Anda di halaman 1dari 9

Resuman Argumentasi Kenabian al Mawardi

Yang ditulis oleh Dosen pembimbing, Fuad Muhammad Zein, M. Ud


Disusun oleh, Sofiani Lathifah

Setiap manusia pastinya memiliki persepsi yang berbeda-beda antara satu dan yang lain. Begitu
pula dalam meyakini adanya nabi sebagai seorang pengantar wahyu dari tuhan. Ada yang mengimani,
namun ada juga yang mengingkari.

Bagi mereka yang tidak meyakini adanya Tuhan, maka nabi pun tidak akan mereka yakini,
karena bagaimana mereka bisa meyakini adanya nabi bila Tuhan yang mengutus nabi saja mereka tidak
yakini.1 Selain itu, ada beberapa kalangan yang menyatakan bahwa manusia telah dianugerahi Tuhan
dengan akal sehingga mereka bisa mencapai pada kebenaran dengan optimalisasi akal.

Beberapa ulama islam berusaha untuk menjawab para pengkritik kenabian, diantaranya yaitu
al Farabi yang memunculkan konsep kenabiannya untuk menjawab kritik tersebut dengan
berkesimpulan bahwa kemampuan intelektual manusia perlu untuk dikembangkan dan dididik
agar mampu mencapai kesempurnaan.2 Atas dasar ini, al Farabi menyatakan perlunya seorang
guru yang akan menjelaskan dan membimbing manusia untuk mengembangkan kemampuan
mereka sehingga mereka bisa mencapai bentuk individu yang sempurna dengan kebaikan yang
sebenarnya.

Seperti al Farabi, al Mawardi yang juga seorang ulama memandang bahwa nabi sangat
penting, karena nabi adalah sosok sentral bagi manusia sebagai panutan hingga para penerusnya
harus menjadikannya teladan demi menjaga kebaikan manusia itu sendiri.

Dalam pengertian nabi dan rasul, al mawardi mengkategorikan teori kenabian ini dalam
kategori ilmu iktisab dengan cara mengetahuinya melalui pembuktian dan menghadirkan dalil.
al Mawardi mendefinisikan nabi sebagai seorang utusan Allah yang membawa dan menjelaskan
segala perintah dan larangan-Nya. Beliau menulis dalam karyanya A’laamu an Nubuwwah,
bahwa Allah telah menganuggrahkan potensi akal kepada manusia dengan tujuan tertentu.
Anugerah akal tersebut bermaksud untuk dioptimalkan manusia sebagai sarana mendapatkan
pengetahuan yang diberikan Allah terkait dengan segala hal yang akan membawa kesejahteraan
bagi manusia.Namun manusia tidak bisa dengan akalnya saja mencapai pengetahuan tersebut.
Mereka membutuhkan guru atau pembimbing yang menjelaskan kepada mereka segala hal
tentang pengetahuan mengenai Allah. Sehingga dengan begitu, akal manusia bisa memahami
hukum-hukum, larangan dan perintah yang telah ditentukan oleh Allah. Sosok guru dan
pembimbing tersebut haruslah manusia yang begitu sempurna sehingga derajat kemanusiaannya

1
Dr. Farjullahi ‘Abdul Bari, an Nubuwwat Baina al Iman wa al Inkar, (Kairo, Dar al Aafaq al ‘Arabiyyah,
2006), cetakan pertama, p. 43
2
Abu Nashr al Farabi, as Siyaasah al Madaniyyah, (Beirut, al Mathba’ah al Kathulikiyyah, 1998), p. 76-80
naik hingga ia mendapatkan petunjuk Allah dan menyampaikannya kepada manusia. Sosok
tersebut adalah nabi dan rasul.3

Al Mawardi menjelaskan perbedaan antara nabi dan rasul berdasarkan ayat Al-quran surah
al-Hajj:52. Dalam tafsirnya ada dua pendapat yang bias dijadikan pertimbangan,

