Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

UNDANG-UNDANG DASAR

Disusun oleh :
Kelompok : 1
Anggota : M. Yasar
M. Yasir
Hurman
Aa Ginanjar
Ilham M
Kelas : X TBSM 1

SMK AL FALAH TANJUNGJAYA


2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita telah terbiasa menerjemahkan istilah dalam
bahasa Inggris constitution menjadi Undang-Undang Dasar (UUD). Sebenarnya ada
kesukaran atau kekurangan dengan pemakaian istilah UUD, yakni kita langsung
membayangkan suatu naskah tertulis. Padahal istilah constitution bagi banyak sarjana ilmu
politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik
yang tertulis, maupun yang tidak. Yang mengatur secara mengikat cara-cara pemerintahan
diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Terjemahan kata constitution dengan kata UUD memang sesuai dengan kebiasaan
orang Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata Grondwet
(Grond : dasar; wet = undang-undang), dan Grundgesetz (Grund = dasar; gesetz = undang-
undang), yang dua-duanya menunjuk pada naskah tertulis. Dan memang tidak dapat
disangkal bahwa dewasa ini hamper semua Negara (kecuali Inggris) memiliki naskah
tertulis sebagai UUD–nya.
B. Batasan Masalah
Dalam pembuatan makalah ini, kami menjelaskan beberapa batasan masalah.
Adapun batasan masalah yang penulis sajikan adalah sebagai berikut:
1. Apa saja Sifat dan Fungsi Undang-Undang Dasar ?
2. Apa saja Ciri-Ciri Undang-Undang Dasar ?
3. Apa yang menyebabkan terjadinya Pergantian Undang-Undang Dasar?
4. Apa yang menyebabkan Perubahan Undang-Undang Dasar (Amandemen)?
5. Seperti apa Undang-Undang Dasar Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini, tentu penulis mempunyai tujuan dalam
penulisannya, yaitu:
1. Untuk mengetahui Sifat dan Fungsi Undang-Undang Dasar
2. Untuk mengetaui Ciri-Ciri Undang-Undang Dasar
3. Untuk mengetahui Pergantian Undang-Undang Dasar
4. Untuk mengetahui Perubahan Undang-Undang Dasar (Amandemen)
5. Untuk mengetahui Undang-Undang Dasar Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sifat dan Fungsi Undang-Undang Dasar


Secara pengertian umumnya dapat dikatakan bahwa UUD merupakan suatu
perangkat peraturan yang menentukan kekuasaan dan tanggung jawab dari berbagai alat
kenegaraan. UUD juga menentukan batas-batas berbagai pusat kekuasaan itu dan
memaparkan hubungan-hubungan di antara mereka.
Menurut Sarjana hukum E.C.S. Wade dalam buku Constitutional Law, UUD
adalah : “Naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu Negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut
(A document which sets out the framework and principal functions of the organs of
government of state and declares the principles governing the operation of those organs).”
Jadi, pada pokoknya dasar dari setiap system pemerintahan diatur dalam suatu UUD.
Pandangan ini merupakan pandangan yang luas dan yang paling tua dalam
perkembangan pemikiran politik. Dapat dicatat bahwa pada abad ke-5 SM., seorang filsuf
Yunani, Aristoteles yang di dunia Barat dipandang sebagai sarjana ilmu politik pertama
yang berhasil melukiskan UUD di lebih dari 500 negara-kota Yunani dengan jalan
mencatat pembagian kekuasaan serta hubungan-hubungan kekuasaan dalam setiap Negara
kecil itu.
Di samping UUD mempunyai status legal yang khusus, ia juga merupakan
ungkapan aspirasi, cita-cita, dan standar-standar moral yang dijunjung tinggi oleh suatu
bangsa. Banyak UUD juga mencerminkan dasar-dasar Negara serta ideologinya. Sering
unsur ideology dan moralitas ini dijumpai dalam mukadimah suatu UUD.

B. Ciri-Ciri Undang-Undang Dasar


Walaupun UUD satu Negara berbeda dengan Negara lain, kalau diperhatikan
secara cermat ada ciri-ciri yang sama, yaitu biasanya memuat ketentuan-ketentuan
mengenai soal-soal sebagai berikut :
1. Organisasi Negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif serta hubungan di antara ketiganya. UUD juga memuat bentuk Negara
(misalnya federal atau Negara kesatuan), beserta pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal dan pemerintah Negara-bagian atau antara pemerintah dan
pemerintah daerah. Selain itu UUD memuat prosedur untuk menyelesaikan masalah
pelanggaran yuridiksi oleh salah satu badan Negara atau pemerintah dan sebagainya.
Dalam arti ini UUD mempunyai kedudukan sebagai dokumen legal yang khusus.
2. Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah
tersendiri).
3. Prosedur mengubah UUD (amandemen).
4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
5. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga Negara dan
lembaga Negara tanpa kecuali.
Selain itu mukadimah undang-undang dasar sering memuat cita-cita rakyat dan
asas-asas ideology Negara. Ungkapan ini mencerminkan semangat dan spirit yang oleh
penyusun UUD ingin diabadikan dalam UUD itu, sehingga mewarnai seluruh naskah UUD
itu.

C. Pergantian Undang-Undang Dasar


Adakalanya suatu UUD dibatalkan dan diganti dengan UUD baru. Hal semacam
ini terjadi jika dianggap bahwa UUD yang ada tidak lagi mencerminkan konstelasi politik
atau tidak lagi memenuhi harapan dan aspirasi rakyat. Contohnya : sesudah prancis dalam
tahun 1946 dibebaskan dari pendudukan tentara Jerman, dianggap perlu untuk mengadakan
UUD yang mencerminkan lahirnya Negara Prancis baru, yaitu Republik Prancis IV. Begitu
pula pada tahun 1958 UUD dibatalkan dan diganti dengan suatu UUD yang melahirkan
Republik Prancis V, di bawah pimpinan Presiden De. Gaulle. Kedua pergantian UUD
menunjukkan ditinggalkannya masa lampau dan dimulainya halaman konstitusional yang
baru. Sejak 1787 Prancis sudah mempunyai tidak kurang dari 17 UUD.
Di Indonesia kita telah melalui lima tahap perkembangan UUD, yaitu :
1. Tahun 1945 (UUD Republik Indonesia yang de facto hanya berlaku di Jawa, Madura,
dan Sumatra.
2. Tahun 1949 (UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku di seluruh Indonesia,
kecuali Irian Barat).
3. Tahun 1950 (UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berlaku di seluruh
Indonesia, kecuali Irian Barat).
4. Tahun 1959 (UUD Republik Indonesia 1945. UUD ini mulai 1959 berlaku di seluruh
Indonesia, termasuk Irian Barat).
5. Tahun 1999 (UUD 1945 dengan amandemen dalam masa Reformasi). Lazimnya
memang setiap pergantian UUD mencerminkan anggapan bahwa perubahan
konstitusional yang dihadapi begitu fundamental, sehingga mengadakan amandemen
saja terhadap UUD yang sedang berlaku dianggap tidak memadai.

D. Perubahan Undang-Undang Dasar (Amandemen)


Selain pergantian secara menyeluruh, tidak jarang pula Negara mengadakan
perubahan sebagian dari UUD-nya. Perubahan ini dinamakan amandemen. Namun secara
umum biasanya perubahan itu dilakukan melalui, sebagai berikut :
1. Melalui sidang badan legislative, kadang-kadang dengan ditambah beberapa syarat,
misalnya dapat ditetapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan usul amandemen
dan jumlah minimum anggota badan legislative untuk menerimanya (contoh : Inggris,
Israel, Belgia, dan UUD Republik Indonesia Serikat 1949).
2. Referendum atau plebisit (contoh : swiss, Australia, Denmark, Irlandia, dan Spanyol).
Di Negara-negara ini referendum dilaksanakan untuk memintakan persetujuan atau usul
perubahan atau amandemen yang diajukan oleh anggota parlemen.
3. Negara-negara bagian dalam Negara federal (contoh : Amerika Serikat : ¾ dari lima
puluh Negara bagian harus menyetujui : contoh lain India). Di Jerman, untuk mengubah
Basic Law harus ada persetujuan 2/3 dari anggota bundestag maupun Bundesrat.
4. Musyawarah khusus (special convention) seperti yang diberlakukan di beberapa Negara
Amerika Latin. Di Indonesia wewenang untuk mengubah UUD ada di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan ketentuan bahwa kuorum adalah 2/3 dari
anggota MPR, sedangkan usul perubahan UUD harus diterima oleh 2/3 dari anggota
yang hadir (Pasal 37). Sejak tahun 1999, tak lama setelah rezim Orde Baru berakhir
kekuasaannya, UUD 1945 telah 4 kali diamandemen.

E. Undang-Undang Dasar Indonesia


Dari sejarah ketatanegaraan Indonesia dapat diketahui bahwa UUD yang berlaku
telah beberapa kali berganti, yaitu dari UUD 1945, kemudian diganti UUD RIS 1949, lalu
berganti lagi dengan UUD Sementara 1950, dan akhirnya kembali ke UUD 1945. UUD
yang kini berlaku itu juga telah mengalami beberapa amandemen.
Ada tiga krisis yang langsung melibatkan UUD. Pertama, pada bulan November
1945 sistem pemerintahan presidensial diubah menjadi sistem pemerintahan parlementer.
Kedua, Juli 1949 kita kembali ke UUD 1945. Ketiga, 1999-2002 terjadi empat amandemen
yang banyak mengubah system ketatanegaraan kita.
Sehari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Panitia Persiapan
kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Indonesia. Pada
waktu itu dinyatakan bahwa penetapan tersebut bersifat sementara dengan ketentuan
bahwa enam bulan setelah perang berakhir, presiden akan melaksanakan UUD itu, dan
enam bulan setelah MPR terbentuk, lembaga ini akan mulai menyusun UUD yang baru.
Pada 17 Agustus 1945, Soekarno – Hatta, didukung oleh masyarakat luas,
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. PPKI secara resmi mendukung
Proklamasi itu dan pada tanggal 18 Agustus 1945 mengeluarkan undang-undang untuk
memberlakukan UUD yang telah disusun sebelumnya.
UUD itu menetapkan system pemerintahan presidensial dengan kekuasaan yang
besar di tangan presiden, meskipun kekuasaan tertinggi berada di tangan MPR. Selain itu,
ada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan agung yang berwenang memberi
nasihat kepada presiden dan Mahkamah Agung.
Sifat sementara UUD itu terungkap dalam ketentuan bahwa enam bulan setelah
perang berakhir, presiden akan melaksanakan UUD itu, dan bahwa enam bulan setelah
pembentukannya, MPR akan memulai menyusun sebuah UUD baru.
PPKI pada 18 Agustus 1945 memilih Soekarno dan Hatta, masing-masing sebagai
presiden dan wakil presiden. Pada 22 Agustus 1945, PPKI membentuk sebuah partai
Negara, Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Kekuasaan dan wewenang KNIP, yang
anggota-anggotanya dipilih oleh Soekarno Hatta dari kalangan orang-orang yang menjadi
pendorong kuat proklamasi kemerdekaan, ternyata mengalami berbagai perubahan penting
pada hari-hari pertama revolusi.
Kelompok yang mendorong perubahan ini terpengaruh oleh berbagai hal. Yang
terpenting diantaranya ialah kekhawatiran terhadap kecenderungan sebagai kelompok
pemuda militant kea rah fasisme yang telah bertumbuh selama pendudukan Jepang.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh dua factor, yaitu didirikannya satu partai Negara (PNI)
dan kekuasaan besar yangdiberi UUD kepada satu orang, yaitu presiden.
Untuk mencapai tujuannya, kelompok ini bekerja melalui beberapa tahap, sebagai
langkah pertama, pada tanggal 7 Oktober 1945, 50 dari 150 anggota KNIP menyerahkan
sebuah petisi kepada pemerintah agar KNIP tidak hanya sebagai badan penasihat tetapi
juga diberi kekuasaan legislative. Baik Soekarno maupun Hatta setuju dan pada tanggal 16
Oktober 1945, dalam rapat KNIP berikutnya di Jakarta, Wakil Presidenatas nama Presiden
menandatangani Maklumat Wakil Presiden No. X, 16 Oktober 1945. Ditentukan bahwa
selama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan perwakilan Rakyat (DPR)
belum dapat dibentuk, KNIP akan diberi kekuasaan legislatif dan wewenang untuk ikut
serta dalam penentuan garis-garis besar haluan Negara.
Oleh karena disadari bahwa suatu badan yang bear seperti KNIP tidak mungkin
melaksanakan fungsinya dalam keadaan genting yang sedang dihadapi, ditentukan juga
bahwa tugas harian KNIP akan dijalankan oleh suatu Badan Pekerja yang dipilih dari
anggota KNIP dan bertanggung jawab (ministerial responsibility) kepada KNIP. Sjahrir di
angkat sebagai ketua Badan Pekerja, yang kemudian menjadi penggerak revolusi.
Sebagai langkah ahir, pada tanggal 11 November 1945 Badan Pekerjaan
mengajukan petisi kepada pemerintah agar para menteri kabinet bertanggung jawab kepada
KNIP, bukan kepada presiden. Pemerintah setuju dan untuk itu mengeluarkan Maklumat
Presiden yang mulai berlaku pada tanggal 14 November 1945. Kemudian, Presiden
Soekarno melantik kabinet parlemen yang pertama dengan Sjahrir sebagai Perdana
Menteri. Dengan demikian UUD telah diamandemen dari system presidensial menjadi
parlementer.
Dalam rapat plenonya yang ketika di Jakarta pada tanggal 25-27 Nevember 1945,
KNIP menerima baik keputusan ini dan memberi dukungan kepada Kabinet Sjahrir.
Dengan demikian, praktis presiden menjadi kepala Negara, sedangkan perdana menteri
menjadi kepala pemerintahan. Juga, perubahan dari presidensial menjadi system
parlementer telah tuntas. Dengan demikian peristiwa pertama telah selesai. System ini
selanjutnya dikukuhkan dalam UUD Republik Indonesia Serikat 1949.
Melalui pemindahan ke system parlementer, maka jabatan kepala Negara (presiden)
dipisahkan dari jabatan kepala pemerintahan (perdana menteri). Selain dari memperluas
basis perjuangan karena mengikutsertakan semua kekuatan antifasis dalam perjuangan
kemerdekaan, perubahan ini juga memungkinkan untuk tetap mempertahankan Presiden
Soekarno sebagai “simbol” kepala Negara dan pemersatu rakyat.
Betapa besarnya pengaruh Presiden Soekarno terlihat dari fakta bahwa selama
undang-undang dasar ini berlaku (Agustus 1945 sampai akhir 1949), telah terjadi beberapa
kali praktik kenegaraan yang agak menyimpang, di tangan presiden dan dengan demikian
member kesempatan kepada pemerintah untuk menanggulangi dengan cepat keadaan
darurat yang timbul. Hal ini terjadi tiga kali yaitu :
1. Dengan Maklumat Presiden, presiden mengambil alih kekuasaan dari 28 Juni sampai 2
Oktober 1946 untuk mengatasi keadaan darurat yang diakibatkan oleh penculikan
terhadap beberapa anggota cabinet oleh Persatuan Perjuangan. Organisasi ini tidak
menyetujui perundingan dengan pihak Belanda.
2. Dengan Maklumat Presiden, presiden mengambil alih kekuasaan dari 27 Juni 1947
sampai 3 Juni 1947 untuk mengatasi keadaan darurat yang timbul sebagai akibat dari
penandatanganan Persetujuan Linggarjati. Pengambilan keputusan ini hanya berjalan
selama satu minggu, dalam masa itu Kabinet Sjahrir mengundurkan diri dan cabinet
Amir Syarifuddin dibentuk.
3. Dengan suatu undang-undang badan legislative (yaitu Badan Pekerja yang bertindak
atas nama Komite Nasional) member kekuasaan penuh (plein pouvoir) kepada presiden
selama tiga bulan mulai 15 September 1948 (Undang-Undang No. 20 September 1948).
Pemberian kekuasaan penuh ini dimaksudkan untuk mengatasi pemberontakan PKI di
Madiun.
Kenyataan adanya praktik kenegaraan yang berbeda dengan naskah UUD ini
terjadi akibat dahsyatnya perkembangan dan dinamika politik selama periode revolusi dan
pergolakan-pergolakan yang diakibatkan olehnya.
Sejak saat itu perubahan terhadap UUD 1945 (dengan jalan amandemen telah
dilakukan empat kali. Perubahan pertama dilakukan melalui Sidang Umum MPR Oktober
1999. Perubahan kedua melalui Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Perubahan ketiga
melalui Sidang Tahunan MPR Oktober 2001. Dan perubahan keempat dilakukan melalui
Sidang Tahunan MPR Agustus 2002. UUD 1945 yang telah diamandemen inilah yang
sekarang menjadi UUD kita.
Berikut ini adalah perubahan yang bersifat mendasar dan nyata dalam system
ketatanegaraan kita setelah amandemen.
Pertama, hasil amandemen tahap pertama adalah Pasal 7 yang isinya menyebutkan
bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa 5 tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya satu kali masa jabatan.
Sebelum diamandemen frase “hanya untuk satu kali masa jabatan” tidak ada. Selanjutnya
dalam amandemen ketiga disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat. Ini berbeda sama sekali dengan sebelumnya di mana
presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR.
Kedua, semua anggota MPR diangkat melalui pemilihan umum. Hal ini terlihat dari
hasil amandemen kedua dan ketiga. Di sana dinyatakan bahwa semua anggota DPR dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan unsure MPR jika mereka melakukan
sidang gabungan. Diangkat melalui pemilu. Ketentuan UUD ini berbeda sama sekali
dengan sebelumnya, dimana cukup besar jumlah anggota MPR yang diangkat. Untuk
pertama kalinya pula (melalui amandemen ketiga) dinyatakan dalamUUD bahwa pemilu
dilaksanakan oleh sebuah komisi pemilihan umum (KPU) yang bersifat nasional, tetapi,
dan mandiri. Keberadaan partai politik juga menjadi nyata disebutkan di dalam UUD.
Sebelum amandemen UUD 1945 tidak menyebut-nyebut partai politik.
Ketiga, kekuasaan DPR dalam pembuatan undang-undang semakin besar. Dari
amandemen tahap pertama, dinyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membuat
Undang-Undang: setiap Rancangan Undang-Undang dibahas DPR bersama presiden untuk
mendapat persetujuan bersama. Selain itu anggota DPR berhak mengajukan usul
Rancangan Undang-Undang. Kemudian pada amandemen kedua diperkuat dengan
tambahan satu ayat pada pasal 20, yaitu ayat (5), yang menyatakan bahwa dalam hal
Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama (oleh DPR dan pemerintah) tidak
disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak disetujui, Rancangan Undang-
UNdang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Ini berbeda dengan
sebelum amandemen, dimana Rancangan Undang-Undang yang sudah disetujui bersama
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak disetujui , maka yang berlaku
adalah undang-undang yang lama.
Keempat, di bidang yudikatif juga ada kemajuan yang bersifat mendasar, yaitu
adanya Mahkamah Konstitusi yang berhak melakukan uji undang-undang terhadap UUD
pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final. Selain itu Mahkamah
Konstitusi juga berhak memutuskan sengketa kewenangan lembaga yang dierikan oleh
UUD, membubarkan partai politik, dan dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Hal ini merupakan hasil dari amandemen ketiga. Selain yang disebutkan di atas masih
banyak hasil-hasil lain.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan Definisi
UUD dari sudut pandang filsafat diberikan oleh Richard S. Kay, seorang ahli yang
lebih kontemporer. Menurut Kay : “Maksud diadakannya UUD adalah untuk meletakkan
aturan-aturan yang pasti yang memengaruhi perilaku manusia dan dengan demikian
menjaga agar pemerintah tetap berjalan dengan baik (The purpose of a constitution is to lay
down fixed rules that can affect human conduct and thereby keep government in good
order). Di samping UUD mempunyai status legal yang khusus, ia juga merupakan
ungkapan aspirasi, cita-cita, dan standar-standar moral yang dijunjung tinggi oleh suatu
bangsa. Banyak UUD juga mencerminkan dasar-dasar Negara serta ideologinya. Sering
unsur ideology dan moralitas ini dijumpai dalam mukadimah suatu UUD.

B. Saran
Dari pembahasan diatas maka kami menyarankan agar para pembaca mengetahui
dan memahami tentang “Undang-Undang Dasar”. Serta lebih mengerti dan bisa
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai