Anda di halaman 1dari 4

Budisan’sClipping @ http://budisansblog.blogspot.

com/

Guru yang Bermanfaat


Sidharta Susila ; Pendidik di Muntilan, Magelang
KOMPAS, 09 Januari 2015

GURU macam apakah yang bermanfaat itu? Banyak sekolah diisi dengan guru
berindeks prestasi tinggi. Namun, tak tampak gereget dan prestasi di sekolah
itu. Apa yang salah dengan guru semacam itu? Apa yang bisa dibuat sekolah
agar para guru bermanfaat?

Sekolah adalah lembaga pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses.


Dinamis dan proaktif adalah prinsip pendidikan. Kemandekan penghambat
utama pendidikan.

Prinsip dinamis dan proaktif tak hanya diterjemahkan dalam sarana. Yang lebih
utama diterjemahkan kepada guru. Guru tak boleh mandek. Guru yang mandek
tidak bermanfaat bagi pendidikan.

Guru mandek ketika mereka tak lagi belajar. Nihilnya karakter pembelajar
membuat guru mandek. Guru yang tak lagi belajar bukan berarti inteligensinya
rendah. Begitu banyak guru berinteligensi tinggi justru mandek. Mereka sudah
merasa cukup, beberapa bahkan meremehkan materi pengayaan diri.

Guru berinteligensi tinggi yang nihil karakter pembelajar serupa orang yang
merasa kaya dan tak butuh bantuan orang lain. Sesungguhnya orang semacam
ini adalah orang yang miskin sejati.

Sejalan pemahaman ini, setinggi apa pun inteligensi guru-guru kita (yang
ditandai IP tinggi) ketika mereka tak mau terus belajar, sesungguhnya kita hanya
menumpuk guru-guru yang ”bodoh” tak bermanfaat. Dinamika pembelajaran pun
Budisan’sClipping @ http://budisansblog.blogspot.com/

akan mandek.

Itulah yang penulis amati di sejumlah sekolah dan yayasan besar yang memiliki
sejarah hebat. Di sekolah dan yayasan semacam itu perlahan tapi pasti
prestasinya merosot. Beberapa mulai ditinggalkan masyarakat.

Dalam pengenalan penulis, faktanya memang para guru dan jajaran pengurus
sekolah hingga pengurus yayasan memang miskin karakter pembelajar. Setiap
kali penulis menanyakan apakah sudah membaca artikel pendidikan di koran,
jawabnya selalu belum. Ketika ditanyai buku apa yang sedang digulati,
jawabnya tidak ada karena tak sempat lagi.

Padahal, dalam ungkapan bahasa Jawa, ”Guru: digugu dan ditiru” yang
bermakna guru itu menjadi panutan dan teladan, sesungguhnya tersirat hakikat
pendidikan yang mendasar.

Pendidikan tak hanya mengalihkan sejumlah informasi. Daya mendidik


sesungguhnya memancar dan meresonansi dari bagaimana karakter dan cara
hidup guru.

Barangkali kita perlu merenungkan gagasan Nikola Tesla (1856-1943) yang


menyatakan, ”If you want to find the secrets of the universe, think in terms of
energy, frequency and vibration.” Sebab, “Our entire biological system, the brain
and the earth itself, work on the same frequencies.”

Tema energi, frekuensi, dan vibrasi dalam ungkapan familiar kita merujuk pada
aura. Ketika para guru hidup dengan karakter pembelajar, aura yang memancar
adalah aura pembelajar. Sebaliknya ketika guru merasa sudah cukup ilmu dan
tak merasa perlu belajar, aura yang dipancarkan adalah aura mandek belajar.
Budisan’sClipping @ http://budisansblog.blogspot.com/

Mengelola pembelajaran

Kini sadarlah kita mengapa setelah negara melipatgandakan gaji guru, prestasi
pendidikan kita tak serta-merta meningkat pesat.

Di banyak sekolah, perubahan paling kentara setelah era peningkatan gaji dan
ragam tunjangan adalah bertambah panjangnya deretan mobil guru yang
diparkir di sekolah. Gaji yang layak memang perlu. Namun, ketika guru tak
dibantu untuk merawat karakter pembelajarnya, panambahan gaji hanyalah
pemborosan percuma.

Dalam hal ini kita jadi ingat gagasan Stephen R Covey tentang ”asahlah gergaji”
(mengasah kemampuan diri). Guru yang efektif (baca: bermanfaat) adalah guru
yang terus belajar. Terus belajar tidak hanya diintensikan untuk menambah
pengetahuan dan kemampuan, tetapi juga untuk mendarahdagingkan karakter
belajar. Targetnya ia merasa ada yang tidak nyaman, bahkan merasa salah jika
tidak terjadi suasana-atmosfer-aura belajar.

Guru yang terus belajar itu terus berproses. Proses itu bagai reaksi kimia yang
memancarkan energi karena terjadi reaksi atom.

Karena itu, sementara guru terus berkembang menjadi manusia yang sungguh-
sungguh dewasa dan kaya secara

rohani dengan terus belajar, ia akan semakin berarti dan bermanfaat bagi dunia
pendidikan.

Maka, dalam mengelola pendidikan negara jangan terus terlena oleh


pemutakhiran sarana serta peningkatan gaji dan tunjangan. Apalagi jika prinsip
keadilan diabaikan. Atmosfer studi dalam kehidupan para pendidik perlu
diciptakan. Studi kelompok dan diskusi ilmiah, sejak di tingkat sekolah, perlu
Budisan’sClipping @ http://budisansblog.blogspot.com/

disemarakkan.

Ketika para guru tidak lagi menjadi pembelajar, bangunan pendidikan kita bakal
ambruk. ●

Anda mungkin juga menyukai