 Pertama, . Nabi adalah rasul dan rasul adalah nabi. 4 Rasul adalah mereka yang
membawa pesan (ar risaalah) dan nabi diambil dari kata an nabaa’ yang berarti berita
karena mereka membawa kabar tentang Allah dan mengajak mereka yang dikabari, dan
diambil dari kata an nubuwwah karena ketinggian derajat mereka kepada Allah sehingga
mendapatkan wahyu dan petunjuk dari-Nya.
 Kedua, adalah mereka yang membedakan antara nabi dan rasul. Alasannya
adalah perbedaan nama atau istilah menunjukkan perbedaan sesuatu yang
dilekatkan kepadanya istilah atau nama tersebut.5 Istilah nabi hanya
diperuntukkan bagi manusia, seperti halnya 25 nabi yang dikenal semuanya
adalah nabi dan rasul hanya saja rasul memiliki posisi lebih tinggi daripada nabi.6
Sedangkan rasul lebih umum karena mencakup manusia dan malaikat. Seperti
yang diketahui bahwa dalam beberapa ayat, malaikat juga disebut dengan rasul,
namun mereka tidak disebut dengan nabi.7

Al Mawardi juga menuliskan antara nabi dan rasul berbeda, terbagi kedalam tiga pendapat.

 Pertama, mereka yang mengatakan bahwa nabi dan rasul berbeda beralasan bahwa
rasul adalah mereka yang mendapatkan wahyu langsung dari malaikat sebagai agen
penyampai wahyu, sedangkan nabi adalah mereka yang mendapatkan wahyu melalui
mimpi.
 Kedua, rasul adalah utusan Allah yang diutus kepada sebuah ummat, sedangkan nabi
tidak diutus kepada sebuah ummat.
 Ketiga, rasul adalah utusan Allah yang datang dengan hukum dan syari’at baru,
sedangkan nabi adalah sosok utusan Allah yang tidak datang dengan syari’at baru
melainkan hanya menjaga syari’at dari rasul sebelumnya.8

3
Abu Hasan al Mawardi, A’laamu an Nubuwwah, (Beirut, Dar wa Maktabatu al Hilal, 1409), cetakan
pertama, p. 35
4
Abu Hasan al Mawardi, Tafsir al Mawardi : an Naktu wa al ‘Uyuun, ed: as Sayyid ibn ‘Abdi al Maqshud
ibn ‘Abdi ar Rahim, (Beirut, Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, t.t), vol: IV, p. 34
5
Abu Hasan al Mawardi, A’laamu an Nubuwwah, …, p. 51
6
Abu Hasan al Mawardi, A’laamu an Nubuwwah, …, p. 51; Abu Hasan al Mawardi, Tafsir al Mawardi : an
Naktu wa al ‘Uyuun, …., p. 35
7
Abu Hasan al Mawardi, Tafsir al Mawardi : an Naktu wa al ‘Uyuun, …., p. 34-35
8
Ibid, p. 35; Abu Hasan al Mawardi, A’laamu an Nubuwwah, …., p. 51
Al Mawardi menawarkan ada tiga syarat yang harus dipenuhi bagi mereka yang
mengaku bahwa ia adalah nabi dan rasul:

 Pertama: nabi harus memiliki sifat dan kepribadian yang menunjang kebenaran
kenabiannya.
 Kedua: seseorang yang mengaku nabi harus dapat memunculkan mu’jizat.
 Ketiga: keberadaan mu’jizat harus mengindikaskan keserasian tentang legitimasi
kenabian seseorang yang padanya mu’jizat.

Al Mawardi menjelaskan bahwa mu’jizat tidak akan muncul kecuali untuk membuktikan
kebenaran kenabian. Mu’jizat hanya khusus diperuntukkan kepada nabi dan rasul. Karena,
mu’jizat termasuk dalam kategori hal-hal yang ghoib dan hanya diketahui oleh orang yang
diberikan kepadanya mu’jizat langsung dari Allah. Oleh karena itu, mu’jizat tidak bisa dipelajari
dan tidak bisa ditiru.

Diutusnya nabi dan rasul untuk menyebarkan pengetahuan dari Allah kepada manusia,
maka bila nabi dan rasul tidak diutus, manusia akan mendefinisikan segala hal menurut
pribadinya masing-masing dan bukan berdasarkan apa yang telah ditentukan Allah. Oleh karena
itulah al Mawardi menyatakan bahwa diutusnya nabi adalah bukti kasih sayang Allah kepada
manusia untuk menghindarkan mereka dari kerusakan itu. Mereka adalah agen yang akan
memberikan bimbingan dan pendidikan bagi manusia sehingga manusia bisa berkembang
menjadi pribadi yang sempurna. Maka, posisi nabi pun memiliki hubungan yang erat dengan
kondisi sosial di mana nabi dan rasul itu diutus.

