Anda di halaman 1dari 217

TRAUMATIC BRAIN INJURY

PENDAHULUAN

The National Head Injury Foundation mendefinisikan cedera otak traumatis (TBI)
merupakan "suatu penyakit pada otak yang tidak bersifat degeneratif atau genetik,
tetapi disebabkan oleh kekuatan fisik eksternal, yang dapat merubah atau
mengurangi kondisi kesadaran, yang mengakibatkan gangguan kemampuan
kognitif atau fungsi fisik. Hal ini juga dapat mengakibatkan gangguan fungsi
perilaku atau emosional. Kerusakan ini dapat bersifat sementara atau permanen
dan menyebabkan cacat fungsional parsial atau total atau ketidakmampuan dalam
psikososial "(Brain Injury Association of America, 2004).

Sekitar 1,5 juta orang Amerika mengalami cedera otak (BI) setiap tahun.
Dari jumlah ini, 230.000 orang dirawat di rumah sakit dengan diagnosis TBI
ringan hingga sedang, 80.000 mengalami TBI dengan kehilangan fungsi yang
signifikan termasuk timbulnya cacat jangka panjang, dan lebih dari 50.000 orang
meninggal akibat cedera mereka (CDC, 2004). Karena TBI dalam kehidupan
dapat mengganggu fungsi fisik , kognitif, dan psikososial bagi tiap individu, TBI
dianggap sebagai kondisi penting kesehatan masyarakat (CDC, 2004). Dampak
ekonomi TBI juga signifikan. Perkiraan biaya untuk perawatan akut dan
rehabilitasi adalah $ 9 hingga $ 10 miliar per tahun. Rata-rata biaya seumur hidup
untuk penderita TBI berkisar dari $ 600.000 hingga $ 1.875.000. Namun angka-
angka ini mungkin meremehkan biaya untuk keluarga dan masyarakat karena
mereka tidak termasuk upah yang hilang dan biaya yang terkait dengan program
layanan sosial (CDC, 2004).

Penyebab paling umum dari TBI adalah kecelakaan kendaraan bermotor


(MVA), termasuk kecelakaan sepeda dan kecelakaan mobil dengan pejalan kaki.
Terjun, aksi kekerasan, dan insiden olahraga dan rekreasi juga penyebab dari TBI
(CDC, 2004). Pria lebih sering terkena daripada wanita dengan rasio 2: 1. Insiden
terbesar pada cedera otak adalah di antara individu berusia 15 hingga 24 tahun dan
berjumlah lebih dari 75 orang (CDC, 2004). Insidensi TBI yang tinggi terlihat
pada bayi dan anak-anak. Penyiksaan anak, termasuk sindrom shaken baby, jatuh,
kecelakaan mobil, dan kecelakaan sepeda adalah penyebab utama cedera otak
pada anak-anak. Risiko cedera otak parah pada anak-anak dapat dikurangi hingga
88 persen jika anak-anak memakai helm sepeda (Fuller, 2003).

Untuk memprediksi seseorang terkena TBI merupakan hal yang sulit.


Beberapa faktor yang telah diidentifikasi pada hasil seseorang yang mengalami
cedera otak antara lain: (1) jumlah kerusakan langsung dari dampak atau penyakit;
(2) efek kumulatif dari kerusakan otak sekunder; (3) karakteristik kognitif pra-
morbid individu seperti kecerdasan, tingkat pendidikan, dan memori; (4) ada atau
tidaknya substansi; dan (5) kepribadian individu saat preinjury, termasuk kualitas
hubungan interpersonal dan riwayat kerja pasien (Fulk dan Geller, 2001; Winkler,
2001; Bontke dan Boake, 1996).

KLASIFIKASI CEDERA OTAK

Cedera Terbuka dan Tertutup

Dua klasifikasi utama otak adalah cedera terbuka dan tertutup. Cedera terbuka
disebabkan oleh penetrasi jenis luka seperti tembakan, pisau, atau benda tajam
lainnya. Tengkorak bisa patah atau tergeser. Kerusakan pada otak tampaknya
mengikuti jalur masuk dan keluar benda yang mengenai, sehingga dapat
mengurangi fokus. Selain itu, dengan cedera terbuka, meninges terganggu dan
risiko infeksi meningkat ketika fragmen tulang, rambut, dan kulit didorong ke
otak (Campbell, 2000). Cedera tertutup atau intrakranial adalah jenis cedera
kedua, dan ada beberapa subtipe. Seseorang dikatakan telah mengalami cedera
tertutup ketika ada benturan di kepala, jaringan saraf pada oraknya rusak tetapi
tengkoraknya tidak retak dan durameter tetap utuh.

Subtipe Cidera Kepala Tertutup

Gegar Otak

Subtipe pertama dari cedera kepala tertutup adalah gegar otak. Gegar otak
didefinisikan sebagai hilangnya kesadaran dan refleks sesaat. Gejala gegar otak
termasuk pusing, disorientasi, penglihatan kabur, sulit berkonsentrasi, perubahan
pola tidur, mual, sakit kepala, dan kehilangan keseimbangan (CDC, 2004; Fuller,
2003). Individu dapat mengalami amnesia retrograde (sebelum cedera) atau
anterograde (posttraumatic). Amnesia retrograde ditandai dengan hilangnya
ingatan akan peristiwa sebelum cedera, sedangkan pada amnesia posttraumatic,
individu tidak dapat mengingat atau mempelajari informasi baru (Bontke dan
Boake, 1996). "Durasi dari individu mengalami amnesia posttraumatic dianggap
sebagai indikator klinis dari tingkat keparahan cedera" (Fuller, 2003). Dengan
gegar otak, tidak ada kerusakan struktural pada jaringan otak. Namun karena
produksi kekuatan geser di dalam otak, sinapsis terganggu.

Luka Memar

Luka memar adalah subtipe kedua dari cedera tertutup atau intrakranial. Luka
memar pada permukaan otak disebabkan oleh pembuluh darah kecil yang
mengalami hemoragik. Sebuah luka memar yang terjadi pada sisi otak yang
terkena benturan disebut lesi coup. Sedangkan luka memar atau pendarahan
permukaan pada sisi yang berlawanan dari yang terkena benturan sebagai akibat
dari perlambatan disebut lesi contrecoup. Akselerasi yang terkait dengan cedera
contrecoup dapat menyebabkan oklusi pembuluh darah lebih lanjut dan
pembentukan edema. Gambar 11-1 menggambarkan cedera coup dan cedera
contrecoup.

GAMBAR 11-1. Tipe cedera kepala –tertutup dan terbuka. (Dari Gould BE. Pathophysiology for

the Health-Related Professions. Philadelphia, WB Saunders, 1997.)


Kerusakan jaringan otak dapat terjadi beberapa bentuk. Tingkat cedera
tergantung pada sifat penyakitnya dan jenis serta jumlah kekuatan yang
berdampak pada kepala. Pada individu dengan luka terbuka, kerusakan otak lokal
terjadi di lokasi yang berpengaruh. Kerusakan otak sekunder dapat terjadi sebagai
akibat laserasi pada jaringan otak, seperti yang sering terlihat pada fraktur
tengkorak. Kekuatan akselerasi dan deselerasi dapat menghasilkan cedera coup
atau contrecoup. Kerusakan otak polar dapat terjadi ketika otak bergerak maju di
dalam tengkorak. Lobus frontal dan temporal paling sering terkena. Cedera high-
velocity dapat menyebabkan cedera aksonal difus karena jaringan otak
berakselerasi dan melambat di dalam tengkorak. Akson subkortikal dapat
berkurang dan menjadi terganggu dalam selubung mielin (Fulk dan Geller, 2001).
Cedera aksonal difus ini dapat memutuskan pusat aktivasi batang otak dari
belahan otak (Bontke et al., 1992). Area yang paling rentan terhadap cedera jenis
ini termasuk corpus callosum, ganglia basal, white matter periventrikular, dan
peduncles cerebellar superior (Gelber, 1995).

Hematoma

Perdarahan pembuluh darah dengan pembentukan hematoma adalah subkategori


ketiga dari cedera kepala tertutup. Ada dua jenis
hematoma khusus yang layak dicatat. Hematoma
epidural terbentuk antara dura mater dan
tengkorak (Gbr. 11-2, A). Jenis cedera ini sering
terlihat setelah pukulan ke sisi samping kepala
atau trauma parah akibat kecelakaan kendaraan
bermotor. Pecahnya arteri meningeal tengah
dalam fossa temporal dapat menyebabkan
hematoma epidural. Secara klinis, individu
memiliki periode ketidaksadaran kemudian
GAMBAR 11-2. Tipe menjadi sadar.Ketika darah terus keluar dari
hematoma. (Dari Gould BE.
Pathophysiology for the Health-
pembuluh yang pecah, hematoma membesar. Ini
Related Professions. diikuti oleh pemburukan kondisi seseorang
Philadelphia, WB Saunders,
1997.) dengan cepat. Intervensi bedah segera yang terdiri
dari evakuasi kraniotomi dan hematoma diperlukan untuk menyelamatkan nyawa
individu atau untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dari kondisinya.

Hematoma subdural, di sisi lain, adalah pendarahan vena akut yang terjadi
karena pecahnya vena penghubung kortikal. Hematoma ini berkembang diantara
dura dan arachnoid. Darah yang bocor dari sistem vena menumpuk lebih lambat,
umumnya selama beberapa jam hingga satu minggu. Cedera jenis ini terlihat pada
orang dewasa yang lebih tua setelah terkena pukulan di kepala. Gejalanya
berfluktuasi dan dapat menyerupai individu dengan kecelakaan serebrovaskular.
Individu dapat mengalami penurunan kesadaran, pelebaran pupil ipsilateral, dan
hemiparesis kontralateral. Gumpalan yang lebih kecil dapat diserap kembali oleh
tubuh, sedangkan hematoma yang lebih besar mungkin membutuhkan
pengangkatan dengan pembedahan. Gambar 11-2, B menunjukkan lokasi
hematoma subdural.

Sindrom Locked-in dan Acquired Brain Injuries

Dua subtipe lain dari cedera kepala tertutup juga perlu disebutkan: Sindrom
locked-in dan cedera otak yang didapat. Locked-in syndrome adalah kelainan
neurologis langka yang dapat terjadi setelah TBI. Kondisi ini ditandai dengan
kelumpuhan total semua otot voluntary kecuali otot yang mengontrol gerakan
mata. Individu tetap sadar dan memiliki fungsi kognitif tetapi tidak dapat
bergerak. Prognosis untuk kondisi ini buruk. Acquired brain injuries terjadi pada
tingkat sel dan mempengaruhi sel-sel di seluruh otak. Penyebab acquired brain
injuries mungkin termasuk: gangguan jalan napas, infark miokardi, kecelakaan
serebrovaskular, paparan racun, dan sengatan listrik atau serangan kilat. "Cedera
otak yang didapat umumnya menghasilkan perubahan aktivitas neuron, yang
memengaruhi integritas fisik, aktivitas metabolisme, atau kemampuan fungsional
sel. Acquired brain injuries dapat menyebabkan gangguan ringan, sedang, atau
berat pada satu area atau lebih, termasuk kognisi; komunikasi bahasa-bicara;
memori; perhatian dan konsentrasi; penalaran; pemikiran abstrak; fungsi fisik;
perilaku psikososial; dan pemrosesan informasi "(Brain Injury Association of
America, 2004).
MASALAH SEKUNDER

Individu yang menderita TBI juga dapat mengalami kerusakan otak sekunder
sebagai akibat dari respons otak terhadap cedera awal. Kerusakan ini dapat terjadi
dalam satu jam setelah cedera awal atau beberapa bulan kemudian. Berikut ini
adalah diskusi tentang masalah sekunder umum yang dapat mempengaruhi pasien.

Peningkatan Tekanan Intracranial (Intracranial Pressure)

Peningkatan Intracranial Pressure (ICP) adalah temuan umum setelah cedera otak
traumatis. Sekitar 70 persen pasien dengan cedera serius mengalami peningkatan
ICP (Campbell, 2000). Tengkorak dewasa mengalami kaku dan tidak
mengembang untuk menampung peningkatan volume cairan sekunder akibat
pembentukan edema atau pendarahan. Hasilnya adalah peningkatan tekanan yang
dapat menyebabkan kompresi jaringan otak, penurunan perfusi darah di jaringan
otak, dan kemungkinan herniasi. ICP normal adalah sekitar 5 hingga 10 mm Hg.
Tekanan lebih besar dari 20 mm Hg dianggap abnormal dan dapat menyebabkan
perubahan neurologis dan kardiovaskular. Kegiatan yang dapat meningkatkan ICP
pasien yakni fleksi cervical, kinerja teknik perkusi dan getaran, dan batuk (Fulk
dan Geller, 2001; Campbell, 2000). Tanda dan gejala peningkatan ICP meliputi
(1) penurunan respons, (2) gangguan kesadaran, (3) sakit kepala parah, (4)
muntah, (5) irritabilitas, (6) papilledema, dan (7) perubahan tanda-tanda vital
termasuk peningkatan tekanan darah dan penurunan denyut jantung (Gould, 1997;
Jennett dan Teasdale, 1981). Jika seorang pasien akan mengalami peningkatan
ICP, biasanya akan terjadi pada minggu pertama setelah cedera. Namun, penting
bagi semua klinisi untuk mengenali tanda dan gejala dari kondisi ini karena pasien
dapat mengembangkan gejala ini selama berbulan-bulan atau berminggu-minggu
setelah cedera awal mereka. Treatment dari peningkatan ICP meliputi pemantauan
yang cermat, agen farmakologis (Mannitol), dan shunting peritoneum ventrikel
jika diperlukan koreksi permanen (Fulop, 1998).

Cidera Anoxic

Jaringan otak memerlukan 20 persen asupan oksigen tubuh untuk


mempertahankan tingkat saturasi oksigen dan fungsi metabolisme yang tepat
(Fitzgerald, 1992). Cedera anoxic paling sering disebabkan oleh henti jantung.
Jenis cedera ini biasanya menyebabkan kerusakan difus dalam jaringan otak.
Namun, beberapa daerah terbukti lebih rentan mengalami kerusakan lokal seperti
neuron di hippocampus (area yang terlibat dalam penyimpanan memori), otak
kecil, dan basal ganglia. Ini mungkin menjelaskan prevalensi dari amnesia dan
gangguan pergerakan pada populasi pasien cidera anoxic. (Bontke dan Boake,
1996; Jennett dan Teasdale, 1981).

Epilepsi Pascatrauma

Individu yang mengalami TBI memiliki peningkatan resiko kejang. Kejang


didefinisikan sebagai "kejadian klinis diskrit yang mencerminkan disfungsi otak
fisiologis sementara, ditandai dengan pelepasan neuron kortikal hipersinkron yang
berlebihan" (Hammond dan McDeavitt, 1999). Lebih dari 3000 kasus baru dari
epilepsi didiagnosis setiap tahun diakibatkan dari cedera otak dengan diikuti
perkembangan beberapa kasus dalam beberapa tahun setelah cedera awal (Fuller,
2003). Epilepsi posttraumatic lebih sering terjadi pada orang yang mengalami
cedera kepala terbuka, orang yang menderita hematoma subdural, dan orang
dewasa yang lebih tua (Davies, 1994; Fuller 2003). Peristiwa yang dapat memicu
kejang termasuk stres, gizi buruk, ketidakseimbangan elektrolit, kehilangan
pengobatan atau penggunaan obat, infeksi, demam, kemarahan, khawatir, dan
ketakutan (Fuller, 2003). Intervensi terapi fisik tertentu juga dikontraindikasikan
pada pasien dengan riwayat kejang. Teknik stimulasi vestibular seperti gerakan
berputar secara cepat dan gerakan irregular (tidak teratur) dengan komponen
akselerasi dan deselerasi mendadak harus dihindari (O'Sullivan, 2001). Jika pasien
mengalami grand mal seizure (kejang tonik klonik) selama perawatan, asisten
harus memindahkan pasien ke lantai untuk menghindari kemungkinan cedera.
Serta diperlukan pemberitahuan dokter dan perawat utama. Pasien yang tetap
tidak sadar setelah mengalami kejang harus diposisikan di sisi mereka untuk
mencegah kemungkinan aspirasi (Davies, 1994).

Obat-obatan diresepkan sesuai dengan jenis aktivitas kejang yang dialami


oleh pasien. Obat umum yang diberikan untuk mengendalikan kejang meliputi
fenitoin (Dilantin) dan fenobarbital (Luminal). Efek samping dari obat-obat ini
biasanya terdapat efek sedatif yang dapat menurunkan gairah, memori dan kognisi
pasien serta dapat mengakibatkan ataksia, disartria, penglihatan ganda, dan
hepatotoksisitas. Carbamazepine (Tegretol) adalah obat anti kejang lain yang
dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki efek samping yang lebih sedikit
(Naritoku dan Hernandez, 1995). Pertimbangan penting bagi terapis fisik dan
asisten terapis fisik adalah bahwa perubahan yang relatif kecil dalam tingkat
gairah atau kesadaran pasien dapat memengaruhi kemampuannya untuk
merespons lingkungan (Bontke et al., 1992).

PEMERIKSAAN DAN EVALUASI PASIEN

Glasgow Coma Scale

Seorang pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat setelah mengalami TBI
dievaluasi untuk menentukan tingkat cedera. Glasgow Coma Scale (GCS)
digunakan untuk menilai tingkat
gairah dan fungsi dari korteks
serebral. Skala ini secara khusus
mengevaluasi respons pupil,
aktivitas motorik, dan
kemampuan pasien dalam
verbalisasi (VanSant, 1990a)
(Tabel 11-1). Skor untuk
penilaian ini dapat berkisar
antara 3 hingga 15, dengan skor
yang lebih tinggi menunjukkan *Skor seluruhnya adalah hasil dari penjumlahan skor
eye opening (membuka mata), motor response (respon
kerusakan otak yang lebih motorik) dan verbal response (respon verbal)
ringan dan peluang bertahan
Modified from Jennett S, Teasdale G. Management of
hidup lebih banyak. Individu Head Injuries.
Philadelphia, FA Davis, 1981, P 78.
yang dirawat di ruang gawat
darurat dengan skor 3 atau 4 sering tidak terselamatkan. Skor 8 atau kurang
mengindikasikan bahwa pasien dalam keadaan koma dan mengalami cedera otak
yang parah (Fulk dan Geller, 2001). "Telah berulang kali diperlihatkan bahwa
tingkat ketidaksadaran, sebagaimana diindeks oleh skor GCS, adalah satu-satunya
prediktor hasil yang paling kuat dari TBI" (Bontke dan Boake, 1996).

Klasifikasi Keparahan Cedera Otak Trauma

TBl dapat diklasifikasikan menjadi ringan, sedang (moderat) dan berat. Seseorang
dengan TBI ringan memiliki GCS 13 atau lebih, kehilangan kesadaran yang
berlangsung kurang dari 20 menit, dan pemindaian tomografi komputer yang
normal. Individu dengan TBI ringan dapat terbangun pada saat mereka
mendatangi tempat fasilitas perawatan akut, tetapi mungkin juga merasakan
pusing, bingung, dan mengeluh sakit kepala serta kelelahan. Seorang individu
dengan TBI moderat memiliki skor GCS 9 hingga 12. Pada saat masuk ke rumah
sakit, individu tersebut bingung dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan
tepat. Banyak orang dengan TBI moderat memiliki pengurangan fungsi fisik,
kognitif, dan perilaku permanen. TBI yang berat/parah memiliki skor GCS dengan
skor 3 hingga 8 dan menunjukkan bahwa individu tersebut dalam keadaan koma.
Sebagian besar orang dengan TBI parah memiliki gangguan fungsional dan
kognitif secara permanen (Bontke dan Boake, 1996).

AREA PERMASALAHAN PASIEN

Manifestasi klinis dari TBI bervariasi, salah satunya yang mungkin terjadi yakni
sekunder dari kerusakan neuron difus. Masalah umum yang terlihat pada populasi
pasien ini meliputi: (1) penurunan tingkat kesadaran, (2) gangguan kognitif, (3)
gangguan motorik atau gerakan, (4) masalah sensorik, (5) berkurangnya
komunikasi, (6) perubahan perilaku, dan (7) masalah bersosialisasi.

Tingkat Kesadaran Menurun

Tingkat gairah (arousal) atau kesadaran yang menurun atau berubah sering
terlihat pada individu yang menderita TBl. Gairah (arousal) adalah keadaan
primitif saat terjaga atau waspada. Sistem pengaktif retikular bertanggung jawab
atas tingkat gairah seseorang. Kesadaran menyiratkan bahwa seorang individu
sadar akan rangsangan lingkungan internal dan eksternal. Kesadaran adalah
kondisi sadar. Istilah koma digambarkan sebagai penurunan tingkat kesadaran.
Koma adalah keadaan tidak sadar di mana pasien tidak terangsang atau responsif
terhadap lingkungan internal atau eksternal (Rappaport et al., 1992).

Ketika pasien koma, mata mereka tetap tertutup, mereka tidak dapat
memulai aktivitas, serta siklus tidur dan bangun mereka tidak dapat dibedakan
pada electroencephalogram. Koma menurut definisi tidak berlangsung lebih lama
dari 3 hingga 4 minggu ketika siklus tidur-bangun kembali dan ada pemulihan
fungsi batang otak seperti pernapasan, pencernaan, dan kontrol tekanan darah.
Seseorang yang menunjukkan kembalinya refleks batang otak dan siklus tidur-
bangun namun tetap tidak sadar dikatakan berada dalam keadaan vegetatif
(Lehmkuhl dan Krawczyk, 1993). Orang seperti itu pada tahap ini dapat
mengalami periode gairah (arousal) dan dapat membuka mata secara spontan.
Respon umum terhadap rasa sakit seperti peningkatan jantung atau tingkat
pernapasan, berkeringat atau postur abnormal mungkin jelas. Individu tetap tidak
menyadari lingkungan eksternal atau kebutuhan internalnya (Brain Injury
Association of America, 2004; Rappaport et al., 1992). Status vegetatif persisten
adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi seseorang yang telah berada
dalam status vegetatif selama setahun atau lebih. Seorang pasien dalam keadaan
vegetatif persisten tidak menunjukkan peningkatan dalam status neurologisnya
dan tidak ada perbaikan lebih lanjut yang diharapkan (Lehmkuhl dan Krawczyk,
1993).

Istilah-istilah lain juga digunakan untuk menentukan ketidakresponsifan.


Stupor adalah kondisi umum tidak responsif. Obtundity terbukti pada orang yang
banyak tidur. Ketika individu-individu ini terangsang, mereka menunjukkan
ketidaktertarikan pada lingkungan dan lambat merespon stimulasi sensor.
Delirium dikategorikan oleh disorientasi, ketakutan, dan salah persepsi
rangsangan sensorik. Clouding of consciousness adalah keadaan di mana orang
tersebut bingung, terganggu, dan memiliki ingatan yang buruk (Winkler, 2001).
Pemulihan kesadaran adalah proses bertahap di mana individu menunjukkan
perbaikan dalam orientasi dan ingatan baru mereka. Kemajuan melalui tahap
merupakan variabel, dan pasien dapat mengalami peningkatan pada tahap apa pun
(Winkler, 2001).
Kekurangan Kognitif

Selain kekurangan dalam gairah (arousal) dan responsif, banyak individu


penderita TBI juga mengalami kekurangan kognitif. Disfungsi kognitif dapat
mencakup disorientasi, rentang perhatian yang buruk, kehilangan memori,
keterampilan organisasi dan penalaran yang buruk, serta ketidakmampuan untuk
mengendalikan respons emosional. Tingkat keparahan kekurangan kognitif pada
individu sangat memengaruhi kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru,
kemampuan yang merupakan bagian integral dari proses rehabilitasi (VanSant,
1990a; VanSant, 1990b). Berikut ini adalah contoh kasus yang menggambarkan
kekurangan kognitif. Seorang pasien yang menerima layanan terapi fisik di pusat
rehabilitasi rawat inap dapat berjalan secara mandiri tanpa alat bantu, supaya
dapat menegosiasikan hambatan lingkungan, dan melakukan aktivitas motorik
kompleks. Namun pasien tidak dapat mengingat namanya, ia tidak dapat
mengidentifikasi anggota keluarga, dan ia tidak berorientasi pada waktu atau
tempat. Pasien akan sering menjadi bingung oleh lingkungan eksternal dan akan
mengisi celah dalam ingatannya dengan kata-kata yang tidak pantas atau cerita-
cerita palsu yang juga dikenal sebagai confabulation. Kekurangan kognitif pasien
ini jauh lebih bermasalah untuk kemandirian fungsionalnya daripada keterbatasan
fisiknya. Strategi intervensi untuk mengatasi masalah ini dibahas kemudian dalam
bab ini.

Masalah Motorik

Area utama kedua yang terpengaruh pada individu dengan TBI adalah fungsi
motorik. Ketika seorang pasien tidak sadar, mobilitas terganggu. Pasien tidak
dapat memulai gerakan aktif. Postur yang tidak normal juga sering dilihat sebagai
konsekuensi dari cedera batang otak. Dua postur abnormal paling lazim yang
diperlihatkan adalah kekakuan decerebrate dan decorticate. Dalam kekakuan
decerebrate, ekstremitas bawah pasien dalam keadaan ekstensi. Hip adduksi dan
internal rotasi, knee ekstensi, ankle plantar-ekstensi, dan kaki supinasi. Pada
ekstremitas atas, shoulder internal rotasi dan ekstensi, elbow ekstensi, forearm
pronasi, dan fleksi pada wrist dan jari-jari. Ibu jari mungkin terperangkap di
dalam telapak tangan. Kekakuan deserebrasi disebabkan oleh terputusnya
neuroaksis di daerah otak tengah. "Pons, medula, dan sumsum tulang belakang
tetap fungsional" (Curtis, 1990). Nuklei vestibular menyediakan sumber tonus
ekstensor. Kekakuan decorticate muncul sebagai fleksi ekstremitas atas dengan
adduksi dan rotasi internal shoulder, fleksi elbow, pronasi forearm, fleksi wrist,
dan ekstensi ekstremitas bawah. Postur decorticate terjadi akibat disfungsi di atas
level nukleus merah, khususnya antara nukleus basal dan thalamus. Pasien dengan
cedera yang signifikan dapat didominasi oleh pola abnormal. Kesulitan muncul
ketika pasien tidak dapat merubah postur, dan gerakan voluntary tidak mungkin
(VanSant, 1990.1).

Selain adanya postur abnormal, individu yang menderita TBI dapat


mengalami gangguan motorik jenis lain. Individu dapat menunjukkan kelemahan
umum dan gerakan memulai yang sulit, serta gangguan tonus otot. Munculnya
kembali refleks primitif dan tonik tanpa kontrol motorik voluntary juga dapat
memengaruhi kemampuan pasien untuk masuk dan keluar dari posisi yang
berbeda. Adanya refleks labyrinthine tonik, refleks leher tonik asimetris, refleks
leher tonik simetris, refleks dukungan positif, dan refleks penarikan fleksor dapat
menghambat kemampuan pasien untuk memulai gerakan aktif. Motor sequencing,
ataksia, inkoordinasi, dan penurunan keseimbangan juga dapat mengganggu
kemampuan pasien untuk melakukan gerakan fungsional.

Masalah Sensorik

Pendeteksian sensorik juga terlihat pada seseorang dengan TBI. Indera penciuman
dapat hilang atau terganggu secara sekunder akibat kerusakan cribriform plate
atau fraktur fossa anterior (Campbell, 2000). Persepsi sensasi kulit (taktil dan
kinestetik) dapat terganggu atau tidak ada. Selain itu, individu dapat mengalami
pengurangan visual, perseptual, dan proprioseptif, tergantung pada area otak yang
terpengaruh.

Masalah Komunikasi

Kemampuan untuk berkomunikasi sering pada awalnya hilang atau sangat


terganggu pada pasien dengan TBI. Kesadaran yang menurun terhadap
lingkungan dapat membatasi kesempatan untuk interaksi. Pasien dengan
permasalahan motorik yang parah mungkin tidak dapat memulai komunikasi
karena tonus atau postur yang tidak normal. Mekanisme selain komunikasi verbal
perlu digali. Kedipan mata, anggukan kepala, atau gerakan jari mungkin
merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia untuk memastikan respons ya/tidak.
Terapis fisik dan asisten ahli terapi fisik sering menemukan bahwa upaya
komunikasi pasien yang berhasil terjadi selama sesi perawatan terapi fisik. Teknik
penghambatan yang digunakan untuk mengelola tonus abnormal dan fasilitasi
pola gerakan normal dapat memungkinkan pasien untuk memulai gerakan atau
respons verbal yang dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengkomunikasikan
kebutuhan dasar.

Masalah Perilaku

Masalah perilaku juga dapat menjadi evident pada penderita TBI. Dokumen-
dokumen ini seringkali merupakan yang paling bertahan lama dan melumpuhkan
secara sosial. Pasien dapat dilemahkan oleh perubahan kepribadian dan
temperamen mereka. Pasien dapat menunjukkan neurosis, psikosis, disinhibisi
seksual, apatis, lekas marah, labilitas, agresif, dan toleransi frustrasi yang rendah.
Perubahan kepribadian ini dapat menjadi tantangan bagi para profesional
rehabilitasi, serta bagi pengasuh dan anggota keluarga. Terapis fisik dan asisten
ahli terapi fisik harus berkonsultasi dengan tim rehabilitasi psikolog yang dapat
mengembangkan dan menyarankan strategi yang tepat untuk mengatasi masalah
perilaku pasien.

Masalah Terkait

Area terakhir yang harus disebutkan dalam populasi ini adalah masalah terkait
yang mungkin dialami individu. Sekitar 40 persen individu dengan TBI akan
mengalami cedera lainnya (Campbell, 2000). Komplikasi medis yang serius, serta
cedera ortopedi, dapat terjadi selama peristiwa traumatis yang mengarah ke cedera
otak yang sebenarnya. Seseorang yang menderita TBI juga dapat mengalami
fraktur, laserasi, dan bahkan cedera tulang belakang. Masalah-masalah terkait ini
mempengaruhi perawatan individu dan dapat membuat rehabilitasi menjadi lebih
sulit.
INTERVENSI TERAPI FISIK: PERAWATAN AKUT

Perawatan terapi fisik pasien dengan TBI harus dimulai dalam pengaturan
perawatan akut segera setelah pasien stabil secara medis. Sasaran intervensi awal
harus mencakup: (1) meningkatkan tingkat gairah (arousal) pasien, (2) mencegah
perkembangan gangguan sekunder, (3) meningkatkan fungsi pasien, dan (4)
memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai cedera. Menetapnya
pasien di fasilitas perawatan akut mungkin tidak lama, terutama jika pasien tidak
mengalami komplikasi medis. Rata-rata lama rawat inap mungkin kurang dari dua
minggu.

Positioning

Salah satu intervensi pengobatan dini yang paling penting yang harus ditangani
adalah positioning (penentuan posisi) pasien. Ini sangat penting karena pasien
dengan TBI dapat menunjukka tonus dan postur yang tidak normal. Terlentang
adalah posisi di mana banyak dari pasien ini ditempatkan karena memfasilitasi
kinerja tugas perawatan dan perawatan diri. Terlentang juga merupakan posisi di
mana dampak terbesar dari refleks labirin tonik dan dominasi tonus ekstensor
dapat terlihat. Intervensi 11-1 dan 11-2 memberikan contoh penentuan posisi.
Side-lying dan semiprone adalah posisi yang lebih diinginkan karena pengaruh
refleks labirin tonik berkurang. Perawatan harus diambil ketika memposisikan
pasien ini karena potensi komplikasi pernapasan. Seringkali, pasien dengan TBI
mungkin menerima ventilasi mekanis atau memiliki trakeostomi. Pasien dapat
diposisikan dalam posisi rawan dengan menempatkan bantal di bawah dada dan
dahi. Posisi ini mempertahankan jalan napas pasien. Memposisikan ekstremitas
atas dalam penculikan ringan dan rotasi eksternal sementara pasien dalam posisi
tengkurap atau terlentang juga memberikan pengaruh penghambatan pada tonus
otot abnormal (Davies, 1994).

Ahli terapi fisik atau asisten ahli terapi fisik harus memposisikan pasien
keluar dari dekerebrata atau postur dekortifikasi. Staf keperawatan serta keluarga
pasien harus dididik tentang cara-cara di mana pasien harus diposisikan. Handuk,
guling kecil, atau setengah guling yang kokoh harus digunakan untuk membantu
pasien mempertahankan posisi optimal. Bantal dan benda lunak lainnya harus
dihindari karena memberi pasien sesuatu untuk ditekan, yang dapat menimbulkan
refleks peregangan dan dapat memperburuk postur abnormal.

Tonus
otot abnormal
yang hadir pada
pasien ini bisa
signifikan.
Kontraktur dapat
Meskipun mengalami kontraktur yang parah, pasien ini
dapat tengkurap dengan bantuan berbagai bantuan.
A. Salah satu ujung alas kaki ada di bawah bantal.
B. Bantal guling untuk
Dari menyangga
Davies PM.lengan.
Starling Again: Early Rehabilitation after
C. Lengan didukung dengan baik
Traumatic dalam
Brain posisi
Injury yangSevere
or Other benar. Brain Lesion. New
York, Springer-Verlag, 1994.
Dari Davies PM. Starting Again: Early Rehabilitation after Traumatic Brain Injury or Other
Severe Brain Lesion. New York, Springer-Verlag, 1994.
berkembang dengan cepat, terutama di siku dan pergelangan kaki. Penempatan
posisi yang tepat, disertai dengan latihan rentang gerak dan belat statis, dapat
meringankan komplikasi yang berpotensi membatasi ini.

Osifikasi Heterotopik

Pengerasan heterotopik adalah pembentukan tulang abnormal pada jaringan lunak


dan otot di sekitar sendi yang dapat terjadi setelah TBI. Asal usul masalah ini
tidak diketahui; Namun, kondisi ini dicatat setelah cedera pada otak atau sumsum
tulang belakang. Suatu penyebut yang umum dalam semua kasus osifikasi
heterotopik adalah imobilisasi yang berkepanjangan. Insiden kondisi ini pada
pasien dengan TBI adalah antara 11 dan 76 persen (Hammond dan McDeavitt,
1999; Varghese, 1992). Pasien dapat datang dengan kehilangan rentang gerak,
nyeri saat bergerak, pembengkakan yang terlokalisasi, dan eritema (Davies, 1994).
Jika seorang terapis mencurigai bahwa seorang pasien mengalami kondisi ini, ia
harus memberi tahu dokter mengenai gejalanya. Diagnosis pasti dibuat dengan
pemindaian tulang (Varghese, 1992). Sendi umum yang terkena termasuk pinggul,
lutut, bahu, dan siku. Pada pasien dengan TBI, pinggul adalah sendi yang paling
sering terkena. Tidak ada metode efektif yang tersedia untuk mengobati osifikasi
heterotopik setelah itu dikembangkan, yang dapat menyebabkan kontroversi
mengenai kelanjutan terapi fisik setelah diagnosis kondisi. Sebagian besar ahli
sepakat bahwa latihan rentang gerak harus terus dilakukan untuk mencegah
kemungkinan ankylosis dan bahwa pemosisian, belat, dan pengelolaan tonus otot
abnormal dapat membantu (Varghese, 1992). Intervensi farmakologis termasuk
disodium etidronat, obat antiinflamasi nonsteroid, dan salisilat (Scelza dan
Shatzer, 2003; Bontke et al., 1992; Varghese, 1992).

Postur Penghambat Refleks

Postur penghambat refleks pertama kali dibahas oleh Karl dan Berta Bobath.
Setelah mengamati anak-anak dengan cerebral palsy dan postur-postur abnormal
yang diasumsikan oleh anak-anak ini, theBobaths percaya bahwa pengaruh tonus
abnormal dari refleks tonik dapat dibalik dengan memposisikan pasien dalam pola
yang berlawanan. Postur penghambat refleks dikembangkan untuk refleks
labyrinthine tonik, refleks leher tonik asimetris, dan refleks leher tonik simetris.
Awalnya, Bobath menggunakan postur ini sebagai posisi statis; Namun, dengan
evolusi pendekatan pengobatan, gerakan aktif ditumpangkan pada postur
penghambat refleks. Postur-postur ini sekarang digunakan untuk menghambat
tonus abnormal, dan sekali tingkat otot yang lebih mudah dicapai, klinisi
memfasilitasi pola pergerakan normal (Bobath dan Bobath, 1984).

Kegiatan yang Ditujukan untuk Meningkatkan Kesadaran Pasien

Selama tahap pemulihan akut ini, kegiatan yang ditargetkan untuk meningkatkan
tingkat kesadaran pasien digunakan. Kegiatan ini penting bahkan untuk pasien
yang koma. Meskipun seorang pasien mungkin tidak dapat merespon secara
verbal atau motorik, tidak boleh diasumsikan bahwa pasien tidak dapat mendengar
atau memahami informasi yang diberikan. Bahkan, harus selalu diasumsikan
bahwa pasien dapat mendengar dan memahami dengan memberikan informasi
yang relevan dengan perawatan pasien. Semua anggota tim rehabilitasi harus
mengarahkan pasien ke namanya, fasilitas tempat dia tinggal saat ini, dan
mengapa pasien menerima intervensi medis. Tim rehabilitasi sering
mengembangkan naskah yang menguraikan informasi orientasi terkait tentang
pasien. Mengacu pada subjek yang akrab dengan pasien dalam sesi perawatan dan
percakapan bermanfaat. Ketika dokter bekerja dengan pasien, sangat penting bagi
mereka untuk menjelaskan apa yang mereka lakukan setiap saat. Berkomunikasi
dengan pasien pada tingkat pribadi juga menunjukkan kepada pasien dan keluarga
bahwa terapis fisik dan asisten terapis fisik peduli, profesional terhormat yang
berusaha mengembangkan hubungan dengan pasien.

Stimulasi sensorik

Penggunaan stimulasi sensorik untuk pasien dalam keadaan koma masih dalam
tinjauan. Awalnya, alasan penggunaan modalitas sensorik adalah untuk
meningkatkan tingkat gairah dan daya tanggap pasien dan untuk memfasilitasi
munculnya pasien dari koma (Bontke et al., 1992). Studi penelitian belum
mendukung nilai simulasi sensorik dalam meningkatkan tingkat gairah pasien.
Stimulasi sensoris memang memainkan peran penting dalam membantu tim
rehabilitasi dalam penilaian tingkat gairah pasien dan kemampuan untuk
merasakan dan menghadiri rangsangan ro di lingkungan (Bontke et al., 1992).
Stimulus pendengaran, penciuman, taktil, kinestetik, dan oral dapat diberikan
untuk tujuan penilaian dan intervensi.

Ketika memberikan stimulasi sensorik kepada pasien yang tidak responsif,


yang terbaik adalah membatasi waktu paparan. Periode stimulasi singkat adalah
yang terbaik. Stimulasi berlebihan dapat mengganggu pasien dan dapat
menyebabkan peningkatan kelelahan. Penting juga untuk memantau respons
terhadap stimulasi sensorik ketika pasien paling terangsang. Terapis lebih
cenderung melihat respons dari pasien setelah membantu dengan latihan rentang
gerak, transisi gerakan, atau transfer. Hanya satu stimulus sensorik yang harus
diberikan pada satu waktu. Jika terapis menggunakan rangsangan sentuhan, tidak
ada input sensorik lainnya yang harus disediakan. Ketika beberapa input
diberikan, tidak mungkin untuk menentukan rangsangan apa yang memunculkan
respons pasien. Pasien juga harus diberikan waktu yang cukup untuk merespons
begitu stimulus telah disajikan. Waktu respons dapat sangat meningkat pada
pasien yang menderita TBJ (Krus, 1988).

Respons pasien terhadap berbagai modalitas sensoris yang diberikan harus


diperhatikan. Tim rehabilitasi berharap bahwa satu jenis stimulus akan efektif
dalam memunculkan respons. Contoh berbagai respons pasien termasuk
perubahan dalam denyut jantung, tekanan darah atau respirasi; diaforesis;
menambah atau mengurangi tonus otot; memutar kepala; gerakan mata; meringis;
atau vokalisasi. Botol kecil dari berbagai aroma seperti kopi, peppermint atau
amonia dapat diberikan di bawah hidung pasien. Stimulus taktil seperti tekstur
yang berbeda (kapas, kuas cat, amplas) dapat diterapkan pada area kulit pasien.

Stimulus berbahaya hanya digunakan jika pasien tidak menanggapi bentuk


stimulasi lainnya. Tekanan pada alas kuku pasien, menempel pasien dengan pin,
atau sedikit mencubit kulit pasien dapat menimbulkan respons rasa sakit. Benda
berwarna cerah, gambar yang sudah dikenal, atau benda yang disajikan kepada
pasien dapat memberikan stimulasi visual. Es, usap mulut, dan penekan lidah
dapat memberikan stimulasi oral. Akhirnya, latihan rentang gerak dan perubahan
posisi dapat dilakukan untuk menilai respons pasien terhadap input kinestetik
(Krus, 1988). Setelah respons terhadap stimulus tertentu diamati oleh tim
rehabilitasi, anggota tim dapat memantau respons dari waktu ke waktu untuk
mencatat tren dan peningkatan pasien. Suara terapis atau asisten juga dapat
digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi respons pasien. Untuk pasien yang
memiliki kesadaran tinggi, penggunaan nada suara yang lembut dapat
menenangkan pasien. Sebaliknya, untuk pasien yang lesu, penggunaan nama
pasien diikuti dengan perintah singkat dan singkat dengan suara keras dapat
digunakan untuk membangkitkan pasien.

Berfungsi Kognitif

Skala Fungsi Kognitif Rancho Los Amigos adalah alat yang digunakan untuk
mengukur dan menggambarkan tingkat fungsi kognitif pasien. Tabel 11-2
menyoroti respons pasien utama di setiap kategori. Tingkatan dimulai dengan
pasien pada taraf 1. Pasien pada taraf ini tidak menanggapi rangsangan jenis apa
pun, sedangkan individu pada taraf X waspada, biasanya, dan dapat berfungsi
secara independen dalam masyarakat. Meskipun skala ini tampaknya menjadi cara
mudah untuk mengklasifikasikan pasien dan pemulihan mereka, beberapa
individu mungkin menunjukkan perilaku atau respons dari lebih dari satu kucing
ketika mereka beralih antar tahap. Selain itu, tidak setiap pasien akan mengalami
kemajuan melalui setiap tahapan dan beberapa pasien mungkin mengalami
peningkatan pada tingkat tertentu. Terlepas dari tantangan-tantangan ini, skala
tersebut tetap merupakan sarana yang sangat baik untuk mengklasifikasikan
fungsi kognitif seseorang.

Respons pasien dapat digeneralisasi atau dilokalisasi. Respons umum tidak


konsisten dan tidak bertujuan. Mereka bisa menjadi perubahan fisiologis termasuk
fluktuasi tingkat pernapasan, berkeringat, perubahan warna kulit, atau benjolan
angsa. Respons umum dapat juga muncul sebagai gerakan tubuh kasar termasuk
perubahan dalam jumlah gerakan ekstremitas, peningkatan nada atau postur yang
abnormal, atau penarikan dari stimulus. Vokalisasi atau peningkatan gerakan
mulut juga merupakan karakteristik dari respons pasien yang umum. Pasien yang
menunjukkan respons umum sering merespons dengan cara yang sama terlepas
dari stimulus (VanSant, 1990a). Pasien yang mampu melokalisasi respons
sensorik akan bereaksi secara khusus terhadap stimulus yang diterapkan. Pasien
yang menunjukkan jenis pemrosesan sensorik ini mungkin dapat mengikuti
perintah satu langkah sederhana; Namun, respon sering tertunda dan tidak selesai
secara konsisten (VanSant, 1990a). Contohnya adalah ketika terapis menyentuh
bahu kanan pasien dan meminta pasien untuk melakukan hal yang sama; setelah
penundaan singkat, pasien mencapai dan menyentuh lengan atas kanannya.

TABEL 11-2 Tingkatan Fungsi Cognitif


Tingkat Fungsi Deskripsi Perilaku
Cognitif
Level I-Tidak Ada  Tidak adanya perubahan perilaku yang dapat
Respon: Total Bantuan diamati ketika disajikan rangsangan visual,
pendengaran, sentuhan, proprioseptif, vestibular,
atau menyakitkan.
Level II-Generalized  Menunjukkan respons refleks umum terhadap
Response: Total rangsangan nyeri.
Assistance  Menanggapi rangsangan pendengaran berulang
dengan aktivitas meningkat atau menurun.
 Menanggapi rangsangan eksternal dengan
perubahan fisiologis umum, gerakan tubuh kasar
dan / atau vokalisasi yang tidak disengaja.
 Respons yang disebutkan di atas mungkin sama
terlepas dari jenis dan lokasi stimulasi.
 Respons mungkin tertunda secara signifikan.
Level III-Lokalisasi  Menunjukkan penarikan atau menyuarakan
Respon: Bantuan Total rangsangan yang menyakitkan.
 Beralih ke atau menjauh dari rangsangan
pendengaran.
 Berkedip ketika cahaya yang kuat melintasi
bidang visual.
 Mengikuti objek bergerak yang dilewatkan
dalam bidang visual.
 Menanggapi ketidaknyamanan dengan menarik
tabung atau pengekangan.
 Menanggapi perintah-perintah sederhana secara
tidak konsisten.
 Respons yang terkait langsung dengan jenis
stimulus.
 Dapat menanggapi beberapa orang (terutama
keluarga dan teman) tetapi tidak untuk orang
lain.
Level IV-Bingung /  Peringatan dan dalam kondisi aktivitas tinggi.
Gelisah: Bantuan Upaya yang bertujuan untuk menghapus
Maksimal pengekangan atau tabung atau merangkak keluar
dari tempat tidur.
 Dapat melakukan aktivitas motorik seperti
duduk, menggapai, dan berjalan tetapi tanpa
tujuan yang jelas atau atas permintaan orang
lain.
 Momen yang sangat singkat dan biasanya tanpa
tujuan dari alternatif yang berkelanjutan dan
perhatian yang terbagi.
 Memori jangka pendek tidak ada.
 Dapat berteriak atau berteriak tidak sesuai
dengan stimulus bahkan setelah pencabutannya.
 Dapat menunjukkan perilaku agresif atau
terbang.
 Suasana hati bisa berubah dari euforia menjadi
bermusuhan tanpa hubungan yang jelas dengan
peristiwa lingkungan.
 Tidak dapat bekerja sama dengan upaya
pengobatan.
 Verbalisasi sering tidak koheren dan / atau tidak
sesuai dengan aktivitas atau lingkungan.
Tingkat V - Bingung,  Waspada, tidak gelisah, tetapi mungkin
Tidak Pantas Tidak berkeliaran secara acak atau dengan niat kabur
Mengagitasi: Bantuan pulang.
Maksimal
 Dapat menjadi gelisah dalam menanggapi
stimulasi eksternal, dan / atau kurangnya struktur
lingkungan.
 Tidak berorientasi pada orang, tempat, atau
waktu.
 Sering periode singkat tanpa perhatian
berkelanjutan.
 Gangguan memori baru-baru ini, dengan
kebingungan masa lalu dan sekarang sebagai
reaksi terhadap aktivitas yang sedang
berlangsung.
 Tidak ada perilaku yang diarahkan pada tujuan,
penyelesaian masalah, dan pemantauan diri.
 Sering menunjukkan penggunaan objek yang
tidak tepat tanpa arah eksternal.
 Dapat melakukan tugas yang dipelajari
sebelumnya ketika terstruktur dan memberikan
isyarat.
 Tidak dapat mempelajari informasi baru.
 Mampu merespons secara tepat perintah
sederhana dengan cukup konsisten dengan
struktur dan isyarat eksternal.
 Respons terhadap perintah sederhana tanpa
struktur eksternal bersifat acak dan tidak
bertujuan dalam kaitannya dengan perintah.
 Mampu berkomunikasi pada tingkat sosial,
otomatis untuk periode waktu singkat ketika
memberikan struktur dan isyarat eksternal.
 Verbalisasi tentang peristiwa saat ini menjadi
tidak pantas dan membingungkan ketika struktur
eksternal dan isyarat tidak disediakan.
Tingkat VI - Bingung,  Berorientasi secara tidak konsisten ke orang,
Tepat: Bantuan Sedang waktu, dan tempat.
 Mampu menghadiri tugas-tugas yang sangat
akrab di lingkungan yang tidak mengganggu
selama 30 menit dengan pengalihan moderat.
 Memori jauh memiliki kedalaman dan detail
lebih banyak daripada memori saat ini.
 Pengakuan samar-samar dari beberapa staf.
 Mampu menggunakan asisten memori pembantu
dengan bantuan maksimal.
 Kesadaran yang muncul akan respons yang tepat
terhadap diri, keluarga, dan kebutuhan dasar.
 Bantuan sedang untuk menyelesaikan masalah
hambatan untuk penyelesaian tugas.
 Diawasi untuk pembelajaran lama (mis.,
Perawatan mandiri).
 Menunjukkan pengalihan untuk tugas-tugas
yang sudah diketahui yang dipelajari kembali
(mis., Perawatan diri).
 Bantuan maksimal untuk pembelajaran baru
dengan sedikit atau tanpa akumulasi.
 Tidak menyadari gangguan, kecacatan, dan
risiko keselamatan.
 Secara konsisten mengikuti arahan sederhana.
 Ekspresi verbal sesuai untuk situasi yang sangat
akrab dan terstruktur.
Level VII - Otomatis,  Berorientasi secara konsisten pada orang dan
Tepat: Bantuan tempat, dalam lingkungan yang sangat akrab.
Minimal untuk  Bantuan moderat untuk orientasi ke waktu.
Keterampilan Hidup
Sehari-hari  Mampu menghadiri tugas-tugas yang sangat
akrab di lingkungan yang tidak dikurangi selama
setidaknya 30 menit dengan bantuan minimal
untuk menyelesaikan tugas.
 Pengawasan minimal untuk pembelajaran baru.
 Mendemonstrasikan akumulasi pembelajaran
baru.
 Memulai dan melakukan langkah-langkah untuk
menyelesaikan rutinitas pribadi dan rumah
tangga yang akrab tetapi memiliki ingatan yang
dangkal tentang apa yang telah dia lakukan.
 Mampu memantau keakuratan dan kelengkapan
setiap langkah dalam ADL pribadi dan rumah
tangga rutin dan memodifikasi rencana dengan
bantuan minimal.
 Kesadaran superfisial tentang kondisinya, tetapi
tidak mengetahui adanya gangguan dan
kecacatan tertentu dan batasan yang mereka
tempatkan pada kemampuannya untuk secara
aman, akurat, dan sepenuhnya melaksanakan
ADL rumah tangga, komunitas, pekerjaan, dan
rekreasi.
 Pengawasan minimal untuk keselamatan di
rumah dan komunitas rutin kegiatan.
 Perencanaan yang tidak realistis untuk masa
depan.
 Tidak dapat memikirkan konsekuensi dari suatu
keputusan atau tindakan.
 Menilai terlalu tinggi kemampuan
 Tidak menyadari kebutuhan dan perasaan orang
lain.
 Oposisi / tidak kooperatif.
 Tidak dapat mengenali perilaku interaksi sosial
yang tidak pantas.
Level VIII - Bertujuan,  Berorientasi secara konsisten kepada orang,
Tepat: Bantuan Siaga tempat, dan waktu.
 Secara independen menghadiri dan
menyelesaikan tugas-tugas yang akrab selama
satu jam di lingkungan yang mengganggu.
 Mampu mengingat dan mengintegrasikan
peristiwa masa lalu dan baru-baru ini.
 Menggunakan perangkat memori bantu untuk
mengingat jadwal harian, menggunakan daftar
"yang harus dilakukan", dan mencatat informasi
penting untuk digunakan kemudian dengan
bantuan siaga.
 Memulai dan melakukan langkah-langkah untuk
menyelesaikan rutinitas pribadi, rumah tangga,
komunitas, pekerjaan, dan waktu luang yang
akrab dengan bantuan siaga dan dapat
memodifikasi rencana bila diperlukan dengan
bantuan minimal.
 Tidak memerlukan bantuan setelah tugas /
kegiatan baru dipelajari.
 Menyadari dan mengakui gangguan dan
kecacatan ketika mereka mengganggu
penyelesaian tugas, tetapi membutuhkan bantuan
siaga untuk mengambil tindakan korektif yang
tepat.
 Berpikir tentang konsekuensi keputusan atau
tindakan dengan bantuan minimal.
 Menaksir terlalu tinggi atau meremehkan
kemampuan.
 Mengakui kebutuhan dan perasaan orang lain
dan merespons dengan tepat dengan bantuan
minimal.
 Murung.
 Mudah marah.
 Toleransi frustrasi rendah / mudah marah.
 Argumentatif.
 Berpusat pada diri sendiri.
 Tergantung / mandiri secara tidak seperti
biasanya.
 Mampu mengenali dan mengakui perilaku
interaksi sosial yang tidak pantas ketika sedang
terjadi dan mengambil tindakan korektif dengan
bantuan minimal.
Level IX - Purposeful,  Secara independen bergeser bolak-balik antara
Tepat: Bantuan Siaga tugas dan menyelesaikannya secara akurat
berdasarkan setidaknya selama dua jam berturut-turut.
Permintaan  Menggunakan perangkat memori bantu untuk
mengingat jadwal harian, menggunakan daftar
"yang harus dilakukan", dan mencatat informasi
penting untuk digunakan nanti dengan bantuan
saat diminta.
 Memulai dan melakukan langkah-langkah untuk
menyelesaikan tugas-tugas pribadi, rumah
tangga, pekerjaan, dan waktu luang yang dikenal
secara mandiri dan tugas-tugas pribadi, rumah
tangga, pekerjaan, dan waktu luang yang asing
dengan bantuan ketika diminta.
 Menyadari dan mengakui gangguan dan
kecacatan ketika mereka mengganggu
penyelesaian tugas dan mengambil tindakan
korektif yang tepat, tetapi membutuhkan bantuan
siaga untuk mengantisipasi masalah sebelum
terjadi dan mengambil tindakan untuk
menghindarinya.
 Mampu memikirkan konsekuensi keputusan atau
tindakan dengan bantuan saat diminta.
 Secara akurat memperkirakan kemampuan tetapi
membutuhkan bantuan siaga untuk
menyesuaikan dengan tuntutan tugas.
 Mengakui kebutuhan dan perasaan orang lain
dan merespons dengan tepat dengan bantuan
siaga.
 Depresi dapat berlanjut.
 Mudah marah.
 Dapat memiliki toleransi frustrasi yang rendah.
 Mampu memonitor kesesuaian interaksi sosial
dengan bantuan siaga.
Level X - Purposeful,  Mampu menangani banyak tugas secara
Tepat: Dimodifikasi bersamaan di semua lingkungan, tetapi mungkin
Independen membutuhkan istirahat berkala.
 Mampu secara mandiri membeli, membuat, dan
memelihara perangkat memori bantu sendiri.
 Secara independen memulai dan melakukan
langkah-langkah untuk menyelesaikan tugas-
tugas pribadi, rumah tangga, komunitas,
pekerjaan, dan waktu luang yang akrab dan tidak
dikenal, tetapi mungkin memerlukan lebih
banyak waktu dan / atau strategi kompensasi
untuk menyelesaikannya.
 Mengantisipasi dampak gangguan dan kecacatan
pada kemampuan untuk menyelesaikan tugas
hidup sehari-hari dan mengambil tindakan untuk
menghindari masalah sebelum terjadi, tetapi
mungkin memerlukan lebih dari jumlah waktu
yang biasa dan / atau strategi kompensasi.
 Mampu berpikir secara independen tentang
konsekuensi dari keputusan atau tindakan tetapi
mungkin memerlukan lebih dari jumlah waktu
biasa dan / atau strategi kompensasi untuk
memilih keputusan atau tindakan yang sesuai.
 Secara akurat memperkirakan kemampuan dan
secara mandiri menyesuaikan dengan tuntutan
tugas.
 Mampu mengenali kebutuhan dan perasaan
orang lain dan secara otomatis merespons
dengan cara yang tepat
 Periode depresi berkala dapat terjadi.
 Lekas marah dan toleransi frustrasi rendah
ketika sakit, lelah, dan / atau di bawah tekanan
emosional.
 Perilaku interaksi sosial secara konsisten sesuai.
From Rancho Los Amigos-Revised Assessment Scales. Original Scale coauthored by Chris
Hagen, PhD, Danese Malkmus, MA, Patricia Durham, MA. Communication Disorders Service,
Rancho Los Amigos Hospital, 1972. Revised November 15,1974, by Danese Malkmus, MA, and
Kathryn Stenderup, OTR. Revised scale 1997 by Chris Hagen.

Pendidikan Pasien dan Keluarga

Pendidikan pasien dan keluarga merupakan komponen penting dari intervensi


terapi fisik kami. TBI sangat menghancurkan keluarga dan teman-teman individu
dan juga bagi individu tersebut. Awalnya, sebagian besar keluarga kewalahan dan
mungkin tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap pasien. Penting bagi ahli
terapi fisik dan asisten ahli terapi fisik untuk memberikan dukungan dan informasi
yang akurat kepada keluarga. Anggota keluarga harus dididik tentang perubahan
dalam penampilan pasien dan fungsi kognitif dan fisiknya. Meskipun informasi
ini mungkin awalnya dibagikan dengan keluarga dalam pengaturan perawatan
akut, itu perlu diperkuat dan terus diperbarui karena pasien dipindahkan ke
fasilitas baru dan mengalami kemajuan dalam pemulihannya. Secepat mungkin,
anggota keluarga harus didorong untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien
(VanSant, 1990a).

