Ilmu Hadits
Ilmu Hadits
Disusun oleh:
KELOMPOK 3
A. Latar Belakang
Ulum Hadits sebagai sebuah disiplin ilmu tidaklah muncul secara tiba-tiba dan lengkap
seperti yang kita jumpai sekarang ini. Ia tumbuh dan berkembang dalam kurun waktu tertentu.
Ilmu hadits juga mengalami periode-periode tertentu dan pembinaan-pembinaan sehingga
muncul spesifikasi cabang-cabang ilmu hadits yang beraneka ragam.
Dalam pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits itu sendiri, mulai zaman Rasulullah SAW
hingga masa setelah tabi` tabi`in, ia mengalami pasang surut. Hal ini tentunya di pengaruhi oleh
beberapa faktor dan karakteristik ulama` Islam pada masanya.
Menurut sementara ulama ilmu hadits, pertumbuhan ilmu hadits dibagi menjadi 5
masa/periode. Kelima periode itu adalah periode Rasulullah SAW, periode Sahabat, periode
Tabi’in, periode Tabi’ Tabi’in, dan periode setelah Tabi’ tabi’in (abad 4 H). Selain itu setiap
masa/periode juga memiliki karakteristik yang menyertainya yang mana masing-masing
memiliki perbedaan tersendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadis?
2. Bagaimana karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis?
3. Apa perbedaan antara pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis?
4. Apa usaha-usaha penghimpunan ilmu hadis?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah perkembangan ilmu hadis
2. Mengetahui karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis
3. Mengetahui perbedaan antara pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadis
4. Mengetahui usaha-usaha penghimpunan hadis
BAB II
PEMBAHASAN
Artinya:
“Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits
dariku, lalu dia menghafalnya – dalam lafazh riwayat lain: lalu dia memahami dan
menghafalnya –, hingga (kemudian) dia menyampaikannya (kepada orang lain),
terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang
lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak
memahaminya”
(HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
3) Kedudukan Hadis dalam Agama Islam
Hadis merupakan sendi asasi yang telah membentuk pola pikir para sahabat serta
sikap perbuatan dan etika mereka. Sebab mereka senantiasa ikut dan tunduk kepada
Rasulullah SAW dalam segala hal, sehingga setiap kali mereka mendapatkan suatu
kalimat dari Nabi SAW maka kalimat itu akan mendarah daging dan menjelma dalam
perilaku mereka.
4) Nabi Tahu bahwa para Sahabat Akan Menjadi Pengganti Beliau dalam Mengemban
Amanah dan Menyampaikan Risalah
Nabi menempuh beberapa metode dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat
dan menempuh jalan hikmah agar mereka benar-benar mampu mengemban tanggung
jawab. Di antara cara beliau berbicara adalah sebagai berikut.
a) Nabi SAW tidak menyampaikan hadis secara beruntun, melainkan sedikit demi
sedikit, agar dapat meresap dalam hati.
b) Beliau tidak berbicara dengan panjang lebar, melainkan dengan sederhana.
c) Nabi sering kali mengulangi pembicaraannya agar dapat ditangkap oleh hati orang-
orang yang mendengarnya.
5) Penulisan Hadis
Penulisan adalah suatu media terpenting bagi pemeliharaan ilmu pengetahuan dan
penyebarannya kepada masyarakat luas. Tidak terkecuali ini telah menjadi suatu media
dalam upaya pemeliharaan hadis, meskipun dalam hal ini terdapat sejumlah riwayat yang
berbeda dan pandangan yang beraneka ragam.
3 Shubhi as-Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa mushthalahah (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1997), hlm 5.
4 Kitab Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits ini diikhtiarkan oleh Thahir al-Jaza’iri (w. 1338 H) dalam kitabnya berjudul “Taujih
an-Nazhar”
3) Mengomentari pendapat para ulama berdasarkan hasil penelitian dan ijtihad
penyusunnya.
5 Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2017), hlm. 57-59.
1) Al-Manzhumat al-Baiquniyyah karya ‘Umar ibn Muhammad ibn futuh al-Baiquni al-
Dimasqi (w. 1080 H). kitab ini berisi 36 bait syair. Keistimewaan kitab karena disusun
secara sistematis dan dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga mudah dihapalkan
oleh orang-orang yang mempelajarinya.
2) Taudhih al-Afkar karya Al-Shan’ani Muhammad ibn Isma’il al-Amir (w. 1182 H).
3) Syarah Nuzhat al-Nazhar karya Syekh ‘Ali ibn Sulthan al-Harawi al-Qari’i (w. 1014 H).
Pada masa kebekuan dan kejumudan ini, bangkit pengkajian al-Hadis di India yang
dipelopori oleh al-Allamah al-Imam al-Muahddits syah Waliyu Aliah al-Dahlawi (w. 1176
H). Upaya pengkajian ini dilanjutkan oleh anak dan cucunya serta murid-muridnya dengan
berpedoman kepada kaedah-kaedah yang sudah baku.6
6 Dr. Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2017), hlm. 61.
5) Al-Manhaj al-Hadis fi ‘Ulum al-Hadis karya Dr. Syekh Muhammad al-simahi, yang
menguasai seluruh cabang Ilmu Hadis secara luas dan komprehensif, begitu juga kaidah-
kaidahnya yang panjang dan mencakup. Kitab ini terbagi atas empat bagian.
Bagian pertama : Sejarah Hadis terdiri atas tiga jilid
Bagian Kedua : Musthalah al-Hadis
Bagian Ketiga : Periwayatan Hadis
Bagian Keempat : Hal Ikhwal para rawi.7
b. Masa Sahabat
Setelah Rasulullah meninggal, kondisi sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatakan
hadits karena konsentrasi mereka terhadapa alquran yang baru dikodifikasikan pada masa
Abu Bakar tahap awal dan masa Usman tahap kedua. Masa ini terkenal dengan masa taqlil
ar riwayah (pembatasan periwayatan). Para sahabat tidak akan meriwayatkan hadits kecuali
disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadits yang ia riwayatkan benar-benar dari
Rasulullah SAW. Pada masa awal islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadits
karena orangnya masih jujur-jujur, saling mempercayai satu dengan yang lain. Tetapi setelah
timbulnya konflik fisik (fitnah) antar elit politik yakni antar pendukung Ali dan Muawiyah
dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syiah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah
itu mulai terjadi pemalsuan hadits (hadits maudlu`) dari masing – masing sekte dalam rangka
mencari dukungan politik dari massa yang lebih banyak. Pada masa ini dapat disimpulkan
bahwa ilmu hadits sudah timbul secara lisan dan eksplisit yang dibuktikan dengan adanya
keharusan mendatangkan saksi, bersumpah dan sanad (bila diperlukan).
c. Masa Tabi`in
Melihat kondisi seperti hal diatas para ulama` bangkit membendung hadits dari
pemalsuan dengan berbagai cara diantaranya pemeriksaan yang lama mengenai kebenaran
hadits dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapatkan hadits harus
disertai dengan sanad. Keharusan sanad dalam periwayatan bahkan menjadi tuntutan yang
sangat kuat ketika Ibnu Syihab Az Zuhri menghimpun hadits dari para ulama diatas lembaran
kodifikasi. Sanad merupakan syarat mutlak bagi yang meriwayatkan hadits, maka dapat
disimpulkan bahwa pada saat itu telah timbul pembicaraan periwayat mana yang adil dan
mana yang cacat (ilm jarh wa ta`dil), sanad mana yang terputus (munqothi`) dan yang
tersambung (muttashil), dan cacat (illat) yang tersembunyi.