Al Mawardi memulai pembahasaannya mengenai masyarakat yang ideal dengan pernyataan yang
mirip dengan apa yang pernah disampaikan Plato bahwa masyarakat dengan tempat mereka
tinggal memiliki hubungan saling mempengaruhi yang sangat erat.9 Beliau menyadari bahwa
manusia sangat membutuhkan kehidupan sosial untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya.
Namun meski sama dengan Plato bahkan Aristotle, al Mawardi menyajikan konsepnya dengan
dasar ajaran Islam. Beliau menjelaskan bahwa manusia telah diciptakan oleh Allah sebagai
mahkluk yang lemah sehingga membutuhkan orang lain untuk saling menolong di antara
mereka, dan juga membutuhkan pertolongan Allah sehingga mereka mendapatkan

9
Dr. Muhammad Jalal Syaraf, Nasy’atu al Fikri as Siyasi fi al Islam, (Beirut, Dar Nahdhoti al ‘Arabiyyah,
1990), cetakan kedua, p. 214
anugerah-Nya:10 Penjelasan al Mawardi ini dianggap sebagai sebuah pemikiran yang unik di
antara para pemikir politik Islam abad pertengahan. Pemikirannya mengenai manusia yang
merupakan makhluk sosial telah beliau tempatkan dalam kerangkan perspektif Islam. Pemikiran
inilah yang kemudian bisa dikatakan bahwa al Mawardi telah melakukan islamisasi pemikiran
secular mengenai manusia. bisa disimpulkan bahwa akal merupakan sarana yang penting bagi
manusia untuk menjadikannya hamba yang ta’at. Bila keta’atan kepada Allah adalah hal yang
penting dalam membentuk masyarakat yang ideal, dan keta’atan tersebut hanya bisa didapat
melalui ajaran agama, maka nabi pun penting dalam masyarakat karena nabi dan rasul adalah
sosok yang menyampaikan agama. Sehingga bila nabi tidak ada, maka masyarakat yang ideal
pun tidak akan pernah ada, itulah alasan mengapa adanya nabi.

Al mawardi juga mendapati permasalahan yang sama dengan al Farabi dalam menjwab
kritikan para pengingkar kenabian. . Dalam karyannya al Mawardi membagi ada tiga kelompok
yang menurutnya merupakan para pengingkar kenabian. Pertama adalah mereka yang
mengingkari adanya Tuhan. Kedua, adalah para Brahmana atau para pendeta. Ketiga, adalah
para filosof.11

Al Mawardi menjawabnya dengan beberapa argumentasi. Pertama, untuk mereka yang


mengingkari nabi dan rasul atas dasar bahwa akal sudah cukup untuk memahami Tuhan sehingga
secara logis, nabi sudah tidak diperlukan. Untuk mereka ini, al Mawardi menjawab bahwa
datangnya nabi dan rasul tidak tergantung oleh akal. Allah dengan sifat-Nya muriidan dan
menghendaki segala hal sesuai dengan keinginan Allah, karena akal bukanlah penentu adanya
nabi atau tidak. Kemudian, akal manusia memiliki keterbatasan dalam menerangkan segala hal
dan karena itu, akal terkadang berbeda anatara satu orang dengan yang lainnya.