INTERVENSI TERAPI FISIK SELAMA REHABILITASI YANG


INPATIEN

Setelah pasien stabil secara medis, pasien kemungkinan besar akan ditransfer ke
pengaturan rehabilitasi rawat inap jika diperlukan intervensi intensif lebih lanjut.
Masalah pasien primer pada tahap ini adalah sebagai berikut: (1) penurunan
rentang gerak dan potensi kontraktur; (2) peningkatan tonus otot dan postur
abnormal; (3) menurunnya kesadaran dan responsif terhadap lingkungan; (4)
keberadaan refleks tonik primitif; (5) penurunan mobilitas fungsional dan
toleransi untuk tegak; (6) penurunan daya tahan; (7) penurunan kesadaran
sensorik; (8) sistem komunikasi yang terganggu atau tidak ada; dan (9) penurunan
pengetahuan tentang kondisinya.
Positioning

Penempatan yang tepat terus menjadi komponen perawatan yang penting selama
rehabilitasi. Sebagaimana dibahas dalam bagian intervensi perawatan akut,
penentuan posisi memerlukan banyak perhatian oleh semua penyedia layanan
kesehatan. Posisi pasien harus diubah setiap dua jam untuk mencegah kerusakan
kulit atau pengembangan pneumonia. Posisi yang tepat tergantung pada postur
istirahat pasien, tonus otot abnormal, dan adanya retlex primitif. Berbaring miring
dan rawan adalah dua posisi yang paling diinginkan. Ketika pasien menjadi stabil
secara medis, duduk di kursi roda dan menyesuaikan diri dengan posisi tegak
menjadi penting. Duduk mengarahkan pasien ke posisi yang berbeda dan
membantu dengan daya tahan dan kebersihan bronkial. Untuk pasien yang
berfungsi pada level rendah dan yang tidak memiliki kontrol kepala dan trunk,
kursi roda tilt-in-space mungkin diperlukan. Kursi roda tilt-in-space berbeda dari
kursi roda reclining dengan membiarkan bagasi bersandar sambil
mempertahankan sudut 90 derajat di pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. Fitur
tilt-in-space bermanfaat karena membantu dalam memposisikan bagasi dan
mempertahankan penyelarasan yang tepat, dan memungkinkan untuk perubahan
dalam lingkungan dan memunculkan input tesis yang diterima pasien.
Kekurangan dari jenis kursi roda dan sistem tempat duduk ini adalah mengubah
bidang visual pasien. Pandangan diarahkan ke atas, sehingga menyulitkan pasien
untuk memvisualisasikan individu dan benda di lingkungannya.
Kursi roda standar mungkin
memuaskan bagi individu dengan
kontrol bagasi dan kepala yang adil.
Nampan pangkuan dengan aman
dipasang di kursi menopang
ekstremitas atas pasien dan
membantu mempertahankan posisi
duduk yang benar. Intervensi 11-3
memberikan contoh pasien yang
diposisikan di kursi roda standar.
Pasien harus dipantau dengan
cermat ketika aktivitas duduk
dimulai. Komplikasi yang
Ini penting bagi pasien yang mengalami
kontraktur parah untuk bisa duduk di dihasilkan dari imobilitas dan posisi
tempat tidur dan berbaring.
telentang yang lama dapat menjadi
Davies PM. Starting Again: Early
jelas, termasuk hipotensi ortostatik
Rehabilitation after Traumatic Brain Injury
or Other Severe Brain Lesion. New York, dan kelelahan. Selain itu, kondisi
Springer-Verlag, 1994,
kulit pasien harus dipantau secara hati-hati untuk menghindari kemungkinan area
bertekanan atau kerusakan kulit. Ketika mencoba memposisikan pasien, terapis
harus mengingat konsep penentuan posisi dasar yang dibahas pada Bab 10. Posisi
dimulai dengan menempatkan area tubuh proksimal pasien termasuk panggul dan
korset bahu. Dari sana, terapis dapat bekerja lebih jauh. Hal ini diperlukan untuk
mengurangi tonus otot secara proksimal untuk mempengaruhi tonus lebih distal.
Posisi yang buruk di kursi roda atau tempat tidur dapat menyebabkan
perkembangan alat kontras dan peningkatan tonus otot yang abnormal.

Propulsi Kursi Roda

Setelah pasien dapat mentolerir duduk di kursi roda, kegiatan self-propulsi dapat
dimulai. Pada awalnya, petugas kesehatan atau asisten mungkin perlu membantu
pasien dengan praktik serah terima atau dipandu. Ketika pasien menjadi lebih
mahir, tujuannya adalah agar pasien dapat menggerakkan kursi roda secara
mandiri dan bernegosiasi dengan aman di sekitar fasilitas.

Range of Motion

Latihan rentang gerak juga penting selama tahap awal rehabilitasi untuk
meminimalkan kemungkinan pembentukan kontraktur. Karena sebagian besar
pasien dengan TBI memiliki daftar masalah yang luas, perlu untuk seefisien
mungkin dengan intervensi kami. Peregangan sendi individu bersifat intensif
waktu dan mungkin memiliki manfaat jangka pendek yang terbatas. Sebagai
gantinya, manfaat terapeutik yang lebih besar seringkali dapat dicapai melalui
penggunaan berbagai posisi dan posisi perkembangan untuk meningkatkan
fleksibilitas pasien. Sebagai contoh, memposisikan pasien dalam rawan atau
berlutut tinggi dapat digunakan untuk meregangkan fleksor pinggul, berkaki
empat dan duduk dapat digunakan untuk meregangkan gluteal dan paha depan,
dan berdiri di atas meja miring atau pendekatan yang diarahkan ke bawah melalui
lutut ketika kaki dalam menahan beban dapat membantu meregangkan
gastrocnemius dan soleus. Mungkin perlu untuk menghabiskan waktu perawatan
khusus untuk meregangkan paha belakang dan tali tumit secara lebih agresif.
Setiap kali posisi fungsional atau postur perkembangan akan memenuhi tujuan
yang sama dengan peregangan statis, mereka harus dipekerjakan. Pasien yang
mengalami deformitas atau kontraktur akibat tonus abnormal dan postur mungkin
memerlukan peregangan yang lebih intensif. Intervensi yang lebih efektif untuk
individu-individu ini mungkin berupa belat statis atau casting serial. Gips plaster
diterapkan pada sambungan dengan batasan gerak atau kontraktur dan dibiarkan
selama tujuh hingga sepuluh hari. Dengan demikian, peregangan yang lama
diterapkan pada sendi dan jaringan lunak. Tujuannya adalah untuk mengurangi
kontraktur melalui pengecoran dan peregangan berikutnya. Tiga hingga empat
gips mungkin perlu diterapkan untuk mencapai hasil yang diinginkan (Booth et
aI., 1983). Pada akhirnya, gips fmal harus bivalvia karena dilepas sehingga dapat
menjadi belat per manent untuk pasien. Area yang merespon dengan baik terhadap
serial casting termasuk pergelangan kaki, lutut, siku, dan pergelangan tangan.
Dokter yang bekerja dengan pasien yang telah dilemparkan perlu memantau
respons pasien terhadap gips. Perubahan warna kulit pada jari-jari kaki atau jari-
jari mungkin menandakan bahwa gips terlalu ketat. Gips yang diterapkan terlalu
longgar dapat tergelincir subuh. Bukan hal yang aneh untuk menemukan bahwa
seorang pasien mungkin telah mengerjakan gips sepenuhnya. Penjelasan terperinci
tentang aplikasi gips serial berada di luar cakupan teks ini (Davies, 1994).

Meningkatkan Kesadaran

Meningkatkan kesadaran diri dan lingkungan adalah aspek penting lain dari
rencana perawatan pasien. Meningkatkan kesadaran pasien paling sering dicapai
melalui pemberian berbagai rangsangan sensorik. Alat penilaian yang dapat
diberikan kepada pasien dan yang membantu dalam mengidentifikasi atau
mengelompokkan respons pasien terhadap rangsangan adalah Skala Koma
Rappaport / Near-Coma (CNe). Alat ini dikembangkan untuk mengukur
perubahan kecil dalam kesadaran dan respon pada pasien dengan cedera otak
parah yang berfungsi pada tingkat karakteristik status vegetatif. CNC melihat
respons pasien terhadap rangsangan pendengaran, visual, penciuman, sentuhan,
dan nyeri. Selain itu, upaya pasien dalam vokalisasi, kemampuan untuk
menanggapi ancaman, dan kemampuan untuk mengikuti perintah satu langkah
dinilai. Alat penilaian ini digunakan saat masuk ke fasilitas dan diulang secara
berkala untuk mendokumentasikan kemajuan pasien. Berbagai disiplin ilmu dapat
mengelola ujian. Skor untuk item tes ditentukan, dan tingkat kesadaran atau
respons pasien dikategorikan sebagai tidak ada koma (level 1) hingga koma
ekstrem (level 4). Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan skor CNC
kurang dari 2,0 dan yang terlibat dalam program rehabilitasi intensif kemungkinan
besar akan membaik (Rappaport et al., 1992).

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, penting untuk menjelaskan kepada


pasien apa yang sedang dilakukan bahkan jika pasien tampak tidak responsif.
Mengorientasikan pasien ke lingkungannya dan keadaan terkait dengan masuk ke
fasilitas mungkin bermanfaat dalam meningkatkan tingkat kesadaran. Banyak tim
rehabilitasi cedera otak mengembangkan skrip pasien yang membantu
mengarahkan pasien ke lingkungan. Strategi untuk mengelola beberapa defisit
kognitif lain yang ditunjukkan oleh populasi ini dibahas kemudian dalam bab ini.
Pendidikan Keluarga

Mendidik keluarga pasien tentang cara-cara di mana mereka dapat membantu


pasien dengan orientasi dan kesadaran adalah penting. Mendorong keluarga untuk
membawa foto-foto favorit, musik, atau barang-barang lainnya dapat membantu.
Namun, anggota keluarga harus berhati-hati agar tidak terlalu merangsang pasien.
Dalam upaya membangkitkan pasien, keluarga sering memutar musik atau
membiarkan televisi pasien menyala dalam waktu lama. Beberapa dari kita
mendengarkan musik atau menonton televisi 24 jam sehari. Penting untuk
memvariasikan jumlah dan intensitas rangsangan yang diberikan sehingga pasien
tidak dapat mengakomodasi modalitas sensorik.

Anggota keluarga juga harus diinstruksikan dan didorong untuk membantu


penentuan posisi pasien dan latihan rentang gerak pasif. Seiring perkembangan
pasien, keluarga dapat membantu dengan mobilitas tempat tidur, transfer, propulsi
kursi roda, dan kegiatan perawatan diri. Penting untuk menginstruksikan anggota
keluarga dalam mekanika tubuh yang tepat ketika menggerakkan pasien untuk
menghindari cedera. Tim rehabilitasi juga harus memberikan keluarga dengan
pendidikan mengenai pemulihan kognitif pasien. Memberikan keluarga dengan
pemahaman tentang mengapa pasien mungkin bertindak atau merespons dengan
cara tertentu ditambah dengan strategi yang dapat digunakan keluarga untuk
menangani perilaku yang diperlihatkan adalah penting. Ketika tim mempersiapkan
pemulangan terakhir pasien, keluarga harus diberitahu tentang layanan dukungan
yang tersedia bagi mereka.

Pelatihan Mobilitas Fungsional

Tugas mobilitas fungsional adalah aspek penting lain dari intervensi. Seringkali,
pasien tergantung pada semua aspek mobilitas. Sejak awal, mungkin perlu bagi
ahli terapi fisik atau asisten ahli terapi fisik untuk bersama-sama merawat pasien
dengan anggota tim rehabilitasi lainnya. Ketika pasien memiliki tingkat fungsi
yang sangat rendah, akan sangat membantu untuk memiliki dua set tangan yang
tersedia. Namun, dalam iklim penahanan biaya saat ini, dokter harus
menggunakan sumber daya secara efisien. Sebagai contoh, mungkin lebih hemat
biaya bagi asisten dan asisten rehabilitasi untuk merawat pasien dibandingkan
dengan terapis fisik dan pekerjaan. Status pasien, tingkat ketajaman, dan
intervensi yang harus diberikan harus dipertimbangkan sebelum jenis keputusan
ini dibuat.

Seringkali, terapis perlu meluangkan waktu menghambat nada atau postur


yang tidak normal sehingga aktivitas fungsional dapat dicoba. Metode untuk
menghambat tonus abnormal dibahas pada Bab 10 dan termasuk peregangan yang
berkepanjangan, penahan berat badan, perkiraan, rotasi ritmik lambat, dan tekanan
tendon. Teknik-teknik ini bekerja secara efektif dengan populasi pasien ini juga.
Postur tubuh total dan posisi seperti rotasi batang atas dan bawah, duduk, rawan,
dan berdiri juga efektif dalam mengurangi nada abnormal. Seperti yang
dinyatakan dalam Bab 10, setelah tonus otot abnormal telah menurun, pola
gerakan normal harus difasilitasi untuk meningkatkan pembelajaran motorik
kembali.

Individuals who have sustained a severe TBI lack postural and motor
control. They are unable to initiate voluntary movement, are dominated by
abnormal muscle tone and retlex activity, and exhibit diHiculty in dissociating
extremity movements from the trunk. In addition, these patients often are unable
to perform automatic postural adjustments (VanSant, 1990a). Consequently, an
early emphasis in the patient's physical therapy plan of care must be on the
development of postural control. Head and trunk control must be developed
before the patient can hope to have control over the distal extremities. The
principles discussed in Chapter 10 regarding the neurodevelopmental treatment
approach are also applicable to this patient population. Therapeutic interventions
performed with the patient in prone or prone over a wedge or bolster may provide
excel lent opportunities to address head and trunk control. These positions require
that the patient work the cervical extensors against gravity and also provide
inhibition to the supine tonic labyrinthine reflex. The prone position facilitates
increased flexor tone in patients with the presence of this reflex. Patients who
have significant extensor tone can also be positioned in prone over a ball.
Although transferring and maintaining the patient's position on the ball is
challenging, the activity has a profound effect on reducing abnormal tone. Once
the patient is on the ball, a gentle rocking can be performed to decrease the effects
of abnormal tone even further. This position is contraindicated in patients with
seizure disorders and increased ICP. Moreover, all patients should be carefully
monitored during prone activities to ensure adequacy of ventilation.

Berlatih melalui pengulangan kegiatan yang dipelajari dengan baik dan


otomatis bermanfaat dan mendorong pembelajaran motorik. Seringkali, pasien
mengalami kesulitan dalam mempelajari tugas motorik baru, tetapi mereka
merespon dengan baik terhadap kegiatan yang telah mereka lakukan ribuan kali
sebelumnya. Pemilihan kegiatan sehari-hari yang umum seperti mencuci muka,
menyikat gigi, dan menyisir rambut seringkali berhasil karena sangat berarti bagi
pasien. Selama pelaksanaan tugas-tugas ini, terapis atau asisten dapat melihat
upaya gerakan aktif oleh pasien. Teknik panduan hand-over-hand atau terapeutik,
di mana terapis memandu ekstremitas atau gerakan tubuh pasien, efektif. Pasien
menerima umpan balik proprioseptif dan kinestetik ketika ia melakukan pola
gerakan fungsional (Davies, 1994). Intervensi 11-4 menunjukkan contoh-contoh
anggota keluarga yang membantu pasien dengan teknik serah terima.
A. Latihan dilakukan dengan diawasi oleh istri pasien.
B. Selama membimbing hand-over-hand, pasien mengangkat
kepalanya.
C. Ekstensi leher dan trunk aktif dicapai saat ia mencuci wajahnya.

From Davies PM. Starting Agalfl: Early Rehabititation after


Traumatic Brain Injury or Other Severe Brain Lesion. New York,
Springer-Verlag, 1994.

A. Lengan terapis memegang lutut pasien yang tertekuk, lengan yang lain memegang leher
pasien.
B. Kaki pasien dibawa ke sisi tempat tidur.
C. Mengangkat trunk ke arah vertikal.
D. Mencegah jatuh ke depan sambil menopang kepala dan badan pasien.

From Davies PM. Starting Again: Early Rehabilitation after Traumatic Brain Injury or Other
Severe Brain Lesion. New York, Springer-Verlag, 1994.
Vision (penglihatan) adalah modalitas sensorik yang berharga yang dapat
digunakan selama perawatan. Kegiatan yang menggabungkan pelacakan visual
atau mempertahankan kontak visual dengan objek membantu pengembangan
kontrol kepala. Misalnya, jika pasien dalam posisi duduk dan tidak dapat
mempertahankan kepala dalam posisi tegak, pasien dapat didorong untuk
mempertahankan kontak mata dengan terapis atau untuk melihat objek tertentu.
Penglihatan juga dapat digunakan untuk memandu gerakan pasien, seperti dengan
memutar atau memutar tubuh.

Kegiatan Duduk

Duduk adalah posisi penting untuk ditekankan selama perawatan. Duduk dapat
meningkatkan gairah dan juga memberikan tantangan terhadap keselarasan postur
pasien dan respon meluruskan dan keseimbangan (VanSant, 1990b).
Memindahkan pasien dari posisi terlentang ke duduk dapat dilakukan dengan cara
yang sama seperti yang dibahas dalam Bab 10. Intervensi 11-5 menunjukkan
perkembangan menjadi duduk. Pasien dengan tingkat fungsional yang rendah
mungkin memerlukan bantuan dari dua orang, satu yang bertanggung jawab untuk
kepala dan batang atas dan satu yang mentransfer batang dan kaki bagian bawah.
Perubahan tingkat kesadaran dan tonus otot pasien harus dicatat selama perubahan
posisi. Pasien yang menunjukkan nada dan postur ekstensor yang kuat dapat
menjadi tertekuk dan hipotonik setelah mereka tegak.

Setelah pasien duduk tegak di sisi matras, tujuan kegiatan adalah


pencapaian posisi panggul netral pasien dengan batang tegak dan kepala tegak.
Seringkali, perlu menggunakan dua orang selama kegiatan duduk karena nada
abnormal pada batang tubuh pasien. Satu orang kucing membantu pasien dengan
rom kontrol batang dan kepala di belakang sementara terapis lainnya, menghadap
pasien, bekerja pada posisi panggul pasien, posisi ekstremitas atas dan bawah, dan
kesadaran umum. Mendukung ekstremitas atas pada bola besar di pangkuan
pasien dapat bermanfaat bagi pasien dengan kontrol trunk yang buruk atau
hipotonia. Bola membantu terapis dalam menjaga stabilisasi batang dan dapat
memberikan sensasi dukungan bagi pasien. Pergeseran berat anterior dan
posterIor yang lembut juga dapat dilakukan dengan pasien dalam posisi ini.
Pergeseran berat badan menyediakan mekanisme untuk menilai respons postural
pasien dan juga berfungsi untuk meningkatkan kesadaran. Fleksi batang dilakukan
di posisi shorting juga mempertahankan rentang gerak. Intervensi 11-6
menggambarkan aktivitas.

Kegiatan duduk lainnya juga bisa dilakukan. Bantalan berat pada


ekstremitas atas mengurangi tonus otot abnormal dan juga meningkatkan stabilitas
sendi proksimal. Ketika pasien berkembang, mencapai kegiatan, melempar dan
menangkap tugas, dan kinerja kegiatan hidup sehari-hari seperti mengenakan kaus
kaki dan sepatu, dapat diselesaikan ketika pasien dalam posisi duduk. Intervensi
11-7 menunjukkan contoh aktivitas ekstremitas atas yang dilakukan dengan
pasien dalam posisi duduk.
A. Membungkuk ke depan dengan terapis menahan lutut pasien.
B. Tangan meraih ke arah kaki.
C. Membantu mengembalikan ke posisi tegak.
D. Membantu ekstensi tulang belakang toraks

From Davies PM. Starting Again: Early Rehabilitation after Traumatic


Brain Injury or Other Severe Brain Lesion. New York, Springer-Verlag,
1994.

A. Rotasi trunk ke depan dengan satu lengan menopang.


B. Trunk rotasi ke belakang dengan lengan abduksi kontralateral.

From Davies PM. Starting Again. Early Rehabilitation after Traumatic Brain
Injury or Other Severe Brain Lesion. New York, Springer-Verlag, 1994.

Perawatan harus diambil untuk tidak terlalu merangsang pasien dengan


isyarat sensorik dan erbal ganda. Hanya satu orang yang dapat berbicara kepada
orang yang pincang sekaligus. Untuk memaksimalkan pemahaman pasien tentang
informasi verbaI, terapis yang menghadapi pasien harus ditunjuk sebagai orang
yang berinteraksi dengannya. Pendekatan ini meminimalkan kemungkinan bahwa
pasien akan menerima informasi verbal dari berbagai sumber. Selain itu, instruksi
yang diberikan harus singkat, langsung, dan dinyatakan secara sederhana.

Transfer

Teknik yang digunakan untuk mentransfer pasien dengan hemiplegia yang


dibahas pada Bab 10 dapat digunakan untuk pasien dengan TBL. Transfer sit-
pivot direkomendasikan untuk pasien yang berfungsi rendah dan tidak memiliki
kontrol trunk. Intervensi 11-8 menunjukkan terapi yang membantu pasien dengan
transfer sit-pivot. Seiring perkembangan pasien. transfer stand-pivot dapat
dilakukan.

Memindahkan pasien dengan trunk menekuk ke depan.


A. Terapist menekuk badan pasien dan menopang kepalanya ke samping.
B. Therapist meletakkan tangannya di setiap trochanter pasien.
C. Menahan lutut pasien, kemudian mengangkat dan memutar pantat
pasien ke tempat tidur.

Dari Davies PM Starting Again: Early Rehabilitation after Traumatic


Brain Injury or Other Severe Brain Lesion. New York, Springer-Verlag,
1994.

Kegiatan Berdiri
Berdiri adalah posisi lain yang sangat baik yang dapat memberikan peluang untuk
menyelesaikan tugas-tugas fungsional sembari mempromosikan bobot dan input
sensorik. Jika pasien memiliki kemampuan fungsional yang rendah, meja miring
mungkin perlu digunakan pada awalnya untuk memberikan stabilisasi yang
diperlukan untuk mempertahankan postur berdiri. Pasien dapat dipindahkan ke
meja miring atau meja berdiri dan disesuaikan ke posisi tegak. Kegiatan yang
meningkatkan kesadaran dan kognisi dapat dilakukan saat pasien berdiri di atas
meja miring. Pemberian modalitas sensorik yang berbeda melalui penggunaan NC
dapat dengan mudah dilakukan sementara pasien IS di atas meja miring. Postur
tegak juga dapat berfungsi untuk meningkatkan tingkat kewaspadaan pasien.
Penampilan sederhana dari kegiatan sehari-hari seperti mencuci muka atau
menyikat gigi juga dimungkinkan. Seiring perkembangan pasien, aktivitas berdiri
di samping tempat tidur atau tikar dapat dilembagakan dengan bantuan yang tepat.
Pembaca disarankan untuk mengulas Bab 10 untuk teknik tertentu. Kontrol kepala
dan batang yang memadai diperlukan untuk berdiri. Meja samping tempat tidur,
kereta belanja atau meja tikar tinggi-rendah dapat digunakan untuk dukungan
ekstremitas atas. Seiring perkembangan pasien, kegiatan pelatihan melangkah dan
berjalan dapat didorong. Intervensi 11-9 menunjukkan pendirian pasien yang tidak
sadarkan diri. Intervensi 11-10 menunjukkan berbagai contoh membantu pasien
berdiri.

A. Posisi awal, kaki dipegang kuat untuk menghidari jatuh


B. Terapis menggunakan titik kontrol utama untuk mendukung pasien.

From Davies PM. Starting Again: Early Rehabilitation after Traumatic


Brain Injury or Other Severe Brain Lesion. New York. Springer-Verlag,
1994.
A. Berat badan ditopang ke depan melewati kakinya.
B. Terapis bergerak di belakangnya.
C. Terapis menggunakan isyarat sentuhan pada panggul dan trunk untuk mencapai
ekstensi.

Dari Davies
Lingkungan FisikPM. Starting Again: Early Rehabilitation after Traumatic Brain
Injury or Other Severe Brain Lesion. New York, Springer-Verlag, 1994.

Ketika bekerja dengan populasi pasien ini, asisten harus memantau lingkungan
fisik dengan cermat. Pasien yang menderita TBI sering memiliki respon
berlebihan terhadap rangsangan sensorik di lingkungan. Pencahayaan, tingkat
kebisingan, dan jumlah orang yang hadir harus dinilai. Pikirkan tentang jumlah
aktivitas yang terjadi di gym terapi fisik. Banyak orang hadir, dan ada banyak
stimulasi pendengaran dari orang yang berbicara, musik latar belakang, dan sistem
alamat publik. Seringkali, pasien dengan TBL tidak dapat menyaring rangsangan
asing di lingkungan. Terlalu banyak rangsangan sensorik dapat merangsang
pasien secara berlebihan dan dapat menyebabkan kebingungan atau respon
perilaku yang merugikan (Persel dan Persel, 1995). Pasien mungkin menjadi lebih
gelisah, agresif, atau terganggu dalam jenis lingkungan ini. Selain itu, kinerja fisik
sering terpengaruh ketika stres kognitif meningkat (Wright dan Veroff, 1988).
Banyak fasilitas memiliki area perawatan pribadi yang lebih kecil untuk pasien
ini. Struktur juga penting bagi pasien dengan jadwal harian TBL, tim rehabilitasi
yang konsisten, dan menetapkan beberapa tingkat rutin dalam sesi perawatan akan
membantu pasien menyesuaikan diri dengan cedera dan lingkungan rehabilitasi.
Selain itu, pengulangan dan latihan diperlukan untuk mempelajari informasi dan
tugas baru.

MENGINTEGRASI KOMPONEN FISIK DAN KOGNITIF TUGAS KE


INTERVENSI PENGOBATAN
Seringkali, salah satu aspek yang paling menantang dalam merawat pasien TBL
adalah integrasi komponen fisik dan kognitif dari suatu tugas. Defisit kognitif
sering lebih melemahkan dan sulit diobati. Terapis fisik dan asisten terapis fisik
mahir dengan intervensi pengobatan yang mengatasi keterbatasan fisik pasien;
Namun, mereka biasanya jauh kurang nyaman berurusan dengan gangguan
kognitif. Berikut ini akan digunakan sebagai panduan dalam mengatasi berbagai
gangguan kognitif dan perilaku yang terlihat pada pasien ini.

Disorientasi Gangguan Kognitif dan Perilaku

Pasien dengan TBI sering mengalami disorientasi tempat atau waktu. Seringkali,
Anda akan melihat pengasuh menanyai pasien yang mengalami disorientasi
dengan harapan bahwa pada akhirnya pasien akan menjawab dengan jawaban
yang benar. Pendekatan yang lebih baik untuk gangguan ini adalah untuk
memberikan pasien informasi yang benar selama sesi perawatan. Intinya, terapis
mengisi informasi yang hilang untuk pasien. Seperti yang dinyatakan sebelumnya,
penggunaan skrip atau kalender dapat efektif dalam menangani disorientasi. Jika
tingkat orientasi pasien tidak membaik, strategi yang akan memungkinkan pasien
untuk secara independen mengambil informasi dari beberapa jenis sumber seperti
buku memori perlu digunakan. Isi buku memori berbeda-beda. Foto-foto pasien,
anggota keluarga, dan perawat, bersama dengan kalender, jadwal harian, dan
informasi terkait tentang pasien termasuk nama, usia, alamat, dan riwayat medis
dapat dimasukkan dalam buku pasien. Ketika pasien membaik, tanggung jawab
untuk mencatat informasi dalam buku memori dapat dialihkan ke pasien. Ini
memberikan sarana yang sangat baik bagi anggota keluarga untuk melihat apa
yang dilakukan pasien dalam terapi (Fulk dan Geller, 2001).

Gangguan Perhatian

Gangguan perhatian juga sering ditemukan dalam populasi ini. Pasien mungkin
mengalami kesulitan mempertahankan perhatian pada tugas bahkan untuk periode
sesingkat 10 hingga 15 detik. Gangguan ini menjadi tantangan yang signifikan
selama perawatan. Di awal proses pemulihan, terapis perlu menjaga instruksi
verbal tetap sederhana. Mengatasi pasien dengan nama depannya diikuti dengan
arahan verbal singkat bisa efektif dalam mendapatkan perhatian pasien. Terapis
juga mungkin ingin agar sejumlah intervensi yang berbeda direncanakan dan
disiapkan. Perawatan akan dilaksanakan lebih efisien, dan pasien mungkin
berhasil diarahkan ke aktivitas asli di lain waktu, jika terapis memiliki beberapa
kegiatan yang siap. Ketika pasien berkembang, terapis dapat menggunakan
stopwatch atau timer untuk mendorong pasien untuk tetap fokus selama kinerja
aktivitas spesifik. Sebagai contoh, pasien dapat naik sepeda stasioner untuk
jumlah waktu yang telah ditentukan dan terapis dapat mencoba menambah waktu
setiap sesi. Pendekatan ini dapat digunakan sebagai sarana untuk memantau
kemajuan pasien.

Gangguan Memori

Hampir semua pasien yang menderita TBI memiliki beberapa tingkat gangguan
memori setelah cedera mereka. "Kenangan peristiwa sebelum cedera biasanya
disimpan tetapi informasi baru mungkin tidak dapat diambil dengan mudah"
(Brain Injury Association of America, 2004). Seperti yang sudah dibahas,
penggunaan perencana harian atau buku memori dapat diperbaiki. Tersedia buku
jadwal, jam tangan, dan sistem paging elektronik yang tersedia. Perangkat ini
membunyikan alarm untuk mengingatkan pasien tentang waktu dan kejadian
penting (NIH, 1998). Jika pasien memiliki masalah atau gangguan memori
residual, ia harus diinstruksikan dalam penggunaan strategi kompensasi untuk
membantu berfungsi di masyarakat.

Gangguan Pemecahan Masalah

Defisit pemecahan masalah juga bisa terlihat. Pasien dapat menunjukkan kesulitan
mengatur dan mengurutkan informasi untuk memecahkan masalah sehari-hari.
Mereka mungkin memiliki penilaian yang buruk atau kesulitan dengan pemikiran
abstrak. Akibatnya, mungkin tidak tepat untuk memanfaatkan humor selama sesi
perawatan karena humor adalah konsep abstrak dan hanya dapat membingungkan
pasien (Brain Injury Association of America, 2004). Meminta pasien untuk
berpura-pura menyelesaikan suatu kegiatan juga tidak disarankan. Terapis sering
merancang kegiatan bagi pasien untuk berlatih tanpa alat yang diperlukan atau
pengaturan lingkungan. Manfaat terapeutik yang jauh lebih besar dapat dicapai
dengan menciptakan aktivitas yang lebih realistis. Misalnya, jika pasien suka
berkebun, pemanfaatan pot, pot tanah, dan alat berkebun adalah cara terbaik untuk
membuat pasien merencanakan dan melaksanakan tugas. Masalah keamanan juga
menjadi perhatian utama. Pasien mungkin tidak mengenali gangguan mereka
sendiri atau memahami pentingnya kompor panas atau orang asing di pintu depan.
Penciptaan situasi yang membutuhkan perhatian pada keamanan dalam batas-
batas unit rehabilitasi dapat membantu pasien dalam transisi ke rumah. Selain itu,
jenis-jenis kegiatan pemecahan masalah ini membantu mengidentifikasi apakah
pengawasan konstan akan diperlukan pada saat dipulangkan.

Strategi lain dapat digunakan untuk mengatasi defisit penyelesaian


masalah, seperti penggunaan kartu tugas yang mengatur dan mengurutkan
berbagai kegiatan yang harus dilakukan individu. Penggunaan jenis pertanyaan
"mengapa" dan "bagaimana jika" juga dapat digunakan untuk menilai penilaian
dan kemampuan individu untuk memecahkan tantangan sederhana (Brain Injury
Association of America, 2004).

Kesulitan dengan orientasi topografi mungkin terlihat pada beberapa


individu dengan TBI. Pasien dengan jenis defisit ini tidak dapat bernegosiasi atau
menemukan jalan mereka di sekitar fasilitas. Tugas pencarian rute dapat
digunakan. Pasien didorong untuk menggunakan spidol atau isyarat seperti tanda
dan gambar untuk panduan saat mereka bergerak melalui fasilitas. Ketika pasien
berkembang, jalur rintangan dan labirin dapat dibangun untuk menantang
kemampuan pemecahan masalah pasien (Krus, 1988).

Gangguan Perilaku

Pasien yang menderita TBI juga dapat menunjukkan masalah perilaku. Beberapa
gangguan perilaku yang lebih umum termasuk agitasi dan lekas marah, kontrol
penurunan respons emosional, penolakan defisit, impulsif, dan kurangnya
penghambatan (Krus, 1988). Mempertimbangkan penyebab fisiologis dari
masalah-masalah perilaku ini memungkinkan terapis untuk merawat pasien-pasien
ini secara lebih efektif. Agitasi dan lekas marah dapat disebabkan atau ditinggikan
oleh tingkat disorientasi pasien, kelelahan pasien, atau karena tuntutan kegiatan
terlalu besar untuk pasien. Jika Anda dapat membayangkan sejenak bagaimana
rasanya memiliki sedikit atau tidak ada ingatan, tidak mengenali keluarga dan
teman-teman, dan mungkin memiliki beberapa keterbatasan fisik yang signifikan,
Anda mungkin lebih dapat melihat mengapa seseorang dengan TEI mungkin
gelisah. dan mudah tersinggung. Mengikuti jadwal yang konsisten, memiliki
struktur di lingkungan, dan menjaga kesibukan pasien dapat membantu mengelola
disorientasi pasien. Penggunaan televisi yang terbatas juga direkomendasikan.
Pasien dapat dengan mudah menjadi bingung oleh peristiwa yang mereka lihat
dalam konteks program televisi dan mungkin mengalami kesulitan dalam
membedakan program televisi dari kenyataan.

Untuk pasien yang bereaksi berlebihan atau menunjukkan kontrol


emosional yang buruk, terapis atau asisten dapat memilih untuk mengabaikan
perilaku, memperkuat perilaku positif, atau mengkomunikasikan kepada pasien
ketidaktepatan tindakannya. Memiliki terapis memberikan alternatif positif yang
sesuai juga disarankan karena pasien sering tidak dapat memilih tanggapan yang
tepat sendiri. Kadang-kadang menawarkan kepada pasien pilihan antara dua
kegiatan membantu dalam memperbaiki respon yang tidak pantas dan
memungkinkan pasien beberapa kontrol atas situasi.

Penggunaan kegiatan perawatan kelompok dapat bermanfaat bagi


pemulihan beberapa masalah perilaku dan kognitif ini. Dukungan sebaya,
pemodelan perilaku yang tepat oleh orang lain, dan tekanan untuk menyesuaikan
diri dapat membantu pasien dalam mengenali defisit mereka.

Perilaku Agresif

Area perhatian bagi beberapa terapis dan asisten yang bekerja dengan populasi
pasien ini adalah perilaku agresif dan agresif yang kadang-kadang dapat
ditunjukkan. Karena kemungkinan ini, banyak fasilitas rehabilitasi mengharuskan
anggota staf untuk menghadiri program bersertifikat dalam intervensi krisis. Skala
Fungsi Kognitif Rancho Los Amigos membahas kemungkinan respons pasien
pada tingkat agitasi yang bingung. Meskipun perilaku agresif dan agresif dapat
terjadi, ini bukan norma. Tujuannya adalah untuk membantu pasien dalam
pengembangan perilaku pengendalian diri. Membantu pasien dalam
kemampuannya untuk menghadapi situasi yang menimbulkan stres dan
menghasilkan kecemasan adalah langkah pertama dalam mengelola perilaku.

Pasien dengan TBI sering mengalami kesulitan dalam menangani stresor


lingkungan internal dan eksternal. Perubahan perilaku termasuk agresi fisik dapat
terjadi ketika pasien menjadi takut, merasa terancam, atau lelah. Jika seorang
pasien tidak dapat mengelola stres dan frustrasi dengan sukses, situasi krisis dapat
berkembang. Selama krisis, sistem saraf simpatik merespons, dan perubahan fisik
dan kognitif tertentu terjadi. Denyut jantung, tekanan darah, dan laju pernapasan
meningkat, sedangkan keterampilan kognitif menjadi depresi. Keterampilan
komunikasi, penalaran, dan penilaian menjadi terganggu. Dengan demikian,
penting bagi ahli terapi fisik dan asisten ahli terapi fisik untuk mengenali cara
membantu pasien dalam mengatasi stresor dan untuk mencegah terjadinya krisis.
Beberapa model manajemen krisis dan perilaku yang berbeda telah
dikembangkan. Banyak fasilitas menyediakan program pelatihan krisis untuk staf
yang terlibat dalam perawatan pasien dengan TBI. Individu yang bekerja dengan
populasi ini harus menghadiri salah satu kursus ini.

Awalnya, jika seorang pasien menjadi cemas dan terlalu bersemangat, itu
ide yang baik untuk menjadi suportif dan upaya untuk menghilangkan stimulus.
Jika pasien menjadi frustrasi selama kinerja kegiatan, menilai tuntutan kegiatan
dan jika mereka terlalu besar, kurangi. Kadang-kadang tidak mungkin bagi terapis
fisik atau asisten terapis fisik untuk mengidentifikasi peristiwa pemicu atau
sumber iritasi pada pasien. Ketika pasien menjadi cemas atau tertekan, terapis
dapat melihat perubahan dalam nada suara pasien atau perubahan fisik lainnya
termasuk mondar-mandir, mengetuk kaki, atau meremas-remas tangan. Jika
perubahan tersebut terjadi, disarankan untuk mengeluarkan pasien dari area
tersebut, melanjutkan dukungan emosionalnya, dan mengarahkan pasien ke tugas
lain. Mengizinkan outlet untuk meningkatkan energi pasien dapat membantu
menenangkan pasien. Reorientasi juga dapat membuktikan manfaat karena
disorientasi sering menjadi faktor yang mendasari gangguan perilaku yang parah.
(Campbell, 2000; Persel dan Persel, 1995).

Jika intervensi ini tidak membantu pasien rileks, situasi ini dapat
meningkat menjadi krisis penuh. Selama krisis, seorang pasien dapat kehilangan
kendali atas respons verbal dan fisik dan mungkin menunjukkan perilaku yang
merusak dan menyerang. Pasien bisa berbahaya bagi dirinya sendiri atau orang
lain. Seringkali, ketika situasi ini terjadi, penyedia layanan kesehatan menjadi
sangat cemas juga. Jika asisten terapi fisik dan asisten terapi fisik tidak tetap
tenang, mereka juga dapat meningkat ke keadaan simpatik. Jika Anda terlibat
dalam insiden semacam itu dan melihat diri Anda menjadi sangat tertekan,
singkirkan diri Anda dari situasi tersebut. Setelah pasien berada dalam krisis,
peran Anda seharusnya adalah melindungi pasien agar tidak membahayakan
dirinya sendiri atau orang lain. Episode perlu menjalankan programnya. Jika
mungkin, batasi audiens. Ketika pasien pulih dari kejadian itu, dokter lagi perlu
memberikan dukungan emosional. Dianjurkan untuk membangun kembali
hubungan terapeutik dengan pasien. Pasien akhirnya akan kembali ke keadaan
perilaku dasarnya. Setelah pasien bergerak melalui semua tahap krisis, pasien dan
penyedia layanan kesehatan yang melakukan intervensi akan mengalami drainase
atau depresi pascakrisis. Ini bisa berlangsung selama beberapa jam setelah episode
awal dan memanifestasikan dirinya sebagai kelelahan dan penarikan. Yang terbaik
adalah membiarkan pasien beristirahat setelah pengalaman ini. Setelah pasien
kembali ke keadaan istirahat, dokter akan ingin berefleksi dengan pasien tentang
kejadian dan apa yang terjadi. Mempertanyakan pasien tentang peristiwa, objek,
atau individu yang memicu episode ini sangat berharga. Meyakinkan pasien
bahwa terapis ada untuk menawarkan dukungan dan perawatan bagi pasien juga
penting. Jika tim rehabilitasi dapat mengidentifikasi objek atau pemicu stres,
metode untuk meminimalkan respons pasien dapat dikembangkan (Persel dan
Persel, 1995).

Semua anggota tim rehabilitasi harus ingat bahwa pasien yang


menunjukkan agitasi atau perilaku agresif menunjukkan perlunya struktur dan
kontrol terhadap lingkungan mereka. Penyedia layanan kesehatan tidak memiliki
alasan untuk menganggap peristiwa tersebut secara pribadi. Menginternalisasi
acara dapat memengaruhi hubungan pasien-terapis dan pada akhirnya dapat
memengaruhi perawatan yang disediakan.

Gangguan dan Intervensi Motorik

Banyak waktu telah dihabiskan untuk membahas aspek-aspek kognitif dari


perawatan untuk pasien dengan TBI. Banyak intervensi fisik yang sebelumnya
dibahas untuk pasien setelah kecelakaan serebrovaskular juga sesuai untuk
populasi pasien ini. Transisi gerakan yang disajikan, serta intervensi yang
digunakan untuk memfasilitasi gerakan fungsional, dapat digunakan. Mahasiswa
dan dokter berpengalaman sering melaporkan bahwa pasien yang paling
menantang adalah mereka yang memiliki keterampilan motorik yang baik tetapi
defisit kognitif yang signifikan. Tinjauan intervensi untuk pasien yang berfungsi
pada tingkat fisik yang tinggi sekarang disediakan. Aktivitas keseimbangan
tingkat tinggi menantang bagi pasien ini. Pasien harus menjaga stabilitas postural
sambil melakukan pola gerakan selektif dan memperhatikan tugas kognitif.
Permukaan bergerak seperti bola, guling, papan miring, atau sistem keseimbangan
dapat digunakan. Latihan yang dapat dilakukan pada bola termasuk yang berikut:

1. Menjaga keseimbangan

2. Mengangkat senjata di atas kepala

3. Melakukan pola diagonal fasilitasi neuromuskuler proprioseptif

4. Memutar atau menekuk batang secara lateral

5. Menggerakkan lengan secara timbal balik

6. Melakukan memiringkan anterior dan posterior

7. Marching atau latihan ekstensi lutut

8. Memantul dalam lingkaran

9. Berlatih lebih banyak latihan sulit, termasuk bergerak dari duduk ke terlentang
dan dari duduk ke rawan
Guling digunakan untuk penentuan posisi statis atau untuk memberikan
permukaan bergerak kepada pasien. Pasien dapat mengangkang guling dan dapat
berlatih mengubah berat badan dan berdiri. Papan miring dapat digunakan untuk
mempraktikkan pemindahan bobot dan respons keseimbangan. Pasien dapat
duduk atau berdiri di papan tilt, tergantung pada kemampuan motorik mereka.
Kegiatan lain yang menantang keseimbangan statis dan dinamis pasien termasuk
berdiri satu kaki, tumit berjalan kaki, berjalan di atas balok keseimbangan,
berputar, tiba-tiba berhenti dan mulai, mengepang (berjalan menyamping,
menyilangkan satu kaki di atas yang lain), berjalan dan sekitar rintangan,
membawa benda selama ambulasi, melompat, dan melompat-lompat.

Komponen sensorik dari suatu aktivitas juga dapat dimodifikasi untuk


membuat aktivitas lebih menantang bagi pasien. Pencahayaan dapat diubah,
pasien dapat diminta untuk bekerja di atas busa atau tikar, atau mereka dapat
melepas sepatu dan kaus kaki untuk mengubah input proprioseptif yang diterima
melalui kaki. Pasien juga dapat berkembang dari bekerja di lingkungan yang
tenang menjadi bekerja di lingkungan yang lebih ribut dan lebih padat meskipun
fokusnya tetap pada kemampuan pasien untuk menyelesaikan tugas motorik yang
disajikan.

Melakukan aktivitas pengkondisian kardiovaskular dan aerobik adalah


latihan yang baik untuk pasien dengan kemampuan motorik yang baik. Berjalan di
treadmill, bersepeda, berenang, dan melakukan program aerobik adalah kegiatan
yang berguna untuk meningkatkan respons kardiovaskular dan untuk menantang
koordinasi pasien. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, banyak pasien yang
menderita TBl didekondisi, dan latihan aerobik adalah cara yang baik untuk
meningkatkan tingkat kebugaran kardiovaskular pasien. Olahraga juga dapat
digunakan untuk manajemen stres.

Memasukkan Komponen Fisik dan Kognitif dari Tugas

Rencana perawatan pasien harus terdiri dari kegiatan yang mencakup tantangan
fisik dan kognitif. Melempar dan menangkap, bermanuver melalui rintangan, dan
mengikuti peta memungkinkan kinerja motorik dan tugas kognitif tingkat tinggi.
Kegiatan keseimbangan yang disebutkan sebelumnya juga dapat dilakukan, dan
komponen kognitif tambahan seperti menghitung pengulangan dapat dimasukkan.
Mengurangi jumlah struktur atau isyarat yang disediakan atau meningkatkan
kompleksitas tugas adalah beberapa cara di mana asisten dapat menantang
kemampuan kognitif pasien. Beberapa fasilitas memiliki akses ke lingkungan kota
yang disimulasikan (Easy Street). Toko kelontong, bank, gerai makanan cepat
saji, dan penghalang lingkungan yang akan ditemui di masyarakat diwakili dan
tersedia untuk praktik pasien. Acara komunitas adalah cara terapeutik lain untuk
mengerjakan tugas fisik dan kognitif. Banyak fasilitas mengatur jalan-jalan untuk
pasien pada berbagai tahap dalam rehabilitasi mereka. Perjalanan ke restoran,
kebun binatang, atau arena bowling adalah contoh umum dari perjalanan
komunitas. Pada perjalanan ini, pasien diizinkan untuk mempraktikkan
keterampilan yang telah mereka kerjakan dalam terapi. Manfaat dari tamasya ini
adalah bahwa terapis ada untuk membantu pasien dan dapat menilai daerah di
mana pasien mungkin mengalami kesulitan setelah mereka dipulangkan ke rumah.

PERENCANAAN DISCHARGE

Perencanaan pengeluaran adalah komponen penting dari perawatan untuk pasien


dengan TBI. Keputusan harus dibuat tentang tujuan pembuangan yang paling
tepat. Akan menyenangkan untuk mengasumsikan bahwa semua pasien akan
membuat pemulihan penuh dan melanjutkan semua aspek kehidupan mereka
sebelumnya. Namun, ini bukan masalahnya. Banyak pasien memerlukan
perawatan lanjutan mulai dari pengawasan di rumah hingga penempatan di
fasilitas perawatan yang diperluas. Perencanaan untuk pemulangan pasien harus
mencakup pasien, keluarga, dan anggota tim rehabilitasi yang sesuai. Pengadaan
peralatan adaptif, modifikasi lingkungan yang diperlukan di rumah pasien, dan
layanan perawatan kesehatan rumah harus diatur sebelum pasien keluar dari
fasilitas.

Beberapa pasien mungkin memerlukan layanan rawat jalan tambahan


setelah keluar dari rehabilitasi. Terapi fisik rawat jalan mungkin terus diperlukan
untuk meningkatkan keterbatasan fisik pasien. Pasien lain mungkin telah
memenuhi tujuan terapi fisik mereka tetapi perlu intervensi lanjutan untuk
memenuhi tujuan mereka untuk masuk kembali ke masyarakat. Program khusus
yang bertujuan membantu pasien dengan transisi ini kembali ke komunitas
tersedia. Program masuk kembali masyarakat membantu pasien melakukan
transisi kembali ke rumah, lingkungan pendidikan, atau tempat kerja dengan
memungkinkan individu untuk mempraktikkan keterampilan sehari-hari dalam
pengaturan kelompok. Program-program ini sering dikelola oleh ahli
neuropsikologi, ahli patologi bahasa-bicara, dan ahli terapi okupasi. Contoh tugas
yang dapat dipraktikkan termasuk menyeimbangkan buku cek, menemukan
sumber daya dalam direktori telepon, dan merencanakan dan mengatur acara.

Pada basis yang lebih konseptual, kegiatan yang menekankan penyelesaian


masalah, perencanaan, pengurutan, kesadaran keselamatan, berinteraksi dengan
orang lain, dan tanggung jawab diri dipraktikkan. Untuk individu dengan defisit
residual, strategi kompensasi yang tepat diajarkan. Jenis program ini sangat
bermanfaat bagi pasien yang terus mengalami defisit setelah rehabilitasi rawat
inap tetapi yang memiliki potensi untuk tingkat motorik dan fungsi kognitif yang
lebih tinggi.

RINGKASAN BAB

Bekerja dengan pasien dengan TBI bisa sangat menantang dan bermanfaat. Pasien
yang mengalami cedera otak traumatis dapat hadir dalam banyak cara yang
bervariasi dari koma dan tidak ada gerakan sukarela untuk fungsi motorik tinggi
dengan defisit kognitif yang signifikan. Bagi banyak ahli terapi fisik dan asisten
ahli terapi fisik, komponen kognitif dari perawatan adalah yang paling sulit.
Untuk memberi pasien perawatan berkualitas setinggi mungkin, dokter harus
mampu mengatasi masalah motorik dan kognitif bersama. Intervensi kreatif yang
mengintegrasikan tugas-tugas fisik dan kognitif akan memberi pasien kami
perawatan yang mereka butuhkan untuk meningkatkan kemampuan fungsional
mereka dan, mudah-mudahan, melanjutkan gaya hidup mereka sebelumnya.
Spinal Cord Injuries

PENDAHULUAN
Diperkirakan 11.000 kasus baru Spinal Cord Injuries (SCI) terjadi setiap
tahun. Di Amerika Serikat, saat ini lebih dari 243.000 orang hidup dengan SCI.
SCI paling umum terjadi pada dewasa muda usia 16 - 30 tahun. Namun, orang
dewasa yang berusia > 61 tahun mencapai sekitar 10% dari populasi penderita
SCI. Sekitar 81% dari individu dengan SCI adalah laki-laki. Etiologi SCI telah
berubah selama bertahun-tahun. Sebelumnya, cedera yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor dan kegiatan olahraga diidentifikasi sebagai
penyebab yang paling mungkin. Statistik terbaru menunjukkan bahwa kecelakaan
kendaraan bermotor (40, 9%), diikuti oleh jatuh (22, 4%), tindakan kekerasan (21,
6%), dan cedera terkait olahraga (7, 5%), yang saat ini menjadi penyebab paling
umum SCI di Amerika.
Harapan hidup untuk individu dengan SCI terus meningkat tetapi masih
sedikit lebih rendah dari normal. Individu dengan SCI dapat mengalami kecacatan
seumur hidup dan komplikasi medis yang mengancam jiwa. Penyebab potensial
kematian yang secara signifikan mempengaruhi harapan hidup termasuk
pneumonia, pulmonary emboli, dan septicemia. Biaya perawatan medis untuk
orang-orang ini adalah miliaran dolar. Biaya pengobatan seumur hidup untuk
individu dengan high cervical injuries adalah sekitar $2, 4 juta dan perkiraannya
$800.000 untuk individu dengan paraplegia. Angka-angka ini dapat melebihi
manfaat asuransi maksimum $1 juta yang diizinkan oleh banyak polis asuransi.
Selain biaya langsung perawatan medis, ada biaya tidak langsung yang terkait
dengan hilangnya upah, tunjangan karyawan, dan produktivitas, biaya yang
didapat rata-rata $52.915 per tahun.

ETIOLOGI
Untuk memahami etiologi SCI, perlu untuk meninjau anatomi daerah
tersebut. Ada 31 pasang saraf tulang belakang dalam sistem saraf tepi. 7 pasang
saraf tulang belakang pertama berasal dari daerah cervical, keluar di atas 7
vertebra cervical pertama. C8 saraf tulang belakang keluar antara C7 dan T1
karena tidak ada vertebra cervical kedelapan. Akar saraf tulang belakang yang
tersisa keluar di bawah tulang vertebra yang sesuai, ini berlaku hingga L1. Pada
titik ini, spinal cord menjadi massa akar saraf yang dikenal sebagai cauda equina.
Gambar 12-1 menggambarkan level segmental dan vertebral.

GAMBAR 12-1. Level segmen dan vertebral dibandingkan. Saraf tulang belakang 1 hingga 7
muncul di atas vertebra yang sesuai, dan saraf tulang belakang yang tersisa muncul di bawahnya.

Area-area tertentu dari tulang belakang lebih rentan terhadap cedera


daripada yang lain. Di tulang belakang cervical, segmen tulang belakang C1, C2,
dan C5 hingga C7 sering cedera, dan di daerah thoracolumbar, T12 hingga L2
paling sering terkena. Biomekanika vertebral column merupakan predisposisi
untuk situasi ini. Gerakan (rotasi) paling besar di segmen ini dan menyebabkan
ketidakstabilan di wilayah tersebut. Selain itu, spinal cord lebih besar di daerah-
daerah ini karena banyaknya jumlah sel-sel saraf yang terletak di sini. Gambar 12-
2 menggambarkan konfigurasi ini.
GAMBAR 12-2 Tampilan posterior medula spinalis menunjukkan akar dorsal dan ganglia spinal
yang melekat.

NAMING THE LEVEL OF INJURY


Untuk penyebutan tingkat cedera seseorang, profesional kesehatan
pertama-tama mengidentifikasi segmen tulang belakang atau vertebra yang
cedera. Sebagai contoh, cedera cervical ditunjuk dengan C, cedera toraks dengan
T, dan cedera lumbar dengan L. Penunjukan ini diikuti oleh segmen akar saraf
tulang belakang terakhir di mana persarafan muncul. Oleh karena itu, jika seorang
pasien memiliki cedera di daerah cervical dan memiliki persarafan biseps, lesi
akan diklasifikasikan sebagai cedera C5. Personil tenaga medis telah
menggunakan istilah-istilah berikut untuk menggambarkan sejauh mana
keterlibatan seorang pasien yang mungkin mengalami cedera. Individu dengan
cedera pada daerah cervical spine telah diklasifikasikan memiliki quadriplegia.
Cedera yang melibatkan thoracal spine dapat menghasilkan paraplegia. Dengan
paraplegia fungsi ekstremitas atas terhindar, tetapi ada berbagai derajat
ekstremitas bawah, trunk, dan keterlibatan organ pelvis. Cedera pada L1 atau di
bawahnya disebut cauda equina injuries. American Spinal Injury Association
(ASIA) telah mengadopsi istilah tetraplegia, bukan quadriplegia, untuk merujuk
pada cedera yang melibatkan cervical spine. Pada orang dengan tetraplegia
terdapat gangguan fungsional pada ekstremitas atas, ekstremitas bawah, trunk, dan
pelvic organ.
ASIA telah mengembangkan standar untuk membantu penyedia layanan
kesehatan dalam menentukan tingkat cedera. Neurologic level didefinisikan
sebagai segmen paling kaudal dari spinal cord dengan fungsi sensorik dan motorik
normal pada kedua sisi tubuh sebagaimana ditentukan oleh pengujian neurologis
dari key dermatomes (area sensorik) dan myotomes (otot). Fungsi otot normal
selanjutnya didefinisikan sebagai lowest key muscle dengan tingkat MMT yang
cukup, asalkan key muscle di atas level ini memiliki kekuatan yang baik (4/5)
hingga normal (5/5). ASIA telah memilih otot-otot ini karena mereka secara
konsisten dipersarafi oleh segmen dari spinal cord dan mudah diuji dalam
pengaturan klinis. Tabel 12-1 mencantumkan key muscle ASIA untuk ekstremitas
atas dan bawah. Misalnya, trisep adalah kelompok key muscle. Pasien dengan
persarafan trisep memiliki potensi untuk mentransfer secara mandiri tanpa sliding
board karena kemampuan mereka untuk ekstensi elbow dan perform push up
lateral.
Standar ASIA juga mengakui bahwa otot dipersarafi oleh lebih dari satu
segmen spinal cord. Seseorang mungkin memiliki persarafan parsial fungsi
motorik atau sensorik hingga tiga segmen di bawah lokasi cedera. ASIA Standard
Neurological Classification of Spinal Cord Injury tool membantu dokter menilai
tingkat cedera seseorang (Gbr. 12-3). Segmen paling caudal dengan beberapa
fungsi sensorik atau motorik (atau keduanya) didefinisikan sebagai zone of partial
preservation. Kondisi ini hanya berlaku untuk cedera total.

MEKANISME CEDERA
Dampak trauma adalah penyebab umum SCI. Trauma dapat dipicu oleh
kompresi, cedera penetrasi, dan kekuatan hiperekstensi atau hiperfleksi. Cedera
yang terjadi pada spinal cord bisa bersifat sementara atau permanen. Cedera yang
berhubungan dengan vertebra bodies juga dapat menyebabkan kerusakan spinal
cord. Subluksasi vertebra (pemisahan vertebra bodies), fraktur kompresi, dan
dislokasi selanjutnya dapat merusak spinal cord dengan gangguan atau kompresi
tambahan dari spinal cord. Cedera parah pada tulang belakang juga dapat
menyebabkan transeksi spinal cord complete atau incomplete.

Cedera Fleksi dan Rotasi Cervical


Di daerah cervical, jenis cedera yang paling umum adalah yang melibatkan
fleksi dan rotasi. Dengan jenis kekuatan ini, ligamen tulang belakang posterior
rupture, dan vertebra paling atas displaced dari yang di bawahnya. Ruptur diskus
intervertebralis dan pada kasus yang parah, anterior longitudinal ligament juga
dapat terjadi. Transeksi spinal cord sering dikaitkan dengan jenis cedera ini.
Kecelakaan kendaraan bermotor ujung belakang sering menyebabkan cedera
fleksi dan rotasi. Gambar 12 - 4, A, memberikan contoh mekanisme cedera fleksi
dan rotasi.

Cedera Hiperfleksi Cervical


Hiperfleksi murni dengan kuat menyebabkan fraktur kompresi anterior
vertebra bodies dengan stretching ligamen longitudinal posterior. Namun,
ligamen tetap utuh. Kekuatan yang ditopang oleh struktur tulang mengarah ke
wedge type fracture dari vertebra bodies. Jenis cedera ini sering menyumbat arteri
spinal anterior dan menghasilkan incomplete anterior cord syndrome. Tabrakan
langsung atau pukulan ke kepala bagian belakang adalah penyebab cedera jenis
ini. Gambar 12 - 4, B menggambarkan contoh mekanisme cedera.

Cedera Hiperekstensi Cervical


Cedera hiperekstensi sering terjadi pada orang dewasa yang lebih tua
akibat jatuh. Dagu individu sering mengenai benda yang tidak bergerak, dan ini
menyebabkan hiperekstensi leher. Kekuatan ini menyebabkan ruptur ligamentum
longitudinal anterior serta kompresi dan ruptur diskus intervertebralis. Spinal cord
dapat menjadi terkompresi antara ligamentum flavum dan vertebra bodies, dengan
menghasilkan jenis cedera central cord. Gambar 12 - 4, C menunjukkan contoh
mekanisme cedera.

Cedera Kompresi
Kekuatan kompresi vertikal juga dapat melukai cervical atau limbar spine.
Kecelakaan menyelam menyebabkan cedera kombinasi dari kekuatan kompresi
dan fleksi. Jatuh dari permukaan yang tinggi juga dapat menyebabkan cedera jenis
ini. Dengan kompresi vertikal, orang melihat fraktur vertebral end plates dan
pergerakan nukleus pulposus ke dalam vertebral bodies. Fragmen tulang dapat
dikeluarkan dan dipindahkan ke luar. Ligamen longitudinal teregang tetapi tetap
utuh (Gbr. 12 - 4, D).
Cedera kompresi yang disebabkan oleh efek osteoporosis, osteoartritis,
atau rheumatoid arthritis juga dapat menghasilkan SCI pada orang dewasa yang
lebih tua. Diskusi tentang proses patologis yang mengarah pada kondisi ini berada
di luar cakupan teks ini.

INTERVENSI MEDIS
Setelah SCI akut, pasien harus diimobilisasi dan dipindahkan ke trauma
center. Kemajuan terbaru dalam manajemen medis akut termasuk pemberian
metilprednisolon atau monosialotetranexxosylyganglioside (GM-1) ganglioside.
Methylprednisolone yang diberikan dalam 8 jam pertama dapat membatasi
luasnya cedera awal dengan mengurangi efek iskemia pasca trauma dan
meningkatkan aliran darah. GM-1 dianggap meningkatkan fungsi bertahan hidup
matter fiber tracts.
Setelah pasien stabil secara medis, perhatian utama dokter adalah
stabilisasi tulang belakang untuk mencegah kerusakan spinal cord atau akar saraf
lebih lanjut. Pembedahan diindikasikan pada situasi berikut:
(1) untuk mengembalikan keselarasan struktur tulang belakang
(2) untuk mendekompresi jaringan saraf
(3) untuk menstabilkan tulang belakang dengan fusi atau instrumentasi
(4) untuk memungkinkan individu mendapat peluang lebih awal untuk mobilisasi
Beberapa prosedur stabilisasi tersedia untuk ahli bedah. Traksi rangka
dapat digunakan untuk sementara pada kondisi medis pasien rapuh. Traksi dapat
mengurangi tumpang tindih fragmen fraktur dan dapat membantu dalam
penyelarasan tulang belakang. Setelah pasien stabil secara medis, dokter dapat
menjadwalkan pasien untuk operasi. Selama operasi, dilakukan fusi fragmen
fraktur. Pencangkokan tulang dari iliac crests, dikombinasikan dengan
penempatan alat fiksasi internal sering digunakan selama prosedur ini. Dalam
beberapa situasi, operasi tidak diindikasikan, dan fiksasi eksternal dengan halo
jacket, hard cervical collar, atau rigid body jacket mungkin adalah semua yang
diperlukan untuk menstabilkan segmen tulang belakang yang ceders. Fusi tulang
biasanya selesai dalam 6 hingga 8 minggu. Gambar 12-5 menunjukkan berbagai
jenis orthosis tulang belakang. Terlepas dari metode stabilisasi yang digunakan,
pemulihan untuk individu dengan SCI akan tergantung pada (1) tingkat perubahan
patologis yang disebabkan oleh trauma, (2) pencegahan trauma lebih lanjut, dan
(3) pencegahan komplikasi medis sekunder.
GAMBAR 12 – 5 A. Halo vest, B. Sternal occipital mandibular immobilization, C. Philadelphia
collar, D. Custom-made body jacket.
PERUBAHAN PATHOLOGI YANG TERJADI BERIKUT CEDERA
Awalnya setelah cedera, terjadi perdarahan di dalam gray matter dari
spinal cord. Nekrosis terjadi setelah perdarahan di dalam gray matter. Edema
berkembang di dalam white matter dan memberikan tekanan pada nerve fiber
tract yang membawa berbagai sensasi kulit ke korteks serebral dan impuls
motorik dari korteks ke tubuh. Para peneliti telah berhipotesis bahwa norepinefrin
dilepaskan dari spinal cord yang mengalami trauma dan pelepasannya
berkontribusi pada nekrosis hemoragik. Beberapa jam setelah cedera, selubung
mielin mulai hancur dan akson mulai menyusut. Sistem kekebalan juga dianggap
berkontribusi terhadap kematian sel tambahan karena monosit dan makrofag
memancarkan zat yang bekerja pada neuron dan oligodendrosit dan menyebabkan
kerusakan inti sel.
Sangat penting untuk memantau tingkat cedera pasien selama 24 hingga
48 jam pertama setelah cedera. Cedera dapat naik satu atau dua tingkat karena
perubahan vaskular. Jika terjadi kehilangan fungsi yang jelas lebih dari dua
segmen spinal cord di atas tingkat awal cedera, itu mungkin berarti spinal cord
rusak di lebih dari satu tempat. Diperlukan pemberitahuan segera pada perawat
dan dokter utama pasien.
Segera setelah SCI, pasien menunjukkan syok tulang belakang. Kondisi ini
dihasilkan dari gangguan jalur sistem saraf otonom. Syok tulang belakang
ditandai oleh periode flacciditas, areflexia, kehilangan fungsi usus dan kandung
kemih, dan defisit otonom termasuk penurunan tekanan darah arteri dan regulasi
suhu yang buruk di bawah level cedera. Syok tulang belakang biasanya
berlangsung sekitar 24 hingga 48 jam. Namun, sumber-sumber tertentu
menyatakan bahwa itu bisa bertahan hingga beberapa minggu. Karena aktivitas
refleks yang ditekan, seseorang tidak dapat secara akurat menilai tingkat cedera
pasien selama syok tulang belakang. Ketika syok tulang belakang membaik,
aktivitas refleks di bawah tingkat lesi akan kembali, dan jika saluran motorik dan
sensorik telah diselamatkan, fungsi di area ini juga akan terlihat jelas.

JENIS - JENIS LESI


SCI diklasifikasikan menjadi dua jenis primer: complete dan incomplete.
ASIA mengklasifikasikan cedera-cedera ini berdasarkan skala kerusakannya
(Tabel 12 - 2).

TABEL 12-2 ASIA Impairment Scale


Grade Impairment
A = Complete Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang dipertahankan
dalam segmen sakral S4-S5.
B = Incomplete Fungsi sensorik tetapi bukan motorik dipertahankan di bawah
level neurologis dan mencakup segmen sakral S4-S5.
C = Incomplete Fungsi motorik dipertahankan di bawah level neurologis, dan
lebih dari setengah otot kunci di bawah level neurologis
memiliki tingkat otot kurang dari 3.
D = Incomplete Fungsi motorik dipertahankan di bawah level neurologis, dan
setidaknya setengah dari otot kunci di bawah level neurologis
memiliki grade otot 3 atau lebih.
E = Normal Fungsi motorik dan sensorik normal.
Complete Injuries
Jika complete injury, fungsi sensorik dan motorik akan tidak ada di bawah
tingkat cedera dan di segmen sakral terendah S4 dan S5. Complete injuries paling
sering merupakan hasil dari complete transeksi medula spinalis, kompresi medula
spinalis, atau gangguan pembuluh darah.

Incomplete Injuries
Incomplete injuries digambarkan sebagai gelombang di mana ada partial
preservation fungsi motorik atau sensorik di bawah tingkat neurologis dan di
segmen sakral terendah. Sensasi perianal harus ada agar cedera diklasifikasikan
sebagai incomplete. Peneliti memperkirakan bahwa lebih dari 50% dari semua
SCI merupakan incomplete.
Gambaran klinis incomplete injuries sangat bervariasi dan tidak dapat
diprediksi. Area medula spinalis yang rusak dan jumlah traktus medula spinalis
yang tetap utuh menunjukkan jumlah fungsi motorik dan sensorik yang
dipertahankan. Beberapa temuan klinis membantu memastikan diagnosis
incomplete injuries. Sacral sparing adalah salah satunya. Karena traktus sakralis
berjalan paling medial di medula spinalis, mereka sering terselamatkan. Pasien
dengan sacral sparing memiliki sensasi perianal. Mereka dapat memfleksikan
jempol kaki dan memiliki kontrol volunter atas otot sfingter dubur. Fungsi
motorik dan sensorik yang terhindar ini dapat memiliki fungsional yang sangat
penting bagi pasien karena mereka memberikan kandung kemih dan fungsi
seksual yang normal.
Temuan klinis lain yang diamati pada pasien dengan incomplete injuries
adalah tonus abnormal atau spastisitas otot. Pasien dengan incomplete injuries
memiliki kecenderungan untuk menunjukkan tonus yang lebih abnormal daripada
pasien dengan complete injuries. Penurunan penghambatan dari descending
supraspinal pathways mungkin menjadi alasan untuk temuan ini.

Brown-Sequard Syndrome
Brown-Sequard Syndrome dihasilkan dari cedera yang melibatkan
setengah dari spinal cord (Gbr. 12-6, A). Penetrating injuries seperti luka tembak
atau tikaman adalah penyebab umum. Pasien kehilangan fungsi motorik,
proprioception, dan vibrasi pada sisi yang sama dengan cedera karena serat-serat
dalam traktus kortikospinalis dan dorsal column tidak bersilangan pada tingkat
medula spinalis. Tidak ada sensasi nyeri dan suhu pada sisi yang berlawanan dari
cedera dan beberapa segmen lebih rendah. Alasan hilangnya nyeri dan sensasi
suhu dalam distribusi ini adalah bahwa lateral spinothalamic tract naik beberapa
segmen tulang belakang pada sisi yang sama dari spinal cord sebelum melintasi ke
sisi kontralateral. Sensasi sentuhan ringan mungkin dipertahankan atau tidak
dipertahankan pada pasien ini. Prognosis untuk pemulihan dengan jenis cedera ini
baik. Banyak individu menjadi mandiri dalam aktivitas kehidupan sehari-hari
(ADL) dan merupakan kontinen usus dan kandung kemih.

Anterior Cord Syndrome


Anterior cord syndrome dihasilkan dari cedera fleksi pada cervical spine di
mana terjadi fraktur-dislokasi vertebra cervical. Medula spinalis anterior atau
arteri spinalis anterior dapat rusak (Gbr. 12-6, B). Pasien kehilangan sensasi
motorik, nyeri, dan suhu secara bilateral di bawah tingkat cedera akibat cedera
pada corticospinal dan spinothalamic tracts. Dorsal column tetap utuh, dan oleh
karena itu pasien mempertahankan kemampuan untuk merasakan sensasi posisi
dan vibrasi di bawah cedera. Prognosis untuk pengembalian fungsional terbatas
karena semua fungsi voluntary motoric hilang.

Central Cord Syndrome


Central cord syndrome adalah jenis lain dari incomplete injuries dan yang
paling umum. SCI jenis ini dapat terjadi akibat stenosis progresif atau kompresi
yang merupakan konsekuensi dari cedera hiperekstensi. Pendarahan ke central
grey matter menyebabkan kerusakan pada spinal cord (Gbr. 12-6, C). Secara
karakteristik, ekstremitas atas lebih parah terlibat daripada ekstremitas bawah. Ini
karena saluran cervical terletak lebih terpusat pada grey matter. Cedera pada
central spinal cord merusak tiga traktus motorik dan sensoris yang berbeda :
spinothalamic, corticospinal, dan dorsal column. Defisit sensorik cenderung
bervariasi. Usus, kandung kemih, dan fungsi seksual dipertahankan jika bagian
sakral terhindar. Ambulasi mungkin terjadi pada banyak pasien. Independensi
fungsional pada ADL tergantung pada jumlah persarafan ekstremitas atas yang
didapatkan kembali oleh pasien.

Dorsal Column Syndrome


Dorsal Column Syndrome atau posterior cord syndrome adalah
incomplete injuries yang jarang terjadi akibat kerusakan arteri spinal posterior
oleh tumor atau infark vaskular (Gambar 12-6, D). Seorang pasien dengan tipe
cedera ini kehilangan kemampuan untuk merasakan proprioception dan vibrasi.
Kemampuan untuk bergerak dan merasakan nyeri tetap utuh.

Cauda Equina injuries


Cauda equina injuries biasanya terjadi setelah pasien mengalami trauma
langsung dari fraktur-dislokasi di bawah L1. Jenis cedera ini sering
mengakibatkan lesi neuron motorik bawah yang incomplete. Flacciditas, areflexia,
dan hilangnya fungsi usus dan kandung kemih adalah manifestasi klinis yang
umum. Regenerasi akar saraf tepi yang terlibat dimungkinkan, tetapi tergantung
pada tingkat kerusakan awal. Tabel 12-3 merangkum penyebab dan temuan klinis
yang terlihat pada pasien dengan incomplete injuries.

Root Escape
Kerusakan pada akar saraf dalam foramen vertebral dapat menyebabkan
cedera saraf perifer. Root escape adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan preservation atau pengembalian fungsi motorik atau sensorik
pada berbagai akar saraf di atau dekat lokasi cedera. Oleh karena itu, seorang
pasien dapat mengalami beberapa fungsi yang meningkat atau kembalinya fungsi
pada otot-otot yang dipersarafi oleh saraf perifer beberapa bulan setelah cedera
awal. Namun, peningkatan motorik atau sensorik ini seharusnya tidak
disalahartikan sebagai pengembalian fungsi spinal cord.

Tabel 12-3 Types of Incomplete Spinal Cord Injuries


Tipe Penyebab Temuan
Brown-Sequard Cedera penetrasi: luka  Hilangnya fungsi motorik,
syndrome tembak atau tikaman proprioception, dan sensasi
vibrasi pada sisi yang sama
dengan cedera
 Sensasi rasa sakit dan suhu hilang
di sisi yang berlawanan
Anterior cord Cedera fleksi dengan  Hilangnya fungsi motorik, sensasi
syndrome fraktur-dislokasi nyeri, dan sensasi suhu secara
vertebra cervical bilateral di bawah tingkat cedera
 Sensasi posisi dan vibrasi utuh
Central cord syndrome Stenosis progresif atau  Kerusakan pada ketiga traktus
cedera hiperekstensi  Ekstremitas atas lebih terlibat
daripada ekstremitas bawah
 Variabel defisit sensorik
Dorsal column or Kompresi arteri spinal Hilangnya proprioception dan
posterior posterior oleh tumor vibrasi masuk akal secara bilateral
cord syndrome atau infark vaskular
Cauda equina injuries Trauma langsung dari Tanda-tanda neuron motorik atas
fraktur-dislokasi di dan bawah mungkin terjadi,
bawah L1 termasuk flacciditas, areflexia,
kehilangan fungsi usus dan
kandung kemih

MANIFESTASI KLINIS CEDERA TULANG BELAKANG


Gambaran klinis pasien yang mengalami SCI dapat bervariasi. Banyak
tergantung pada tingkat cedera dan fungsi otot dan sensorik yang tersisa. Selain
itu, seseorang harus mempertimbangkan apakah cederanya complete atau
incomplete. Secara umum, tanda-tanda atau gejala berikut mungkin hadir pada
individu yang menderita SCI :
1) Paralisis atau paresis motorik di bawah tingkat cedera atau lesi
2) Kehilangan sensorik (fungsi sensorik dapat tetap utuh pada dua segmen spinal
cord di bawah tingkat cedera)
3) Disfungsi kardiopulmoner
4) Gangguan kontrol suhu yang dihasilkan dari kerusakan sistem saraf simpatis
yang terkait dengan lesi cervical
5) Spastisitas, yang dapat berkembang ketika spinal cord pulih
6) Disfungsi kandung kemih dan usus
7) Disfungsi seksual

RESOLUTION OF SPINAL SHOCK


Aktivitas refleks di bawah cedera berlanjut setelah syok tulang belakang
mereda. Refleks paling awal yang kembali adalah refleks level sakral. Akibatnya,
fungsi refleks usus dan kandung kemih dapat kembali. Respons penarikan fleksor
juga menjadi jelas. Awalnya, refleks-refleks ini ditimbulkan oleh stimulus yang
berbahaya, dan ketika pemulihan berlanjut, mereka mungkin ditimbulkan oleh
cara lain yang tidak berbahaya. Seiring berjalannya waktu, spastisitas ekstremitas
atas atau bawah dapat terjadi pada kelompok otot yang kurang persarafan.
Spastisitas fleksor pada ekstremitas bawah sering berkembang pertama, jika
sekunder karena gangguan pada saluran vestibulospinal. Pada waktunya, tonus
ekstensor biasanya mendominasi. Tambahan tightness dan shortening otot
menjadi jelas sebagai akibat dari posisi statis dan ketidakseimbangan otot. Sebagai
contoh, tightness pada fleksor hip dapat berkembang ketika pasien menghabiskan
waktu yang lebih banyak untuk duduk tegak di kursi roda.

KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dapat terjadi setelah SCI. Pencegahan yang hati-hati
terhadap kemungkinan komplikasi dapat meningkatkan potensi rehabilitasi dan
kualitas hidup pasien.

Pressure Ulcers
Salah satu komplikasi paling umum yang terlihat setelah SCI adalah
perkembangan pressure ulcers. Area tekanan berkembang lebih menonjol dari
tulang dalam menanggapi ketidakmampuan pasien untuk memahami kebutuhan
untuk mengubah berat badan atau mengurangi tekanan. Perawatan luka terbuka
yang timbul sebagai akibat dari tekanan berlebihan adalah alasan utama rawat
inap pasien ini. Bagi para profesional perawatan kesehatan, pencegahan pressure
ulcers adalah yang paling penting. Pasien harus diinstruksikan dalam teknik
pengurangan tekanan, atau anggota keluarga dan pengasuh harus diajari cara
membantu pasien dengan weight shifting activities. Pasien harus diinstruksikan
untuk melakukan pengurangan tekanan selama 1 menit untuk setiap 15 hingga 30
menit duduk. Pasien yang mampu harus melakukan pemeriksaan kulit secara
independen dengan menggunakan cermin genggam. Pasien yang memerlukan
bantuan fisik dengan inspeksi kulit harus disarankan untuk mengajar orang lain
dalam pelaksanaan kegiatan ini. Lapisan pelindung juga dapat diterapkan selama
kinerja aktivitas fungsional untuk mengurangi penekanan.

Autonomic Dysreflexia
Autonomic Dysreflexia terjadi pada pasien dengan cedera di atas T6.
Refleks otonom patologis ini disebabkan oleh ketidakstabilan sistem saraf
simpatis. Semua aliran simpatis terjadi di bawah level T6. Akibatnya, pada
cervical dan upper thoracic injuries, penurunan input rangsang dan penghambatan
untuk neuron simpatis hilang. Respons otonom dilepaskan sebagai akibat dari
stimulus sensorik berbahaya yang diterapkan di bawah tingkat lesi. Input sensorik
berbahaya ini menyebabkan stimulasi otonom, vasokonstriksi, dan peningkatan
cepat dan masif pada tekanan darah pasien. Biasanya, peningkatan tekanan darah
seseorang akan merangsang reseptor di sinus karotis dan aorta dan akan
menyebabkan penyesuaian resistensi pembuluh darah perifer, sehingga
menurunkan tekanan darah pasien. Karena kondisi pasien, impuls tidak dapat
berjalan di bawah tingkat cedera untuk menurunkan tekanan darah pasien. Dengan
demikian, hipertensi tetap ada kecuali stimulus berbahaya dihilangkan atau pasien
menerima intervensi medis. Kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi yang
mengancam jiwa, termasuk kejang dan perdarahan subaraknoid, jika tidak
ditangani. Penyebab umum autonomic dysreflexia termasuk distensi kandung
kemih atau usus, gangguan kateter pasien, stimulasi kulit berbahaya, luka tekanan,
kerusakan ginjal, perubahan suhu lingkungan, dan peregangan pasif diterapkan
pada hip pasien.
Gejala autonomic dysreflexia termasuk hipertensi yang signifikan, sakit
kepala yang parah dan berdebar-debar, vasokonstriksi di bawah tingkat lesi,
vasodilatasi (flushing) di atas tingkat cedera, keringat yang banyak, pupil yang
menyempit, goosebumps (piloerection), penglihatan kabur, dan hidung meler.
Pengenalan segera terhadap tanda-tanda atau gejala ini sangat penting. Pasien
yang tidak segera diobati mungkin mengalami pendarahan retina, kejang, gagal
ginjal, atau pendarahan otak, atau mereka bisa mati. Pasien yang mengalami
autonomic dysreflexia harus diperlakukan sebagai individu dalam situasi krisis.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari kemungkinan sumber stimulasi
berbahaya. Seringkali, kateter pasien berkerut atau kantong kateter mungkin perlu
dikosongkan. Jika sumber masalah tidak dapat diidentifikasi segera, seseorang
harus mencoba menurunkan tekanan darah pasien dengan duduk atau berdiri.
Penerapan tambalan nitrogliserin, vasodilator yang kuat, atau pemberian
nifedipine dapat membantu menurunkan tekanan darah pasien. Perawat dan dokter
utama pasien harus diberitahu secepat mungkin. Pencegahan episode berulang dan
pemberian edukasi pada pasien dan keluarga adalah penting. Obat atau intervensi
bedah mungkin diperlukan untuk membantu pasien dalam pengaturan kondisi ini.

Postural Hypotension
Komplikasi lain yang mungkin adalah hipotensi postural. Pasien yang
mengalami SCI sering mengalami tekanan darah rendah. Kurangnya pompa otot
rangka yang efisien, dikombinasikan dengan tidak adanya vasoresponse di
ekstremitas bawah, menyebabkan pengumpulan vena. Akibatnya, jumlah darah
yang bersirkulasi dalam tubuh berkurang, sehingga memicu penurunan stroke
volume dan curah jantung. Hipotensi postural dapat terjadi ketika pasien
dipindahkan untuk duduk, ketika mereka ditempatkan dalam posisi berdiri tegak,
atau selama berolahraga. Dengan demikian, pemantauan respons tekanan darah
yang cermat harus dilakukan selama perawatan. Tekanan darah pasien tidak boleh
turun di bawah 70/40 mmHg karena ini dapat menyebabkan henti jantung.
Penerapan abdominal binder (pengikat perut) sebelum memulai aktivitas tegak
mempromosikan aliran balik vena dengan meminimalkan penurunan tekanan intra
abdominal yang dapat terjadi ketika posisi pasien diubah. Selain itu, stoking
elastis dapat dikenakan oleh pasien untuk mencegah pengumpulan vena di
ekstremitas bawah. Obat-obatan untuk meningkatkan tekanan darah pasien dan
meningkatkan asupan cairan di hipovolemia mungkin diresepkan untuk mengelola
kondisi ini.

Nyeri
Nyeri dapat berkembang sebagai akibat iritasi dan kerusakan pada elemen
saraf seperti jalur sensorik atau sebagai konsekuensi dari trauma mekanik,
intervensi bedah, atau penanganan dan pemosisian yang buruk. Sindrom nyeri
umum yang terlihat pada pasien SCI adalah dysesthetic pain, juga dikenal sebagai
phantom pain atau deafferentation pain. Kondisi ini dimanifestasikan oleh
keluhan mati rasa, kesemutan, terbakar, menembak, dan sakit yang menyakitkan
dan ketidaknyamanan visceral di bawah tingkat cedera. Rasa sakit dapat
diperparah oleh rangsangan berbahaya, termasuk infeksi saluran kemih,
spastisitas, impaksi usus, dan merokok. Pengobatan dysesthetic pain sangat
menantang bagi praktisi perawatan kesehatan. Intervensi medis meliputi edukasi
pasien tentang sifat nyeri dan manajemen farmakologis. Dokter dapat meresepkan
asetaminofen atau obat antiinflamasi nonsteroid lainnya, termasuk ibuprofen
(Motrin), naproxen (Naprosyn), dan indometasin (Indocin), obat antiepilepsi
seperti gabapentin (Neurontin) dan carbamazepine (Tegretol), antidepresan
trisiklik, dan antikonvulsan. Teknik manajemen nyeri psikologis dan stimulasi
saraf listrik transkutan juga dapat membantu dalam manajemen nyeri. Dalam
beberapa situasi, intervensi bedah saraf diperlukan.
Seiring waktu pasien dengan SCI dapat mengembangkan nyeri
muskuloskeletal dan sindrom nyeri yang berlebihan, terutama di daerah bahu,
karena gerakan ekstremitas atas berulang diperlukan untuk menyelesaikan tugas
fungsional.

Kontraktur
Pasien-pasien cenderung mengalamin flexion contractures sebagai hasil
dari aktivitas refleks fleksor yang berkembang setelah cedera dan juga sebagai
konsekuensi dari duduk yang lama. Ketidakseimbangan otot di sekitar sendi juga
dapat berpengaruh dalam pembentukan kontraktur. Pencegahan kontraktur
penting untuk menjaga fungsi maksimal. Pasien harus diinstruksikan dalam
program peregangan yang baik yang dapat mereka lakukan secara mandiri atau
dengan bantuan anggota keluarga atau pengasuh. Selain itu, semua pasien harus
didorong untuk melakukan program posisi tengkurap secara teratur. Pasien harus
menghabiskan setidaknya 20 menit setiap hari di perut mereka untuk
meregangkan hip fleksor. Posisi tengkurap juga mengurangi tekanan pada
tuberositas ischia dan dapat memberikan aerasi ke bokong.

Heterotopic Ossification
Pengerasan heterotopik adalah komplikasi sekunder potensial lainnya.
Tulang dapat terbentuk di jaringan lunak di bawah tingkat cedera. Biasanya,
tulang heterotopik berkembang berdekatan dengan sendi besar ekstremitas bawah
seperti hip atau knee. Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa penyebab
potensial seperti hipoksia jaringan, metabolisme kalsium abnormal, dan trauma
lokal. Tanda-tanda klinis osifikasi heterotopik meliputi keterbatasan gerak,
pembengkakan, kehangatan, dan nyeri, demam mungkin ada atau mungkin tidak.
Penatalaksanaan kondisi ini memerlukan intervensi farmakologis dengan
etidronate (Didronel), latihan ROM untuk mempertahankan rentang yang tersedia,
dan reseksi bedah jika pasien memiliki keterbatasan yang signifikan. Sekitar 20 %
pasien dengan osifikasi heterotopik mengalami ankilosis sendi.

Deep Vein Thrombosis


Perkembangan deep vein thrombosis adalah komplikasi yang umum dan
mengancam jiwa. Risiko tampaknya paling besar selama 2 bulan pertama setelah
cedera. Karena pasien sering tidak bergerak dan rapuh secara medis selama
periode ini, antikoagulan profilaksis seperti wartarin oral (coumadin) atau heparin
intravena dapat digunakan untuk beberapa bulan pertama setelah cedera untuk
mencegah pembekuan darah. Program yang terjadwal secara teratur dan
mobilisasi dini, termasuk duduk di tempat tidur dan dipindahkan ke kursi roda,
penting untuk mencegah pengumpulan vena. Dukungan elastis dan perangkat
kompresi berurutan untuk ekstremitas bawah juga dapat diresepkan untuk
membantu pasien dengan pengembalian vena.

Osteoporosis dan Renal Calculi


Osteoporosis dan batu ginjal dapat dilihat setelah SCI karena perubahan
metabolisme kalsium. Sebagai konsekuensi dari penurunan peluang weight
bearing, terjadi demineralisasi tulang. Kalsium dari tulang diserap ke dalam darah
dan disimpan di ginjal, membentuk batu ginjal. Mobilisasi dini, terapi berdiri,
pemberian suplemen kalsium, dan manajemen diet yang baik dapat
meminimalkan perkembangan komplikasi potensial ini.

Gangguan Pernafasan
Komplikasi serius dan kadang-kadang mengancam hidup dapat
berkembang sebagai akibat dari penurunan kemampuan pernapasan pasien.
Komplikasi ini berkembang sebagai respons terhadap penurunan persarafan otot-
otot respirasi dan imobilitas. Diafragma, dipersarafi oleh akar saraf cervical C3
hingga C5, adalah otot utama inspirasi. Oleh karena itu, pasien dengan cedera
cervical yang tinggi dapat kehilangan kemampuan untuk bernapas sendiri karena
kelumpuhan atau kelemahan otot diafragma. Otot interkostal eksternal membantu
inspirasi dan dipersarafi secara segmental mulai dari T1. Mereka bertindak untuk
mengangkat tulang rusuk dan meningkatkan dimensi rongga dada. Pasien dengan
paraplegia di bawah T12 memiliki persarafan interkostal eksternal dan harus dapat
menunjukkan pola pernapasan normal menggunakan dada dan diafragma secara
merata. Ini sering digambarkan sebagai two-chest two-diaphragm breathing
pattern. Perut adalah kelompok otot penting lainnya yang diperlukan untuk
respirasi. Otot-otot perut bagian atas dipersarafi oleh T7 hingga T9, dan perut
bagian bawah dipersarafi oleh segmen tulang belakang T9 sampai T11. Perut
diaktifkan ketika pasien mencoba ekspirasi yang kuat seperti pada batuk. Pasien
yang tidak dapat menghasilkan kekuatan otot dalam jumlah yang cukup akan
rentan terhadap akumulasi sekresi bronkial. Hal ini dapat menyebabkan
pneumonia pada banyak individu. Kelemahan pada otot-otot respirasi juga dapat
menyebabkan upaya inspirasi menurun dan penurunan kemampuan pasien untuk
mentolerir latihan, suatu faktor yang akhirnya mempengaruhi daya tahan untuk
kegiatan fungsional.
Berbagai intervensi digunakan untuk meminimalkan efek gangguan fungsi
pernapasan. Ini termasuk aklimatisasi awal untuk posisi tegak, korset dan pengikat
perut untuk membantu memposisikan isi perut, teknik batuk yang dibantu
diajarkan kepada pasien dan perawat, penguatan diafragma, dan teknik spirometri
insentif.

Disfungsi Kandung Kemih dan Usus


Disfungsi kandung kemih dan usus dapat dianggap sebagai temuan klinis
atau komplikasi SCI. Pasien dengan SCI sering mengalami kesulitan dengan
fungsi ini. Kandung kemih dipersarafi oleh segmen sakral bawah, khususnya S2
hingga S4. Selama periode syok tulang belakang, kandung kemih lemah atau
areflexic. Setelah syok tulang belakang berakhir, dua situasi mungkin dapat
terjadi, tergantung pada lokasi cedera. Jika cedera pasien di atas S2, refleks sakral
tetap utuh, dan pasien dikatakan memiliki refleks atau kandung kemih spastik.
Dalam kondisi ini, kandung kemih mengosongkan secara refleks ketika tekanan di
dalamnya mencapai tingkat tertentu. Pasien dapat menerapkan teknik stimulasi
kulit khusus pada daerah suprapubik untuk membantu pengosongan kandung
kemih. Jika cedera pasien adalah cauda equina atau conus medullaris, pasien
dikatakan memiliki kandung kemih non refeksif atau lembek. Busur refleks sakral
tidak utuh, dan dengan demikian kandung kemih tetap lembek, membutuhkan
pengosongan manual pada periode waktu yang telah ditentukan.
Program pelatihan kandung kemih adalah komponen penting dari program
rehabilitasi pasien. Kateterisasi yang terputus-putus, timed voiding programs, dan
stimulasi manual dapat digunakan untuk mengosongkan kandung kemih dan dapat
memungkinkan pasien bebas kateter.
Pembentukan program buang air besar yang teratur juga merupakan
bagian dari rencana perawatan komprehensif pasien. Pasien sering ditempatkan
pada jadwal evakuasi usus yang teratur. Diet tinggi serat, asupan cairan yang
cukup, penggunaan pelunak feses, dan stimulasi manual atau evakuasi dapat
disarankan untuk membantu pasien dalam pembentukan program usus.
Tim rehabilitasi perlu mengetahui jadwal pasien untuk pelatihan kandung
kemih dan usus. Terapi tidak boleh dijadwalkan pada waktu yang ditentukan
untuk kegiatan ini.

Disfungsi Seksual
Kekhawatiran umum yang diungkapkan oleh pasien setelah SCI adalah
dampak dari cedera pada hubungan seksual. Seperti yang dinyatakan sebelumnya,
fungsi fisik tergantung pada tingkat motorik pasien. Laki-laki dengan cedera
neuron motorik atas berpotensi ereksi refleks jika busur refleks sakral tetap utuh.
Kemampuan ejakulasi terbatas untuk pasien dengan cedera neuron motorik atas
dan bawah. Sebelumnya, pria mengalami masalah signifikan dengan kesuburan.
Wanita dengan SCI terus mengalami menstruasi dan dengan demikian dapat
hamil. Wanita yang hamil dan siap untuk melahirkan sering dirawat di rumah
sakit sebagai tindakan pencegahan, karena mereka mungkin tidak dapat
merasakan kontraksi rahim yang akan menunjukkan bahwa mereka dalam proses
persalinan.
Fisioterapis (PT) dan asisten fisioterapis (PTA) harus merasa nyaman
mendiskusikan informasi ini dengan pasien mereka. Karena waktu yang kita
habiskan bekerja dengan pasien, pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku
seksual dapat diarahkan. Kita harus menjawab pertanyaan dengan jujur dan
akurat. Jika anda merasa tidak nyaman menerjunkan jenis pertanyaan ini, anda
perlu merujuk pasien ke seseorang yang bisa.

Spastisitas
Spastisitas adalah gejala sisa umum SCI. Prevalensi spastisitas lebih tinggi
pada pasien dengan cedera cervical dan incomplete. Penelitian menunjukkan
bahwa peningkatan tonus adalah hasil dari pengaruh residual dari pusat
supraspinal (korteks, nukleus merah, sistem reticular, dan nukleus vestibular) pada
medula spinalis dan modulasi jalur spinal yang tidak efektif. Spastisitas juga lebih
besar pada pasien yang mengalami komplikasi signifikan dan multipel. Para
peneliti telah menunjukkan bahwa rangsangan berbahaya cenderung
memperburuk tonus otot abnormal. Dalam kebanyakan kasus, PTs dan PTA
memfokuskan pengobatan pada cara-cara untuk mengurangi atau meminimalkan
efek dari tonus otot yang abnormal. Namun, dalam beberapa kasus, peningkatan
tonus otot dapat bermanfaat bagi pasien. Spastisitas dapat membantu menjaga
massa otot, mencegah atrofi, dan membantu dalam pemeliharaan sirkulasi.
Spastisitas juga dapat membantu pasien dalam melakukan kegiatan fungsional
termasuk transfer, mobilitas dasar tempat tidur, dan berdiri ketika pasien memiliki
persarafan yang memadai dan kontrol trunk yang cukup. Selain itu, spastisitas
dapat memberikan peningkatan tonus pada sfingter anal, tonus dapat membantu
pasien dalam program usus.
Manajemen spastisitas dapat menjadi tantangan. Pada saat ini, tidak ada
perawatan medis yang sepenuhnya menghilangkan efek tonus abnormal yang
tersedia. Dokter dapat merekomendasikan banyak intervensi untuk membantu
pasien. Penghapusan rangsangan atau faktor-faktor yang berkontribusi pada
peningkatan masukan sensorik adalah bermanfaat. Intervensi terapi fisik dapat
mencakup penentuan positioning, static stretching, weight bearing, cryotherapy,
aquatics, dan functional electrical stimulation. Intervensi farmakologis mungkin
diperlukan untuk beberapa pasien dengan tonus abnormal yang signifikan. Obat
oral yang paling umum diresepkan termasuk baclofen (Lioresal), diazepam
(Valium), clonidine (Catapres), dan dantrolene sodium (Dantrium). Semua obat-
obatan ini telah mendokumentasikan efek samping, termasuk sedasi, penurunan
perhatian dan memori, hipotensi, dan berkurangnya kekuatan dan koordinasi otot.
Pasien sering mencoba obat ini dan kemudian menghentikan penggunaannya
karena efek samping yang merugikan.
Intrathecal baclofen pumps dan injeksi botulisme adalah bentuk lain dari
perawatan untuk spastisitas. Dengan pompa intratekal, pompa dan kateter kecil
ditanamkan secara subkutan ke dinding perut pasien. Baclofen kemudian dikirim
langsung ke ruang subarachnoid dari spinal cord, sehingga mengurangi dosis yang
dibutuhkan dan beberapa efek samping. Baclofen telah ditemukan lebih efektif
dalam mengurangi tonus ekstremitas bawah dibandingkan dengan tonus
ekstremitas atas karena penempatan kateter. Botulinum toxin A disuntikkan
langsung ke otot spastik. Neurotoksin ini menghambat pelepasan asetilkolin di
persimpangan neuromuskuler, sehingga menyebabkan kelumpuhan otot
sementara.
Intervensi bedah adalah jenis manajemen akhir tonus abnormal.
Neurektomi, rhizotomi, mielotomi, tenotomi, dan blok saraf dan motorik dapat
diberikan untuk membantu pasien dengan manajemen tonus abnormal.
Neurektomi adalah eksisi bedah pada segmen saraf. Rhizotomi adalah prosedur
pembedahan di mana akar dorsal atau sensorik saraf tulang belakang direseksi.
Pada mielotomi, traktat dalam medula spinalis terputus. Tenotomi adalah
pelepasan tendon melalui pembedahan. Blok saraf dilakukan dengan fenol yang
dapat disuntikkan dan mengurangi spastisitas untuk sementara waktu (3 hingga 6
bulan).

HASIL FUNGSIONAL
Hasil fungsional pasien setelah SCI tergantung pada banyak faktor. Umur,
jenis cedera, tingkat cedera, fungsi motorik dan sensorik yang dipertahankan,
status kesehatan umum pasien sebelum cedera, pembentukan tubuh, sistem
pendukung, keamanan finansial, motivasi, dan sifat-sifat kepribadian yang sudah
ada sebelumnya semua memainkan peran dalam hasil akhir pasien.

Key Muscle by Segmental Innervation


Sebelum kita dapat mulai berbicara tentang kemampuan fungsional pada
individu dengan SCI, kita harus meninjau otot-otot utama dan tindakan mereka.
Persarafan kelompok otot utama memungkinkan pasien untuk mencapai tingkat
keterampilan fungsional dan kemandirian tertentu. Tabel 12-4 menyoroti otot-otot
utama di setiap level tulang belakang.

Tugas 12-4 Key Muscles by Segmental Innervation


Spinal level Otot
C1 – C2 Facial muscles, partial sternocleidomastoid, capital muscles
C3 Sternocleidomastoid, partial diaphragm, upper trapezius
C4 Diaphragmatic, partial deltoid, sternocleidomastoid, upper trapezius
C5 Deltoid, biceps, rhomboids, brachioradialis, teres minor, infraspinatus,
serratus anterior
C6 Extensor carpi radialis, pectoralis major (clavicular portion), teres major,
supinator, serratus anterior, weak pronator
C7 Triceps, flexor carpi radialis, latissimus, pronator teres
C8 Flexor carpi ulnaris, extensor carpi ulnaris; patient may have some hand
intrinsics
T1 – T8 Hand intrinsics, top half of the intercostals, pectoralis major (sternal
portion)
T7 – T9 Upper abdominals
T9 – T12 Lower abdominals
T12 Lower abdominals, weak quadratus lumborum
L2 Iliopsoas, weak sartorius, weak adductors, weak rectus femoris
L3 Sartorius, rectus femoris, adductors
L4 Gluteus medius, tensor fascia latae, hamstrings, tibialis anterior
L5 Weak gluteus maximus, long toe extensors, tibialis posterior
S1 Gluteus maximus, ankle plantar flexors (gastrocnemius, soleus)
S2 Anal sphincter

Potensi Fungsional
Setiap level motorik berturut-turut memberi pasien potensi untuk fungsi
yang lebih besar. Kekuatan otot setidaknya harus ada untuk melakukan aktivitas
fungsional. Tabel 12-5 memberikan ulasan potensi fungsional berdasarkan
inervasi motorik pasien dan keterbatasan yang dihadapi karena penurunan
kekuatan otot atau rentang gerak. Penjelasan tentang setiap level dan potensi
pasien untuk pencapaian aktivitas fungsional disediakan.
Tabel 12-5 Potensi Fungsional untuk Pasien dengan Cedera Tulang Belakang
Level Muscles Present Potential Limitations
Di atas C4 C1 – C2: Facial  Kapasitas vital 20% - 30% dari  Bergantung pada
muscles normal ventilator
C3:  Kekuatan bersandar pada kursi  Bergantung pada
Sternocleidomastoid, roda dengan kontrol napas atau semua ADL
Upper Trapezius kontrol dagu dan ventilator  Bergantung pada
portabel bantuan tekanan
 Diperlukan petugas full time  Bergantung pada
 Kemampuan untuk transfer
mengarahkan perawatan secara
verbal
 Gunakan unit kontrol
lingkungan dengan bantuan
C4 Diafragma  Kapasitas vital 30% - 50% dari  Tidak ada
Upper Trapezius normal persarafan
 Kursi roda listrik dengan mouth ekstremitas atas
stick atau kontrol dagu 30° dari  Bergantung pada
gerakan cervical diperlukan transfer
untuk menggerakkan kursi roda  Bergantung pada
dengan kontrol dagu semua ADL
 Bantuan maksimal untuk bed
mobility
 Penghilang tekanan dengan
independen
 Kursi roda listrik bersandar
 Diperlukan petugas full time
 Kemampuan untuk
mengarahkan perawatan secara
verbal
 Penggunaan unit kontrol
lingkungan
C5 Deltoid  Kapasitas vital 40% - 60% dari  Hanya memiliki
Biceps normal fleksor elbow,
Rhomboids  Kekuatan kursi roda dengan rentan terhadap
Lateral Rotators kontrol tangan kontraktur fleksi
(Teres Minor &  Kursi roda manual dengan rim elbow
Infraspinatus) projections  Harus
 Bantuan sedang untuk bed mempertimbangk
mobility an persyaratan
 Bantuan maksimum dengan energi dan waktu
transfer (sliding board or sit untuk
pivot) penyelesaian

 Peningkatan forward yang kegiatan

independen untuk
menghilangkan tekanan dengan
loop yang melekat pada bagian
belakang kursi roda
 Kemungkinan mandiri dengan
beberapa aktivitas perawatan
diri dengan peralatan adaptif
(wrist splints)
 Dibutuhkan petugas untuk
pengaturan kegiatan
 Penggunaan unit kontrol
lingkungan
C6 Extensor Carpi  Kapasitas vital 60% -80% dari Tidak ada ekstensi
Radialis normal elbow atau fungsi
Pectoralis Mayor  Berguling secara independen tangan (pasien
(Clavicular portion)  Bantuan melalui rentan
tekanan terhadap
Teres Major perubahan berat badan secara kontraktur)
independen
 Sliding board transfers secara
independen
 Menggerakkan kursi roda
manual dengan rim projections
secara independen
 Makan dengan peralatan adaptif
secara independen
 Membalut ekstremitas atas
secara independen,
membutuhkan bantuan untuk
ekstremitas bawah
 Kemampuan mengendarai
mobil dengan kontrol tangan
 Mungkin untuk liburan di luar
rumah
 Mampu memegang dengan
flexor hinge splint
 Kemungkinan dibutuhkan
perawatan A.M dan P.M
 Bantuan diperlukan untuk
transfer toilet
C7 Triceps  Kapasitas vital 80% normal  Tidak ada otot
Latissimus dorsi  Mungkin untuk hidup mandiri jari
Pronator teres  Bantuan tekanan melalui push  Transfer ke lantai
up lateral secara independen membutuhkan
 Gerak ROM ekstremitas bawah bantuan moderat
secara mandiri atau maksimum

 Independent transfers,  Kebutuhan


wheelchair propulsion, pressure bantuan untuk
relief, and upper and lower kursi roda yang
extremity dressing benar
C8 Flexor carpi ulnaris  Potensi yang sama sebagai  Beberapa fungsi
Extensor carpi individu di C7 tangan intrinsik
ulnaris  Hidup mandiri  Menulis,
Hand intrinsics  Negosiasi trotoar 2 hingga 4 kegiatan
inci di kursi roda koordinasi
 Wheelies di kursi roda motorik halus
bisa jadi sulit
 Bantuan dengan
transfer lantai
T1 – T8 Hand intrinsics  Independen dalam propulsi  Tidak ada fungsi
Top half of kursi roda manual pada semua otot perut bagian
intercostals level dan permukaan (trotoar 6 bawah
Pectoralis major inci)  Bantuan minimal
(sternal portion)  Ambulasi terapi dengan orthosis untuk mandiri
di palang sejajar (T6-T8) dengan transfer
lantai dan
memperbaiki
kursi roda
T9 – T11 Abdominals  Mobilitas kursi roda secara Tidak ada fungsi
independen fleksor hip
 Ambulasi terapi dengan orthosis
dan alat bantu T10 kapasitas
vital 100%
T12 – L2 Quadratus  Household ambulation Tidak ada fungsi
lumborum  Independen dalam berdiri dan quadriceps
ambulasi dengan orthosis
L3 – ke L3 : Iliopsoas dan  Community ambulation dengan Tidak ada fungsi
bawah rectus orthosis gluteus maximus
L4 – L5 Quadriceps, medial  Community ambulation; -
hamstrings mungkin hanya membutuhkan
orthosis kaki dan tongkat untuk
ambulasi
S1 – S2 S1 : Plantar flexor,  Ambulasi dengan artikulasi Hilangnya fungsi
Gluteus Maximus orthosis kaki usus dan kandung
S2 : Anal sphincter kemih

C1 hingga C3
Seorang pasien dengan cedera di atas C4 memiliki persarafan otot terbatas.
Karena diafragma hanya dipersarafi secara minimal oleh C3, sebagian besar
pasien dengan cedera pada level ini kemungkinan membutuhkan ventilasi
mekanik. Namun, beberapa pasien dengan cervical yang tinggi mungkin dapat
mentolerir stimulasi listrik pada saraf frenikus (pacu saraf frenikus). Stimulasi
pada saraf frenikus menyebabkan diafragma berkontraksi, sehingga mengurangi
ketergantungan pasien pada ventilasi mekanis. Pasien dengan cedera di C1 hingga
C3 membutuhkan petugas full time dan akan sepenuhnya tergantung pada semua
ADL. Kursi roda listrik dengan fitur berbaring akan diperlukan untuk mengurangi
tekanan dan istirahat. Pasien harus memiliki dukungan napas yang memadai atau
rentang gerak leher untuk mengoperasikan kursi roda listrik dengan mekanisme
sip-and-puff atau dengan chin cup. Dengan unit sip-and-puff, pasien menghirup
atau meniup ke dalam sedotan yang dipasang di depan wajahnya untuk
memberikan rangsangan bagi kursi roda untuk bergerak. Beberapa pasien
mungkin dapat menggunakan chin cup. Perangkat ini mengharuskan pasien
memiliki setidaknya 30 derajat gerakan cervical aktif. Pasien dengan cedera pada
C1 hingga mayor C3 mungkin tidak memiliki rentang gerak aktif yang memadai
di tulang belakang leher. Kemajuan teknologi telah meningkatkan kemampuan
semua pasien dengan SCI, terutama mereka yang mengalami cedera pada tingkat
yang lebih tinggi. Unit kontrol lingkungan yang dapat dioperasikan dari kursi roda
memungkinkan beberapa pasien meningkatkan kontrol atas rumah dan lingkungan
kerja mereka. Unit kontrol ini dapat dihubungkan dengan komputer pribadi
seseorang dan dapat mengoperasikan peralatan, lampu, dan sebagainya.

C4
Seorang pasien dengan cedera tingkat C4 kemungkinan memiliki
persarafan diafragma. Ini memiliki implikasi fungsional yang signifikan karena itu
berarti seorang pasien mungkin tidak harus bergantung pada ventilator. Kapasitas
vital pasien dengan persarafan diafragma masih sangat menurun. Individu pada
level ini harus dapat mengoperasikan kursi roda listrik menggunakan dagu,
kontrol dagu, atau stik mulut. Pasien masih harus memiliki rentang gerak yang
cukup untuk menggerakkan kursi roda dengan kontrol dagu. Unit kontrol
lingkungan juga dapat diresepkan untuk pasien ini. Individu dengan persarafan C4
terus membutuhkan petugas full time karena mereka sepenuhnya bergantung pada
semua transfer dan ADL.

C5
Pasien dengan persarafan C5 memiliki beberapa kemampuan fungsional.
Seorang pasien dengan persarafan C5 memiliki fungsi deltoid, biseps, dan
rhomboid. Namun, meskipun otot-otot ini dipersarafi pada tingkat ini, mereka
mungkin tidak memiliki kekuatan normal. Setiap pasien memiliki kemampuan
motorik yang berbeda, dan PT harus memeriksa fungsi otot secara menyeluruh.
Karena persarafan key muscle, seorang pasien dengan persarafan di C5 harus
dapat fleksi dan abduksi shoulder, fleksi elbow, dan adduksi scapula. Kemampuan
untuk fleksi dan abduksi shoulder berarti bahwa pasien akan dapat mengangkat
lengannya untuk membantu menggulung dan juga dapat membawa tangannya ke
mulut. Namun, dia tidak dapat ekstensi elbow karena trisep tidak dipersarafi.
Pasien akan dapat mengoperasikan kursi roda listrik dengan kontrol tangan.
Beberapa pasien dapat menggerakkan kursi roda manual dengan proyeksi pelek.
Meskipun propulsi kursi roda manual dimungkinkan, orang harus
mempertimbangkan biaya energi tinggi yang terkait dengan kegiatan ini. Untuk
alasan ini, kursi roda listrik sering diresepkan untuk pasien dengan persarafan
pada tingkat ini.
Individu dengan persarafan C5 mungkin dapat mandiri dengan beberapa
kegiatan perawatan diri, tetapi pasien akan memerlukan pengaturan kegiatan oleh
petugas atau anggota keluarga. Pasien juga perlu menggunakan peralatan adaptif,
termasuk bidai dan perangkat ADL bawaan, untuk melakukan kegiatan perawatan
diri. Pengalaman kami telah menunjukkan bahwa walaupun pasien mungkin dapat
melakukan aktivitas perawatan mandiri secara independen setelah pemasangan,
waktu dan energi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas seringkali terlalu
besar untuk melanjutkan kinerja secara teratur. Individu dengan persarafan di
level C5 dapat memberikan bantuan minimal dengan sliding board transfers dari
kursi roda mereka. Mereka dapat melakukan pelepasan tekanan independen
dengan mencondongkan tubuh ke depan di kursi roda atau dengan melilitkan
salah satu kaki mereka di atas pegangan dorong di bagian belakang kursi roda dan
melakukan pergantian bobot. Rhomboids menyediakan stabilisasi skapula terbatas
untuk kegiatan perawatan mandiri ekstremitas atas dan untuk mengasumsikan
posisi fungsional seperti rentan pada siku dan duduk lama dengan extended arm
support.

C6
Pasien dengan persarafan C6 memiliki beberapa kemampuan fungsional
yang lebih besar. Karena persarafan ekstensor pergelangan tangan, pektoralis
mayor, dan teres mayor, pasien pada level ini dapat mandiri dengan rolling,
feeding, dan berpakaian ekstremitas atas. Pasien harus dapat menggerakkan kursi
roda manual secara independen dengan proyeksi pelek, dan ada potensi bagi orang
tersebut untuk mandiri dengan sliding board transfers. Pasien mungkin
memerlukan bantuan di pagi dan malam hari dengan kegiatan perawatan diri, dan
beberapa pasien membutuhkan bantuan untuk transfer, terutama ke toilet. Bantuan
juga diperlukan untuk berpakaian ekstremitas bawah. Kemampuan untuk
mengendarai kendaraan bermotor dengan kontrol adaptif dan pekerjaan yang
menguntungkan di luar rumah dimungkinkan bagi individu dengan persarafan di
tingkat ini.

C7
Seorang individu dengan cedera C7 memiliki potensi untuk hidup mandiri
karena pasien pada tingkat ini memiliki persarafan trisep. Dengan kekuatan trisep,
pasien dapat menggunakan ekstremitas atasnya untuk mengangkat dirinya selama
pemindahan. Selain itu, orang tersebut akan dapat melakukan push-up kursi roda
untuk menghilangkan tekanan. Kemandirian dalam kegiatan perawatan diri
dimungkinkan, termasuk berpakaian ekstremitas atas dan bawah. Seseorang harus
mandiri dalam transfer kursi roda ke tempat tidur atau tikar, pertama dengan
sliding board dan akhirnya tanpa menggunakan papan. Kemampuan fungsional
tambahan termasuk kemandirian dengan pelepasan tekanan, gerak mandiri ke
ekstremitas bawah, dan pengoperasian kendaraan bermotor standar dengan kontrol
tangan yang disesuaikan.
C8
Dengan persarafan di C8, seorang pasien dapat hidup mandiri. Seorang
individu dapat melakukan semua yang dapat diselesaikan oleh pasien dengan
persarafan pada level C7. Dengan penambahan beberapa kontrol jari yang
meningkat, pasien mungkin juga dapat melakukan wheelies dan negosiasi trotoar
2 hingga 4 inci di kursi roda.

T1 hingga T8
Kami melihat kemampuan individu dengan persarafan T1 hingga T8
sebagai sebuah kelompok. Dengan peningkatan motorik kembali di daerah toraks,
pasien menunjukkan kontrol trunk dan kemampuan bernapas yang meningkat
karena meningkatnya persarafan intercostals. Individu dapat mengoperasikan
kursi roda manual di semua tingkatan dan permukaan dan harus dapat
memindahkan ke dan dari kursi roda ke lantai. Pasien dengan persarafan pada
level T1 hingga T8 juga dapat menjadi kandidat untuk posisi fisiologis dan
ambulasi terapi terbatas pada bar paralel dengan bantuan fisik dan orthosis. Terapi
ambulasi didefinisikan sebagai berjalan untuk manfaat fisiologis yang diberikan
oleh berdiri dan berat badan.

T9 hingga T12
Pasien dengan persarafan pada level T9 hingga TI2 memiliki kemampuan
yang mirip dengan yang disebutkan untuk individu dengan fungsi T1 hingga T8.
Persarafan otot perut bagian bawah membantu pasien dengan fungsi pernapasan
karena pasien dapat memulai batuk. Ambulasi terapi dan ambulasi di rumah
dengan orthosis dan alat bantu dapat dilakukan.

L1 hingga L3
Otot-otot lower trunk dipersarafi pada level L1, fleksor pinggul dipersarafi
pada L2, dan paha depan sebagian dipersarafi oleh L3. Kehadiran persarafan
ekstremitas bawah meningkatkan kapasitas pasien untuk kegiatan ambulasi.
Pasien dengan persarafan pada level ini harus mandiri dalam ambulasi rumah
tangga dan dapat menjadi mandiri dalam ambulasi komunitas di tingkat L3.
Diperlukan orthosis lutut atau pergelangan kaki.

L4 dan L5
Pasien dengan cedera pada level L4 dan L5 harus independen dengan
semua aktivitas fungsional, termasuk gaya berjalan. Orang-orang ini dapat
berjalan di masyarakat dengan beberapa jenis alat bantu dan alat bantu.

INTERVENSI FISIOTERAPI : PERAWATAN AKUT


Manajemen perawatan akut pasien dengan SCI berpusat di sekitar tujuan
berikut:
1. Pencegahan kontraktur dan deformitas sendi
2. Peningkatan fungsi otot dan pernapasan
3. Aklimatisasi pasien ke posisi tegak
4. Pencegahan komplikasi sekunder
Pemeriksaan terapi fisik awal pasien mencakup informasi tentang fungsi
pernapasan pasien, kekuatan otot, tonus otot, aktivitas refleks, status kulit, fungsi
jantung, dan keterampilan mobilitas fungsional. PT mengembangkan rencana
perawatan untuk mengatasi gangguan primer dan keterbatasan fungsional pasien.
Pada tahap awal ini, intervensi fokus pada latihan pernapasan, latihan penguatan
selektif, rentang gerak, pelatihan mobilitas fungsional, kegiatan untuk
meningkatkan toleransi pasien terhadap posisi tegak, serta edukasi pasien dan
keluarga.
Seorang pasien dengan cedera cervical atau toraks mungkin tidak segera
menjalani stabilisasi bedah; oleh karena itu, PT dapat terlibat dalam perawatan
pasien di unit perawatan intensif. Setiap pasien dengan tulang belakang yang tidak
stabil harus dinilai dengan hati-hati oleh dokter untuk kelayakan persarafan terapi
fisik. Karena keparahan kondisi pasien dan potensi respons pasien yang tidak
dapat diprediksi, yang terbaik adalah pasien dirawat oleh PT pada tahap ini.
Perawatan bersama dengan PTA atau anggota tim trauma lain mungkin tepat.
Breathing Exercise
Latihan yang dilakukan pada tahap akut harus menekankan pada
memaksimalkan fungsi pernapasan. Banyak hal tergantung pada tingkat
persarafan otot pasien saat ini. Untuk pasien dengan persarafan antara C4 dan T1,
penekanannya adalah pada peningkatan kekuatan dan efisiensi diafragma. Pasien
-pasien ini memiliki fungsi diafragma dan sering menunjukkan pola pernapasan
diafragma. Jika diafragma lemah, penggunaan otot akesoris seperti
sternokleidomastoid dan skalenus mungkin jelas. Cara yang baik untuk menilai
fungsi pernapasan adalah dengan melihat area epigastrik dan mengawasi kenaikan
epigastrik. Pergerakan berlebihan dari daerah perut menunjukkan bahwa
diafragma berfungsi. PTA dapat menempatkan tangan di atas area ini untuk
menentukan berapa banyak gerakan yang sebenarnya terjadi, seperti yang
digambarkan pada Gambar 12-7.

GAMBAR 12-7. Penempatan tangan untuk pernapasan diafragma.


Jika pasien mengalami kesulitan, peregangan cepat diterapkan sebelum
diafragma diaktifkan dapat membantu memfasilitasi respons. Jika pasien dapat
memindahkan area epigastrium setidaknya 2 inci, kekuatan diafragma dikatakan
baik. Untuk memperkuat otot ini bahkan lebih, asisten dapat menerapkan
resistensi manual selama fase inspirasi pernapasan. Jika pasien mampu menahan
diafragma selama inspirasi, kekuatan otot dianggap baik. Perawatan harus diambil
untuk mengukur jumlah resistensi manual yang digunakan. Pada awalnya, pasien
mungkin mengalami kesulitan bernafas sebagai konsekuensi dari kelemahan
diafragma. Selain itu, kelelahan otot pernapasan dapat menjadi jelas. Pengamatan
daerah leher dapat memberikan dokter informasi tentang penggunaan otot
aksesori. Pasien sering menggunakan otot tambahan secara ekstensif ketika
diafragma lemah. Kontraksi yang terlihat dari sternocleidomastoids, skalenus, atau
platysma menunjukkan penggunaan otot tambahan.

Glossopharyngeal Breathing
Pasien dengan cedera pada tingkat C1 hingga C3 dan beberapa pasien
dengan cedera pada C4 memerlukan ventilasi mekanis. Pasien-pasien ini perlu
diajari teknik untuk membantu kemampuan mereka untuk mentolerir periode
pernapasan pendek ketika mereka tidak menggunakan ventilator. Pernapasan
glossopharyngeal adalah teknik yang dapat diajarkan kepada pasien dengan
tetraplegia tingkat tinggi. Pasien menghirup udara dan menutup mulut. Pasien
mengangkat langit-langit mulut untuk menjebak udara. Mengucapkan kata "ah"
atau "oops" melakukan ini. Laring kemudian dibuka. Lidah memaksa udara
melalui laring terbuka dan masuk ke paru-paru. Teknik ini sangat bermanfaat jika,
untuk beberapa alasan, pasien perlu mematikan ventilator untuk waktu yang
singkat karena kegagalan peralatan, pemadaman listrik, atau keadaan yang tidak
terduga lainnya. Teknik ini memungkinkan pasien untuk menerima dukungan
napas yang memadai sampai ventilasi mekanik dapat dilanjutkan.

Lateral Expansion
Untuk pasien yang memiliki persarafan interkostal (T1 hingga T12),
ekspansi lateral atau pernapasan basilar harus ditekankan. Pasien didorong untuk
mengambil napas dalam-dalam ketika mereka mencoba memperluas dinding dada
secara lateral. PTA dapat menempatkan tangan mereka di dinding dada lateral
pasien dan dapat meraba jumlah gerakan yang ada. Resistensi manual akhirnya
dapat diterapkan ketika pasien mendapatkan kekuatan di otot-otot interkostal.
Perkembangan menjadi dua diafragma, dua pola pernapasan dada diinginkan.

Spirometri Insentif
Aktivitas lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi sistem
paru adalah spirometri insentif. Meniup botol di samping tempat tidur pasien
dapat mendorong pernapasan dalam. Pengukuran kapasitas vital pasien dapat
dilakukan dengan spirometer genggam. Kapasitas vital adalah jumlah udara
maksimum yang dikeluarkan setelah inhalasi maksimum. Pengukuran kapasitas
vital pasien dapat dilakukan selama rehabilitasi untuk mendokumentasikan
perubahan ventilasi. Pasien juga dapat diinstruksikan untuk memvariasikan
tingkat pernapasan mereka dan menahan napas sebagai sarana untuk
meningkatkan fungsi pernapasan.

Chest Wall Stretching


Spasticity dan muscle tightness dalam dinding dada dapat terjadi.
Peregangan dada manual dapat diindikasikan untuk meningkatkan ekspansi dada.
Asisten dapat menempatkan satu tangan di bawah tulang rusuk pasien dan yang
lainnya di atas dada. Dokter kemudian menyatukan tangan dalam jenis gerakan
meremas. Dokter bergerak secara segmental ke atas dada. Prosedur ini
dikontraindikasikan dengan adanya fraktur tulang rusuk. Intervensi 12-1
menggambarkan seorang dokter yang melakukan teknik ini.

Intervensi 12-1 Chest Wall Stretching


A. Posisi awal untuk manual chest sretching dengan satu tangan di bawah ribs pasien dan yang
lainnya di atas ribs pasien.
B. Posisi akhir tangan dokter setelah menerapkan gerakan wringing type ke dada pasien untuk
melakukan manual stretching.
C. Posisi tangan terakhir setelah dokter menaikan dada pasien untuk manual chest stretching
dengan tangan dokter di bagian atas dan bagian bawah clavikula pasien.

Drainase Postural
Drainase postur dengan perkusi dan vibrasi mungkin diperlukan untuk
membantu membersihkan sekresi. Banyak fasilitas mempekerjakan terapis
pernapasan yang bertanggung jawab untuk kegiatan ini. Namun, PT atau PTA
mungkin merupakan penyedia layanan kesehatan yang bertanggung jawab atas
kebersihan bronkial pasien (pengangkatan sekresi).
Terapi fisik memainkan peran penting dalam mengajarkan teknik batuk
yang dibantu pasien. Untuk pasien yang tidak memiliki persarafan perut, sangat
penting untuk mengidentifikasi cara di mana pasien dapat mengeluarkan sekresi.
Jika pasien tidak dapat melakukan teknik batuk ini secara mandiri, pengasuh atau
anggota keluarga harus diinstruksikan dalam teknik ini. Mempertahankan
kebersihan bronkial yang baik membantu dalam pencegahan komplikasi sekunder
seperti pneumonia.

Batuk
Batuk diklasifikasikan menjadi tiga kategori berlainan, berdasarkan pada
jumlah kekuatan yang dapat dihasilkan individu. Batuk fungsional adalah batuk
yang cukup kuat untuk membersihkan sekresi. Batuk fungsional yang lemah
menghasilkan kekuatan yang cukup untuk membersihkan saluran udara bagian
atas. Batuk non fungsional tidak efektif dalam membersihkan saluran udara dari
sekresi bronkial.

Teknik Batuk Dengan Berbantuan


Beberapa metode tersedia untuk membantu pasien dengan kemampuan
batuk. Tergantung pada status medis pasien, teknik ini dapat dimulai dalam
pengaturan perawatan akut atau selama fase awal rehabilitasi.
Teknik 1. Pasien menghirup 2 atau 3 kali, pada inhalasi kedua atau ketiga,
mencoba batuk. Tekanan intrathoracic diizinkan meningkat untuk memungkinkan
pasien menghasilkan kekuatan yang lebih besar untuk mengeluarkan sekresi.
Teknik 2. Pasien meletakkan lengannya di atas perutnya. Ketika pasien mencoba
batuk, pasien menarik ke bawah dengan ekstremitas atas untuk membantu
produksi paksa. Ini dapat dilakukan dalam posisi terlentang atau duduk. Teknik
ini juga dapat dimodifikasi dengan membuat pasien jatuh ke lututnya saat dia
berusaha batuk. Ini diilustrasikan dalam Intervensi 12-2, A.
Teknik 3. Pada posisi prone on elbow, pasien mengangkat pundaknya, extends
lehernya, dan menarik napas. Ketika pasien batuk, pasien menekuk lehernya ke
bawah dan bersandar ke sikunya.
Teknik 4. Jika pasien tidak mampu menguasai teknik batuk bantuan yang
disebutkan sebelumnya, asisten dapat membantu pasien dengan secretion
expulsion. Manuver Heimlich yang dimodifikasi dapat dilakukan dengan
menempatkan tangan asisten di perut pasien tepat di bawah tulang rusuk dan
memberikan resistensi dalam arah ke bawah dan ke atas untuk upaya batuk (lihat
Intervensi 12-2, B).

Intervention 12 – 2 Assistive Cough Techniques


A. Batuk manual sendiri oleh pasien.
B. Teknik batuk bantu yang diberikan oleh terapis.

Range of Motion
Latihan ROM merupakan komponen penting dari tahap awal rehabilitasi.
Untuk pasien dengan tetraplegia, stretching shoulder , elbow, wrists, dan finger
sangat penting. Seringkali, pasien dengan cedera cervical diimobilisasi dengan
halo yang membatasi kemampuan pasien untuk melakukan berbagai gerakan
shoulder secara aktif atau pasif. Rompi halo diletakkan di atas shoulder pasien dan
dengan demikian membatasi fleksi dan abduksi shoulder menjadi sekitar 90 o.
ROM shoulder berikut ini diperlukan untuk memaksimalkan fungsi pada pasien
dengan tetraplegia. Diperlukan sekitar 60o ekstensi shoulder dan 90o rotasi
eksternal shoulder. Pasien membutuhkan ekstensi shoulder untuk melakukan
transfer dari posisi terlentang ke posisi duduk lama. Eksternal rotasi shoulder
diperlukan agar pasien dapat melakukan elbow locking maneuver untuk
melakukan posisi duduk. Full ekstensi elbow juga harus dipertahankan untuk
memastikan bahwa pasien dapat menggunakan elbow locking untuk posisi duduk
lama dan untuk transfer. Pasien yang kekurangan persarafan pada triceps (pasien
dengan tetraplegia C5 dan C6) menggunakan mekanisme elbow locking untuk
meningkatkan potensi fungsionalnya.
Pronasi forearm yang memadai diperlukan untuk menyusui. Pasien yang
kekurangan fungsi jari membutuhkan ekstensi wrist 90o. Ketika seseorang
memanjangkan wrist, insufisiensi pasif menyebabkan spastisitas jari selanjutnya
yang disebut dengan tenodesis. Tenodesis dapat digunakan secara fungsional
memungkinkan pasien untuk memegang benda dengan built-up handles
menggunakan ekstensi wrist pasif atau aktif. Sebagai hasil dari fenomena fungsi
ini, peregangan kombinasi fleksor jari ekstrinsik dengan ekstensi wrist harus
dihindari. Jika fleksor jari meregang, pasien akan kehilangan kemampuan untuk
mencapai genggaman tenodesis. Duduk di atas tikar dengan tangan terbuka
meregangkan fleksor jari. Pasien harus didorong untuk mempertahankan sendi
interphalangeal proksimal dan sendi interphalangeal distal dalam fleksi. Regangan
berlebih pada thumb web space juga harus dihindari karena tightness pada
adduktor dan fleksor ibu jari memungkinkan ibu jari untuk menentang jari
pertama dan kedua selama tenodesis. Pasien kemudian dapat menggunakan ibu
jari sebagai pengait untuk aktivitas fungsional.
Setelah halo dilepas, dokter juga harus menghindari meregangkan
ekstensor cervical. Peregangan ekstensor cervical menyebabkan forward head
posture. Posisi kepala ini mengganggu keseimbangan duduk pasien dan dapat
membatasi kemampuan pernapasan pasien dengan menghambat penggunaan otot
tambahan.

Passive Range of Motion


Pasif ROM harus dilakukan pada ekstremitas bawah ketika paralisis.
Perhatian khusus harus diberikan pada hamstring. Jumlah fleksibilitas hamstring
pasif yang diinginkan diperlukan untuk mempertahankan posisi duduk lama dan
berpakaian ekstremitas bawah adalah 110o, meskipun jumlah rentang hamstring
yang diperlukan tergantung pada panjang ekstremitas atas dan bawah pasien. Saat
meregangkan ekstremitas bawah, asisten harus memastikan bahwa pelvis pasien
stabil sehingga gerakan berasal dari hamstring dan bukan dari low back. Beberapa
tightness pada otot-otot low back diperlukan karena ini membantu pasien rolling,
transfer, dan pemeliharaan posisi duduk. Tightness di low back memberi pasien
tingkat stabilitas trunk pasif tertentu. Selain itu, pemeliharaan punggung yang
"tight" dan adanya fleksibilitas hamstring yang memadai mencegah pasien
posterior pelvic tilt yang dapat menyebabkan masalah duduk dan tekanan sakral
ketika duduk di kursi roda.
Peregangan ekstensor hip, fleksor, dan rotator diperlukan karena gravitasi
dan peningkatan tonus dapat menyebabkan kontraktur. Rentang fleksi hip 100 o
diperlukan untuk melakukan transfer ke dan dari kursi roda. Pasien membutuhkan
45o eksternal rotasi hip untuk berpakaian ekstremitas bawah. Pada awal
rehabilitasi, mungkin atau tidak mungkin untuk memposisikan pasien dalam gerak
yang meregangkan fleksor hip karena gangguan pernapasan. Posisi tengkurap
dapat menghambat kemampuan diafragma untuk bekerja. Namun, segera setelah
pasien dapat mempertahankan posisi ini, itu harus dimulai. Peregangan plantar
fleksor ankle diperlukan untuk memberikan stabilitas pasif kaki selama transfer,
untuk memungkinkan posisi kaki yang tepat pada sandaran kaki wheelcha, dan
untuk memungkinkan penggunaan orthosis jika pasien akan rawat jalan. Tabel 12-
6 memberikan ulasan tentang persyaratan ROM pasif.

PERHATIAN: Jika cervical spine pasien tidak stabil, latihan ROM pasif shoulder
harus dibatasi hingga 90o fleksi dan abduksi, untuk menghindari kemungkinan
pergerakan vertebra cervical. Ketidakstabilan pada tulang belakang lumbar
mengharuskan fleksi hip pasif dibatasi hingga 90 o dengan fleksi knee dan 60o
dengan ekstensi knee. Setelah tulang belakang stabil, latihan ROM yang lebih
agresif dapat dimulai.

Strengthening Exercise
Latihan penguatan adalah komponen penting lain dari rehabilitasi pasien.
Selama fase akut, otot-otot tertentu harus diperkuat dengan hati-hati untuk
menghindari stres di lokasi fraktur dan kemungkinan kelelahan. Pada awalnya,
mungkin perlu dilakukan dalam posisi anti gravitasi karena kelemahan. Intervensi
12-3, A dan B, menggambarkan penguatan trisep pada posisi anti gravitasi.
Penerapan beban dapat dikontraindikasikan pada otot-otot skapula dan shoulder
pada pasien dengan tetraplegia dan pada otot-otot hip dan trunk pada pasien
dengan paraplegia, tergantung pada stabilitas lokasi fraktur. Ketika PT sedang
merancang program latihan pasien, latihan yang menggabungkan gerakan
ekstremitas atas bilateral bermanfaat. Sebagai contoh, latihan ekstremitas atas
bilateral yang dilakukan dalam bidang lurus atau pola fasilitasi neuromuskuler
proprioseptif menawarkan banyak keuntungan bagi pasien. Jenis-jenis latihan ini
dilakukan dengan lebih efisien dan mengurangi kekuatan asimetris yang dapat
diterapkan pada tulang belakang selama latihan ekstremitas atas. Key muscle yang
akan diperkuat untuk pasien-pasien dengan tetraplegia termasuk deltoids anterior,
shoulder ekstensor, dan bisep. Key muscle yang harus ditekankan untuk pasien
dengan paraplegia termasuk depresor shoulder, trisep, dan latissimus dorsi.
Selama tahap awal rehabilitasi ini, asisten dapat menggunakan beban
manual sebagai sarana utama untuk memperkuat otot yang melemah. Selain itu,
bobot velcro atau elastic band dapat digunakan (Intervensi 12-3, C dan D). Ketika
pasien berkembang, barang-barang ini dapat ditinggalkan di samping tempat tidur
pasien untuk memungkinkan pasien berolahraga di waktu lain di siang hari. Jika
anda memutuskan untuk meninggalkan salah satu item ini untuk pasien, pastikan
bahwa pasien dapat menerapkannya secara mandiri. Ketika seorang pasien
mengalami penurunan fungsi tangan, dapat mempersulit dalam penggunaan salah
satu alat tersebut. Latihan ekstremitas atas yang cukup ketat dapat dilakukan oleh
pasien dengan paraplegia. Barbel, peralatan olahraga (nautilus), beban bebas, dan
elastic band dapat digunakan untuk olahraga resistif.
Intervention 12 – 3 Triceps and Upper Extremity Strengthening
A dan B. Penguatan triceps dilakukan pada posisi anti gravitasi. Lengan pasien harus dijaga
dengan hati-hati. Kelemahan pada ekstremitas atas dapat menyebabkan tangan pasien melentur ke
wajahnya.
C. Menggunakan bobot velcro untuk resistensi tambahan selama penguatan triceps.
D. Menggunakan karet gelang untuk memperkuat bisep.
Acclimation to Upright
Selain melakukan latihan peregangan dan penguatan secara pasif, pasien
juga harus memulai aktivitas duduk. Karena cedera, pasien mungkin dalam posisi
terlentang selama beberapa hari atau minggu. Sebagai akibatnya, pasien mungkin
mengalami hipotensi ortostatik. Awalnya, perawatan dan terapi fisik dapat bekerja
untuk mengangkat kepala dari tempat tidur pasien. Seseorang harus memantau
tanda-tanda vital pasien selama pelaksanaan aktivitas duduk. Denyut nadi, tekanan
darah, dan laju pernapasan harus dicatat. Seperti yang dinyatakan sebelumnya,
tekanan darah pasien tidak boleh turun di bawah 80/50 mmHg dan perfusi ginjal
memadai. Jika pasien dapat mentolerir duduk dengan kepala tempat tidur
ditinggikan, pasien dapat berkembang menjadi duduk di kursi roda berbaring
dengan mengangkat sandaran kaki. Seringkali, pasien dipindahkan ke kursi roda
dengan draw sheet atau buckboard pada awalnya. Transfer ke dan keluar dari
tempat tidur rumah sakit seringkali sulit, berdasarkan ketinggian tempat tidur.
Karena pasien lebih bisa mentolerir duduk, waktu dan tingkat ketinggian dapat
ditingkatkan. Tilt table juga dapat digunakan untuk menyesuaikan pasien dengan
posisi tegak lurus (Gbr. 12-8).
Menurunkan berat badan pada ekstremitas bawah memiliki banyak
manfaat terapi, termasuk mengurangi efek osteoporosis, membantu fungsi usus
dan kandung kemih, dan mengurangi tonus otot abnormal yang mungkin ada.
Untuk membantu pasien mengatur tekanan darah selama kegiatan tegak ini,
mungkin perlu meminta pasien memakai pengikat perut, stocking elastis, atau
elastic wraps. Pengikat perut membantu menopang isi perut selama aktivitas
tegak dengan meminimalkan efek gravitasi. Bagian atas pengikat harus menutupi
dua tulang rusuk terendah, dan bagian bawah harus diletakkan di atas anterior
superior iliac spines pasien. Elastic wraps atau stoking elastis membantu
ekstremitas bawah dengan aliran balik vena tanpa adanya aksi otot rangka di
ekstremitas bawah. Pasien juga harus dimonitor secara hati-hati untuk
kemungkinan disreflexia otonom selama upaya awal ini pada posisi tegak.

GAMBAR 12-8. Tabel kemiringan digunakan untuk membantu pasien secara bertahap
membangun toleransi ke posisi tegak.

INTERVENSI FISIOTERAPI SELAMA REHABILITASI PASIEN


RAWAT INAP
Setelah pasien stabil secara medis, pasien kemungkinan akan dipindahkan
ke pusat rehabilitasi yang komprehensif. Selama fase pemulihan, penekanannya
adalah pada memaksimalkan potensi fungsional. Rata-rata lama rawat inap adalah
sekitar 44 hari. Kegiatan yang dimulai selama fase pemulihan akut berlanjut.
Intervensi fokus pada memaksimalkan fungsi pernapasan, ROM, positioning, dan
penguatan. Intervensi tambahan ditujukan untuk membantu pasien dalam
pengembangan kontrol motorik, ADL, dan peningkatan toleransi kardiovaskular
pasien untuk berolahraga.

Tujuan Terapi Fisik


Tujuan intervensi pada tahap ini banyak dan beragam. Banyak tergantung
pada tingkat persarafan pasien dan kemampuan otot yang dihasilkan. Contoh
tujuan untuk tahap pemulihan pasien ini adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kekuatan kelompok otot utama
2. Kemandirian dalam inspeksi kulit dan pengurangan tekanan
3. Peningkatan ROM pasif hamstring dan ekstensor shoulder
4. Peningkatan kapasitas vital
5. Meningkatkan toleransi terhadap posisi tegak di tempat tidur dan kursi roda
6. Kemandirian dalam transfer atau kemandirian dengan mengarahkan pengasuh
7. Kemandirian dalam mobilitas tempat tidur dan matras atau kemandirian
dengan mengarahkan pengasuh
8. Kemandirian daya dorong kursi roda pada permukaan yang rata
9. Kemandirian dalam pengoperasian kendaraan bermotor (jika perlu)
10. Kembali ke rumah, sekolah, dan bekerja
11. Kemandirian dalam kinerja program latihan di rumah
12. Edukasi pasien dan keluarga
Tujuan mengenai ambulasi mungkin sesuai, tergantung pada motivasi pasien,
tingkat motorik pasien, dan filosofi klinisi serta tim SCI.

Pengembangan Rencana Perawatan


PT utama bertanggung jawab untuk mengembangkan rencana perawatan
pasien. Selain penguasaan keterampilan fungsional, PT ingin mempromosikan
perilaku tertentu pada pasien. Pasien yang menderita SCI harus menjadi solvers
yang aktif. Pasien perlu menentukan cara bergerak menggunakan otot-otot
persarafan yang tersisa. Pasien juga perlu tahu apa yang harus dilakukan dalam
situasi darurat. Sebagai contoh, pasien dapat mengarahkan seseorang jika dia
jatuh dari kursi rodanya dan tidak dapat mentransfer kembali. Selama sesi
perawatan, tugas harus dipecah menjadi bagian komponen, dan asisten harus
memungkinkan pasien untuk menemukan solusi pada masalah gerakannya.
Pasien harus mempraktikkan aktivitas secara keseluruhan, tetapi juga harus
bekerja pada langkah - langkah menjelang aktivitas yang selesai. Contohnya
adalah mempraktikkan transisi dari posisi supine on elbows ke posisi duduk lama.
Pasien juga harus diajari bekerja secara terbalik. Setelah pasien mencapai posisi
akhir yang diinginkan, pasien harus berlatih melepaskan posisi itu dan kembali ke
posisi awal.
Pasien yang menderita SCI harus mengalami kesuksesan selama
rehabilitasi. Kegiatan harus dipilih yang memberikan peluang pada pasien untuk
berhasil. Tugas-tugas ini harus diselingi dengan kegiatan yang menantang dan
sulit. Kegiatan perawatan yang dipilih harus membantu pasien untuk
mengembangkan keseimbangan keterampilan antara berbagai postur dan tahapan
kontrol motorik. Pasien tidak perlu melakukan gerakan sempurna dalam satu set
postural sebelum mencoba sesuatu yang lebih menantang. Akhirnya, intervensi
dalam rencana perawatan harus bervariasi. Contoh dari beberapa komponen yang
berbeda dari rencana perawatan pasien yang mungkin termasuk pool therapy, mat
programs, aktivitas mobilitas fungsional, group activities, dan latihan penguatan.

Early Treatment Interventions


Mat Activities
Di awal perawatan, pasien harus melakukan rolling. Belajar untuk
melakukan ini secara mandiri dapat membantu dengan pencegahan pressure
ulcers. Saat pasien berlatih rolling, asisten juga dapat membantu pasien mencapai
posisi tengkurap. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, tengkurap adalah posisi
yang sangat baik untuk menghilangkan tekanan dan meregangkan fleksor hip. Jika
pasien menggunakan halo, akan sering diperlukan asisten untuk melakukan
rolling. Pre-positioning ganjalan di bawah dada pasien diperlukan ketika pasien
tengkurap. Jika pasien tidak menggunakan halo, rolling dapat difasilitasi dengan
cara berikut:
Langkah 1. Pasien harus fleksikan kepala dan lehernya dan rotasi kepalanya dari
kanan ke kiri.
Langkah 2. Dengan kedua ekstremitas atas memanjang di atas kepalanya (kira-
kira 90o fleksi shoulder), pasien harus menggerakkan ekstremitas atasnya
bersama-sama dari sisi ke sisi.
Langkah 3. Dengan momentum dan pada hitungan ketiga, pasien harus fleksi dan
rotasi kepalanya ke arah yang ia inginkan untuk rolling sambil melempar
lengannya ke arah yang sama.
Langkah 4. Agar lebih mudah bagi pasien, ankle pasien dapat disilangkan
sebelumnya. Pre-positioning ini memungkinkan ekstremitas bawah pasien untuk
bergerak lebih mudah. Untuk rolling ke kiri, anda akan membawa ankle kanan
pasien ke kiri. Intervensi 12-4 menggambarkan pasien yang sedang
menyelesaikan urutan rolling. Bobot manset yang diterapkan pada wrist pasien
dapat menambah momentum dan dapat memfasilitasi rolling.
Setelah pasien rolling dari posisi terlentang menjadi tengkurap, latihan
penguatan untuk otot skapular juga dapat dilakukan. Ekstensi, adduksi , dan
depresi dengan adduksi shoulder adalah tiga latihan umum yang dapat dilakukan
untuk memperkuat stabilisator skapula. Intervensi 12-5 menunjukkan pasien yang
melakukan jenis latihan ini.

Intervention 12-4 Rolling from Supine to Prone


A. Rolling dari terlentang ke tengkurap dapat difasilitasi dengan meminta pasien fleksikan
kepalanya dan menggunakan adduksi horizontal ekstremitas atas untuk momentum. Ekstremitas
bawah pasien harus disilangkan untuk menurunkan berat hip untuk membantu rolling.
B dan C. Dengan momentum dan pada hitungan ketiga, pasien harus fleksi dan rotasi kepalanya ke
arah rolling yang diinginkan sambil melemparkan lengannya ke arah yang sama.
Intervention 12 – 5 Scapular Strengthening
Latihan penguatan scapula dapet dilakukan pada posisi tengkurap.
Prone
Dari posisi tengkurap, pasien dapat mencoba untuk mengambil posisi
prone on elbows. Prone on elbows adalah posisi menguntungkan karena
memfasilitasi kontrol kepala dan leher, serta membutuhkan stabilitas proksimal
sendi glenohumeral dan otot skapula. Bagi pasien untuk mencapai prone on
elbows, PTA mungkin perlu membantu. Asisten dapat menempatkan tangannya di
anterior shoulder pasien dan menarik ke atas (Intervensi 12-6, A). Ketika dada
pasien terangkat, asisten harus menggerakkan tangannya ke posterior shoulder
pasien atau daerah skapular. Jika pasien ingin mencapai posisi itu secara
independen, pasien harus diinstruksikan untuk meletakkan elbownya di dekat
trunknya, tangan di dekat shouldernya. Pasien kemudian diinstruksikan untuk
mendorong elbow ke bawah sementara dia mengangkat kepalanya dan upper
trunk. Untuk menempatkan elbow di bawah shoulder, pasien perlu menggeser
berat badannya dari satu sisi ke sisi lain untuk menggerakkan siku ke arah yang
benar. Asisten dapat memfasilitasi perubahan berat badan ke arah yang sesuai
selama kegiatan ini (Intervensi 12-6, B).
Intervention 12 – 6 Prone to Prone on Elbows
A. Asisten mungkin perlu membantu pasien mencapai posisi prone on elbow.
B. Berat yang bergeser dari satu sisi ke sisi lain memungkinkan pasien untuk memindahkan
sikunya ke arah yang benar.

Prone on Elbow
Sebelum memulai kegiatan di posisi tengkurap, pasien perlu
mengasumsikan keselarasan yang benar, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
12-9. Pasien juga harus mencoba untuk menjaga skapula sedikit adduksi dan
downward rotasi untuk menangkal kecenderungan alami untuk menggantung pada
shoulder ligamen. Asisten mungkin perlu memberikan pasien dengan isyarat
manual pada skapula untuk mempertahankan posisi yang benar. Perkiraan
downward diterapkan melalui shoulder atau mengetuk rhomboids sering
dilakukan untuk meningkatkan stabilitas skapular. Perkiraan meningkatkan tonik
otot. Pada posisi tengkurap, pasien harus berlatih menggeser berat badan ke
kanan, kiri, maju, dan mundur. Pasien harus diarahkan untuk mempertahankan
keselarasan yang baik dan untuk menghindari penurunan shoulder saat ia berlatih
dalam posisi ini. Setelah pasien dapat mempertahankan posisi, ia dapat
melanjutkan ke latihan lain yang akan meningkatkan konsentrasi dan stabilitas
proksimal. Isometrik bolak-balik dan stabilisasi berirama dapat dilakukan. Untuk
melakukan isometrik bolak-balik, pasien harus diinstruksikan untuk memegang
posisi yang diinginkan karena asisten menerapkan resistensi manual ke kanan atau
kiri, ke depan atau ke belakang. Intervensi 12-7, A, menggambarkan latihan ini.
Dengan stabilisasi ritmik, pasien melakukan kontraksi isometrik simultan dari
pola agonis dan antagonis karena terapis memberikan kekuatan rotasi. Intervensi
12-7, B, menunjukkan asisten yang melakukan kegiatan ini dengan seorang
pasien. Kegiatan lain yang dapat dilakukan dalam posisi prone on elbow meliputi
pengangkatan satu lengan, kegiatan jangkauan unilateral, dan penguatan serratus
(Intervensi 12-8, A). Untuk memperkuat serratus, pasien diinstruksikan untuk
mendorong sikunya ke bawah ke matras dan menyelipkan dagu sambil
mengangkat dan membulatkan bahunya. Untuk pasien dengan paraplegia, asisten
dapat memberikan instruksi tentang push-up tengkurap, sebagaimana
digambarkan dalam Intervensi 12-8, B.
GAMBAR 12-9 Siku harus diposisikan langsung di bawah bahu ketika pasien rawan sikut. Asisten
menerapkan gaya ke bawah (perkiraan) melalui bahu untuk mempromosikan tonik memegang dan
stabilisasi otot-otot bahu.
Prone to Supine
Dari posisi tengkurap, pasien dapat beralih ke posisi telentang. Pasien
menggeser berat badan ke satu siku, ekstensi dan rotasi kepalanya ke arah yang
sama. Ketika ia melakukan ini, pasien "throws(melempar)" ekstremitas atas yang
sisi satunya. Momentum yang diciptakan oleh manuver ini memfasilitasi rolling
kembali ke posisi terlentang.

Supine on Elbows
Tujuan dari posisi supine on elbows adalah untuk membantu pasien
dengan mobilitas tempat tidur dan mempersiapkannya untuk duduk lama. Pasien
dengan persarafan pada level C5 dan C6 mungkin memerlukan bantuan untuk
mencapai posisi supine on elbows. Intervensi 12-9 menggambarkan PTA
membantu pasien melakukan transisi dari supine ke supine on elbows. Beberapa
teknik berbeda dapat digunakan untuk membantu pasien dalam belajar untuk
mencapai posisi ini. Bantal atau guling yang diletakkan di bawah punggung
pasien dapat membantu pasien dengan kegiatan ini. Teknik ini membantu
menyesuaikan diri dengan posisi pasien dan membantu pasien meregangkan
anterior shoulder capsule. Karena pasien dapat mengambil kemandirian lebih
banyak dengan transisi dari posisi supine ke supine on elbows, asisten dapat
meminta pasien mengaitkan ibu jari ke dalam saku atau lingkaran sabuk atau
menempatkan tangan di bawah bokong. Intervensi 12-10 menggambarkan
pendekatan ini. Ketika pasien melakukan ini, dia menstabilkan dirinya dengan
satu tangan ketika dia menarik dengan yang lain, menggunakan tindakan
kebalikan dari bisep. PT atau PTA mungkin perlu memposisikan lengan pasien di
akhir gerakan. Setelah pasien dalam posisi supine on elbows, dapat dimulai pada
penguatan ekstensor shoulder dan adduktor skapular. Kegiatan untuk mencapai
hal ini termasuk pengalihan berat badan pada posisi, membuat transisi kembali ke
tengkurap, dan berkembang menjadi duduk lama. Supine pull-up juga bisa
dilakukan. Ketika pasien dalam posisi terlentang, asisten memegang lengan pasien
yang di depan tubuh dan meminta pasien menarik ke dalam posisi duduk yang
dimodifikasi. Latihan ini membantu memperkuat fleksor shoulder dan biseps.
Dari supine on elbows, pasien dapat rolling untuk cenderung dengan menggeser
berat badan ke satu siku, melihat ke arah yang sama, dan menjangkau seluruh
tubuh dengan ekstremitas atas lainnya. Manuver ini memberi pasien mekanisme
lain untuk bergerak ke tengkurap.

Intervention 12 – 7 Alternating Isometrics and Rhythmic Stabilization


A. Asisten melakukan isometrik bergantian dengan pasien dalam prone on elbow. Kekuatan
diterapkan ke arah posterior karena pasien diminta memegang posisi itu.
B. Stabilisasi ritmik dilakukan dalam posisi prone on elbows. Asisten menerapkan kontraksi
isometrik simultan untuk agonis dan antagonis. Saat pasien memegang posisi tersebut, kekuatan
kontrotasional bertahap diterapkan oleh asisten.
Intervention 12 – 8 Other Scapular Strengthening Exercises
A. Pasien meraih benda fungsional. Asisten menstabilkan bahu yang menahan beban untuk
mencegah keruntuhan.
B. Pasien dengan paraplegia melakukan press-up tengkurap.

Intervention 12 – 9 Supine to Supine on Elbows


A. Pasien melenturkan dagunya untuk memulai aktivitas.
B. Dengan tangannya di bahu pasien, asisten membantu mengangkat batang atas pasien.
C. Kepala digunakan untuk memulai pergeseran berat ke kanan sehingga siku kiri dapat dibawa
kembali.
D. Posisi akhir.
Intervention 12 – 10 Independent Supine to Supine on Elbows
A. Pasien memposisikan tangannya di bawah pantatnya.
B. Pasien melenturkan lehernya.
C dan D. Menggunakan kepalanya untuk memulai perubahan berat badan, pasien menarik sikunya
ke belakang.
E. Posisi akhir.
Long Sitting
Long Sitting juga bisa dicapai dari posisi supine on elbows. Long Sitting
adalah duduk dengan kedua ekstremitas bawah ekstensi dan merupakan postur
fungsional untuk pasien dengan tetraplegia. Posisi ini memungkinkan pasien
untuk melakukan berpakaian ekstremitas bawah, inspeksi kulit, dan gerak
mandiri. Mungkin perlu bagi asisten untuk membantu pasien mencapai posisi
awalnya. Teknik mengasumsikan long sitting adalah sebagai berikut:
Langkah 1. Pada posisi supine on elbows, pasien memindahkan berat badannya ke
satu sisi. Kepala pasien harus mengikuti gerakan (Intervensi 12-11, A dan B).
Langkah 2. Dengan berat pada satu siku, pasien melemparkan ekstremitas atas
lainnya di belakang bokongnya ke ekstensi bahu dan rotasi eksternal (Intervensi
12-11, C). Setelah tangan bersentuhan dengan permukaan, pundak dengan cepat
terangkat dan kemudian ditekan untuk mempertahankan siku dalam ekstensi. Siku
dikunci secara biomekanis (Intervensi 12-11, D dan E).
Langkah 3. Pasien memindahkan berat badannya kembali ke garis tengah
(Intervensi 12-11, E).
Langkah 4. Setelah siku pasien terkunci di satu sisi, ia mengulangi gerakan
dengan ekstremitas atas lainnya (Intervensi 12-11, F dan G).

CATATAN KHUSUS: Jari-jari harus dipertahankan dalam fleksi (tenodesis)


selama melakukan aktivitas fungsional untuk menghindari peregangan berlebihan
pada fleksor jari. Ini diilustrasikan dalam Intervensi 12-11, F dan G.

Awalnya, PTA mungkin perlu membantu pasien dengan pergerakan dan


penempatan ekstremitas atas. Pasien yang tidak memiliki ROM yang diperlukan
di bahu mereka akan mengalami kesulitan dalam melakukan manuver ini. Seperti
yang disebutkan sebelumnya, pasien yang telah mengalami kontraktur fleksi siku
tidak dapat mencapai dan mempertahankan posisi ini karena ketidakmampuan
mereka untuk ekstensi siku secara pasif.
Intervention 12 – 11 Supine on Elbows to the Long-Sitting Position
A & B) Dalam posisi supine on elbows, pasien memindahkan berat badannya ke satu sisi. Kepala
pasien harus mengikuti gerakan. C) Dengan berat badan di satu siku, pasien melemparkan
ekstremitas atas lainnya di belakang pantatnya ke ekstensi dan eksternal rotasi. D) Setelah berat
bergeser ke ekstremitas, siku terkunci secara biomekanis menjadi ekstensi karena penyelarasan
tulang sendi ketika diposisikan dalam rotasi eksternal bahu dan kemudian di tekan. E) Pasien
menggeser berat badannya kembali ke garis tengah. F) Begitu pasien merasa sikunya terkunci di
satu sisi, ia mengulangi gerakan dengan ekstremitas atas lainnya. G) Posisi akhir.
Pasien yang tidak memiliki setidaknya 90o - 100o pasif tungkai lurus harus
menahan diri dari melakukan kegiatan long sitting. Kegagalan untuk memiliki
ROM hamstring yang memadai menyebabkan pasien meregangkan punggung
bawah dan pada akhirnya menurunkan kemampuan fungsional mereka.
Pasien dengan cedera di C7 ke bawah juga menggunakan posisi long
sitting. Namun, lebih mudah bagi pasien ini karena mereka memiliki persarafan
trisep dan mungkin dapat mempertahankan ekstensi siku aktif. Setelah pasien
mencapai posisi long sitting dengan siku terkunci secara anatomis dan nyaman
dalam posisi, kegiatan perawatan tambahan dapat dilakukan. Beban manual dapat
diterapkan pada bahu untuk mendorong kontraksi di sekitar sendi bahu dan untuk
meningkatkan stabilitas skapular. Stabilisasi berirama dan isometrik bolak-balik
juga berguna untuk meningkatkan stabilitas. Jika pasien memiliki persarafan
trisep, asisten akan bekerja pada kemampuan pasien, untuk duduk dalam posisi
long sitting tanpa dukungan ekstremitas atas (Gbr. 12-10). Pasien menggerakkan
tangannya dari belakang pinggul, ke pinggul, dan akhirnya ke depan di lutut.
Kisaran hamstring sangat penting bagi pasien untuk dapat melakukan transisi ini
dengan aman. Setelah pasien dapat meletakkan tangannya di atas pinggul dan
dekat dengan lututnya, ia dapat mencoba mempertahankan posisi hanya dengan
satu tangan untuk penyangga dan akhirnya tanpa tangan. Dalam posisi ini, pasien
belajar melakukan gerakan mandiri dan aktivitas perawatan diri. Asisten menjaga
pasien dengan hati-hati selama pelaksanaan kegiatan ini. Selain itu, tanda-tanda
vital pasien harus dipantau untuk meminimalkan kemungkinan hipotensi
ortostatik atau disreflexia otonom.
Tujuan untuk pasien dengan fungsi trisep adalah melakukan push-up
dengan ekstremitas atas dalam posisi long sitting (Intervensi 12-12). Kegiatan ini
biasanya mensyaratkan bahwa pasien memiliki setidaknya kekuatan di trisep.
Untuk menyelesaikan gerakan, pasien meluruskan sikunya dan depresi bahu untuk
mengangkat pantat. Pasien harus memfleksikan kepalanya dan upper trunk untuk
memfasilitasi naiknya bokong yang lebih besar. Tight di punggung bawah juga
memungkinkan ini terjadi. Pasien menggunakan teknik ini untuk bergerak di atas
tikar. Gerakan ekstremitas atas yang sama digunakan untuk transfer masuk dan
keluar dari kursi roda dan sebagai sarana bagi pasien untuk melakukan pelepasan
tekanan independen.

GAMBAR 12-10. Aktivitas keseimbangan harus selalu ditekankan dalam long sitting agar
mempersiapkan pasien untuk berbagai aktivitas fungsional.
Intervention 12 – 12 Push-up in the Long-Sitting Position
Pasien menggunakan hubungan kepala-pinggul untuk membantu mengangkat pantat.

Transfer
Transfer ke dan dari kursi roda adalah keterampilan penting bagi pasien
dengan SCI. Pasien dengan cedera cervical yang parah (level C1 hingga C4)
sepenuhnya tergantung pada transfer. Two person lift, transfer sit-pivot dependen,
atau Hoyer lift harus digunakan.
Fase persiapan. Sebelum pemindahan, pasien dan kursi roda harus
diposisikan di tempat yang benar. Kursi roda harus diposisikan sejajar dengan
matras atau tempat tidur. Rem harus dikunci dan kaki kursi roda dilepas. Sabuk
pengaman harus diterapkan pada pasien sebelum asisten memulai aktivitas.
Two-Person Lift. Pengangkatan dua orang mungkin diperlukan untuk
pasien dengan tetraplegia tinggi. Jenis transfer ini diilustrasikan dalam Intervensi
12-13.
Intervention 12 – 13 Two-Person Lift

Transfer Sit-Pivot. Teknik untuk transfer sit-pivot dependen adalah


sebagai berikut:
Langkah 1. Pasien harus forward di kursi roda untuk melakukan transfer dengan
aman. Asisten menggeser berat pasien dari sisi ke sisi untuk menggerakkannya ke
depan. Seringkali, meletakkan tangan di bawah bokong pasien di area tuberositas
iskia adalah cara terbaik untuk membantu pasien. Asisten harus memantau posisi
trunk pasien dan dengan hati-hati saat melakukan manuver ini karena pasien tidak
memiliki kontrol trunk yang memadai untuk menjaga stabilitas trunk. Setelah
pasien forward di kursi roda, sandaran tangan terdekat dengan matras atau tempat
tidur harus dilepas.
Langkah 2. Asisten kemudian memfleksikan trunk pasien ke kaki pasien. Asisten
membawa pasien ke depan melewati pinggul asisten yang lebih jauh dari kursi
roda. Manuver ini memungkinkan asisten untuk berada dekat dengan area di mana
sebagian besar individu membawa jumlah berat tubuh terbesar. Asisten juga
menjaga lutut pasien di antara lututnya.
Langkah 3. Orang kedua harus diposisikan di atas matras atau di belakang pasien
untuk membantu menggerakkan pinggul dan posterior trunk.
Langkah 4. Pada hitungan tertentu, asisten di depan pasien menggeser berat badan
pasien ke depan dan menggerakkan pinggul dan bokong pasien ke permukaan
transfer. Posisi kaki pasien juga harus dipantau untuk menghindari kemungkinan
cedera. Umumnya, memposisikan kaki ke arah yang akan diasumsikan pasien
pada akhir transfer.
Langkah 5. Setelah pasien berada di matras, asisten di depan pasien
menyelaraskan pasien ke posisi tegak. Akan tetapi, asisten tidak melepaskan
tangannya dari pasien karena kurangnya kontrol trunk pasien. Tanpa bantuan fisik
yang diperlukan, seorang pasien dengan tetraplegia dapat kehilangan
keseimbangan dan jatuh. Intervensi 12-14 menunjukkan PTA yang melakukan
transfer sit-pivot dengan pasien.
Intervensi 12 – 14 Sit-Pivot Transfer
A. Asisten membantu pasien untuk bergerak maju di kursi roda.
B. Pasien tertekuk ke depan melewati pinggul asisten.
C. Pinggul dan pantat pasien dipindahkan ke permukaan transfer.
Transfer Stand-Pivot yang Dimodifikasi. Pemindahan stand-pivot yang
dimodifikasi juga dapat digunakan dengan beberapa pasien yang memiliki cedera
incomplete dan persarafan ekstremitas bawah. Selain itu, pasien dengan tonus
ekstensor ekstremitas bawah mungkin dapat melakukan transfer stand-pivot yang
dimodifikasi. Dalam intervensi 12-15 mengunakan jenis transfer ini.
Intervension 12 – 15 Modified Stand-Pivot Transfer
Airlift. Airlift transfer digambarkan dalam Intervensi 12-16 dan mungkin
merupakan jenis transfer yang disukai untuk pasien dengan tonus ekstensor
ekstremitas bawah yang signifikan. Kaki pasien tertekuk dan bersandar pada paha
asisten. Pasien kemudian diangkat keluar dari kursi roda dan dipindahkan ke
permukaan transfer. Terapis harus mempertahankan mekanika tubuh yang tepat
dan mengangkat dengan kakinya untuk menghindari kemungkinan cedera pada
punggung bagian bawah. Tipe transfer ini sering disukai karena mencegah gaya
geser pada bokong.

Sliding Board Transfers. Sliding board juga dapat digunakan untuk


membantu transfer. Kursi harus diposisikan pada sudut 45o. Saat trunk pasien
difleksikan ke atas lututnya, asisten dapat meletakkan sliding board di bawah
pinggul pasien yang lebih dekat ke mat table. Asisten mungkin perlu mengangkat
pantat pasien untuk membantu penempatan di papan. Dokter harus menyadari
kontrol trunk aktif pasien. Banyak dari individu-individu ini tidak dapat
mempertahankan trunk mereka dalam posisi tegak. Setelah papan berada di posisi
yang tepat, itu membantu menopang berat tubuh pasien selama transfer. Papan
juga memberikan perlindungan pada kulit pasien selama transfer. Bokong pasien
dapat terbentur atau tergores pada berbagai bagian kursi roda, ini bisa berbahaya
bagi pasien dan dapat menyebabkan kerusakan kulit. Intervensi 12-17
menggambarkan pasien yang sedang melakukan sliding board transfers dengan
bantuan PTA.

Intervention 12 – 17 Sliding Board Transfer


A. Berat pasien digeser ke samping lebih jauh dari permukaan transfer.
B. Paha pasien diangkat ke posisi papan. Asisten tetap berada di depan pasien, menghalangi
ekstremitas bawah dan trunk
C dan D. Pasien dipindahkan ke permukaan pendukung.
CATATAN KHUSUS: Meskipun pasien dengan cedera cervical parah tidak dapat
berpartisipasi dalam transfer secara aktif, mereka harus dapat menjelaskan
langkah-langkah yang diperlukan untuk orang lain.
Seorang pasien dengan tetraplegia C6 memiliki potensi untuk mentransfer
secara mandiri menggunakan sliding board. Meskipun pasien memiliki potensi
untuk jenis independensi ini, pasien dengan tetraplegia C6 sering menggunakan
bantuan pengasuh atau anggota keluarga karena waktu dan energi yang terlibat
dalam transfer. Agar dapat melakukan transfer sliding board dari kursi roda
dengan mandiri, pasien harus dapat memanipulasi bagian-bagian kursi roda dan
mengatur posisi sliding board. Ekstensi yang diterapkan pada rem kursi roda
adalah hal biasa dan memungkinkan pasien menggunakan gerakan pergelangan
tangan untuk melakukan manuver pada bagian kursi roda ini. Sandaran kaki dan
sandaran tangan juga dapat dilengkapi dengan ekstensi ini untuk memberi pasien
mekanisme untuk menegosiasikan bagian kursi roda ini secara independen.
Untuk memposisikan papan, pasien dapat menggunakan tightness pada
fleksor jari untuk memindahkan papan ke lokasi yang tepat. Pasien juga dapat
menempatkan pergelangan tangannya di ujung papan dan menggunakan ekstensi
pergelangan tangan untuk memindahkan papan ke tempat yang tepat. Penempatan
papan geser di bawah pantat dapat difasilitasi dengan mengangkat kaki ke atas.
Loop dapat dijahit ke celana pasien untuk membuatnya lebih mudah. Setelah
papan berada pada posisi, pasien dapat memposisikan kembali ekstremitas
bawahnya (Intervensi 12-18).
Beberapa teknik transfer yang berbeda dapat digunakan untuk pasien
dengan tetraplegia C6. Ketika bekerja dengan pasien jenis ini, seseorang harus
menemukan jenis transfer termudah untuk pasien. Trial and error dan membuat
pasien terlibat dalam pemecahan masalah aktif untuk menyelesaikan tugas-tugas
gerakan yang terbaik, PTs dan PTA terlalu sering memberi pasien semua jawaban
untuk pertanyaan mengenai gerakan mereka. Jika seorang pasien diizinkan untuk
bereksperimen dan mencoba beberapa hal sendiri dengan pengawasan, hasilnya
seringkali lebih baik.
Intervention 12 – 18 Independent Sliding Board Transfer
A dan B. Pasien bersiap untuk memposisikan sliding board dengan menggerakkan kaki terdekat ke
mat table di atas kaki lainnya.
C. Pasien memposisikan sliding board di bawah bokong, kaki yang paling dekat dengan mat table.
D. Mendorong dengan lengan lebih jauh dari meja ke lengan kursi roda dan mendorong ke bawah
papan geser dengan lengan lainnya, pasien mengangkat dirinya dari kursi roda.
E. Pasien kemudian menggeser pantatnya ke bawah papan sampai dia di atas meja.
F. Terus mendorong lengan kursi roda dan menggunakan lengan lainnya di atas mat table, pasien
berpindah cepat dari papan dan ke atas meja itu sendiri.
Push-Pull Transfer. Jenis transfer lain yang mungkin dilakukan pasien
dengan tetraplegia C6 mensyaratkan bahwa ia memutar kepalan dan trunk ke arah
yang berlawanan dari transfer saat masih di kursi roda. Setelah pasien dalam
posisi ini, ia fleksikan kedua siku dan menempatkannya di sandaran tangan kursi
roda. Pasien kemudian memfleksikan trunknya ke depan dan menekan ekstremitas
atasnya, sehingga bergeser ke atas tikar atau tempat tidur. Beberapa pasien juga
dapat menggunakan kepala untuk membantu transfer. Pasien dapat meletakkan
dahinya di sandaran tangan untuk memberikan stabilitas trunk tambahan saat ia
mencoba untuk bergerak dari kursi roda. Setelah pasien berada di atas mat table,
ia mengaitkan lengannya di bawah lutut dan menggunakan serat sternum dari
pectoralis mayor untuk ekstensi trunk.
Prone on Elbows Transfer. Prone modifikasi pada elbow transfer adalah
metode lain. Setelah melepas sandaran tangan kursi roda, pasien memutar
trunknya ke table mat. Pasien kemudian menempatkan ekstremitas bawahnya ke
permukaan penopang. Pasien dapat menggunakan punggung tangannya atau loop
velcro yang melekat pada celana untuk mengangkat ekstremitas bawah ke atas ke
permukaan pendukung. Setelah ekstremitas bawah pasien naik ke tempat tidur,
pasien benar-benar bangun dari kursi roda. Pasien dapat bergerak ke posisi
berbaring miring atau berguling sepenuhnya ke posisi prone on elbow.
Lateral Push-up Transfer. Jika pasien memiliki fungsi triceps, potensi
transfer independen dengan dan tanpa sliding board sangat ditingkatkan. Seperti
yang dinyatakan sebelumnya, pasien dengan cedera C7 dan kekuatan trisep yang
baik harus dapat melakukan transfer pus-hup lateral tanpa sliding board.
Awalnya, ketika menginstruksikan pasien dalam jenis transfer ini, asisten harus
menggunakan sliding board. Pasien memposisikan papan di bawah paha
posterior. Dengan kedua ekstremitas atas dalam posisi yang relatif panjang, pasien
mendorong ke bawah dengan tangan dan mengangkat pantatnya dari sliding
board. Kaki dan ekstremitas bawah pasien harus diposisikan sebelum dimulainya
transfer. Kedua kaki harus diletakkan di lantai dan diputar menjauh dari arah
pemindahan. Pasien bergerak perlahan, menggunakan papan sebagai tempat
istirahat jika perlu. Ketika kekuatan pada ekstremitas atas pasien membaik, pasien
akan dapat menyelesaikan transfer lebih cepat dan tidak perlu menggunakan
sliding board. Pasien dengan paraplegia tingkat tinggi juga melakukan transfer
push-up lateral.

Intermediate Treatment Interventions


Mat Activities
Komponen utama dari rencana perawatan pasien pada tahap rehabilitasi ini
meliputi mat activities. Mat activities dipilih untuk membantu pasien dalam
meningkatkan kekuatan dan meningkatkan keterampilan mobilitas fungsional.
Kegiatan mobilitas fungsional yang telah dibahas sebelumnya, termasuk rolling,
supine to prone, supine to long sitting, dan prone to supine, terus dipraktikkan
sampai pasien menguasainya. Mat activities lainnya yang lebih maju sekarang
dibahas secara lebih rinci.

Independent Self-Range of Motion


Seorang pasien dengan tetraplegia C7 juga harus diinstruksikan gerak
mandiri pada ekstremitas bawah. Dengan asumsi long sitting tanpa dukungan
ekstremitas atas adalah prasyarat untuk menjadi mandiri dalam self-ROM. Latihan
pertama yang harus diatasi adalah peregangan hamstring. Dua metode dapat
digunakan. Pasien dapat mengambil posisi long sitting dan dapat fleksi ke depan
menuju jari-jari kakinya. Pasien dapat meletakkan siku di lutut untuk membantu
menjaga ekstremitas bawah tetap lurus. Pemeliharaan lordosis lumbal penting
untuk mencegah peregangan otot punggung bawah yang berlebihan (Intervensi
12-19).
Metode kedua mengharuskan pasien menempatkan tangannya di bawah
lututnya dan menarik lutut ke belakang saat ia condong ke belakang ke posisi
terlentang. Dengan satu tangan di lutut anterior dan satu lagi di pergelangan kaki,
pasien mengangkat kaki sambil berusaha menjaga lutut selurus mungkin. Pasien
kemudian dapat mencoba menarik ekstremitas bawah lebih dekat ke dada untuk
mencapai peregangan yang lebih baik. Jika pasien tidak memiliki fungsi tangan
yang memadai untuk menggenggam, ia dapat menggunakan bagian belakang
pergelangan tangan atau lengannya untuk menyelesaikan aktivitas. Intervensi 12-
19 menunjukkan seorang pasien yang melakukan peregangan hamstring.
Intervention 12 – 19 Hamstring Stretching
A. Saat meregangkan hamstring dalam posisi long sitting, pasien dapat meletakkan sikunya pada
lutut untuk membantu menjaga ekstremitas bawah tetap lurus.
B hingga E. Meregangkan hamstring dalam posisi terlentang.
Gluteus maximus juga harus diregangkan. Dalam posisi long sitting
dengan satu ekstremitas atas digunakan untuk keseimbangan, pasien
memposisikan tangannya yang di bawah lutut di sisi yang sama. Pasien kemudian
menarik lutut ke atas dadanya dan memegang posisinya. Setelah ekstremitas
bawah berada di posisi yang diinginkan, pasien dapat membawa volar surface
atau lengan ke tulang kering anterior dan dapat menarik kaki ke arah pasien.
Manuver ini memberikan peregangan tambahan ke gluteus maximus (Intervensi
12-20).

Intervention 12 – 20 Gluteus Maximus Stretching


A. Dalam posisi long sitting, pasien menggunakan satu ekstremitas atas untuk menopang dan
tangannya yang bebas untuk menarik lutut pada sisi yang sama ke arah dadanya.
B. Setelah posisi ekstremitas bawah, pasien dapat memegang lutut dan tulang kering dengan kedua
tangan dan menarik kaki ke arah trunk nya.

Pasien juga harus meluangkan waktu setiap hari untuk meregangkan


fleksor pinggul mereka. Ini terutama penting bagi individu-individu yang
menghabiskan mayoritas atau hari-harinya dengan duduk. Cara yang paling tidak
tepat untuk meregangkan fleksor pinggul adalah pasien untuk mengambil posisi
rawan. Pasien harus disarankan untuk berbohong paling tidak selama 20 hingga
30 menit setiap hari. Pasien dapat melakukan ini di tempat tidur mereka atau di
lantai mereka dapat mentransfer ke dalam dan ke luar atau wheelchair mereka.
Untuk meregangkan abdukktor hip, adduktor, dan rotator internal dan
eksternal, pasien harus mengambil posisi long sitting seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Lutut diangkat ke atas dalam posisi fleksi. Dengan tangan yang tidak
mendukung, pasien harus perlahan-lahan memindahkan ekstremitas bawah medial
dan lateral. Pasien dapat mempertahankan lengan di bawah lutut atau
menempatkan tangannya di permukaan medial atau lateral atau lutut untuk
mendukung ekstremitas bawah (Intervensi 12-21).

Intervention 12 – 21 Stretching the Hip Rotators


A. Hip lateral rotation.
B. Hip medial rotation.

Peregangan ankle plantar flexors juga diperlukan. Pasien menopang


dirinya sendiri dengan ekstremitas atas yang sama dengan kaki yang diregangkan.
Dengan lutut fleksi kira-kira 90o, pasien menempatkan dorsal atau volar dari
tangan yang berlawanan pada permukaan plantar atau kaki. Penempatan tangan
tergantung pada jumlah fungsi tangan yang dimiliki pasien. Pasien dengan
ekstensor pergelangan tangan yang kuat dapat menggunakan gerakan di
pergelangan tangan untuk meregangkan pergelangan kaki menjadi dorsofleksi
secara perlahan (Intervensi 12-22). Pasien dengan paraplegia yang memiliki
fungsi pergelangan tangan dan jari lengkap dapat menyelesaikan aktivitas ini
tanpa kesulitan. Meregangkan ankle plantar flexors dengan lutut fleksi hanya
meregangkan otot soleus. Pasien dapat meregangkan gastrocnemius dalam posisi
long sitting dengan handuk gulung ditempatkan di sepanjang lintasan plantar kaki.
Ujung handuk ditarik untuk memberikan peregangan yang panjang.

Advanced Treatment Interventions


Advanced Mat Activities
Untuk pasien dengan paraplegia, melakukan latihan mat lebih lanjut juga
sesuai. Dalam posisi short sitting atau long sitting, pasien dapat berlatih mencapai
tugas ekstremitas atas fungsional lainnya. Kegiatan lanjutan lainnya yang dapat
dilakukan termasuk sitting swing-through, hip swayers, trunk twisting and raising,
prone push-ups, forward reaching in quadruped, creeping, and tall-kneeling.
Teknik yang digunakan untuk menjalankan masing-masing kegiatan ini adalah
sebagai berikut :

Sitting Swing-Through
Langkah 1. Pasien mengambil posisi long sitting dengan dukungan ekstremitas
atas. Tangan pasien harus kira-kira 6 inci di belakang pinggul.
Langkah 2. Pasien menekan bahu dan ekstensi siku. Bokong harus diangkat dari
permukaan.
Langkah 3. Pasien mengayunkan hip ke belakang di antara kedua tangannya.

Hip Swayers
Langkah 1. Pasien mengambil posisi long sitting dengan dukungan ekstremitas
atas.
Langkah 2. Pasien menempatkan satu tangan sedekat mungkin ke pinggulnya; sisi
lain harus ditempatkan sekitar 6 inci jauhnya dari pinggul lainnya.
Langkah 3. Pasien mengangkat pantatnya dan menggerakkan pinggulnya ke arah
tangan yang lebih jauh.
Langkah 4. Pasien berjalan menyamping melintasi matras.
Langkah 5. Pasien harus berlatih bergerak ke dua arah.

Trunk Twisting and Raising


Langkah 1. Pasien mengambil posisi side sitting.
Langkah 2. Pasien meletakkan kedua tangan di dekat pinggul yang lebih dekat ke
permukaan.
Langkah 3. Pasien meluruskan sikunya untuk menaikkan pinggul ke posisi semi-
quadruped dan kemudian menurunkan dirinya ke matras.
Langkah 4. Aktivitas juga harus dilakukan di sisi yang berlawanan.

Prone Push-ups
Dalam posisi tengkurap dengan tangan diposisikan di sebelah bahu, pasien
ekstensi siku dan mengangkat tubuh bagian atas dari permukaan pendukung.

Forward Reaching in Quadruped


Langkah 1. Pasien mengambil posisi four-point. Beberapa pasien mungkin
memerlukan bantuan untuk melakukannya. Ini dapat dicapai dengan meminta
pasien untuk mengambil posisi tengkurap dan memfasilitasi pergeseran berat
posterior pada panggul pasien sementara pasien ekstensian sikunya. Bantuan
mungkin diperlukan. Dengan gait belt di sekitar pinggang atau pinggul pasien,
asisten, dalam posisi berdiri, straddles pasien dan menarik pinggul pasien ke atas
ketika pasien mendorong dengan ekstremitas atas.
Langkah 2. Jika pasien mengalami kesulitan dalam mempertahankan posisi four-
point, sebuah guling atau benda lain dapat ditempatkan di bawah perut pasien
untuk mempertahankan posisi. Perawatan harus pada pasien yang telah
meningkatkan tonus ekstensor ekstremitas bawah; jika pasien tidak dapat
memfleksikan pinggul dan lutut, ekstremitas bawah pasien dapat menjadi spasme
ke ekstensi.
Langkah 3. Setelah pasien dapat mempertahankan quadruped position, pasien
dapat berlatih pergeseran berat badan anterior, posterior, medial, dan lateral, serta
isometrik bergantian dan rhythmic stabilization.
Langkah 4. Pasien juga dapat berlatih forward dengan satu ekstremitas atas sambil
menjaga keseimbangan.
Langkah 5. Jika pasien memiliki persarafan otot-otot trunk, pasien dapat berlatih
fleksi punggung.

Creeping
Kemampuan pasien untuk merayap tergantung pada persarafan otot
ekstremitas bawah. Kekuatan pada fleksor pinggul juga dibutuhkan untuk
melakukan aktivitas ini.
Langkah 1. Pasien mengambil posisi quadruped position.
Langkah 2. Pasien bergantian memajukan satu ekstremitas atas diikuti oleh
ekstremitas bawah yang berlawanan.

Tall-Kneeling
Langkah 1. Pasien mengambil quadruped position.
Langkah 2. Menggunakan kursi, bangku, atau guling, pasien menarik ke posisi
tall kneeling. Pinggul harus tetap maju sementara pasien bersandar pada ligamen
Y.
Langkah 3. Awalnya, pasien berupaya mempertahankan keseimbangan dalam
posisi.
Langkah 4. Setelah pasien dapat mempertahankan keseimbangannya, pasien dapat
bekerja pada isometrik bergantian, stabilisasi ritmik, dan aktivitas jangkauan.
Langkah 5. Pasien dapat naik ke kruk setinggi lutut. Pasien dapat
menyeimbangkan posisi dengan kruk, mengangkat satu kruk, memajukan kedua
kruk ke depan, atau menarik kedua kruk ke belakang.
Signifikansi fungsional dari kegiatan ini tersebar luas. Latihan swing-
through, swayer pinggul, dan prone push-up bekerja untuk meningkatkan
kekuatan ekstremitas atas yang diperlukan untuk pemindahan dan ambulasi yang
dibantu. Latihan rotasi trunk membantu meningkatkan kontrol trunk pasien untuk
transfer, termasuk yang dari kursi roda ke lantai. Jangkauan unilateral pada posisi
quadruped membantu pasien dalam mengembangkan kekuatan dan koordinasi
ekstremitas atas dan meningkatkan kemampuan pasien untuk berpindah dari lantai
ke kursi roda. Merayap membantu mengembangkan trunk pasien dan kontrol otot
ekstremitas bawah. Ini juga merupakan posisi yang berguna bagi pasien untuk
dapat mengasumsikan saat berada di lantai. Tall kneeling meningkatkan
pengembangan kontrol tubuh. Ini dapat digunakan sebagai posisi transisi untuk
pasien ketika mereka pindah dari lantai kembali ke kursi roda mereka, dan ini
berfungsi sebagai kegiatan pre-ambulasi.

Transfer
Wheelchair to Floor Transfers. Pasien dengan paraplegia harus
diinstruksikan bagaimana cara jatuh ketika berada di kursi roda dan bagaimana
cara mentransfer kembali ke kursi jika karena alasan tertentu mereka dipindahkan.
Selain itu, lantai adalah tempat yang baik untuk melakukan peregangan fleksor
pinggul. Di klinik, PT atau PTA akan memulai praktik keterampilan ini dengan
menurunkan pasien ke lantai seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12-11. Pasien
harus diinstruksikan untuk memasukkan kepalanya dan menjaga lengannya di
kursi roda. Pasien harus diperingatkan untuk tidak menjaga jatuhnya dengan
menggunakan lengannya. Ekstensi ekstremitas atas dapat menyebabkan fraktur
pergelangan tangan. Pasien mungkin juga ingin menempatkan salah satu
ekstremitas atas di atas lututnya untuk mencegah ekstremitas bawah mengenai
wajah pasien.
Setelah pasien di lantai, ia memiliki beberapa opsi untuk bangkit kembali.
Mungkin paling mudah bagi pasien untuk memperbaiki kursi roda dan kemudian
memindahkannya kembali. Jika pasien dapat memposisikan dirinya dalam posisi
berlutut di depan kursi roda, ia dapat menarik dirinya kembali ke kursi roda,
seperti yang digambarkan dalam Intervensi 12-23. Jika pasien memiliki kekuatan
ekstremitas atas dan ROM yang memadai, ia dapat kembali ke kursi roda dalam
posisi long sitting, menekan pundak, dan mengangkat bokong kembali ke kursi
roda. Tangan pasien diposisikan di dekat bokong. Fleksi leher saat mencoba
manuver ini membantu dalam mengangkat bokong. Meskipun jenis transfer ini
memungkinkan, banyak pasien tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk
menyelesaikan transisi dengan sukses. Di klinik, seseorang dapat berlatih ini
dengan menggunakan bangku kecil atau beberapa tikar. Dalam posisi long sitting,
langkah pertama pasien mentransfer ke kursi dan kemudian kembali ke kursi roda.
Intervensi 12-24 menggambarkan seorang pasien yang melakukan transfer dari
lantai kembali ke kursi roda. Pasien memutar kastor kursi roda ke depan dan
menempatkan satu tangan di atas kastor dan yang lainnya di kursi roda dan
mendorong ke atas.
Intervention 12 – 23 Transfer to Wheelchair from Tall-Kneeling
Pasien menarik dirinya ke kursi roda dari posisi berlutut. Pasien harus memutar pinggulnya untuk
mengambil posisi duduk. Urutan dapat dibalik untuk pindah dari kursi roda.
Intervention 12 – 24 Transfer to Wheelchair from the Long-Sitting Position
Transfer dari lantai ke kursi roda dapat dilakukan di klinik dengan bangku kecil.
A ke C. Pasien pertama-tama pindah dari lantai ke kursi. Pasien menggunakan hubungan kepala-
pinggul untuk mengangkat pantat.
D dan E. Dari bangku, pasien menekan bahunya dan mengangkat dirinya kembali ke kursi roda.

Righting the Wheelchair. Individu dengan kekuatan tubuh bagian atas


yang baik mungkin dapat meluruskan kursi sambil tetap di dalamnya. Agar
berhasil dengan kegiatan ini, individu harus dapat mendorong ke bawah dengan
tangan bersentuhan dengan lantai, menggunakan kepala dan trunk atas untuk
menggeser berat badan, dan ingat untuk menekan ke bawah pada tangan dalam
kontak dengan kursi roda. Intervensi 12-25 menunjukkan seorang individu yang
sedang menyelesaikan kegiatan ini.
PERINGATAN: Sebuah kata hati-hati harus diungkapkan selama kinerja kegiatan
ini. Pasien yang tidak memiliki sensasi pada ekstremitas bawah dan bokong harus
memantau posisi ekstremitas bawah mereka selama kinerja aktivitas. Pasien dapat
secara tidak sengaja menabrak bagian kursi roda yang tajam, dan cedera ini dapat
menyebabkan robekan pada kulit selama kegiatan ini.
Meskipun pasien dengan tetraplegia tidak dapat menyelesaikan aktivitas
ini secara mandiri, mereka harus mempraktikkan tugas tersebut. Orang-orang ini
harus dapat mengajari orang lain cara-cara untuk membantu mereka seandainya
situasi ini terjadi di masyarakat.

Intervention 12 – 25 Righting the Wheelchair While Seated


Beberapa pasien akan dapat memperbaiki kursi roda mereka sementara mereka tetap duduk. Pasien
harus dijaga dengan hati-hati saat mereka mempraktikkan keterampilan ini.
Advanced Wheelchair Skiffs
Pasien dengan persarafan dan kekuatan pada otot jari harus menerima
instruksi dalam keterampilan kursi roda tingkat lanjut. Mencapai wheelies dan
trotoar naik dan turun harus diajarkan sehingga pasien dapat mandiri di
masyarakat.
Wheelies. Sebelum pasien dapat belajar melakukan wheelie secara
mandiri, pasien harus dapat menemukan titik keseimbangannya dalam posisi kursi
roda yang dapat digerakkan (Gbr. 12-12). Asisten harus menemukan titik di mana
kursi roda paling seimbang. Pasien harus bersandar pada kursi roda. Pasien
kemudian menggenggam pelek tangan pada kursi roda. Jika wheelchair mulai
mengarah ke belakang, pasien harus diinstruksikan untuk sedikit menarik pelek
tangan. Jika kastor depan mulai jatuh ke depan, pasien harus menarik ke depan.
Sebagian besar pasien pada awalnya memberikan kompensasi berlebih saat belajar
mencapai titik keseimbangan dengan condong ke depan atau menarik atau
mendorong terlalu banyak pada pelek.

GAMBAR 12 -12 Menemukan titik keseimbangan adalah prasyarat untuk muncul dan
mempertahankan posisi wheelie.
Selama tahap awal latihan ini, Anda harus menjaga pasien dengan hati-
hati. Berdiri di belakang pasien dengan tangan Anda berada di dekat pegangan
dorong kursi roda dan berdiri di dekat sandaran adalah tempat terbaik untuk
melihat pasien. Setelah pasien dapat mempertahankan wheelie dengan bantuan
Anda, pasien harus belajar untuk mencapai posisi secara mandiri. Pasien harus
mengikuti aktivitas ini untuk menegosiasikan pembatasan secara independen.
Untuk mencapai posisi wheelie, minta pasien bersandar ke depan di kursi rodanya.
Pasien menarik kembali pelek kursi roda dan kemudian dengan cepat mendorong
ke depan pada saat yang sama ia menggerakkan bahunya ke belakang ke belakang
kursi roda. Gerakan maju cepat dari kursi, dikombinasikan dengan pergeseran
berat badan pasien ke belakang, menyebabkan kastor depan kursi roda muncul.
Dengan latihan, pasien belajar berapa banyak kekuatan yang dibutuhkan untuk
mencapai posisi itu. Akhirnya, pasien dapat mencapai posisi wheelie dari posisi
diam atau rolling.
Ascending Ramps. Seorang pasien harus naik tanjakan saat ia dalam
posisi maju. Panjang dan kecenderungan harus dipertimbangkan sebelum pasien
mencoba untuk menegosiasikan jalan apa pun. Ketika pasien naik tanjakan,
perintahkan dia untuk bersandar ke depan di kursi roda. Jika jalur panjang, pasien
menggunakan dorongan yang panjang dan kuat pada pelek tangan. Jika jalur
relatif pendek dan curam, pasien menggunakan dorongan pendek dan cepat untuk
berakselerasi ke depan. Bantuan tingkat di kursi roda mungkin diperlukan untuk
mencegah kursi berguling mundur. Bantuan grade berfungsi sebagai jenis
mekanisme pengereman untuk membantu pasien mengubah posisi tangan untuk
dorongan berikutnya tanpa berguling mundur.
Descending Ramps. Pasien harus didorong untuk turun landai dengan
kursi roda menghadap ke depan. Pasien diinstruksikan untuk bersandar di kursi
roda. Pasien kemudian menempatkan kedua tangan pada pelek tangan atau pada
pelek dan roda itu sendiri. Pergerakan kursi roda dikendalikan oleh gesekan yang
diterapkan pada pelek tangan dan roda oleh pasien. Pasien harus membiarkan
pelek bergerak secara merata di antara kedua tangan untuk memastikan kursi roda
akan bergerak di jalur yang lurus. Pasien juga dapat memilih untuk menerapkan
rem kursi roda ketika menurun landai. Meskipun teknik ini memberikan tambahan
gesekan pada roda, dapat menyebabkan kerusakan mekanis pada mekanisme
pengereman kursi roda.
Jalan landai juga dapat diturunkan dengan pasien dalam posisi terbelakang
jika pasien merasa lebih aman menggunakan teknik ini. Pasien diinstruksikan
untuk meluruskan kursi roda secara merata di bagian atas tanjakan. Pasien
mencondongkan tubuh ke depan dan memegang pelek di dekat rem. Pelek
kemudian dibiarkan meluncur melalui tangan pasien selama penurunan. Pasien
harus berhati-hati di bagian bawah tanjakan karena kastor dan pijakan kaki dapat
menangkap tanjakan dan dapat menyebabkan kursi miring ke belakang. Gambar
12-13 menunjukkan dua metode untuk menuruni jalan.
Jalan landai juga bisa naik atau turun dengan cara diagonal atau zigzag.
Menegosiasikan jalur dalam pola diagonal mengurangi kecenderungan untuk
menggelinding menuruni jalur selama menanjak dan mengurangi kecepatan
selama tanjakan.

GAMBAR 12 – 13 A. Seseorang dengan keterampilan mobilitas kursi roda yang baik mungkin
dapat turun jalan di posisi wheelie. B. Metode teraman untuk menuruni jalan adalah mundur.
Orang tersebut harus ingat untuk bersandar ke depan sambil mengendalikan roda belakang. Jalan
tanjakan dilakukan dengan cara yang sama.
Ascending a Curb. Naik trotoar harus selalu dilakukan oleh pasien dalam
arah ke depan. Jika pasien akan mandiri dengan kegiatan ini, ia harus dapat
mengangkat kastor depannya. Ketika pasien mendekati trotoar, ia mengeluarkan
kastor depan dengan wheelie. Setelah kastor melewati trotoar, pasien bersandar ke
depan dan mendorong pelek tangan. Pasien memerlukan banyak latihan untuk
menguasai aktivitas ini karena waktu komponen individu sangat penting dan
penyelesaian tugas membutuhkan kekuatan otot yang cukup besar. Intervensi 12-
26, A dan B, menggambarkan keterampilan ini.
Descending a Curb. Sering kali paling mudah untuk menginstruksikan
pasien turun mundur ke trotoar, namun sebagian besar petugas sepakat bahwa itu
lebih membahayakan pasien karena lalu lintas yang tidak aman. Dalam teknik ini,
pasien memundurkan kursi roda di trotoar. Sekali lagi, pasien harus bersandar ke
depan dan memegang pelek roda di dekat rem pada kursi. Posisi alas kaki juga
harus diperhatikan selama pelaksanaan kegiatan ini. Alas kaki mungkin masuk di
trotoar saat kursi turun. Jika ini terjadi, pasien perlu untuk bersandar ke kursi
ketika kastor melewati trotoar (lihat Intervensi 12-26, C dan D).

Intervention 12 – 26 Ascending and Descending a Curb


A dan B. Seseorang naik trotoar dengan "popping a wheelie" untuk menempatkan kastor depan ke
trotoar, lalu menarik roda belakang ke atas. Pengaturan waktu dan kekuatan ekstremitas atas yang
baik penting untuk aktivitas ini. C. Menuruni trotoar dapat dilakukan dengan menurunkan roda
belakang secara merata dari trotoar dan menyelesaikan aktivitas dengan memutar kursi untuk
menurunkan roda depan. D. Seseorang dapat menuruni trotoar ke depan dalam posisi wheelie yang
terkontrol.
Metode kedua menuruni trotoar adalah agar pasien turun dalam posisi
maju. Sebelum pasien mencoba manuver ini, ia harus dapat melakukan wheelie
dan rolling ke depan saat dalam posisi miring. Ketika pasien mendekati trotoar, ia
melakukan wheelie. Roda belakang dibiarkan berguling atau terpental keluar dari
trotoar. Setelah roda belakang melewati trotoar, pasien bersandar ke depan
sehingga kastor depan sekali lagi berada di tanah. Kehati-hatian harus diambil
ketika pasien mempelajari tugas ini karena pemindahan yang tidak benar dari
berat pasien baik terlalu jauh ke belakang atau terlalu jauh ke depan dapat
menyebabkan pasien jatuh dari kursi roda. Sering kali paling mudah untuk mulai
melatih pasien untuk naik dan turun di trotoar dengan pelatihan rendah. Pinggiran
1 sampai 2 inci harus digunakan pada awalnya dengan pasien karena mereka
berusaha untuk menyempurnakan keterampilan ini.
Powered Mobility. Pasien dengan tetraplegia tingkat tinggi perlu
menguasai powered mobility. Seringkali, penjaja kursi roda menyediakan kursi
listrik untuk individu berdasarkan uji coba. Sebagian dari sesi perawatan Anda
harus dikhususkan untuk membantu pasien dengan operasi kursi yang dikekuasai.
Dokter didorong untuk bekerja dengan vendor peralatan fasilitas untuk menambah
pengetahuan tentang berbagai kursi roda dan aksesori yang tersedia.
Wheelchair Cushions. Orang-orang yang akan menghabiskan banyak
waktu setiap hari duduk di kursi roda juga harus memiliki beberapa jenis bantal
kursi roda. Tersedia bantal khusus yang mengurangi beberapa tekanan yang
diterapkan pada bokong individu. Tidak ada bantal yang benar-benar
meningkatkan tekanan, dan individu harus melakukan beberapa jenis pelepasan
tekanan sepanjang hari.

Cardiopulmonary Training
Pelatihan kardiopulmoner juga harus dimasukkan dalam program
rehabilitasi pasien. Insentif spirometri dan penguatan diafragma harus dilanjutkan
untuk lebih memaksimalkan kapasitas vital. Pelatihan daya tahan dapat
dimasukkan ke dalam rencana perawatan pasien dan dapat mencakup kegiatan
seperti penggerak kursi roda untuk jarak yang jauh, ergometri ekstremitas atas
(lengan sepeda), berenang, dan aerobik kursi roda. Meskipun kegiatan ini
meningkatkan daya tahan pasien, otot-otot ekstremitas atas lebih kecil dan mampu
melakukan pada intensitas yang lebih tinggi untuk durasi waktu yang lebih
pendek daripada otot-otot di ekstremitas bawah. Oleh karena itu, otot-otot ini
kelelahan lebih cepat.
Pasien dengan SCI tidak memiliki respons kardiovaskular normal untuk
berolahraga. Namun, efek pelatihan masih dimungkinkan. Tekanan darah, detak
jantung, curah jantung, dan respons berkeringat diubah sekunder akibat disfungsi
simpatis otonom dan akibatnya aliran darah terganggu. Oleh karena itu,
penggunaan denyut jantung target saja mungkin bukan indikator yang tepat dari
intensitas latihan untuk pasien dengan cedera cervical dan upper thoracic. Metode
tambahan untuk memonitor respons latihan pasien, termasuk tekanan darah dan
Skala Tenaga Borg yang dipersepsikan (ukuran subjektif dari intensitas ekskresi
individu), harus digunakan.
Efek pelatihan aerobik, mungkin untuk pasien dengan SCI. Durasi latihan
harus 20 - 60 menit. Jika bisa, diselingi sepanjang hari. Bukti menunjukkan bahwa
kebugaran kardiovaskular dapat dicapai melalui beberapa kegiatan olahraga yang
lebih pendek daripada satu sesi yang lebih lama. Frekuensi latihan harus
setidaknya tiga kali per minggu dan tidak lebih dari enam kali seminggu. Istirahat
1 hingga 2 hari harus dilakukan untuk memungkinkan pemulihan musculoskeletal.

Circuit Training
Para peneliti juga telah mempelajari efek pelatihan sirkuit (latihan beban
dengan peralatan olahraga dan ergometri ekstremitas atas) pada individu dengan
paraplegia. Peningkatan kekuatan dan daya tahan bahu yang signifikan tercatat
pada individu yang berpartisipasi dalam program pelatihan tiga kali seminggu
selama 12 minggu. Hasil penelitian ini mendukung efek menguntungkan dari
pelatihan pada tingkat kebugaran pada individu dengan paraplegia.

Aquatic Therapy
Terapi kolam dapat menjadi tambahan yang berharga untuk keseluruhan
rencana perawatan pasien. Air menawarkan media yang sangat baik untuk
berolahraga dan bergerak tanpa efek gravitasi dan gesekan. Banyak fasilitas
memiliki kolam air hangat (92o hingga 96o F) untuk pasien mereka. Air hangat
memberikan efek fisiologis, termasuk peningkatan sirkulasi, denyut jantung, dan
laju pernapasan serta penurunan tekanan darah. Selain itu, relaksasi umum
biasanya dilakukan dengan perendaman air hangat. Efek-efek ini harus diingat
ketika PT mengembangkan kumpulan program untuk pasien.
Ketika merancang kumpulan program terapi untuk pasien dengan SCI, PT
harus mempertimbangkan hal berikut sebagai manfaat terapi dari jenis intervensi
pengobatan ini. Aktivitas yang dilakukan di dalam air akan membantu:
1. Mengurangi tonus otot abnormal
2. Meningkatkan kekuatan otot
3. Meningkatkan ROM
4. Meningkatkan fungsi paru-paru
5. Memberikan kesempatan untuk berdiri dan menahan berat badan
6. Latihan otot dengan kekuatan yang minus, wajar lebih mudah
7. Mengurangi spastisitas
Meskipun sebagian besar pasien dapat berolahraga dengan aman di air,
beberapa situasi telah diidentifikasi sebagai kontraindikasi untuk program akuatik.
Seorang pasien dengan salah satu kondisi medis berikut tidak boleh diizinkan
untuk berpartisipasi dalam program: demam, penyakit menular, trakeostomi,
tekanan darah tidak terkendali, kapasitas vital kurang dari 1 liter, inkontinensia
urin atau usus, dan luka terbuka atau sakit yang tidak bisa ditutupi oleh pakaian
anti air. Pasien dengan alat traksi halo dapat dibawa ke kolam selama kepala
mereka dikeluarkan dari air dan komponen perangkat yang menahan air diganti.
Individu dengan kateter dapat berpartisipasi dalam program kolam jika tabung
pembuangan dijepit dan tas penyimpanan terpasang pada ekstremitas bawah.
Pool Programs. Beberapa faktor logistik harus dipertimbangkan sebelum
membawa pasien ke dalam air untuk sesi perawatan. Seperti yang dinyatakan
sebelumnya, air hangat diperlukan. Namun, untuk mengakomodasi banyak pasien
yang mungkin perlu menggunakan kolam terapi di fasilitas tertentu, suhu air
mungkin lebih dingin. Faktor ini harus dipertimbangkan ketika seseorang bekerja
dengan pasien dengan SCI karena pengaturan suhu mereka sering terganggu.
Fasilitas berbeda memiliki persyaratan khusus mengenai prosedur keselamatan
yang harus diikuti ketika bekerja dengan pasien di dalam air. Pengalaman
keselamatan air sebelumnya mungkin diperlukan. Jumlah minimum orang
mungkin juga dibutuhkan di area kolam untuk memastikan keamanan. Untuk
mempersiapkan pasien untuk sesi perawatan, terapis atau asisten harus
mendiskusikan manfaat program dan menggambarkan sesi khas. Sebelumnya
suka atau tidak suka pasien juga harus ditentukan. Banyak orang yang sangat tidak
menyukai air dan mungkin khawatir tentang pengalaman itu, sehingga harus
membantu meyakinkan pasien. Pasien harus tiba untuk sesi perawatan dengan
pakaian renang. Kateter harus dijepit untuk menghindari kemungkinan kebocoran.
Pasien juga harus diinstruksikan untuk mengenakan kaus kaki atau bantalan siku
atau lutut, tergantung pada kegiatan perawatan yang akan dilakukan. Karena
sensasi pasien mungkin terganggu atau tidak ada, area yang dapat tergores selama
sesi harus dilindungi.
Transfer masuk dan keluar dari kolam dapat terjadi dalam sejumlah cara
yang berbeda dan tergantung pada jenis peralatan dan fasilitas yang ada.
Seringkali, mengangkat untuk memindahkan pasien ke kolam, atau kolam
mungkin memiliki jalan, dan pintu masuk untuk di beberapa jenis kursi roda atau
kursi mandi. Setelah pasien berada di dalam air, asisten harus menjaga pasien
dengan hati-hati. Pasien dengan tetraplegia dan paraplegia mengalami penurunan
gerakan, proprioception, dan sensasi sentuhan ringan. Pasien mungkin mengalami
kesulitan mempertahankan posisinya di dalam air. Kadang-kadang, ekstremitas
bawah dapat melayang ke permukaan air, dan asisten mungkin mengalami
kesulitan menjaga kaki pasien dan ekstremitas bawah di dasar kolam dalam posisi
menahan beban. Tekanan lembut yang diberikan pada bagian atas kaki pasien oleh
kaki asisten dapat membantu meringankan masalah ini. Rompi flotasi sangat
membantu dan dapat meyakinkan pasien. Setelah pasien lebih percaya diri dalam
air, rompi dapat dilepas.
Pool Exercise. Banyak kolam memiliki langkah-langkah ke dalamnya atau
area di mana asisten dan pasien dapat duduk. Fitur ini menyediakan lingkungan
yang sangat baik untuk bekerja pada penguatan ekstremitas atas. Dengan
dukungan ekstremitas atas, pasien menggerakkan lengan dalam air dan
menggunakan daya apung. Pasien juga dapat bekerja untuk mengangkat
ekstremitas keluar dari air, untuk memberikan lebih banyak tantangan pada
aktivitas. Deltoid anterior, middle, dan posterior, serta pectoralis mayor dan
rhomboids, dapat dilatih pada posisi ini. Penguatan triceps juga dapat dilakukan
pada posisi yang dinetralkan gravitasi atau didukung. Selain bekerja pada
penguatan ekstremitas atas, penggunaan posisi duduk berfungsi untuk melatih
keseimbangan duduk pasien dan otot-otot tubuh yang tetap dipersarafi.
Alternating isometrics dan stabilisasi ritmik dapat diterapkan di daerah bahu untuk
bekerja pada penguatan trunk tubuh. Latihan untuk meningkatkan fungsi paru
dapat dilakukan saat pasien berada di dalam air. Pasien menahan napas atau
meniupkan gelembung sementara di dalam air membantu meningkatkan kapasitas
paru-paru. Pasien dapat berlatih berdiri di sisi kolam ketika dia berada di dalam
air. Asisten mungkin perlu menjaga pasien di trunk dan menggunakan ekstremitas
bawahnya untuk menjaga keselarasan kaki pasien. Aproksimasi dapat
diaplikasikan ke bawah melalui pinggul untuk membantu menahan beban dengan
ekstremitas bawah. Beberapa kolam terapeutik memiliki garis paralel di dalam air
untuk membantu kegiatan berdiri dan ambulasi. Jika pasien memiliki cedera
incomplete dengan persarafan ekstremitas bawah yang memadai, berjalan dengan
bantuan dapat dilakukan. Seperti yang dinyatakan sebelumnya ini adalah cara
terbaik untuk memperkuat otot ekstremitas bawah yang lemah dan untuk
meningkatkan daya tahan pasien. Kickboards juga dapat digunakan untuk
membantu dengan penguatan ekstremitas bawah.
Floating and Swimming. Pasien dengan tetraplegia atau paraplegia dapat
diajarkan untuk mengapung di punggung mereka. Mengapung dapat membantu
pernapasan, serta relaksasi tubuh secara umum. Pasien juga dapat diinstruksikan
dalam gerakan renang yang dimodifikasi atau adaptif. Pasien dengan tetraplegia
dapat diajarkan gaya punggung yang dimodifikasi dan gaya dada. Kinerja gaya
renang ini membantu pasien dengan penguatan ekstremitas atas dan juga
meningkatkan kebugaran kardiovaskular pasien. Pasien dengan paraplegia dapat
diinstruksikan gaya kupu-kupu, yang juga meningkatkan kekuatan ekstremitas
atas dan meningkatkan daya tahan kardiovaskular pasien.

Intervensi Rehabilitasi Tingkat Lanjut Lainnya


Kegiatan pengobatan lain dapat dilakukan sebagai bagian dari rencana
perawatan pasien. Stimulasi neuromuskuler (NMS) dapat digunakan pada pasien
dengan kelemahan otot untuk meningkatkan kekuatan dan mengurangi kelelahan
otot. Stimulasi neuromuskuler sering disarankan ketika pasien memiliki
persarafan dan kelemahan otot sebagai akibat dari cedera incomplete. Manfaat
lain dari NMS termasuk mengurangi keterbatasan ROM, mengurangi spastisitas,
meminimalkan cedera otot, dan memberikan dukungan posisi untuk pasien yang
berusaha ambulasi. Dokter juga dapat menerapkan NMS ke trisep untuk
membantu pasien dengan ergometri ekstremitas atas.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, pasien dengan cedera incomplete
sering mengalami peningkatan tonus otot yang mengganggu fungsi. Oleh karena
itu, komponen dari rencana perawatan pasien adalah manajemen masalah ini.
Stretching, ice, pool therapy, dan stimulasi listrik fungsional mungkin merupakan
bentuk intervensi yang tepat. Stimulasi listrik dapat diterapkan baik pada otot
antagonis untuk meningkatkan kekuatan atau agonis untuk menyebabkan
kelelahan. Pasien dengan tonus abnormal berlebihan mungkin juga menerima
intervensi farmakologis.

Pelatihan Ambulasi
Salah satu pertanyaan pertama yang sering diajukan pasien dengan SCI
adalah apakah mereka akan dapat berjalan lagi. Pertanyaan ini sering diajukan di
pusat perawatan akut segera setelah pasien cedera. Sejak awal, mungkin sulit
untuk menentukan potensi ambulasi pasien sekunder akibat syok tulang belakang
dan depresi dari aktivitas refleks. Berbagai filosofi tentang pelatihan gaya berjalan
diakui, dan banyak tergantung pada tim rehabilitasi tempat Anda bekerja.
Beberapa profesional perawatan kesehatan percaya bahwa yang terbaik adalah
memberikan pasien dengan potensi untuk ambulasi setiap peluang untuk
melakukannya. Orang-orang ini percaya bahwa sebagian besar pasien, diberi
kesempatan untuk mencoba berjalan dengan orthosis dan alat bantu, tidak akan
terus melakukannya setelah mereka menyadari kesulitan yang dihadapi. Mungkin
yang terbaik adalah mengizinkan pasien untuk mengambil keputusan tentang
ambulasi independen dari PT atau tim perawatan kesehatan. Profesi perawatan
kesehatan lainnya juga percaya bahwa seorang pasien harus memiliki kekuatan
dalam otot-otot fleksor pinggul sebelum ambulasi dicoba karena dibutuhkan
energi yang tinggi, waktu, dan sumber daya keuangan yang terkait dengan
pelatihan gaya berjalan. Sebagian besar pasien dengan cedera tingkat tinggi
memilih mobilitas kursi roda sebagai metode penggerak pilihan mereka setelah
mencoba ambulasi dengan orthosis dan alat bantu.
Benefits of Standing and Walking
Meskipun ambulasi fungsional mungkin tidak memungkinkan untuk
semua pasien dengan SCI, terapi berdiri telah mendokumentasikan manfaat.
Berdiri mencegah perkembangan osteoporosis dan juga membantu pasien
mengurangi risiko kandung kemih dan batu ginjal. Selain itu, peningkatan
sirkulasi, aktivitas refleks, pencernaan, spasme otot, dan tingkat kelelahan telah
dicatat pada individu yang mampu berpartisipasi dalam program berdiri.
Pedoman telah ditetapkan mengenai penilaian kemungkinan pasien untuk
berhasil dengan ambulasi. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu sebagai
berikut:
(1) motivasi pasien untuk berjalan dan melanjutkan ambulasi setelah ia keluar dari
rehabilitasi (diberi kesempatan untuk mencoba ambulasi dengan orthosis, tugas
yang terlalu sulit untuk memutuskan latihan dan lebih suka tidak melanjutkan
pelatihan)
(2) berat dan bentuk tubuh pasien (semakin berat pasien, semakin sulit bagi pasien
untuk berjalan, dan pasien yang lebih tinggi biasanya merasa lebih tertantang
untuk berjalan dengan orthosis)
(3) ROM pasif yang ada di hip, knee, dan ankle (kontraktur hip, knee atau ankle
plantar fleksi membatasi kemampuan pasien untuk ambulasi dengan orthosis dan
kruk, pasien memerlukan sekitar 110o ROM pasif hamstring untuk dapat
mengenakan orthosis dan transfer dari lantai ketika jatuh)
(4) jumlah spastisitas (spastisitas ekstremitas bawah atau trunk dapat mempersulit
pemakaian orthosis)
(5) status kardiopulmoner pasien (pasien dengan fungsi paru yang lebih baik
memiliki waktu yang lebih mudah memenuhi kebutuhan energi berjalan)
(6) status sistem integumen.
Mengingat peluang untuk mencoba ambulasi dengan orthosis dan bantuan
dari PT atau PTA, beberapa pasien mungkin memutuskan itu adalah tugas yang
terlalu sulit dan memilih untuk tidak melanjutkan pelatihan. Semua faktor ini
harus dipertimbangkan oleh tim rehabilitasi ketika membahas ambulasi dengan
pasien.
Tergantung pada tingkat motorik pasien, berbagai jenis potensi ambulasi
telah dijelaskan. Literatur bervariasi pada tingkat motorik spesifik dan potential
untuk ambulasi. Untuk pasien dengan cedera T2 hingga T11, terapi berdiri atau
ambulasi mungkin dilakukan. Ini berarti bahwa pasien dapat berdiri atau ambulasi
di departemen terapi fisik dengan bantuan. Namun, ambulasi fungsional tidak
memungkinkan. Ambulator terapi membutuhkan bantuan untuk berpindah dari
duduk ke berdiri dan berjalan di permukaan yang rata. Pasien-pasien ini mencari
manfaat fisiologis dan terapeutik yang ditawarkannya. Pasien dengan cedera pada
tingkat T12 hingga L2 memiliki potensi untuk ambulator rumah tangga,
sedangkan pasien dengan persarafan di bawah L2 dapat mencapai ambulasi
komunitas fungsional.
Individu yang mencapai ambulasi rumah tangga atau komunitas dapat
berjalan di rumah mereka dengan orthosis dan alat bantu. Pasien pada tingkat ini
dapat mentransfer secara mandiri, untuk ambulasi pada tingkat tekstur permukaan
yang berbeda-beda. Energi untuk ambulasi pada pasien dengan cedera complete di
atas T12 berada di atas ambang anaerob dan tidak dapat dipertahankan untuk
waktu yang lama. Cerny dkk. (1980) melaporkan bahwa kecepatan berjalan untuk
pasien dengan paraplegia secara signifikan lebih lambat daripada berjalan normal,
dan gaya berjalan membutuhkan peningkatan konsumsi oksigen 50% dan
peningkatan denyut jantung 28%. Akibatnya, individu dengan paraplegia
menghentikan ambulasi dengan orthosis dan alat bantu mereka serta
menggunakan kursi roda mereka untuk negosiasi lingkungan.
Ambulasi komunitas dimungkinkan untuk pasien dengan cedera pada L3
atau lebih rendah. Pasien-pasien ini dapat berjalan dengan atau tanpa orthosis dan
alat bantu. Para ambulator komunitas dapat berunding secara mandiri dalam
komunitas dan dapat menegosiasikan semua hambatan di lingkungan.

Orthosis
Pasien dengan paraplegia yang memutuskan untuk mengikuti pelatihan
ambulasi memerlukan beberapa jenis ortosis. Gambar 12-14 menggambarkan
orthosis ekstremitas bawah yang paling umum diresepkan. Orthosis knee-ankle
mungkin direkomendasikan untuk pasien dengan paraplegia. Orthosis ini biasanya
memiliki manset paha dan sendi lutut eksternal dengan mekanisme penguncian
(kunci drop atau kunci jaminan adalah yang paling umum). Mereka memiliki
band betis dan sendi pergelangan kaki terkunci yang dapat disesuaikan. Scott-
Craig orthosis knee-ankle sering diresepkan untuk pasien dengan paraplegia.
Orthosis ini terdiri dari paha tunggal dan pita pretibial, kunci bail pada sendi lutut,
dan alas kaki yang dimodifikasi. Desain orthosis ini memberikan stabilitas
bawaan bagi pasien saat ia berdiri.

GAMBAR 12 – 14 A. Plastik kombinasi dan orthose logam knee-ankle, B. Orthosis knee-ankle-


foot Scott Craig adalah desain khusus untuk cedera tulang belakang. Orthosis terdiri dari double
uprights, offset sendi lutut dengan kunci dan kontrol bail, satu band paha posterior, satu band
tibialis anterior berengsel, sebuah sendi pergelangan kaki dengan penopang pin yang dapat
disesuaikan anterior dan posterior, bantalan tumit, dan pelat kaki yang dirancang khusus terbuat
dari baja , C. Orthosis gaya berjalan yang resiprokal, meskipun umumnya digunakan pada anak-
anak, juga digunakan pada orang dewasa. Komponen utamanya adalah pita panggul yang
dibentuk, ekstensi toraks, sendi pinggul dan lutut bilateral, cangkang paha posterior
polypropylene, bagian ortosis ankle-foot, dan kabel yang menghubungkan dua mekanisme sendi
pinggul.
Reciprocating gait orthosis adalah jenis lain dari orthosis yang mungkin
diresepkan untuk pasien dengan SCI. Perangkat ini dapat digunakan pasien
dengan sedikit kontrol trunk karena dukungan mid thoracic dan panggul.
Reciprocating gait orthosis memiliki sendi pinggul eksternal yang dioperasikan
oleh mekanisme kabel. Ketika pasien memindahkan berat badan ke satu
ekstremitas bawah, sistem kabel memajukan kaki yang berlawanan. Orang-orang
yang menggunakan gaya berjalan yang resiprokal sering menggunakan alat bantu
jalan kruk Lofstrand sebagai alat bantu pilihan mereka. Reciprocating gait
orthosis sering diresepkan untuk anak-anak dengan kelemahan ekstremitas bawah
sekunder akibat mielomeningokel.
Jenis baru sistem orthotic sekarang tersedia untuk pasien dengan SCI.
Sistem ARGO mirip dengan reciprocating gait orthosis, tetapi memiliki lift
hidrolik yang memungkinkan pasien untuk berpindah dari duduk ke berdiri lebih
mudah. Sistem ini tampaknya memiliki potensi yang sangat baik untuk pasien
dengan cedera toraks tingkat tinggi.

Preparation for Ambulation


Keputusan untuk mencoba latihan berjalan dibuat oleh pasien dan tim
rehabilitasi. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, tingkat motorik pasien dan
faktor-faktor lain harus dipertimbangkan. Pada umumnya, pasien harus mandiri
dalam mobilitas mat, transfer kursi roda ke matras, dan mobilitas kursi roda pada
permukaan yang rata sebelum memulai latihan gaya berjalan. Banyak klinik
memiliki orthosis pelatihan yang memungkinkan pasien untuk berlatih berdiri
sebelum orthosis permanen diresepkan dan diproduksi. Seorang orthotist harus
bekerja dengan pasien untuk membantu mengidentifikasi dan membuat ortosis
terbaik untuk pasien.
CATATAN KHUSUS: Tergantung pada lama tinggal pasien di fasilitas
rehabilitasi, pelatihan gaya berjalan dapat dimulai pada akhir rawat inap pasien,
atau dapat dimulai dengan sungguh-sungguh dalam pengaturan rawat jalan.
Setelah orthosis permanen dikirimkan, sekarang saatnya untuk memulai
sesi latihan jalan pertama. Jika mungkin, ahli ortotik harus hadir untuk sesi ini.
Memiliki pasien dan orthosis adalah langkah pertama. Sering kali paling mudah
bagi pasien untuk melakukan ini di atas tikar dalam posisi duduk lama. Pasien
harus didorong untuk melakukan sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri pada
upaya pertama ini. Dia harus mulai dengan menempatkan salah satu kakinya ke
dalam sepatu dan kemudian mengunci sendi lutut. Selama pelaksanaan kegiatan
ini, pasien menyadari perlunya memiliki jangkauan hamstring 110o. Setelah lutut
berada di orthosis, pasien dapat mengencangkan bantalan paha. Dari sana, pasien
harus mulai memasukkan kaki yang lain ke dalam orthosis. Setelah kedua orthosis
aktif, terapis dan orthotist (jika ada) akan memeriksa orthosis dan memeriksa
kecocokannya. Orthosis tidak boleh bergesekan dengan kulit pasien, karena dapat
menyebabkan kemerahan dan dapat menyebabkan kerusakan kulit. Jika semuanya
terlihat memuaskan, pasien kemudian harus diperintahkan untuk pindah kembali
ke kursi rodanya untuk mulai melakukan kegiatan berdiri di palang paralel.
Setelah menyelesaikan sesi latihan gaya berjalan dan pengangkatan orthosis, kulit
pasien harus diperiksa sekali lagi untuk memastikan bahwa tidak ada area tekanan
atau kerusakan kulit.

Standing in the Parallel Bars


Hal pertama yang perlu dilakukan pasien adalah pindah ke berdiri. Terapis
pada awalnya harus menunjukkan manuver ini untuk pasien. Cara termudah
adalah menahan pasien ke bars dan menarik ke depan. Dalam persiapan untuk
transisi ini, pasien perlu bergerak maju dengan kursi rodanya. Minta pasien untuk
mendorong dan mengangkat pantat ke depan adalah yang terbaik, untuk mencegah
gesekan kulit pasien. Setelah pasien maju di kursinya, terapis memastikan orthosis
pasien terkunci. Jika ini adalah pertama kalinya pasien berdiri, akan lebih aman
jika ada dua orang yang membantu. Saat pasien mengenakan sabuk pengaman,
satu orang diposisikan di depan pasien, dan orang lain di samping atau di
belakang pasien. Pada hitungan ketiga, pasien menarik diri ke depan paraller
bars. Individu yang membantu pasien juga memberi pasien kekuatan dan
momentum yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transfer.
Setelah berdiri tegak, pasien harus bekerja untuk menemukan titik
keseimbangannya. Ekstremitas bawah pasien harus agak terpisah, punggung
bawahnya harus dalam hiperekstensi, bahu pasien kembali, dan tangan pasien
harus maju dari pinggulnya dan berpegangan pada palang sejajar. Pada dasarnya,
pasien beristirahat di ligamen Y di daerah pinggul dan panggul. Orthosis
ekstremitas bawah dan posisi memungkinkan pasien untuk memindahkan pusat
gravitasinya di belakang sendi pinggulnya. Setelah pasien dapat menemukan titik
keseimbangannya, ia akhirnya akan dapat berdiri dan mempertahankan
keseimbangannya tanpa menggunakan ekstremitas atasnya. Untuk menjaga pasien
selama kegiatan ini, terapis akan berada di belakang atau samping pasien. Terapis
berpegang pada sabuk gaya berjalan dan harus menghindari memegang lengan
atas pasien. Terapis dapat menempatkan tangan pendukung di bahu anterior
pasien selama terapis tidak memberikan kekuatan penyeimbang.
Selama berlatih titik keseimbangan, pada awalnya pasien harus
mempraktikkan aktivitas dengan kedua tangan pada palang sejajar. Pasien harus
didorong untuk memegang palang dengan ringan dan harus diinstruksikan untuk
tidak meraih atau menariknya. Seringkali, membiarkan pasien mengistirahatkan
tangannya di bars mungkin yang terbaik. Akhirnya, Anda akan ingin pasien
menyeimbangkan dengan satu tangan dan akhirnya tanpa tangan. Pasien pada
akhirnya harus dapat berdiri di orthosis tanpa dukungan ekstremitas atas.
Setelah pasien merasa nyaman dengan titik keseimbangannya, ia dapat
mulai berlatih push up di bars. Dengan kedua tangan dalam posisi tegak lurus,
pasien menekan palang dengan menekan pundak dan melipat kepalanya.
Bergantung pada jenis orthosis ekstremitas bawah, terapis akan mencatat apa yang
terjadi pada ekstremitas bawah pasien selama push-up. Paling sering, kakinya
menjuntai bebas. Jika spreader bars melekat pada orthosis, kaki akan bergerak
satu unit. Melakukan push-up adalah aktivitas prasyarat bagi pasien untuk
bergerak ke arah depan.
Setelah pasien berlatih mempertahankan titik keseimbangannya, ia juga
harus berlatih jack-knifing. Jack knife dapat digambarkan sebagai gerakan tubuh
bagian atas pasien dan kepala ke depan panggul. Meskipun jack-knifing adalah
kejadian yang tidak diinginkan, aktivitas ini harus dipraktikkan di bar paralel
selama sesi latihan berjalan awal. Dengan kedua tangan di depan, pasien
membungkuk ke depan pinggang dan menurunkan trunknya ke bawah ke bar
paralel. Pasien kemudian mendorong dirinya kembali ke posisi tegak. Setelah
pasien merasa nyaman dengan aktivitas ini, ia dapat berlatih jatuh ke posisi jack
knife. Terapis juga dapat membantu pasien dengan pencapaian posisi jack knife
dengan menarik pinggul dan panggul pasien dengan lembut ke arah posterior.
Untuk meninjau kembali, posisi jack knife adalah posisi yang
kemungkinan akan diasumsikan oleh pasien jika ia kehilangan keseimbangan
selama aktivitas ambulasi. Pasien harus mengenali posisi ini dan perlu tahu apa
yang harus dilakukan jika terjadi selama aktivitas berjalan. Jika posisi ini harus
terjadi selama gaya berjalan, pasien akan ingin meluruskan sikunya sambil
ekstensi kepala dan trunk.

Gait Progression
Setelah pasien dapat mempertahankan titik keseimbangannya dan dapat
melakukan push-up untuk mengangkat kakinya dari lantai, ia siap memulai
ambulasi maju di bar paralel. Anda mungkin bertanya-tanya berapa lama biasanya
ini berlangsung. Biasanya, Anda ingin memajukan pasien untuk mengambil
beberapa langkah pada upaya berdiri dan ambulasi pertama. Namun, dokter harus
memantau respons pasien secara terbuka selama berdiri dan ambulasi. Efek
kelelahan, hipotensi ortostatik, penurunan daya tahan kardiopulmoner, dan
kecemasan yang terkait dengan berdiri dan berjalan dengan mudah dapat
membanjiri pasien. Untuk memantau respons fisiologis selama perawatan, dokter
harus mengambil nadi awal, pernapasan, dan pembacaan tekanan darah sebelum
pasien berdiri. Pemantauan cermat tanda-tanda vital selama bagian pelatihan gaya
berjalan dari sesi perawatan juga diindikasikan. Selain itu, pasien harus
diinstruksikan untuk segera melaporkan perasaan flight-headedness atau dizziness
immediately.
Asisten harus menginstruksikan pasien untuk menemukan titik
keseimbangannya sebelum bergerak maju dalam bar paralel. Kepala pasien harus
tegak, memandang ke depan. Pasien kemudian menekuk kepalanya, menekan
tangannya, menekan pundaknya, dan mengangkat ekstremitas bawahnya dari
lantai. Ketika pasien menekan pundaknya dan meluruskan sikunya, ia harus
menjulurkan kepala dan lehernya dan mengembalikannya ke posisi netral. Untuk
menjaga keseimbangannya, pasien harus segera menggerakkan tangan ke depan
dari pinggulnya. Jika pasien mempertahankan tangannya di tempat yang sama
setelah menyelesaikan lift, ia akan mencabut knife. Setelah kaki pasien melakukan
kontak dengan lantai, ia harus melemparkan pinggulnya ke depan untuk
beristirahat di ligamen Y. Jenis pola berjalan ini dikenal sebagai pola swing-to
karena pasien menggerakkan kakinya dengan jarak yang sama dengan tangannya.
Pasien harus mengulangi langkah-langkah yang baru saja dijelaskan sampai ia
berkembang ke ujung garis paralel. Pada titik ini, seseorang dapat menarik kursi
roda di belakang pasien, atau pasien dapat diminta melakukan quarter-turn. Jika
pasien tidak terlalu lelah, ia harus melanjutkan dan mempelajari teknik memutar.
Intervensi 12-27 menggambarkan posisi kepala dan trunk yang benar untuk
kegiatan pelatihan gaya berjalan.

Intervention 12 – 27 Gait Progression


A. Pasien menemukan titik keseimbangannya.
B. Dia memajukan kruk ke depan.
C. Pasien memfleksikan kepalanya dan menekan kruk.
D. Panggul dan ekstremitas bawahnya bergerak ke depan.
E. Kakinya menyentuh lantai.
F. Pasien mengangkat kepalanya dan melanjutkan postur lordotik.
Quarter-Turns
Untuk menyelesaikan quarter-turn, pasien menekan pundaknya dan
mengangkat kakinya saat dia mengubah posisi tangannya pada bar paralel.
Intinya, ia menyelesaikan two quarterturns untuk mengubah arah. Pasien harus
berlatih training di kedua arah.

Sitting
Sebelum beralih kembali ke duduk, pasien harus diinstruksikan dalam
teknik yang tepat. Kursi roda tidak harus ditarik ke belakang kaki pasien. Ingat,
pasien pindah dari berdiri ke duduk dengan orthosis ekstremitas bawah terkunci
dalam ekstensi. Untuk alasan ini, kursi harus setidaknya 12 inci dari pasien
sehingga pasien tepat duduk di kursi roda. Jika kursi terlalu dekat dengan pasien,
ia mungkin mendorong kursi ke belakang. Asisten harus meminta pasien menjaga
kedua tangannya pada bar paralel saat turun. Pada waktunya, pasien akan
diinstruksikan dengan metode lain untuk melakukan perpindahan dari duduk ke
berdiri dan dari berdiri ke duduk tanpa menggunakan bar paralel.

Swing-Through Gait Pattern


Setelah pasien merasa nyaman dengan pola swing-to gait, pasien dapat
melanjutkan ke pola swing-through. Tekniknya sama dengan pola ayunan, kecuali
pasien menggerakkan kakinya sedikit lebih jauh ke depan, dan berhenti di antara
langkah, pasien menggerakkan tangannya ke depan lagi dan mengambil langkah
lain. Pola gaya berjalan ini memungkinkan pasien untuk bergerak maju sedikit
lebih cepat dan lebih hemat energi.

Other Gait Patterns


Jika pasien memiliki persarafan ekstremitas bawah, khususnya fleksi hip,
pasien mungkin memiliki potensi untuk menggunakan pola gaya berjalan four-
point atau two-point. Kedua pola lebih mirip pola jalan resiprokal normal dengan
gerakan ekstremitas atas dan bawah.

Backing Up
Pasien juga harus diinstruksikan untuk backing up. Ini penting ketika
pasien mulai menggunakan kruk pada permukaan yang rata dalam departemen
terapi fisik. Awalnya, backing up dapat dilakukan di bar paralel. Pasien
menundukkan kepalanya, menekan pundaknya, dan mengekstensikan sikunya.
Posisi ini menyebabkan pasien melakukan mini-jack knife dan memungkinkan
kaki pasien bergerak mundur. Pasien mengulangi urutan ini beberapa kali.
Progressing the Patient
Setelah pasien berlatih di bar paralel beberapa kali, sekarang saatnya untuk
berkembang menjadi ambulasi di luar itu. Dianjurkan untuk maju keluar dari bar
tanpa penundaan karena pasien dapat menjadi bergantung pada bar dan mungkin
merasa sulit untuk melakukan transisi ke ambulasi di lingkungan yang kurang
terlindungi. Untuk membantu dengan transisi ini, dokter dapat memilih untuk
memperkenalkan kruk Lofstrand (Kanada atau lengan bawah) sementara pasien
masih ambulasi di bar paralel. Kehati-hatian harus dilakukan ketika
mempraktikkan transisi masuk dan keluar dari kursi roda. Teknik-teknik ini paling
baik dilakukan dengan bagian belakang kursi roda diposisikan di sebelah dinding
untuk keamanan yang lebih besar. Selain itu, pasien harus memeriksa untuk
memastikan rem kursi roda terkunci.
Berdiri dari kursi roda jika pasien ingin mandiri dalam kegiatan ambulasi,
ia harus belajar untuk beralih dari duduk menjadi berdiri sendiri. Beberapa metode
yang mungkin untuk pasien. Metode pertama yang dijelaskan mungkin yang
paling mudah.
Langkah 1. Pasien meletakkan kursi roda di dinding dan mengunci rem.
Langkah 2. Pasien menempatkan kruknya di belakang kursi roda, untuk bersandar
pada pegangan dorong.
Langkah 3. Pasien bergerak ke tepi kursi rodanya. Pasien perlu menyelesaikan
push-up mini saat melakukan ini. Bergeser ke depan dapat menyebabkan
pergesekan pada kulit pasien.
Langkah 4. Dengan orthosis terkunci, pasien menyilangkan satu kaki dengan yang
lain.
Langkah 5. Pasien kemudian berputar di atas kaki tetap dan mendorong ke atas
untuk berdiri.
Langkah 6. Dengan berpegangan pada sandaran tangan kursi roda, pasien
mengamankan satu tongkat penopang, menempatkannya, dan kemudian menahan
tongkat penopang kedua.
Langkah 7. Setelah kruk berada di tempat, pasien mundur dari kursi roda,
mengambil dua atau tiga langkah mundur.
Intervensi 12-28 menunjukkan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mentransfer dari duduk ke berdiri dengan orthosis ekstremitas bawah dan kruk
Lofstrand. Cara alternatif menyelesaikan transfer ini adalah membuka kunci salah
satu orthosis dan berputar di atas ekstremitas bawah yang tidak terkunci. Teknik
ini bisa mengurangi stres pada sendi panggul daripada yang dijelaskan
sebelumnya. Pasien menyelesaikan transisi ke tegak dengan cara yang sama
seperti yang dicatat sebelumnya, kecuali bahwa pasien perlu mengunci sendi lutut
dari lutut yang ditekuk setelah posisi tegak dicapai. Pasien juga dapat
mengasumsikan berdiri dari kursi roda dengan mentransfer ke depan.
Langkah 1. Pasien bergerak maju ke tepi kursi.
Langkah 2. Dengan lengannya di kruk, pasien menempatkan kruk di lantai sedikit
di belakang roda depan.
Langkah 3. Pasien memfleksikan kepalanya dan menekan kruk, untuk mendorong
dirinya keluar dari kursi roda.
Langkah 4. Setelah berdiri, pasien harus dengan cepat ekstensikan kepala dan
trunknya, untuk mendapatkan kembali lordosis lumbal yang diperlukan untuk
stabilitas berdiri.
Langkah 5. Ekstremitas atas pasien tetap, sampai pasien merasa telah
mendapatkan kembali keseimbangannya. Kemudian ia dapat menggerakkan
lengan dan kruknya ke depan. Intervensi 12-29 menunjukkan seorang pasien
menyelesaikan kegiatan ini. Metode ini sulit bagi banyak pasien karena
memerlukan banyak kekuatan, keseimbangan, dan koordinasi.
Setelah pasien berdiri dan mendapatkan kembali keseimbangannya, ia
dapat mulai ambulasi menggunakan pola swing-through, seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Dokter menjaga pasien dari belakang, dengan satu tangan di gait belt
dan yang lainnya di bahu posterior pasien, seperti yang digambarkan pada
Gambar 12-15. Dokter harus berhati-hati untuk menghindari penerapkan isyarat
sentuhan berlebihan pada pasien. Menarik sabuk pengaman atau menghalangi
pergerakan trunk atas pasien, menyebabkan pasien mengalami gangguan
keseimbangan. Untuk mendapatkan kembali posisi duduk setelah berjalan, berikut
ini yang disarankan: Langkah 1. Awalnya, pasien menghadap kursi roda.
Langkah 2. Pasien menempatkan kruk di belakang kursi.
Langkah 3. Pasien membuka kunci salah satu sendi lutut dan berputar di atas lutut
itu untuk mengambil posisi duduk.
Pasien dapat kembali duduk menggunakan metode straight-back. Namun
teknik ini sulit, dan mungkin paling baik digunakan ketika orang kedua hadir
untuk membantu transisi, untuk menstabilkan kursi roda.
Intervention 12 – 28 Sit-to-Stand Transfer with Orthoses
Urutan untuk mentransfer dari duduk ke berdiri dengan orthosis ekstremitas bawah.
Intervention 12 – 29 Coming to Stand from the Wheelchair
A. Pasien memfleksikan kepala dan upper trunk.
B. Pasien menggunakan hubungan kepala-pinggul dan aksi otot dari latissimus dorsi dan trisep
untuk mendorong dirinya tegak.
C. Berdiri tegak.

GAMBAR 12 – 15 Pasien dengan cedera pada level T12 yang ambulasi dengan kruk dan orthosis
knee-ankle bilateral untuk keseimbangan dan perkembangan ekstremitas bawah.
Gait Training with Crutches
Ketika pasien memulai pelatihan ambulasi pada permukaan yang datar
dengan tongkat penyangga, dia sekali lagi perlu menemukan titik
keseimbangannya. Pasien harus mempertahankan tangannya ke depan dari
pinggulnya untuk mencegah jack knifing. Awalnya, dokter dapat memilih untuk
melakukan pola swing to gait dengan pasien. Dokter harus menjaga pasien dari
belakang dengan berpegangan pada belt gait dan berjalan seperlunya. Beberapa
dokter mungkin merasa lebih mudah untuk menjaga pasien dari sisi awalnya
dengan berpegangan pada belt gait berjalan dan menempatkan tangan lain di bahu
pasien (lihat Gambar 12-14). Isyarat verbal dan sentuhan mungkin diperlukan
untuk membantu pasien dengan posisi kepala dan postur hyperlordotic. Jika
pasien kehilangan keseimbangan dan mulai jack-knife, dokter akan mendorong
panggul pasien ke depan dan bahu kembali untuk melanjutkan postur
hiperekstensi. Karena pasien akan bergerak relatif cepat, dokter harus mengambil
langkah-langkah yang lebih besar. Ketika pasien menjadi lebih mahir, pasien
dapat memulai pola swing-through gait.
Falling. Semua pasien yang mencoba latihan gait dengan kruk juga harus
diinstruksikan dalam teknik jatuh yang tepat untuk menghindari cedera. Upaya
jatuh pertama harus diselesaikan secara terkendali. Anda ingin pasien jatuh di atas
tikar. Pasien diperintahkan untuk melepaskan kruknya dan melepaskan tangannya
dari genggaman kruk. Pasien kemudian mencapai ke tanah dan memfleksikan
sikunya untuk menghindari trauma pada wrist. Jika fasilitas memiliki crash mat
(tikar ini lebih tinggi dan lebih lembut), membuat pasien terjatuh ke dalamnya
adalah titik awal yang lebih mudah bagi pasien.
Getting Up from the Floor. Setelah pasien berlatih jatuh ke lantai, pasien
juga harus belajar cara bangun dari lantai. Langkah-langkah berikut harus
digunakan untuk membantu pasien dalam kegiatan ini.
PERHATIAN: Pemindahan ini harus dilakukan di dekat dinding sehingga pasien
memiliki sesuatu untuk bersandar saat ia dipindahkan ke posisi tegak.
Langkah 1. Pasien diinstruksikan untuk mengambil posisi tengkurap di lantai.
Langkah 2. Pasien memposisikan kruk dengan ujung mengarah ke kepala dan
tangan disebelah pinggul.
Langkah 3. Pasien mendorong ke posisi plantigrade. (Pasien memastikan bahwa
kedua orthosis terkunci sebelum mencoba manuver ini.)
Langkah 4. Pasien meraih salah satu kruknya dan meletakkan ujung kruknya di
lantai untuk membantu transisi ke posisi tegak. Tangan pasien ada di pegangan
kruk.
Langkah 5. Pasien menggunakan kruk di lantai sebagai titik stabilitas saat ia
meraih tongkat penopang lainnya dan menempatkannya di lengan bawahnya.
Langkah 6. Pasien membalikkan kruk yang berlawanan dan menempatkan manset
lengan bawah pada daerah sikunya.
Langkah 7. Pasien mendapatkan kembali keseimbangannya dengan kruk.
Intervensi 12-30 menggambarkan urutan ini.

Intervention 12 – 30 Getting Up from the Floor


A. Instruksikan pasien untuk mengambil posisi tengkurap di lantai. Minta pasien menempatkan
kruk dengan ujung menunjuk ke kepala dan tangan disebelah pinggul pasien.
B. Pasien mendorong ke posisi plantigrade. (Pasien harus memastikan bahwa kedua orthosis
terkunci sebelum mencoba ini.)
C dan D. Pasien meraih salah satu kruknya, menggunakannya untuk keseimbangan. Kruk
bersandar di bahunya.
E dan F. Pasien menggunakan kruk di lantai sebagai titik stabilitas saat ia meraih tongkat
penopang lainnya dan menempatkannya di lengan bawahnya.
G dan H. Pasien mendapatkan kembali keseimbangannya dengan kruk.

Negotiating Environmental Factor


Jika pasien ingin mandiri dengan ambulasi di masyarakat, ia harus dapat
menegosiasikan jalur landai, trotoar, dan tangga dengan orthosis dan braces.
Ascending a Ramp
Langkah 1. Pasien menggunakan swing to gait pattern untuk berjalan untuk
bergerak maju ke jalan.
Langkah 2. Untuk menjaga keseimbangannya, pasien menjaga kruknya beberapa
inci di depan kakinya.
Langkah 3. Untuk meningkatkan stabilitas pinggul, panggul pasien harus maju
dalam posisi lordosis.
Descending a Ramp
Teknik yang sama seperti yang digunakan untuk ambulasi pada permukaan datar
dapat digunakan. Dianjurkan untuk menggunakan swingthrough gait pattern.
Ascending a Curb
Langkah 1. Individu mendekati trotoar secara langsung.
Langkah 2. Dalam posisi seimbang di dekat tepi trotoar, pasien meletakkan ujung
tongkatnya di trotoar.
Langkah 3. Pasien membungkuk ke depan, memfleksikan kepalanya, ekstensi
sikunya, dan menekan skapulanya (jack-knifes) untuk mengangkat ekstremitas
bawahnya ke tepi jalan (Jari kaki pasien menyeret ketinggian trotoar).
Langkah 4. Pasien dapat melangkah atau melewati kruk.
Langkah 5. Setelah kaki pasien mendarat di trotoar, ia harus mendapatkan kembali
titik keseimbangannya.
Descending a Curb
Langkah 1. Individu mendekati trotoar secara langsung.
Langkah 2. Dalam posisi seimbang di dekat tepi trotoar, pasien keluar dari trotoar,
memfleksikan kepalanya, ekstensi sikunya, dan menekan skapula.
Langkah 3. Setelah ekstremitas bawah pasien berayun melewati tepi trotoar, ia
menurunkan kakinya dengan berkontraksi otot-otot siku dan bahu secara
eksentrik.
Langkah 4. Ketika kaki pasien menyentuh tanah, ia harus mendapatkan kembali
titik keseimbangannya.
Meskipun Undang-Undang Penyandang Cacat Amerika meningkatkan
aksesibilitas pada banyak bangunan publik dan pribadi, banyak rumah dan
bangunan komunitas tidak dapat diakses oleh individu tertentu. Untuk alasan ini,
kami meninjau teknik untuk menginstruksikan pasien dalam negosiasi rumah
tangga.
Ascending Stairs
Pasien dapat naik tangga menggunakan teknik yang sama yang dijelaskan
untuk naik satu trotoar. Selain itu, pasien dapat diinstruksikan dalam pendekatan
alternatif, untuk naik tangga ke belakang.
Langkah 1. Pasien berdiri dengan punggung menghadap ke tangga dan dalam
posisi seimbang.
Langkah 2. Dengan kruk pada langkah di atas, pasien bersandar pada kruk,
ekstensi sikunya, dan menekan skapula. Manuver ini menyebabkan ekstremitas
bawahnya diangkat ke atas.
Langkah 3. Setelah kaki pasien menapak, ia ekstensikan leher dan menarik
skapula untuk mendapatkan kembali posisi panggul ke depan.
Pasien mengulangi langkah-langkah ini sampai ia berhasil naik semua
langkah yang diperlukan.
Descending Stairs
Pasien yang harus turun serangkaian langkah dapat menggunakan teknik
yang dijelaskan untuk turun trotoar. Namun, pasien harus berhati-hati karena
ruang di mana ia dapat mendarat terbatas. Pasien harus secara akurat mengukur
panjang langkahnya sehingga ia tidak akan ketinggalan satu langkah pun.

BODY WEIGHT SUPPORT TREADMILL AMBULATION


Penelitian dalam ilmu dasar telah dilakukan dalam upaya untuk
menipiskan defisit yang disebabkan oleh SCI. Penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa kucing dengan complete spinal cord transections dapat
memperoleh kembali kemampuan berjalan di atas treadmill setelah pelatihan.
Penelitian ini "menunjukkan bahwa spinal cord mampu mengintegrasikan dan
beradaptasi dengan informasi sensorik selama gerak". Yang menarik bagi para
peneliti dan dokter adalah keberadaan generator pola sentral, jaringan sel saraf di
spinal cord. Central pattern generators (CPG) menghasilkan lokasi dan
difasilitasi oleh input supraspinal; Namun, CPGS dapat diaktifkan oleh
rangsangan eksternal tanpa adanya pengaruh kortikal.
Penggunaan pelatihan treadmill body weight support (BWS) atau pelatihan
gait yang menahan berat badan parsial semakin populer sebagai intervensi
pengobatan pada pasien dengan SCIs yang incomplete. Pasien ditangguhkan oleh
harness di atas treadmill, yang memberikan postur tegak dan penurunan beban
pada ekstremitas bawah. Sekitar 45 – 50 % dari berat badan pasien didukung.
Pelatih kemudian membantu dengan pergerakan ekstremitas bawah pasien saat
treadmill bergerak. Gerakan treadmill menarik pinggul ke ekstensi dan
memfasilitasi fase ayunan dari siklus gait. Di beberapa fasilitas, pelatihan gaya
berjalan BWS dikombinasikan dengan stimulasi listrik. Stimulasi listrik dianggap
mendatangkan gerakan berbasis refleks di ekstremitas bawah.

DISCHARGE PLANNING
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, lama tinggal untuk rehabilitasi rawat
inap terus berkurang. Sebagai konsekuensinya, seseorang harus mulai
merencanakan pulang selama kunjungan pertama pasien ke terapi fisik. Semua
anggota tim rehabilitasi pasien, termasuk pasien, anggota keluarga, orang lain
yang signifikan, dan pengasuh, harus dimasukkan dalam proses. Upaya gabungan
dari semua individu ini membantu pasien membuat transisi yang sukses dari
rumah sakit ke rumah dan lingkungan kerja sebelumnya.
Proses perencanaan kepulangan idealnya mencakup sejumlah kegiatan
berbeda yang bertujuan untuk meningkatkan hasil fungsional pasien dan
memberikan transisi yang mudah dari fasilitas perawatan kesehatan ke rumah.
Kegiatan yang harus menjadi bagian dari proses perencanaan pemulangan
meliputi (1) konferensi perencanaan pemulangan
(2) trial home pass
(3) penilaian lingkungan rumah untuk memastikan aksesibilitas
(4) pengembangan rencana kejuruan
(5) pengadaan semua peralatan dan persediaan adaptif yang diperlukan
(6) pelatihan pengemudi (jika perlu)
(7) edukasi mengenai ketersediaan sumber daya masyarakat
(8) rekomendasi mengenai layanan rehabilitasi tambahan

Discharge Planning Converence


Konferensi perencanaan kepulangan harus diadakan kira-kira 1 sampai 2
minggu sebelum tanggal pemulangan yang diantisipasi pasien. Pada saat ini,
tindak lanjut medis dan rehabilitasi yang berkelanjutan harus ditangani, dan
tinjauan sumber daya yang tersedia untuk pasien dan keluarga harus disediakan.
Idealnya, pasien akan memiliki akses ke layanan tindak lanjut yang komprehensif.
Klinik spinal cord yang menawarkan ceck up rutin pada waktu yang ditentukan
sebelumnya. Pada pertemuan lanjutan ini, banyak potensi komplikasi jangka
panjang ditemukan dan berhasil dikelola. Sayangnya, banyak pasien yang
dipulangkan ke tempat-tempat di mana spesialis medis terlatih dalam memberikan
perawatan jangka panjang untuk populasi pasien ini tidak tersedia. Untuk alasan
ini, pasien harus diberikan edukasi mengenai cedera mereka, kemungkinan
komplikasi, dan hasil potensial untuk pemulihan mereka.
Selama konferensi perencanaan, masalah-masalah tertentu harus diatasi.
Yang diperhatikan meliputi:
1. Sikap dan rencana keluar pasien harus didiskusikan. Apakah pasien realistis
tentang seperti apa di rumah? Apakah mungkin pulang ke rumah?
2. Basis pengetahuan dan pemahaman yang diperlihatkan oleh pengasuh utama
pasien tentang SCI dan manajemen harus dinilai. Apakah pengasuh memahami
kondisi pasien dan tingkat perawatan yang dibutuhkan?
3. Ketersediaan dokter yang dapat menangani masalah medis dan komplikasi
sekunder yang ditemui oleh pasien dengan SCI harus didiskusikan.
4. Jumlah dan tingkat perawatan profesional dan petugas yang diperlukan oleh
pasien harus diatasi. Apakah pasien memiliki sarana keuangan (asuransi atau
pendapatan) untuk membayar perawatan pribadi? Pernahkah pasien menerima
semua peralatan ADL yang adaptif dan berfungsi di rumah? Peralatan, termasuk
kursi roda dan bantal kursi, harus diterima sebelum pasien keluar, sehingga
pelatihan atau modifikasi yang diperlukan dapat dilakukan di fasilitas. Selain itu,
hubungan dengan penyedia medis yang tahan lama disarankan.
5. Masalah transportasi yang terkait dengan sekolah, pekerjaan, kegiatan rekreasi,
dan janji temu dokter harus ditangani. Pasien dengan kursi roda listrik
membutuhkan akses ke vans dengan kemampuan mengangkat kursi hidrolik.
Pasien yang ingin melanjutkan mengemudi perlu memiliki kontrol tangan adaptif
yang dipasang di mobil mereka. Jadwal untuk menerima barang-barang ini bisa
lama. Karena itu, seseorang disarankan untuk memulai proses perencanaan ini
sejak dini.
6. Aksesibilitas rumah, sekolah, atau tempat kerja pasien harus diperhatikan.
Modifikasi arsitektur harus diselesaikan sebelum pasien keluar.
7. Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan aksesibilitas sumber daya
masyarakat dan dukungan untuk pasien dan anggota keluarganya harus
didiskusikan. Kelompok pendukung untuk pasien dan anggota keluarga mereka
tersedia di banyak komunitas. Kelompok-kelompok ini sering dapat memberikan
pasien dukungan emosional dan outlet sosial.
Kartu terapi sering diberikan kepada pasien yang hampir keluar dari rumah
sakit dan sangat bermanfaat untuk proses perencanaan keluar rumah sakit. Ketika
seorang pasien diberikan izin, pasien dilepaskan dari fasilitas perawatan kesehatan
selama beberapa jam atau dalam beberapa kasus, bermalam di perawatan anggota
keluarga. Ini digunakan untuk menentukan bagaimana pasien akan berfungsi
setelah dia keluar dari unit rehabilitasi. Selama perjalanan, pasien dan keluarga
dapat mempraktikkan keterampilan penting yang akan dibutuhkan begitu pasien
full time di rumah. Ini juga menawarkan peluang bagi pasien untuk menyelesaikan
masalah lintasan yang mungkin ditemui di rumah seperti tidak dapat diaksesnya
berbagai ruangan. Lewat membantu pasien dalam mendapatkan kembali
kepercayaan yang dibutuhkan untuk berfungsi di luar batas aman pengaturan
rehabilitasi. Banyak pasien sering cemas dan enggan keluar dari rumah sakit.
Rumah sakit atau unit rehabilitasi dianggap sebagai tempat yang aman dengan
perawatan harian 24 jam dan kenyamanan individu dengan masalah dan defisit
fisik yang serupa.
Setelah lulus, pasien kembali ke unit rehabilitasi untuk intervensi lanjutan
dan perencanaan untuk pemulangan. Pasien dan keluarga diharapkan untuk
berbagi pengalaman mereka mengenai izin tersebut sehingga pelatihan tambahan
dan pemecahan masalah dapat terjadi. Bersamaan dengan itu, jika modifikasi
lingkungan tambahan untuk hunian harus dilakukan, izin menyediakan informasi
yang diperlukan untuk menyelesaikan perubahan tersebut.
Sebagai komponen perencanaan kepulangan, pasien dan tim rehabilitasi
perlu mendiskusikan perencanaan kejuruan. Rujukan ke spesialis rehabilitasi
kejuruan atau, dalam beberapa kasus, seorang psikolog dapat mendorong
penyesuaian terhadap kecacatan pasien dan dapat membantu pasien dalam
memiliki sikap optimis terhadap masa depan. Sering kali, pasien tidak siap pada
titik tertentu untuk memikirkan masa depan, terutama tempatnya di dunia kerja.
Namun, memulai evaluasi kejuruan dan mendiskusikan kembalinya pasien ke
sekolah atau bekerja sangat positif dan membantu untuk menumbuhkan harapan
bahwa kegiatan ini dapat dilanjutkan.

Procurement of Equipment
Diskusi terperinci tentang peralatan pengamanan yang dibutuhkan pasien
sebelum keluar dari rumah sakit berada di luar cakupan teks ini. Beberapa item
umum yang harus dipertimbangkan disajikan di sini. Terapis okupasi dan tim
rehabilitasi harus dikonsultasikan untuk informasi yang lebih spesifik. Barang-
barang yang sering dibutuhkan oleh pasien pada saat pemulangan meliputi:
1. Wheelchair: Jenis dan persyaratan spesifik ditentukan oleh tim rehabilitasi.
Manfaat daya versus kursi roda manual harus dipertimbangkan. Biaya dan
penggantian mungkin menjadi perhatian bagi beberapa pasien.
2. Wheelchair cushion to assist with pressure relief: Meskipun perangkat
penghilang tekanan bermanfaat, mereka tidak menggantikan aktivitas pelepasan
tekanan atau pengalihan berat badan yang dilakukan secara teratur. Memilih
bantal kursi roda yang tepat tergantung pada kemampuan pasien untuk
memindahkan dan mematikan bantal dan tingkat dukungan yang dibutuhkan.
3. Hospital or pressure-relieving bed: Pasien dengan tetraplegia tinggi yang harus
pulang ke rumah mungkin memerlukan tempat tidur rumah sakit, tempat tidur
khusus lainnya, atau kasur udara.
4. ADLs adaptive equipment: Contoh-contoh item yang mungkin diperlukan
termasuk tongkat rias untuk membantu mengenakan pakaian, loop yang melekat
pada celana untuk membantu mengenakannya, kancing dan kait ritsleting untuk
membantu mengamankan barang-barang, tali Velcro dan tali sepatu elastis untuk
tingkatkan kemudahan mengenakan sepatu, sikat mandi, perlengkapan mandi
genggam, dan bangku bak mandi. Peralatan built-up, sikat gigi, dan gagang
mungkin diperlukan untuk pasien dengan tetraplegia. Penyangga pergelangan
tangan punggung atau manset universal mungkin diperlukan untuk membantu
pasien dalam aktivitas makan.
5. Environmental control units: Unit kontrol lingkungan yang dihubungkan
dengan komputer pribadi, telepon, dan peralatan di dalam rumah mungkin
disarankan. Sistem elektronik ini memungkinkan pasien dengan tetraplegia
mengendalikan lingkungan. Dengan mengaktifkan unit kontrol lingkungan, pasien
dapat menyalakan lampu, televisi, atau peralatan lain di dalam rumah. Rujukan ke
insinyur rehabilitasi atau penyedia lain yang memiliki keahlian di bidang ini.

Home Exercise Program


Untuk beberapa pasien, keluar dari fasilitas Anda adalah akhir dari
rehabilitasi mereka. Tidak semua pasien menerima layanan tindak lanjut setelah
mereka keluar. Oleh karena itu, pembimbing PT dan PTA harus merancang
program latihan di rumah untuk pasien yang akan memenuhi kebutuhan segera
dan jangka panjang pasien. Tidak masuk akal untuk berharap bahwa begitu
seorang pasien keluar, ia akan menghabiskan banyak waktu melakukan program
latihan di rumah. Individu akan menghabiskan banyak waktu setiap hari untuk
memenuhi kebutuhan perawatan harian. Dengan demikian, tim terapi fisik harus
memilih hanya beberapa kegiatan yang akan memberikan pasien dengan manfaat
fungsional terbesar.
Hal-hal yang Perlu Dipertimbangkan Ketika Mengembangkan Program
Latihan di Rumah
Beberapa faktor harus dipertimbangkan ketika mengembangkan program
latihan di rumah untuk pasien Anda. Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang
harus Anda tanyakan pada diri sendiri sebelum menyelesaikan program rumah
pasien.
1. Kegiatan apa yang akan dapat dilakukan pasien ketika dia keluar? Apakah
pasien dapat melakukan transfer secara mandiri? Apakah kemungkinan kemajuan
dalam keterampilan fungsional lainnya?
2. Kapasitas motorik dan kardiopulmoner apa yang perlu dimiliki pasien untuk
menyelesaikan ADL? Area yang perlu dipertimbangkan mencakup ROM,
kekuatan, fleksibilitas, keseimbangan, dan kapasitas vital.
3. Bagaimana pasien mempertahankan integritas kulit dan status pernapasannya
serta mencegah kemungkinan komplikasi sekunder?
4. Keterampilan dan kapasitas apa yang dapat dipertahankan pasien dengan
menyelesaikan rutinitas hariannya? Misalnya, berpakaian dan mandi membantu
menjaga ROM ekstremitas atas dan bawah.
5. Bidang apa yang akan memerlukan perhatian ekstra karena tidak ditangani
selama ADL rutin? Area yang perlu dipertimbangkan termasuk pemeliharaan
ekstensi pinggul dan pergelangan kaki dan ketahanan kardiopulmoner.
Selain mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini tentang motorik pasien dan
fungsi kardiopulmoner, orang juga harus mempertimbangkan pasien dan peran
keluarga atau pengasuh dalam merancang program latihan di rumah. Seperti yang
dinyatakan sebelumnya, pasien yang menderita SCI harus menjadi pemecah
masalah yang aktif dan harus dapat mengarahkan dan memulai perawatan mereka.
Pasien yang menjadi tergantung pada orang lain untuk membuat keputusan relatif
terhadap perawatan mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mengarahkan
program latihan di rumah. Kegagalan untuk memahami kemungkinan komplikasi
imobilitas dan kontraktur dapat menyebabkan kurangnya minat dalam program
latihan di rumah. Kegiatan peregangan dan penggerak kursi roda aktif setiap hari
akan banyak membantu pasien dalam mempertahankan tingkat kemandirian
fungsional yang optimal.
Family Teaching
Sebagaimana dibahas di sepanjang bab ini, keterlibatan dan pelatihan
keluarga adalah yang paling penting. Edukasi keluarga harus dimulai sejak awal
selama masa rehabilitasi pasien dan tidak boleh ditunda sampai beberapa hari
sebelum dipulangkan. Anggota keluarga atau pengasuh harus membantu dokter
dan asisten mereka dengan pemindahan pasien, tugas ADL, inspeksi kulit,
mobilitas kursi roda, penggunaan dan pemeliharaan peralatan, dan latihan ROM.
Seseorang harus bersabar dengan anggota keluarga ketika mereka mulai
mempelajari kegiatan ini karena mereka sering cemas dan takut menyebabkan
rasa sakit pasien atau cedera tambahan. Tidak hanya penting untuk mengajarkan
keluarga bagaimana membantu pasien secara fisik, tetapi keluarga juga harus di
berikan edukasi tentang cedera, potensi komplikasi, tindakan pencegahan, dan
kemungkinan hasil fungsional. Instruksi ini paling baik jika diberikan dalam
jangka waktu tertentu, untuk memberikan waktu yang cukup bagi anggota
keluarga atau pengasuh untuk mencerna dan mengasimilasi informasi. Jika pasien
harus pulang ke rumah, semua orang yang bertanggung jawab untuk membantu
perawatan pasien harus menunjukkan tingkat kompetensi dengan teknik sebelum
pasien keluar dari fasilitas.

Masuk kembali ke Komunitas


Ketika pasien bersiap untuk dipulangkan, area terakhir yang harus
dipertimbangkan adalah masuknya kembali individu ke dalam komunitas. Pasien
harus didorong untuk melanjutkan kegiatan yang sebelumnya dilakukan karena
tingkat kemandirian fungsional dan kepentingannya terjamin. Kemajuan yang
signifikan telah dibuat di bidang pekerjaan, kegiatan rekreasi, olahraga, dan hobi
bagi pasien penyandang cacat. Sekitar 31,8 % orang dengan paraplegia dan 26,4
% dari mereka yang menderita tetraplegia dipekerjakan 10 tahun setelah cedera
mereka. Faktor-faktor yang secara positif mempengaruhi pekerjaan setelah cedera
termasuk usia yang lebih muda, menjadi laki-laki kulit putih, tingkat pendidikan
yang lebih tinggi, motivasi, dan pekerjaan sebelumnya. Tinjauan menyeluruh dari
program rekreasi dan olahraga berada di luar cakupan teks ini.
Kualitas hidup
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar individu yang
mempertahankan laporan SCI bahwa, pada waktunya, mereka mencapai kualitas
hidup dan kesejahteraan psikososial yang memuaskan. Bukti menunjukkan bahwa
depresi dan permusuhan sering dialami pada awalnya setelah cedera berkurang
dari waktu ke waktu, dan individu memperoleh penerimaan kecacatan.
Mekanisme dukungan sosial individu dapat secara positif mempengaruhi
penyesuaian individu terhadap cederanya. Tingkat cedera tidak, memperkirakan
apakah seseorang puas dengan kualitas hidupnya.

Kebutuhan Perawatan Kesehatan Jangka Panjang


Seiring pertambahan populasi di Amerika Serikat, demikian juga para
korban dengan SCI. Peneliti memperkirakan bahwa 40 % orang dengan SCI
berusia lebih dari 45 tahun. Studi penelitian baru sekarang mulai membahas
bagaimana proses penuaan normal mempengaruhi defisit muskuloskeletal dan
kardiopulmoner yang sudah ada sebelumnya yang dialami oleh orang-orang yang
memiliki SCI dan bagaimana tekanan kumulatif berkelanjutan dari bertahun-tahun
propulsi kursi roda, kegiatan ekstremitas atas berulang, dan bantuan ambulasi
dapat mempercepat masalah. ditemui penuaan. Seiring bertambahnya usia pasien,
mereka dapat mengalami penurunan fungsi dan kebutuhan untuk menggunakan
bantuan yang lebih besar. Kelelahan, kelemahan, komplikasi medis, nyeri bahu,
kenaikan berat badan, dan perubahan postur telah dikaitkan dengan penurunan
fungsi. Untungnya, banyak dari batasan fungsional ini dapat menerima intervensi
terapi fisik, termasuk pengadaan peralatan adaptif, sistem tempat duduk, dan kursi
roda listrik.
Poin penting bagi penyedia layanan kesehatan yang bekerja dengan
individu dengan SCI adalah bahwa banyak masalah yang terkait dengan penuaan
dan penggunaan yang berlebihan dapat dicegah melalui pendidikan, promosi
kesehatan, dan kegiatan kesehatan. Layanan tindak lanjut yang komprehensif
sangat penting bagi orang-orang ini dan dapat mengurangi kejadian komplikasi
sekunder.
RINGKASAN BAB
Pasien dengan SCI mendapat manfaat dari layanan rehabilitasi komprehensif
untuk mengoptimalkan independensi fungsional mereka. Sesi perawatan terapi
fisik dimulai segera setelah cedera pasien dapat membantu meningkatkan
kekuatan, mobilitas, dan fungsi kardiopulmoner pasien. Perawatan harus
dilanjutkan dengan masuk ke pusat rehabilitasi yang komprehensif di mana
sumber daya tambahan dapat dikhususkan untuk pemulihan optimal pasien.
Berbagai intervensi dan modalitas terapi tersedia untuk membantu pasien dalam
mencapai tingkat tertinggi kemandirian fungsional. Menekankan partisipasi aktif
pasien dalam proses rehabilitasi sangat penting. Selain itu, edukasi pasien dan
keluarga harus dimasukkan sejak awal rehabilitasi untuk memastikan transisi yang
sukses dari fasilitas perawatan kesehatan ke rumah. Diskusi awal dengan pasien
tentang kembali ke rumah dan bekerja atau sekolah membantu pasien dengan
reintegrasi ke masyarakat. Perawatan tindak lanjut jangka panjang yang memadai
tetap sangat penting untuk menghilangkan atau meminimalkan potensi komplikasi
jangka panjang yang dapat terjadi pada populasi pasien ini. Intervensi medis baru
akan tersedia untuk pasien dengan SCI, yang akan meningkatkan potensi
fungsional mereka saat penelitian berlanjut di bidang perbaikan dan regenerasi
spinal cord.
PENYAKIT NEUROLOGIS LAINNYA

KATA PENGANTAR

Banyak gangguan neurologis yang bersifat kronis seperti Penyakit


Parkinson (PD) dan Multiple Sclerosis (MS), dan beberapa bersifat akut seperti
Sindrom Guillain-Barre (GBS). Individu dengan Sindrom Postpolio (PPS)
mengalami gejala baru beberapa dekade setelah mengalami polio. Pemulihan
penuh tidak dapat diharapkan pada gangguan neurologis ini kecuali dengan GBS.
GBS ialah kejadian perifer daripada kejadian sistem saraf pusat, dan remielinasi
saraf dapat terjadi.

Penyakit parkinson dan multiple sclerosis adalah gangguan progresif.


Terlepas dari kenyataan tersebut, harapan hidup di kondisi neurologis yang
dibahas di sini biasanya tidak dapat berkurang secara serius. Ada beberapa
pengecualian seperti kapan sistem kardiopulmoner terlibat atau ada yang cepat
perkembangan penyakit. Terlepas dari apakah penyakitnya akut atau kronis, atau
apakah pemulihan terjadi sebagai bagian dari proses patologis, fisioterapi dapat
membantu individu dengan kondisi ini dan keluarga mereka untuk mencapai
fungsi optimal.

Strategi intervensi harus berhubungan dengan tingkat keterlibatan dan


tahap perkembangan penyakit, atau dalam beberapa kasus pemulihan dilihat
kemampuannya. Misalnya, seseorang yang didiagnosis dalam tahap awal MS atau
PD mungkin dapat berpartisipasi dalam program latihan intensitas sedang,
sementara seseorang dalam tahap lanjut dari PD atau MS tidak akan mampu.
Latihan dan intervensi fisioterapi lainnya harus spesifik berdasarkan jenis dan
tingkat parahnya disfungsi gerakan. Misalnya, dalam seorang pasien dengan MS
yang menunjukkan ataksia (suatu kondisi pergerakan yang terlalu banyak),
stabilitas lebih penting daripada mobilitas. Dalam PD, bagaimanapun, ketika
tubuh individu, khususnya trunk, menunjukkan kekakuan, mobilitas lebih penting
daripada stabilitas. Gambaran klinis, insiden, dan etiologi dari masing-masing
gangguan akan didiskusikan bersama dengan tujuan fisioterapi dan contoh
intervensi.

PENYAKIT PARKINSON

Penyakit Parkinson (PD) pertama kali dijelaskan pada tahun 1817 oleh
James Parkinson dalam esai tentang palsy yang bergetar. Itu adalah kronis,
kondisi neurologis progresif yang memengaruhi sistem motorik. Triad klasik
bradykinesia (kelambatan gerakan), kaku, dan tremor adalah indikasi PD.
Keempat gejala utamanya adalah instabilitas postural. Gejala-gejala ini terjadi
karena adanya penurunan dopamin, suatu neurotransmitter, disimpan di substantia
nigra. Substansi nigra adalah komponen dari basal ganglia (lihat Bab 2 dan
Gambar 2-6). Basal ganglia utamanya bertanggung jawab atas pengaturan postur
dan gerakan. Lesi di basal ganglia lebih mengubah karakter gerakan dibandingkan
menghasilkan kelemahan atau paralisis (Fuller et al., 2003).

Pada kenyataannya, Parkinsonisme adalah sekelompok gangguan yang


terlibat dalam disfungsi basal ganglia. Jenis yang paling umum dari
parkinsonisme primer atau penyakit parkinson. Itu juga dikenal sebagai penyakit
Parkinson idiopatik (IPD) karena tidak ada penyebab yang jelas. Parkinsonisme
jenis lain yaitu parkinsonisme sekunder dan sindrom parkinson-plus.
Parkinsonisme sekunder terjadi sebagai akibat dari kondisi lain dan dapat
dikaitkan dengan enchepalitis, alkoholisme, paparan racun tertentu, traumatic
brain injury, gangguan pembuluh darah, dan penggunaan obat-obatan
psikotropika. Penggunaan obat jangka panjang digunakan untuk mengendalikan
suasana hati dan perilaku dapat menghasilkan gejala seperti Parkinson. Sindrom
Parkinson-plus termasuk gangguan seperti atrofi multisistem, progresif palsy
supranuklear, dan sindrom shy-drager. Sindrom ini menghasilkan tanda-tanda
neurologis lain dari beberapa system degenerasi seperti disfungsi serebelar dan
disfungsi system autonom (disautonomia) ditambah dengan tanda klasik yang
mengindikasi degenerasi penghasilan neuron dopamine dari substantia nigra.

Penyakit Parkinson adalah salah satu dari tiga yang paling umum
gangguan gerak di Amerika Serikat (Shannon, 2003). PD menyumbang 85 persen
dari kasus Parkinsonisme. Deskripsi dan diskusi lebih lanjut akan dikelompokkan
ke primer atau PD idiopatik dengan hanya sumber minimal ke jenis
parkinsonisme lainnya. Insidensi adalah 20,5 per 100.000 di Amerika Serikat dan
5 hingga 24 per 100.000 di seluruh dunia. Insiden itu meningkat seiring dengan
bertambahnya usia bayi boomer karena PD menjadi lebih umum seiring
bertambahnya usia. Pada tahun 2020 Diperkirakan akan ada lebih dari 1,5 juta
orang hidup dengan PD di Amerika Serikat (Fuller et al., 2003). Onset rata- rata
terjadi pada usia 62,4 tahun dengan sebagian besar kasus terjadi antara 50 dan 79
tahun; 10 persen dari kasus terjadi sebelum usia 40.

Etiologi PD mungkin multifaktorial karena banyak faktor yang


berkontribusi pada entitas klinis. Faktor risiko pertambahan usia dan memiliki
anggota keluarga yang terkena. Sementara sangat sedikit kasus PD semata-mata
berasal dari genetik, di sana adalah bukti untuk mendukung peran faktor genetik.
Adanya bukti untuk mendukung faktor lingkungan seperti signifikan penggunaan
pestisida dan herbisida berperan dalam menyebabkan proses penyakit.
Kemungkinan, ada interaksi antara faktor genetik dan lingkungan yang
menyebabkan PD (Warner dan Schapira, 2003).
PATOFISIOLOGI

Penyakit parkinson adalah kelainan produksi neuron dopamin (DA) dari


substantia nigra di basal ganglia. Substansia nigra adalah gray matter di
subkortikal yang mengandung neuron berpigmen. Ketika neuron-neuron ini
menurun, mereka kehilangan warnanya. Kehilangan neuron 70 hingga 80 persen
terjadi sebelum gejala menjadi jelas. Tingkat keparahan DA berkorelasi dengan
jumlah gerakan lambat atau bradikinesia yang dihasilkan oleh pasien. Hilangnya
neuron DA dan produksi tubuh Lewy dalam pigmen neuron substantia nigra
adalah ciri khas dari idiopatik PD. Tubuh Lewy mengandung neurofilamen dan
hialin; ini adalah bagian dari proses penuaan dan populasi neuron terlihat rentan.
Tubuh Lewy ditemukan jumlahnya lebih kecil dalam gangguan neurodegeneratif
lain seperti Penyakit Alzheimer tetapi di area otak yang berbeda.

Dopamin adalah neurotransmitter rangsang dan penghambat. Karena peran


basal ganglia dalam pergerakan inisiasi dan dalam melepaskan satu urutan
gerakan agar yang lain dapat dimulai, sirkuit basal ganglia diubah . Saat dopamin
defisit, beberapa jalur tidak cukup diaktifkan sementara jalur lain menjadi
hiperaktif. Aktivitas yang tidak memadai memperlambat gerakan dan
memengaruhi waktu. Sistem kolinergik menjadi lebih aktif karena kurangnya
penghambatan dari dopamin. Asetilkolin digunakan oleh neuron kecil yang saling
terhubung di ganglia basal. Aktivitas kolinergik meningkat berarti lebih banyak
asetilkolin dan menyebabkan peningkatan aktivitas otot di kedua sisi sendi. Ini
menghasilkan gejala kekakuan dan memperlambat gerakan atau bradikinesia.

GAMBARAN KLINIS

Secara klinis, pasien dengan PD menunjukkan bradikinesia, kekakuan, tremor,


dan ketidakstabilan postural. Terutama bradikinesia terbukti memengerahi dalam
kegiatan hidup sehari-hari (ADL). Perlambatan gerakan oral bisa berakibat buruk
kejelasan bicara dan dukungan napas yang tidak memadai sering dimanifestasikan
sebagai suara monoton yang lembut. Menelan mungkin menjadi terganggu.
Tulisan tangan bisa sempit dan kecil yang dikenal sebagai micrograpbia. Akinesia
adalah ketidakmampuan untuk memulai gerakan seperti bangkit dari kursi,
berputar tempat tidur, atau hanya menyilangkan kaki. Saat gerakan melambat,
gerakan pasien cenderung untuk mengadopsi postur tetap ke depan dan
kemampuan untuk memperluas melawan gravitasi hilang.

Kekakuan terjadi pada tunk dan ekstremitas. Awal tanda masalah ini
terjadi ketika individu kehilangan kemampuan mengayunkan lengan saat berjalan.
Kekakuan adalah resistensi untuk gerakan pasif terlepas dari kecepatan gerakan
ment. Dua bentuk kekakuan, lead-pipe dan cogwheel, bisa ditemukan pada
seseorang dengan PD. Dalam kekakuan lead-pipe, ada resistensi konstan terhadap
gerakan ekstremitas pasif dalam segala arah tanpa memandang kecepatan.
Kekakuan cogwheel,adalah hasil dari kombinasi kekakuan lead-pipe dan tremor.
Penyebab kekakuan tangkapan dan tremor memungkinkan pelepasan. Jenis ini
kekakuan menghasilkan respons dendeng, seperti ratchet terhadap gerakan pasif
yang ditandai dengan tegang dan lepas. Kekakuan dari trunk merusak pernapasan
dan phonation dengan membatasi gerakan dinding dada. Kekakuan dapat
meningkatkan pengeluaran energi sepanjang hari, dan kehadirannya mungkin
terkait dengan kelelahan pasca latihan dialami oleh pasien ini.

Tremor sering merupakan tanda pertama dari PD. Karena itu nyata saat
istirahat dan menghilang pada gerakan volunteer, ini diklasifikasikan sebagai
tremor istirahat sebagai lawan dari niat (pada aksi) tremor. Getaran tangan
memiliki irama teratur (4 hingga 7 denyut per detik) dan digambarkan sebagai "pil
bergulir." Tremor juga dapat terjadi di daerah mulut atau di dalam otot-otot
postural pada kepala, leher, dan trunk. Tremor mungkin dimulai secara unilateral
dan berkembang dari waktu ke waktu ke empat anggota gerak dan leher. Tremor
jarang mengganggu ADL.

Ketidakstabilan postural adalah masalah yang sangat serius bagi pasien


dengan PD. Kehilangan ekstensi postur dan ketidakmampuan untuk menanggapi
gangguan postur yang diharapkan dan tidak terduga dapat menyebabkan jatuh.
Potensi jatuh meningkat semakin lama seseorang memiliki penyakit. Orang
dengan PD juga memiliki kepercayaan diri yang lebih rendah untuk dapat
menghindari jatuh saat melakukan ADL daripada kelompok kontrol yang sehat
(Adkins et al., 2003). Meningkanya rasa takut jatuh lebih jauh berkontribusi pada
risiko jatuh lebih besar dalam populasi ini masih ditentukan. Defisit visuouspatial
dan lambatnya pemrosesan informasi sensorik terkait keseimbangan berkontribusi
pada ketidakstabilan postur tubuh (Melnick, 2001). Respons postural yang
abnormal dihasilkan dari ketidakmampuan untuk membedakan gerakan sendiri
dari gerakan lingkungan. Orang dengan PD bergantung pada penglihatan untuk
isyarat gerakan dan tidak dapat menggunakan informasi vestibular dari telinga
bagian dalam untuk membuat postural yang sesuai respon (Bronstein et aI., 1990).

Gambaran khas lain dari PD termasuk postur yang fleksi, masked face,
dysphagia, gaya berjalan yang berlebihan, episode beku, dan kelelahan. Defisit
postural termasuk fleksi kepala, leher, dan trunk, yang menciptakan perpindahan
ke depan pusat gravitasi (Gbr. 13-1). Namun, berlebihan fleksi di pinggul dan
lutut dapat membantu membawa berat badan lebih posterior. Seiring waktu,
perubahan postur tubuh ini menjadi tetap karena kekakuan pada trunk dan telah
digambarkan sebagai dystonia fleksi. Kehilangan ekstensi trunk terjadi pada awal
penyakit (Bridgewater dan Sharpe, 1998). Wajah menjadi kaku dan menunjukkan
sedikit atau tanpa ekspresi wajah. Struktur oral kehilangan kemampuan mereka
untuk bergerak dan menjadi kaku, menelan menjadi semakin sulit, menyebabkan
kekhawatiran tentang asupan gizi orang tersebut.
Jalan seseorang dengan PD sedang menyeret, diselingi oleh langkah-
langkah pendek dan peningkatan progresif dalam kecepatan seolah berusaha
mengejar ketinggalan. Ini disebut festination. Jika festination terjadi ketika
berjalan maju, itu disebut sebagai propulsion; jika festination terjadi ketika
berjalan mundur, itu disebut retropulsion. Pembekuan terjadi ketika orang
tersebut dalam postur stuck. Ini biasanya terjadi saat berjalan dan dapat dipicu
oleh situasi lingkungan seperti pintu atau perubahan permukaan lantai. Episode
beku dapat terjadi kapan saja, seperti saat membuat gerakan lengan, berbicara,
atau berkedip. Festination gait, disfungsi posturak, dan pembekuan adalah tiga
penyebab ketidakstabilan postural terlihat pada pasien dengan PD.

KELELAHAN

Kelelahan berkontribusi pada ketidakstabilan postur tubuh karena kesulitan orang


dengan pengalaman PD saat mencoba untuk mempertahankan suatu aktivitas.
Kelelahan memengaruhi 50 persen populasi ini dan sering merupakan salah satu
efek yang paling melumpuhkan (Friedman dan Friedman, 2001). Orang dengan
PD menunjukkan lesu selama hari berlangsung. Gaya hidup yang kurang gerak
dengan aktivitas yang menurun umunya berkontribusi pada dekondisi. Kelelahan
sangat terkait dengan distress emosional yang tinggi dan kualitas hidup yang
rendah pada pasien dengan PD
yang nondemented atau depresi
(Herlofson dan Larsen, 2003).
Pasien dengan peningkatan level
kelelahan lebih cenderung sama
seperti sedentary life dan
memiliki tingkat fungsi fisik yang
kurang dibandingkan dengan
mereka yang kurang kelelahan
(Garber dan Friedman, 2003).

JALAN

Kecepatan jalan yang lambat


dengan basis sempit dan
karakteristik festination atau
menyeret. Ayunan lengan hilang
pada awal proses penyakit. Postur
menjadi lebih dan lebih forward
flexion dan rentang gerak
ekstremitas bawah (ROM)
menjadi lebih dan lebih terbatas.
Heel strike dan toe off
Gambar 13-1. Tipikal postur hasil penyakit
Parkinson
menghasilkan penurunan foot clearance. Karena ketidakmampuan untuk
mengubah program motor begitu dimulai, orang kesulitan mengubah kecepatan
berjalan atau stride length dalam menanggapi perubahan tuntutan lingkungan.
Bradykinesia dan kekakuan adalah penyebab tidak adanya arm swing dan rotasi
trunk terlihat selama ambulasi dan berputar. Bond dan Morris (2000)
menunjukkan bahwa disfungsi berjalan pada orang dengan PD bertambah buruk
ketika mereka diminta untuk melakukan tugas kompleks sambil berjalan.
Kesulitan menghentikan program motor tersebut seperti ketika berjalan atau
berlari berpengaruh pada orang dengan PD akan tergelincir, tersandung, dan jatuh
(Morris dan lansek, 1997).

JATUH

Jatuh adalah masalah umum pada orang dengan PD. Schrag et ai. (2002)
menemukan bahwa 64 persen berbasis komunitas mereka subyek dengan PD telah
mengalami jatuh dengan ketidakstabilan postural. Seorang yang tua tinggal di
komunitas dengan PD dua kali lipat kemungkinan akan mengalami kejatuhan
seperti halnya orang yang tua tinggal di komunitas tanpa PD (Wood et al., 2002).
Selain itu, penelitian terakhir menemukan bahwa jatuh sebelumnya, durasi
penyakit, demensia, dan hilangnya arm swing adalah prediktor jatuh. Oleh karena
itu, orang dengan PD yang telah jatuh sebelumnya lebih mungkin jatuh lagi, dan
individu dengan demensia atau kehilangan arm swing lebih cenderung jatuh.
Semakin lama seseorang menderita PD, semakin besar risiko jatuh.

MANIFESTASI

Setengah dari individu dengan PD menunjukkan demensia dan perubahan


intelektual karena perubahan neurokimia di basal ganglia (Fuller et aI., 2003).
Demensia bersama dengan bradyphrenia, depresi, dan dysautonomia adalah
manifestasi sistemik dari penyakit. Bradyphrenia adalah proses berpikir yang
melambat. Biasanya disertai dengan kurangnya kemampuan untuk hadir dan
berkonsentrasi. Motivasi dan kepasifan yang rendah juga dapat dikaitkan dengan
depresi atau kekurangan sensorik dari kurangnya gerakan. Depresi adalah umum
pada pasien dengan PD, dan beberapa peneliti berpikir bahwa depresi dapat
dimulai bahkan sebelum timbulnya PD (Fuller et aI., 2003).

TINGKATAN

Klasifikasi Disabilitas Hoehn dan Yahr (Tabel 13-1) digunakan untuk tahap
keparahan keterlibatan pada PD. Tahap I menunjukkan penyakit minimal dan
Tahap V menunjukkan berada di tempat tidur atau menggunakan kursi roda
sepanjang waktu. Secara klinis, seseorang dengan PD dapat hadir dimulai dari
jinak, progresif, atau ganas. Dengan perjalanan klinis yang jinak, orang tersebut
tetap berada pada keduanya tahap I atau II empat tahun setelah diagnosis. Pada
fase progresif adalah terlihat pada individu yang memiliki progresi variabel,
sementara saat ganas menunjukkan bahwa penyakit orang tersebut berkembang ke
Tahap II atau III dalam waktu satu tahun setelah diagnosis. Rata-rata pasien
menunjukkan perkembangan penyakit yang lambat dan bertahap selama periode 5
hingga 30 tahun. Karena itu, harapan hidup seseorang-dengan PD sedikit lebih
pendek daripada seseorang tanpa PD pada usia yang sama (Weiner et aI., 2001).

Tabel 13-1 Hoehn dan Yahr Klasifikasi Disabilitas


Stage Karakteristik Diasabilitas
I Minimal atau absen, unilateral jika ada
II Minimal bilateral atau midline
III Kerusakan pada righting reflex,
Ketidakstabilan saat berbalik atau
bangkit dari kursi, Beberapa kegiatan
terbatas, tetapi pasien dapat hidup
mandiri dan melanjutkan beberapa
bentuk pekerjaan
IV Semua gejala ada dan parah, berdiri dan
berjalan bisa hanya dengan
menggunakan alat bantu
V Terbatas di tempat tidur atau kursi roda

Tabel 13-2 Penggunaan Obat untuk Penyakit Neurologis


Nama Brand Obat Penggunaan
Avonex Perpanjang waktu antara eksaserbasi di
RRMS
Betaseron Eksaserbasi dalam RRMS
Capaxon RRMS
Comtan "Hilang" dosis akhir pada PD
Cortisone/Corticosteroids/Prednisone Memperpendek serangan akut pada MS
Cylert Kelelahan pada MS
Dantrium Spastisitas
Ditropan Urgensi dan frekuensi kandung kemih
pada MS
Eldepryl Gejala awal PD
Immunex RRMS, MS progresif sekunder
Immunoglobulins Durasi dan tingkat keparahan sindrom
Guillain-Barre
Klonopin Tremor parah pada MS
Lioresal Spastisitas
Parlodel Dosis "habis pakai" dan diskinesia pada
PD
Probanthine Urgensi dan frekuensi kandung kemih
pada MS
Provigil Kelelahan pada MS
Rebif RRMS
Ritalin Kelelahan pada MS
Sinemet and Sinemet CR Bradikinesia dan rigiditas pada PD
Symmetrel, Symadine Bradikinesia dan rigiditas dalam PD
Kelelahan pada MS, PPS
Tegretol Kejang Tonik pada MS
Urecholine Retensi urin pada MS
Valium Spasme malam di MS

DIAGNOSIS

Tidak ada tes diagnostik untuk PD, oleh karena itu diagnosis berdasarkan
presentasi klinis dari tanda-tanda, gejala dan riwayat. Kehadiran dua dari empat
gambaran utama dan eksklusi dari sindrom Parkinson-plus biasanya digunakan
untuk membuat diagnosis (O'Sullivan, 2001a). Sindrom Parkinson-plus
melakukannya biasanya tidak menanggapi obat anti-Parkinson. Neuroimaging dan
tes lab biasanya normal kecuali ada adalah morbiditas yang hidup berdampingan.

MANAGEMEN MEDIS

Manajemen medis andalan pasien dengan PD bersifat farmakologis. Obat-obatan


digunakan untuk mengobati gejala. Selegiline HCI seringkali merupakan obat
pertama yang digunakan setelahnya diagnosis karena menunda perlunya
pemberian L-dopa. ini diperkirakan memperlambat perkembangan PD.

Andalan utama dalam pengobatan adalah levodopa atau L-dopa, yang


digunakan untuk menggantikan dopamin yang hilang. Ini bekerja paling baik
untuk mengurangi kekakuan dan membuat gerakan lebih mudah. Dopamin tidak
diberikan karena tidak dapat melewati blood brain barrier (BBB), tetapi L-dopa
bisa. Karena banyak L-dopa dihancurkan secara kimiawi sebelum sampai ke otak,
para ilmuwan tambahkan carbidopa ke L-dopa untuk menunda kerusakannya.
Selain itu memungkinkan lebih banyak L-dopa untuk mencapai basal ganglia dan
dosis obat yang lebih kecil dapat diberikan. Sinemet adalah nama merek obat
kombinasi yang biasa digunakan mengandung carbidopa dan levodopa.

Antikolinergik adalah obat yang menghambat peningkatan dalam


asetilkolin yang dihasilkan dari penurunan ketersediaan dopamin. Antikolinergik
sangat membantu dalam mengurangi istirahat tremor tetapi memiliki sedikit atau
tidak berpengaruh pada gejala parkinson lainnya termasuk ketidakstabilan
postural. Daftar obat-obatan dan tujuan penggunaannya terdapat pada Tabel 13-2.
PT perlu mengingatkan PTA untuk mencari kemungkinan efek samping obat-
obatan pasien.
Sayangnya, dengan penggunaan jangka panjang, L-dopa menjadi terapi
yang kurang efektif. Obat biasanya bekerja untuk hanya lima hingga tujuh tahun
sebelum manfaatnya tidak lagi terbukti. Jendela terapi yang kecil ini telah
melahirkan diskusi kapan memulai pasien dengan L-dopa. Umumnya adalah
menunggu sampai gejala pasien menjadi bermasalah untuk kegiatan sehari-hari
dan kualitas hidup. Motor fluktuasi adalah ketika gejala meningkat karena L-dopa
tidak lagi dapat menyebabkan efek dan halus. Waktu-waktu ini juga disebut
fenomena fluktuasi on / off atau fenomena on / off. Ketika seorang pasien
mengalami fluktuasi on / off, dyskinesias atau gerakan tidak sadar yang
melibatkan wajah, struktur oral, kepala, trunk, atau anggota gerak juga dapat
mengalaminya. Waktu dyskinesia ini dapat bervariasi. Pada beberapa individu,
mereka dapat terjadi pada efek puncak dari obat. Ini adalah pola yang paling
umum. Untuk orang lain, mereka terjadi pada awal atau akhir dosis. Sebelum
penggunaan L-dopa sebagai pengobatan untuk PD, individu dengan PD tidak
menunjukkan gerakan dyskinetik. Obat induksi dyskinesia dapat dibalik dengan
mengurangi dosis obat antiparkinson yang diberikan, bagaimanapun, tremor,
lambatnya gerakan, dan kesulitan berjalan semakin buruk. Oleh karena itu,
beberapa pasien lebih banyak mengalami dyskinesias daripada memiliki gejala PD
yang lebih parah. Menyeimbangkan obat-obatan sangat menantang terutama pada
tahap penyakit selanjutnya.

MANAJEMEN OPERASI

Menurut National Institute of Neurological Gangguan dan Stroke (2001),


pembedahan seharusnya hanya dipertimbangkan untuk pasien yang tidak
merespon dengan penggunaan obat. Namun baru-baru ini, operasi telah menjadi
opsi untuk tremor parah. Menghancurkan bagian thalamus dapat menghancurkan
bagian otak yang menghasilkan tremor. Area otak lainnya yang dapat diangkat
atau diputuskan hubungannya adalah globus pallidus. Ini disebut pallidotomy dan
mungkin meringankan bradykinesia, tremor, dan kekakuan. Ini dipandang
bermanfaat bagi pasien dengan dyskinesia yang diinduksi obat. Tidak ada jenis
intervensi yang mudah karena ada risiko signifikan dengan bedah saraf. Penelitian
eksperimental sedang dilakukan pada penggunaan stimulator implan otak dalam
untuk mengurangi gejala dari PD. Elektroda ditanamkan ke otak dengan kotak
stimulasi di bawah kulit seperti jantung yang bisa ditanamkan alat pacu jantung.
Infeksi adalah komplikasi potensial utama. Transplantasi sel janin juga sedang
diteliti di pusat-pusat khusus. Diharapkan bahwa sel-sel janin bisa mengganti sel-
sel substantia nigra yang hancur dan menjadi sumber dari dopamin. Ada masalah
etika dengan pendekatan manajemen ditambah biaya tinggi dan manfaat yang
tidak jelas (Weiner et aI., 2001).
MANAJEMEN FISIOTERAPI

Pasien mungkin hadir dalam tiga kategori umum: dominan tremor, bradykinesia /
akinesia, dan kekakuan / ketidakstabilan postur tubuh / kesulitan berjalan. Sasaran
bisa terkait dengan jenis presentasi pada pemeriksaan, tetapi ada banyak tumpang
tindih. Terapi fisik bermanfaat tambahan pengobatan untuk orang dengan PD (de
Goede et aI., 2001; Melnick, 200 1; Morris, 2000). Tujuan primer terapi fisik
adalah untuk memaksimalkan fungsi dalam menghadapi patologi yang
berkembang. Karena itu, fokusnya harus pada awal intervensi. Gait hypokinesia
atau lambat hampir memengaruhi semua orang dengan PD. Stride length terus
memendek ketika gangguan berkembang. Karena itu ajarkan strategi pasien untuk
bergerak lebih mudah adalah yang paling penting (Morris et aI., 1998).

Tujuan kedua adalah untuk mencegah gejala sisa sekunder seperti


dekondisi, perubahan muskuloskeletal terkait dengan kekakuan, kehilangan
ekstensi, dan rotasi. Sebagian besar individu dengan PD rentan terhadap infeksi
pernapasan (Melnick, 2001), jadi semakin lama seseorang dengan PD bergerak,
semakin kecil kemungkinannya perkembangan pneumonia. Intervensi terapi fisik
harus fokus pada memperlambat timbulnya perubahan yang dapat diprediksi di
postur, penggerak, dan tingkat aktivitas umum.

Terapis fisik perlu memastikan penyebabnya gangguan berjalan untuk memilih


strategi yang tepat saat intervensi. Asisten fisioterapi juga harus memahami alasan
di balik intervensi berjalan yang dipilih. Salah satu peran utama asisten PT dengan
pasien adalah untuk edukasi individu dan anggota keluarga tentang pentingnya
postur yang baik, berjalan setiap hari, dan manfaat dari aktivitas berkelanjutan.

Menggunakan isyarat visual dan pendengaran untuk meningkatkan


perhatian selama tugas gerakan adalah strategi yang tampaknya membantu dalam
mengobati gait hypokinesia. Berjalan sambil berpegangan kutub dapat
memvariasikan program motor yang cukup untuk mendapatkan berjalan lebih
cepat. Spidol dapat ditempatkan di lantai dan orang tersebut diarahkan untuk
menginjak atau di atas mereka. Berjalan menuju cermin memungkinkan terjadinya
umpan balik visual untuk mempertahankan trunk tegak. Strategi ini dapat
membantu pada tahap awal dan menengah. Perhatian strategi ini juga dapat
digunakan untuk meningkatkan berjalan, termasuk membuat orang tersebut
berpikir untuk mengambil langkah panjang, berlatih mental jalan yang harus
diambil sebelum berjalan, dan menghindari motor mental atau tambahan motor
sekunder selama tugas berjalan (Morris et aI., 2001). Secara umum, terlepas dari
tugas, memecah tugas menjadi komponen bagian sehingga orang dapat
memusatkan perhatian pada setiap bagian secara terpisah adalah strategi yang
sangat berguna (Morris, 2000). Berjalan lambat pada PD ditandai dengan langkah
pendek, jadi cara untuk mendokumentasikan perubahan respons terhadap latihan
adalah mengukur panjang langkahnya sebelum dan sesudah intervensi. Mungkin
tujuan yang terukur termasuk peningkatan panjang langkah pasien dengan jumlah
tertentu atau mengambil langkah lebih sedikit untuk jarak tertentu.

Mempraktikkan pola jalan alternatif seperti sidestepping, berjalan mundur,


braiding, dan berbaris ke berbagai irama dapat bermanfaat. Selain itu, buat tanda
pada lantai untuk individu untuk berjalan ke arah atau footprint untuk mencoba
dan cocok atau melangkah maju berguna. Isyarat gerakan perifer di dimana
asisten berdiri sedikit ke samping pasien sehingga pasien dapat melihatnya
bergerak seperti yang diminta untuk berjalan juga bermanfaat. Strategi untuk
mengurangi pembekuan yang mungkin terjadi termasuk meminta orang
menendang kotak atau mengambil sen. Pembekuan cenderung terjadi di ruang
yang lebih terbatas seperti melewati pintu. Namun, itu bisa terjadi di lingkungan
terbuka, sehingga beberapa strategi perlu diingat.

Tidak ada pedoman pasti tentang penggunaan alat bantu pada orang
dengan kesulitan berjalan sekunder pada PD (Melnick, 2001). Fisioterapis akan
menentukan efektivitas penggunaan alat bantu. Penggunaan tongkat atau alat
bantu jalan akan tergantung pada adanya tingkat koordinasi di ekstremitas atas
dan bawah. Rolling wheeled walker dengan rem pushdown dapat bermanfaat bagi
sebagian orang, sementara walker menghadap terbalik dapat membantu orang
yang kehilangan keseimbangan dalam arah mundur. Terlepas dari perangkat, itu
harus disesuaikan untuk mempromosikan ekstensi trunk dan bukan fleksi. Tidak
ada satu perangkat yang akan benar untuk semua orang, juga tidak semua orang
akan mendapat manfaat dari menggunakan semua perangkat waktu.

INTERVENSI POSTURAL

Karena ekstensi trunk dan rotasi hilang di awal tahun proses penyakit, penting
untuk menekankan latihan untuk memperkuat ekstensor postural segera setelah
diagnosis (Bridgewater dan Sharpe, 1998). Selain itu, latihan peregangan untuk
tight pectoral ditunjukkan jika otot-otot ini dipersingkat sehingga mencegah
ekstensi thoracic trunk. Peregangan heel cord diindikasikan untuk
mempertahankan plantigrade kaki dan perpindahan berat badan normal selama
berjalan. Latihan rotasi trunk dan anggota gerak seperti yang digambarkan dalam
Intervensi 13-1 dan 13-2 secara rutin direkomendasikan (Turnbull, 1992). Latihan
rotasi juga telah digunakan untuk mengurangi insiden pembekuan dalam jumlah
kecil pada kelompok pasien dengan PD stadium lanjut (Van Vaerenbergh et aI.,
2003). Inisiasi ritmis, teknik PNF, bisa digunakan untuk membantu pasien
memulai gerakan atau meningkatkan ROM melalui gerakan yang terjadi (lihat
Bab 9). Teknik ini sangat membantu ketika pasien melakukan pola fungsional
gerakan seperti rolling, datang ke duduk, atau datang untuk berdiri.
Teknik relaksasi digunakan untuk mengobati kekakuan dan kelelahan
(Melnick, 2001). Lembut, guncangan lambat dari trunk dan rotasi ekstremitas
dapat mengurangi kekakuan. Ini teknik yang paling baik digunakan saat orang
tersebut duduk dan sejak dalam posisi terlentang, kekakuan dapat meningkat.
Rotasi ritmis juga harus dimulai secara proksimal dan kemudian diaplikasikan
secara distal karena otot proksimal seringkali lebih kaku daripada yang distal.
Setelah penurunan kekakuan, gerakan sering terjadi lebih mudah dan lebih tidak
melelahkan. Gerakan besar khususnya membantu dan perlu mencakup seluruh
rentang dan harus menekankan pada ekstensi. Gerakan simetris bilateral lebih
mudah daripada reciprocal. Pasien kemudian dapat berkembang ke penggunaan
pola gerakan diagonal seperti memotong dan mengangkat (lihat Bab 9).

Deep breathing dapat dilakukan untuk meningkatkan relaksasi. Seseorang


dapat berada dalam posisi yang nyaman di telentang dan diajari untuk mengambil
napas dalam-dalam lambat menggunakan diafragma. Lanjutkan pasien untuk
duduk dan berdiri sementara masih berkonsentrasi menggunakan diafragma dan
lateral ekspansi dada. Ekspansi dinding dada lengkap sulit bagi pasien
mendapatkannya karena trunk sering kaku. Oleh karena itu, kekakuan dinding
dada dan malalignment postural perlu diatasi menggunakan umpan balik visual,
peregangan, dan latihan penguatan. Peregangan dalam posisi terlentang atau posisi
tengkurap untuk 30 menit sehari direkomendasikan (Morris, 2000).

Saat menerapkan program peregangan, ini penting untuk mengenali


perbedaan antara deformitas yang tetap dengan yang fleksibel. Beberapa pasien
dengan PD membutuhkan banyak bantal untuk mendukung kelainan bentuk
tulang belakang kifosis secara permanen. Orang-orang tersebut tidak akan bisa
mendapatkan kembali keselarasan postur normal, dan kompensasi dalam duduk
dan berbaring perlu dilakukan. Sebelum pasien berkembang ke kontraktur tetap,
peregangan dinding dan sudut untuk dada, dan berbaring di atas guling atau towel
roll yang diletakkan di sepanjang tulang belakang untuk meregangkan kerangka
aksial adalah semua intervensi yang tepat.

Anda dan saya membuat penyesuaian postur otomatis sepanjang hari


untuk melakukan transisi gerakan duduk ke berdiri, berjalan, berputar, berbicara
dan berjalan, membawa buku, dan melewati garis cafeteria. Ketidakstabilan
postural mungkin menjadi masalah besar bagi seseorang yang bergerak lambat
atau orang dengan penyakit lanjut yang kaku. Orang dengan PD kehilangan
kemampuan untuk melakukan penyesuaian postur otomatis sederhana seperti
berdiri tegak dan bangkit dari kursi. Pembinaan kognitif bisa menjadi alat yang
ampuh untuk memberi seseorang dengan PD cara berpikir untuk melakukan suatu
kegiatan itu dulu dilakukan secara otomatis. Memberitahu dia untuk
memindahkan kepala maju dan ke atas mungkin semua yang diperlukan untuk
membantunya bangkit untuk berdiri setelah banyak upaya yang gagal. Strategi
kognitif yang tepat mungkin berbeda dari orang ke orang tergantung pada gerakan
dan di mana urutan salah. Teori belajar motorik akan menunjukkan bahwa latihan
tugas khusus diperlukan secara tepat sesuai konteks lingkungan. Sangat penting
untuk mengajar anggota keluarga atau pengasuh strategi kognitif itu telah berhasil
dalam terapi.

Karena tremor biasanya tidak mengganggu aktivitas sehari-hari (ADL),


orang-orang ini tidak mungkin untuk dilihat dalam terapi fisik kecuali mereka
juga memiliki masalah dengan lambatnya gerakan, ketidakstabilan postur tubuh,
atau kesulitan berjalan. Pasien dan keluarga dapat diajari strategi untuk menangani
episode beku dan lambatnya transisi gerakan seperti datang untuk berdiri,
membalik di tempat tidur, atau berganti pakaian arah sambil berjalan. Dyskinesia
adalah yang paling sedikit menerima intervensi terapeutik (Morris et al., 2001).

Kelelahan adalah penentu penting dari fungsi fisik pada orang dengan PD
(Garber dan Friedman, 2003). Kelelahan dapat menjadi penyebab atau akibat dari
ketidakaktifan. Karena itu penting untuk memulai pengkondisian aerobik segera
setelah diagnosis dari PD dibuat. Semakin besar tingkat kelelahan, semakin
sedikit seseorang dengan PD berpartisipasi dalam kegiatan waktu luang dan
bergerak sepanjang hari. Selain itu, penderita PD menunjukkan penurunan
aktivitas yang lebih besar dibandingkan teman sebaya (Fertl et al., 1993). Namun,
Canning dan rekannya percaya bahwa dengan latihan aerobik yang teratur,
penderita ringan hingga sedang PD memiliki potensi untuk mempertahankan
kapasitas latihan normal (Canning et al., 1997). Oleh karena itu, memasukkan
elemen aerobik menjadi intervensi sangat kuat disarankan (Morris, 2000; Dean
dan Frownfelter, 1996). Tidak hanya latihan aerobik yang memberikan manfaat
muskuloskeletal, serta dapat menjaga sekresi jalan napas mobile sambil
memaksimalkan ventilasi.

Intervensi 13-1 Aktivitas Rotasi dalam Posisi Supine

Urutan latihan rotasi dalam posisi terlentang dapat digunakan untuk meningkatkan ROM leher dan trunk. Setiap kombinasi gerakan
dapat digunakan.

A. Kepala diputar dari sisi ke sisilain dalam ROM yang tersedia sementara ekstremitas bawah diputar dari sisi ke sisi arah
sebaliknya

B. Ekstremitas atas diposisikan dalam 45 derajat dengan abduksi shoulder 90 derajat fleksi siku. Satu bahu diputar secara eksternal
sementara bahu lainnya diputar secara internal. Dari posisi awal ini, bahu perlahan diputar kembali dan seterusnya dari posisi yang
dirotasi secara internal ke eksternal.

C Latihan lanjutan: Kepala, bahu, dan ekstremitas bawah diputar secara simultan dari satu posisi ke posisi lain. Kepala berputar
berlawanan dengan hipmemberikan counter rotasi pada trunk. Ekstremitas atas pada sisi wajah secara eksternal diputar sementara
lengan sisi tengkorak diputar secara internal.
Intervensi 13-2 Aktivitas Rotasi dalam Posisi Side lying

Berbaring side lying juga merupakan posisi yang baik untuk mendapatkan peregangan trunk. Dalam posisi side lying,
toraks diputar perlahan ke depan dan ke belakang relatif terhadap posisi panggul sementara ekstremitas atas protraksi dan
retraksi terhadap toraks.
A. Teruskan tampilan gerakan ini.
B. Tampilan posterior.
Latihan lanjutan: Pasien rotasi panggul ke belakang saat toraks diputar ke depan. Pasien kemudian memutar panggul ke
depan dan toraks diputar ke belakang. Dua kombinasi ini menghasilkan counter rotasi trunk.

STRATEGI LATIHAN

Latihan adalah landasan strategi intervensi yang digunakan dengan orang-orang


dengan PD. Latihan meningkatkan aktivitas fisik, mempertahankan fleksibilitas,
meningkatkan inisiasi dan fluiditas gerakan, dan mengurangi ketidakstabilan
postur tubuh dan kelelahan. Latihan harus dirancang dalam konteks aktivitas
kehidupan sehari-hari dan harus mewakili rentang dari berlatih menulis di atas
kertas bergaris hingga membalik dan keluar dari tempat tidur. Peningkatan
fungsional telah terlihat setelah dua kali seminggu selama tiga bulan terapi fisik
(Yekutiel et al., 1991). Klien mampu menunjukkan penurunan jumlah waktu yang
dibutuhkan untuk berdiri dari posisi duduk. Strategi pelatihan untuk mengatasi
masalah fungsional adalah sebagian besar dari pelatihan dasar rutin (Morris,
2000). Strategi yang digunakan untuk meningkatkan kinerja tugas sehari-hari
seperti berjalan, berbalik, berdiri dan duduk, membalik, dan bangun dari tempat
tidur jelas digambarkan oleh Morris (2000) pada Tabel 13-3. Dia juga
merekomendasikan latihan yang bisa dilakukan untuk fungsi ekstremitas atas
yang digambarkan
Tabel pada
13-3 Strategi Tabel 13-4. Tugas Sehari – hari
Meningkatkan

Task Strategi
Berjalan Instruksikan berjalan dengan long step
Swing arm
Tempatkkan garis di ruang lantai yang
sesuai dengan panjang step sesuai
dengan usia dan ketinggian seseorang
Berbalik Gunakan latihan mental sebelum
Berdiri dan duduk bergerak.Gunakan guncangan lembut
pada back dan sebagainya sebelum
bergerak. Pastiken mampu condong ke
depan untuk mendapatkan pembebanan
pada kaki.
Berbalik dan bangun dari tempat tidur Gunakan lampu malam. Gunakan
bedcover yang beratnya ringan.
Gunakan latihan mental sebelum
bergerak. Gunakan tanda verbal untuk
memulai tiap bagian dari latihan.
Mencapai, menggenggam, Ltihan mental sebelum mulai
memanipulasi bergerak.Gunakan objek untuk tanda
benda, dan tulisan visual. Pembagian tugas menjadi
beberapa konponen. Gunakan tanda
verbal untuk memulai tiap bagian dari
latihan. Cegah distraksi atau tugas
sekunder dalam waktu yang sama.

Table 13-4 Latihan untuk Fungsi Ekstremitas Atas


Tugas Strategi
Mengancing Kancing baju, berlatih dengan berbagai
ukuran dan bentuk kancing.
Tulis tangan Praktek tulisan tangan dengan
melakukan teka-teki silang, menulis di
atas kertas bergaris, menandatangani
nama, dan mengisi formulir dengan
banyak kotak.
Mencapai / menggenggam Mencapai, menggenggam, dan minum
dari cangkir dengan berbagai ukuran,
bentuk, dan berat.
Menuang Tuang air dari satu cangkir ke cangkir
lainnya.
Membuka / menutup Membuka dan menutup wadah
makanan dengan berbagai ukuran.
Mengangkat Mengangkat botol dan kotak dengan
bobot berbeda masuk dan keluar dari
rak dapur dengan ketinggian berbeda.
Keterampilan motorik halus Ambil butir beras dengan ibu jari dan
telunjuk dan letakkan dalam cangkir
teh. Ambil sedotan di antara ibu jari
dan telunjuk dan letakkan di dalam
kaleng soda.
Berpakaian Praktek berpakaian, seperti
mengenakan mantel atau sweater
menggunakan isyarat verbal seperti
"lengan kiri, lengan kanan, tarik."
Menekan / mendorong Praktek mendorong urutan tombol
telepon yang benar untuk memanggil
keluarga, teman, dan bisnis lokal
sambil duduk atau berdiri.
Lipat Lipat serbet dan letakkan kertas terlipat
ke dalam amplop.

MULTIPLE SCLEROSIS

Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit kronis yang melemahkan yang dihasilkan
dari demielinasi sistem saraf pusat. Ini adalah penyakit yang ditandai dengan
awitan yang biasa terjadi pada dewasa muda antara usia 20 dan 40 tahun. Wanita
memiliki insiden dua kali lebih tinggi daripada pria. Penyakit ini dinamai karena
plak sklerotik yang terbentuk di seluruh otak dan sumsum tulang belakang.
Charcot Triad dari tremor yang ada, scanning speech, dan nistagmus
dideskripsikan pada awal tahun 1869. Saat ini masalah visual seperti neuritis optik
sering menjadi bagian dari kejadian awal (eksaserbasi). Presentasi gejala namun,
tidak selalu konsisten dalam diri seseorang atau dari satu serangan ke serangan
lainnya. Sebelum ketersediaan magnetic resonance imaging (MRI), lebih sulit
untuk mendiagnosis pasien dengan MS karena orang tersebut mungkin hanya
memiliki satu gejala, atau gejalanya ringan atau timbul setelah beberapa waktu.

Sementara MS bukan salah satu dari tiga jenis gangguan pergerakan paling
umum di Amerika Serikat, MS tidak mempengaruhi lebih dari seperempat juta
orang (Shannon, 2003). Kecepatan yang lebih tinggi di Amerika Serikat, Kanada,
dan Eropa Utara mungkin karena orang-orang dari warisan Eropa utara lebih
mungkin terpengaruh daripada kelompok lain. MS memang memiliki distribusi di
seluruh dunia, tetapi kejadiannya sangat rendah di Asia, Eskimo, dan Amerika
Utara dan Selatan Indian (Shannon, 2003). Lebih banyak kasus MS ditemukan di
iklim sedang dengan kasus lebih sedikit lebih dekat ke khatulistiwa.

Sementara etiologinya masih belum diketahui, infeksi virus dan disfungsi


autoimun telah terlibat. Infeksi virus dapat memicu serangan MS, dan sel-sel
kekebalan hadir pada lesi MS akut (Fuller et al., 2003). Di sana juga tampaknya
komponen genetik untuk MS karena memiliki relatif dengan gangguan tersebut
dapat meningkatkan risiko seseorang untuk perkembangan penyakit.

Saat ini, teori patogenesis yang paling diterima adalah itu beberapa pemicu
lingkungan, mungkin virus, menyebabkan serangan autoimun yang tertunda pada
orang yang rentan secara genetik (Herndon, 1994). Bercak demielinasi terjadi di
white matter otak dan sumsum tulang belakang. (Karena myelin sebagian terdiri
dari lemak, area sistem saraf dengan konsentrasi tinggi itu tampak putih.) Di CNS,
myelin diproduksi oleh oligodendrocytes. Penghancuran dari sel-sel ini mencegah
remielinasi akson, meninggalkannya tanpa perlindungan dan rentan terhadap
kemungkinan kerusakan. Inflamasi menyertai kehancuran selubung myelin dan
dapat menyebabkan kerusakan akson dan pembentukan plak. Plak digantikan oleh
jaringan parut yang diproduksi oleh sel glial. Hal ini menghasilkan degenerasi
akson yang terperangkap (Fitzgerald dan Folan-Curran, 2002).

Sel glial merupakan sistem jaringan ikat saraf. Karena respon sistem
kekebalan di otak pasien dengan MS lebih kuat dari biasanya,ini berperan dalam
pembentukan plak. Plak adalah bagian dari lesi akut atau kronis yang mungkin
terlihat pada MRI. Area dari sistem saraf yang lebih mungkin terlibat termasuk
saraf optik, white matter periventrikular, traktus kortikospinal, kolom posterior,
dan cerebellar penducles.

GEJALA KLINIS

Gejala sensorik sering di antara tanda-tanda pertama MS. Seseorang dapat


mengeluhkan "pin and needles" (paresthesias) atau rasa terbakar atau nyeri yang
tidak normal (dysesthesias). Gejala visual terjadi pada 80 persen orang dengan
penyakit ini dan dapat hadir dalam bentuk penurunan ketajaman visual,
peradangan saraf optik (neuritis) yang menyebabkan kelabu atau kabur
penglihatan, atau penglihatan ganda (diplopia). Nystagmus, juga gejala umum,
karena lesi otak kecil atau jalur vestibular sentral. Nystagmus adalah gerakan
osilasi mata saat istirahat. Jenis nystagmus tergantung pada arah mata bergerak.
Nystagmus horisontal adalah tipe yang paling umum, meskipun mata vertikal atau
berputar gerakan juga bisa dialami. Nystagmus dinamai untuk arah yang cepat
pada komponen gerakan berosilasi.

Jalur motorik terlibat dalam MS sama seperti jalur sensorik. Kelemahan


motorik, biasanya pada satu atau kedua kaki, menunjukkan keterlibatan saluran
kortikospinalis. Kecanggungan dalam mencapai sering terlihat dengan orang yang
melampaui target. Koordinasi gerakan bergantian seperti fleksi dan ekstensi
terganggu sehingga sulit berjalan. Gait sering ditandai dengan keseimbangan yang
buruk dan kesulitan. Ataxia atau inkoordinasi umum terlihat jelas ketika ada
keterlibatan white matter dari cerebellum. Tremor postural dari ekstremitas atau
trunk mungkin terlihat jelas ketika duduk atau berdiri. Kesulitan mengoordinasi
gerakan lisan sehingga dapat mengganggu ketika berbicara dan menelan.
Scanning speech lambatdengan jeda panjang dan kurang fluiditas. Ada sebuah
peningkatan risiko aspirasi pada orang yang tidak cukup mampu
mengoordinasikan pernapasan dan makan.
KELELAHAN

Kelelahan adalah masalah utama pada orang dengan MS. Ini gejala yang paling
sering dilaporkan, sedikit kesulitan berjalan di depan seperti yang dikutip dalam
satu studi dari hampir 700 pasien dengan MS (Aronson et al., 1996). Sementara
kelelahan adalah gejala utama penyakit, hubungannya dengan tingkat keparahan
penyakit masih lemah. Dengan kata lain, seseorang tidak harus memiliki kasus
penyakit yang parah menjadi sangat lelah. Padahal, kelelahan itu sering tidak
proporsional dengan tingkat penyakit. Meskipun satu dekade penelitian,
patofisiologis yang mendasarinya proses kelelahan pada MS tidak jelas (Multiple
Sclerosis Council, 1998). Tidak ada laboratorium atau fisiologis penanda
kelelahan MS. Namun, fakta bahwa kelelahan pada MS diperparah oleh panas
yang membedakannya dari kelelahan terlihat di individu yang sehat atau mereka
yang memiliki penyakit neurologis yang progresif lainnya. Fluktuasi suhu
sesedikit 0,18 derajat F hingga 4,14 derajat F telah terbukti memperburuk MS
gejala (Nelson et aI., 1958).

Kelelahan dapat memiliki efek mendalam pada seseorang kemampuan


untuk menyelesaikan ADL dan bekerja. Sangat penting untuk memahami persepsi
pasien terhadap kelelahan karena kelelahan MS terkait erat dengan persepsi
tentang kualitas hidup serta kesehatan umum dan mental (Bakshi, 2003). Bakshi
dan rekannya menemukan sebuah tanda ~ hubungan antara depresi dan kelelahan
dalam pasien dengan MS yang independen terhadap tingkat kecacatan neurologik
(Bakshi et aI., 2000). Frankel (2001) menunjukkan bahwa kelelahan meningkat
ketika depresi dikurangi.

MASALAH KOGNITIF

Setengah dari pasien dengan MS akan mengalami beberapa derajat defisit kognitif
(O'Sullivan, 200lb). Kisaran defisit ini dari ringan ke sedang dalam tingkat
keparahan dan mungkin melibatkan pemecahan masalah, memori jangka pendek,
persepsi visual-spasial, dan penalaran konseptual. Beruntung, hanya 10 persen
pasien memiliki masalah yang cukup parah hingga mengganggu ADL (O'Sullivan,
2001b). Sementara individu dengan MS sering mengasosiasikan tingkat kelelahan
yang lebih tinggi dengan kinerja kognitif yang lebih buruk, sebuah studi baru-baru
ini menunjukkan bahwa tingkat kelelahan tidak memengaruhi kinerja kognitif
(Parmenter et aI., 2003). Lesi dalam lobus frontal dapat memengaruhi fungsi otak
dalam eksekusi seperti penilaian dan penalaran, membuat pasien tidak fleksibel
secara kognitif. Kemunduran global kecerdasan atau demensia jarang terjadi tetapi
dapat terjadi jika penyakitnya progresif cepat daripada relaps-remitting.

Orang yang memiliki penyakit kronis lebih rentan depresi, dan individu
dengan MS mengalami lebih banyak serangan depresi daripada populasi umum
(Patten et aI., 2000; Berg et aI., 2000). Angka yang dilaporkan dalam kisaran studi
ini dari 14 menjadi 54 persen. Tingkat ketidakberdayaan yang lebih tinggi terkait
dengan lebih banyak kelelahan dan suasana hati yang depresi di penelitian terbaru
(van der Werf et aI., 2003). Tampak pengalaman kelelahan dan depresi dapat
dimediasi oleh faktor serupa. Selain itu, depresi berhubungan dengan stabilitas
emosional. Pasien dengan MS dapat menunjukkan labilitas emosional, menjadi
euforia satu menit dan menangis tak terkendali berikutnya.

DISFUNGSI AUTONOM

Masalah usus dan kandung kemih pada pasien dengan MS adalah indikasi
keterlibatan sistem saraf otonom. Kandung kemih dapat gagal mengosongkan
sepenuhnya mengarah ke retensi urin dan hal ini menjadi persiapan media kultur
yang sempurna untuk pertumbuhan bakteri. Kontrol refleks usus dan kandung
kemih dapat terganggu dan menyebabkan konstipasi atau tidak adekuat
pengosongan, frekuensi urin dan nokturia (frekuensi di malam). Hilangnya
kontrol usus dan kandung kemih mungkin juga terjadi disfungsi seksual pada
tahap akhir dari penyakit (Shannon, 2003). Beberapa obat digunakan untuk
mengobati ini masalah kandung kemih tercantum pada Tabel 13-2.

PERJALANAN PENYAKIT

Perjalanan penyakit ini tidak dapat diprediksi karena presentasinya sangat


bervariasi. Mayoritas kasus MS adalah dari tipe relapsing-remitting di mana ada
yang dapat didefinisikan pda periode eksaserbasi dan remisi. Terjadi eksaserbasi
ketika gejala memburuk secara akut dan kemudian remit atau pulih dengan waktu
gejala mencapai stabilitas. Gejala-gejalanya mungkin sepenuhnya hilang, atau
mungkin ada sisa neurologis defisit. Jumlah waktu antara serangan atau kambuh
bisa menjadi satu tahun atau lebih pada awal penyakit interval ini dapat
memendek saat penyakit berkembang. Meskipun perjalanan relapsing - remitting,
ada bukti bahwa penyakit ini aktif bahkan ketika gejalanya tampak stabil (Miller
et al., 1988).

Tiga jenis MS lainnya adalah progresif primer, progresif sekunder, dan


relaps progresif. Penyakit progresif primer ditandai oleh perkembangan tanpa
henti tanpa relapses. Penyakit progresif sekunder dimulai dengan relaps dan
remisi tetapi kemudian menjadi progresif hanya relaps sesekali dan remisi ringan.
Penyakit relaps progresif progresif sejak awal tetapi memiliki eksaserbasi akut
yang jelas dengan dan tanpa pemulihan penuh (Lublin dan Reingold, 1996).

Beberapa penulis menggambarkan perjalanan jinak dan ganas tentu saja


sebagai lawan dari ujung spektrum ini penyakit. Jinak digunakan untuk
menggambarkan perjalanan klinis di mana gejala berkembang sangat sedikit
selama rentang waktu kehidupan. Ini dikatakan terjadi pada 10 hingga 20 persen
orang yang terkena dampak. Ganas mengacu pada gejala yang berkembang pesat
yang dengan cepat mengakibatkan kecacatan dan kematian; untung gejala sisa ini
sangat jarang. Padahal kedua istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan
MS, Lublin dan Reingold (1996) menyarankan bahwa mereka hanya digunakan
dalam konteks penelitian karena mereka bisa sangat menyesatkan masyarakat
awam.

DIAGNOSIS

Diagnosis MS terus didasarkan pada bukti klinis beberapa lesi di white matter
CNS, berbeda interval waktu (temporal), dan kejadian pada individu antara usia
10 dan 50 tahun. Cairan serebrospinal biasanya diperiksa keberadaannya jumlah
yang lebih tinggi dari gamma globulin dan protein mielin (meningkat selama
episode akut). Peningkatan gamma globulin adalah tidak spesifik untuk MS.

Jika jalur sensorik terlibat, rekaman membangkitkan potensi sensorik


dapat memberikan bukti lebih lanjut tentang demielinasi. MRI adalah alat terbaik
untuk membantu mengkonfirmasi diagnosis dari MS. MRI dapat
memvisualisasikan lesi kecil dan besar; peningkatan yang layak akan
menunjukkan apakah lesi baru dan aktif.

MANAJEMEN MEDIS

Obat-obatan adalah andalan dalam pengelolaan relapsing remitting MS,


jenis penyakit yang paling umum. Mulai tahun 1993 dengan Betaseron, ada empat
obat suntik telah dikembangkan dan dilisensikan oleh FDA untuk digunakan
dengan pasien MS. Copaxone (glatiramer acetate) adalah senyawa sintetis terdiri
dari empat asam amino yang ditemukan dalam mielin. Ini diyakini dapat
mengurangi peradangan di lokasi lesi dengan merangsang sel T meningkatkan
agen antiinflamasi. Hal lain terdapat tiga modulator sistem kekebalan sintetis
adalah Interferon: Avonex, Betaseron, dan Rebif. Avonex diambil setiap minggu,
Betaseron setiap hari, Rebif tiga kali seminggu, dan Copaxone setiap hari.
Keempat obat memodifikasi penyakit, mengurangi frekuensi serangan serta
perkembangan penyakit, dan saat ini diakui sebagai perawatan standar.

Seseorang dengan MS dapat menunjukkan segudang gejala yang


mencerminkan beragam area sistem saraf yang ada terlibat. Gejala umum yang
diobati secara farmakologis termasuk spasme otot, spastisitas, kelemahan,
kelelahan, gejala visual, gejala urinary, nyeri, dan depresi. Sekali lagi, pembaca
dirujuk ke Tabel 13-2 untuk sebagian daftar obat yang mungkin diresepkan untuk
pasien dengan MS. Gejala yang berhubungan dengan spasme otot atau spastic
dapat dikelola dengan menggunakan intervensi terapi fisik selain obat-obatan.

MANAJEMEN FISIOTERAPI

Tujuan rehabilitasi pada pasien dengan MS adalah untuk:


1. Minimalkan perkembangan

2. Pertahankan tingkat kemandirian fungsional yang optimal

3. Mencegah atau mengurangi komplikasi sekunder

4. Pertahankan fungsi pernapasan. Menghemat energi dan mengelola kelelahan


Mendidik pasien dan keluarga Tujuan-tujuan ini dipenuhi dengan mengelola
gejala-gejala pasien sehingga dampak pada fungsi diminimalkan.

KELEMAHAN

Gejala neurologis MS yang paling umum adalah kelemahan, spastik, dan ataxia
(Benedetti et aI., 1999). Kelemahan dapat mengakibatkan lesi secara langsung
dari traktus kortikospinal atau cerebellum. Kelemahan juga berkembang menjadi
sekunder menjadi tidak aktif dan deconditioning umum. Karena itu, penguatan
adalah tujuan penting dari terapi fisik dan latihan harus dimulai lebih awal
sebelum gangguan sekunder berkembang (O'Sullivan, 2001b; Costello et aI.,
1996). Banyak jenis latihan dapat digunakan, tetapi hanya intensitas rendah
hingga sedang yang dapat ditoleransi. Diperlukan pengulangan yang sering untuk
mendapatkan efek latihan (O'Sullivan, 2001b). Karena kelelahan, keseimbangan
yang halus harus dicapai antara istirahat dan latihan. Latihan yang lebih singkat
dengan satu hingga lima menit waktu istirahat di antara latihan dapat
diindikasikan. Terlalu banyak bekerja dan terlalu panas harus dihindari.

Dimungkinkan untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan di pasien


dengan MS (Gehlsen et aI., 1984; Svensson et aI.,1994). Pelatihan tahanandapat
memanfaatkan isokinetik atau progresif mode resistif atau air. Latihan bisa
dilakukan lebih banyak fungsional dengan meminta orang tersebut melakukan
pola PNF karena gerakan fungsional hampir selalu memiliki beberapa komponen
rotasi. Selain itu, rotasi dapat membantu kurangi tone. Tahanan dalam PNF
diagonal seharusnya dinilai agar sesuai dengan kemampuan pasien. Konsumsi
energy dapat dikurangi selama aktivitas fungsional dengan menempatkan
penekanan pada penguatan kelompok otot proksimal. Latihan untuk individu
dengan MS juga perlu memiliki aerobic komponen untuk mencegah atau
mengobati deconditioning.

Individu dengan MS telah terbukti memiliki kondisi respons


kardiovaskular normal terhadap latihan (Gehlsen et aI., 1984;Petajan et aI., 1996;
Rodgers et aI., 1999). Bahkan jangka pendek program latihan memiliki efek
positif pada kebugaran aerobik, persepsi kesehatan, kelelahan, dan tingkat
aktivitas pada individu dengan MS (Mostert dan Kesselring, 2001). Peneliti ini
merekomendasikan agar latihan aerobik teratur menjadi bagian dari latihan apa
pun program rehabilitasi. Tes latihan bertingkat rendah adalah diindikasikan
sebelum orang tersebut mengambil bagian dalam program pelatihan aerobic
karena seiring perkembangan penyakit potensial untuk disfungsi kardiovaskular
otonom meningkat (O'Sullivan, 2001b). Tes latihan bertingkat rendah terdiri dari
penggunaan protokol yang ditetapkan seperti yang digunakan dalam rehabilitasi
jantung untuk menilai kemampuan seseorang untuk menanggapi peningkatan
beban kerja menggunakan treadmill atau siklus ergometer.

Peningkatan suhu tubuh inti pada pasien dengan MS dapat menyebabkan


peningkatan sementara dalam gejala klinis. Pendinginan awal (menurunkan suhu
tubuh) ditemukan efektif dalam mencegah kenaikan suhu inti selama latihan
(White et aI., 2000). Untuk menghindari efek buruk dari panas, olahraga harus
dilakukan di lingkungan yang dingin. Sumber pendingin tambahan seperti kipas
dan bahkan pakaian pribadi pendingin bisa digunakan. Sensitivitas panas terkait
dengan kelelahan MS (Multiple Sclerosis Council, 1998).

Pasien dengan MS dapat mengalami kelelahan terkait dengan proses


penyakit tersebut. Kedua, kelelahan terkait dengan pengkondisian, kelemahan otot
pernapasan, dan overuse. Latihan untuk kelelahan dikontraindikasikan
(O'Sullivan, 2001b). Tingkat latihan submaksimal tampaknya paling aman dengan
jadwal latihan yang terputus-putus. Tingkat submaksimal kurang dari 85 persen
dari denyut jantung yang diprediksi oleh usia seseorang (220 dikurangi usia) atau
kurang dari 85 persen dari denyut jantung maksimum yang dicapai pada tes
latihan bertingkat. Untuk pasien yang tidak terkondisi, mulai pada 50 hingga 60
persen dari denyut jantung maksimum mereka dapat menghasilkan pengkondisian
aerobik. Ketidakberkelanjutan jadwal yang dibangun dalam waktu istirahat yang
cukup untuk mencegah atau mengurangi kelelahan. Heart rate seseorang, tekanan
darah, dan penggunaan tenaga harus diukur menggunakan skala Borg sebagai cara
untuk memantau respon latihan. Protokol latihan non-protokol dibahas di bawah
sindrom postpolio.

SPASTISITAS

Pasien harus selalu melakukan peregangan sebelum sesi latihan. Peregangan


adalah bagian integral dari persiapan untuk berolahraga terutama pada otot-otot
yang menunjukkan peningkatan tonus. Individu dengan MS memiliki spastisitas
sekunder lesi saraf unmyelinated (UMN) dan penurunan fleksibilitas sekunder
menuju penurunan pergerakan dan aktivitas. Peregangan statis yang lambat
ditunjukkan tanpa memantul. Keduanya pasien dan keluarga harus diajarkan
peregangan mandiri dengan khusus perhatian untuk meregangkan daerah leher,
paha belakang, dan heel cord. Peregangan mandiri dipadukan dengan ritme rotasi
yang lambat bisa menjadi cara yang efektif untuk mendapatkan jangkauan. Posisi
peregangan baru harus ditahan selama 30 hingga 60 detik hingga biarkan otot
menyesuaikan dengan panjang baru. Teknik PNF seperti hold relax dan contract
relax dapat digunakan untuk mendapatkan ROM (lihat Bab 9 untuk informasi
lebih lanjut tentang PNF teknik).

Kelompok otot yang menunjukkan spastisitas yang bervariasi dari pasien


kepada pasien. Namun, plantarflexor, adduktor, dan quadriceps sering terlibat
dalam ekstremitas bawah. Peregangan hamstring dapat dilakukan beberapa
berbeda cara-cara seperti yang terlihat dalam Intervensi 13-3, 13-4, dan 13-5.
Metode termasuk peregangan statis dalam posisi terlentang (Intervensi 13-3),
peregangan duduk (Intervensi 13-4), dan peregangan di dinding (Intervensi 13-5).
Hip fleksor dan hamstring juga bisa tetap fleksibel dengan menggunakan program
proning yang terdiri dari berbaring dalam posisi tengkurap di permukaan yang
keras beberapa kali hari setidaknya selama 20 hingga 30 menit. Tabel kemiringan
dapat digunakan jika orang tersebut tidak dapat masuk ke posisi tengkurap, tetapi
straps diperlukan untuk mempertahankan hip dan lutut dalam ekstensi. Beberapa
manfaat diperoleh dari menahan beban dalam posisi tegak untuk manajemen
tonus. Heel cord dapat diregangkan secara pasif menggunakan tabel tilt. Jika
pergelangan kaki plantarfleksi, wedge dapat digunakan untuk memastikan berat
ditanggung melalui seluruh kaki. Seiring waktu, ukuran wedge mungkin menurun.

Rotasi trunk yang lebih rendah cukup efektif dalam mengurangi tonus
termasuk trunk dan otot proksimal pelvic girdle. Latihan bola digunakan dengan
pasien dalam posisi berbaring kait dimodifikasi (Intervensi 13-6). Bola
mendukung berat kaki, menjaga mereka dalam fleksi sebagai klinisi memandu
bola dan anggota gerak di kedua sisi menghasilkan rotasi trunk. Kegiatan rotasi
seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Intervensi 13-1 dan 13-2 baik
dilakukan. Seorang pasien juga dapat berlatih rotasi trunk ketika bergerak dari
posisi tangan dan lutut ke posisi duduk seperti yang terlihat dalam Intervensi 13-7.
Pasien mungkin perlu bantuan untuk mencapai posisi empat poin dan mungkin
perlu dijaga dan dipandu saat bergerak melalui rentang yang tersedia. Jika pasien
tidak bisa sampai ke sisi duduk, bantal atau wedge dapat digunakan untuk
memungkinkan pergerakan melalui rentang sebanyak mungkin mungkin. Posisi
tangan pasien dapat bervariasi. Tangan bisa menopang di permukaan atau di atas
bangku yang terangkat. Dalam kasus yang terakhir, pasien dapat bergerak dari
berlutut ke side sitting.
Intervensi 13-3 Aktivitas Stretching Statik dalam Supine
Terlentang peregangan statis heel cord dan hamstring menggunakan handuk:

A. Pasien berbaring di permukaan yang keras dalam posisi berbaring. Kemudian saat satu kaki ditekuk, kaki lainnya diangkat. Handuk
ditempatkan di sekitar kaki. Ujung bebas digenggam dan ditarik dengan lembut untuk meregangkan pergelangan kaki menjadi dorsofleksi.
Peregangan ditahan selama 30 hingga 60 detik. Ulangi pada kaki sisi lainnya

B. Untuk meregangkan hamstring, pasien perlahan-lahan meluruskan kaki yang terangkat sejauh mungkin dan menahan peregangan selama 30
hingga 60 detik. Peregangan diulangi pada kaki sisi lainnya.

Terlentang peregangan statis hamstring menggunakan orang lain:

C. Pasien berbaring di permukaan yang keras. Klinisi mengangkat satu kaki menjaga lutut lurus seperti kenaikan kaki lurus. Posisi akhir ditahan
selama 30 hingga 60 detik. Kaki lainnya dapat ditekuk atau lurus seperti yang digambarkan. Jika tarikan dirasakan di punggung bawah, pasien
harus melakukannya menekuk kaki untuk menghindari ketegangan lumbar. Klinisi dapat menggunakan memfasilitasi neuromuskuler
proprioseptif (PNF) teknik hold-relax dalam posisi ini untuk mendapatkan peningkatan ROM (lihat Bab 9 untuk penjelasan teknik).
Intervensi 13-4 Stretching Hamstring dalam Posisi Duduk

Peregangan paha belakang menggunakan bangku:

A.Pasien duduk dengan tumit satu kaki bertumpu pada bangku atau benda stabil lainnya. Trunk tetap tegak dan pasien membungkuk ke depan
sambil mempertahankan lordosis lumbar sebanyak mungkin. Pasien meraih dengan satu atau kedua tangan ke arah pergelangan kaki dari kaki
terangkat dan mencoba menjaga lutut selurus mungkin untuk memaksimalkan peregangan paha belakang. Peregangan ditahan selama 30 hingga 60
detik dan diulang beberapa kali. Peregangan ini kemudian diulangi dengan kaki lainnya. Saat meregangkan heel cord pada posisi ini, pasien
menggunakan handuk di sekitar kaki seperti pada Intervensi 13-3, A dan menarik kaki dengan lembut ke arah dorsofleksi sambil menjaga lutut
selurus mungkin.

Peregangan paha belakang di atas low mat:

B. Pasien duduk di low mat dengan satu kaki di lantai dan satu kaki di atas low mat. Trunk tetap tegak dan pasien condeong ke depan di hip untuk
memastikan bahwa peregangan terjadi di paha belakang dan bukan punggung bawah. Pasien dapat menjangkau dengan satu atau kedua tangan
menuju pergelangan kaki. Sekali lagi, heel cord dapat diregangkan dengan menggunakan handuk (seperti dalam Intervensi 13-3, A) pada posisi ini.
Peregangan ditahan selama 30 hingga 60 detik dan kemudian diulangi dengan kaki lainnya.

Intervensi 13-5 Stretch Hamstring dan Adduktor Hip pada Dinding

Stretch hamstring dan adduktor hip:

A. Pasien berbaring punggungnya di lantai dengan kaki ditopang oleh dinding. Hip harus sedekat mungkin dengan dinding
untuk mendapatkan stretch hamstring yang maksimal. Pasien mungkin perlu bantuan untuk masuk dan keluar dari posisi ini.
Pasien seharusnya tidak mengangkat pelvic atau melengkungkan punggungnya. Ketika pasien menggeser kakinya ke kedua
sisi, adduktor hip distretch. Tergantung pada kemampuan pasien, kaki dapat digerakkan satu per satu atau bersama-sama.
Kaki-kaki secara perlahan dipisahkan dan posisi stretch ditahan selama 30 hingga 60 detik.

Stretch hamstring melawan dinding:

B. Pasien berbaring punggungnya di lantai (lebih baik di pintu). Salah satu kaki pasien maju melewati pintu; lutu dapat ditekuk
seperti yang digambarkan atau lurus. Kaki yang akan diregangkan disandarkan melawan dinding atau frame pintu dengan
lutut lurus . Pasien membawa hip sedekat mungkin dengan dinding / frme pintu untuk mendapatkan stretch sebaik mungkin.
Intervensi 13-6 Rotasi Ritmik Lower Trunk

Pasien berbaring telentang di permukaan yang keras. Bola terapi digunakan untuk mendukung ekstremitas bawah. Bola harus cukup
besar untuk menopang kaki bagian bawah tetapi cukup kecil untuk menjaga hip dan lutut dalam posisi tertekuk. Teknik ini digunakan
sebagai persiapan untuk gerakan fungsional seperti roll dan datang untuk duduk.

A. Klinisi menempatkan lutut dan kaki bagian bawah pasien pada bola dan menggunakan kontak tangan manual pada bagian luar
lutut pasien.

B. Klinisi dengan lembut memutar ekstremitas bawah pasien yang didukung oleh bola ke satu sisi.

C Klinisi memindahkan ekstremitas bawah pasien kembali ke pusat.

D. Kemudian klinisi dengan lembut memutar ekstremitas bawah pasien, yang masih didukung oleh bola, ke sisi lain. Rotasi trunk
akan terjadi dengan jumlah rotasi yang lebih besar.
Intervensi 13-7 Pergerakan Transisi dari Empat Point ke Side Sitting

Pergerakan transisi seperti dari empat titik ke sisi duduk dapat digunakan untuk melatih rotasi trunk. Klinisi menempatkan tangan
memberikan isyarat manual untuk memindahkan ke sisi duduk atau kembali ke empat titik.

A. Pasien mulai dengan tangan dan lutut atau posisi empat titik. Klinisi menggunakan kontak tangan manual pada sisi hip untuk
memandu pasien.

B. Klinisi memandu pasien untuk memutar secara diagonal mundur dari empat poin ke posisi side sitting

C. Klinisi kemudian memandu pasien kembali dari side sitting ke posisi empat titik. Gerakannya bisa dibantu pada awalnya dan
kemudian ditahan.

ATAXIA

Kontrol postur statis atau stabilitas postural sulit dilakukan pasien dengan MS
menunjukkan ataxsia. Postur yang memungkinkan orang untuk memuat trunk dan
ekstremitas lain yang tidak terlibat gerakan sangat membantu dalam memberikan
stabilitas. Anggota gerak unilateral memegang di rentang tengah, menahan beban
terutama di postur antigravitasi dengan pergeseran berat badan yang terkontrol
lambat dapat bermanfaat. Urutan perkembangan, terutama perkembangan prone,
dapat memberikan banyak ide perawatan. Batas dari stabilitas individu ini bisa
sangat berbahaya. Teknik PNF seperti isometrik bolak-balik, stabilisasi ritmik,
dan slow reversal hold dalam kisaran yang terus menurun, mungkin membantu
meningkatkan stabilitas dalam perkembangan postur.

Transisi gerakan fungsional sangat penting untuk fokus pada untuk pasien
dengan MS untuk memastikan keamanan. Haruskah pasien memiliki ekstremitas
atas yang load saat bergerak dari duduk ke berdiri untuk memberikan stabilitas
lebih ke atas trunk? Apakah orang tersebut mencapai lebih lancar jika tidak
menjangkau lengan berada di weight bearing (load)? Apakah orangnya memiliki
kontrol lebih jauh jika siku load? Bisakah orangnya mendapat manfaat dari
penggunaan beban di sekitar pinggang atau trunk? Weight belt dan rompi yang
tersedia dapat meningkat kesadaran proprioseptif dan meningkatkan stabilitas
dalam duduk, berdiri, dan berjalan. Bobot distal ringan telah digunakan untuk
meningkatkan koordinasi ekstremitas atas selama mencapai dan dari ekstremitas
bawah selama berjalan. Sementara bobot seperti itu dapat memberikan
peningkatan kesadaran, mereka juga dapat menghasilkan fenomena rebound saat
dihapus. Gerakan dismetrik (overshooting) mungkin tampak memburuk setelah
bobot dihilangkan sehingga kehati-hatian harus digunakan ketika memutuskan
untuk memberatkan anggota badan secara distal. Menggunakan paling sedikit
jumlah berat untuk mencapai efek dan pembebanan yang diinginkan kerangka
aksial (trunk) daripada ekstremitas lebih baik. Theraband melilit anggota gerak
dapat menyediakan resisten terhadap gerakan di kedua arah, seperti mencapai
keluar dan mengembalikan lengan ke pangkuan. Tentu saja dinilai resisten manual
dapat melakukan hal yang sama, tetapi membutuhkan asisten atau pengasuh yang
tersedia kapan saja orang tersebut ingin mencapai, yang tidak sesuai praktik.

Pelatihan keseimbangan menggabungkan intervensi dinamis dan statis.


Namun, permukaan yang bisa dipindahkan lebih menantang untuk pasien dan
asistennya. Pasien harus aman setiap saat, yang mungkin memerlukan kebutuhan
tambahan staf pendukung. Penggunaan papan miring, papan Baps, bola, atau
master keseimbangan mungkin semuanya diindikasikan, tetapi keselamatan harus
selalu menjadi pertimbangan pertama. Jika orang tersebut tidak aman saat
mencoba mengendalikan gerakan pada permukaan yang bisa digerakkan, maka
permukaan yang tidak digerakkan menjadi indikasi.

Modifikasi lain termasuk meminta orang tersebut duduk sementara


ekstremitas atau ekstremitas ditempatkan pada suatu permukaan yang bergerak.
Misalnya, orang tersebut dapat duduk di kursi rendah alas meja dengan penyangga
tangan dan kaki bisa diletakkan di papan miring atau papan Baps. Atau pasien
bisa duduk di atas dynadisc atau inflatable disc sementara kakinya didukung lantai
dan tangannya ada di permukaan penopang. Sebagai individu lebih mampu
menghadapi gangguan keseimbangan di pelvic, dukungan tangan bisa berkurang.

Latihan Frenkel adalah latihan koordinasi klasik yang dapat dilakukan


dalam empat posisi standar: berbaring, duduk, berdiri, dan berjalan. Sementara
dijelaskan untuk ekstremitas bawah, yang serupa dapat dikembangkan untuk
ekstremitas atas. Latihan-latihan ini dimaksudkan untuk dilakukan dengan lambat
bahkan waktu pasien pada awalnya mungkin perlu dukungan anggota gerak dari
dibantu sampai mandiri dan dari unilateral ke bilateral. Lihat Tabel 13-5 untuk
daftar lengkap latihan ini.

Ambulasi merupakan tantangan bagi penderita ataxsia. Sebagai


kompensasi langsung, basis dukungan diperlebar dan lutut sering kaku untuk
meningkatkan stabilitas. Beberapa individu dapat mengkompensasi dengan
menekuk lutut dan dengan demikian menurunkan pusat gravitasi tubuh.
Lengannya juga digunakan untuk menangkal guncangan postural yang meningkat.
Meningkatnya guncangan postural dapat ditunjukkan dalam duduk dan sering
dinyatakan bahwa orang tersebut bersandar pada lengan terentang untuk
menyediakan stabilitas. Meskipun mengalami kesulitan, sebagian besar pasien
dengan MS masih bisa berjalan setelah 20 tahun (Schapiro, 2003).

Opsi mobilitas banyak dan beragam. Untuk orang dengan ataksia, alat
bantu weight walker mungkin merupakan pilihan terbaik yang bisa dilakukan
mencapai stabilitas dan mobilitas. Alat bantu jalan roda dengan rem tangan dan
kursi dapat menyediakan untuk periode istirahat yang sering. Scooter bermotor
atau bentuk mobilitas tenaga lainnya dapat diindikasikan ketika kelelahan adalah
masalah utama atau tremor dan kelemahan membuat penggerak kursi roda standar
menjadi sulit. Kursi roda harus ditentukan menggunakan pedoman tempat duduk
khas dengan sabuk pengaman untuk keselamatan. Sebuah bantal seharusnya selalu
digunakan untuk memberikan perlindungan ekstra dari tekanan ketika seseorang
menjadi tergantung pada kursi roda. Menggunakan sebuah skuter roda tiga
mungkin memiliki stigma sosial lebih sedikit daripada menggunakan kursi roda.

Ada juga banyak jenis opsi orthotic. Mungkin orthosis paling umum yang
digunakan oleh seseorang dengan MS adalah suatu ankle foot orthosis (AFO).
Indikasi untuk penggunaan AFO termasuk hemat energi, meningkatkan foot/toe
clearance, menyediakan stabilitas pergelangan kaki yang lebih besar,
mengendalikan hiperekstensi lutut,dan meningkatkan pola gait keseluruhan.
Pedoman untuk penggunaan AFO dapat ditemukan pada Tabel 13-6. Rehabilitasi
Tim yang terdiri dari fisioterapi dan orthotist akan membuat rekomendasi akhir.
Rocker clogs juga ditemukan membantu dalam mengakomodasi kehilangan
mobilitas pergelangan kaki (Perry et aI., 1981). Reciprocal gait orthosis (RGO),
tipe sejenis ortosis pinggul-lutut-ankle-foot (HKAFO), juga telah dilaporkan
untuk digunakan dengan pasien MS.

Tabel 13-6 Guideline Penggunaan Orthosis Ankle- Foot

Tipe AFO Keuntungan Kekurangan


Polypropylene Hemat energy Menghambat Spastisitas sedang
standar Meningkatkan majunya tibialis atau parah
jari kaki dan kaki selama duduk ke Edema parah di
Meningkatkan berdiri kaki
keamanan Kelemahan parah
Meningkatkan (2/5 atau kurang di
kontrol lutut hip)
selama midstance
Menghindari
hiperekstensi lutut
Memungkinkan
stabilitas
pergelangan kaki
lebih besar

Polypropylene Semua yang di Sama seperti di


dengan atas atas
artikulasi sendi Kemajuan tibial
pergelangan kaki selama duduk
berdiri
Pergerakan
pergelangan kaki
lebih normal
selama jalan
Menawarkan
kemampuan squat
Dapat
menghentikan
plantarflexion atau
bantuan
dorsiflexion
Logam tegak Semua yang di Berat
ganda atas Kosmesis yang
dengan Mungkin memiliki buruk
mengartikulasikan strap untuk
sendi pergelangan mengoreksi valgus
kaki atau varus
Dapat
mengakomodasi
yang signifikan
fluktuasi volume
tungkai

KEKHAWATIRAN TAMBAHAN

Beberapa pasien dengan MS menunjukkan emosional yang labil. Mereka


menunjukkan perubahan suasana hati yang agak stabil mulai dari euforia hingga
menangis. Perubahan mendadak dalam perilaku ini membutuhkan pengelolaan
dengan ketenangan dan arah yang tegas untuk mencegah gangguan total pada sesi
perawatan. Dalam beberapa kasus, pasien dapat mengambil manfaat dari
intervensi psikologis.
Situasi menantang lain terjadi ketika seorang pasien terus menerus
menunjukkan nystagmus. Pasien memanjangkan kepala untuk meminimalkan
jumlah gerakan mata. Postur kepala yang tilting tidak boleh dikoreksi karena akan
menghapus kompensasi dan berpengaruh negative terhadap keseimbangan pasien.
Pasien lain mungkin mengalami vertigo dengan gerakan kepala mendadak. Dalam
situasi ini, the individu perlu menggerakkan kepalanya lebih lambat atau
sebenarnya fix kepalanya dalam posisi sebelum mencoba suatu gerakan sehingga
tidak menghasilkan kehilangan keseimbangan.

STRATEGI LATIHAN

Latihan adalah bagian penting dari intervensi terapi fisik untuk seseorang dengan
MS. Latihan yang seimbang dengan istirahat bisa meningkatkan kualitas
kehidupan seseorang berurusan dengan penyakit kronis. Sementara gejalanya
bervariasi tergantung pada sisi dalam sistem saraf yang terlibat, kelelahan adalah
masalah menjalar. Apakah kelelahan itu berasal dari stres atau sedang terkait
panas, dapat menghasilkan imobilitas. Imobilitas terlalu cepat menjadi bagian dari
siklus disuse and deconditioning. Oleh karena itu, latihan teratur sangat penting
untuk menjaga fungsi pasien dalam kondisi ini.

GUILLAIN – BARRE SYNDROME

Sindrom Guillain-Barre (GBS) adalah penyebab tersering kelemahan umum yang


akut sekarang karena polio sudah tidak ada lagi. Ini disebut sebagai sindrom
karena mewakili kelompok luas inflamasi demielinasi polyradiculoneuropathies.
Ada banyak bentuk GBS. Dua bentuk utama dapat dibedakan berdasarkan
patologis dan temuan elektrofisiologi: diperoleh acquired inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) dan acute axonal neuropathy
(AMAN). Varian umum lain dari CBS adalah Sindrom Miller-Fisher dengan
melibatkan saraf kranial, ataksia, dan areflexia. Karena akar saraf (radiculopati)
dan saraf perifer (polineuropati) terkena, GBS menyebabkan kelumpuhan yang
flaccid. Saraf kranial yang merupakan bagian dari sistem saraf tepi juga mungkin
terlibat. Oleh karena itu, GBS adalah kelainan yang klasik pada lower motor
neuron.

INSIDENSI DAN ETIOLOGI

GBS jarang terjadi dengan kejadian 1 per 100.000 orang. Kasus ini terjadi pada
semua kelompok umur, termasuk anak-anak dan orang dewasa. Mayoritas orang
yang mengalami GBS mengalami penyakit pernapasan atau gastrointestinal
sebelum timbulnya kelemahan dan perubahan sensorik. Penyebab umum
gastroenteritis, Campylobacter jejuni, adalah agen infeksi yang paling sering
(Hahn, 1998). Meskipun virus tertentu, bakteri, operasi, dan vaksinasi telah
dikaitkan dengan GBS, tidak ada seorangpun yang mengetahui agen penyebab. Ini
adalah reaktif ,penyakit autoimun terbatas sendiri dengan prognosis keseluruhan
yang baik.

Patofisiologi

Patofisiologi CBS kompleks karena melibatkan reaksi autoimun. Respon imun


menyebabkan reaksi silang dengan jaringan saraf. Ketika myelin hancur,
kehancuran disertai dengan peradangan. Lesi inflamasi akut hadir dalam beberapa
hari akan timbul gejala. Konduksi saraf diperlambat dan mungkin diblokir
sepenuhnya. Meskipun sel-sel schwann yang menghasilkan mielin di sistem saraf
perifer hancur, akson tetap utuh tetapi dalam semua kasus yang paling parah. Dua
hingga tiga minggu setelah demielinasi asli, the Sel Schwann mulai proliferasi,
peradangan mereda, dan remielinasi dimulai (Ropper et aI., 1991).

Sementara GBS adalah penyebab paling umum dari kelumpuhan akut,


patogenesis pastinya masih belum jelas. Progresivitas demielinasi tampaknya
berbeda di tipe GBS AMAN versus tipe AIDP. Pasien dengan tipe AMAN
memiliki perkembangan yang lebih cepat dan mencapai nadir lebih awal. Nadir
adalah titik keparahan terbesar. Satu-satunya cara untuk mengklasifikasikan
pasien dengan GBS memiliki tipe aksonal atau nonaxonal secara elektrodiagnostik
(Hiraga et al., 2003).

GAMBARAN KLINIS

GBS ditandai dengan hilangnya fungsi motorik progresif yang simetris naik
dimulai secara distal dan progresif proksimal. Gangguan sensorik distal sering
hadir sebagai paresthesias (rasa terbakar, kesemutan) dari jari kaki atau
hypesthesias (sensitivitas abnormal untuk disentuh). Keterlibatan sensorik
bervariasi dan biasanya tidak signifikan seperti keterlibatan motor. Progresi
perubahan sensorik dan motorik terbatas hingga ekstremitas atau progresi dari
kelemahan yang memengaruhi impairment pada diaphragm dan saraf cranial.

Diafragma adalah otot utama ventilasi. Kelemahan elevator bahu dan


paralel fleksi leher kelemahan diafragmatic. Diafragma dipersarafi oleh akar saraf
serviks 3, 4, dan 5. Jika diafragma menjadi terlibat, orang tersebut perlu
ditempatkan pada mekanik ventilasi. Selain itu, 50 persen penderita GBS
mengalami perubahan dalam sistem saraf otonom seperti fluktuasi tekanan darah
dan pengumpulan darah dengan pengembalian vena yang buruk, tachycardia, dan
arrhythmias.

Nyeri dilaporkan oleh pasien sebagai nyeri alamai pada otot (myalgia).
Nyeri bisa menjadi gejala awal dan membutuhkan intervensi terus-menerus.
Hypesthesias dilakukan dengan menggunakan bad sheet yang tidak nyaman.
Nyeri bisa sulit untuk dikelola dan ditambahkan pada ketakutan dan kecemasan
orang tersebut. Penyebab nyeri sering tidak jelas tetapi mungkin hasil dari
transmisi spontan dari saraf demyelinated (Sulton, 2002).

Setengah dari pasien dengan GBS memiliki keterlibatan oral-motor dalam


bentuk kelemahan yang menyebabkan kesulitan berbicara (dysarthia) dan
menelan (dysphagia). Sarana alternatif dari komunikasi mungkin perlu digali serta
pengukuran dilakukan untuk mencegah aspirasi. Saraf facial (saraf cranial VII)
sering terlibat, dan kelemahan wajah bilateral adalah umum. Penglihatan ganda
(diplopia) dapat dihasilkan dari kelemahan sekunder otot mata ke saraf kranial III,
IV, dan VI yang juga terlibat. Paralisis saraf kranial disebut bulbar palsy. Saraf
kranial terlibat referred ke bulbar karena mayoritas saraf kranial keluar dari bulb
atau batang otak. Tendon dalam refleks tidak ada karena demielinasi dari saraf
perifer, oleh karena itu membuat areflexia gambaran dari gangguan lower motor
neuron.

MANAJEMEN MEDIS

Manajemen medis andalan pasien dengan GBS adalah plasmapheresis atau infus
imunoglobulin. Dalam plasma-pheresis, darah dikeluarkan dari tubuh, sel-sel
darah merah dan putih dipisahkan dari plasma, dan hanya sel darah dikembalikan
ke pasien. Pasien menghasilkan lebih banyak plasma untuk menggantikan apa
yang telah dihapus. Diperkirakan begitu menghapus plasma menghilangkan
beberapa faktor kekebalan tubuh yang bertanggung jawab untuk perkembangan
penyakit. Studi telah menunjukkan bahwa penggunaan plasmapheresis
mengurangi panjang penyakit serta mempersingkat waktu ventilasi mekanik dan
menyebabkan ambulasi dini (Dada dan Kaplan, 2004). Imunoglobulin yang
diberikan secara intravena juga memiliki dampak positif pada kecepatan
pemulihan. Satu studi menunjukkan IV imunoglobulin (IVIG) setidaknya sama
efektifnya dengan plasma bertukar. Selain itu, IVIG cenderung menularkan
infeksi dan memiliki efek samping yang lebih sedikit (Sulton, 2002; Gilroy,
2000). Kedua intervensi ini perlu dimulai minggu pertama atau kedua dari onset
gejala untuk mempersingkat perjalanan penyakit(Pascuzzi dan Fleck, 1997).

Ada tiga fase GBS: akut, plateu, dan recovery. Tahap pertama
berlangsung hingga empat minggu. Selama ini, gejala muncul: 80 persen individu
dengan parestesia, 70 persen dengan areflexia, dan 60 persen dengan kelemahan
di semua anggota gerak. Secara bertahap persentase pasien menunjukkan gejala
core meningkat hingga mendekati 100 persen. Fase plateu ditentukan oleh
stabilisasi gejala. Sementara gejala hadir, mereka tidak berkembang atau semakin
buruk. Fase ini juga bisa bertahan hingga empat minggu. Terakhir, fase pemulihan
terbukti saat pasien mulai membaik. Delapan puluh persen pasien pulih dalam
setahun (Sulton, 2002) tetapi mungkin memiliki beberapa gejala sisa neurologis
atau sisa defisit. Fase pemulihan dapat berlangsung beberapa bulan hingga
beberapa tahun. Pasien yang cenderung memiliki hasil kurang termasuk mereka
yang membutuhkan dukungan ventilasi, memiliki perkembangan demielinasi yang
cepat, dan menunjukkan amplitudo motorik distal rendah pada EMG (Ropper et
al.,1991). Temuan terakhir mencerminkan jumlah kerusakan aksonal terjadi.

MANAJEMEN FISIOTERAPI

Fase Akut

Perawatan suportif selama tahap akut adalah suatu keharusan. Karena dari
kemungkinan keterlibatan pernafasan, orang dengan GBS dirawat di rumah sakit
dan mungkin menghabiskan waktu lama di intensive care. Selama fase akut,
paling tepat untuk fisioterapis memperlakukan pasien seperti perkembangan
gejala biasanya. Jika otot pernapasan pasien terlibat, ia kemungkinan akan
membutuhkan dukungan ventilasi dan berada di unit perawatan intensif (ICU).
Tujuan fisioterapi selama tahap akut termasuk meminimalkan tanda dan gejala
akut; mendukung fungsi paru, mencegah kerusakan kulit dan pembentukan
kontraktur; dan mengelola rasa nyeri.

Jika PTA memberikan ROM pasif dan positioning di bawah pengawasan


fisioterapis, terapis perlu memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan
parameter kapasitas vital agar asisten waspada untuk perubahan status pernapasan
pasien. Asisten fisioterapis juga dapat memberikan postural drainage dengan
perkusi untuk mempertahankan jalan nafas. Peregangan lembut dinding dada dan
rotasi trunk dapat dilakukan sementara pasien masih menggunakan ventilator
(Hallum, 2001). Pasien positioning untuk mengurangi potensi kontraktur dengan
tangan dan kaki splint. Perhatian ekstra harus diambil saat melakukan ROM
karena otot yang rusak dapat dengan mudah rusak. Asisten harus berhati-hati
ketika mendukung anggota gerak untuk mencegah peregangan yang berlebihan.
Termasuk selalu memeriksa untuk memastikan bahwa ankle itu dalam posisi
subtalar netral sebelum stretch heel cord. Posisi subtalar netral di mana talus
sama-sama menonjol ketika dipalpasi secara anterior terlihat pada Gambar 13-2.
ROM harus dilakukan setidaknya dua kali satu hari. Jadwal penentuan posisi,
splint, dan program ROM harus diposting di samping tempat tidur (Hallum,
2001).

Nyeri adalah salah satu gejala yang paling sulit untuk ditangani pada
pasien dengan GBS. Obat tidak selalu efektif. ROM pasif, massage, dan TENS
mungkin bermanfaat. Jika pasien menunjukkan peningkatkan kepekaan terhadap
sentuhan ringan, sebuah dudukan dapat digunakan untuk jauhkan sprei dari kulit.
Bungkusan bertekanan rendah atau pakaian yang pas bisa memberikan cara untuk
menghindari sentuhan ringan pada anggota gerak. Nyeri bisa meningkat oleh
ketakutan pasien tentang apa yang telah terjadi. Jaminan dan penjelasan tentang
apa yang diharapkan dapat membantu meringankan kecemasan yang dapat
memperparah rasa sakit (Karni et aI., 1984).

GAMBAR 13-2. Menemukan subtalar netral sebelum meregangkan heel cord. Dengan pasien terlentang, pegang tumit
dengan satu tangan. Pegang kaki di atas kepala metatarsal keempat dan kelima menggunakan ibu jari, telunjuk, dan jari
manis tangan yang lain. Palpasi kedua sisi talus pada dorsum kaki (lihat tampilan bagian depan dan struktur kerangka).
Fase
Secara pasifPlateau
dorsifleksikan kaki sampai resistensi terasa. Dalam posisi ini, supinasi dan pronasi kaki; talus akan menonjol
ke samping dan secara medial, masing-masing. Memposisikan kaki sehingga tidak ada tonjolan adalah subtalar netral

Ketika fungsi pernapasan dan autonom stabil, program untuk meningkatkan


toleransi ke upright dapat dimulai. Ini harus dimulai secara bertahap karena pasien
mungkin masih menggunakan ventilator. Tujuan terapi fisik selama fase plateau
meliputi aklimatisasi ke tegak, pemeliharaan ROM, peningkatan fungsi paru, dan
menghindari kelelahan dan overexertion. Pasien sudah terbiasa untuk duduk tegak
dengan posisi postur tubuh yang tepat dan mendukung trunk karena mungkin
masih memiliki inervasi yang minimal. Pengurangan tekanan masih diberikan
dengan positioning secara teratur. Jika pasien terus mengalami nyeri, hingga
memegang anggota gerak berpotensi kontraktur-posisi prone. Panas dapat
digunakan sebelum peregangan jika tidak ada kehilangan sensasi. Kembalinya
otot-otot oral mungkin mengisyaratkan perlunya anggota tim tambahan untuk
bekerja pada pola pergerakan diperlukan untuk menelan, makan, dan berbicara.
Asisten fisioterapis dapat memberikan dukungan posisi bagi pasien selama sesi
ini. Paling tidak asisten harus mewaspadai tindakan precaution apa pun mengenai
aspirasi potensial dan persyaratan apa pun untuk mempertahankan postur tubuh
bagian atas yang tegak setelah oral intake makanan atau cairan.

Fase Recovery

Kekuatan otot secara bertahap pulih dua hingga empat minggu setelah kondisinya
sudah mencapai plateau. Otot-otot kembali dalam urutan terbalik atau pola
menurun. Ini adalah kebalikan dari urutan naik saat kehilangan sensasi. Seperti
leher dan otot-otot trunk pulih, pasien mungkin mulai tilt table dalam mencapai
aklimasi berkelanjutan untuk berdiri tegak dan weight bearing pada ekstremitas
bawah. Posisi splint mungkin dibutuhkan untuk ekstremitas bawah serta
tromboemolic stocking untuk mengurangi pengumpalan vena. Otot-otot
pernapasan bisa menjadi lemah jika orang tersebut membutuhkan bantuan
ventilator, dan kelemahan ini dapat membatasi toleransi menjadi tegak.

Sasaran tujuan terapi fisik pada saat ini meliputi memperkuat dan
memaksimalkan kemampuan fungsional untuk membawa tujuan lain dari fase
sebelumnya. Aktivitas penguatan dan resep latihan untuk individu ini menantang.
Bergantung pada jumlah unit motorik utuh yang hadir dalam otot ketika diberikan,
jumlah latihan sama bisa berbahaya atau bermanfaat. Jika terlalu sedikit unit
motorik, ketika bekerja otot dapat merusak pemulihannya. Sayangnya, tidak ada
cara mudah untuk memastikan berapa banyak unit motor yang ada pada pasien
yang pulih dari GBS.

Setelah pasien stabil atau mencapai plateau, latihan aktif dapat dimulai.
Bensman (1970) merekomendasikan mengikuti empat pedoman untuk latihan:

1. Gunakan latihan yang tidak menimbulkan kelelahan pada periode pendek yang
cocok dengan kekuatan pasien.

2. Tingkatkan kesulitan dari suatu aktivitas atau tingkat latihan hanya jika pasien
membaik atau jika tidak ada kerusakan dalam status setelah seminggu.

3. Kembalikan pasien ke tempat tidur jika terjadi penurunan kekuatan atau fungsi.

4. Arahkan latihan penguatan untuk meningkatkan fungsi, bukan hanya untuk


meningkatkan kekuatan.

Kelemahan overwoek adalah istilah yang pertama kali digunakan bersama polio
pada akhir 1950-an. Istilah ini terus digunakan ketika menggambarkan bahaya
ketika pekerjaan berlebihan sebagian otot dilemahkan. Bekerja terlalu keras
menghasilkan otot yang sebagian denervasinya mengalami penurunan besar dalam
kemampuan otot untuk menunjukkan kekuatan dan daya tahan. Tanda-tanda
kelemahan tertunda muscle soreness, timbulnya nyeri otot, yang memburuk satu
sampai lima hari setelah latihan, dan pengurangan jumlah maksimum memaksa
otot mampu menghasilkan (Clarkson et al., 1992; Faulkner et al., 1993). Bassile
(1996) merekomendasikan latihan otot yang memiliki kekuatan otot 2/5 dalam
bidang tanpa gravitasi hanya menggunakan berat anggota gerak. Setelah seorang
dapat menggerakkan anggota gerak melawan perlawanan yang sama dengan
massa anggota tubuh, orang tersebut dapat melakukan latihan antigravitasi.
Hallum (2001) memandang perkembangan latihan dalam populasi ini sebagai
sebuah piramida dengan ROM pasif di bagian bawah, secara fungsional latihan
resistif khusus pada tingkat menengah, dan terkoordinasi gerakan fungsional di
atas.
Terlepas dari terminologinya, semua orang setuju itu terbaik untuk
memulai dengan pengulangan rendah dan singkat, sering latihan disesuaikan
dengan kemampuan otot pasien, yaitu, kekuatan otot. Misalnya, seseorang yang
miskin (2/5) kekuatan otot deltoid dapat berolahraga di kolam renang, atau dengan
aparatus sling overheada atau powder board. Semua situasi ini tanpa gravitasi.
Teknik fasilitasi semacam strocking, brushing, getaran, dan tapping otot dapat
dikombinasikan dengan latihan tanpa gravitasi. Pasien dibatasi dari bergerak
melawan gravitasi sampai kekuatan otot deltoid adalah 3/5. Ekstremitas bawah
akan pulih setelah ekstremitas atas. Kebanyakan orang berjalan dalam waktu
enam bulan sejak timbulnya gejala (Hallum,2001). Dilema datang apakah akan
mencoba ambulasi dengan pasien sebelum otot-otot ekstremitas bawah setidaknya
memiliki nilai wajar (3/5) (Bassile, 1996).

Peralatan adaptif perlu diubah saat pasien pulih. Setelah terbiasa dengan
tegak, mobilitas awalnya mungkin terbatas pada kursi roda. Ketika ambulasi
tercapai, walker, forearm crutch, atau cane diperlukan sebagai alat bantu jalan.
Bantuan ortotik harus ringan. Plastik AFO atau bahkan splint stirrup udara dapat
memberikan dukungan untuk ankle yang lemah. Kelemahan residual paling sering
terlihat pada otot distal tangan dan kaki seperti ekstensor pergelangan tangan,
intrinsik jari, dorsiflexor pergelangan kaki, dan intrinsik kaki. Gluteal dan
quadriceps juga mungkin tetap lemah. Daya tahan sering kurang dan bahkan
mungkin menjadi kendala utama jika orang tersebut cukup kuat untuk kembali
bekerja. Latihan daya tahan harus dimasukkan dalam program latihan di rumah
pasien; jika tidak, pasien dapat terus aktif meminimalisir meskipun memiliki
kekuatan yang memadai. Pitetti dan rekanan (1993) mempelajari seorang pria
berusia 54 tahun tiga tahun pasca GBS. Dia mampu meningkatkan kekuatan kaki
dan total kapasitas kerja setelahnya program latihan aerobik tiga kali seminggu
menggunakan sepeda ergometer. Dia bahkan bisa kembali berkebun.

PERLINDUNGAN TERHADAP SISTEM MUSCULOSCELETAL DAN


CARDIOPULMONAL

Prognosis untuk seseorang dengan Sindrom Guillain-Barre biasanya sangat bagus.


Beruntungnya, kelemahan otot itu terbalik ketika sistem saraf perifer pulih.
Namun, pasien dengan GBS sering tidak dapat bergerak periode waktu yang
panjang karena sifat lambat dari proses pemulihan. Peran tim perawatan kesehatan
selama waktu itu adalah untuk melindungi sistem muskuloskeletal dan
kardiopulmoner sehingga ketika pemulihan terjadi, pasien dapat manfaat banyak
perubahan. Peran latihan dalam hal ini penyakit neuromuskuler adalah untuk
meningkatkan fungsi tanpa menyebabkan kerusakan yang berlebihan. Penggunaan
protocol latihan yang tidak melelahkan diindikasikan. Protokol-protokol ini akan
dibahas lebih lanjut di bagian sindrom postpolio.
POSTPOLIO SYNDROME

Postpolio syndrome (PPS) adalah nama yang diberikan untuk efek poliomyelitis
yang terlambat. Polio adalah infeksi virus, yang menyerang beberapa anterior
horn cell di spinal cord dan menghasilkan kelumpuhan otot. Polio adalah
epidemic di Amerika Serikat dari 1910 hingga 1959. Puluhan tahun setelah
selamat dari polio, 20 hingga 40 persen dari orang-orang ini mengalami kelelahan,
new muscle weakness, dan hilangnya kemampuan fungsional (Halstead dan
Naierman, 1998).

PPS pertama kali dijelaskan dan diakui sebagai entitas klinis pada tahun
1972 ketika Mulder dan rekannya menerbitkan kriteria untuk diagnosisnya.
Kriteria itu umumnya terdiri dari memiliki histori polio, pemeriksaan neurologis
positif atau electromyogram (EMG), periode stabilitas relatif berlangsung
setidaknya 15 tahun, dan pengembangan kelemahan neurologis baru tidak
dijelaskan oleh patologi lain.

Karena catatan tidak seakurat yang diperkirakan, kami hanya memiliki


perkiraan jumlah orang yang sebenarnya megalami polio. Menurut Halstead dan
Naierman (1998), perkiraan berkisar dari 120.000 hingga 420.000 orang yang
mungkin mengalami PPS. Nasional Institute of Neurological Disorders and Stroke
melaporkan lebih dari 300.000 orang mungkin berisiko terkena PPS (MayoKlinik,
2004). Tingkat keparahan PPS berkaitan dengan tingkat keparahan dari infeksi
polio asli. Jika seseorang memiliki kasus polio ringan, PPS juga akan menjadi
ringan. Sebaliknya, jika orang yang memiliki kasus parah yang membutuhkan
penggunaan iron lung (Gbr. 13-3, A dan B), PPS mungkin lebih parah. Postpolio
sindrom menunjukkan perkembangan yang lambat selama periode waktu yang
panjang dan jarang mengancam jiwa.

GAMBAR 13-3. A. Bangsal pernapasan rumah sakit di Los Angeles pada tahun 1952. B.Seorang pasien dalam iron lung
selama epidemi polio di Rhode Island tahun 1960. (Sumber dari Centers for Disease Control and Prevention.)

ETIOLOGI
Sebagian besar sumber menerima teori bahwa sindrom polio adalah disebabkan
oleh dekade peningkatan permintaan metabolisme tubuh oleh unit motor raksasa
(Jubelt dan Perjanjian. 2000; Smith dan Kelly, 2001). Unit motor raksasa ini
adalah terbentuk selama proses pemulihan dari virus asli infeksi. Setelah virus
polio menghancurkan anterior horn cell, serabut otot dipersarafi oleh anterior horn
cell menjadi tidak ada yang menginervasi (orphaned). Selama pemulihan anterior
horn cell dihancurkan oleh virus reinnervate beberapa di antaranya serat orphaned
menciptakan unit motor raksasa. Proses perbaikan melibatkan cabang dan
memotong kembali proses saraf. Perbaikan ini merupakan proses berlanjut setelah
infeksi asli, tetapi seiring berjalannya waktu melewati kemampuan tubuh untuk
mengimbangi pentingnya perubahan menjadi berkurang. Respon tubuh terhadap
patologi aslinya juga diperparah oleh perubahan yang berkaitan dengan usia
sistem saraf. Karena ada kehilangan unit motor akibat penuaan normal, seseorang
yang menderita polio dapat kehilangan beberapa unit motor raksasa. Hasil
akhirnya adalah kerugian fungsi berikutnya pada orang dengan PPS.

GEJALA KLINIS

Kelelahan

Salah satu masalah yang paling sering dilaporkan adalah kelelahan (Jubelt, 2004;
Jubelt dan Agre, 2000). Kelelahan ini berjalan melebihi kelelahan khas yang
dirasakan semua orang setelah bekerja keras. Kelelahan ini digambarkan sebagai
kelelahan yang luar biasa atau kelelahan yang terjadi hanya dengan tenaga
minimal. Itu bisa saja sangat parah sehingga kemampuan orang untuk
berkonsentrasi terpengaruh. Kelelahan dapat terjadi pada waktu yang sama dalam
sehari dan disertai dengan tanda-tanda distress autonomic seperti berkeringat atau
sakit kepala. Beberapa orang menggambarkan perasaan kelelahan sebagai
“memukul dinding (hitting wall)”. ·Faktor muscular seperti overuse, energi yang
tinggi dari pembebanan kerja submaximal, dan penurunan dekondisi
cardiopulmolnary dapat berkontribusi untuk kelelahan. Kelelahan terjadi umunya
pada pasien dengan PPS (Jubelt, 2004).

Kelemahan Baru

Kelemahan Baru adalah ciri khas sindrom postpolio. Ini terjadi ketika otot sudah
terlibat dan di dalam otot tidak ditemukan secara klinis efek dari infeksi polio asli.
Beberapa bukti menemukan bahwa “otot baru” memilki keterlibatan subclinik
yang aktual berdasarkan bukti EMG. Kelemahan adalah asimetris, biasanya
proksimal dan progresif alami mengalami perlambatan.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, overuse berkaitan dengan kelemahan


otot baru yang terlihat pada individu dengan PPS. Normalnya motor unit pecah
seiring pertambahan usia dan pada kasus pasien dengan PPS ini akan terbentuk
motor unit raksasa. Setelah beberapa tahun peningkatan energy metabolism, maka
motor unit raksasa ini pecah dan menyebabkan kelemahan baru.

Nyeri

Nyeri otot dan sendi adalah manifestasi umum PPS. Nyeri otot berhubungan
dengan overuse kelemahan otot. Nyeri dan kelelahan pada otot terjadi satu atau da
hari setelah aktivitas. Ini akan berkurang dengan istirahat dan respon baik
terhadap aktivitas yang mencegah kelebihan lelah. Nyeri otot ini membaur dan
membutuhkan waktu yang panjang untuk memulihkan dari bukti riset pada pasien
harus taat terhadap rekomendasi berdasarkan langkahnya dan perubahan gaya
hidup. Pasien yang mengikuti rekomendasi pengasuh memiliki persentase rendah
terhadap resolusi atau peningkatan nyeri otot (Peach and Olejnik, 1991).

Sendi bisa menjadi tidak stabil ketika otot mengalami kelemahan atau
kelebihan aktivitas fisik yang membuat mereka overstress dan soft tissue
disekitarnya. Mobilitas jarang menjadi pembatas adanya joint atau muscle pain,
dimana selanjutnya ini menjadi atrofi otot. Nyeri biasanya dihasilkan dari
repetitive microtrauma dari bertahun- tahun pergerakan sendi yang misaligned
atau misaligned sekunder menuju kelemahan atau frank deformitas postural. Nyeri
sendi di dalam dan itu bukan gejala dari PPS walaupun banyak ditemui pada
populasi ini (Smith and Kelly, 2001). Nyeri sendi adalah hasil dari penggunaan
dan tear pada sendi, poor posture, dan memburuknya soft tissue atau perawatan
pasca prosedur operasi orthopaedic yang menghasilkan efek residu pada polio.
Wanita dengan PPS lebih banyak dibandingkan laki – laki dengan PPS yang
mengeluhkan nyeri pada sendi dan otot (Vasiliadis et al., 2002).

Intoleransi Dingin

Karena keterlibatan sistem saraf simpatik, seorang individu dengan PPS tidak
toleran terhadap dingin. Anggota gerak sering dingin dan membutuhkan pakaian
tambahan untuk meminimalkan kehilangan panas. Karena intoleransi ini,
penggunaan dingin sebagai modalitas biasanya bertemu dengan tahanan. Jika
orang tersebut mengalami kesulitan dengan edema, panas sering bukan modalitas
pilihan. Karena itu, edukasi pasien yang luas mungkin diperlukan untuk
meyakinkan orang dengan PPS menggunakan local cold sebagai pengobatan
untuk edema.

Fungsi Berkurang

Kelelahan, rasa sakit, dan kelemahan menghasilkan siklus tidak aktif pada orang
dengan PPS. Ketika anda bertanya kepada seseorang dengan PPS apa yang dia
lakukan secara teratur, jawabannya adalah "tidak banyak". Anda mungkin
menyadari dengan menyelidiki, bagaimanapun, bahwa orang itu dulu sangat aktif
dan melakukan banyak hal tetapi terjadi pembatasan tingkat aktivitas sendiri
karena kombinasi kelelahan, rasa sakit, dan kelemahan. Dekondisi sistem
kardiopulmoner datang dengan aktivitas yang lebih sedikit. Dekondisi lebih lanjut
memperburuk kelelahan dan kelemahan yang menyebabkan aktivitas kurang dan
tingkat keterlibatan sosial yang lebih rendah. Siapa saja dari tiga serangkai gejala -
kelelahan, nyeri, atau kelemahan dapat memicu siklus penurunan aktivitas dan
fungsi.

Fungsi vital seperti makan dan bernafas bisa terpengaruh jika orang
tersebut awalnya memiliki keterlibatan bulbar. Saraf kranial keluar dari batang
otak atau bulb yang mendukung oral motor dan fungsi kardiorespirasi. Jika virus
polio menyerang batang otak, pusat kendali pernapasan bisa berhubungan juga
dengan otot ventilasi seperti diafragma dan otot interkostal. Selanjutnya, setelah
bertahun-tahun bekerja, penderita PPS mungkin sangat kelelahan di akhir hari
sehingga dia pingsan di malam hari. Tidur dapat terganggu oleh periode apnea
atau nyeri dan dengan demikian semakin menambah masalah dengan kelelahan,
nyeri, dan kelemahan yang ditemui selama jam bangun. Individu dengan motorik
oral, keterlibatan pulmonary yang signifikan, atau gangguan tidur akan lebih tepat
diperlakukan oleh anggota tim dengan keahlian di bidang itu seperti terapis
okupasi atau terapis wicara. Seorang ahli paru dapat merekomendasikan
penggunaan perangkat penekanan pernapasan positif di malam hari untuk
memastikan oksigenasi yang memadai.

Setelah berjalan selama bertahun-tahun dengan penyimpangan gaya


berjalan yang signifikan, penderita PPS berisiko jatuh dan kehilangan kepadatan
tulang. Orang-orang ini mendukung dirinya menggunakan bantuan alat bantu
hanya ketika benar-benar diperlukan sementara yang lain berjalan dengan orthosis
knee-ankle-foot (KAFO) dan forearm crutches. Banyak yang telah membentuk
gerakan kompensasi dengan atau tanpa orthoses dan alat bantu yang
memungkinkan mereka bergerak secara fungsional. Dengan timbulnya kelelahan
dan kelemahan baru, kompensasi ini mungkin tidak lagi memadai dan mungkin
menempatkan mereka pada risiko tinggi untuk jatuh dan cedera muskuloskeletal
lainnya. Risiko ini mengganggu pemenuhan tugas hidup sehari-hari. Banyak
kelainan postural terlihat pada pasien dengan PPS termasuk kepala ke depan,
trunk condong ke depan, kurva lumbar yang tidak ada, dasar panggul tidak
merata, dan skoliosis. Orang dengan PPS memiliki yang lebih besar kemungkinan
menderita osteoartritis daripada populasi umum.

Manajemen Medis

Obat untuk kelelahan belum terbukti efektif pada pasien dengan sindrom
postpolio. Prednisone belum terbukti meningkatkan kekuatan atau mengobati
kelelahan (Dalabs, 1999). Karena itu pengobatan bergantung pada perubahan gaya
hidup. Diet Sehat, latihan dalam jumlah sedang, ventilasi tekanan positif,
perawatan untuk sleep apnea, dan tetap hangat adalah rekomendasi yang mungkin
dibuat untuk individu dengan PPS. Fokus medis adalah mengelola tanda-tanda
dan gejala sindrom untuk setiap individu agar dapat meningkatkan kualitas hidup.
Seperti nyeri sendi dan otot terkait dengan penurunan kualitas hidup (Vasiliadis et
aI.,2002), terapi fisik sudah cukup banyak untuk ditawarkan PPS.

Manajemen Fisioterapi

Tujuan untuk manajemen terapi fisik individu dengan PPS adalah untuk:

1. Mengurangi beban kerja pada otot

2. Hindari kelelahan

3. Ambulasi dengan aman

4. Mencapai tingkat kemandirian fungsional yang optimal

5. Didik pasien dan keluarga

Modifikasi Gaya Hidup

Orang dengan PPS harus mengubah gaya hidup mereka. Sementara ini mudah
bagi pengasuh untuk mengatakan, sangat sulit bagi mereka untuk melakukannya.
Setelah selamat dari polio dan tidak membiarkan mendapatkan yang terbaik dari
mereka, orang-orang ini sering menolak melihat kebutuhan dan implementasi
perubahan. Mobilitas adalah kebebasan, dan kebebasan adalah sesuatu yang
mereka perjuangkan dan capai sejak lama. Perubahan akan terjadi secara perlahan.
Adage bekerja melalui rasa sakit digunakan dengan sukses sebelumnya, jadi
orang-orang ini mungkin berpikir bahwa strategi ini akan berhasil lagi. Melambat
tampaknya pilihan yang buruk ketika disamakan dalam pikiran mereka untuk
menyerah. Halbritter (2001) menyarankan pengurangan stres fisik dan emosional,
perlindungan sendi, modifikasi lingkungan kerja dan rumah, dan penggunaan
mobilitas membantu mengurangi kelelahan dan menjaga fungsi. Jubelt (2004)
merekomendasikan konservasi energi, penurunan berat badan, dan penggunaan
alat bantu sebagai perubahan gaya hidup untuk memerangi kelelahan dan nyeri
muskuloskeletal (nyeri sendi dan otot).

Konservasi Energi

Karena efek kelelahan yang luas dan bahaya dari penggunaan otot yang
berlebihan, konservasi energi harus menjadi bagian integral dari manajemen
pasien dengan PPS. Beberapa Peneliti menyatakan bahwa ini adalah aspek
terpenting dari manajemen (Mayo Clinic, 2004). Konservasi energi adalah berarti
memodifikasi litestyle seseorang untuk mencegah kelelahan. Ini dapat
memasukkan perubahan dalam lingkungan, tugas, atau cara penggerak melakukan
tugas.

Satu orang dengan PPS mungkin perlu menggunakan alat bantu ketika
tidak ada yang digunakan sebelumnya untuk menghemat energi relatif terhadap
ambulasi. Orang lain mungkin membutuhkan penggunaan skuter listrik. Saat
melakukan tugas ADL, individu harus pikirkan bagaimana melakukan tugas
dalam satu perjalanan daripada tiga atau lebih perjalanan. Misalnya, semua piring
bisa diturunkan dari mesin cuci piring ke gerobak dan gerobak dipindahkan ke
lokasi di mana semua hidangan dapat disimpan daripada melakukan beberapa
perjalanan ke dan dari mesin pencuci piring ke berbagai lokasi? Bisakah orang itu
duduk daripada berdiri untuk melakukan filing jika itu adalah bagian dari
pekerjaannya? Analisis dari kegiatan yang membentuk hari seseorang dapat
membantu menentukan di mana perubahan dapat dengan mudah dilakukan.

Kegiatan mondar-mandir adalah bagian dari konservasi energi dan


modifikasi gaya hidup. Mondar-mandir membutuhkan keseimbangan antara
istirahat dan aktivitas. Apakah orang tersebut memiliki lebih banyak energi dalam
pagi atau siang? Manfaatkan ketika energy tersedia dan perencanaan kegiatan
yang sesuai membuat rasa baik. Mengambil istirahat yang lebih sering dapat
memungkinkan seseorang melakukannya terus bekerja serta mampu melakukan
kegiatan rumah tangga sehari-hari. Istirahat yang memadai mungkin berbeda
untuk setiap individu dengan PPS. Tidur siang mungkin diperlukan. Terus
melakukan "pekerjaan" kita, apa pun yang menyertainya, mengarah pada rasa diri
yang lebih baik dan kualitas hidup. Karena itu, asisten fisioterapis harus
menasehati pasien dengan PPS untuk meningkatkan jumlah istirahat sekaligus
mengurangi stress (Halbritter, 2001).

Latihan

Latihan memainkan peran penting dalam mengelola PPS dan karenanya landasan
lain dalam pengelolaannya. Latihan harus memperkuat otot tetapi tidak
menyebabkan kelelahan otot. Demikian langkah santai adalah yang terbaik untuk
latihan rutin apa pun. Pasien dengan PPS membutuhkan instruksi bagaimana
menghindari latihan yang berlebihan dan untuk tidak melampaui titik rasa nyeri
atau kelelahan. Mereka harus belajar bahwa jika diperlukan beberapa hari untuk
mendapatkan kembali kekuatan mereka, apa dilakukan terlalu banyak. Aquatic
exercise bisa sangat bermanfaat karena air mengurangi tekanan pada sendi, tulang,
dan otot. Studi menunjukkan peningkatan fleksibilitas, kekuatan, dan kebugaran
kardiorespirasi pada pasien dengan PPS yang berpartisipasi dalam program
aquatic exercise (Prins et aI., 1994; Willen et aI., 2001).

Latihan yang tidak melelahkan telah ditampilkan secara banyak studi


bahwa efektif dalam meningkatkan kelemahan ringan hingga sedang tanpa terlalu
sering menggunakan otot (Jubelt dan Perjanjian, 2000; Ernstoff et aI., 1996;
Perjanjian et aI., 1997). Latihan interval pendek direkomendasikan dengan
istirahat di antara pemulihan. Protokol latihan non fatigue terdiri dari submaximal
dan latihan penguatan maksimal dikombinasikan dengan durasi pendek
pengulangan. Jadwal latihan setiap hari digunakan untuk menghindari
penggunaan berlebihan dan memberikan pemulihan penuh. Latihan harus diawasi
oleh fisioterapis atau asisten fisioterapis untuk memastikan bahwa teknik yang
digunakan benar dan untuk memantau bahwa pasien menghindari peningkatan
nyeri otot atau sendi dan menghasilkan otot yang berlebihan kelelahan. Satu studi
sebenarnya menemukan latihan dan modifikasi gaya hidup berkontribusi secara
positif untuk mengurangi tanda-tanda terlalu sering digunakan (Klein et aI.,
2002). Untuk contoh protocol non fatigue, lihat Tabel 13-7.

Dianjurkan untuk melakukan tes otot serial setiap tiga bulan oleh Fillyaw
dan rekan (1991) untuk memantau perubahan kekuatan. "Latihan non fatigue
adalah latihan aktif yang menyediakan tantangan otot tanpa menghasilkan
kelelahan atau rasa nyeri yang bertahan lama "Oubelt, 2004; untuk diskusi
tambahan, lihat Jubelt, 2004).

Individu dengan PPS sering dekondisi dan telah digambarkan memiliki


profil aerobik yang mirip dengan pasien pulih dari serangan jantung
(McDonaldWilliams, 1996). Denyut jantung, tekanan darah, dan laju yang
dirasakan semua usaha harus dipantau. Latihan harus tidak melebihi intensitas
olahraga sedang, yaitu 70 hingga 75 persen dari denyut jantung maksimum dan
peringkat Borg 13, yang setara hingga agak sulit (McDonald-Williams, 1996).
Skala Borg asli lebih disukai daripada yang baru 10 poin satu. Sesuai dengan
protokol tidak melelahkan, the durasi latihan harus singkat. Pedoman latihan yang
lebih spesifik tersedia menggunakan postpolio NRH sistem klasifikasi (Halstead
dan Grimby, 1995).

Tabel 13-7 Protokol Latihan Nonfatiguing


Latihan Nonfatiguing Latihan Nonfatiguing
Aerobik Interval Kekuatan
Tahanan Target detak jantung 60-80% dari satu
kisaran rendah, 60-70% pengulangan maksimum
Frekuensi 3 kali per minggu 3-5 kali per minggu
Repetisi NA Sasaran 5-10
Lamanya 15-30 menit NA
Waktu kontrak / NA 5 detik / 1 0 detik
waktu istirahat
Interval Mulailah dengan 2 atau 3 NA
menit latihan diselingi
dengan 1 menit
beristirahat selama 15
menit; ketika bisa
melakukan ini dengan
nyaman selama total 20
menit selama 2 minggu,
tingkatkan setiap latihan
dalam 1 menit. Tujuan: 4
menit setiap latihan,
istirahat 1 menit Interval,
total sesi, total latihan 30
menit
Jenis latihan Berjalan, berenang, Konsentris
berjalan di kolam renang,
bersepeda statis, lengan
pemilihan ergometer
didasarkan pada
kelompok otot terkuat di
untuk mencapai tujuan
denyut jantung dan
menghindari trauma
sendi.
Pengukuran dan Pretest, lalu 2 dan 4 Pretest, lalu pada 1, 3, 6
reproduksi bulan. bulan, dan interval
pengujian tahunan
Peregangan

Peregangan otot yang sudah terlalu banyak bekerja mungkin tidak diindikasikan
karena potensi untuk meningkatkan ketidakstabilan sendi. Orang dengan PPS
mungkin mencapai kesulitan keseimbangan ligamen dan otot tight terjadi subtitusi
menjadi otot-otot yang lemah atau absent muscularate. Peningkatan ROM harus
dapat didukung oleh kekuatan otot yang memadai, dimana tidak mungkin dengan
pasien ini. Peregangan lembut mungkin ditunjukkan sebagai strategi untuk
memerangi rasa nyeri atau kram dari penggunaan berlebihan (Gawne et al., 1993).

Manajemen Nyeri

Manajemen nyeri tergantung pada jenis nyeri yang sedang dialami pasien dengan
PPS. Ada tiga jenis rasa sakit yang telah dijelaskan dalam literatur: kram,
muskuloskeletal, dan biomekanik (Gawne et al., 1993). Peregangan lembut
setelah aplikasi panas ditunjukkan jika adanya kram. Ini sangat mirip dengan cara
orang dengan polio awal dirawat. Karena musculoskeletal rasa nyeri sering
disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan, struktur yang terlibat seperti
tendon, bursa, fasia, atau otot harus diidentifikasi sebelum treatment yang tepat
dapat ditentukan. Treatment untuk inflamasi atau strain harus dimasukkan
penggunaan obat antiinflamasi, modalitas yang sesuai, dan perubahan pola
penggunaan ekstremitas yang terlibat. Sejauh ini jenis rasa nyeri yang paling
sering berasal perubahan biomekanik yang dihasilkan dari penyakit degenerative
sendi, nyeri punggung bawah, dan kompresi saraf. Edukasi postur dan
merekomendasikan penggunaan alat bantu strategi terbaik digunakan dalam hal
ini.

Orthotics dapat diindikasikan untuk memberikan biomekanik yang lebih


baik alignment feet dan ekstremitas bawah. Di PPS, individu biasanya memiliki
kombinasi biomekanik malalignment dan ketidakseimbangan otot. Orthosis
mungkin hanya dapat mendukung alignment sendi yang lebih baik, bukan
mencapai koreksi penuh. Yang paling sering diresepkan orthosis termasuk lift
sepatu, orthosis pergelangan ankle-foot, dan knee-ankle-foot orthosis. Orthosis ini
sering meningkatkan kualitas berjalan, keselamatan berjalan, dan mengurangi
nyeri lutut dan nyeri umum. Penggunaan perangkat bantu juga mungkin perlu
dipertimbangkan.

Keseimbangan Antara Aktivitas dan Istirahat

Manajemen terapi fisik pasien dengan PPS adalah ditujukan untuk mengurangi
beban kerja otot yang digunakan pada sehari-hari. Protokol latihan yang tidak
melelahkan (non fatigue), konservasi energi, aktivitas mondar-mandir, latihan
pernafasan, dan koordinasi bernafas dengan aktivitas adalah semua strategi yang
digunakan di beberapa titik dengan seseorang yang mengalami PPS. Yang
terbesar tantangan datang bukan dalam mengidentifikasi strategi intervensi tetapi
dalam membantu pasien menemukan keseimbangan yang paling menguntungkan
antara aktivitas dan istirahat. Berapa banyak latihan yang bisa dilakukan orang
tersebut lakukan sambil menghemat energi sepanjang rutinitas harian? Ini adalah
tindakan keseimbangan nyata. Lebih banyak tidak baik dalam hal ini kasus; lebih
sedikit adalah yang terbaik.

RINGKASAN

Gangguan neurologis yang dibahas dalam bab ini memiliki beberapa hal yang
sama. Mereka semua berdampak signifikan kemampuan fungsional pada individu.
Mobilitas, aktivitas hidup sehari-hari, pekerjaan kinerja, dan partisipasi dalam
kegiatan rekreasi mungkin serius dikeluhkan sebagai akibat dari gangguan ini.
Setiap gangguan ini dapat menghasilkan kelelahan dan membuat potensial untuk
dekondisi terlepas dari yang mendasarinya proses patologis yang terlibat.

Latihan bermanfaat untuk individu dengan semua gangguan neurologis ini.


Latihan adalah strategi utama dan strategi bagian paling penting dari manajemen
rencana terapi keseluruhan. Tindakan pencegahan terkait penggunaan berlebihan
berlaku untuk semua pasien dengan jenis gangguan neurologis ini. Bagaimanapun
juga dari gangguan spesifik, intervensi memerlukan setiap individu untuk
menemukan keseimbangan antara jumlah istirahat dan aktivitas itu dapat
ditoleransi sambil terus mengoptimalkan fungsi. Intervensi awal, yang dalam
konteks ini berarti "segera setelah diagnosis," memberi pasien rencana perawatan
terbaik. Rencana perawatan awal ini mungkin mengandung banyak episode dan
memungkinkan modifikasi terus menerus dari strategi intervensi berdasarkan
perkembangan penyakit atau pemulihan. Rencananya adalah dilembagakan dan
dilakukan oleh tim praktisi perawatan kesehatan. Terapis fisik dan asisten ahli
terapi fisik adalah bagian dari tim dan memainkan peran penting dalam mengelola
individu dengan PD, multiple sclerosis, Guillain-Barre sindrom, dan sindrom
postpolio

PERTANYAAN REVIEW

1. Apa penyebab paling umum kelumpuhan akut pada orang dewasa?

2. Apa salah satu dari tiga kelainan gerakan paling umum terlihat di Amerika
Serikat?

3. Apa gejala yang paling luas terlihat di semua gangguan neurologis dibahas?

4. Berikan beberapa intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatkan


ekstensibilitas LE pada seseorang dengan MS yang menunjukkan peningkatan
tonus LE.

5. Identifikasi tiga faktor yang dapat menyebabkan ketidakaktifan dan dekondisi


pada seseorang dengan PPS.

6. Sebutkan tanda dan gejala kelemahan berlebihan.

7. Apa jenis MS yang paling umum?

8. Berapa lama seseorang dengan PD biasanya mendapat manfaat mengambil L-


dopa?

9. Jelaskan strategi yang digunakan ketika seseorang dengan PD membeku.

10. Siapa yang harus menggunakan protokol olahraga yang tidak melelahkan?

11. Apa tiga pedoman latihan untuk pasien dengan GBS?

STUDI KASUS

Unit Rehabilitasi Awal Pemeriksaan dan Evaluasi : Joshua

SEJARAH

Ulasan Bagan: Joshua Barnett adalah pria berusia 53 tahun dipindahkan ke Pusat
Medis Regional dari daerah pedesaan rumah sakit karena kelemahan progresif
parah tiga minggu lalu. Pasien telah dirawat melalui keadaan darurat kamar pada
hari sebelum transfer, mengeluh kelemahan di semua ekstremitas. Kelemahan
dimulai setelah virus infeksi dengan diare, demam, dan kedinginan yang
berlangsung selama tiga hari. Joshua tidak memiliki riwayat diabetes, COPD,
penyakit jantung atau hipertensi. Rawat inap sebelumnya telah melalui ruang
gawat darurat untuk batu ginjal. Dia tidak memiliki alergi dan tanpa obat. Dia
telah menyelesaikan course IV gamma globulin di Pusat Medis Regional setelah
diagnosis sindrom Guillain-Barre.

Terapi fisik (P1) untuk pemeriksaan dan perawatan diterima saat


pemindahan ke unit rehabilitasi

SUBYEKTIF

Joshua menyatakan bahwa dia sudah menikah dan merupakan guru matematika
sekolah menengah. Dia menanam tomat sebagai hobi dan hidup dalam satu rumah
cerita dengan dua langkah untuk masuk. Dia melaporkan baru-baru ini memiliki
penyakit virus yang berlangsung selama tiga hari dari yang ia penuh pulih. Tiga
minggu lalu, dia menyadari bahwa dia mengalami kesulitan menulis karena
kelemahan lengan. Saat masuk ke rumah sakit di desa, ia mengalami kelumpuhan
sebagian pada lengannya dan kelumpuhan total pada kakinya. Dia tidak nyeri.
Joshua dan istrinya cemas tentang pemindahannya ke Pusat Medis Regional,
tetapi mengikuti diagnosis dan perawatan Guillain-Barre sindrom mereka
berharap untuk kesembuhannya. Dia memberikan persetujuan untuk pemeriksaan.

OBJEKTIF

Penampilan, Postur Istirahat, Peralatan: Joshua tidur terlentang di kasur peti


telur. Anggota tubuh bagian atas tertekuk melewati trunk bagian bawahnya.
Tungkai bawahnya diputar secara eksternal di hip, ekstensi di lutut, dan
plantarfleksi di kaki. Dia memiliki kateter Foley di tempatnya.

TINJAUAN SISTEM

Komunikasi / Kognisi: Pidato Joshua normal. Dia memahami banyak arah


langkah, waspada dan kooperatif.

Kardiovaskular / Paru: BP = 130/90 mm Hg; SDM = 82 bpm; RR = 20 napas /


menit

Integumentary: Kulit utuh. Tidak ada warna merah atau edema yang tercatat.
Joshua bergantung untuk menghilangkan tekanan.

Muskuloskeletal: PROM utuh; AROM terganggu.

Neuromuskuler: Jalan, gerak, dan keseimbangan terganggu; UE dan LE


kelumpuhan, sensasi utuh secara proksimal, terganggu distal.
Psikososial: Istri ada di samping tempat tidur.

TES DAN PENGUKURAN

Antropometri: Tinggi 6 '3 ", Berat 190 pon, BMI 24 (2024 normal)

Gairah, Perhatian, Kognisi: Berorientasi x 3, status mental utuh.

Sirkulasi: Kulit hangat saat disentuh, pulse pedal hadir bilateral, denyut radial
yang kuat

Ventilasi atau Respirasi: Kapasitas vital adalah 3L, 50 persen dari normal. Pola
pernapasan adalah 2-leher, 4-diafragma. Tidak ada dada perluasan dinding dicatat.
Kenaikan epigastrium adalah 1,5 in.

Integritas Saraf Kranial: Saraf kranial utuh.

Range of Motion: PROM WFL; fleksi / abduksi bahu aktif dalam duduk hingga
60 derajat secara bilateral, fleksi siku aktif menjadi 90 derajat secara bilateral,
ekstensi siku kurang 15 derajat dari ekstensi lengkap, gerakan leher WFL, tidak
ada gerakan aktif lainnya

Integritas Reflex : Biceps 2+, Patellar, Achilles 0 bilateral, Babinski Absen


bilateral, Tonus otot flaccid di ekstremitas bawah, trunk, and dibawah elbows;
tonus di lengan, shoulders, dan leher normal.

Fungsi Motor: Joshua membutuhkan bantuan maksimal 1 untuk rolling dan untuk
duduk. Dia bisa duduk dengan didukung di tempat tidur selama 20 menit setiap
kali. Ia bergantung pada duduk dan berdiri. Joshua membutuhkan bantuan
maksimal 2 untuk transfet tempat tidur -).

Perkembangan Neuromotor: Head righting ada di semua arah. Trunk righting


tidak ada.

Performa Otot: Diuji prosedur manual muscle testing Berryman Reese. Joshua
didukung pada posisi duduk dengan stabilisasi yang cukup. Otot ekspresi wajah
masih utuh secara bilateral.

Balance : Joshua bergantung pada berjalan dan lokomotion. Dia tidak dapat
mengambil tantangan dalam dukungan posisi duduk.

Integritas Sensoris: Pinprick utuh di bagian atas ekstremitas kecuali berkurang di


bawah pergelangan tangan; utuh pada trunk dan ekstremitas bawah ke lutut, tidak
ada di bawah.

Skala 0 – 10
Bergantung saat makan, menggunakan baju dan higinitas personal.
ASSESSMENT DAN EVALUASI
Joshua adalah pria menikah berusia 53 tahun. Dia dirawat di rumah sakit dengan
paralisis lengan dan kakinya setelah mengalami penyakit berkaitan virus. Pada
hari kedua, ia dipindahkan dari rumah sakit setempat ke Pusat Medis Regional
untuk evaluasi lanjutan dan perawatan. Diagnosis sindrom Guillain-Barre (GBS)
dibuat, dan ia menjalani infus IV dengan gamma globulin. Ia bergantung pada
transfer dan locomotion. Ia dipindahkan ke unit rehabilitasi di Medical Pusat.
FIM: transfer 1, penggerak 1.
DAFTAR MASALAH
1. Tergantung dalam bantuan mobilitas.
2. Tergantung pada ADL dan transfer
3. Penurunan kekuatan dan daya tahan
4. Tergantung dalam pengurangan tekanan
5. Kurang pengetahuan tentang perjalanan penyakit dan rehabilitasi
Diagnosis: Joshua menunjukkan gangguan fungsi motorik dan integritas sensorik
yang terkait dengan polineuropati akut yang merupakan pola Panduan APTA 5G.
Pola ini termasuk GBS.
Prognosis: Selama dua bulan, Joshua akan meningkatkan tingkat independensi
fungsional dan kemampuan. Perubahan akan dibatasi oleh derajat dan kecepatan
pemulihan fungsi dan kekuatan otot, dan sisa defisit muskuloskeletal atau
neuromuskuler apapun.

RENCANA
Jadwal Perawatan: Fisioterapis dan asisten fisioterapis akan melihat Joshua BID
lima hari / minggu dan sekali pada hari Sabtu dan Minggu treatment selama 45
menit selama enam minggu ke depan. Sesi perawatan termasuk positioning,
ROM, rehabilitasi paru, fungsional.

Tujuan Jangka Pendek (2 Minggu)


1. Joshua akan mempertahankan ROM pasif semua sendi dalam batas untuk
ADL.
2. Joshua akan meningkatkan kapasitas vital hingga 100 persen efektivitas
batuk.
3. Joshua akan menunjukkan polapernapasan 2-dada, 2-diafragma untuk
meningkatkan toleransi untuk tegak.
4. Joshua akan meningkatkan kekuatan di semua otot yang dipersarafi untuk
3+ untuk meningkatkan keseimbangan duduk dan berdiri.
5. Joshua akan meningkatkan toleransi untuk duduk tegak di kursi roda
hingga empat jam sehari tanpa kehilangan integritas kulit.
6. Joshua akan roll supine ke prone dan back dengan minimum bantuan 1
untuk menghilangkan tekanan.
7. Joshua akan mentransfer dari tempat tidur ke kursi roda dengan minimum
assist 1 menggunakan stand pivot.

Tujuan Jangka Panjang (6 Minggu, antisipasi pemulangan ke rumah dengan


keluarga)
1. Joshua akan berjalan 150 kaki x 3 secara independen dengan atau tanpa
alat bantu.
2. Joshua akan menegosiasikan satu set empat tangga dengan pegangan
tangan.
3. Joshua akan berdiri selama 45 menit berturut-turut (periode kelas) tanpa
istirahat.
4. Joshua akan mengendarai mobilnya dari rumah ke sekolah.
5. Joshua akan menanam lima tanaman tomat tanpa istirahat.
Koordinasi, Komunikasi, Dokumentasi: Fisioterapis dan asisten fisioterapis akan
berhubungan dengan Josua dan keluarganya secara terus-menerus. fisioterapis juga akan
berkomunikasi dengan okupasi terapis, terapis pernapasan, dokter, staf keperawatan, dan
ahli gizi.

Instruksi Pasien / Klien: Joshua dan istrinya akan diinstruksikan mengenai proses
patologis yang terlibat dalam GBS, pentingnya ROM, memantau perubahan otot
berfungsi dan menghindari penggunaan berlebihan.

INTERVENSI PROSEDURAL

1. Mencegah kontraktur

 ROM pasif untuk semua ekstremitas yang kurang gerakan volunteer


 Program positioning
 Sepatu tenis high-top
 Splint tangan saat istirahat

2. Penghilang tekanan

 Mengubah jadwal setiap dua jam


 Pelepasan tekanan tantal saat duduk
 Ajarkan teknik weight- shifting saat berada di kursi roda-1 menit pelepasan
tekanan untuk setiap 15 hingga 30 menit duduk

3. Pelatihan pernapasan

 Stretch dinding dada secara manual


 Penguatan diafragma dengan tahanan manual
 Spirometri insentif
 Ajarkan teknik batuk yang mendengus dan membantu

4. Tingkatkan toleransi untuk tegak

 Tingkatkan lama waktu duduk di kursi, pantau tanda vital


 Tingkatkan lama waktu duduk di tepi tempat tidur / tikar meja, memonitor tanda-
tanda vital
 Berdiri di atas meja miring, pantau tanda vital dan bertahap meningkatkan
kemiringan dan lamanya waktu

5. Pelatihan transfer
 Ajarkan duduk ke dan dari tempat tidur ke kamar tidur dan ke tempat tidur kursi
roda
 Ajarkan berdiri ke dan dari tempat tidur ke kamar tidur, tempat tidur ke kursi
roda
 Ajarkan transfer mobil

6. Pelatihan kekuatan

 Secara bertahap tingkatkan fokus pada penguatan otot untuk mengembalikan


fungsi.
 Latihan tahanan untuk otot-otot persarafan di grade 3/5 dan lebih baik; gunakan
protokol yang tidak melelahkan
 Latihan bantuan untuk otot di grade 2/5
 Pantau otot di grade 1/5

7. Pelatihan ketahanan

 Gunakan protokol yang tidak melelahkan

8. Pelatihan mobilitas fungsional

 Mat - kegiatan bergulir, datang untuk duduk


 Latih keseimbangan duduk
 Mobilitas kursi roda; propulsi pada permukaan tanah untuk memungkinkan
kekuatan lengan
 Melatih keseimbangan berdiri
 Pelatihan gaya berjalan; progresif dari bar paralel ke level tanah ke ketinggian

9. Pelatihan ADL

 Mulailah dengan dukungan ekstremitas atas dan hand over hand berkembang
menjadi makan mandiri, berpakaian, dan toileting.

10. Pantau kembali otot dan sensorik

 Penilaian serial tentang kekuatan dan sensorik integritas otot

11. Pelatihan keluarga

 Edukasi anggota keluarga tentang cara-cara yang tepat untuk membantu dengan
transfer
 Mintalah anggota keluarga membantu dengan transfer
 Didik keluarga tentang cara membantu ADL
 Minta keluarga mendemonstrasikan bantuan dengan ADL

12. Perencanaan Pengembalian

 Berkonsultasi dengan anggota tim rehabilitasi, pasien, dan keluarga terkait


pemulangan ke rumah dengan bantuan keluarga
 Lakukan penilaian rumah dan sekolah jika perlu; temukan peralatan sesuai
kebutuhan
 Joshua akan dipulangkan ke rumah bersama pasangannya.
 Mendapatkan kursi roda ringan dengan bantal Jay, dapat dilepas lengan meja, dan
sandaran kaki ayun
 Rehabilitasi khusus akan dihubungi.

PERTANYAAN UNTUK DIRENUNGKAN

 Intervensi prosedural apa yang sesuai untuk dilakukan oleh asisten fisioterapis?
 Kapan transfer ke duduk dan berdiri dimulai?
 Apa tanda dan gejala yang harus dilakukan asisten fisioterapis gunakan untuk
menunjukkan perubahan negatif dalam status?

Anda mungkin juga menyukai