Anda di halaman 1dari 21

KAJIAN STILISTIKA PRAGMATIK

GAYA BAHASA PADA PUISI SHAYKH HAMZA YUSUF HANSON

Oleh:
SOPYAN ALI
(sopyanali07@gmail.com)
PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Pendahuluan
1. Latar Belakang Permasalahan
Ruang lingkup stilistika meliputi intonasi, bunyi, kata dan kalimat sehingga
lahirlah gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kata dan gaya kalimat (Pradopo, 1987:
10). Pusat perhatian stilistika tertuju pada elemen bahasa yaitu style, adalah cara
yang digunakan pembicara atau penyair untuk menyatakan maksudnya dengan
menggunakan bahasa sebagai style yang dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa.
Dengan analisa stilistika kita dapat menduga siapa pengguna suatu bahasa karena
kita menemukan ciri- ciri penggunaan bahasa yang khas, kecendrungannya untuk
secara konsisten menggunakan struktur tertentu, gaya bahasa pribadi seseorang.

Dengan gaya bahasa, seorang penyair dapat memperkaya makna sehingga ia


dapat menggapai pesan yang diinginkan secara lebih intensif. Gaya bahasa ditinjau
dari aspek pemilihan kata (diksi) mempersoalkan kata apa yang paling tepat dan
sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat. Dengan kata lain, pemilihan
kata/diksi juga menyangkut kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa
makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan
bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok
masyarakat (Keraf, 2006: 22-23). Oleh karena itu, pemilihan kata juga menyangkut
masalah kemampuan seseorang menyampaikan makna kata melalui kosa kata.
Kajian stilistika akan selalu terkait dengan bahasa secara menyeluruh
terhadap sastra khususnya, meskipun sebenarnya stilistika dapat ditujukan pada
beberapa ragam penggunaan bahasa yang tidak terbatas pada sastra saja.
Pengkajian terhadap stilistika akan membantu kepada pemahaman karya sastra
sekaligus menyadarkan bahwa pengarang dalam memanfaatkan bahasa sebagai
saran mengungkapkan makna. Sumber daya yang digunakan dalam bahasa tulis,
misalnya, bentuk-bentuk kiasan (figures of speech) seperti metafora dan simile bisa
ditemukan di dalam semua jenis wicara dan semua jenis tulisan, hanya saja sarana
sastra tertentu seperti struktur metaforis lebih sering dapat ditemukan dalam teks-
teks sastra, karena merupakan bagian dari sebuah ‘paket’ tertentu sehingga bisa
memberikan kontribusi yang lebih besar bagi makna daripada penggunaan
metafora dan simile percakapan keseharian yang acak (Black, 2011: 231).

Puisi sebagai sebuah karya sastra yang berisi pemikiran, ide-ide, kiasan, dan
amanat yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Puisi dalam
penyampaian pesannya menggunakan bahasa yang lebih pada dari pada pemakaian
bahasa biasa. Pemakaian bahasa biasa lazimnya dipakai untuk mengkomunikasikan
informasi atau dapat dikatakan menggunakan bahasa praktis, sedangkan puisi
sebagai suatu karya sastra yang dikomunikasikan bukan saja informasi melainkan
cipta sastra yang menyiratkan rasa dan persepsi tentang kehidupan. Penyampaian
maksud puisi terkadang tidak sampai kepada pembaca atau bahkan dipahami
berbeda dari pada yang disampaikan pengarang. Untuk dapat memahami isi puisi,
pembaca dituntut untuk memiliki pengetahuan apresiasi puisi, maka agar dapat
mengapresiasi puisi dengan baik, pembaca harus memiliki pemahaman,
penghayatan, dan rasa keindahan terhadap puisi yang disampaikan.

Permasalahan utama yang diketengahkan dalam kajian ini bersangkut-paut


dengan sebuah penelusuran bagaimana penggunaan gaya bahasa yang meliputi
analisa unsur metafora, dan pola gaya bunyi pada puisi-puisi karya Shaykh Hamza
Yusuf yang di ulas melalui pendekatan stilistik. Sheikh Hamza Yusuf Hanson
adalah seorang Ulama Islam dan Sufi, seorang warga asli Washington, AS. Beliau
masuk Islam pada tahun 1977 saat berumur 17 tahun dan menghabiskan waktu
bertahun-tahun belajar di negara-negara Arab, seperti Uni Emerat Arab, Algeria,
Saudi Arabia dan Mauritania1. Disamping itu beliau juga pendiri sekaligus
pimpinan Zaytuna College di Berkeley, yang di dirikannya pada tahun 1996
‘kampus Islam pertama yang terakreditasi dan mendapatkan predikat internasional
sebagai kampus yang menerapkan pendidikan klasik Islami di dunia Barat’ yang di
dedikasikannya untuk membangkitkan kembali metode-metode ilmu pengetahuan
dan pengajaran-pengajaran tradisi keIslaman2.

1
Zaytuna College/About, “Why Zaytuna College?” http://www.zaytunacollege.org/about
2
Hamza Yusuf.- Co-Founder, zaytuna College. An IPT Investigative Report. www. Investigativeproject. org
Teori dan Kajian
1. Metafora Sebagai Gaya Bahasa
Metafora sebagai salah satu unsur karya sastra khususnya di dalam sebuah
puisi, di tinjau dari sudut pandang gaya bahasa, merupakan suatu konsep yang
dianggap efektif untuk menyampaikan sesuatu yang baru karena keberadaanya
memungkinkan pengarang untuk menjelaskan, menggambarkan, dan
menginterpretasikan sesuatu yang baru tersebut melalui sesuatu yang sudah
dikenali sebelumnya. Metafora tidak bisa diparafrasakan dan ini menjelaskan
mengapa metaphora sangat banyak digunakan. Metafora digunakan untuk
menyampaikan konsep-konsep yang belum ada kosakatanya, dan untuk
menyampaikan sikap seseorang terhadap topik yang dibahasnya. Metafora juga
merupakan sebuah cara yang mudah untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang
kompleks, karena dalam metafora, pembaca harus menemukan sendiri kisaran dari
berbagai kemungkinan makna yang dimaksud (Black, 2011: 233).

Metafora atau gaya bahasa kiasan sebenarnya menurut Kerbat Orreccchioni


(1997: 149-156) ditinjau dari segi bentuknya, ada dua macam. Yang pertama
adalah metafora in praesetia yaitu yang bersifat eksplisit. Contoh:

a. “Romi seperti buaya darat” (simile).

b. “Romi memang buaya darat” (asimilasi)

Kalimat pertama menyatakan bahwa sebagian sifat Romi mirip buaya darat.
Sementara itu, bila tak ada kata pembanding (digunakan metafora asimilasi), maka
si pengujar menyatakan bahwa secara keseluruhan, Romi memang buaya darat.
Jenis metafora yang lainnya adalah metafora in absentia, yang dibentuk
berdasarkan penyimpangan makna. Seperti juga pada simile, dalam metafora
terdapat dua kata (atau bentuk lain) yang maknanya dibandingkan. Namun, salah
satu unsur bahasa dibandingkan, tidak muncul bersifat implicit. Sifat implicit ini
menyebabkan adanya perubahan acuan dan penyimpangan makna, sehingga
menimbulkan masalah kolokasi, yaitu kesesuaian makna dari dua atau beberapa
satuan linguistik yang hadir secara berurutan dalam ujaran yang sama. Hal-hal
inilah yang mungkin menjadi masalah dalam pemahaman metafora.

Disini akan diuraikan dasar perbandingan yang digunakan. Kita telah


mengenal unur yang bukan manusia dibandingkan dengan manusia (personsifikasi)
juga manusia yang dibandingkan dengan benda atau binatang (depersonsifikasi).
Metafora Perbandingan

2.1 Personifikasi
Personifikasi adalah majas yang menampilkan binatang, tumbuhan, atau
benda sebagai manusia.

A tree who like us loved to pray (3)


In adoration every day (4)
(“A Tree Knelt in Praise”)

Unsur yang dibandingkan “senang” dan ‘pemujaan’ sebagai salah satu bentuk
ungkapan perasaan manusia, yang menjadi atribut/sifat dari sebuah/sepohon.
Komponen makna penyama dengan makna yang dimaksud adalah sebuah pohon
‘yang keberadaannya banyak memberi manfaat, diantaranya sebagai pelindung dari
panasnya terik dan buah serta kayu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia’.
Komponen makna pembeda “A tree who like us loved to pray” (sepohon yang
senang akan kita yang suka berdo’a) dan “in adoration every day” (dalam
pemujaan setiap hari) adalah ungkapan ‘senang’ dan ‘memuja’ yang merupakan
semestinya disandingkan dengan sifat-sifat yang ada di dalam diri manusia,
sebagai makhluk yang dapat merasakan bahagia dan tunduk dengan menggunakan
akal dan perasaannya, hal relevan juga bisa terjadi pada hewan yang bisa
merasakan senang dengan instingnya dan tindakan memuja yang juga bisa
diperluas menjadi tunduk, (karena takut dan merasa terancam dsb) dimana
keduanya merupakan satu entitas yang sama lagi bernyawa dan dapat berinteraksi
satu sama lain.