Selain itu, beberapa kalangan menilai bahwa diutusnya nabi adalah sia-sia. Alasan ini
menurut al Mawardi salah dalam dua hal. Pertama, penolakan masyarakat terhadap diutusnya
nabi kepada mereka bukanlah hal yang sia-sia. Kedua, pernyataan mereka yang menyatakan
penolakan tersebut, bukan berarti bahwa seluruh manusia menolaknya. Berarti ada golongan

10
Abu Hasan al Mawardi, Adabu ad Dunya wa ad Diin, (Dar Maktabatu al Hayat, 1986), p. 129
11
Yang dimaksud dengan filosof di sini bukanlah para filosof muslim seperti al Farabi, Ibnu Sina atau Ibnu
Rusyd karena mereka pun memiliki teori atau konsep tentang kenabian. Namun yang di maksud dengan filosof
tersebut adalah para filosof dari kalangan Yahudi maupun Nasrani yang mengingkari dengan jelas tentang adanya
nabi dan rasul, seperti Abu Hasan ar Rawandi
manusia yang menerima nabi dan rasul atau bahkan membutuhkannya. Sehingga dengan
demikian, hikmah dan maksud Allah dengan diutusnya nabi memang benar dan perlu.

Alasan lain yang diungkapkan para pengingkar kenabian adalah bahwa pada
kenyataannya, ajaran yang dibawa oleh para rasul bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Al Mawardi kembali menganalisa hujatan tersebut dengan memberikan penilaian dalam dua
jawaban. Pertama, al Mawardi menjelaskan bahwa ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul
terdiri dari dua macam hal. Ajaran yang tidak boleh berbeda dan sekaligus tidak boleh diganti-
ganti dengan berbagai macam alasan seperti ajaran Tauhid, dan sifat-sifat Allah. Lainnya adalah
ajaran yang menyangkut ibadah praktis, di mana dalam beberapa hal boleh dirubah atau berbeda.
Hal tersebut dikarenakan perbedaan waktu dan tempat diutusnya nabi dan rasul sehingga
membutuhkan penyesuaian demi sebuah kemasalahatan. Jawaban kedua yang diberikan al
Mawardi menyangkut hujatan sebelumnya adalah, bahwa terjadinya perbedaan antara para ahli
tidak menyebabkan berkurangnya fungsi akal untuk menjadi bukti, maka demikian juga
perbedaan antara rasul tidak bisa dijadikan alasan tidak diperlukannya nabi.12

Ada lagi yang mengatakan bahwa, pembuktian mengenai kebenaran nabi sangat sulit
didapatkan. Al Mawardi menjawab, bahwa mukjizat merupakan perbuatan Allah SWT, maka
pasti merupakan hal yang diluar kemampuan para nabi dan rasul. Kemudian, kemampuan
mereka yang diluar kebiasaan tersebut sekaligus merupakan tanda bahwa mereka merupakan
utusan yang diutus oleh Dzat yang memang diluar kemampuan manusia untuk mencapainya,
yaitu Allah SWT.13

Namun, beberapa dari mereka juga berpendapat bahwa keluar biasaan mukjizat juga
terdapat pada perbuatan para ahli sulap dan sihir dan juga para ahli api dari Najyat, oleh sebab itu
tidak bisa dijadikan alasan akan kenabian. Mawardi kembali menjawab, bahwa sulap maupun
sihir merupakan perbuatan yang sudah diketahui triknya oleh orang-orang yang memang
menguasai ilmu tersebut, dan juga membodohi orang-orang yang tidak mengetahuinya.
Sedangkan mu’jizat adalah sesuatu yang mampu mengejutkan dan mengagumkan orang-orang
yang mahir, ahli dan orang-orang pintar, yang artinya orang-orang yang ahli pun tidak memiliki

12
Ibid
13
Ibid, p. 37-38
pengetahuan tentang mu’jizat. Selain itu, sihir dan sulap adalah sesuatu yang bisa dipelajari dan
ketika sudah menguasainya mereka menampilkan apa yang telah mereka pelajari tersebut.
Sedangkan mu’jizat adalah sesuatu yang tidak bisa dipelajari karena merupakan anugerah
langsung dari Allah, dan tidak seorangpun mampu menirunya.14

Al Mawardi kemudian menyimpulkan 5 alasan yang bisa dijadikan jawaban mengenai


kebenaran adanya kenabian. Pertama, bahwa Allah Maha Pengasih kepada hamba-Nya dengan
memberikan pengetahuan kepada mereka kemasalahatan demi kesejahteraan mereka. Kedua,
bahwa apa yang dibawa nabi dan rasul mengenai balasan surga bagi yang mengerjakan
kebaikan dan neraka bagi yang mengerjakan keburukan menjadi sebab bersatunya persepsi
manusia dan satunya pengetahuan tentang kebenaran. Ketiga, bahwa dengan kedatangan nabi
dan rasul, manusia bisa mengetahui hal-hal yang berada di luar kemampuan akal mereka untuk
mengetahuinya. Keempat, bahwa ber-Tuhan tidak mungkin tanpa adanya agama, dan agama
tidak akan mungkin ada tanpa hadirnya nabi dan rasul yang menyampaikannya.Kelima, akal
mungkin bisa menangkap beragam konsep dan teori, namun hal tersebut tidak akan sempurna
kecuali disertai keimanan dan ketaatan kepada Allah melalui ajaran yang dibawa oleh nabi dan
rasul. Dengan demikian, maka konsep dan teori tersebut akan menjadi lebih sempurna, lebih
bermaslahat, dan menghindari perselisihan. Maka, akal yang sebelumnya tidak sempurna akan
menjadi lebih sempurna dengan ajaran agama yang dibawa oleh nabi dan rasul. 15

Permasalahan lain, adalah mengenai bagaimana nabi bisa mendapatkan wahyu. Al


Mawardi menulis dalam bukunya bahwa diutusnya nabi dan rasul kepada manusia membawa
ajaran dengan dua jalan, yaitu dengan perintah langsung dari Allah atau dengan melalui utusan
malaikat.

Al Mawardi kemudia menilai bahwa pendapat ini salah dalam dua hal.16

Pertama, bahwa sarana pengetahuan tentang tauhid adalah tidak menggunakan ilham,
sehingga bila pengetahuan tentang tauhid melalui ilham itu salah, maka pengetahuan nabi

14
Ibid, p. 38
15
Ibid, p. 38-39
16
Ibid, p. 39
dengan ilham pun lebih salah. Kedua, ilham adalah sesuatu yang ghoib dan tidak jelas. Ilham
bisa saja diakui oleh orang bodoh maupun orang yang berilmu. Maka perlu untuk membedakan
antara keduanya. Pembedaan antara keduanya pun pasti perlu tanda-tanda lain selain ilham,
sehingga bila diketahui keunggulan antara keduanya, hal tersebut pastilah bukan ilham, dan
bisa dikatakan bahwa ilham bukanlah tanda-tanda kenabian.17

Pendapat lain adalah bahwa Allah memiliki rahasia-rahasia dan ketentuan-ketentuan


yang berlainan dengan hukum alam. Maka barangsiapa yang diberikan Allah hal tersebut, dia
berhak untuk mengaku nabi. Atas pendapat ini, al Mawardi kembali menyalahkannya dalam
dua hal. Pertama, rahasia-rahasia dan ketentuan-ketentuan Allah ini sulit untuk diketahui atau
bahkan mustahil untuk diketahui, maka bila demikian, bagaimana bisa seseorang mengaku
dirinya mendapatkan hal-hal tersebut. Kedua, bila ia mengaku mendapatkan hal tersebut, itu
berarti ia menjadi nabi karena mendapatkan hal-hal tersebut dan bukan karena Allah, selain itu,
hal tersebut pun akan berlaku pada orang lain. Sehingga bila demikian, ia menjadi nabi bukan
karena penunjukan Allah.18

Pendapat lain adalah bahwa seseorang menjadi nabi karena Allah telah memberikannya
keistimewaan akal sehingga ia bisa sampa pada pengetahuan segala hal. Keistimewaan ini tidak
terjadi pada orang lain, sehingga ia adalah orang istimewa di antara orang-orang lain. Al
Mawardi kemudian menyalahkan pendapat ini dalam dua hal. Pertama, pendapat ini
berimplikasi untuk membuktikan kebenaran tentang kenabiannya dengan ilmu yang khusus,
namun bila menurut pendapat sebelumnya bahwa keilmuan tersebut tidak terdapat pada
orang lain, maka mustahil bisa dibuktikan bahwa ia adalah nabi karena untuk membuktikannya
orang lain tidak memiliki keilmuan tersebut. Kedua, bila pembuktian tentang kenabiannya
adalah hal yang mustahil, maka ketika ia menyatakan tentang dirinya rasul, belum tentu bisa
diyakini ia adalah rasul, dan ketika ia menjelaskan tentang Allah maka ia telah berbohong. 19