Perkembangan ilmu hadits semakin berkembang pesat ketika ahli hadits membicarakan
tentang daya ingat para pembawa dan perowi hadits kuat apa tidak (dlobith), bagaimana
metode penerimaan dan penyampaiannya (tahammul wa ada`), hadits yang kontra berisifat
menghapus (nasikh dan mansukh) atau kompromi, kalimat hadis yang sulit dipahami (gharib
al hadits) dan lain-lain. Akan tetapi, aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru
berjalan secara lisan (syafawi) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Baru ketika pada
pertengahan abad kedua sampai dengan ketiga hijriyah ilmu hadits mulai ditulis dan
dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum
berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu – ilmu lain atau berbagai buku atau berdiri secara
terpisah. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan ilmu ushul fiqh, seperti dalam kitab Ar
Risalah yang ditulis oleh As Syafi`i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al Umm dan
solusi hadis-hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilaf Al-Hadits karya As Syafi`i
(w.204 H).10
12 http://nuhainstant.blogspot.com/2011/08/sejarah-pertumbuhan-dan-pembinaan-ilmu.html
penanya dan ada yang berkaitan dengan orang lain. Semuanya merupakan permasalahan
yang terjadi dikalangan masyarakat luas. Kita bisa melihat sahabat tidak merasa malu sedikit
pun untuk menanyakan hal-hal tersebut. Merekalah justru bergegas datang kepada Rasul. Hal
itu mereka lakukan agar mereka dapat mengetahui hakikatnya yang dapat membuat hati
mereka tenang dan dada mereka sejuk. Kadang-kadang juga ada yang merasa enggan dan
malu menanyakan persoalannya, tetapi sahabat yang lain memaksanya untuk bertanya
kepada Rasulullah.
Para sahabat yang menanyakan persoalan pribadi ataupun persoalan keluarga mereka
juga tidak menutup-nutupi pertanyaan Nabi. Tentang muamalah, ibadah, aqidah, dan
persoalan mereka lainnya.
Kadang-kadang ada dua pihak saling bertikai mengenai suatu masalah atau bersilang
pendapat tentang suatau hukum. Maka keduanya segera menghadapa Rasulullah untuk
meminta penegasan dan penjelasan yang sebenarnya. Jawaban-jawaban, fatwa-fatwa dan
persoalan-persoalan menjadi materi yang besar dalam beragam bab kitab-kitab sunnah
Rasulullah SAW. Karena merupakan bagian dari kehidupan penanya, bahkan terkadang
merupakan peristiwa unik sepanjang hidupnya.
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa sunnah para masa Nabi SAW juga dihafal
para sahabat, berdampingan dengan hafalan mereka terhadap Al-Qur’an. meskipun jumlah yang
dihafal para sahabat berbeda-beda jumlahnya ada yang “Al-Muktsir” (yang terlalu banyak) dan
ada pula di antara mereka yang “Ak-Muqil” (yang terlalu sedikit). Oleh karena itu kami tegaskan
bahwa mereka telah bergumul dengan sunnah dan menghafalnya dengan cara yang sangat baik
serta menyampaikannya kepada generasi setelah mereka, yaitu Tabi’in.13
13 http://risalsulle.blogspot.com/2015/03/cara-para-sahabat-mendapatkan-hadits.html
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang
menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa
itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh
menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang penulisan
hadits tersebut sudah dinaskh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum
dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H.
Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah
yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
Selain itu, karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits dari masa Nabi sampai
masa tabi’in mengalami pasang surut. Yaitu ada yang menggunakan metode hafalan, metode
penyampaian dari sahabat ke sahabat lainnya, dan juga metode pembukuan. Masing- masing
metode ini terus berkembang seiring perkembangan zamannya.
Selanjutnya perbedaan pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits banyak di pengaruhi keadaan
lingkungan sosial, budaya dan politik pada masanya serta kebutuhan umat Islam akan perlunya
ilmu hadits.
B. Saran
Kami sadar makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih perlu belajar lagi. Dengan ini
kami harap bagi para pembaca untuk senang hati memberikan kritik maupun saran bagi makalah
yang kami buat.
DAFTAR PUSTAKA