Demikian juga penggunaan pengacuan ‘pohon’ sebagai sesuatu yang dapat


merasakan situasi perasaan ‘senang’ dan tindakan ‘memuja’ secara semantik
termasuk ungkapan yang mengandung penyimpangan makna. Karena pohon tidak
berkolokasi dengan perasaan ‘senang’ dan ‘memuja’ sebagaimana manusia, yang
termasuk juga hewan. Penggunaan personsifikasi dalam bait puisi diatas
menyiratkan makna yang ingin disampaikan kepada pembaca bahwa ‘pohon’ disini
merupakan ungkapan yang mengandung makna kiasan yaitu pengandaian peran
seorang Nabi (Muhammad, S.A.W) sebagai sosok yang memberikan banyak
manfaat bagi umat sejagat, dan senang dengan kita [orang-orang Islam/‘Muslim’]
yang menaati perintah Tuhan untuk berdo’a kepada-Nya (tersurat dalam Qur’an
Qs. Al- Muk’min: 60) dan memuja-Nya (mengerjakan sholat lima waktu dalam
sehari).

Data lain yang terdapat personifikasi pada bait puisi Shaykh Hamza Yusuf
adalah pada penggalan puisi dibawah ini.

It taught us all to clearly see (17)


(“A Tree Knelt in Praise”)

Unsur yang dibandingkan: kata ganti it (pronominal untuk hewan/benda) yang


merujuk pada sebuah pohon, yang memberi ‘naungan’ dengan ‘mengajari’.
Komponen makna penyama adalah ‘mengajari’ adalah arti kiasan untuk sifat
pemberi naungan, dengan asumsi bahwa seorang yang berada dibawah pohon
dalam situasi terik matahari yang menyengat ataupun saat hujan lebat, pada
umumnya merasa nyaman dan dapat melihat keadaan sekitar dengan jelas.
Komponen makna pembeda untuk it taught us to clearly see (pohon yang telah
mengajari kita melihat dengan jelas), di sini, acuan pohon merupakan entitas yang
tidak dapat menaungi diri seseorang (secara aktif) namun justru seseorang -lah
yang menaungi dirinya sendiri dengan datang dan menempatkan diri berada
dibawah pohon tersebut. Terdapat penyimpangan makna semantik, karena yang
dapat mengajarkan adalah tindakan ‘yang hanya’ dapat dilakukan oleh manusia.
Oleh karenanya, unsur kata pohon dalam pengkajian semantik tidak dapat
berkolokasi dengan tindakan mengajari. Meskipun demikian, penjelasan makna
metaforis/kiasan yang ditampilkan oleh personifikasi pada bait ini masih berkenaan
dengan peran Muhammad, S.A.W sebagai seorang Nabi sekaligus guru yang
memberikan kenyamanan bagi pengikutnya (naungan) yang daripadanya seseorang
memperoleh pencerahan dengan cahaya ‘keilmuan’, sehingga memungkinkannya
untuk melihat dengan jelas kepada haq dan bathil (kebenaran dan kepalsuan).

I envy the sand that met his feet (1)


(Spring’s Gift-)

Unsur yang dibandingkan: ‘pasir yang bertemu’ dengan ‘bertemunya


makhluk hidup yang bergerak, manusia atau hewan’. Komponen makna
penyamanya adalah pertemuan yang pernah menjadi persaksian terhadap
keberadaan sosok manusia yang dimaksud (Muhammad, S.A.W). komponen
makna pembeda untuk ‘pasir yang bertemu’ adalah tindakan bertemunya pasir
merupakan ‘atas kehendak orang yang dimaksud untuk menginjak hamparan pasir,
sehingga terjadilah pertemuan antara kaki dengan pasir tersebut, dengan demikian
bukan pasir yang menemui kaki seseorang. Penggunaan personifikasi untuk
mengungkapkan kecemburuan pengarang pada pasir yang bertemu, dengan orang-
orang yang pernah hidup pada zaman Muhammad, S.A.W dan bersahabat
dengannya menjadi implisit. Terlebih, pengungkapan pasir yang bertemu dengan
kaki seseorang disini secara semantik menyimpangkan makna, karena tindakan
menemui hanya dapat disandingkan (berkolokasi) dengan tindakan ‘yang hanya’
dapat dilakukan oleh makhluk yang hidup dan dapat bergerak.

2.2 Depersonifikasi
Depersonifikasi adalah majas yang menampilkan manusia sebagai binatang,
benda-benda alam, atau benda lainnya. Depersonifikasi adalah lawan dari
personifikasi, namun proses pembentukan kedua majas ini sama. Berikut petikan
puisi yang terdapat unsur depersonifikasi.

With his, whose face did shine so bright (9)


(Dalam Spring’s Gift)

Unsur yang dibandingkan: bagian tubuh manusia, wajah (Muhammad, S. A. W),


dengan menyinari. Komponen makna penyama: menyinari adalah sifat mutlak
yang dimiliki oleh ‘cahaya’, yang entitasnya merupakan sumber energi pemberi
manfaat dengan segala kegunaanya, kemudian menyinari (secara implisit diartikan
kegelapan), sedangkan ‘kegelapan’ dalam makna yang lebih luas dan metaforis,
dapat diartikan sebagai penanda atas ‘kebodohan’, ‘keterpurukan, dan ‘kenistaan’.
Komponen makna pembeda untuk Muhammad, S.A.W adalah manusia, memiliki
tubuh dan jiwa yang diperbandingkan dengan sesuatu yang menghasilkan cahaya
secara fisik seperti matahari dan lampu atau lentera. Hanya saja dimensi cahaya
yang dimaksud pengarang disini adalah yang bersifat spiritual, yaitu bahwa Nabi
Muhammad adalah sumber cahaya ‘keilmuan’ yang menghapus kebodohan.
For he was born to grace our Spring (46)
With lilies, flowers, life’s rebirth (47)
(Dalam Spring’s Gift)

Unsur yang dibandingkan: terlahir dengan ‘kemulyaan musim semi, bunga


lili dan berbagai bunga’. Komponen makna penyama kelahiran adalah hadirnya
seseorang di bumi, dan tanda bagi adanya harapan baru yang cerah, dengan
lahirnya sosok manusia utusan Tuhan yang menjadi perantara kemulyaan
(mengajarkan manusia kepada kehidupan yang beradab dan mulya), secara tidak
langsung dapat dirasakan manfaat kebaikannya oleh alam, sehingga
berlangsunglah musim semi sebagaimana yang dapat dirasakan manusia hingga
saat ini.
Beberapa kata acuan penyerta kata ‘terlahirnya’ pada bait kalimat diatas
yaitu “Spiring, lilies and flowers, life’s rebirth”, yang mana kata-kata ini ditinjau
dari segi metaforis pembentukan maknanya memiliki ungkapan makna filosofis
baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Pada kata yang memiliki makna
metaforis berkategori khusus yaitu, ‘Spring’3, karena tidak banyak yang
mengetahui makna dibalik kata ini jika tidak di relasikan dengan sejarah khidupan
subjek yang diacu oleh puisi. Di tinjau dari konteks sejarah Nabi Muhammad,
kelahirannya bertepatan dengan datangnya musim semi, dan semasa hidupnya ia
memilih warna hijau sebagai warna favoritnya. Konsep ‘hijau’ sebagai petanda
bagi datangnya ‘musim semi’, karena warna hijau juga berkorelasi dengan
‘fotosintesis’ yang melambangkan berlangsungnya suatu proses kehidupan alam
(tumbuhan). Disamping itu pula warna hijau adalah warna dasar yang di lihat
seseorang (pada tumbuhan) setiap harinya saat terbit fajar dan terbenamnya
matahari di sore, kesemuanya itu merelasikan tanda inti dari sebuah awal
kehidupan yang lebih baik, yaitu ‘life’s rebirth’. Sedangkan makna metaforis yang
tersirat dalam ‘lilies dan beberapa bunga’, dapat dijelaskan dalam konsep agama
Kristen, lili4 dikaitkan dengan arti sifat dan sikap ketaatan (devotion).

Or he was sent by God to men (37)


To hone their spirits’ acumen (38)
(Spring’s Gift)

3
Shaykh Hamza dalam pidatonya yang berjudul “the Greatness of the Prophet Mohammad (p.b.u.h)”
4
Dalam metafora agama Kristen, bunga lily merupakan simbol untuk ketaatan, keagungan dan kesucian (diakses dari
“lily meaning and symbolism”, situs: www.whats-your-sign.com).
Unsur yang dibandingkan: “mengasah ketajaman jiwa” dengan “memantapkan
rohani”. Komponen makna penyama adalah: ‘melakukan usaha untuk sebuah
perubahan’, misalnya pada benda, mempertajam bagian yang tumpul, sedangkan
pada manusia, mempertajam dapat diartikan sebagai makna kiasan yang berarti
meneguhkan jiwa/keruhanian. Komponen makna pembeda untuk ‘mengasah
ketajaman jiwa’ adalah entitas jiwa berbeda secara materi dengan entitas sebuah
benda semacam pisau yang perlu di asah agar bentuknya menjadi tajam sehingga
memungkinkan seseorang untuk memotong atau mengupas realita sebuah benda.
Di sini yang muncul hanya mengasah ketajaman jiwa, sedangkan memantapkan
rohani menjadi implisit. Acuan pun berubah, kata mengasah tidak lagi digunakan
untuk membuat tajam sebuah benda (senjata/pisau), melainkan untuk keruhanian
(ruh/jiwa yang ada didalam fisik seseorang). Disamping itu juga, pengungkapan
‘mengasah jiwa’ secara semantik menyimpangkan makna, karena kata ‘mengasah’
umumnya hanya berkolokasi dengan sebuah benda yang fisiknya digunakan untuk
memotong atau mengupas benda lainnya.
3. Gaya bunyi
Aspek bunyi dalam perpuisian itu penting, salah satu kegunaannya adalah
agar puisi itu terasa merdu bila di dengarkan. Demikian juga pemilihan dan
penempatan kata dalam puisi banyak didasarkan pada nilai bunyi supaya kekuatan
dari kata itu dapat memberikan tanggapan pikiran dan perkataan pembaca atau
pendengarnya. Menurut Wellek dan Warren, yang di kutip Sayuti menyatakan
bahwa posisi bunyi dalam karya sastra berada dalam urutan strata pertama dari
sekian banyak strata norma yang ada didalam karya sastra tersebut. Sebagaimana
yang dikatakannya, yaitu:

