Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah fikih mawaris
DIBUAT OLEH :
KELOMPOK 6
1. OKIN SINARTA (1930104121)
2. DEDRY WIJAYA (1930104123)
3. FIRMANSYAH (1930104134)
4. DESI RAMADANI (1930104141)
5. MUTIARA TASYA P. (1930104140)
6. M. TRIAS HERMANDA (1930104124)
7. DEWI SARTIKA (1930104226)
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama hanif yang dibawa oleh seorang yang hanif, sehingga Islam adalah
sebuah agama yang sangat sempurna. Kesempurnaannya telah tercantum pada ayat terakhir
dari ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah Swt. Dengan demikian Islam telah membahas
berbagai aspek kehidupan, termasuk didalamnya adalah membahas masalah wasiat.
Wasiat adalah sesuatu yang harus dilaksanakan dalam kehidupan dunia ini, hal ini
mengingat ungkapan orang yang akan meninggalkan dunia fanah ini. Kewajiban menjalankan
amanah wasiat ini sangat penting dalam membagikan harta peninggalan atau harta warisan, hal
ini mengingat pelaksanaan wasiat adalah sebelum pelaksanaan pembagian warisan oleh ahli
waris. Allah Swt telah menentukan pembagian harta peninggalan dengan sangat teliti, baik
harta peninggalan itu dibagikan secara warisan maupun secara wasiat, ditambah beberapa hadis
sebagai penjelas dari masalah wasiat tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan wasiat ?
2. Apa saja yang menjadi dasar hukum adanya wasiat dan pelaksanaan wasiat?
3. Apa yang menjadi batasan maksimal wasiat ?
4. Apa yang dimaksud dengan istilah wasiat wajibah ?
5. Apa yang dimaksud dengan ahli waris pengganti ?
C. Tujuan
1. Memenuhi tugas makalah mata kuliah fikih mawaris.
2. Memberikan materi kuliah kepada teman-teman kelas.
3. Supaya mahasiswa dapat memahami apa itu wasiat serta materi lain yang terkandu ng
di dalamnya.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wasiat
Wasiat merupakan suatu ucapan atau pesan seseorang atau lembaga kepada orang lain
atau lembaga lain yang akan ditunaikan setelah pewasiat meninggal dunia.1 Wasiat ini
bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan dalam keluarga, sebab ada keluarga yang sangat
berjasa kepada si pewaris tetapi ia tidak menerima warisan disebabkan terhalang oleh ahli waris
yang lebih dekat dengan si pewaris.
Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain. Arti kata washa merupakan
bentuk jamak dari kata washiyyah, mencakup wasiat harta, sedang iishaa’, wishayaa dan
washiyyah dalam istilah ulama fiqih diartikan kepemilikkan yang disandarkan kepada keadaan
atau masa setelah kematian seseorang dengan cara tabbaru’ atau hibah, baik sesuatu yang akan
dimiliki tersebut berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang.
Wasiat begitu penting dalam kewarisan hukum Islam karena tidak hanya dinyatakan
dalam surat al-Baqarah, akan tetapi juga dinyatakan dalam surat an-Nisaa ayat 11 dan ayat 12.
Dalam ayat-ayat ini dinyatakan kedudukan wasiat yang harus diselesaikan terlebih dahulu
sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan perwaris kepada anak/anak-anak, duda,
janda/jandajanda dan saudara/saudara-saudara pewaris. Wasiat diartikan sebagai pernyataan
keinginan pewaris sebelum kematian atas harta kekayaannya sesudah meninggalnya.2
Berikut beberapa pengertian wasiat menurut hukum islam :
1. Menurut al Ibyani, wasiat adalah sistem kepemilikan yang disandarkan kepada keadaan
sesudah matinya orang yang berwasiat secara sukarela, dapat berupa benda atau
manfaatnya.
2. Menurut Ibnu Rusyd, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain mengenai
hartanya atau kepada beberapa oang yang kepemilikannya terjadi setelah matinya orang
yang berwasiat.
Menurut KHI bahwa wasiat hanya dapat dilakukakan dengan syarat – syarat sebagai berikut:
1. Oleh orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa
adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau
lembaga.
1
Supardini, Fikih Mawaris & Hukum Kewarisan (Studi Analisis Perbandingan), (Gowa: Berkah Utami 2020)
2
Syafi’I, Wasiat Wajibah Dalam Kewarisan Islam Di Indonesia, (Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember
2017)
5
2. Pemilikan terhadap harta benda baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal
dunia.
3. Harta yang diwasiatkan tidak melebihi 1/3 dari harta warisan kecuali semua ahli waris
menyetujuainya.
