hadits. Bahkan sebaliknya, ini adalah usaha yang sungguh-sungguh
dan sebagai embrio cabang-cabang ilmu hadits.
Pada dasarnya pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis dari masa ke masa banyak di
pengaruhi kondisi sosial dan politik pada masanya. Secara jelas sejarah telah mengungkap hal
tersebut. Pada zaman Nabi SAW di rasa kurang begitu mendesak/perlu adanya ilmu hadits. Pada
zaman sahabat juga sama. Baru pada zaman tabi`in, dengan adanya persoalan politik, maka
secara otomatis penbinaan ilmu hadits perlu dilakukan sebagai bentuk penyelamatan hadits itu
sendiri. Begitu juga masa sesudahnya, pembinaan hadits juga banyak dipengaruhi kondisi sosial
budaya dan politik serta kebutuhan umat islam sendiri akan ilmu hadits.12

4. Usaha-Usaha Penghimpunan Hadits


a. Majelis-majelis Rasulullah SAW
Para sahabat selalu mendatangi majelis ilmu yang diselanggarakan Rasulullah SAW.
Beliau pun selalu menyediakan waktu untuk mengajar para sahabat dan juga mengkhususkan
waktunya untuk majelis kaum wanita. Beliau mengajar dan memberi fatwa kepada mereka.
Jika ada seorang sahabat absen, sahabat lain yang hadir akan memberitahukan pengajaran
yang didapat. Bahkan banyak sahabat yang diam-diam memperhatikan kehidupan Nabi
meskipun harus bertanya kepada istri-istri beliau.
b. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Rasulullah SAW.
Rasulullah sendiri yang mengalami persoalan. Kemudian memberitakan kepada sahabat.
Sahabat lain yang mendengar langsung mnyampaikan lagi pada keluarganya dan sahabat
lainnya. Sehingga sabda Nabi ini cepat tersebar luas. Jika yang hadir sedikit, Rasulullah
memerintahkan agar yang tidak hadir diberitahu atau dengan Rasulullah mengirimkan orang
untuk dikabarkan hukum itu dikalangan masyarakat. Sebagai contoh ada riwayat Abu
Hurairah r.a bahwa Rasulullah melewati seorang yang menjual makanan. beliau menanyakan
bagaimana ia menjualnya. Ia pun memberitahu hal itu kepada beliau. Kemudian beliau
mendapatkan wahyu, agar beliau memasukkan tangan ke dalam tumpukan makanan itu.
Ternyata bagian dalam “tidak termasuk golongan kami, orang yang menipu”.
Kadang-kadang Rasulullah melihat atau mendengar seorang sahabat melakukan
kesalahan, kemudian beliau meluruskan kesalahannya dan menunjukkan yang benar.
c. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum muslimin
Berkenaan dengan ini mereka menanyakan kepada Rasulullah. Beliau kemudian
memberikan fatwa dan memberikan jawabannya kepada mereka, menjelaskan hukum yang
mereka tanyakan. Di antara sekian peristiwa ada yang berkaitan dengan permasalahan pribadi

12 http://nuhainstant.blogspot.com/2011/08/sejarah-pertumbuhan-dan-pembinaan-ilmu.html
penanya dan ada yang berkaitan dengan orang lain. Semuanya merupakan permasalahan
yang terjadi dikalangan masyarakat luas. Kita bisa melihat sahabat tidak merasa malu sedikit
pun untuk menanyakan hal-hal tersebut. Merekalah justru bergegas datang kepada Rasul. Hal
itu mereka lakukan agar mereka dapat mengetahui hakikatnya yang dapat membuat hati
mereka tenang dan dada mereka sejuk. Kadang-kadang juga ada yang merasa enggan dan
malu menanyakan persoalannya, tetapi sahabat yang lain memaksanya untuk bertanya
kepada Rasulullah.
Para sahabat yang menanyakan persoalan pribadi ataupun persoalan keluarga mereka
juga tidak menutup-nutupi pertanyaan Nabi. Tentang muamalah, ibadah, aqidah, dan
persoalan mereka lainnya.
Kadang-kadang ada dua pihak saling bertikai mengenai suatu masalah atau bersilang
pendapat tentang suatau hukum. Maka keduanya segera menghadapa Rasulullah untuk
meminta penegasan dan penjelasan yang sebenarnya. Jawaban-jawaban, fatwa-fatwa dan
persoalan-persoalan menjadi materi yang besar dalam beragam bab kitab-kitab sunnah
Rasulullah SAW. Karena merupakan bagian dari kehidupan penanya, bahkan terkadang
merupakan peristiwa unik sepanjang hidupnya.

d. Berbagai persistiwa dan kejadian disaksikan para sahabat, bagaimana Rasulullah


melaksanakannya.
Jenis ini sangat banyak jumlahnya, misalnya tentang shalat, puasa, haji, saat bepergian,
saat di rumah dan hal-hal lain yang beliau kerjakan. Mereka kemudian memindahkan kepada
Tabi’in yang kemudian menyampaikannya kepada generasi sesudah mereka. Semua itu
membentuk sejumlah besar materi sunnah, khususnya berkenaan dengan bimbingan beliau
mengenai ibadah dan muamalah serta jejak beliau.

Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa sunnah para masa Nabi SAW juga dihafal
para sahabat, berdampingan dengan hafalan mereka terhadap Al-Qur’an. meskipun jumlah yang
dihafal para sahabat berbeda-beda jumlahnya ada yang “Al-Muktsir” (yang terlalu banyak) dan
ada pula di antara mereka yang “Ak-Muqil” (yang terlalu sedikit). Oleh karena itu kami tegaskan
bahwa mereka telah bergumul dengan sunnah dan menghafalnya dengan cara yang sangat baik
serta menyampaikannya kepada generasi setelah mereka, yaitu Tabi’in.13

13 http://risalsulle.blogspot.com/2015/03/cara-para-sahabat-mendapatkan-hadits.html
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang
menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa
itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang penulisan
hadits tersebut sudah dinaskh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum
dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H.
Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah
yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
Selain itu, karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits dari  masa Nabi sampai
masa tabi’in mengalami pasang surut. Yaitu ada yang menggunakan metode hafalan, metode
penyampaian dari sahabat ke sahabat lainnya, dan juga metode pembukuan. Masing- masing
metode ini terus berkembang seiring perkembangan zamannya.
Selanjutnya perbedaan pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits banyak di pengaruhi keadaan
lingkungan sosial, budaya dan politik pada masanya serta kebutuhan umat Islam akan perlunya
ilmu hadits.

B. Saran
Kami sadar makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih perlu belajar lagi. Dengan ini
kami harap bagi para pembaca untuk senang hati memberikan kritik maupun saran bagi makalah
yang kami buat.
DAFTAR PUSTAKA

1. ‘Itr, Nuruddin.2017.’Ulumul Hadis.Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.


2. As-Shaih, Shubhi.1997.’Ulum al-Hadits wa mushthalahah. Jakarta: PT Mutiara Sumber
Widya.
3. Khon, Abdul Majid.2009.Ulum Hadis.Jakarta:Amzah.
4. Yusem, Nawir.1998.ULUMUL HADIS.Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya.
5. https://kbbi.web.id/pembinaan
6. http://nuhainstant.blogspot.com/2011/08/sejarah-pertumbuhan-dan-pembinaan-ilmu.html
7. http://risalsulle.blogspot.com/2015/03/cara-para-sahabat-mendapatkan-hadits.html

Anda mungkin juga menyukai