17
Ibid
18
Ibid, p. 40
19
Ibid
Selain itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa seseorang menjadi nabi karena dalam
dirinya terdapat cahaya yang murni dan meningkat dengan anugerah cahaya ilahi. Cahaya inilah
yang kemudian mengangkat nabi dari alam manusia menuju alam ilahiah. Hal ini pun dianggap
al Mawardi salah dalam dua hal. Pertama, mereka yang menyatakan adanya anugerah cahaya
ilahi ini memaksakan alasan dengan sesuatu yang sangat sulit untuk diketahui. Kedua, bahwa
orang yang berpendapat dengan alasan ini, talah menyatakan adanya jalinan anatara manusia
dengan seseuatu yang hanya terdapat pada Dzat Allah. Padahal, sifat Allah yang tidak
menyerupai makhluknya tidak memungkinkan adanya jalinan ini. Sehingga dengan demikian,
pendapat ini tidak bisa diterima karena telah menyalahi kaidah aqidah.20

Setelah menjelaskan titik kesalahan para penolak kenabian di atas, al Mawardi


kemudian menjelaskan jawabannya tentang mereka yang menolak kenabian dengan dasar
adanya kontak langsung yang bersifat jasmani antara manusia dengan Allah atau malaikat.
Pertama, al Mawardi menjelaskan bahwa kontak fisik tidak harus berupa fisik yang sebenarnya
sebagaimana Allah dengan manusia. Kontak tersebut bisa saja berupa kontak fisik yang sifatnya
bisa diketahui oleh manusia, seperti kasus nabi musa yang menerima wahyu dengan tanda
adanya api dan suara. Kedua, Allah bisa saja menjadikan perantara suara atau segala sesuatu
yang itu bisa ditangkap oleh manusia dan tidak harus kontak secara fisik jasmani.21

Kemudian bagi mereka yang menolak kenabian dengan perantara malaikat atas dasar
bahwa alam malaikat berbeda dengan manusia sehingga tidak memungkinkan malaikat turun
ke alam manusia. Al Mawardi menegaskan bahwa hal tersebut tidak mustahil terjadi, karena
malaikat bisa saja berubah wujud seperti halnya para pencetus teori emanasi yang
memungkinkan akal beremanasi dan berubah menjadi makhluk yang jasmani. Kedua,
perubahan tersebut juga terjadi pada benda-benda alami seperti perubahan air menjadi udara,
atau perubahan air menjadi es (benda padat), atau perubahan udara menjadi air dengan
beragam factor. Jika hal ini tidak mustahil untuk terjadi, maka Allah lebih bisa menjadikan hal

20
Ibid
21
Ibid, p. 40-41
tersebut, karena Allah yang menentukan dan menjadikan ketentuan-ketentuan tersebut.
Seingga alasan ketidak mungkinan ini menjadi tidak bisa diterima.22

Al Mawardi pun mengungkapkan bahwa nabi dan rasul sudah pasti ada dan tidak bisa
dibantah keberadaannya.

Al Mawardi juga memberikan penjelasan mengenai kritikan terhadap pengingkar


kenabian. Al Mawardi menggolongkan para pengingkar kenabian dalam tiga golongan, yaitu
para ateis yang tidak meyakini adanya Allah SWT, kemudian para golongan brahmana atau
pendeta yang meyakini bahwa nabi hanyalah Adam a. s sebagai manusia pertama sekaligus
bapak manusia dan yang terakhir adalah para filosof yang meyakini bahwa akal manusia sudah
cukup untuk mendapatkan kebenaran dengan hanya berdasarkan pada akal mereka saja. Selain
mereka ada juga golongan yang mengingkari diutusnya nabi dan rasul atas mandat langsung dari
Allah SWT atau melalui perantara malaikat.

Al Mawardi memberikan jawaban dengan lugas dan logis dalam bukunya A’laamu an
Nubuwwah. Jawaban al Mawardi ini sekaligus menandakan argumentasi kenabian al Mawardi
sangat akademis dan masuk akal dan tidak terlepas dari dasar al Qur’an.

22
Ibid, p. 41

Anda mungkin juga menyukai