Ketiga hal tersebut merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pemberian
wasiat. Ketentuan tentang jumlah harta yang boleh diwasiatkan atau legitime portie benar –
benar harus diperhatikan. Pada prinsipnya pewaris memiliki hak mutlak kepada siapa harta itu
akan diberikan, tetapi menurut hukum, baik KHI maupun KUHPerdata, pemberian tersebut
tidak boleh melebihi 1/3 karena dalam harta tersebut terdapat hak ahli waris yang tidak boleh
diabaikan.
3
Supardini, Fikih Mawaris & Hukum Kewarisan (Studi Analisis Perbandingan), (Gowa: Berkah Utami 2020)
6
Wasiat pada dasarnya hukumnya boleh (mubah), tetapi dapat diperhatikan bahwa
masalah wasiat juga masalah warisan, sehingga patut diperhatikan kondisi atau status
sosial para ahli waris. Karena bagi ahli waris yang berhak menerima warisan maka ia
tidak boleh untuk mendapatkan wasiat.
Wasiat menjadi makruh jika wasiat dilaksanakan oleh orang yang tidak
meninggalkan harta yang cukup, sedangkan ia mempunyai ahli waris yang
membutuhkannya. Wasiat menajadi haram jika wasiat dilaksanakan melebihi sepertiga
harta yang dimilikinya, atau berwasiat kepada orang yang berburu harta dan merusak.
Wasiat menjadi mubah apabila dilaksanakan tidak sesuai dengan petunjuk syar‟i,
seperti wasiat kepada orang kaya.4
2. Dasar Hukum Hadits
Hukum berwasiat tidak hanya didasari oleh Al-Quran sahaja, malahan banyak
hadis yang berbicara tentang wasiat. Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang
pensyari’atan wasiat. Antaranya hadis Rasulullah dari Ibnu Umar :
ْ ُ ْ َّ ْ َّ ْ ْ َّ ْ ْ َ َّ
َظ ِالبنَ واللف- َن العيى َ ي بنَ ح ْربَ ومحمدَ بنَ المث َ ْ حدثنا أبو خ ْیثمةَ زھ
ْ َ َّ ْ َّ ْ ْ ْ َّ َّ ْ
َن ن ِافع
َ ِ خ بر
َ للاَِ أ
َ د َِ ن عب ْی
َ ع- َ وھوَ ابنَ س ِعیدَ القطان- ن َ ْ قالَ حدثنا یح- ن َ المث
َ َّ َ ْ
َ قالَ ما حقَ ْامرئَ م ْس ِلمَ لھ-صل للا علیھ وسلم- َِللا ََّ َن رسول َ عنَ ابنَ عمرَ أ
ْ ْ َّ َّ َ َ َْ
َل وو ِصیتھَ مكتوبةَ ِعنده َ ْْ یھ ی ِبیتَ ل ْیلت
َ ي ِإ َ ِ وص ِف
َ ِ نی َ أ33 َشءَ یرید ْ َ.
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah Zuhair bin
Harb dan Muhammad bin al-Mutsanna al-‘Anazi dan ini adalah lafaz Ibnu
Mutsanna, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya yaitu
Ibnu Sa’id al-Qatthan dari Ubaidillah, telah menkhabarkan kepadaku Nafi’
dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Seorang muslim tidak berhak mewasiatkan sesuatu
yang ia miliki kurang dari dua malam (hari), kecuali jika wasiat itu tertulis
disisinya."
Wasiat wajib, seperti wasiat untuk menjelaskan apa yang wajib atasnya
(tanggungannya) dan hak-hak untuknya, seperti hutang atau transaksi jual beli, atau
amanah yang dititipkan, atau menjelaskan hak-haknya yang berada dalam tanggungan
orang lain (pinjaman yang diberikan kepada orang lain). Wasiat dalam kondisi seperti
ini adalah wajib untuk menjaga hartanya dan melepaskan tanggung jawabnya, dan agar
4
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala Mazahibi al-arba’ah.
7
tidak terjadi sengketa di antara ahli waris setelah wafatnya dan di antara pemilik hak-
hak tersebut.
D. Wasiat Wajibah
Tidak ada definisi secara formal mengenai wasiat wajibah dalam sistem hukum Islam
di Indonesia. Namun demikian Bismar siregar mengungkapkan bahwa wasiat wajibah adalah
suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian
harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’.5
Dalam Perspektif Fiqh Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada
ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat,
karena adanya suatu halangan syara’.
5
Bismar Siregar, Perkawanin, Hibah dan Wasiat dalam Pandangan Hukum Bangsa (Yogyakarta : Fakultas
Hukum UI, 1985).
8
Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefinisikan
wasiat wajibah sebagai wasiat yag pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung
pada kemauan atau kehendak si yang meninggal.6
Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada
cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak
mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau
terhijab oleh ahli waris lain. Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah
pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan
kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru’ .
Wasiat wajibah secara tersirat mengandung unsur-unsur yang dinyatakan dalam pasal
209 dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
1. Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang
tua angkat terhadap anak angkat.
2. Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi
dilakukan oleh negara.
3. Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi satu
pertiga dari harta peninggalan pewaris.
Wasiat wajibah dalam pasal 209 dalam Kompilasi Hukum Islam timbul untuk
menyelesaikan permasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya anak
angkat selaku pewaris dengan orang tua angkatnya. Di negara Islam di daerah Afrika seperti
Mesir, Tunisia, Maroko dan Suriah, lembaga wasiat wajibah dipergunakan untuk
menyelesaikan permasalahan kewarisan antara pewaris dengan cucu/cucu-cucunya dari
anak/anak-anak pewaris yang meninggal terlebih dahulu dibanding pewaris. Lembaga wasiat
wajibah di daerah tersebut digunakan oleh negara untuk mengakomodir lembaga mawali atau
pergantian tempat.
Awalnya wasiat wajibah dilakukan karena terdapat cucu/cucu-cucu dari anak/anak-
anak pewaris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris. Atas fenomena ini, Abu Muslim
Al-Ashfahany berpendapat bahwa wasiat diwajibkan untuk golongan-golongan yang tidak
mendapatkan harta pusaka.
6
Suparman, Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997).
9
E. Ahli Waris Pengganti
Paradigma para fuqaha’ klasik tentang fikih mawaris yang tekstual secara real
berbanding terbalik dengan masyarakat muslim di zaman ini. Hadirnya para pemikir-pemikir
muslim seperti Ibnu Katsir, Imam Thabraniy, Imam Qurtubi, Muhammad Abduh, Sayyid
Sabiq, Fazlur Rahman, Yusuf Al-Qaradhawiy dan pemikir-pemikir lainnya telah memberikan
kontribusi yang menyegarkan khususnya buat masyarakat dalam persoalan hukum kewarisan.
Para pemikir-pemikir ini memberikan penafsiran baru tentang kewarisan diantaranya
mengenai “pergantgian tempat ahli waris”. Para pemikir kontemporer ini cenderung
memberikan hak waris kepada cucu walaupun ayahnya telah meninggal dunia.7
Istilah ahli waris pengganti dalam bahasa Belanda disebut dengan plaatsvervulling.
Penggantian tempat dalam hukum waris disebut dengan penggantian ahli waris, yaitu
meninggal dunianya seseorang dengan meninggalkan cucu yang orangtuanya telah meninggal
terlebih dahulu. Cucu ini menggantikan posisi orangtuanya yang telah meninggal untuk
mendapatkan warisan dari kakek atau neneknya.
Besarnya bagian yang seharusnya diterima oleh cucu adalah sejumlah bagian yang
seharusnya diterima orangtuanya jika mereka masih hidup. Istilah penggantian tempat ini
hanya dikenal dalam hukum barat (BW) dan hukum adat namun tidak dikenal dalam hukum
Islam.
Menurut Raihan A. Rasyid, istilah ahli waris pengganti dibedakan antara orang yang
disebut “ahli waris pengganti” dan “pengganti ahli waris”. Menurutnya, ahli waris
pengganti adalah orang yang sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia
menjadi ahli waris dan menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris
tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-
laki.
Sedangkan pengganti ahli waris adalah orang yang sejak semula bukan ahli waris tetapi
karena keadaan tertentu dan pertimbangan tertentu mungkin menerima warisan namun tetap
dalam status bukan sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris meninggalkan anak bersama cucu
baik laki-laki maupun perempuan yang orang tuanya meninggal lebih dahulu daripada pewaris.
Keberadaan cucu disini sebagai pengganti ahli waris.
7
Amal Hayati dan Rizki Muhammad dan Zuhdi Hasibuan, Hukum Waris, (Medan: Manhaji, 2015).
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa wasiat adalah pemberian harta benda kepada orang lain
yang diberikan setelah meninggalnya si pemberi wasiat dimana si penerima wasiat harus sesuai
dengan syarat-syarat penerima wasiat. Dan di dalam berwasiat terdapat ketentuan-ketentuan
yang harus terpenuhi terlebih dengan wasiat wajibah yang tidak bisa di pisahkan dengan ahli
waris pengganti.
Pada dasarnya hukum wasiat adalah mubah tetapi dapat diperhatikan bahwa masalah
wasiat juga masalah warisan, sehingga patut diperhatikan kondisi atau status sosial para ahli
waris. Karena bagi ahli waris yang berhak menerima warisan maka ia tidak boleh untuk
mendapatkan wasiat. Sedangkan bagi penerima wasiat wajib menjalankan wasiat yang telah
diberikan.
Untuk maksimal yang bisa didapat oleh penerima wasiat sendiri adalah sepertiga harta
sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam hadis Nabi Saw.
11
DAFTAR PUSTAKA
12