“every work of literary art is. First of all, a series of sounds out of which arises the
meaning” (Wellek & Warren, 1977: 158).
Selanjutnya menurut Pradopo (2004: 1) pengertian gaya bunyi meliputi
penggunaan bunyi-bunyi tertentu untuk mendapatkan efek tertentu yaitu efek
estetis, gaya ini berupa pengulangan bunyi, asonansi, aliterasi, dengan penggunaan
sajak awal, sajak akhir, sajak dalam dan sajak tengah.
3.1 Asonansi dan Aliterasi
Dalam puisi sering di jumpai persamaan bunyi yang terjadi dalam satu baris.
Persamaan itu ada yang dalam bentuk bunyi konsonan dinamai aliterasi dan
persamaan bunyi vocal dinamai asonansi.

A tree who gave our scholars shade (9)


A tree whose worth cannot be told (13)
Or ever lent or bought with gold (14)
(A Tree Knelt in Praise)

I’m jealous of honey he tasted sweet (2)


It’s pride that blinds us from the sight (39)
Muhammad has God on his side (44)
(Spring’s Gift)
Pada baris (9) terdapat: aliterasi, s-s  scholars, shade.
Pada baris (13) terdapat: asonansi, o-o-o  worth – cannot – told.
Pada baris (14) terdapat: aliterasi, t-t  lent - bought
Pada baris (2) terdapat: asonansi, i-i-i  honey – he – sweet.
Pada baris (39) terdapat: asonansi, ai-ai-ai  pride – blinds – sight.
Pada baris (44) terdapat: aliterasi, d-d-d  Muhammad, God, side & h-h 
his, has.
-------**------- terdapat: asonansi, a-a  Muhammad, God.

Pengulangan bunyi vocal dan konsonan dalam baris sajak dapat menimbulkan
irama, kemerduan dan dapat juga dipakai untuk mengeraskan kata-kata, baris-baris
sajak atau untuk membangkitkan suasana tertentu. Pada puisi ‘Spring’s pada baris
44 bentuk asonansi dapat dikombinasikan dengan aliterasi dalam satu baris. Hal ini
akan menumbulkan suasana yang lebih melodius dan efonis. Maka efek puitis yang
terdapat dalam petikan baris puisi diatas dapat mempengaruhi pendengar maupun
pembaca terhadap rasa dibalik simbolik bunyi yang diberikan.
3.2 Rima
Ulangan bunyi pada umumnya berupa pola persajakan, diantaranya yang
sudah diterang-jelaskan dengan asonansi dan aliterasi. Sebenarnya masih ada lagi
jenis lainnya yaitu rima atau persajakan. Dimana saja letaknya rima tersebut, baik
di awal, tengah maupun akhir) pola rima tetap sebagai pola estetika/keindahan
bahasa berdasarkan ulangan suara: “first, the repetitions are entirely a matter of
sound…make enough impression on the ear to significant in the sound pattern of
the poem” (Perrine, 1984: 182). Selanjutnya ternnyata ulangan suara ini
mempunyai fungsi sebagai daya evaluasi dan penyangga utama arti simbolik yang
erat hubungannya dengan rasa, sebagaimana yang dijelaskan Perrine (1984: 177)
the poet, unlike the man which uses language to convey only information, chooses
his words for sound as well as for meaning and he uses the sound as a means of
reinforcing his meaning.

Dalam puisi-puisi pada umumnya, jenis persajakan yang muncul adalah:

3.2.1 Rima Awal (Anafora)


Anafora merupakan pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa
pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya (Sumarlam, 2013: 56), fungsinya
untuk menegaskan, menekankan dan mununjukkan pada pentingnya arti serta
memberi intensitas.
A tree who gave our scholars shade (9)
And never asked that it be paid (10)
A tree whose needles never hurt (11)
(A Tree Knelt in Praise)

With those who prayed, and fasted too (15)


Simply because he told them to (16)
With truth and kindness, charity (17)

To hear him say there is one God (36)


Or he was sent by God to men (37)
To hone their spirits’ acumen (38)
(Spring’s Gift)

Bentuk anafora dari masing-masing baris awal kedua puisi Shaykh Hamza Yusuf
di atas membuktikan bahwa penyair menggiring perhatian pembaca ke suatu titik
tertentu. Pengulangan kata A tree, With, To, membawa pembaca kepada suatu
“pengharapan” yang ingin ditekankan dalam menggambarkan aspek karakter
penting tentang subjek yang dimaksud. Pada puisi yang diperbandingkan di atas,
puisi Spring’s Gift tergolong puisi yang penerapan rima anaforanya sedikit lebih
banyak daripada puisi A Tree Knelt in Praise.

3.2.2 Internal Rhyme/Sajak Tengah


Sajak tengah merupakan persamaan bunyi yang tepat ditengah baris diantara
dua baris, sebagaimana yang dinyatakan Perrine (1984: 180), bahwa when one or
both riming words are within the line.

A tree whose worth cannot be told (13)


Or ever lent or bought with gold (14)
A tree who showed us all its height (15)
(A Tree Knelt in Praise)

Of a sun whose light could not compete (8)


With his, whose face did shine so bright (9)
(Spring’s Gift)

Bentuk sajak tengah yang terlihat dari kesamaan bunyi masing-masing kata pada
baris kedua puisi diatas membuktikan adanya keselarasan antar bunyi tengah.
Sajak tengah pada puisi-puisi tersebut memberi intensitas tertentu dalam
pendengaran dan perasaan para penyimak sehingga hal ini dapat memacu
timbulnya suasana puitis yang dikehendaki. Persamaan bunyi pada sajak tengah di
atas tidak hanya berupa kata tetapi berupa suku kata. Pada kedua puisi yang
diperbandingkan, puisi A Tree Knelt in Praise nampaknyatermasuk puisi yang
penerapan sajak tengahnya lebih mendominasi daripada puisi Spring’s Gift.
4. End Rhyme/Sajak Akhir
Sajak akhir merupakan bunyi yang terdapat di akhir baris, sebagaimana yang
dijelaskan Perrine (1984: 180) “when both riming words are at the ends of lines”.

A tree who humbly knelt in praise (5)


To God and never chose to raise (6)
A tree who showed us all its height (15)
With God by bowing with delight (16)
(A Tree Knelt in Praise)

I envy sightless trees that gazed (11)


Upon his form completely dazed (12)
Not knowing if the sun had risen (13)
But felt themselves in unison (14)
(Spring’s Gift)

Berdasarkan data terkait penemuan sajak akhir pada petikan baris kedua puisi di
atas, ditemukan adanya keselarasan bunyi akhir seperti; praise & raise, height &
delight, dst. Penggunaan sajak akhir yang konsisten dan hampir semuanya dapat
ditemukan dalam kedua puisi ini pada masing-masing sajak akhirnya menunjukkan
kelihaian penyair dalam merangkai kata-kata puitisnya.
Pembahasan

Pokok permasalahan dalam puisi “a tree knelt in praise” dan “spring’s gift
adalah puisi-puisi yang mengungkapkan kebanggaan, kekaguman dan kecintaan
penyair terhadap sosok seorang Nabi Muhammad dan perjuangannya semasa
hidupnya. Melalui setiap bait puisinya, penyair, Shaykh Hamza Yusuf mencoba
membawa pembaca atau pendengar puisinya kepada suatu “pengharapan” yang
ingin ditekankan pada saat mengeksplorasi ungkapan batinnya dengan
menggunakan berbagai instrumen metafora sehingga memungkinkan penyair untuk
menggiring penyimak agar berimajenasi tentang sosok Muhammad dengan
karakter pentingnya sebagaimana tersurat dan tersirat dari elemen-elemen puisi
yang dimaksud.

Tema yang terdapat dalam lantunan kedua puisi tersebut pada dasarnya
didukung oleh pola-pola kalimat, pilihan kata-kata yang memukau, dan gejala-
gejala lain yang ada dipermukaan yang dapat memperluas makna dengan
menggunakan gaya bahasa yang beridentitaskan penggambaran tentang sebuah
dimensi keagamaan dari pengalaman hidup Nabi Muhammad. Dengan demikian,
gaya bahasa puisi-puisi ini Hamza Yusuf menentukan pemakaian bahasanya
sebagai seorang penyair, di samping sebagai sarana atau alat untuk memperjelas
gambaran ide, kadang juga untuk mengkongkritkan suatu gambaran dan
menghidupkan serta menumbuhkan perspektif baru lewat daya komparasinya
(dengan kalimat-kalimat metaforis).

Menurut Kutha Ratna (2004: 45), agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan
maupun tertulis hanya di sini agama berasal dari Firman Tuhan sedangkan sastra
merupakan kata-kata pengarang. Bahasa dari dua sumber yang berbeda ini perlu
ditafsirkan karena baik keyakinan maupun imaginasi sulit untuk dicari realitasnya
atau bahkan dibuktikan kelebihan yang dikandung oleh penerapan kedua puisi
diatas, karena gaya bahasa yang menyangkut dimensi keagamaan seperti ini selalu
mempunyai celah, lorong, atau ruang hampa dimana pembaca dapat memberikan
bermacam-macam tafsiran

Di atas sudah disinggung, bahwa kualitas, tema, ide dan amanat merupakan
unsur pokok sebuah puisi. Disamping itu masih ada lagi unsur yang membangun
sebuah puisi secara harmonis. Tema dapat dikatakan sebagai unsur spiritual/
batiniah, sedangkan struktur merupakan unsur fisikal, eksplisit dan merupakan
unsur yang bersifat kasat mata/lahiriah. Sebuah puisi akan mempunyai nilai seni
apabila pengalaman jiwa pengarang itu dijelmakan ke dalam bentuk kata. Setiap
bentuk puisi akan merupakan karya yang berhasil diciptakan oleh pengarangnya
manakala ia mempunyai jiwa baru yang bersifat transedental, artinya ia tidak
hanya mengandung pesan-pesan saja, tetapi juga harus dapat dipakai sebagai
penuangan dan perenungan (Sayuti, 1985: 184-189). Disamping itu pula, salah satu
peran penting pembentuk puisi yang layak dianggap baik yaitu adanya fungsi
puitik, karena fungsi puitik inilah yang memproyeksikan prinsip persamaan,
persejajaran (equivalence) yang kemudian dapat ditelusuri keberadaanya melalui
proses pemilihan (parataksis) hingga ke proses kombinasi (sintaksis).

Kesimpulan

Dengan sedikit uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keberhasilan


dan keindahan sebuah puisi akan ditentukan oleh dasar-dasar ekspresinya yang
berupa pengalaman jiwa, ketepatan pemilihan kata dan kalimat serta
penempatannya. Pengalaman yang diungkapkan dengan kata-kata dapat bersifat
intelektual, emosional atau bahkan imaginal. Dengan demikian, maka bobot atau
kandungan ide-ide puisi dapat bermacam-macam yang dasarnya sama, yaitu
tentang manusia, kemanusiaan, hidup dan kehidupan yang dapat ditangkap oleh
mata batin pengarang. Meskipun sebenarnya pembaca lah yang memusatkan
perhatiannya pada pesan yang terdapat dalam sebuah tuturan puisi.

Data dan Transkripsi Puisi-Puisi Hamza Yusuf Hanson.

A Tree Knelt In Praise 


1. I know that I shall never see (1) 1. Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah
A poem that bows quite like our tree (2) melihat
A tree who like us loved to pray (3) Sebuah syair yang menunduk sangat persis
In adoration every day (4) seperti pohon kita.
Sepohon yang senang akan kita yang suka
2. A tree who humbly knelt in praise (5) berdo’a
To God and never chose to raise (6) Dalam pemujaan setiap hari
Itself above the other trees (7)
Instead remained as if on knees (8) 2. Sepohon yang dengan kerendahan hati
berlutut memuji
3. A tree who gave our scholars shade (9)
Kepada Tuhan dan enggan memilih
And never asked that it be paid (10)
meninggikan dirinya dari pohon-pohon
A tree whose needles never hurt (11)
lainnya
But gently fell upon the dirt (12)
Namun tetap saja begitu seakan berlutut
4. A tree whose worth cannot be told (13)
Or ever lent or bought with gold (14) 3. Sepohon yang menaungi cendikiawan kita
A tree who showed us all its height (15) Dan tak pernah meminta untuk dibayar
With God by bowing with delight (16) Sepohon yang durinya tak pernah melukai
Namun dengan senang hati jatuh diatas
5. It taught us all to clearly see (17) kotoran
A Garden lies beneath a tree (18)
And then it showed us with a sigh (19) 4. Sepohon yang nilai kebaikannya tak
That trees, like us, must also die (20) terkatakan
Atau tak pernah dapat dipinjamkan atau
6. In an age of folly, play and mirth (21) beli dengan emas.
A tree has died with brow on earth (22) Sepohon yang telah memperlihatkan ke
maha tinggiannya
Bersama Tuhan seraya menunduk dengan
gembira

5. Ia mengajarkan kita melihat lebih jelas


Sebuah kebun terhampar dibawah sebuah
pohon
Dan kemudian ia memperlihatkan kita
dengan kekeluhkesahan.
Pepohonan itu, seperti kita, yang juga harus
mati
6. Di suatu zaman yang penuh dengan
kebodohan, permainan dan
kerianggembiraan
Sepohon telah mati dengan dahi ditanah.

