Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH

“MIKROBIOLOGI DAN PARASITOLOGI TENTANG BATUK REJAN ”

Yang diasuh oleh Bapak Rusli Maudu, SKM.,M.Kes

Disusun Oleh Kelompok 8:

NI MADE SINDI ASIH (PO7120319042)

DINDA AYUDIA DEWI (PO7120319041)

KINANTY DWIPRATIWI (PO7120319043)

ARDIANSYAH (PO7120319039)

JENDRY KRISTOFEL PENDAKE (PO7120319040)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU

JURUSAN D4 KEPERAWATAN

2019/202
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

OM Swastyastu,

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan

Yang Maha Esa) karena berkat Anugerah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan

penyusunan Makalah ini dengan judul “Batuk Rejan” dengan baik dan lancar.

Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan

penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini

masih sangat jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis menerima kritik dan saran

yang bersifat membangun demi perbaikan kearah yang lebih sempurna. Akhir kata

saya ucapkan terimakasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

OM Santih, Santih, Santih OM

Penulis,
DAFTAR ISI

SAMPUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I
PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Penulisan 1

BAB II
PEMBAHASAN 2

2.1 Definisi dan Klasifikasi Batuk Rejan 2


2.2 Gejala Batuk Rejan 3
2.3 Patofisiologi dan Etiologi Terjadinya Batuk Rejan 4
2.4 Morfologi dan Fisiologi Batuk Rejan 5
2.5 Manifestasi Klinis Batuk Rejan 5
2.6 Cara Pencegahan dan Pengobatan Batuk Rejan 6

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN 8

3.1 Kesimpulan 8
3.2 Saran 8

DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Batuk dalam bahasa latin disebut tussis adalah refleks yang dapat terjadi
secara tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk membantu
membersihkan saluran pernapasan dari lendir besar, iritasi, partikel asing dan
mikroba. Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari
trauma mekanik, kimia dan suhu. Batuk merupakan gejala klinis dari gangguan
pada saluran pernapasan. Batuk bukan merupakan suatu penyakit, tetapi
merupakan manifestasi dari penyakit yang menyerang saluran pernafasan.
Penyakit yang bisa menyebabkan batuk sangat banyaksekali mulai dari infeksi,
alergi, inflamasi bahkan keganasan. (Kumar ,et all.2007)

1.2 Rumusan Masalah

A. Bagaimana definis dan klasifikasi batuk rejan?


B. Apa gejala dan batuk rejan?
C. Bagaimana patofisiologi dan etiologi terjadinya batuk rejan?
D. Apa saja morfologi dan fisiologi batuk rejan?
E. Apa saja manifestasi klinis dari batuk rejan?
F. Bagaimana cara mencegah dan mengobati batuk rejan?

1.3 Tujuan Pembahasan

a. Untuk mengetahui definisi dan klasifikasi batuk rejan


b. Untuk mengetahui gejala batuk rejan
c. Untuk mengetahui patofisiologi dan etiologi terjadinya batuk rejan.
d. Untuk mengetahui morfologi dan fisiologi batuk rejan
e. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari batuk rejan.
f. Untuk mengetahui cara pencegahan dan pengobatan batuk rejan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Klasifikasi Batuk Rejan

A. Definisi Batuk Rejan


Pertusis adalah penyakit saluran napas yang disebabkan oleh Bordetella
pertusis.Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta, whooping cough, batuk rejan,
batuk 100 hari. (Arif Mansjoer, 2000). Pertusis adalah penyakit infeksi yang
ditandai dengan radang saluran nafas yang menimbulkan serangan batuk panjang
yang bertubi-tubi, berakhir dengan inspirasi berbising. (Ramali, 2003)
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat
menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat
spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993).
Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu
yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992).
Penyakit ini disebabkan oleh Bordetella pertussis yang untuk pertama
kalinya diasingkan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906. Penyakit-penyakit
serupa berhasil ditemukan kemudian, yaitu yang disebabkan oleh Bordetella
parapertussis dan Bordetella bronchiseptica. Standarisasi waksin serta
penggunaannya secara luas sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas
penyakit ini. Bakteri ini mengandung beberapa komponen yaitu Peitusis Toxin
(PT), Filamentous Hemagglutinin (FHA), Aglutinogen, endotoksin, dan
protein lainnya.

B. Klasifikasi Batuk Rejan

Mikrobiologi Bordetella pertussis

Klasifikasi

Kingdom :Bacteria

Phylum : Proteobacteria

Class : Beta Proteobacteria

Ordo : Burkholderiales

Family : Alcaligenaceae

Genus : Bordetella
Species : Bordetella pertussis

2.2 Gejala Batuk Rejan


1. Gejala batuk rejan umumnya baru muncul 5–10 hari setelah infeksi bakteri di
saluran pernapasan. Selanjutnya, ada 3 tahapan perkembangan batuk rejan
(whooping cough), yaitu:
Tahap awal (fase catarrhal)
Tahap ini berlangsung selama 1–2 minggu. Pada tahap ini, pertusis sangat
mirip batuk pilek biasa. Penderita hanya mengalami batuk ringan, bersin-bersin,
hidung berair atau tersumbat, mata merah dan berair, atau demam ringan. Meski
gejalanya ringan, pada tahap inilah penderita paling berisiko menularkan pertusis
ke orang di sekelilingnya. Bakteri penyebab pertusis sangat mudah menyebar
lewat percikan air ludah, seperti saat penderita batuk atau bersin.

Tahap lanjut (fase paroksismal)


Setelah tahap awal, penderita pertusis akan masuk ke tahap lanjut. Tahap ini
bisa berlangsung selama 1–6 minggu. Pada fase atau tahap ini, gejala yang
dialami akan semakin berat. Keadaan ini bisa membuat penderita mengalami
batuk keras sehingga memicu sejumlah gejala berikut:

 Wajah tampak memerah atau keunguan saat batuk


 Muncul bunyi “whoop” saat tarikan napas panjang sebelum batuk-batuk
 Muntah setelah batuk
 Merasa sangat lelah setelah batuk
 Kesulitan mengambil napas

Seiring perkembangan penyakit, durasi batuk bisa menjadi lebih lama, bahkan
lebih dari 1 menit. Frekuensinya juga lebih sering, terutama pada malam hari.
Meski demikian, penderita batuk rejan umumnya tampak sehat selain pada
periode batuk. Jika terjadi pada bayi, pertusis sering tidak menimbulkan batuk.
Namun gangguan ini dapat menyebabkan napas terhenti sementara (apnea)
kemudian membuat kulit bayi tampak membiru karena kekurangan oksigen.
Tahap pemulihan (fase convalescent)
Tahap pemulihan bisa berlangsung selama 2–3 minggu. Pada tahap ini,
tingkat keparahan dan frekuensi gejala mulai mereda secara bertahap. Namun,
batuk bisa kambuh jika penderita mengalami infeksi saluran pernapasan.
Secara umum, semua gejala di atas terasa lebih ringan pada orang dewasa
dibanding bayi dan anak-anak, terutama pada bayi dan anak-anak yang belum
menjalani vaksinasi pertusis.
2.3 Patofisiologi dan Etiologi Terjadinya Batuk Rejan

1. Patofiologi
Penularan terutama melalui saluran pernafasan, di mana Bordetella
pertusisakan terikat pada silia epitel saluran pernafasan. Bordetella pertusis tidak
memasuki jaringan sehingga tidak dijumpai dalam darah. Setelah mikroorganisme
terikat pada sillia, maka fungsi sillia akan terganggu sehingga aliran mukus/lendir
terhambat dan terjadi pengumpulan lendir. Adanya organisme ini pada permukaan
saluran pernafasan dapat terlihat dari bertambahnya sekret mukus.Dan lendir yang
terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil hingga dapat menimbulkan empisema
dan atelektasis.

2. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, din 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan trakturs Benito urinarius. Bordotella pertusis ini
mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak – anak kecil
yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori
memanjang, ” batuk rejan”. Pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerobik
minotil kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit
dan tidak bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring
penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou.
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain:

1. Berbentuk batang (coccobacilus).


2. Tidak dapat bergerak.
3. Bersifat gram negatif.
4. Tidak berspora, mempunyai kapsul.
5. Mati pada suhu 55ºC selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º-
10ºC).
6. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar
metakromatik.
7. Tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten
terhadap penicillin

Menghasilkan 2 macam toksin antara lain :

1. Toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin)


2. Endotoksin (lipopolisakarida)
2.4 Morfologi dan Fisiologi Batuk Rejan

Morfologi dan Fisiologi

Boredetella pertussis berbentuk coccobacillus kecil-kecil, terdapat sendiri-


sendiri, berpasangan, atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Pada isolasi
primer, bentuk kuman biasanya uniform, tetapi setelah subkultur dapat bersifat
pleomorfik.Bentuk koloni pada biakan agar yaitu smooth, cembung, mengkilap,
dan tembus cahaya. Bentuk-bentuk filament dan batang-batang tebal umum
dijumpai. Simpai dibentuk tapi hanya dapat dilihat dengan pewarnaan khusus, dan
tidak dengan penggabungan simpai. Kuman ini hidup aerob, tidak membentuk
H2S, indol serta asetilmetilkarbinol. Bakteri ini merupakan gram negative dan
dengan pewarnaan toluidin biru dapat terlihat granula bipolar metakromatik.

Pada Bordetella pertussis ditemukan dua macam toksin yaitu

 Endotoksin yang sifatnya termostabil dan terdapat dalam dinding sel


kuman. Sifat endotoksin ini mirip dengan sifat endotoksin-endotoksin yang
dihasilkan oleh kuman negative gram lainnya.
 Protein yang bersifat termolabil dan dermonekrotik. Toksin ini dibentuk di
dalam protoplasma dan dapat dilepaskan dari sel dengan jalan memecah sel
tersebut atau dengan jalan ekstraksi memakai NaCl.

Baik endotoksin maupun toksin yang termolabil tersbeut tidak dapat memancing
timbulnya proteksi terhadap infeksi Bordetella pertussis. Peranan yang pasti
daripada kedua toksin ini dalam pathogenesis pertusis belum diketahui.

Berbeda dengan spesies-spesies Hemophilus, kuman Bordetella dapat


tumbuh tanpa adanya hemin (factor X) dan koenzim I (factor V). Pembiakan
dilakukan pada perbenihan Bordet-gengou, dimana kuman-kuman ini tumbuh
dengan membentuk koloni yang bersifat smooth, cembung, mengkilat, dan tembus
cahaya. Kuman ini membentuk zona hemolisis. Sifat-sifat ini dapat ebrubah
tergantung lingkungan dimana kuman ini dibiakkan, yang diikuti oleh perubahan-
perubahan sifat antigenic serta virulensinya.

2.5 Manifestasi Klinis Batuk Rejan

Masa tunas 7 – 14 hari. Penyakit ini dapat berlangsung selama 6 minggu


atau lebih dan terbagi dalam 3 stadium:
1.    Stadium Kataralis
Stadium ini berlangsung 1 – 2 minggu ditandai dengan adanya batuk-batuk
ringan, terutama pada malam hari, pilek, serak, anoreksia, dan demam
ringan.Stadium ini menyerupai influenza.
2.    Stadium spasmodic
Berlangsung selama 2 – 4 minggu, batuk semakin berat sehingga pasien
gelisah dengan muka merah dan sianotik.Batuk terjadi paroksismal berupa batuk-
batuk khas. Serangan batuk panjang dan tidak ada inspirasi di antaranya dan
diakhiri dengan whoop (tarikan nafas panjang dan dalam berbunyi melengking).
Sering diakhiri muntah disertai sputum kental.Anak-anak dapat sempat terberak-
berak dan terkencing-kencing. Akibat tekanan saat batuk dapat terjadi perdarahan
subkonjungtiva  dan  epistaksis. Tampak keringat, pembuluh darah leher dan
muka lebar.
3.    Stadium konvalesensi
Berlangsung selama 2 minggu sampai sembuh.Jumlah dan beratnya serangan
batuk berkurang, muntah berkurang, dan nafsu makan timbul kembali.

2.6 Cara Pencegahan dan Pengobatan Batuk Rejan

1. Cara Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah batuk rejan adalah dengan melakukan vaksinasi
atau imunisasi pertusis. Vaksin ini biasa diberikan dokter atau bidan bersamaan
dengan vaksin difteri, tetanus, dan polio (vaksinasi DTP).
Jadwal imunisasi dasar untuk DTP adalah pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
Namun, bila bayi berhalangan untuk melakukan imunisasi pada jadwal tersebut,
orang tua di sarankan untuk membawa anak untuk melakukan imunisasi kejar
(cacth up) sesuai jadwal yang diberikan oleh dokter.
Anak juga disarankan melakukan imunisasi lanjutan (booster) agar
manfaatnya optimal. Imunisasi ini dilakukan 4 kali, yaitu pada usia 18 bulan, 5
tahun, 10–12 tahun, dan 18 tahun. Imunisasi booster ini dianjurkan untuk diulangi
tiap 10 tahun sekali.
Ibu hamil juga direkomendasikan untuk melakukan vaksinasi booster pada
usia kehamilan 27–36 minggu. Vaksinasi pertusis saat hamil dapat melindungi
bayi terserang batuk rejan pada minggu-minggu awal setelah dilahirkan. Selain
melakukan vaksinasi, praktikkan juga gaya hidup bersih dan sehat untuk
meningkatkan sistem imun.

2. Pengobatan Batuk Rejan

Jika penyakitnya berat, penderita biasanya dirawat di rumah sakit. Mereka


ditempatkan di dalam kamar yang tenang dan tidak terlalu tenang. Keributan bisa
merangsang serangan batuk. Bisa dilakukan pengisapan lendir dari ternggorokan.
Pada kasus yang berat, oksigen diberikan langsung ke paru-paru melalui selang
yang dimasukkan ke trakea.

Untuk menggantikan cairan yang hilang karena muntah dan karena bayi
biasanya tidak dapat makan akibat batuk, maka diberikan cairan melalui infus.
Gizi yang baik sangat penting, dan sebaiknya makanan diberikan dalam porsi
kecil tetapi sering. Untuk membasmi bakteri, biasanya diberikan antibiotik.
1. Antibiotika
A. Eritromisin dengan dosis 50 mg/ kgbb / hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini
menghilangkan B. Pertussis dari nasofaring dalam 2 — 7 hari ( rata- rata 3- 6 hari)
dan dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi.
Eritromisin juga menggugurkan atau menyembuhkan pertusis bila diberikan
dalam stadium kataralis, mencegah dan menyembuhkan pneumonia dan oleh
karena itu sangat penting dalam pengobatan pertusis khususnya pada bayi muda.
b. Apmpisilin dengan dosis 100 mg / kg bb / hari, dibagi dalam 4 dosis.
c. Lain-lain : rovamisin, kontrimoksazol. Kloramfenikol dan tetrasiklin.
2. Imunoglobulin
Belum ada persesuaian faham mengenai pemberian immunoglobulin pada stadium
kataralis. Ada peneliti yang mengatkan pemberian immunoglobulin
menghasilkan pengurangan frekuensi episode batuk paroksismal, tetapi ada pula
yang berpendapat bahwa immunoglobulin tidak berfaedah. pemberian
immunoglobulin pada stadium paroksismal sama sekali tidak berfaedah.
3. Ekspektoransia dan mukolitik.
4. Kodein diberikan bila terdapat batuk-batuk yang hebat sekali.
5. Luminal sebagai sedative.

Komplikasi Batuk Rejan

1. Alat Pernafasan
Dapat terjadi otitis media ( sering pada bayi ), bronchitis,
bronkopneumonia, atelektasis yang disebabkan surnbatan mucus, emfisema (dapat
juga terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat),
bronkiektasis, sedangkan tuberkulosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi
bertambah berat.

2. Alat pencemaan
Muntah – muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapses
rectum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan
intraabdominal, ulkus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau
tergigit pada waktu serangan batuk, stomatis.

3. Susunan saraf
Kejang dapat timbul karena ganguan keseimbangan elektrolit akibat
muntah – muntah. Kadang – kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin
pula terjadi perdarahan otak.
4. Lain – lain
Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan
perdarahan subkonjungtiva.Prognosis PertusisBergantung kepada ada tidaknya
komplikasi, terutama komplikasi paru dan susunan saraf yang sangat berbahaya
khususnya pada bayi dan anak kecil.Sebagian besar penderita mengalami
pemulihan total, meskipun berlangsung lambat. Sekitar 1-2% anak: yang berusia
dibawah 1 tahun meninggal. Kematian terjadi karena kekurangan oksigen ke otak
(ensefalon anoksia) dan bronkopneumonia.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh
berdetellah pertusis (Nelson, 2000 : 960)
2. Pertusis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri
Bordotella pertusis.
3. Manifestasi klinik dari pertusi dibagi menjadi 3 tahap yaitu stadium
kataralis,stadium spasmodic,stadium konvalesensi
4. Patofisiologi pertusis: Infeksi diperoleh oleh inhalasi yang mengandung bakteri
Bordetella pertusis. Perubahan inflamasi dipandang sebagai organisme
proliferasi di mukosa sepanjang saluran pernafasan, terutama di dalam bronkus
dan bronkiolus, mukosa yang padat dan disusupi dengan neutrofil, dan ada
akumulasi lendir lengket dan leukosit di lumina bronkial. gumpalan basil
terlihat dalam silia epitel trakea dan bronkial, di bawahnya yang ada nekrosis
dari apithelium basiliar. Obstruksi parsial oleh plak lendir di saluran
pernapasan
5. Pemeriksaan penunjang dari pertusis adalah pembiakan lendir hidung dan
mulut, pembiakan apus tenggorokan dan  pembiakan darah lengkap
6. Penatalaksanaan dari pertusis adalah terapi kausal:
antimikroba,salbutamol,globulin imun pertusis dan terapi suportif (Perawatan
Pendukung).

3.2 Saran

Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat


banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki
makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang
membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Manjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran,  Edisi 3, Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius
Behrman, Kliegnan, Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 2, Edisi 15.
Jakarta: EGC
Hidayat, A. Aziz Alimul.2006.Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.Jakarta
:Salemba Medika
Ngastiah.2005.Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta:EGC
Suriadi, dan Yuliani Rita. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi
1.Jakarta : PT Fajar Interpratama.

Lay, Bibiana. W, dan Hastowo Sugoyo 1992. MIKROBIOLOGI. Jakarta : CV


Rajawali.

Wheller dan Volk. 1990. Mikrobiologi Dasar Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta : P.T.
Gelora Aksara Pratama

Staf pengajar FK UI. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Binarupa Aksara. 1994.

Staf pengajar FKUI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara: Jakarta

Ryan KJ; Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology. McGraw Hill

Staf pengajar FKUI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai