ARDIANSYAH (PO7120319039)
JURUSAN D4 KEPERAWATAN
2019/202
KATA PENGANTAR
OM Swastyastu,
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa) karena berkat Anugerah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Makalah ini dengan judul “Batuk Rejan” dengan baik dan lancar.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih sangat jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun demi perbaikan kearah yang lebih sempurna. Akhir kata
Penulis,
DAFTAR ISI
SAMPUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I
PENDAHULUAN 1
BAB II
PEMBAHASAN 2
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN 8
3.1 Kesimpulan 8
3.2 Saran 8
DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Batuk dalam bahasa latin disebut tussis adalah refleks yang dapat terjadi
secara tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk membantu
membersihkan saluran pernapasan dari lendir besar, iritasi, partikel asing dan
mikroba. Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari
trauma mekanik, kimia dan suhu. Batuk merupakan gejala klinis dari gangguan
pada saluran pernapasan. Batuk bukan merupakan suatu penyakit, tetapi
merupakan manifestasi dari penyakit yang menyerang saluran pernafasan.
Penyakit yang bisa menyebabkan batuk sangat banyaksekali mulai dari infeksi,
alergi, inflamasi bahkan keganasan. (Kumar ,et all.2007)
Klasifikasi
Kingdom :Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Ordo : Burkholderiales
Family : Alcaligenaceae
Genus : Bordetella
Species : Bordetella pertussis
Seiring perkembangan penyakit, durasi batuk bisa menjadi lebih lama, bahkan
lebih dari 1 menit. Frekuensinya juga lebih sering, terutama pada malam hari.
Meski demikian, penderita batuk rejan umumnya tampak sehat selain pada
periode batuk. Jika terjadi pada bayi, pertusis sering tidak menimbulkan batuk.
Namun gangguan ini dapat menyebabkan napas terhenti sementara (apnea)
kemudian membuat kulit bayi tampak membiru karena kekurangan oksigen.
Tahap pemulihan (fase convalescent)
Tahap pemulihan bisa berlangsung selama 2–3 minggu. Pada tahap ini,
tingkat keparahan dan frekuensi gejala mulai mereda secara bertahap. Namun,
batuk bisa kambuh jika penderita mengalami infeksi saluran pernapasan.
Secara umum, semua gejala di atas terasa lebih ringan pada orang dewasa
dibanding bayi dan anak-anak, terutama pada bayi dan anak-anak yang belum
menjalani vaksinasi pertusis.
2.3 Patofisiologi dan Etiologi Terjadinya Batuk Rejan
1. Patofiologi
Penularan terutama melalui saluran pernafasan, di mana Bordetella
pertusisakan terikat pada silia epitel saluran pernafasan. Bordetella pertusis tidak
memasuki jaringan sehingga tidak dijumpai dalam darah. Setelah mikroorganisme
terikat pada sillia, maka fungsi sillia akan terganggu sehingga aliran mukus/lendir
terhambat dan terjadi pengumpulan lendir. Adanya organisme ini pada permukaan
saluran pernafasan dapat terlihat dari bertambahnya sekret mukus.Dan lendir yang
terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil hingga dapat menimbulkan empisema
dan atelektasis.
2. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, din 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan trakturs Benito urinarius. Bordotella pertusis ini
mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak – anak kecil
yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori
memanjang, ” batuk rejan”. Pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerobik
minotil kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit
dan tidak bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring
penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou.
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain:
Baik endotoksin maupun toksin yang termolabil tersbeut tidak dapat memancing
timbulnya proteksi terhadap infeksi Bordetella pertussis. Peranan yang pasti
daripada kedua toksin ini dalam pathogenesis pertusis belum diketahui.
1. Cara Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah batuk rejan adalah dengan melakukan vaksinasi
atau imunisasi pertusis. Vaksin ini biasa diberikan dokter atau bidan bersamaan
dengan vaksin difteri, tetanus, dan polio (vaksinasi DTP).
Jadwal imunisasi dasar untuk DTP adalah pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
Namun, bila bayi berhalangan untuk melakukan imunisasi pada jadwal tersebut,
orang tua di sarankan untuk membawa anak untuk melakukan imunisasi kejar
(cacth up) sesuai jadwal yang diberikan oleh dokter.
Anak juga disarankan melakukan imunisasi lanjutan (booster) agar
manfaatnya optimal. Imunisasi ini dilakukan 4 kali, yaitu pada usia 18 bulan, 5
tahun, 10–12 tahun, dan 18 tahun. Imunisasi booster ini dianjurkan untuk diulangi
tiap 10 tahun sekali.
Ibu hamil juga direkomendasikan untuk melakukan vaksinasi booster pada
usia kehamilan 27–36 minggu. Vaksinasi pertusis saat hamil dapat melindungi
bayi terserang batuk rejan pada minggu-minggu awal setelah dilahirkan. Selain
melakukan vaksinasi, praktikkan juga gaya hidup bersih dan sehat untuk
meningkatkan sistem imun.
Untuk menggantikan cairan yang hilang karena muntah dan karena bayi
biasanya tidak dapat makan akibat batuk, maka diberikan cairan melalui infus.
Gizi yang baik sangat penting, dan sebaiknya makanan diberikan dalam porsi
kecil tetapi sering. Untuk membasmi bakteri, biasanya diberikan antibiotik.
1. Antibiotika
A. Eritromisin dengan dosis 50 mg/ kgbb / hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini
menghilangkan B. Pertussis dari nasofaring dalam 2 — 7 hari ( rata- rata 3- 6 hari)
dan dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi.
Eritromisin juga menggugurkan atau menyembuhkan pertusis bila diberikan
dalam stadium kataralis, mencegah dan menyembuhkan pneumonia dan oleh
karena itu sangat penting dalam pengobatan pertusis khususnya pada bayi muda.
b. Apmpisilin dengan dosis 100 mg / kg bb / hari, dibagi dalam 4 dosis.
c. Lain-lain : rovamisin, kontrimoksazol. Kloramfenikol dan tetrasiklin.
2. Imunoglobulin
Belum ada persesuaian faham mengenai pemberian immunoglobulin pada stadium
kataralis. Ada peneliti yang mengatkan pemberian immunoglobulin
menghasilkan pengurangan frekuensi episode batuk paroksismal, tetapi ada pula
yang berpendapat bahwa immunoglobulin tidak berfaedah. pemberian
immunoglobulin pada stadium paroksismal sama sekali tidak berfaedah.
3. Ekspektoransia dan mukolitik.
4. Kodein diberikan bila terdapat batuk-batuk yang hebat sekali.
5. Luminal sebagai sedative.
1. Alat Pernafasan
Dapat terjadi otitis media ( sering pada bayi ), bronchitis,
bronkopneumonia, atelektasis yang disebabkan surnbatan mucus, emfisema (dapat
juga terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat),
bronkiektasis, sedangkan tuberkulosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi
bertambah berat.
2. Alat pencemaan
Muntah – muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapses
rectum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan
intraabdominal, ulkus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau
tergigit pada waktu serangan batuk, stomatis.
3. Susunan saraf
Kejang dapat timbul karena ganguan keseimbangan elektrolit akibat
muntah – muntah. Kadang – kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin
pula terjadi perdarahan otak.
4. Lain – lain
Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan
perdarahan subkonjungtiva.Prognosis PertusisBergantung kepada ada tidaknya
komplikasi, terutama komplikasi paru dan susunan saraf yang sangat berbahaya
khususnya pada bayi dan anak kecil.Sebagian besar penderita mengalami
pemulihan total, meskipun berlangsung lambat. Sekitar 1-2% anak: yang berusia
dibawah 1 tahun meninggal. Kematian terjadi karena kekurangan oksigen ke otak
(ensefalon anoksia) dan bronkopneumonia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh
berdetellah pertusis (Nelson, 2000 : 960)
2. Pertusis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri
Bordotella pertusis.
3. Manifestasi klinik dari pertusi dibagi menjadi 3 tahap yaitu stadium
kataralis,stadium spasmodic,stadium konvalesensi
4. Patofisiologi pertusis: Infeksi diperoleh oleh inhalasi yang mengandung bakteri
Bordetella pertusis. Perubahan inflamasi dipandang sebagai organisme
proliferasi di mukosa sepanjang saluran pernafasan, terutama di dalam bronkus
dan bronkiolus, mukosa yang padat dan disusupi dengan neutrofil, dan ada
akumulasi lendir lengket dan leukosit di lumina bronkial. gumpalan basil
terlihat dalam silia epitel trakea dan bronkial, di bawahnya yang ada nekrosis
dari apithelium basiliar. Obstruksi parsial oleh plak lendir di saluran
pernapasan
5. Pemeriksaan penunjang dari pertusis adalah pembiakan lendir hidung dan
mulut, pembiakan apus tenggorokan dan pembiakan darah lengkap
6. Penatalaksanaan dari pertusis adalah terapi kausal:
antimikroba,salbutamol,globulin imun pertusis dan terapi suportif (Perawatan
Pendukung).
3.2 Saran
Wheller dan Volk. 1990. Mikrobiologi Dasar Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta : P.T.
Gelora Aksara Pratama
Ryan KJ; Ray CG (editors) (2004). Sherris Medical Microbiology. McGraw Hill