Spring's Gift - Sheikh Hamza Yusuf

1. I envy the sand that met his feet (1) 1. Aku iri pada pasir yang bertemu
I’m jealous of honey he tasted sweet (2) dengan kakinya
Of birds that hovered above his head (3) Aku cemburu pada masninya madu
Of spiders who spun their sacred web (4)
yang ia cicipi
To save him from his enemies (5)
Kepada burung-burung yang terbang
2. I envy clouds formed from the seas (6) melayang diatas kepalanya
That gave him cover from the heat (7) Kepada laba-laba yang mengitari
Of a sun whose light could not compete (8) sarang sucinya
With his, whose face did shine so bright (9) Untuk menyelamatkan dia dari
That all was clear in blinding night (10) musuh-musuhnya.
3. I envy sightless trees that gazed (11)
2. Aku iri pada awan terbentuk dari
Upon his form completely dazed (12)
Not knowing if the sun had risen (13) lautan
But felt themselves in unison (14) Yang menaunginya dari panasnya
With those who prayed, and fasted too (15) terik
Simply because he told them to (16) Kepada matahari yang sinarnya tak
With truth and kindness, charity (17) mampu bersaing kesempurnaan
From God who gave such clarity (18) Dengannya, wajah bersinar yang
His mercy comes in one He sent (19)
sangat terang
To mold our hearts more heaven bent (20)
Segalanya menjadi jelas dalam
4. I envy all there at his side (21) malam yang membutakan.
Who watched the turning of the tide (22)
As truth prevailed and falsehood fled (23) 3. Aku iri pada pepohonan buta yang
And hope restored life to the dead (24) memandangi
Men and Women through him found grace (25) Kepada bentuknya yang
To seek together God’s noble face (26) membingungkan
Tak mengerti jika matahari telah
5. I envy the cup that gave him drink (27)
His thoughts that helped us all to think (28) terbit
To be one thought that passed his mind (29) Namun semuanya merasakan seakan
Inspiring him to act so kind (30) bersamaan
For me this world is not one jot (31) Bersama mereka yang berdo’a dan
If I could simply be a thought (32) juga berpuasa
From him to God throughout the ages (33) Hanya karena dia menyuruh mereka
melakukannya
As revelation came in stages (34) Dengan kebenaran dan kebaikan,
amal
6. I pity all who think it odd (35) Kasih sayangnya datang bersama
To hear him say there is one God (36) seseorang yang diutus
Or he was sent by God to men (37)
To hone their spirits’ acumen (38) Untuk membentuk hati kita lebih
It’s pride that blinds us from the sight (39) cenderung menyukai surgawi
That helps good men to see his light (40)
4. Aku iri pada segala sesuatu yang ada
7. He taught us all to be God’s slaves (41) disampingnya
And he will be the one who saves (42) Yang menyaksikan terbentuknya
Humanity from sinful pride (43) perubahan
Muhammad has God on his side (44)
Ketika kebenaran dijunjung tinggi
So on this day be blessed and sing (45)
For he was born to grace our Spring (46) dan kepalsuan dilenyapkan
With lilies, flowers, life’s rebirth (47) Dan harapan kembalinya kehidupan
In a dome of green like his on earth (48) bagi yang mati
Para laki-laki dan perempuan
kepadanya mendapatkan kemulyaan
Menyencari bersama kemulyaan di
sisi Tuhan

5. Aku iri pada cangkir yang


memberinya minum
Renungannya yang membantu kita
semua berpikir
Menjadi satu renungan yang terlintas
dari pikirannya
Memberi inspirasi kepadanya untuk
berlaku sangat baik
Bagiku dunia ini tidaklah berarti apa-
apa
Jika seandainya aku ini sebuah
renungan
Darinya kepada Tuhan sepanjang
zaman
Sebagaimana turunnya wahyu yang
bertahap-tahap

6. Aku kasihan kepada semua yang


mengira itu aneh
Mendengarkan dia mengatakan
hanya ada satu Tuhan
Atau dia di utus oleh Tuhan kepada
manusia
Untuk mengasah ketajaman jiwa
mereka
Adalah kebanggaan yang
membutakan kita dari pandangan
Yang membantu orang-orang baik
melihat cahayanya

7. Dia mengajarkan kita semua menjadi


hamba Tuhan
Dan dia akan menjadi seseorang
yang menyelamatkan manusia dari
berbangga dosa
Muhammad memiliki Tuhan di
sisinya
Maka di hari ini yang diberkati dan
menyanyi
Karena ia terlahir untuk memulyakan
musim semi kita
Dengan lili, berbagai bunga,
terlahirnya kembali kehidupan
Dalam sebuah ruangan yang hijau
sebagaimana miliknya di bumi

DAFTAR PUSTAKA
Black, Elizabeth. 2011. Stilistika Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Terjemahan; Pragmatic Stylistics – Edinburgh Textbook in Applied
Linguistics. Edinburg University Press.

Gorys Keraf. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Satoto, Soediro. 2012. Stilistika. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Sumarlam. 2013. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Penerbit Buku
Katta

Sayuti, A. Suminto. 1986. Puisi dan Pengajarannya. Semarang: Penerbit IKIP


Semarang.

Perrine, Laurence. 1984. The Element of Poetry. New York: Harcourt Brace
Jovanovic, Inc. Wasington D. C

Pradopo, Rahmat, Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta. Gajah Mada


University Press.

Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori Metode, dan Teknik Penelitian Sastra – dari
Strukturalisme hingga Poststrukturalisme, Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai