Anda di halaman 1dari 4

Keprofesionalan Pendidik Karakter Siswa (Guru) Jangan Diukur Dari Embel-

Embel Sertifikasi

ditulis oleh : Yeni Eka Surya

...Wahai kaum guru semua, bangunkan rakyat dari g’lita, Kita lah penyuluh bangsa,
pembimbing melangkah ke muka
Insyaflah ‘kan kewajiban kita, mendidik mengajar pra’putra, Kita lah pembangun jiwa, pencipta
kekuatan negara...

Dari syair MARS PGRI di atas pun juga bisa kita simpulkan bahwa tugas seorang guru
adalah mendidik bukan mencari materi sebanyak-banyaknya. Menjadi guru yang benar-benar
berkualitas, dan berharap agar anak didiknya dapat meneruskan cita-cita bangsanya.
Guru juga diibaratkan pahlawan tanpa tanda jasa dalam dunia pendidikan. Perannya
dalam pendidikan bukan semata-mata sebagai pemberi nilai dalam rapor, atau menjadi panitia
ketika ada ulangan, juga bukan hanya sebagai pemberi peringkat bagi anak didiknya yang
berprestasi di kelas. Jasanya yang begitu besar dalam memberikan pengajaran dan pelajaran
tidak semata-maka agar anak didiknya mendapat pengetahuan yang nantinya bermanfaat sebagai
pedoman di masa depan, ia juga tidak hanya meluluskan dan memberi pengajaran dan memberi
nilai bagi anak didiknya yang mampu memenuhi kriteria kelulusan. Akan tetapi, ia ingin anak
didiknya nanti tidak terpengaruh dengan hal-hal berbau negatif, jika kelak ia dewasa, ia tidak
akan merasakan penyesalan dalam setiap langkahnya.
Bagaimana guru mengajar pastilah berpengaruh terhadap prestasi muridnya. Misalnya
saja seorang guru mengajarkan kepada muridnya dengan senang hati, ramah tamah dan bisa
memposisikan siapa dia. Layaknya seorang dokter, guru adalah sosok yang berperan sebagai
dokter pendidikan. Ia merupakan penyembuh dari kebutaan aksara dan kepincangan
pengetahuan. Walau tidak secara penuh peran seorang guru adalah sebagai penyembuh dari hal
tersebut, guru merupakan faktor penting yang pasti akan selalu dibutuhkan dalam kehidupan.
Dewasa ini, guru profesional dianggap guru yang bisa mendapatkan sertifikasi, dan yang
mendapat sertifikasi tersebut adalah guru yang benar-benar berpretasi. Selain itu, guru yang
mendapat sertifikasi dianggap mampu menjadikan siswanya berprestasi secara akademik
maupun non-akademik dibuktikan dengan piagam yang dilampirkan di data form sertifikasi.
Tapi apa itu bisa menjamin? Hal ini yang perlu menjadi tanda tanya apakah semua itu dapat
dipertanggung jawabkan kedepannya? Apa sertifikasi tersebut benar-benar murni dari prestasi
guru atau sebatas mencari tambahan materi?
Sertifikasi tersebut membuat honor seorang guru menjadi bertambah, terlebih lagi
pemerintah yang terlalu berbaik hati mengadakan sebuah wahana yang sering disebut “ Gaji ke-
13 “ di mana seorang guru mendapatkan tambahan gaji yang sama setahun sekali. Tapi apakah
semua itu bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat? Lalu bagaimana nasib seorang guru
yang berada di daerah terpencil? Apa mereka mendapatkan perlakuan yang sama dan fasilitas
yang sama dengan guru yang berada di daerah yang layak dan mempunyai keterjangkauan yang
luas akan informasi, teknologi dan sarana prasarana?
Yang perlu digarisbawahi adalah guru profesional bukanlah guru yang berhasil
mendapatkan sertifikasi yang diberikan oleh pemerintah, tapi guru profesional adalah guru yang
mampu menyesuaikan posisinya di mata siswa-siswanya. Bagaimana keadaan siswa-siswanya,
bagaimana atmosfer di dalam kelas, dan bagaimana siswa itu ingin dibimbing, misalnya belajar
dalam ruangan (in door) atau di luar ruangan (out door). Seorang guru tidak boleh
mementingkan kepentinganya saja, misalnya ia tidak mematikan handphonenya pada saat
pelajaran, tentunya siswa yang mendapat perlakuan untuk mematikan handphonenya akan
menerka-nerka dengan apa yang sudah dikatakan gurunya. Diibaratkan seperti asas courtesy
dalam sebuah perjanjian internasional, yaitu asas yang berintikan untuk saling menghormati,
karena menghormati tidak hanya digunakan untuk yang lebih tua, tapi semua manusia baik dari
yang balita sampai lanjut usia.
Guru akan mendapat respon yang baik dari anak didiknya ketika seorang guru dapat
berperan multi. Guru akan menjadi teman sekaligus pengajar. Dikatakan sebagai teman, guru
tidak hanya mengajar secara monoton, tapi mengerti dengan kondisi, masalah dan kemauan anak
didiknya. Tidak selalu monoton hanya memberikan pengajaran, memberikan pekerjaan rumah
dan tugas kelompok yang begitu banyaknya. Akan tetapi, seorang guru bisa menjadi partner atau
rekan tempat berbagi kisah dari anak didiknya. Guru bisa dijadikan tempat curhat ( curahan hati )
di luar jam pelajaran. Di samping itu, guru bisa memberikan pemecahan masalah walau tidak
seratus persen saran dari guru tersebut dapat menyelesaikan permasalahan anak didiknya. Paling
tidak, saran dari guru tersebut sedikit demi sedikit mengurangi beban yang ditanggung oleh anak
didiknya.
Guru juga dianggap sebagai orangtua di sekolah, adakalanya ketika ada anak didiknya
yang merasa jenuh dan bosan akan tingkah dan laku orangtuanya di rumah, ia pasti akan beralih
kepada guru yang ia anggap paling disenangi. Ia pasti lebih merasa nyaman berada di dekat
gurunya daripada orangtuanya sendiri. Mungkin karena ia merasa kurang akan perhatian
orangtuanya di rumah atau sebab lain. Hal ini bisa dijadikan peluang untuk membujuk anak
didiknya agar ia tidak bersikap seperti itu, pendekatan ini yang akan membuat anak didiknya
merasa nyaman di dekat gurunya.
Menjadi guru profesional bukan hal yang tak mungkin untuk dimiliki dalam jiwa masing-
masing guru, sebuah keyakinan untuk menjadi media penyalur pengetahuan bukan sebagai mesin
uang ( sebatas mencari materi ) adalah hal yang utama untuk ditanamkan. Tidak hanya
memandang sebelah mata guru-guru yang ada di pinggiran desa atau di desa terpencil saja, siapa
tau daya berpikir mereka justru lebih tinggi daripada guru yang ada di kota. Guru profesional
bukan kaya akan materi, tapi kaya akan hati. Selain itu, ia juga bisa menjadi guru bagi setiap
orang yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Apa salahnya? Hal ini tidak menutup
kemungkinan bahwa setiap orang di segala umur ingin belajar dan belajar agar tidak terbutakan
oleh perkembangan jaman.

Seorang guru profesional tidak pasti dapat dilihat dengan embel-embel guru
bersertifikasi, bahkan bisa guru yang tidak bersertifikasi jauh lebih baik daripada guru yang
bersertifikasi. Jangan menilai dari apa yang digelarkan, akan tetapi bagaimana ia direspon dan
pengaruhnya terhadap prestasi khalayak sesungguhnya. Tak hanya
Jika boleh memilih, lebih baik menjadi guru yang berguna dan mempunyai pengabdian
daripada guru yang hanya bermodal gelar dan bergaji besar, walau memang gaji yang besar
adalah idaman seorang guru yang menganggap jerih payahnya tak bisa diukur dengan uang.
Sesungguhnya, tanggung jawab itu tidak hanya di depan umum akan tetapi kepada Tuhan.
Motivasi sebagai seorang guru bukanlah hanya mendapat bayaran dan seperti yang ada sekarang,
mendapat sertifikasi sehingga balas saja yang aku dapat lebih dari sekedar memenuhi
kebutuhanku. Akan tetapi, negara ini membutuhkan guru yang benar-benar guru akan negara ini
mampu bersaing seperti dulu. Malaysia dahulu mengimpor guru dari Indonesia, tapi sekarang
semuanya serba terbalik.
Menjadi guru hendaklah tulus dan ikhlas, dan berusaha menjadi peran yang disukai oleh
siswanya. Bukan mendapatkan stereotip “guru galak” atau cap lain yang dilayangkan oleh
siswanya. Sebagai pendidik karakter, tentunya guru berperan aktif. Untuk masa berjuang
sebelum diangkat PNS, hendaknya guru juga mempunyai rasa atau jiwa pendidik. Jiwa pendidik
tersebut juga untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti salah seorang pengajar sekolah
hutan di Kalimantan, yang mengabdikan dirinya menjadi tenaga pendidik yang berjiwa luhur.

Anda mungkin juga menyukai