PENDAHULUAN
The National Head Injury Foundation mendefinisikan cedera otak traumatis (TBI)
merupakan "suatu penyakit pada otak yang tidak bersifat degeneratif atau genetik,
tetapi disebabkan oleh kekuatan fisik eksternal, yang dapat merubah atau
mengurangi kondisi kesadaran, yang mengakibatkan gangguan kemampuan
kognitif atau fungsi fisik. Hal ini juga dapat mengakibatkan gangguan fungsi
perilaku atau emosional. Kerusakan ini dapat bersifat sementara atau permanen
dan menyebabkan cacat fungsional parsial atau total atau ketidakmampuan dalam
psikososial "(Brain Injury Association of America, 2004).
Sekitar 1,5 juta orang Amerika mengalami cedera otak (BI) setiap tahun.
Dari jumlah ini, 230.000 orang dirawat di rumah sakit dengan diagnosis TBI
ringan hingga sedang, 80.000 mengalami TBI dengan kehilangan fungsi yang
signifikan termasuk timbulnya cacat jangka panjang, dan lebih dari 50.000 orang
meninggal akibat cedera mereka (CDC, 2004). Karena TBI dalam kehidupan
dapat mengganggu fungsi fisik , kognitif, dan psikososial bagi tiap individu, TBI
dianggap sebagai kondisi penting kesehatan masyarakat (CDC, 2004). Dampak
ekonomi TBI juga signifikan. Perkiraan biaya untuk perawatan akut dan
rehabilitasi adalah $ 9 hingga $ 10 miliar per tahun. Rata-rata biaya seumur hidup
untuk penderita TBI berkisar dari $ 600.000 hingga $ 1.875.000. Namun angka-
angka ini mungkin meremehkan biaya untuk keluarga dan masyarakat karena
mereka tidak termasuk upah yang hilang dan biaya yang terkait dengan program
layanan sosial (CDC, 2004).
Dua klasifikasi utama otak adalah cedera terbuka dan tertutup. Cedera terbuka
disebabkan oleh penetrasi jenis luka seperti tembakan, pisau, atau benda tajam
lainnya. Tengkorak bisa patah atau tergeser. Kerusakan pada otak tampaknya
mengikuti jalur masuk dan keluar benda yang mengenai, sehingga dapat
mengurangi fokus. Selain itu, dengan cedera terbuka, meninges terganggu dan
risiko infeksi meningkat ketika fragmen tulang, rambut, dan kulit didorong ke
otak (Campbell, 2000). Cedera tertutup atau intrakranial adalah jenis cedera
kedua, dan ada beberapa subtipe. Seseorang dikatakan telah mengalami cedera
tertutup ketika ada benturan di kepala, jaringan saraf pada oraknya rusak tetapi
tengkoraknya tidak retak dan durameter tetap utuh.
Gegar Otak
Subtipe pertama dari cedera kepala tertutup adalah gegar otak. Gegar otak
didefinisikan sebagai hilangnya kesadaran dan refleks sesaat. Gejala gegar otak
termasuk pusing, disorientasi, penglihatan kabur, sulit berkonsentrasi, perubahan
pola tidur, mual, sakit kepala, dan kehilangan keseimbangan (CDC, 2004; Fuller,
2003). Individu dapat mengalami amnesia retrograde (sebelum cedera) atau
anterograde (posttraumatic). Amnesia retrograde ditandai dengan hilangnya
ingatan akan peristiwa sebelum cedera, sedangkan pada amnesia posttraumatic,
individu tidak dapat mengingat atau mempelajari informasi baru (Bontke dan
Boake, 1996). "Durasi dari individu mengalami amnesia posttraumatic dianggap
sebagai indikator klinis dari tingkat keparahan cedera" (Fuller, 2003). Dengan
gegar otak, tidak ada kerusakan struktural pada jaringan otak. Namun karena
produksi kekuatan geser di dalam otak, sinapsis terganggu.
Luka Memar
Luka memar adalah subtipe kedua dari cedera tertutup atau intrakranial. Luka
memar pada permukaan otak disebabkan oleh pembuluh darah kecil yang
mengalami hemoragik. Sebuah luka memar yang terjadi pada sisi otak yang
terkena benturan disebut lesi coup. Sedangkan luka memar atau pendarahan
permukaan pada sisi yang berlawanan dari yang terkena benturan sebagai akibat
dari perlambatan disebut lesi contrecoup. Akselerasi yang terkait dengan cedera
contrecoup dapat menyebabkan oklusi pembuluh darah lebih lanjut dan
pembentukan edema. Gambar 11-1 menggambarkan cedera coup dan cedera
contrecoup.
GAMBAR 11-1. Tipe cedera kepala –tertutup dan terbuka. (Dari Gould BE. Pathophysiology for
Hematoma
Hematoma subdural, di sisi lain, adalah pendarahan vena akut yang terjadi
karena pecahnya vena penghubung kortikal. Hematoma ini berkembang diantara
dura dan arachnoid. Darah yang bocor dari sistem vena menumpuk lebih lambat,
umumnya selama beberapa jam hingga satu minggu. Cedera jenis ini terlihat pada
orang dewasa yang lebih tua setelah terkena pukulan di kepala. Gejalanya
berfluktuasi dan dapat menyerupai individu dengan kecelakaan serebrovaskular.
Individu dapat mengalami penurunan kesadaran, pelebaran pupil ipsilateral, dan
hemiparesis kontralateral. Gumpalan yang lebih kecil dapat diserap kembali oleh
tubuh, sedangkan hematoma yang lebih besar mungkin membutuhkan
pengangkatan dengan pembedahan. Gambar 11-2, B menunjukkan lokasi
hematoma subdural.
Dua subtipe lain dari cedera kepala tertutup juga perlu disebutkan: Sindrom
locked-in dan cedera otak yang didapat. Locked-in syndrome adalah kelainan
neurologis langka yang dapat terjadi setelah TBI. Kondisi ini ditandai dengan
kelumpuhan total semua otot voluntary kecuali otot yang mengontrol gerakan
mata. Individu tetap sadar dan memiliki fungsi kognitif tetapi tidak dapat
bergerak. Prognosis untuk kondisi ini buruk. Acquired brain injuries terjadi pada
tingkat sel dan mempengaruhi sel-sel di seluruh otak. Penyebab acquired brain
injuries mungkin termasuk: gangguan jalan napas, infark miokardi, kecelakaan
serebrovaskular, paparan racun, dan sengatan listrik atau serangan kilat. "Cedera
otak yang didapat umumnya menghasilkan perubahan aktivitas neuron, yang
memengaruhi integritas fisik, aktivitas metabolisme, atau kemampuan fungsional
sel. Acquired brain injuries dapat menyebabkan gangguan ringan, sedang, atau
berat pada satu area atau lebih, termasuk kognisi; komunikasi bahasa-bicara;
memori; perhatian dan konsentrasi; penalaran; pemikiran abstrak; fungsi fisik;
perilaku psikososial; dan pemrosesan informasi "(Brain Injury Association of
America, 2004).
MASALAH SEKUNDER
Individu yang menderita TBI juga dapat mengalami kerusakan otak sekunder
sebagai akibat dari respons otak terhadap cedera awal. Kerusakan ini dapat terjadi
dalam satu jam setelah cedera awal atau beberapa bulan kemudian. Berikut ini
adalah diskusi tentang masalah sekunder umum yang dapat mempengaruhi pasien.
Peningkatan Intracranial Pressure (ICP) adalah temuan umum setelah cedera otak
traumatis. Sekitar 70 persen pasien dengan cedera serius mengalami peningkatan
ICP (Campbell, 2000). Tengkorak dewasa mengalami kaku dan tidak
mengembang untuk menampung peningkatan volume cairan sekunder akibat
pembentukan edema atau pendarahan. Hasilnya adalah peningkatan tekanan yang
dapat menyebabkan kompresi jaringan otak, penurunan perfusi darah di jaringan
otak, dan kemungkinan herniasi. ICP normal adalah sekitar 5 hingga 10 mm Hg.
Tekanan lebih besar dari 20 mm Hg dianggap abnormal dan dapat menyebabkan
perubahan neurologis dan kardiovaskular. Kegiatan yang dapat meningkatkan ICP
pasien yakni fleksi cervical, kinerja teknik perkusi dan getaran, dan batuk (Fulk
dan Geller, 2001; Campbell, 2000). Tanda dan gejala peningkatan ICP meliputi
(1) penurunan respons, (2) gangguan kesadaran, (3) sakit kepala parah, (4)
muntah, (5) irritabilitas, (6) papilledema, dan (7) perubahan tanda-tanda vital
termasuk peningkatan tekanan darah dan penurunan denyut jantung (Gould, 1997;
Jennett dan Teasdale, 1981). Jika seorang pasien akan mengalami peningkatan
ICP, biasanya akan terjadi pada minggu pertama setelah cedera. Namun, penting
bagi semua klinisi untuk mengenali tanda dan gejala dari kondisi ini karena pasien
dapat mengembangkan gejala ini selama berbulan-bulan atau berminggu-minggu
setelah cedera awal mereka. Treatment dari peningkatan ICP meliputi pemantauan
yang cermat, agen farmakologis (Mannitol), dan shunting peritoneum ventrikel
jika diperlukan koreksi permanen (Fulop, 1998).
Cidera Anoxic
Epilepsi Pascatrauma
Seorang pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat setelah mengalami TBI
dievaluasi untuk menentukan tingkat cedera. Glasgow Coma Scale (GCS)
digunakan untuk menilai tingkat
gairah dan fungsi dari korteks
serebral. Skala ini secara khusus
mengevaluasi respons pupil,
aktivitas motorik, dan
kemampuan pasien dalam
verbalisasi (VanSant, 1990a)
(Tabel 11-1). Skor untuk
penilaian ini dapat berkisar
antara 3 hingga 15, dengan skor
yang lebih tinggi menunjukkan *Skor seluruhnya adalah hasil dari penjumlahan skor
eye opening (membuka mata), motor response (respon
kerusakan otak yang lebih motorik) dan verbal response (respon verbal)
ringan dan peluang bertahan
Modified from Jennett S, Teasdale G. Management of
hidup lebih banyak. Individu Head Injuries.
Philadelphia, FA Davis, 1981, P 78.
yang dirawat di ruang gawat
darurat dengan skor 3 atau 4 sering tidak terselamatkan. Skor 8 atau kurang
mengindikasikan bahwa pasien dalam keadaan koma dan mengalami cedera otak
yang parah (Fulk dan Geller, 2001). "Telah berulang kali diperlihatkan bahwa
tingkat ketidaksadaran, sebagaimana diindeks oleh skor GCS, adalah satu-satunya
prediktor hasil yang paling kuat dari TBI" (Bontke dan Boake, 1996).
TBl dapat diklasifikasikan menjadi ringan, sedang (moderat) dan berat. Seseorang
dengan TBI ringan memiliki GCS 13 atau lebih, kehilangan kesadaran yang
berlangsung kurang dari 20 menit, dan pemindaian tomografi komputer yang
normal. Individu dengan TBI ringan dapat terbangun pada saat mereka
mendatangi tempat fasilitas perawatan akut, tetapi mungkin juga merasakan
pusing, bingung, dan mengeluh sakit kepala serta kelelahan. Seorang individu
dengan TBI moderat memiliki skor GCS 9 hingga 12. Pada saat masuk ke rumah
sakit, individu tersebut bingung dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan
tepat. Banyak orang dengan TBI moderat memiliki pengurangan fungsi fisik,
kognitif, dan perilaku permanen. TBI yang berat/parah memiliki skor GCS dengan
skor 3 hingga 8 dan menunjukkan bahwa individu tersebut dalam keadaan koma.
Sebagian besar orang dengan TBI parah memiliki gangguan fungsional dan
kognitif secara permanen (Bontke dan Boake, 1996).
Manifestasi klinis dari TBI bervariasi, salah satunya yang mungkin terjadi yakni
sekunder dari kerusakan neuron difus. Masalah umum yang terlihat pada populasi
pasien ini meliputi: (1) penurunan tingkat kesadaran, (2) gangguan kognitif, (3)
gangguan motorik atau gerakan, (4) masalah sensorik, (5) berkurangnya
komunikasi, (6) perubahan perilaku, dan (7) masalah bersosialisasi.
Tingkat gairah (arousal) atau kesadaran yang menurun atau berubah sering
terlihat pada individu yang menderita TBl. Gairah (arousal) adalah keadaan
primitif saat terjaga atau waspada. Sistem pengaktif retikular bertanggung jawab
atas tingkat gairah seseorang. Kesadaran menyiratkan bahwa seorang individu
sadar akan rangsangan lingkungan internal dan eksternal. Kesadaran adalah
kondisi sadar. Istilah koma digambarkan sebagai penurunan tingkat kesadaran.
Koma adalah keadaan tidak sadar di mana pasien tidak terangsang atau responsif
terhadap lingkungan internal atau eksternal (Rappaport et al., 1992).
Ketika pasien koma, mata mereka tetap tertutup, mereka tidak dapat
memulai aktivitas, serta siklus tidur dan bangun mereka tidak dapat dibedakan
pada electroencephalogram. Koma menurut definisi tidak berlangsung lebih lama
dari 3 hingga 4 minggu ketika siklus tidur-bangun kembali dan ada pemulihan
fungsi batang otak seperti pernapasan, pencernaan, dan kontrol tekanan darah.
Seseorang yang menunjukkan kembalinya refleks batang otak dan siklus tidur-
bangun namun tetap tidak sadar dikatakan berada dalam keadaan vegetatif
(Lehmkuhl dan Krawczyk, 1993). Orang seperti itu pada tahap ini dapat
mengalami periode gairah (arousal) dan dapat membuka mata secara spontan.
Respon umum terhadap rasa sakit seperti peningkatan jantung atau tingkat
pernapasan, berkeringat atau postur abnormal mungkin jelas. Individu tetap tidak
menyadari lingkungan eksternal atau kebutuhan internalnya (Brain Injury
Association of America, 2004; Rappaport et al., 1992). Status vegetatif persisten
adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi seseorang yang telah berada
dalam status vegetatif selama setahun atau lebih. Seorang pasien dalam keadaan
vegetatif persisten tidak menunjukkan peningkatan dalam status neurologisnya
dan tidak ada perbaikan lebih lanjut yang diharapkan (Lehmkuhl dan Krawczyk,
1993).
Masalah Motorik
Area utama kedua yang terpengaruh pada individu dengan TBI adalah fungsi
motorik. Ketika seorang pasien tidak sadar, mobilitas terganggu. Pasien tidak
dapat memulai gerakan aktif. Postur yang tidak normal juga sering dilihat sebagai
konsekuensi dari cedera batang otak. Dua postur abnormal paling lazim yang
diperlihatkan adalah kekakuan decerebrate dan decorticate. Dalam kekakuan
decerebrate, ekstremitas bawah pasien dalam keadaan ekstensi. Hip adduksi dan
internal rotasi, knee ekstensi, ankle plantar-ekstensi, dan kaki supinasi. Pada
ekstremitas atas, shoulder internal rotasi dan ekstensi, elbow ekstensi, forearm
pronasi, dan fleksi pada wrist dan jari-jari. Ibu jari mungkin terperangkap di
dalam telapak tangan. Kekakuan deserebrasi disebabkan oleh terputusnya
neuroaksis di daerah otak tengah. "Pons, medula, dan sumsum tulang belakang
tetap fungsional" (Curtis, 1990). Nuklei vestibular menyediakan sumber tonus
ekstensor. Kekakuan decorticate muncul sebagai fleksi ekstremitas atas dengan
adduksi dan rotasi internal shoulder, fleksi elbow, pronasi forearm, fleksi wrist,
dan ekstensi ekstremitas bawah. Postur decorticate terjadi akibat disfungsi di atas
level nukleus merah, khususnya antara nukleus basal dan thalamus. Pasien dengan
cedera yang signifikan dapat didominasi oleh pola abnormal. Kesulitan muncul
ketika pasien tidak dapat merubah postur, dan gerakan voluntary tidak mungkin
(VanSant, 1990.1).
Masalah Sensorik
Pendeteksian sensorik juga terlihat pada seseorang dengan TBI. Indera penciuman
dapat hilang atau terganggu secara sekunder akibat kerusakan cribriform plate
atau fraktur fossa anterior (Campbell, 2000). Persepsi sensasi kulit (taktil dan
kinestetik) dapat terganggu atau tidak ada. Selain itu, individu dapat mengalami
pengurangan visual, perseptual, dan proprioseptif, tergantung pada area otak yang
terpengaruh.
Masalah Komunikasi
Masalah Perilaku
Masalah perilaku juga dapat menjadi evident pada penderita TBI. Dokumen-
dokumen ini seringkali merupakan yang paling bertahan lama dan melumpuhkan
secara sosial. Pasien dapat dilemahkan oleh perubahan kepribadian dan
temperamen mereka. Pasien dapat menunjukkan neurosis, psikosis, disinhibisi
seksual, apatis, lekas marah, labilitas, agresif, dan toleransi frustrasi yang rendah.
Perubahan kepribadian ini dapat menjadi tantangan bagi para profesional
rehabilitasi, serta bagi pengasuh dan anggota keluarga. Terapis fisik dan asisten
ahli terapi fisik harus berkonsultasi dengan tim rehabilitasi psikolog yang dapat
mengembangkan dan menyarankan strategi yang tepat untuk mengatasi masalah
perilaku pasien.
Masalah Terkait
Area terakhir yang harus disebutkan dalam populasi ini adalah masalah terkait
yang mungkin dialami individu. Sekitar 40 persen individu dengan TBI akan
mengalami cedera lainnya (Campbell, 2000). Komplikasi medis yang serius, serta
cedera ortopedi, dapat terjadi selama peristiwa traumatis yang mengarah ke cedera
otak yang sebenarnya. Seseorang yang menderita TBI juga dapat mengalami
fraktur, laserasi, dan bahkan cedera tulang belakang. Masalah-masalah terkait ini
mempengaruhi perawatan individu dan dapat membuat rehabilitasi menjadi lebih
sulit.
INTERVENSI TERAPI FISIK: PERAWATAN AKUT
Perawatan terapi fisik pasien dengan TBI harus dimulai dalam pengaturan
perawatan akut segera setelah pasien stabil secara medis. Sasaran intervensi awal
harus mencakup: (1) meningkatkan tingkat gairah (arousal) pasien, (2) mencegah
perkembangan gangguan sekunder, (3) meningkatkan fungsi pasien, dan (4)
memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai cedera. Menetapnya
pasien di fasilitas perawatan akut mungkin tidak lama, terutama jika pasien tidak
mengalami komplikasi medis. Rata-rata lama rawat inap mungkin kurang dari dua
minggu.
Positioning
Salah satu intervensi pengobatan dini yang paling penting yang harus ditangani
adalah positioning (penentuan posisi) pasien. Ini sangat penting karena pasien
dengan TBI dapat menunjukka tonus dan postur yang tidak normal. Terlentang
adalah posisi di mana banyak dari pasien ini ditempatkan karena memfasilitasi
kinerja tugas perawatan dan perawatan diri. Terlentang juga merupakan posisi di
mana dampak terbesar dari refleks labirin tonik dan dominasi tonus ekstensor
dapat terlihat. Intervensi 11-1 dan 11-2 memberikan contoh penentuan posisi.
Side-lying dan semiprone adalah posisi yang lebih diinginkan karena pengaruh
refleks labirin tonik berkurang. Perawatan harus diambil ketika memposisikan
pasien ini karena potensi komplikasi pernapasan. Seringkali, pasien dengan TBI
mungkin menerima ventilasi mekanis atau memiliki trakeostomi. Pasien dapat
diposisikan dalam posisi rawan dengan menempatkan bantal di bawah dada dan
dahi. Posisi ini mempertahankan jalan napas pasien. Memposisikan ekstremitas
atas dalam penculikan ringan dan rotasi eksternal sementara pasien dalam posisi
tengkurap atau terlentang juga memberikan pengaruh penghambatan pada tonus
otot abnormal (Davies, 1994).
Ahli terapi fisik atau asisten ahli terapi fisik harus memposisikan pasien
keluar dari dekerebrata atau postur dekortifikasi. Staf keperawatan serta keluarga
pasien harus dididik tentang cara-cara di mana pasien harus diposisikan. Handuk,
guling kecil, atau setengah guling yang kokoh harus digunakan untuk membantu
pasien mempertahankan posisi optimal. Bantal dan benda lunak lainnya harus
dihindari karena memberi pasien sesuatu untuk ditekan, yang dapat menimbulkan
refleks peregangan dan dapat memperburuk postur abnormal.
Tonus
otot abnormal
yang hadir pada
pasien ini bisa
signifikan.
Kontraktur dapat
Meskipun mengalami kontraktur yang parah, pasien ini
dapat tengkurap dengan bantuan berbagai bantuan.
A. Salah satu ujung alas kaki ada di bawah bantal.
B. Bantal guling untuk
Dari menyangga
Davies PM.lengan.
Starling Again: Early Rehabilitation after
C. Lengan didukung dengan baik
Traumatic dalam
Brain posisi
Injury yangSevere
or Other benar. Brain Lesion. New
York, Springer-Verlag, 1994.
Dari Davies PM. Starting Again: Early Rehabilitation after Traumatic Brain Injury or Other
Severe Brain Lesion. New York, Springer-Verlag, 1994.
berkembang dengan cepat, terutama di siku dan pergelangan kaki. Penempatan
posisi yang tepat, disertai dengan latihan rentang gerak dan belat statis, dapat
meringankan komplikasi yang berpotensi membatasi ini.
Osifikasi Heterotopik
Postur penghambat refleks pertama kali dibahas oleh Karl dan Berta Bobath.
Setelah mengamati anak-anak dengan cerebral palsy dan postur-postur abnormal
yang diasumsikan oleh anak-anak ini, theBobaths percaya bahwa pengaruh tonus
abnormal dari refleks tonik dapat dibalik dengan memposisikan pasien dalam pola
yang berlawanan. Postur penghambat refleks dikembangkan untuk refleks
labyrinthine tonik, refleks leher tonik asimetris, dan refleks leher tonik simetris.
Awalnya, Bobath menggunakan postur ini sebagai posisi statis; Namun, dengan
evolusi pendekatan pengobatan, gerakan aktif ditumpangkan pada postur
penghambat refleks. Postur-postur ini sekarang digunakan untuk menghambat
tonus abnormal, dan sekali tingkat otot yang lebih mudah dicapai, klinisi
memfasilitasi pola pergerakan normal (Bobath dan Bobath, 1984).
Selama tahap pemulihan akut ini, kegiatan yang ditargetkan untuk meningkatkan
tingkat kesadaran pasien digunakan. Kegiatan ini penting bahkan untuk pasien
yang koma. Meskipun seorang pasien mungkin tidak dapat merespon secara
verbal atau motorik, tidak boleh diasumsikan bahwa pasien tidak dapat mendengar
atau memahami informasi yang diberikan. Bahkan, harus selalu diasumsikan
bahwa pasien dapat mendengar dan memahami dengan memberikan informasi
yang relevan dengan perawatan pasien. Semua anggota tim rehabilitasi harus
mengarahkan pasien ke namanya, fasilitas tempat dia tinggal saat ini, dan
mengapa pasien menerima intervensi medis. Tim rehabilitasi sering
mengembangkan naskah yang menguraikan informasi orientasi terkait tentang
pasien. Mengacu pada subjek yang akrab dengan pasien dalam sesi perawatan dan
percakapan bermanfaat. Ketika dokter bekerja dengan pasien, sangat penting bagi
mereka untuk menjelaskan apa yang mereka lakukan setiap saat. Berkomunikasi
dengan pasien pada tingkat pribadi juga menunjukkan kepada pasien dan keluarga
bahwa terapis fisik dan asisten terapis fisik peduli, profesional terhormat yang
berusaha mengembangkan hubungan dengan pasien.
Stimulasi sensorik
Penggunaan stimulasi sensorik untuk pasien dalam keadaan koma masih dalam
tinjauan. Awalnya, alasan penggunaan modalitas sensorik adalah untuk
meningkatkan tingkat gairah dan daya tanggap pasien dan untuk memfasilitasi
munculnya pasien dari koma (Bontke et al., 1992). Studi penelitian belum
mendukung nilai simulasi sensorik dalam meningkatkan tingkat gairah pasien.
Stimulasi sensoris memang memainkan peran penting dalam membantu tim
rehabilitasi dalam penilaian tingkat gairah pasien dan kemampuan untuk
merasakan dan menghadiri rangsangan ro di lingkungan (Bontke et al., 1992).
Stimulus pendengaran, penciuman, taktil, kinestetik, dan oral dapat diberikan
untuk tujuan penilaian dan intervensi.
Berfungsi Kognitif
Skala Fungsi Kognitif Rancho Los Amigos adalah alat yang digunakan untuk
mengukur dan menggambarkan tingkat fungsi kognitif pasien. Tabel 11-2
menyoroti respons pasien utama di setiap kategori. Tingkatan dimulai dengan
pasien pada taraf 1. Pasien pada taraf ini tidak menanggapi rangsangan jenis apa
pun, sedangkan individu pada taraf X waspada, biasanya, dan dapat berfungsi
secara independen dalam masyarakat. Meskipun skala ini tampaknya menjadi cara
mudah untuk mengklasifikasikan pasien dan pemulihan mereka, beberapa
individu mungkin menunjukkan perilaku atau respons dari lebih dari satu kucing
ketika mereka beralih antar tahap. Selain itu, tidak setiap pasien akan mengalami
kemajuan melalui setiap tahapan dan beberapa pasien mungkin mengalami
peningkatan pada tingkat tertentu. Terlepas dari tantangan-tantangan ini, skala
tersebut tetap merupakan sarana yang sangat baik untuk mengklasifikasikan
fungsi kognitif seseorang.
Setelah pasien stabil secara medis, pasien kemungkinan besar akan ditransfer ke
pengaturan rehabilitasi rawat inap jika diperlukan intervensi intensif lebih lanjut.
Masalah pasien primer pada tahap ini adalah sebagai berikut: (1) penurunan
rentang gerak dan potensi kontraktur; (2) peningkatan tonus otot dan postur
abnormal; (3) menurunnya kesadaran dan responsif terhadap lingkungan; (4)
keberadaan refleks tonik primitif; (5) penurunan mobilitas fungsional dan
toleransi untuk tegak; (6) penurunan daya tahan; (7) penurunan kesadaran
sensorik; (8) sistem komunikasi yang terganggu atau tidak ada; dan (9) penurunan
pengetahuan tentang kondisinya.
Positioning
Penempatan yang tepat terus menjadi komponen perawatan yang penting selama
rehabilitasi. Sebagaimana dibahas dalam bagian intervensi perawatan akut,
penentuan posisi memerlukan banyak perhatian oleh semua penyedia layanan
kesehatan. Posisi pasien harus diubah setiap dua jam untuk mencegah kerusakan
kulit atau pengembangan pneumonia. Posisi yang tepat tergantung pada postur
istirahat pasien, tonus otot abnormal, dan adanya retlex primitif. Berbaring miring
dan rawan adalah dua posisi yang paling diinginkan. Ketika pasien menjadi stabil
secara medis, duduk di kursi roda dan menyesuaikan diri dengan posisi tegak
menjadi penting. Duduk mengarahkan pasien ke posisi yang berbeda dan
membantu dengan daya tahan dan kebersihan bronkial. Untuk pasien yang
berfungsi pada level rendah dan yang tidak memiliki kontrol kepala dan trunk,
kursi roda tilt-in-space mungkin diperlukan. Kursi roda tilt-in-space berbeda dari
kursi roda reclining dengan membiarkan bagasi bersandar sambil
mempertahankan sudut 90 derajat di pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. Fitur
tilt-in-space bermanfaat karena membantu dalam memposisikan bagasi dan
mempertahankan penyelarasan yang tepat, dan memungkinkan untuk perubahan
dalam lingkungan dan memunculkan input tesis yang diterima pasien.
Kekurangan dari jenis kursi roda dan sistem tempat duduk ini adalah mengubah
bidang visual pasien. Pandangan diarahkan ke atas, sehingga menyulitkan pasien
untuk memvisualisasikan individu dan benda di lingkungannya.
Kursi roda standar mungkin
memuaskan bagi individu dengan
kontrol bagasi dan kepala yang adil.
Nampan pangkuan dengan aman
dipasang di kursi menopang
ekstremitas atas pasien dan
membantu mempertahankan posisi
duduk yang benar. Intervensi 11-3
memberikan contoh pasien yang
diposisikan di kursi roda standar.
Pasien harus dipantau dengan
cermat ketika aktivitas duduk
dimulai. Komplikasi yang
Ini penting bagi pasien yang mengalami
kontraktur parah untuk bisa duduk di dihasilkan dari imobilitas dan posisi
tempat tidur dan berbaring.
telentang yang lama dapat menjadi
Davies PM. Starting Again: Early
jelas, termasuk hipotensi ortostatik
Rehabilitation after Traumatic Brain Injury
or Other Severe Brain Lesion. New York, dan kelelahan. Selain itu, kondisi
Springer-Verlag, 1994,
kulit pasien harus dipantau secara hati-hati untuk menghindari kemungkinan area
bertekanan atau kerusakan kulit. Ketika mencoba memposisikan pasien, terapis
harus mengingat konsep penentuan posisi dasar yang dibahas pada Bab 10. Posisi
dimulai dengan menempatkan area tubuh proksimal pasien termasuk panggul dan
korset bahu. Dari sana, terapis dapat bekerja lebih jauh. Hal ini diperlukan untuk
mengurangi tonus otot secara proksimal untuk mempengaruhi tonus lebih distal.
Posisi yang buruk di kursi roda atau tempat tidur dapat menyebabkan
perkembangan alat kontras dan peningkatan tonus otot yang abnormal.
Setelah pasien dapat mentolerir duduk di kursi roda, kegiatan self-propulsi dapat
dimulai. Pada awalnya, petugas kesehatan atau asisten mungkin perlu membantu
pasien dengan praktik serah terima atau dipandu. Ketika pasien menjadi lebih
mahir, tujuannya adalah agar pasien dapat menggerakkan kursi roda secara
mandiri dan bernegosiasi dengan aman di sekitar fasilitas.
Range of Motion
Latihan rentang gerak juga penting selama tahap awal rehabilitasi untuk
meminimalkan kemungkinan pembentukan kontraktur. Karena sebagian besar
pasien dengan TBI memiliki daftar masalah yang luas, perlu untuk seefisien
mungkin dengan intervensi kami. Peregangan sendi individu bersifat intensif
waktu dan mungkin memiliki manfaat jangka pendek yang terbatas. Sebagai
gantinya, manfaat terapeutik yang lebih besar seringkali dapat dicapai melalui
penggunaan berbagai posisi dan posisi perkembangan untuk meningkatkan
fleksibilitas pasien. Sebagai contoh, memposisikan pasien dalam rawan atau
berlutut tinggi dapat digunakan untuk meregangkan fleksor pinggul, berkaki
empat dan duduk dapat digunakan untuk meregangkan gluteal dan paha depan,
dan berdiri di atas meja miring atau pendekatan yang diarahkan ke bawah melalui
lutut ketika kaki dalam menahan beban dapat membantu meregangkan
gastrocnemius dan soleus. Mungkin perlu untuk menghabiskan waktu perawatan
khusus untuk meregangkan paha belakang dan tali tumit secara lebih agresif.
Setiap kali posisi fungsional atau postur perkembangan akan memenuhi tujuan
yang sama dengan peregangan statis, mereka harus dipekerjakan. Pasien yang
mengalami deformitas atau kontraktur akibat tonus abnormal dan postur mungkin
memerlukan peregangan yang lebih intensif. Intervensi yang lebih efektif untuk
individu-individu ini mungkin berupa belat statis atau casting serial. Gips plaster
diterapkan pada sambungan dengan batasan gerak atau kontraktur dan dibiarkan
selama tujuh hingga sepuluh hari. Dengan demikian, peregangan yang lama
diterapkan pada sendi dan jaringan lunak. Tujuannya adalah untuk mengurangi
kontraktur melalui pengecoran dan peregangan berikutnya. Tiga hingga empat
gips mungkin perlu diterapkan untuk mencapai hasil yang diinginkan (Booth et
aI., 1983). Pada akhirnya, gips fmal harus bivalvia karena dilepas sehingga dapat
menjadi belat per manent untuk pasien. Area yang merespon dengan baik terhadap
serial casting termasuk pergelangan kaki, lutut, siku, dan pergelangan tangan.
Dokter yang bekerja dengan pasien yang telah dilemparkan perlu memantau
respons pasien terhadap gips. Perubahan warna kulit pada jari-jari kaki atau jari-
jari mungkin menandakan bahwa gips terlalu ketat. Gips yang diterapkan terlalu
longgar dapat tergelincir subuh. Bukan hal yang aneh untuk menemukan bahwa
seorang pasien mungkin telah mengerjakan gips sepenuhnya. Penjelasan terperinci
tentang aplikasi gips serial berada di luar cakupan teks ini (Davies, 1994).
Meningkatkan Kesadaran
Meningkatkan kesadaran diri dan lingkungan adalah aspek penting lain dari
rencana perawatan pasien. Meningkatkan kesadaran pasien paling sering dicapai
melalui pemberian berbagai rangsangan sensorik. Alat penilaian yang dapat
diberikan kepada pasien dan yang membantu dalam mengidentifikasi atau
mengelompokkan respons pasien terhadap rangsangan adalah Skala Koma
Rappaport / Near-Coma (CNe). Alat ini dikembangkan untuk mengukur
perubahan kecil dalam kesadaran dan respon pada pasien dengan cedera otak
parah yang berfungsi pada tingkat karakteristik status vegetatif. CNC melihat
respons pasien terhadap rangsangan pendengaran, visual, penciuman, sentuhan,
dan nyeri. Selain itu, upaya pasien dalam vokalisasi, kemampuan untuk
menanggapi ancaman, dan kemampuan untuk mengikuti perintah satu langkah
dinilai. Alat penilaian ini digunakan saat masuk ke fasilitas dan diulang secara
berkala untuk mendokumentasikan kemajuan pasien. Berbagai disiplin ilmu dapat
mengelola ujian. Skor untuk item tes ditentukan, dan tingkat kesadaran atau
respons pasien dikategorikan sebagai tidak ada koma (level 1) hingga koma
ekstrem (level 4). Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan skor CNC
kurang dari 2,0 dan yang terlibat dalam program rehabilitasi intensif kemungkinan
besar akan membaik (Rappaport et al., 1992).
Tugas mobilitas fungsional adalah aspek penting lain dari intervensi. Seringkali,
pasien tergantung pada semua aspek mobilitas. Sejak awal, mungkin perlu bagi
ahli terapi fisik atau asisten ahli terapi fisik untuk bersama-sama merawat pasien
dengan anggota tim rehabilitasi lainnya. Ketika pasien memiliki tingkat fungsi
yang sangat rendah, akan sangat membantu untuk memiliki dua set tangan yang
tersedia. Namun, dalam iklim penahanan biaya saat ini, dokter harus
menggunakan sumber daya secara efisien. Sebagai contoh, mungkin lebih hemat
biaya bagi asisten dan asisten rehabilitasi untuk merawat pasien dibandingkan
dengan terapis fisik dan pekerjaan. Status pasien, tingkat ketajaman, dan
intervensi yang harus diberikan harus dipertimbangkan sebelum jenis keputusan
ini dibuat.
Individuals who have sustained a severe TBI lack postural and motor
control. They are unable to initiate voluntary movement, are dominated by
abnormal muscle tone and retlex activity, and exhibit diHiculty in dissociating
extremity movements from the trunk. In addition, these patients often are unable
to perform automatic postural adjustments (VanSant, 1990a). Consequently, an
early emphasis in the patient's physical therapy plan of care must be on the
development of postural control. Head and trunk control must be developed
before the patient can hope to have control over the distal extremities. The
principles discussed in Chapter 10 regarding the neurodevelopmental treatment
approach are also applicable to this patient population. Therapeutic interventions
performed with the patient in prone or prone over a wedge or bolster may provide
excel lent opportunities to address head and trunk control. These positions require
that the patient work the cervical extensors against gravity and also provide
inhibition to the supine tonic labyrinthine reflex. The prone position facilitates
increased flexor tone in patients with the presence of this reflex. Patients who
have significant extensor tone can also be positioned in prone over a ball.
Although transferring and maintaining the patient's position on the ball is
challenging, the activity has a profound effect on reducing abnormal tone. Once
the patient is on the ball, a gentle rocking can be performed to decrease the effects
of abnormal tone even further. This position is contraindicated in patients with
seizure disorders and increased ICP. Moreover, all patients should be carefully
monitored during prone activities to ensure adequacy of ventilation.
A. Lengan terapis memegang lutut pasien yang tertekuk, lengan yang lain memegang leher
pasien.
B. Kaki pasien dibawa ke sisi tempat tidur.
C. Mengangkat trunk ke arah vertikal.
D. Mencegah jatuh ke depan sambil menopang kepala dan badan pasien.
From Davies PM. Starting Again: Early Rehabilitation after Traumatic Brain Injury or Other
Severe Brain Lesion. New York, Springer-Verlag, 1994.
Vision (penglihatan) adalah modalitas sensorik yang berharga yang dapat
digunakan selama perawatan. Kegiatan yang menggabungkan pelacakan visual
atau mempertahankan kontak visual dengan objek membantu pengembangan
kontrol kepala. Misalnya, jika pasien dalam posisi duduk dan tidak dapat
mempertahankan kepala dalam posisi tegak, pasien dapat didorong untuk
mempertahankan kontak mata dengan terapis atau untuk melihat objek tertentu.
Penglihatan juga dapat digunakan untuk memandu gerakan pasien, seperti dengan
memutar atau memutar tubuh.
Kegiatan Duduk
Duduk adalah posisi penting untuk ditekankan selama perawatan. Duduk dapat
meningkatkan gairah dan juga memberikan tantangan terhadap keselarasan postur
pasien dan respon meluruskan dan keseimbangan (VanSant, 1990b).
Memindahkan pasien dari posisi terlentang ke duduk dapat dilakukan dengan cara
yang sama seperti yang dibahas dalam Bab 10. Intervensi 11-5 menunjukkan
perkembangan menjadi duduk. Pasien dengan tingkat fungsional yang rendah
mungkin memerlukan bantuan dari dua orang, satu yang bertanggung jawab untuk
kepala dan batang atas dan satu yang mentransfer batang dan kaki bagian bawah.
Perubahan tingkat kesadaran dan tonus otot pasien harus dicatat selama perubahan
posisi. Pasien yang menunjukkan nada dan postur ekstensor yang kuat dapat
menjadi tertekuk dan hipotonik setelah mereka tegak.
From Davies PM. Starting Again. Early Rehabilitation after Traumatic Brain
Injury or Other Severe Brain Lesion. New York, Springer-Verlag, 1994.
Transfer
Kegiatan Berdiri
Berdiri adalah posisi lain yang sangat baik yang dapat memberikan peluang untuk
menyelesaikan tugas-tugas fungsional sembari mempromosikan bobot dan input
sensorik. Jika pasien memiliki kemampuan fungsional yang rendah, meja miring
mungkin perlu digunakan pada awalnya untuk memberikan stabilisasi yang
diperlukan untuk mempertahankan postur berdiri. Pasien dapat dipindahkan ke
meja miring atau meja berdiri dan disesuaikan ke posisi tegak. Kegiatan yang
meningkatkan kesadaran dan kognisi dapat dilakukan saat pasien berdiri di atas
meja miring. Pemberian modalitas sensorik yang berbeda melalui penggunaan NC
dapat dengan mudah dilakukan sementara pasien IS di atas meja miring. Postur
tegak juga dapat berfungsi untuk meningkatkan tingkat kewaspadaan pasien.
Penampilan sederhana dari kegiatan sehari-hari seperti mencuci muka atau
menyikat gigi juga dimungkinkan. Seiring perkembangan pasien, aktivitas berdiri
di samping tempat tidur atau tikar dapat dilembagakan dengan bantuan yang tepat.
Pembaca disarankan untuk mengulas Bab 10 untuk teknik tertentu. Kontrol kepala
dan batang yang memadai diperlukan untuk berdiri. Meja samping tempat tidur,
kereta belanja atau meja tikar tinggi-rendah dapat digunakan untuk dukungan
ekstremitas atas. Seiring perkembangan pasien, kegiatan pelatihan melangkah dan
berjalan dapat didorong. Intervensi 11-9 menunjukkan pendirian pasien yang tidak
sadarkan diri. Intervensi 11-10 menunjukkan berbagai contoh membantu pasien
berdiri.
Dari Davies
Lingkungan FisikPM. Starting Again: Early Rehabilitation after Traumatic Brain
Injury or Other Severe Brain Lesion. New York, Springer-Verlag, 1994.
Ketika bekerja dengan populasi pasien ini, asisten harus memantau lingkungan
fisik dengan cermat. Pasien yang menderita TBI sering memiliki respon
berlebihan terhadap rangsangan sensorik di lingkungan. Pencahayaan, tingkat
kebisingan, dan jumlah orang yang hadir harus dinilai. Pikirkan tentang jumlah
aktivitas yang terjadi di gym terapi fisik. Banyak orang hadir, dan ada banyak
stimulasi pendengaran dari orang yang berbicara, musik latar belakang, dan sistem
alamat publik. Seringkali, pasien dengan TBL tidak dapat menyaring rangsangan
asing di lingkungan. Terlalu banyak rangsangan sensorik dapat merangsang
pasien secara berlebihan dan dapat menyebabkan kebingungan atau respon
perilaku yang merugikan (Persel dan Persel, 1995). Pasien mungkin menjadi lebih
gelisah, agresif, atau terganggu dalam jenis lingkungan ini. Selain itu, kinerja fisik
sering terpengaruh ketika stres kognitif meningkat (Wright dan Veroff, 1988).
Banyak fasilitas memiliki area perawatan pribadi yang lebih kecil untuk pasien
ini. Struktur juga penting bagi pasien dengan jadwal harian TBL, tim rehabilitasi
yang konsisten, dan menetapkan beberapa tingkat rutin dalam sesi perawatan akan
membantu pasien menyesuaikan diri dengan cedera dan lingkungan rehabilitasi.
Selain itu, pengulangan dan latihan diperlukan untuk mempelajari informasi dan
tugas baru.
Pasien dengan TBI sering mengalami disorientasi tempat atau waktu. Seringkali,
Anda akan melihat pengasuh menanyai pasien yang mengalami disorientasi
dengan harapan bahwa pada akhirnya pasien akan menjawab dengan jawaban
yang benar. Pendekatan yang lebih baik untuk gangguan ini adalah untuk
memberikan pasien informasi yang benar selama sesi perawatan. Intinya, terapis
mengisi informasi yang hilang untuk pasien. Seperti yang dinyatakan sebelumnya,
penggunaan skrip atau kalender dapat efektif dalam menangani disorientasi. Jika
tingkat orientasi pasien tidak membaik, strategi yang akan memungkinkan pasien
untuk secara independen mengambil informasi dari beberapa jenis sumber seperti
buku memori perlu digunakan. Isi buku memori berbeda-beda. Foto-foto pasien,
anggota keluarga, dan perawat, bersama dengan kalender, jadwal harian, dan
informasi terkait tentang pasien termasuk nama, usia, alamat, dan riwayat medis
dapat dimasukkan dalam buku pasien. Ketika pasien membaik, tanggung jawab
untuk mencatat informasi dalam buku memori dapat dialihkan ke pasien. Ini
memberikan sarana yang sangat baik bagi anggota keluarga untuk melihat apa
yang dilakukan pasien dalam terapi (Fulk dan Geller, 2001).
Gangguan Perhatian
Gangguan perhatian juga sering ditemukan dalam populasi ini. Pasien mungkin
mengalami kesulitan mempertahankan perhatian pada tugas bahkan untuk periode
sesingkat 10 hingga 15 detik. Gangguan ini menjadi tantangan yang signifikan
selama perawatan. Di awal proses pemulihan, terapis perlu menjaga instruksi
verbal tetap sederhana. Mengatasi pasien dengan nama depannya diikuti dengan
arahan verbal singkat bisa efektif dalam mendapatkan perhatian pasien. Terapis
juga mungkin ingin agar sejumlah intervensi yang berbeda direncanakan dan
disiapkan. Perawatan akan dilaksanakan lebih efisien, dan pasien mungkin
berhasil diarahkan ke aktivitas asli di lain waktu, jika terapis memiliki beberapa
kegiatan yang siap. Ketika pasien berkembang, terapis dapat menggunakan
stopwatch atau timer untuk mendorong pasien untuk tetap fokus selama kinerja
aktivitas spesifik. Sebagai contoh, pasien dapat naik sepeda stasioner untuk
jumlah waktu yang telah ditentukan dan terapis dapat mencoba menambah waktu
setiap sesi. Pendekatan ini dapat digunakan sebagai sarana untuk memantau
kemajuan pasien.
Gangguan Memori
Hampir semua pasien yang menderita TBI memiliki beberapa tingkat gangguan
memori setelah cedera mereka. "Kenangan peristiwa sebelum cedera biasanya
disimpan tetapi informasi baru mungkin tidak dapat diambil dengan mudah"
(Brain Injury Association of America, 2004). Seperti yang sudah dibahas,
penggunaan perencana harian atau buku memori dapat diperbaiki. Tersedia buku
jadwal, jam tangan, dan sistem paging elektronik yang tersedia. Perangkat ini
membunyikan alarm untuk mengingatkan pasien tentang waktu dan kejadian
penting (NIH, 1998). Jika pasien memiliki masalah atau gangguan memori
residual, ia harus diinstruksikan dalam penggunaan strategi kompensasi untuk
membantu berfungsi di masyarakat.
Defisit pemecahan masalah juga bisa terlihat. Pasien dapat menunjukkan kesulitan
mengatur dan mengurutkan informasi untuk memecahkan masalah sehari-hari.
Mereka mungkin memiliki penilaian yang buruk atau kesulitan dengan pemikiran
abstrak. Akibatnya, mungkin tidak tepat untuk memanfaatkan humor selama sesi
perawatan karena humor adalah konsep abstrak dan hanya dapat membingungkan
pasien (Brain Injury Association of America, 2004). Meminta pasien untuk
berpura-pura menyelesaikan suatu kegiatan juga tidak disarankan. Terapis sering
merancang kegiatan bagi pasien untuk berlatih tanpa alat yang diperlukan atau
pengaturan lingkungan. Manfaat terapeutik yang jauh lebih besar dapat dicapai
dengan menciptakan aktivitas yang lebih realistis. Misalnya, jika pasien suka
berkebun, pemanfaatan pot, pot tanah, dan alat berkebun adalah cara terbaik untuk
membuat pasien merencanakan dan melaksanakan tugas. Masalah keamanan juga
menjadi perhatian utama. Pasien mungkin tidak mengenali gangguan mereka
sendiri atau memahami pentingnya kompor panas atau orang asing di pintu depan.
Penciptaan situasi yang membutuhkan perhatian pada keamanan dalam batas-
batas unit rehabilitasi dapat membantu pasien dalam transisi ke rumah. Selain itu,
jenis-jenis kegiatan pemecahan masalah ini membantu mengidentifikasi apakah
pengawasan konstan akan diperlukan pada saat dipulangkan.
Gangguan Perilaku
Pasien yang menderita TBI juga dapat menunjukkan masalah perilaku. Beberapa
gangguan perilaku yang lebih umum termasuk agitasi dan lekas marah, kontrol
penurunan respons emosional, penolakan defisit, impulsif, dan kurangnya
penghambatan (Krus, 1988). Mempertimbangkan penyebab fisiologis dari
masalah-masalah perilaku ini memungkinkan terapis untuk merawat pasien-pasien
ini secara lebih efektif. Agitasi dan lekas marah dapat disebabkan atau ditinggikan
oleh tingkat disorientasi pasien, kelelahan pasien, atau karena tuntutan kegiatan
terlalu besar untuk pasien. Jika Anda dapat membayangkan sejenak bagaimana
rasanya memiliki sedikit atau tidak ada ingatan, tidak mengenali keluarga dan
teman-teman, dan mungkin memiliki beberapa keterbatasan fisik yang signifikan,
Anda mungkin lebih dapat melihat mengapa seseorang dengan TEI mungkin
gelisah. dan mudah tersinggung. Mengikuti jadwal yang konsisten, memiliki
struktur di lingkungan, dan menjaga kesibukan pasien dapat membantu mengelola
disorientasi pasien. Penggunaan televisi yang terbatas juga direkomendasikan.
Pasien dapat dengan mudah menjadi bingung oleh peristiwa yang mereka lihat
dalam konteks program televisi dan mungkin mengalami kesulitan dalam
membedakan program televisi dari kenyataan.
Perilaku Agresif
Area perhatian bagi beberapa terapis dan asisten yang bekerja dengan populasi
pasien ini adalah perilaku agresif dan agresif yang kadang-kadang dapat
ditunjukkan. Karena kemungkinan ini, banyak fasilitas rehabilitasi mengharuskan
anggota staf untuk menghadiri program bersertifikat dalam intervensi krisis. Skala
Fungsi Kognitif Rancho Los Amigos membahas kemungkinan respons pasien
pada tingkat agitasi yang bingung. Meskipun perilaku agresif dan agresif dapat
terjadi, ini bukan norma. Tujuannya adalah untuk membantu pasien dalam
pengembangan perilaku pengendalian diri. Membantu pasien dalam
kemampuannya untuk menghadapi situasi yang menimbulkan stres dan
menghasilkan kecemasan adalah langkah pertama dalam mengelola perilaku.
Awalnya, jika seorang pasien menjadi cemas dan terlalu bersemangat, itu
ide yang baik untuk menjadi suportif dan upaya untuk menghilangkan stimulus.
Jika pasien menjadi frustrasi selama kinerja kegiatan, menilai tuntutan kegiatan
dan jika mereka terlalu besar, kurangi. Kadang-kadang tidak mungkin bagi terapis
fisik atau asisten terapis fisik untuk mengidentifikasi peristiwa pemicu atau
sumber iritasi pada pasien. Ketika pasien menjadi cemas atau tertekan, terapis
dapat melihat perubahan dalam nada suara pasien atau perubahan fisik lainnya
termasuk mondar-mandir, mengetuk kaki, atau meremas-remas tangan. Jika
perubahan tersebut terjadi, disarankan untuk mengeluarkan pasien dari area
tersebut, melanjutkan dukungan emosionalnya, dan mengarahkan pasien ke tugas
lain. Mengizinkan outlet untuk meningkatkan energi pasien dapat membantu
menenangkan pasien. Reorientasi juga dapat membuktikan manfaat karena
disorientasi sering menjadi faktor yang mendasari gangguan perilaku yang parah.
(Campbell, 2000; Persel dan Persel, 1995).
Jika intervensi ini tidak membantu pasien rileks, situasi ini dapat
meningkat menjadi krisis penuh. Selama krisis, seorang pasien dapat kehilangan
kendali atas respons verbal dan fisik dan mungkin menunjukkan perilaku yang
merusak dan menyerang. Pasien bisa berbahaya bagi dirinya sendiri atau orang
lain. Seringkali, ketika situasi ini terjadi, penyedia layanan kesehatan menjadi
sangat cemas juga. Jika asisten terapi fisik dan asisten terapi fisik tidak tetap
tenang, mereka juga dapat meningkat ke keadaan simpatik. Jika Anda terlibat
dalam insiden semacam itu dan melihat diri Anda menjadi sangat tertekan,
singkirkan diri Anda dari situasi tersebut. Setelah pasien berada dalam krisis,
peran Anda seharusnya adalah melindungi pasien agar tidak membahayakan
dirinya sendiri atau orang lain. Episode perlu menjalankan programnya. Jika
mungkin, batasi audiens. Ketika pasien pulih dari kejadian itu, dokter lagi perlu
memberikan dukungan emosional. Dianjurkan untuk membangun kembali
hubungan terapeutik dengan pasien. Pasien akhirnya akan kembali ke keadaan
perilaku dasarnya. Setelah pasien bergerak melalui semua tahap krisis, pasien dan
penyedia layanan kesehatan yang melakukan intervensi akan mengalami drainase
atau depresi pascakrisis. Ini bisa berlangsung selama beberapa jam setelah episode
awal dan memanifestasikan dirinya sebagai kelelahan dan penarikan. Yang terbaik
adalah membiarkan pasien beristirahat setelah pengalaman ini. Setelah pasien
kembali ke keadaan istirahat, dokter akan ingin berefleksi dengan pasien tentang
kejadian dan apa yang terjadi. Mempertanyakan pasien tentang peristiwa, objek,
atau individu yang memicu episode ini sangat berharga. Meyakinkan pasien
bahwa terapis ada untuk menawarkan dukungan dan perawatan bagi pasien juga
penting. Jika tim rehabilitasi dapat mengidentifikasi objek atau pemicu stres,
metode untuk meminimalkan respons pasien dapat dikembangkan (Persel dan
Persel, 1995).
1. Menjaga keseimbangan
9. Berlatih lebih banyak latihan sulit, termasuk bergerak dari duduk ke terlentang
dan dari duduk ke rawan
Guling digunakan untuk penentuan posisi statis atau untuk memberikan
permukaan bergerak kepada pasien. Pasien dapat mengangkang guling dan dapat
berlatih mengubah berat badan dan berdiri. Papan miring dapat digunakan untuk
mempraktikkan pemindahan bobot dan respons keseimbangan. Pasien dapat
duduk atau berdiri di papan tilt, tergantung pada kemampuan motorik mereka.
Kegiatan lain yang menantang keseimbangan statis dan dinamis pasien termasuk
berdiri satu kaki, tumit berjalan kaki, berjalan di atas balok keseimbangan,
berputar, tiba-tiba berhenti dan mulai, mengepang (berjalan menyamping,
menyilangkan satu kaki di atas yang lain), berjalan dan sekitar rintangan,
membawa benda selama ambulasi, melompat, dan melompat-lompat.
Rencana perawatan pasien harus terdiri dari kegiatan yang mencakup tantangan
fisik dan kognitif. Melempar dan menangkap, bermanuver melalui rintangan, dan
mengikuti peta memungkinkan kinerja motorik dan tugas kognitif tingkat tinggi.
Kegiatan keseimbangan yang disebutkan sebelumnya juga dapat dilakukan, dan
komponen kognitif tambahan seperti menghitung pengulangan dapat dimasukkan.
Mengurangi jumlah struktur atau isyarat yang disediakan atau meningkatkan
kompleksitas tugas adalah beberapa cara di mana asisten dapat menantang
kemampuan kognitif pasien. Beberapa fasilitas memiliki akses ke lingkungan kota
yang disimulasikan (Easy Street). Toko kelontong, bank, gerai makanan cepat
saji, dan penghalang lingkungan yang akan ditemui di masyarakat diwakili dan
tersedia untuk praktik pasien. Acara komunitas adalah cara terapeutik lain untuk
mengerjakan tugas fisik dan kognitif. Banyak fasilitas mengatur jalan-jalan untuk
pasien pada berbagai tahap dalam rehabilitasi mereka. Perjalanan ke restoran,
kebun binatang, atau arena bowling adalah contoh umum dari perjalanan
komunitas. Pada perjalanan ini, pasien diizinkan untuk mempraktikkan
keterampilan yang telah mereka kerjakan dalam terapi. Manfaat dari tamasya ini
adalah bahwa terapis ada untuk membantu pasien dan dapat menilai daerah di
mana pasien mungkin mengalami kesulitan setelah mereka dipulangkan ke rumah.
PERENCANAAN DISCHARGE
RINGKASAN BAB
Bekerja dengan pasien dengan TBI bisa sangat menantang dan bermanfaat. Pasien
yang mengalami cedera otak traumatis dapat hadir dalam banyak cara yang
bervariasi dari koma dan tidak ada gerakan sukarela untuk fungsi motorik tinggi
dengan defisit kognitif yang signifikan. Bagi banyak ahli terapi fisik dan asisten
ahli terapi fisik, komponen kognitif dari perawatan adalah yang paling sulit.
Untuk memberi pasien perawatan berkualitas setinggi mungkin, dokter harus
mampu mengatasi masalah motorik dan kognitif bersama. Intervensi kreatif yang
mengintegrasikan tugas-tugas fisik dan kognitif akan memberi pasien kami
perawatan yang mereka butuhkan untuk meningkatkan kemampuan fungsional
mereka dan, mudah-mudahan, melanjutkan gaya hidup mereka sebelumnya.
Spinal Cord Injuries
PENDAHULUAN
Diperkirakan 11.000 kasus baru Spinal Cord Injuries (SCI) terjadi setiap
tahun. Di Amerika Serikat, saat ini lebih dari 243.000 orang hidup dengan SCI.
SCI paling umum terjadi pada dewasa muda usia 16 - 30 tahun. Namun, orang
dewasa yang berusia > 61 tahun mencapai sekitar 10% dari populasi penderita
SCI. Sekitar 81% dari individu dengan SCI adalah laki-laki. Etiologi SCI telah
berubah selama bertahun-tahun. Sebelumnya, cedera yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor dan kegiatan olahraga diidentifikasi sebagai
penyebab yang paling mungkin. Statistik terbaru menunjukkan bahwa kecelakaan
kendaraan bermotor (40, 9%), diikuti oleh jatuh (22, 4%), tindakan kekerasan (21,
6%), dan cedera terkait olahraga (7, 5%), yang saat ini menjadi penyebab paling
umum SCI di Amerika.
Harapan hidup untuk individu dengan SCI terus meningkat tetapi masih
sedikit lebih rendah dari normal. Individu dengan SCI dapat mengalami kecacatan
seumur hidup dan komplikasi medis yang mengancam jiwa. Penyebab potensial
kematian yang secara signifikan mempengaruhi harapan hidup termasuk
pneumonia, pulmonary emboli, dan septicemia. Biaya perawatan medis untuk
orang-orang ini adalah miliaran dolar. Biaya pengobatan seumur hidup untuk
individu dengan high cervical injuries adalah sekitar $2, 4 juta dan perkiraannya
$800.000 untuk individu dengan paraplegia. Angka-angka ini dapat melebihi
manfaat asuransi maksimum $1 juta yang diizinkan oleh banyak polis asuransi.
Selain biaya langsung perawatan medis, ada biaya tidak langsung yang terkait
dengan hilangnya upah, tunjangan karyawan, dan produktivitas, biaya yang
didapat rata-rata $52.915 per tahun.
ETIOLOGI
Untuk memahami etiologi SCI, perlu untuk meninjau anatomi daerah
tersebut. Ada 31 pasang saraf tulang belakang dalam sistem saraf tepi. 7 pasang
saraf tulang belakang pertama berasal dari daerah cervical, keluar di atas 7
vertebra cervical pertama. C8 saraf tulang belakang keluar antara C7 dan T1
karena tidak ada vertebra cervical kedelapan. Akar saraf tulang belakang yang
tersisa keluar di bawah tulang vertebra yang sesuai, ini berlaku hingga L1. Pada
titik ini, spinal cord menjadi massa akar saraf yang dikenal sebagai cauda equina.
Gambar 12-1 menggambarkan level segmental dan vertebral.
GAMBAR 12-1. Level segmen dan vertebral dibandingkan. Saraf tulang belakang 1 hingga 7
muncul di atas vertebra yang sesuai, dan saraf tulang belakang yang tersisa muncul di bawahnya.
MEKANISME CEDERA
Dampak trauma adalah penyebab umum SCI. Trauma dapat dipicu oleh
kompresi, cedera penetrasi, dan kekuatan hiperekstensi atau hiperfleksi. Cedera
yang terjadi pada spinal cord bisa bersifat sementara atau permanen. Cedera yang
berhubungan dengan vertebra bodies juga dapat menyebabkan kerusakan spinal
cord. Subluksasi vertebra (pemisahan vertebra bodies), fraktur kompresi, dan
dislokasi selanjutnya dapat merusak spinal cord dengan gangguan atau kompresi
tambahan dari spinal cord. Cedera parah pada tulang belakang juga dapat
menyebabkan transeksi spinal cord complete atau incomplete.
Cedera Kompresi
Kekuatan kompresi vertikal juga dapat melukai cervical atau limbar spine.
Kecelakaan menyelam menyebabkan cedera kombinasi dari kekuatan kompresi
dan fleksi. Jatuh dari permukaan yang tinggi juga dapat menyebabkan cedera jenis
ini. Dengan kompresi vertikal, orang melihat fraktur vertebral end plates dan
pergerakan nukleus pulposus ke dalam vertebral bodies. Fragmen tulang dapat
dikeluarkan dan dipindahkan ke luar. Ligamen longitudinal teregang tetapi tetap
utuh (Gbr. 12 - 4, D).
Cedera kompresi yang disebabkan oleh efek osteoporosis, osteoartritis,
atau rheumatoid arthritis juga dapat menghasilkan SCI pada orang dewasa yang
lebih tua. Diskusi tentang proses patologis yang mengarah pada kondisi ini berada
di luar cakupan teks ini.
INTERVENSI MEDIS
Setelah SCI akut, pasien harus diimobilisasi dan dipindahkan ke trauma
center. Kemajuan terbaru dalam manajemen medis akut termasuk pemberian
metilprednisolon atau monosialotetranexxosylyganglioside (GM-1) ganglioside.
Methylprednisolone yang diberikan dalam 8 jam pertama dapat membatasi
luasnya cedera awal dengan mengurangi efek iskemia pasca trauma dan
meningkatkan aliran darah. GM-1 dianggap meningkatkan fungsi bertahan hidup
matter fiber tracts.
Setelah pasien stabil secara medis, perhatian utama dokter adalah
stabilisasi tulang belakang untuk mencegah kerusakan spinal cord atau akar saraf
lebih lanjut. Pembedahan diindikasikan pada situasi berikut:
(1) untuk mengembalikan keselarasan struktur tulang belakang
(2) untuk mendekompresi jaringan saraf
(3) untuk menstabilkan tulang belakang dengan fusi atau instrumentasi
(4) untuk memungkinkan individu mendapat peluang lebih awal untuk mobilisasi
Beberapa prosedur stabilisasi tersedia untuk ahli bedah. Traksi rangka
dapat digunakan untuk sementara pada kondisi medis pasien rapuh. Traksi dapat
mengurangi tumpang tindih fragmen fraktur dan dapat membantu dalam
penyelarasan tulang belakang. Setelah pasien stabil secara medis, dokter dapat
menjadwalkan pasien untuk operasi. Selama operasi, dilakukan fusi fragmen
fraktur. Pencangkokan tulang dari iliac crests, dikombinasikan dengan
penempatan alat fiksasi internal sering digunakan selama prosedur ini. Dalam
beberapa situasi, operasi tidak diindikasikan, dan fiksasi eksternal dengan halo
jacket, hard cervical collar, atau rigid body jacket mungkin adalah semua yang
diperlukan untuk menstabilkan segmen tulang belakang yang ceders. Fusi tulang
biasanya selesai dalam 6 hingga 8 minggu. Gambar 12-5 menunjukkan berbagai
jenis orthosis tulang belakang. Terlepas dari metode stabilisasi yang digunakan,
pemulihan untuk individu dengan SCI akan tergantung pada (1) tingkat perubahan
patologis yang disebabkan oleh trauma, (2) pencegahan trauma lebih lanjut, dan
(3) pencegahan komplikasi medis sekunder.
GAMBAR 12 – 5 A. Halo vest, B. Sternal occipital mandibular immobilization, C. Philadelphia
collar, D. Custom-made body jacket.
PERUBAHAN PATHOLOGI YANG TERJADI BERIKUT CEDERA
Awalnya setelah cedera, terjadi perdarahan di dalam gray matter dari
spinal cord. Nekrosis terjadi setelah perdarahan di dalam gray matter. Edema
berkembang di dalam white matter dan memberikan tekanan pada nerve fiber
tract yang membawa berbagai sensasi kulit ke korteks serebral dan impuls
motorik dari korteks ke tubuh. Para peneliti telah berhipotesis bahwa norepinefrin
dilepaskan dari spinal cord yang mengalami trauma dan pelepasannya
berkontribusi pada nekrosis hemoragik. Beberapa jam setelah cedera, selubung
mielin mulai hancur dan akson mulai menyusut. Sistem kekebalan juga dianggap
berkontribusi terhadap kematian sel tambahan karena monosit dan makrofag
memancarkan zat yang bekerja pada neuron dan oligodendrosit dan menyebabkan
kerusakan inti sel.
Sangat penting untuk memantau tingkat cedera pasien selama 24 hingga
48 jam pertama setelah cedera. Cedera dapat naik satu atau dua tingkat karena
perubahan vaskular. Jika terjadi kehilangan fungsi yang jelas lebih dari dua
segmen spinal cord di atas tingkat awal cedera, itu mungkin berarti spinal cord
rusak di lebih dari satu tempat. Diperlukan pemberitahuan segera pada perawat
dan dokter utama pasien.
Segera setelah SCI, pasien menunjukkan syok tulang belakang. Kondisi ini
dihasilkan dari gangguan jalur sistem saraf otonom. Syok tulang belakang
ditandai oleh periode flacciditas, areflexia, kehilangan fungsi usus dan kandung
kemih, dan defisit otonom termasuk penurunan tekanan darah arteri dan regulasi
suhu yang buruk di bawah level cedera. Syok tulang belakang biasanya
berlangsung sekitar 24 hingga 48 jam. Namun, sumber-sumber tertentu
menyatakan bahwa itu bisa bertahan hingga beberapa minggu. Karena aktivitas
refleks yang ditekan, seseorang tidak dapat secara akurat menilai tingkat cedera
pasien selama syok tulang belakang. Ketika syok tulang belakang membaik,
aktivitas refleks di bawah tingkat lesi akan kembali, dan jika saluran motorik dan
sensorik telah diselamatkan, fungsi di area ini juga akan terlihat jelas.
Incomplete Injuries
Incomplete injuries digambarkan sebagai gelombang di mana ada partial
preservation fungsi motorik atau sensorik di bawah tingkat neurologis dan di
segmen sakral terendah. Sensasi perianal harus ada agar cedera diklasifikasikan
sebagai incomplete. Peneliti memperkirakan bahwa lebih dari 50% dari semua
SCI merupakan incomplete.
Gambaran klinis incomplete injuries sangat bervariasi dan tidak dapat
diprediksi. Area medula spinalis yang rusak dan jumlah traktus medula spinalis
yang tetap utuh menunjukkan jumlah fungsi motorik dan sensorik yang
dipertahankan. Beberapa temuan klinis membantu memastikan diagnosis
incomplete injuries. Sacral sparing adalah salah satunya. Karena traktus sakralis
berjalan paling medial di medula spinalis, mereka sering terselamatkan. Pasien
dengan sacral sparing memiliki sensasi perianal. Mereka dapat memfleksikan
jempol kaki dan memiliki kontrol volunter atas otot sfingter dubur. Fungsi
motorik dan sensorik yang terhindar ini dapat memiliki fungsional yang sangat
penting bagi pasien karena mereka memberikan kandung kemih dan fungsi
seksual yang normal.
Temuan klinis lain yang diamati pada pasien dengan incomplete injuries
adalah tonus abnormal atau spastisitas otot. Pasien dengan incomplete injuries
memiliki kecenderungan untuk menunjukkan tonus yang lebih abnormal daripada
pasien dengan complete injuries. Penurunan penghambatan dari descending
supraspinal pathways mungkin menjadi alasan untuk temuan ini.
Brown-Sequard Syndrome
Brown-Sequard Syndrome dihasilkan dari cedera yang melibatkan
setengah dari spinal cord (Gbr. 12-6, A). Penetrating injuries seperti luka tembak
atau tikaman adalah penyebab umum. Pasien kehilangan fungsi motorik,
proprioception, dan vibrasi pada sisi yang sama dengan cedera karena serat-serat
dalam traktus kortikospinalis dan dorsal column tidak bersilangan pada tingkat
medula spinalis. Tidak ada sensasi nyeri dan suhu pada sisi yang berlawanan dari
cedera dan beberapa segmen lebih rendah. Alasan hilangnya nyeri dan sensasi
suhu dalam distribusi ini adalah bahwa lateral spinothalamic tract naik beberapa
segmen tulang belakang pada sisi yang sama dari spinal cord sebelum melintasi ke
sisi kontralateral. Sensasi sentuhan ringan mungkin dipertahankan atau tidak
dipertahankan pada pasien ini. Prognosis untuk pemulihan dengan jenis cedera ini
baik. Banyak individu menjadi mandiri dalam aktivitas kehidupan sehari-hari
(ADL) dan merupakan kontinen usus dan kandung kemih.
Root Escape
Kerusakan pada akar saraf dalam foramen vertebral dapat menyebabkan
cedera saraf perifer. Root escape adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan preservation atau pengembalian fungsi motorik atau sensorik
pada berbagai akar saraf di atau dekat lokasi cedera. Oleh karena itu, seorang
pasien dapat mengalami beberapa fungsi yang meningkat atau kembalinya fungsi
pada otot-otot yang dipersarafi oleh saraf perifer beberapa bulan setelah cedera
awal. Namun, peningkatan motorik atau sensorik ini seharusnya tidak
disalahartikan sebagai pengembalian fungsi spinal cord.
KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dapat terjadi setelah SCI. Pencegahan yang hati-hati
terhadap kemungkinan komplikasi dapat meningkatkan potensi rehabilitasi dan
kualitas hidup pasien.
Pressure Ulcers
Salah satu komplikasi paling umum yang terlihat setelah SCI adalah
perkembangan pressure ulcers. Area tekanan berkembang lebih menonjol dari
tulang dalam menanggapi ketidakmampuan pasien untuk memahami kebutuhan
untuk mengubah berat badan atau mengurangi tekanan. Perawatan luka terbuka
yang timbul sebagai akibat dari tekanan berlebihan adalah alasan utama rawat
inap pasien ini. Bagi para profesional perawatan kesehatan, pencegahan pressure
ulcers adalah yang paling penting. Pasien harus diinstruksikan dalam teknik
pengurangan tekanan, atau anggota keluarga dan pengasuh harus diajari cara
membantu pasien dengan weight shifting activities. Pasien harus diinstruksikan
untuk melakukan pengurangan tekanan selama 1 menit untuk setiap 15 hingga 30
menit duduk. Pasien yang mampu harus melakukan pemeriksaan kulit secara
independen dengan menggunakan cermin genggam. Pasien yang memerlukan
bantuan fisik dengan inspeksi kulit harus disarankan untuk mengajar orang lain
dalam pelaksanaan kegiatan ini. Lapisan pelindung juga dapat diterapkan selama
kinerja aktivitas fungsional untuk mengurangi penekanan.
Autonomic Dysreflexia
Autonomic Dysreflexia terjadi pada pasien dengan cedera di atas T6.
Refleks otonom patologis ini disebabkan oleh ketidakstabilan sistem saraf
simpatis. Semua aliran simpatis terjadi di bawah level T6. Akibatnya, pada
cervical dan upper thoracic injuries, penurunan input rangsang dan penghambatan
untuk neuron simpatis hilang. Respons otonom dilepaskan sebagai akibat dari
stimulus sensorik berbahaya yang diterapkan di bawah tingkat lesi. Input sensorik
berbahaya ini menyebabkan stimulasi otonom, vasokonstriksi, dan peningkatan
cepat dan masif pada tekanan darah pasien. Biasanya, peningkatan tekanan darah
seseorang akan merangsang reseptor di sinus karotis dan aorta dan akan
menyebabkan penyesuaian resistensi pembuluh darah perifer, sehingga
menurunkan tekanan darah pasien. Karena kondisi pasien, impuls tidak dapat
berjalan di bawah tingkat cedera untuk menurunkan tekanan darah pasien. Dengan
demikian, hipertensi tetap ada kecuali stimulus berbahaya dihilangkan atau pasien
menerima intervensi medis. Kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi yang
mengancam jiwa, termasuk kejang dan perdarahan subaraknoid, jika tidak
ditangani. Penyebab umum autonomic dysreflexia termasuk distensi kandung
kemih atau usus, gangguan kateter pasien, stimulasi kulit berbahaya, luka tekanan,
kerusakan ginjal, perubahan suhu lingkungan, dan peregangan pasif diterapkan
pada hip pasien.
Gejala autonomic dysreflexia termasuk hipertensi yang signifikan, sakit
kepala yang parah dan berdebar-debar, vasokonstriksi di bawah tingkat lesi,
vasodilatasi (flushing) di atas tingkat cedera, keringat yang banyak, pupil yang
menyempit, goosebumps (piloerection), penglihatan kabur, dan hidung meler.
Pengenalan segera terhadap tanda-tanda atau gejala ini sangat penting. Pasien
yang tidak segera diobati mungkin mengalami pendarahan retina, kejang, gagal
ginjal, atau pendarahan otak, atau mereka bisa mati. Pasien yang mengalami
autonomic dysreflexia harus diperlakukan sebagai individu dalam situasi krisis.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari kemungkinan sumber stimulasi
berbahaya. Seringkali, kateter pasien berkerut atau kantong kateter mungkin perlu
dikosongkan. Jika sumber masalah tidak dapat diidentifikasi segera, seseorang
harus mencoba menurunkan tekanan darah pasien dengan duduk atau berdiri.
Penerapan tambalan nitrogliserin, vasodilator yang kuat, atau pemberian
nifedipine dapat membantu menurunkan tekanan darah pasien. Perawat dan dokter
utama pasien harus diberitahu secepat mungkin. Pencegahan episode berulang dan
pemberian edukasi pada pasien dan keluarga adalah penting. Obat atau intervensi
bedah mungkin diperlukan untuk membantu pasien dalam pengaturan kondisi ini.
Postural Hypotension
Komplikasi lain yang mungkin adalah hipotensi postural. Pasien yang
mengalami SCI sering mengalami tekanan darah rendah. Kurangnya pompa otot
rangka yang efisien, dikombinasikan dengan tidak adanya vasoresponse di
ekstremitas bawah, menyebabkan pengumpulan vena. Akibatnya, jumlah darah
yang bersirkulasi dalam tubuh berkurang, sehingga memicu penurunan stroke
volume dan curah jantung. Hipotensi postural dapat terjadi ketika pasien
dipindahkan untuk duduk, ketika mereka ditempatkan dalam posisi berdiri tegak,
atau selama berolahraga. Dengan demikian, pemantauan respons tekanan darah
yang cermat harus dilakukan selama perawatan. Tekanan darah pasien tidak boleh
turun di bawah 70/40 mmHg karena ini dapat menyebabkan henti jantung.
Penerapan abdominal binder (pengikat perut) sebelum memulai aktivitas tegak
mempromosikan aliran balik vena dengan meminimalkan penurunan tekanan intra
abdominal yang dapat terjadi ketika posisi pasien diubah. Selain itu, stoking
elastis dapat dikenakan oleh pasien untuk mencegah pengumpulan vena di
ekstremitas bawah. Obat-obatan untuk meningkatkan tekanan darah pasien dan
meningkatkan asupan cairan di hipovolemia mungkin diresepkan untuk mengelola
kondisi ini.
Nyeri
Nyeri dapat berkembang sebagai akibat iritasi dan kerusakan pada elemen
saraf seperti jalur sensorik atau sebagai konsekuensi dari trauma mekanik,
intervensi bedah, atau penanganan dan pemosisian yang buruk. Sindrom nyeri
umum yang terlihat pada pasien SCI adalah dysesthetic pain, juga dikenal sebagai
phantom pain atau deafferentation pain. Kondisi ini dimanifestasikan oleh
keluhan mati rasa, kesemutan, terbakar, menembak, dan sakit yang menyakitkan
dan ketidaknyamanan visceral di bawah tingkat cedera. Rasa sakit dapat
diperparah oleh rangsangan berbahaya, termasuk infeksi saluran kemih,
spastisitas, impaksi usus, dan merokok. Pengobatan dysesthetic pain sangat
menantang bagi praktisi perawatan kesehatan. Intervensi medis meliputi edukasi
pasien tentang sifat nyeri dan manajemen farmakologis. Dokter dapat meresepkan
asetaminofen atau obat antiinflamasi nonsteroid lainnya, termasuk ibuprofen
(Motrin), naproxen (Naprosyn), dan indometasin (Indocin), obat antiepilepsi
seperti gabapentin (Neurontin) dan carbamazepine (Tegretol), antidepresan
trisiklik, dan antikonvulsan. Teknik manajemen nyeri psikologis dan stimulasi
saraf listrik transkutan juga dapat membantu dalam manajemen nyeri. Dalam
beberapa situasi, intervensi bedah saraf diperlukan.
Seiring waktu pasien dengan SCI dapat mengembangkan nyeri
muskuloskeletal dan sindrom nyeri yang berlebihan, terutama di daerah bahu,
karena gerakan ekstremitas atas berulang diperlukan untuk menyelesaikan tugas
fungsional.
Kontraktur
Pasien-pasien cenderung mengalamin flexion contractures sebagai hasil
dari aktivitas refleks fleksor yang berkembang setelah cedera dan juga sebagai
konsekuensi dari duduk yang lama. Ketidakseimbangan otot di sekitar sendi juga
dapat berpengaruh dalam pembentukan kontraktur. Pencegahan kontraktur
penting untuk menjaga fungsi maksimal. Pasien harus diinstruksikan dalam
program peregangan yang baik yang dapat mereka lakukan secara mandiri atau
dengan bantuan anggota keluarga atau pengasuh. Selain itu, semua pasien harus
didorong untuk melakukan program posisi tengkurap secara teratur. Pasien harus
menghabiskan setidaknya 20 menit setiap hari di perut mereka untuk
meregangkan hip fleksor. Posisi tengkurap juga mengurangi tekanan pada
tuberositas ischia dan dapat memberikan aerasi ke bokong.
Heterotopic Ossification
Pengerasan heterotopik adalah komplikasi sekunder potensial lainnya.
Tulang dapat terbentuk di jaringan lunak di bawah tingkat cedera. Biasanya,
tulang heterotopik berkembang berdekatan dengan sendi besar ekstremitas bawah
seperti hip atau knee. Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa penyebab
potensial seperti hipoksia jaringan, metabolisme kalsium abnormal, dan trauma
lokal. Tanda-tanda klinis osifikasi heterotopik meliputi keterbatasan gerak,
pembengkakan, kehangatan, dan nyeri, demam mungkin ada atau mungkin tidak.
Penatalaksanaan kondisi ini memerlukan intervensi farmakologis dengan
etidronate (Didronel), latihan ROM untuk mempertahankan rentang yang tersedia,
dan reseksi bedah jika pasien memiliki keterbatasan yang signifikan. Sekitar 20 %
pasien dengan osifikasi heterotopik mengalami ankilosis sendi.
Gangguan Pernafasan
Komplikasi serius dan kadang-kadang mengancam hidup dapat
berkembang sebagai akibat dari penurunan kemampuan pernapasan pasien.
Komplikasi ini berkembang sebagai respons terhadap penurunan persarafan otot-
otot respirasi dan imobilitas. Diafragma, dipersarafi oleh akar saraf cervical C3
hingga C5, adalah otot utama inspirasi. Oleh karena itu, pasien dengan cedera
cervical yang tinggi dapat kehilangan kemampuan untuk bernapas sendiri karena
kelumpuhan atau kelemahan otot diafragma. Otot interkostal eksternal membantu
inspirasi dan dipersarafi secara segmental mulai dari T1. Mereka bertindak untuk
mengangkat tulang rusuk dan meningkatkan dimensi rongga dada. Pasien dengan
paraplegia di bawah T12 memiliki persarafan interkostal eksternal dan harus dapat
menunjukkan pola pernapasan normal menggunakan dada dan diafragma secara
merata. Ini sering digambarkan sebagai two-chest two-diaphragm breathing
pattern. Perut adalah kelompok otot penting lainnya yang diperlukan untuk
respirasi. Otot-otot perut bagian atas dipersarafi oleh T7 hingga T9, dan perut
bagian bawah dipersarafi oleh segmen tulang belakang T9 sampai T11. Perut
diaktifkan ketika pasien mencoba ekspirasi yang kuat seperti pada batuk. Pasien
yang tidak dapat menghasilkan kekuatan otot dalam jumlah yang cukup akan
rentan terhadap akumulasi sekresi bronkial. Hal ini dapat menyebabkan
pneumonia pada banyak individu. Kelemahan pada otot-otot respirasi juga dapat
menyebabkan upaya inspirasi menurun dan penurunan kemampuan pasien untuk
mentolerir latihan, suatu faktor yang akhirnya mempengaruhi daya tahan untuk
kegiatan fungsional.
Berbagai intervensi digunakan untuk meminimalkan efek gangguan fungsi
pernapasan. Ini termasuk aklimatisasi awal untuk posisi tegak, korset dan pengikat
perut untuk membantu memposisikan isi perut, teknik batuk yang dibantu
diajarkan kepada pasien dan perawat, penguatan diafragma, dan teknik spirometri
insentif.
Disfungsi Seksual
Kekhawatiran umum yang diungkapkan oleh pasien setelah SCI adalah
dampak dari cedera pada hubungan seksual. Seperti yang dinyatakan sebelumnya,
fungsi fisik tergantung pada tingkat motorik pasien. Laki-laki dengan cedera
neuron motorik atas berpotensi ereksi refleks jika busur refleks sakral tetap utuh.
Kemampuan ejakulasi terbatas untuk pasien dengan cedera neuron motorik atas
dan bawah. Sebelumnya, pria mengalami masalah signifikan dengan kesuburan.
Wanita dengan SCI terus mengalami menstruasi dan dengan demikian dapat
hamil. Wanita yang hamil dan siap untuk melahirkan sering dirawat di rumah
sakit sebagai tindakan pencegahan, karena mereka mungkin tidak dapat
merasakan kontraksi rahim yang akan menunjukkan bahwa mereka dalam proses
persalinan.
Fisioterapis (PT) dan asisten fisioterapis (PTA) harus merasa nyaman
mendiskusikan informasi ini dengan pasien mereka. Karena waktu yang kita
habiskan bekerja dengan pasien, pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku
seksual dapat diarahkan. Kita harus menjawab pertanyaan dengan jujur dan
akurat. Jika anda merasa tidak nyaman menerjunkan jenis pertanyaan ini, anda
perlu merujuk pasien ke seseorang yang bisa.
Spastisitas
Spastisitas adalah gejala sisa umum SCI. Prevalensi spastisitas lebih tinggi
pada pasien dengan cedera cervical dan incomplete. Penelitian menunjukkan
bahwa peningkatan tonus adalah hasil dari pengaruh residual dari pusat
supraspinal (korteks, nukleus merah, sistem reticular, dan nukleus vestibular) pada
medula spinalis dan modulasi jalur spinal yang tidak efektif. Spastisitas juga lebih
besar pada pasien yang mengalami komplikasi signifikan dan multipel. Para
peneliti telah menunjukkan bahwa rangsangan berbahaya cenderung
memperburuk tonus otot abnormal. Dalam kebanyakan kasus, PTs dan PTA
memfokuskan pengobatan pada cara-cara untuk mengurangi atau meminimalkan
efek dari tonus otot yang abnormal. Namun, dalam beberapa kasus, peningkatan
tonus otot dapat bermanfaat bagi pasien. Spastisitas dapat membantu menjaga
massa otot, mencegah atrofi, dan membantu dalam pemeliharaan sirkulasi.
Spastisitas juga dapat membantu pasien dalam melakukan kegiatan fungsional
termasuk transfer, mobilitas dasar tempat tidur, dan berdiri ketika pasien memiliki
persarafan yang memadai dan kontrol trunk yang cukup. Selain itu, spastisitas
dapat memberikan peningkatan tonus pada sfingter anal, tonus dapat membantu
pasien dalam program usus.
Manajemen spastisitas dapat menjadi tantangan. Pada saat ini, tidak ada
perawatan medis yang sepenuhnya menghilangkan efek tonus abnormal yang
tersedia. Dokter dapat merekomendasikan banyak intervensi untuk membantu
pasien. Penghapusan rangsangan atau faktor-faktor yang berkontribusi pada
peningkatan masukan sensorik adalah bermanfaat. Intervensi terapi fisik dapat
mencakup penentuan positioning, static stretching, weight bearing, cryotherapy,
aquatics, dan functional electrical stimulation. Intervensi farmakologis mungkin
diperlukan untuk beberapa pasien dengan tonus abnormal yang signifikan. Obat
oral yang paling umum diresepkan termasuk baclofen (Lioresal), diazepam
(Valium), clonidine (Catapres), dan dantrolene sodium (Dantrium). Semua obat-
obatan ini telah mendokumentasikan efek samping, termasuk sedasi, penurunan
perhatian dan memori, hipotensi, dan berkurangnya kekuatan dan koordinasi otot.
Pasien sering mencoba obat ini dan kemudian menghentikan penggunaannya
karena efek samping yang merugikan.
Intrathecal baclofen pumps dan injeksi botulisme adalah bentuk lain dari
perawatan untuk spastisitas. Dengan pompa intratekal, pompa dan kateter kecil
ditanamkan secara subkutan ke dinding perut pasien. Baclofen kemudian dikirim
langsung ke ruang subarachnoid dari spinal cord, sehingga mengurangi dosis yang
dibutuhkan dan beberapa efek samping. Baclofen telah ditemukan lebih efektif
dalam mengurangi tonus ekstremitas bawah dibandingkan dengan tonus
ekstremitas atas karena penempatan kateter. Botulinum toxin A disuntikkan
langsung ke otot spastik. Neurotoksin ini menghambat pelepasan asetilkolin di
persimpangan neuromuskuler, sehingga menyebabkan kelumpuhan otot
sementara.
Intervensi bedah adalah jenis manajemen akhir tonus abnormal.
Neurektomi, rhizotomi, mielotomi, tenotomi, dan blok saraf dan motorik dapat
diberikan untuk membantu pasien dengan manajemen tonus abnormal.
Neurektomi adalah eksisi bedah pada segmen saraf. Rhizotomi adalah prosedur
pembedahan di mana akar dorsal atau sensorik saraf tulang belakang direseksi.
Pada mielotomi, traktat dalam medula spinalis terputus. Tenotomi adalah
pelepasan tendon melalui pembedahan. Blok saraf dilakukan dengan fenol yang
dapat disuntikkan dan mengurangi spastisitas untuk sementara waktu (3 hingga 6
bulan).
HASIL FUNGSIONAL
Hasil fungsional pasien setelah SCI tergantung pada banyak faktor. Umur,
jenis cedera, tingkat cedera, fungsi motorik dan sensorik yang dipertahankan,
status kesehatan umum pasien sebelum cedera, pembentukan tubuh, sistem
pendukung, keamanan finansial, motivasi, dan sifat-sifat kepribadian yang sudah
ada sebelumnya semua memainkan peran dalam hasil akhir pasien.
Potensi Fungsional
Setiap level motorik berturut-turut memberi pasien potensi untuk fungsi
yang lebih besar. Kekuatan otot setidaknya harus ada untuk melakukan aktivitas
fungsional. Tabel 12-5 memberikan ulasan potensi fungsional berdasarkan
inervasi motorik pasien dan keterbatasan yang dihadapi karena penurunan
kekuatan otot atau rentang gerak. Penjelasan tentang setiap level dan potensi
pasien untuk pencapaian aktivitas fungsional disediakan.
Tabel 12-5 Potensi Fungsional untuk Pasien dengan Cedera Tulang Belakang
Level Muscles Present Potential Limitations
Di atas C4 C1 – C2: Facial Kapasitas vital 20% - 30% dari Bergantung pada
muscles normal ventilator
C3: Kekuatan bersandar pada kursi Bergantung pada
Sternocleidomastoid, roda dengan kontrol napas atau semua ADL
Upper Trapezius kontrol dagu dan ventilator Bergantung pada
portabel bantuan tekanan
Diperlukan petugas full time Bergantung pada
Kemampuan untuk transfer
mengarahkan perawatan secara
verbal
Gunakan unit kontrol
lingkungan dengan bantuan
C4 Diafragma Kapasitas vital 30% - 50% dari Tidak ada
Upper Trapezius normal persarafan
Kursi roda listrik dengan mouth ekstremitas atas
stick atau kontrol dagu 30° dari Bergantung pada
gerakan cervical diperlukan transfer
untuk menggerakkan kursi roda Bergantung pada
dengan kontrol dagu semua ADL
Bantuan maksimal untuk bed
mobility
Penghilang tekanan dengan
independen
Kursi roda listrik bersandar
Diperlukan petugas full time
Kemampuan untuk
mengarahkan perawatan secara
verbal
Penggunaan unit kontrol
lingkungan
C5 Deltoid Kapasitas vital 40% - 60% dari Hanya memiliki
Biceps normal fleksor elbow,
Rhomboids Kekuatan kursi roda dengan rentan terhadap
Lateral Rotators kontrol tangan kontraktur fleksi
(Teres Minor & Kursi roda manual dengan rim elbow
Infraspinatus) projections Harus
Bantuan sedang untuk bed mempertimbangk
mobility an persyaratan
Bantuan maksimum dengan energi dan waktu
transfer (sliding board or sit untuk
pivot) penyelesaian
independen untuk
menghilangkan tekanan dengan
loop yang melekat pada bagian
belakang kursi roda
Kemungkinan mandiri dengan
beberapa aktivitas perawatan
diri dengan peralatan adaptif
(wrist splints)
Dibutuhkan petugas untuk
pengaturan kegiatan
Penggunaan unit kontrol
lingkungan
C6 Extensor Carpi Kapasitas vital 60% -80% dari Tidak ada ekstensi
Radialis normal elbow atau fungsi
Pectoralis Mayor Berguling secara independen tangan (pasien
(Clavicular portion) Bantuan melalui rentan
tekanan terhadap
Teres Major perubahan berat badan secara kontraktur)
independen
Sliding board transfers secara
independen
Menggerakkan kursi roda
manual dengan rim projections
secara independen
Makan dengan peralatan adaptif
secara independen
Membalut ekstremitas atas
secara independen,
membutuhkan bantuan untuk
ekstremitas bawah
Kemampuan mengendarai
mobil dengan kontrol tangan
Mungkin untuk liburan di luar
rumah
Mampu memegang dengan
flexor hinge splint
Kemungkinan dibutuhkan
perawatan A.M dan P.M
Bantuan diperlukan untuk
transfer toilet
C7 Triceps Kapasitas vital 80% normal Tidak ada otot
Latissimus dorsi Mungkin untuk hidup mandiri jari
Pronator teres Bantuan tekanan melalui push Transfer ke lantai
up lateral secara independen membutuhkan
Gerak ROM ekstremitas bawah bantuan moderat
secara mandiri atau maksimum
C1 hingga C3
Seorang pasien dengan cedera di atas C4 memiliki persarafan otot terbatas.
Karena diafragma hanya dipersarafi secara minimal oleh C3, sebagian besar
pasien dengan cedera pada level ini kemungkinan membutuhkan ventilasi
mekanik. Namun, beberapa pasien dengan cervical yang tinggi mungkin dapat
mentolerir stimulasi listrik pada saraf frenikus (pacu saraf frenikus). Stimulasi
pada saraf frenikus menyebabkan diafragma berkontraksi, sehingga mengurangi
ketergantungan pasien pada ventilasi mekanis. Pasien dengan cedera di C1 hingga
C3 membutuhkan petugas full time dan akan sepenuhnya tergantung pada semua
ADL. Kursi roda listrik dengan fitur berbaring akan diperlukan untuk mengurangi
tekanan dan istirahat. Pasien harus memiliki dukungan napas yang memadai atau
rentang gerak leher untuk mengoperasikan kursi roda listrik dengan mekanisme
sip-and-puff atau dengan chin cup. Dengan unit sip-and-puff, pasien menghirup
atau meniup ke dalam sedotan yang dipasang di depan wajahnya untuk
memberikan rangsangan bagi kursi roda untuk bergerak. Beberapa pasien
mungkin dapat menggunakan chin cup. Perangkat ini mengharuskan pasien
memiliki setidaknya 30 derajat gerakan cervical aktif. Pasien dengan cedera pada
C1 hingga mayor C3 mungkin tidak memiliki rentang gerak aktif yang memadai
di tulang belakang leher. Kemajuan teknologi telah meningkatkan kemampuan
semua pasien dengan SCI, terutama mereka yang mengalami cedera pada tingkat
yang lebih tinggi. Unit kontrol lingkungan yang dapat dioperasikan dari kursi roda
memungkinkan beberapa pasien meningkatkan kontrol atas rumah dan lingkungan
kerja mereka. Unit kontrol ini dapat dihubungkan dengan komputer pribadi
seseorang dan dapat mengoperasikan peralatan, lampu, dan sebagainya.
C4
Seorang pasien dengan cedera tingkat C4 kemungkinan memiliki
persarafan diafragma. Ini memiliki implikasi fungsional yang signifikan karena itu
berarti seorang pasien mungkin tidak harus bergantung pada ventilator. Kapasitas
vital pasien dengan persarafan diafragma masih sangat menurun. Individu pada
level ini harus dapat mengoperasikan kursi roda listrik menggunakan dagu,
kontrol dagu, atau stik mulut. Pasien masih harus memiliki rentang gerak yang
cukup untuk menggerakkan kursi roda dengan kontrol dagu. Unit kontrol
lingkungan juga dapat diresepkan untuk pasien ini. Individu dengan persarafan C4
terus membutuhkan petugas full time karena mereka sepenuhnya bergantung pada
semua transfer dan ADL.
C5
Pasien dengan persarafan C5 memiliki beberapa kemampuan fungsional.
Seorang pasien dengan persarafan C5 memiliki fungsi deltoid, biseps, dan
rhomboid. Namun, meskipun otot-otot ini dipersarafi pada tingkat ini, mereka
mungkin tidak memiliki kekuatan normal. Setiap pasien memiliki kemampuan
motorik yang berbeda, dan PT harus memeriksa fungsi otot secara menyeluruh.
Karena persarafan key muscle, seorang pasien dengan persarafan di C5 harus
dapat fleksi dan abduksi shoulder, fleksi elbow, dan adduksi scapula. Kemampuan
untuk fleksi dan abduksi shoulder berarti bahwa pasien akan dapat mengangkat
lengannya untuk membantu menggulung dan juga dapat membawa tangannya ke
mulut. Namun, dia tidak dapat ekstensi elbow karena trisep tidak dipersarafi.
Pasien akan dapat mengoperasikan kursi roda listrik dengan kontrol tangan.
Beberapa pasien dapat menggerakkan kursi roda manual dengan proyeksi pelek.
Meskipun propulsi kursi roda manual dimungkinkan, orang harus
mempertimbangkan biaya energi tinggi yang terkait dengan kegiatan ini. Untuk
alasan ini, kursi roda listrik sering diresepkan untuk pasien dengan persarafan
pada tingkat ini.
Individu dengan persarafan C5 mungkin dapat mandiri dengan beberapa
kegiatan perawatan diri, tetapi pasien akan memerlukan pengaturan kegiatan oleh
petugas atau anggota keluarga. Pasien juga perlu menggunakan peralatan adaptif,
termasuk bidai dan perangkat ADL bawaan, untuk melakukan kegiatan perawatan
diri. Pengalaman kami telah menunjukkan bahwa walaupun pasien mungkin dapat
melakukan aktivitas perawatan mandiri secara independen setelah pemasangan,
waktu dan energi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas seringkali terlalu
besar untuk melanjutkan kinerja secara teratur. Individu dengan persarafan di
level C5 dapat memberikan bantuan minimal dengan sliding board transfers dari
kursi roda mereka. Mereka dapat melakukan pelepasan tekanan independen
dengan mencondongkan tubuh ke depan di kursi roda atau dengan melilitkan
salah satu kaki mereka di atas pegangan dorong di bagian belakang kursi roda dan
melakukan pergantian bobot. Rhomboids menyediakan stabilisasi skapula terbatas
untuk kegiatan perawatan mandiri ekstremitas atas dan untuk mengasumsikan
posisi fungsional seperti rentan pada siku dan duduk lama dengan extended arm
support.
C6
Pasien dengan persarafan C6 memiliki beberapa kemampuan fungsional
yang lebih besar. Karena persarafan ekstensor pergelangan tangan, pektoralis
mayor, dan teres mayor, pasien pada level ini dapat mandiri dengan rolling,
feeding, dan berpakaian ekstremitas atas. Pasien harus dapat menggerakkan kursi
roda manual secara independen dengan proyeksi pelek, dan ada potensi bagi orang
tersebut untuk mandiri dengan sliding board transfers. Pasien mungkin
memerlukan bantuan di pagi dan malam hari dengan kegiatan perawatan diri, dan
beberapa pasien membutuhkan bantuan untuk transfer, terutama ke toilet. Bantuan
juga diperlukan untuk berpakaian ekstremitas bawah. Kemampuan untuk
mengendarai kendaraan bermotor dengan kontrol adaptif dan pekerjaan yang
menguntungkan di luar rumah dimungkinkan bagi individu dengan persarafan di
tingkat ini.
C7
Seorang individu dengan cedera C7 memiliki potensi untuk hidup mandiri
karena pasien pada tingkat ini memiliki persarafan trisep. Dengan kekuatan trisep,
pasien dapat menggunakan ekstremitas atasnya untuk mengangkat dirinya selama
pemindahan. Selain itu, orang tersebut akan dapat melakukan push-up kursi roda
untuk menghilangkan tekanan. Kemandirian dalam kegiatan perawatan diri
dimungkinkan, termasuk berpakaian ekstremitas atas dan bawah. Seseorang harus
mandiri dalam transfer kursi roda ke tempat tidur atau tikar, pertama dengan
sliding board dan akhirnya tanpa menggunakan papan. Kemampuan fungsional
tambahan termasuk kemandirian dengan pelepasan tekanan, gerak mandiri ke
ekstremitas bawah, dan pengoperasian kendaraan bermotor standar dengan kontrol
tangan yang disesuaikan.
C8
Dengan persarafan di C8, seorang pasien dapat hidup mandiri. Seorang
individu dapat melakukan semua yang dapat diselesaikan oleh pasien dengan
persarafan pada level C7. Dengan penambahan beberapa kontrol jari yang
meningkat, pasien mungkin juga dapat melakukan wheelies dan negosiasi trotoar
2 hingga 4 inci di kursi roda.
T1 hingga T8
Kami melihat kemampuan individu dengan persarafan T1 hingga T8
sebagai sebuah kelompok. Dengan peningkatan motorik kembali di daerah toraks,
pasien menunjukkan kontrol trunk dan kemampuan bernapas yang meningkat
karena meningkatnya persarafan intercostals. Individu dapat mengoperasikan
kursi roda manual di semua tingkatan dan permukaan dan harus dapat
memindahkan ke dan dari kursi roda ke lantai. Pasien dengan persarafan pada
level T1 hingga T8 juga dapat menjadi kandidat untuk posisi fisiologis dan
ambulasi terapi terbatas pada bar paralel dengan bantuan fisik dan orthosis. Terapi
ambulasi didefinisikan sebagai berjalan untuk manfaat fisiologis yang diberikan
oleh berdiri dan berat badan.
T9 hingga T12
Pasien dengan persarafan pada level T9 hingga TI2 memiliki kemampuan
yang mirip dengan yang disebutkan untuk individu dengan fungsi T1 hingga T8.
Persarafan otot perut bagian bawah membantu pasien dengan fungsi pernapasan
karena pasien dapat memulai batuk. Ambulasi terapi dan ambulasi di rumah
dengan orthosis dan alat bantu dapat dilakukan.
L1 hingga L3
Otot-otot lower trunk dipersarafi pada level L1, fleksor pinggul dipersarafi
pada L2, dan paha depan sebagian dipersarafi oleh L3. Kehadiran persarafan
ekstremitas bawah meningkatkan kapasitas pasien untuk kegiatan ambulasi.
Pasien dengan persarafan pada level ini harus mandiri dalam ambulasi rumah
tangga dan dapat menjadi mandiri dalam ambulasi komunitas di tingkat L3.
Diperlukan orthosis lutut atau pergelangan kaki.
L4 dan L5
Pasien dengan cedera pada level L4 dan L5 harus independen dengan
semua aktivitas fungsional, termasuk gaya berjalan. Orang-orang ini dapat
berjalan di masyarakat dengan beberapa jenis alat bantu dan alat bantu.
Glossopharyngeal Breathing
Pasien dengan cedera pada tingkat C1 hingga C3 dan beberapa pasien
dengan cedera pada C4 memerlukan ventilasi mekanis. Pasien-pasien ini perlu
diajari teknik untuk membantu kemampuan mereka untuk mentolerir periode
pernapasan pendek ketika mereka tidak menggunakan ventilator. Pernapasan
glossopharyngeal adalah teknik yang dapat diajarkan kepada pasien dengan
tetraplegia tingkat tinggi. Pasien menghirup udara dan menutup mulut. Pasien
mengangkat langit-langit mulut untuk menjebak udara. Mengucapkan kata "ah"
atau "oops" melakukan ini. Laring kemudian dibuka. Lidah memaksa udara
melalui laring terbuka dan masuk ke paru-paru. Teknik ini sangat bermanfaat jika,
untuk beberapa alasan, pasien perlu mematikan ventilator untuk waktu yang
singkat karena kegagalan peralatan, pemadaman listrik, atau keadaan yang tidak
terduga lainnya. Teknik ini memungkinkan pasien untuk menerima dukungan
napas yang memadai sampai ventilasi mekanik dapat dilanjutkan.
Lateral Expansion
Untuk pasien yang memiliki persarafan interkostal (T1 hingga T12),
ekspansi lateral atau pernapasan basilar harus ditekankan. Pasien didorong untuk
mengambil napas dalam-dalam ketika mereka mencoba memperluas dinding dada
secara lateral. PTA dapat menempatkan tangan mereka di dinding dada lateral
pasien dan dapat meraba jumlah gerakan yang ada. Resistensi manual akhirnya
dapat diterapkan ketika pasien mendapatkan kekuatan di otot-otot interkostal.
Perkembangan menjadi dua diafragma, dua pola pernapasan dada diinginkan.
Spirometri Insentif
Aktivitas lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi sistem
paru adalah spirometri insentif. Meniup botol di samping tempat tidur pasien
dapat mendorong pernapasan dalam. Pengukuran kapasitas vital pasien dapat
dilakukan dengan spirometer genggam. Kapasitas vital adalah jumlah udara
maksimum yang dikeluarkan setelah inhalasi maksimum. Pengukuran kapasitas
vital pasien dapat dilakukan selama rehabilitasi untuk mendokumentasikan
perubahan ventilasi. Pasien juga dapat diinstruksikan untuk memvariasikan
tingkat pernapasan mereka dan menahan napas sebagai sarana untuk
meningkatkan fungsi pernapasan.
Drainase Postural
Drainase postur dengan perkusi dan vibrasi mungkin diperlukan untuk
membantu membersihkan sekresi. Banyak fasilitas mempekerjakan terapis
pernapasan yang bertanggung jawab untuk kegiatan ini. Namun, PT atau PTA
mungkin merupakan penyedia layanan kesehatan yang bertanggung jawab atas
kebersihan bronkial pasien (pengangkatan sekresi).
Terapi fisik memainkan peran penting dalam mengajarkan teknik batuk
yang dibantu pasien. Untuk pasien yang tidak memiliki persarafan perut, sangat
penting untuk mengidentifikasi cara di mana pasien dapat mengeluarkan sekresi.
Jika pasien tidak dapat melakukan teknik batuk ini secara mandiri, pengasuh atau
anggota keluarga harus diinstruksikan dalam teknik ini. Mempertahankan
kebersihan bronkial yang baik membantu dalam pencegahan komplikasi sekunder
seperti pneumonia.
Batuk
Batuk diklasifikasikan menjadi tiga kategori berlainan, berdasarkan pada
jumlah kekuatan yang dapat dihasilkan individu. Batuk fungsional adalah batuk
yang cukup kuat untuk membersihkan sekresi. Batuk fungsional yang lemah
menghasilkan kekuatan yang cukup untuk membersihkan saluran udara bagian
atas. Batuk non fungsional tidak efektif dalam membersihkan saluran udara dari
sekresi bronkial.
Range of Motion
Latihan ROM merupakan komponen penting dari tahap awal rehabilitasi.
Untuk pasien dengan tetraplegia, stretching shoulder , elbow, wrists, dan finger
sangat penting. Seringkali, pasien dengan cedera cervical diimobilisasi dengan
halo yang membatasi kemampuan pasien untuk melakukan berbagai gerakan
shoulder secara aktif atau pasif. Rompi halo diletakkan di atas shoulder pasien dan
dengan demikian membatasi fleksi dan abduksi shoulder menjadi sekitar 90 o.
ROM shoulder berikut ini diperlukan untuk memaksimalkan fungsi pada pasien
dengan tetraplegia. Diperlukan sekitar 60o ekstensi shoulder dan 90o rotasi
eksternal shoulder. Pasien membutuhkan ekstensi shoulder untuk melakukan
transfer dari posisi terlentang ke posisi duduk lama. Eksternal rotasi shoulder
diperlukan agar pasien dapat melakukan elbow locking maneuver untuk
melakukan posisi duduk. Full ekstensi elbow juga harus dipertahankan untuk
memastikan bahwa pasien dapat menggunakan elbow locking untuk posisi duduk
lama dan untuk transfer. Pasien yang kekurangan persarafan pada triceps (pasien
dengan tetraplegia C5 dan C6) menggunakan mekanisme elbow locking untuk
meningkatkan potensi fungsionalnya.
Pronasi forearm yang memadai diperlukan untuk menyusui. Pasien yang
kekurangan fungsi jari membutuhkan ekstensi wrist 90o. Ketika seseorang
memanjangkan wrist, insufisiensi pasif menyebabkan spastisitas jari selanjutnya
yang disebut dengan tenodesis. Tenodesis dapat digunakan secara fungsional
memungkinkan pasien untuk memegang benda dengan built-up handles
menggunakan ekstensi wrist pasif atau aktif. Sebagai hasil dari fenomena fungsi
ini, peregangan kombinasi fleksor jari ekstrinsik dengan ekstensi wrist harus
dihindari. Jika fleksor jari meregang, pasien akan kehilangan kemampuan untuk
mencapai genggaman tenodesis. Duduk di atas tikar dengan tangan terbuka
meregangkan fleksor jari. Pasien harus didorong untuk mempertahankan sendi
interphalangeal proksimal dan sendi interphalangeal distal dalam fleksi. Regangan
berlebih pada thumb web space juga harus dihindari karena tightness pada
adduktor dan fleksor ibu jari memungkinkan ibu jari untuk menentang jari
pertama dan kedua selama tenodesis. Pasien kemudian dapat menggunakan ibu
jari sebagai pengait untuk aktivitas fungsional.
Setelah halo dilepas, dokter juga harus menghindari meregangkan
ekstensor cervical. Peregangan ekstensor cervical menyebabkan forward head
posture. Posisi kepala ini mengganggu keseimbangan duduk pasien dan dapat
membatasi kemampuan pernapasan pasien dengan menghambat penggunaan otot
tambahan.
PERHATIAN: Jika cervical spine pasien tidak stabil, latihan ROM pasif shoulder
harus dibatasi hingga 90o fleksi dan abduksi, untuk menghindari kemungkinan
pergerakan vertebra cervical. Ketidakstabilan pada tulang belakang lumbar
mengharuskan fleksi hip pasif dibatasi hingga 90 o dengan fleksi knee dan 60o
dengan ekstensi knee. Setelah tulang belakang stabil, latihan ROM yang lebih
agresif dapat dimulai.
Strengthening Exercise
Latihan penguatan adalah komponen penting lain dari rehabilitasi pasien.
Selama fase akut, otot-otot tertentu harus diperkuat dengan hati-hati untuk
menghindari stres di lokasi fraktur dan kemungkinan kelelahan. Pada awalnya,
mungkin perlu dilakukan dalam posisi anti gravitasi karena kelemahan. Intervensi
12-3, A dan B, menggambarkan penguatan trisep pada posisi anti gravitasi.
Penerapan beban dapat dikontraindikasikan pada otot-otot skapula dan shoulder
pada pasien dengan tetraplegia dan pada otot-otot hip dan trunk pada pasien
dengan paraplegia, tergantung pada stabilitas lokasi fraktur. Ketika PT sedang
merancang program latihan pasien, latihan yang menggabungkan gerakan
ekstremitas atas bilateral bermanfaat. Sebagai contoh, latihan ekstremitas atas
bilateral yang dilakukan dalam bidang lurus atau pola fasilitasi neuromuskuler
proprioseptif menawarkan banyak keuntungan bagi pasien. Jenis-jenis latihan ini
dilakukan dengan lebih efisien dan mengurangi kekuatan asimetris yang dapat
diterapkan pada tulang belakang selama latihan ekstremitas atas. Key muscle yang
akan diperkuat untuk pasien-pasien dengan tetraplegia termasuk deltoids anterior,
shoulder ekstensor, dan bisep. Key muscle yang harus ditekankan untuk pasien
dengan paraplegia termasuk depresor shoulder, trisep, dan latissimus dorsi.
Selama tahap awal rehabilitasi ini, asisten dapat menggunakan beban
manual sebagai sarana utama untuk memperkuat otot yang melemah. Selain itu,
bobot velcro atau elastic band dapat digunakan (Intervensi 12-3, C dan D). Ketika
pasien berkembang, barang-barang ini dapat ditinggalkan di samping tempat tidur
pasien untuk memungkinkan pasien berolahraga di waktu lain di siang hari. Jika
anda memutuskan untuk meninggalkan salah satu item ini untuk pasien, pastikan
bahwa pasien dapat menerapkannya secara mandiri. Ketika seorang pasien
mengalami penurunan fungsi tangan, dapat mempersulit dalam penggunaan salah
satu alat tersebut. Latihan ekstremitas atas yang cukup ketat dapat dilakukan oleh
pasien dengan paraplegia. Barbel, peralatan olahraga (nautilus), beban bebas, dan
elastic band dapat digunakan untuk olahraga resistif.
Intervention 12 – 3 Triceps and Upper Extremity Strengthening
A dan B. Penguatan triceps dilakukan pada posisi anti gravitasi. Lengan pasien harus dijaga
dengan hati-hati. Kelemahan pada ekstremitas atas dapat menyebabkan tangan pasien melentur ke
wajahnya.
C. Menggunakan bobot velcro untuk resistensi tambahan selama penguatan triceps.
D. Menggunakan karet gelang untuk memperkuat bisep.
Acclimation to Upright
Selain melakukan latihan peregangan dan penguatan secara pasif, pasien
juga harus memulai aktivitas duduk. Karena cedera, pasien mungkin dalam posisi
terlentang selama beberapa hari atau minggu. Sebagai akibatnya, pasien mungkin
mengalami hipotensi ortostatik. Awalnya, perawatan dan terapi fisik dapat bekerja
untuk mengangkat kepala dari tempat tidur pasien. Seseorang harus memantau
tanda-tanda vital pasien selama pelaksanaan aktivitas duduk. Denyut nadi, tekanan
darah, dan laju pernapasan harus dicatat. Seperti yang dinyatakan sebelumnya,
tekanan darah pasien tidak boleh turun di bawah 80/50 mmHg dan perfusi ginjal
memadai. Jika pasien dapat mentolerir duduk dengan kepala tempat tidur
ditinggikan, pasien dapat berkembang menjadi duduk di kursi roda berbaring
dengan mengangkat sandaran kaki. Seringkali, pasien dipindahkan ke kursi roda
dengan draw sheet atau buckboard pada awalnya. Transfer ke dan keluar dari
tempat tidur rumah sakit seringkali sulit, berdasarkan ketinggian tempat tidur.
Karena pasien lebih bisa mentolerir duduk, waktu dan tingkat ketinggian dapat
ditingkatkan. Tilt table juga dapat digunakan untuk menyesuaikan pasien dengan
posisi tegak lurus (Gbr. 12-8).
Menurunkan berat badan pada ekstremitas bawah memiliki banyak
manfaat terapi, termasuk mengurangi efek osteoporosis, membantu fungsi usus
dan kandung kemih, dan mengurangi tonus otot abnormal yang mungkin ada.
Untuk membantu pasien mengatur tekanan darah selama kegiatan tegak ini,
mungkin perlu meminta pasien memakai pengikat perut, stocking elastis, atau
elastic wraps. Pengikat perut membantu menopang isi perut selama aktivitas
tegak dengan meminimalkan efek gravitasi. Bagian atas pengikat harus menutupi
dua tulang rusuk terendah, dan bagian bawah harus diletakkan di atas anterior
superior iliac spines pasien. Elastic wraps atau stoking elastis membantu
ekstremitas bawah dengan aliran balik vena tanpa adanya aksi otot rangka di
ekstremitas bawah. Pasien juga harus dimonitor secara hati-hati untuk
kemungkinan disreflexia otonom selama upaya awal ini pada posisi tegak.
GAMBAR 12-8. Tabel kemiringan digunakan untuk membantu pasien secara bertahap
membangun toleransi ke posisi tegak.
Prone on Elbow
Sebelum memulai kegiatan di posisi tengkurap, pasien perlu
mengasumsikan keselarasan yang benar, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
12-9. Pasien juga harus mencoba untuk menjaga skapula sedikit adduksi dan
downward rotasi untuk menangkal kecenderungan alami untuk menggantung pada
shoulder ligamen. Asisten mungkin perlu memberikan pasien dengan isyarat
manual pada skapula untuk mempertahankan posisi yang benar. Perkiraan
downward diterapkan melalui shoulder atau mengetuk rhomboids sering
dilakukan untuk meningkatkan stabilitas skapular. Perkiraan meningkatkan tonik
otot. Pada posisi tengkurap, pasien harus berlatih menggeser berat badan ke
kanan, kiri, maju, dan mundur. Pasien harus diarahkan untuk mempertahankan
keselarasan yang baik dan untuk menghindari penurunan shoulder saat ia berlatih
dalam posisi ini. Setelah pasien dapat mempertahankan posisi, ia dapat
melanjutkan ke latihan lain yang akan meningkatkan konsentrasi dan stabilitas
proksimal. Isometrik bolak-balik dan stabilisasi berirama dapat dilakukan. Untuk
melakukan isometrik bolak-balik, pasien harus diinstruksikan untuk memegang
posisi yang diinginkan karena asisten menerapkan resistensi manual ke kanan atau
kiri, ke depan atau ke belakang. Intervensi 12-7, A, menggambarkan latihan ini.
Dengan stabilisasi ritmik, pasien melakukan kontraksi isometrik simultan dari
pola agonis dan antagonis karena terapis memberikan kekuatan rotasi. Intervensi
12-7, B, menunjukkan asisten yang melakukan kegiatan ini dengan seorang
pasien. Kegiatan lain yang dapat dilakukan dalam posisi prone on elbow meliputi
pengangkatan satu lengan, kegiatan jangkauan unilateral, dan penguatan serratus
(Intervensi 12-8, A). Untuk memperkuat serratus, pasien diinstruksikan untuk
mendorong sikunya ke bawah ke matras dan menyelipkan dagu sambil
mengangkat dan membulatkan bahunya. Untuk pasien dengan paraplegia, asisten
dapat memberikan instruksi tentang push-up tengkurap, sebagaimana
digambarkan dalam Intervensi 12-8, B.
GAMBAR 12-9 Siku harus diposisikan langsung di bawah bahu ketika pasien rawan sikut. Asisten
menerapkan gaya ke bawah (perkiraan) melalui bahu untuk mempromosikan tonik memegang dan
stabilisasi otot-otot bahu.
Prone to Supine
Dari posisi tengkurap, pasien dapat beralih ke posisi telentang. Pasien
menggeser berat badan ke satu siku, ekstensi dan rotasi kepalanya ke arah yang
sama. Ketika ia melakukan ini, pasien "throws(melempar)" ekstremitas atas yang
sisi satunya. Momentum yang diciptakan oleh manuver ini memfasilitasi rolling
kembali ke posisi terlentang.
Supine on Elbows
Tujuan dari posisi supine on elbows adalah untuk membantu pasien
dengan mobilitas tempat tidur dan mempersiapkannya untuk duduk lama. Pasien
dengan persarafan pada level C5 dan C6 mungkin memerlukan bantuan untuk
mencapai posisi supine on elbows. Intervensi 12-9 menggambarkan PTA
membantu pasien melakukan transisi dari supine ke supine on elbows. Beberapa
teknik berbeda dapat digunakan untuk membantu pasien dalam belajar untuk
mencapai posisi ini. Bantal atau guling yang diletakkan di bawah punggung
pasien dapat membantu pasien dengan kegiatan ini. Teknik ini membantu
menyesuaikan diri dengan posisi pasien dan membantu pasien meregangkan
anterior shoulder capsule. Karena pasien dapat mengambil kemandirian lebih
banyak dengan transisi dari posisi supine ke supine on elbows, asisten dapat
meminta pasien mengaitkan ibu jari ke dalam saku atau lingkaran sabuk atau
menempatkan tangan di bawah bokong. Intervensi 12-10 menggambarkan
pendekatan ini. Ketika pasien melakukan ini, dia menstabilkan dirinya dengan
satu tangan ketika dia menarik dengan yang lain, menggunakan tindakan
kebalikan dari bisep. PT atau PTA mungkin perlu memposisikan lengan pasien di
akhir gerakan. Setelah pasien dalam posisi supine on elbows, dapat dimulai pada
penguatan ekstensor shoulder dan adduktor skapular. Kegiatan untuk mencapai
hal ini termasuk pengalihan berat badan pada posisi, membuat transisi kembali ke
tengkurap, dan berkembang menjadi duduk lama. Supine pull-up juga bisa
dilakukan. Ketika pasien dalam posisi terlentang, asisten memegang lengan pasien
yang di depan tubuh dan meminta pasien menarik ke dalam posisi duduk yang
dimodifikasi. Latihan ini membantu memperkuat fleksor shoulder dan biseps.
Dari supine on elbows, pasien dapat rolling untuk cenderung dengan menggeser
berat badan ke satu siku, melihat ke arah yang sama, dan menjangkau seluruh
tubuh dengan ekstremitas atas lainnya. Manuver ini memberi pasien mekanisme
lain untuk bergerak ke tengkurap.
GAMBAR 12-10. Aktivitas keseimbangan harus selalu ditekankan dalam long sitting agar
mempersiapkan pasien untuk berbagai aktivitas fungsional.
Intervention 12 – 12 Push-up in the Long-Sitting Position
Pasien menggunakan hubungan kepala-pinggul untuk membantu mengangkat pantat.
Transfer
Transfer ke dan dari kursi roda adalah keterampilan penting bagi pasien
dengan SCI. Pasien dengan cedera cervical yang parah (level C1 hingga C4)
sepenuhnya tergantung pada transfer. Two person lift, transfer sit-pivot dependen,
atau Hoyer lift harus digunakan.
Fase persiapan. Sebelum pemindahan, pasien dan kursi roda harus
diposisikan di tempat yang benar. Kursi roda harus diposisikan sejajar dengan
matras atau tempat tidur. Rem harus dikunci dan kaki kursi roda dilepas. Sabuk
pengaman harus diterapkan pada pasien sebelum asisten memulai aktivitas.
Two-Person Lift. Pengangkatan dua orang mungkin diperlukan untuk
pasien dengan tetraplegia tinggi. Jenis transfer ini diilustrasikan dalam Intervensi
12-13.
Intervention 12 – 13 Two-Person Lift
Sitting Swing-Through
Langkah 1. Pasien mengambil posisi long sitting dengan dukungan ekstremitas
atas. Tangan pasien harus kira-kira 6 inci di belakang pinggul.
Langkah 2. Pasien menekan bahu dan ekstensi siku. Bokong harus diangkat dari
permukaan.
Langkah 3. Pasien mengayunkan hip ke belakang di antara kedua tangannya.
Hip Swayers
Langkah 1. Pasien mengambil posisi long sitting dengan dukungan ekstremitas
atas.
Langkah 2. Pasien menempatkan satu tangan sedekat mungkin ke pinggulnya; sisi
lain harus ditempatkan sekitar 6 inci jauhnya dari pinggul lainnya.
Langkah 3. Pasien mengangkat pantatnya dan menggerakkan pinggulnya ke arah
tangan yang lebih jauh.
Langkah 4. Pasien berjalan menyamping melintasi matras.
Langkah 5. Pasien harus berlatih bergerak ke dua arah.
Prone Push-ups
Dalam posisi tengkurap dengan tangan diposisikan di sebelah bahu, pasien
ekstensi siku dan mengangkat tubuh bagian atas dari permukaan pendukung.
Creeping
Kemampuan pasien untuk merayap tergantung pada persarafan otot
ekstremitas bawah. Kekuatan pada fleksor pinggul juga dibutuhkan untuk
melakukan aktivitas ini.
Langkah 1. Pasien mengambil posisi quadruped position.
Langkah 2. Pasien bergantian memajukan satu ekstremitas atas diikuti oleh
ekstremitas bawah yang berlawanan.
Tall-Kneeling
Langkah 1. Pasien mengambil quadruped position.
Langkah 2. Menggunakan kursi, bangku, atau guling, pasien menarik ke posisi
tall kneeling. Pinggul harus tetap maju sementara pasien bersandar pada ligamen
Y.
Langkah 3. Awalnya, pasien berupaya mempertahankan keseimbangan dalam
posisi.
Langkah 4. Setelah pasien dapat mempertahankan keseimbangannya, pasien dapat
bekerja pada isometrik bergantian, stabilisasi ritmik, dan aktivitas jangkauan.
Langkah 5. Pasien dapat naik ke kruk setinggi lutut. Pasien dapat
menyeimbangkan posisi dengan kruk, mengangkat satu kruk, memajukan kedua
kruk ke depan, atau menarik kedua kruk ke belakang.
Signifikansi fungsional dari kegiatan ini tersebar luas. Latihan swing-
through, swayer pinggul, dan prone push-up bekerja untuk meningkatkan
kekuatan ekstremitas atas yang diperlukan untuk pemindahan dan ambulasi yang
dibantu. Latihan rotasi trunk membantu meningkatkan kontrol trunk pasien untuk
transfer, termasuk yang dari kursi roda ke lantai. Jangkauan unilateral pada posisi
quadruped membantu pasien dalam mengembangkan kekuatan dan koordinasi
ekstremitas atas dan meningkatkan kemampuan pasien untuk berpindah dari lantai
ke kursi roda. Merayap membantu mengembangkan trunk pasien dan kontrol otot
ekstremitas bawah. Ini juga merupakan posisi yang berguna bagi pasien untuk
dapat mengasumsikan saat berada di lantai. Tall kneeling meningkatkan
pengembangan kontrol tubuh. Ini dapat digunakan sebagai posisi transisi untuk
pasien ketika mereka pindah dari lantai kembali ke kursi roda mereka, dan ini
berfungsi sebagai kegiatan pre-ambulasi.
Transfer
Wheelchair to Floor Transfers. Pasien dengan paraplegia harus
diinstruksikan bagaimana cara jatuh ketika berada di kursi roda dan bagaimana
cara mentransfer kembali ke kursi jika karena alasan tertentu mereka dipindahkan.
Selain itu, lantai adalah tempat yang baik untuk melakukan peregangan fleksor
pinggul. Di klinik, PT atau PTA akan memulai praktik keterampilan ini dengan
menurunkan pasien ke lantai seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12-11. Pasien
harus diinstruksikan untuk memasukkan kepalanya dan menjaga lengannya di
kursi roda. Pasien harus diperingatkan untuk tidak menjaga jatuhnya dengan
menggunakan lengannya. Ekstensi ekstremitas atas dapat menyebabkan fraktur
pergelangan tangan. Pasien mungkin juga ingin menempatkan salah satu
ekstremitas atas di atas lututnya untuk mencegah ekstremitas bawah mengenai
wajah pasien.
Setelah pasien di lantai, ia memiliki beberapa opsi untuk bangkit kembali.
Mungkin paling mudah bagi pasien untuk memperbaiki kursi roda dan kemudian
memindahkannya kembali. Jika pasien dapat memposisikan dirinya dalam posisi
berlutut di depan kursi roda, ia dapat menarik dirinya kembali ke kursi roda,
seperti yang digambarkan dalam Intervensi 12-23. Jika pasien memiliki kekuatan
ekstremitas atas dan ROM yang memadai, ia dapat kembali ke kursi roda dalam
posisi long sitting, menekan pundak, dan mengangkat bokong kembali ke kursi
roda. Tangan pasien diposisikan di dekat bokong. Fleksi leher saat mencoba
manuver ini membantu dalam mengangkat bokong. Meskipun jenis transfer ini
memungkinkan, banyak pasien tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk
menyelesaikan transisi dengan sukses. Di klinik, seseorang dapat berlatih ini
dengan menggunakan bangku kecil atau beberapa tikar. Dalam posisi long sitting,
langkah pertama pasien mentransfer ke kursi dan kemudian kembali ke kursi roda.
Intervensi 12-24 menggambarkan seorang pasien yang melakukan transfer dari
lantai kembali ke kursi roda. Pasien memutar kastor kursi roda ke depan dan
menempatkan satu tangan di atas kastor dan yang lainnya di kursi roda dan
mendorong ke atas.
Intervention 12 – 23 Transfer to Wheelchair from Tall-Kneeling
Pasien menarik dirinya ke kursi roda dari posisi berlutut. Pasien harus memutar pinggulnya untuk
mengambil posisi duduk. Urutan dapat dibalik untuk pindah dari kursi roda.
Intervention 12 – 24 Transfer to Wheelchair from the Long-Sitting Position
Transfer dari lantai ke kursi roda dapat dilakukan di klinik dengan bangku kecil.
A ke C. Pasien pertama-tama pindah dari lantai ke kursi. Pasien menggunakan hubungan kepala-
pinggul untuk mengangkat pantat.
D dan E. Dari bangku, pasien menekan bahunya dan mengangkat dirinya kembali ke kursi roda.
GAMBAR 12 -12 Menemukan titik keseimbangan adalah prasyarat untuk muncul dan
mempertahankan posisi wheelie.
Selama tahap awal latihan ini, Anda harus menjaga pasien dengan hati-
hati. Berdiri di belakang pasien dengan tangan Anda berada di dekat pegangan
dorong kursi roda dan berdiri di dekat sandaran adalah tempat terbaik untuk
melihat pasien. Setelah pasien dapat mempertahankan wheelie dengan bantuan
Anda, pasien harus belajar untuk mencapai posisi secara mandiri. Pasien harus
mengikuti aktivitas ini untuk menegosiasikan pembatasan secara independen.
Untuk mencapai posisi wheelie, minta pasien bersandar ke depan di kursi rodanya.
Pasien menarik kembali pelek kursi roda dan kemudian dengan cepat mendorong
ke depan pada saat yang sama ia menggerakkan bahunya ke belakang ke belakang
kursi roda. Gerakan maju cepat dari kursi, dikombinasikan dengan pergeseran
berat badan pasien ke belakang, menyebabkan kastor depan kursi roda muncul.
Dengan latihan, pasien belajar berapa banyak kekuatan yang dibutuhkan untuk
mencapai posisi itu. Akhirnya, pasien dapat mencapai posisi wheelie dari posisi
diam atau rolling.
Ascending Ramps. Seorang pasien harus naik tanjakan saat ia dalam
posisi maju. Panjang dan kecenderungan harus dipertimbangkan sebelum pasien
mencoba untuk menegosiasikan jalan apa pun. Ketika pasien naik tanjakan,
perintahkan dia untuk bersandar ke depan di kursi roda. Jika jalur panjang, pasien
menggunakan dorongan yang panjang dan kuat pada pelek tangan. Jika jalur
relatif pendek dan curam, pasien menggunakan dorongan pendek dan cepat untuk
berakselerasi ke depan. Bantuan tingkat di kursi roda mungkin diperlukan untuk
mencegah kursi berguling mundur. Bantuan grade berfungsi sebagai jenis
mekanisme pengereman untuk membantu pasien mengubah posisi tangan untuk
dorongan berikutnya tanpa berguling mundur.
Descending Ramps. Pasien harus didorong untuk turun landai dengan
kursi roda menghadap ke depan. Pasien diinstruksikan untuk bersandar di kursi
roda. Pasien kemudian menempatkan kedua tangan pada pelek tangan atau pada
pelek dan roda itu sendiri. Pergerakan kursi roda dikendalikan oleh gesekan yang
diterapkan pada pelek tangan dan roda oleh pasien. Pasien harus membiarkan
pelek bergerak secara merata di antara kedua tangan untuk memastikan kursi roda
akan bergerak di jalur yang lurus. Pasien juga dapat memilih untuk menerapkan
rem kursi roda ketika menurun landai. Meskipun teknik ini memberikan tambahan
gesekan pada roda, dapat menyebabkan kerusakan mekanis pada mekanisme
pengereman kursi roda.
Jalan landai juga dapat diturunkan dengan pasien dalam posisi terbelakang
jika pasien merasa lebih aman menggunakan teknik ini. Pasien diinstruksikan
untuk meluruskan kursi roda secara merata di bagian atas tanjakan. Pasien
mencondongkan tubuh ke depan dan memegang pelek di dekat rem. Pelek
kemudian dibiarkan meluncur melalui tangan pasien selama penurunan. Pasien
harus berhati-hati di bagian bawah tanjakan karena kastor dan pijakan kaki dapat
menangkap tanjakan dan dapat menyebabkan kursi miring ke belakang. Gambar
12-13 menunjukkan dua metode untuk menuruni jalan.
Jalan landai juga bisa naik atau turun dengan cara diagonal atau zigzag.
Menegosiasikan jalur dalam pola diagonal mengurangi kecenderungan untuk
menggelinding menuruni jalur selama menanjak dan mengurangi kecepatan
selama tanjakan.
GAMBAR 12 – 13 A. Seseorang dengan keterampilan mobilitas kursi roda yang baik mungkin
dapat turun jalan di posisi wheelie. B. Metode teraman untuk menuruni jalan adalah mundur.
Orang tersebut harus ingat untuk bersandar ke depan sambil mengendalikan roda belakang. Jalan
tanjakan dilakukan dengan cara yang sama.
Ascending a Curb. Naik trotoar harus selalu dilakukan oleh pasien dalam
arah ke depan. Jika pasien akan mandiri dengan kegiatan ini, ia harus dapat
mengangkat kastor depannya. Ketika pasien mendekati trotoar, ia mengeluarkan
kastor depan dengan wheelie. Setelah kastor melewati trotoar, pasien bersandar ke
depan dan mendorong pelek tangan. Pasien memerlukan banyak latihan untuk
menguasai aktivitas ini karena waktu komponen individu sangat penting dan
penyelesaian tugas membutuhkan kekuatan otot yang cukup besar. Intervensi 12-
26, A dan B, menggambarkan keterampilan ini.
Descending a Curb. Sering kali paling mudah untuk menginstruksikan
pasien turun mundur ke trotoar, namun sebagian besar petugas sepakat bahwa itu
lebih membahayakan pasien karena lalu lintas yang tidak aman. Dalam teknik ini,
pasien memundurkan kursi roda di trotoar. Sekali lagi, pasien harus bersandar ke
depan dan memegang pelek roda di dekat rem pada kursi. Posisi alas kaki juga
harus diperhatikan selama pelaksanaan kegiatan ini. Alas kaki mungkin masuk di
trotoar saat kursi turun. Jika ini terjadi, pasien perlu untuk bersandar ke kursi
ketika kastor melewati trotoar (lihat Intervensi 12-26, C dan D).
Cardiopulmonary Training
Pelatihan kardiopulmoner juga harus dimasukkan dalam program
rehabilitasi pasien. Insentif spirometri dan penguatan diafragma harus dilanjutkan
untuk lebih memaksimalkan kapasitas vital. Pelatihan daya tahan dapat
dimasukkan ke dalam rencana perawatan pasien dan dapat mencakup kegiatan
seperti penggerak kursi roda untuk jarak yang jauh, ergometri ekstremitas atas
(lengan sepeda), berenang, dan aerobik kursi roda. Meskipun kegiatan ini
meningkatkan daya tahan pasien, otot-otot ekstremitas atas lebih kecil dan mampu
melakukan pada intensitas yang lebih tinggi untuk durasi waktu yang lebih
pendek daripada otot-otot di ekstremitas bawah. Oleh karena itu, otot-otot ini
kelelahan lebih cepat.
Pasien dengan SCI tidak memiliki respons kardiovaskular normal untuk
berolahraga. Namun, efek pelatihan masih dimungkinkan. Tekanan darah, detak
jantung, curah jantung, dan respons berkeringat diubah sekunder akibat disfungsi
simpatis otonom dan akibatnya aliran darah terganggu. Oleh karena itu,
penggunaan denyut jantung target saja mungkin bukan indikator yang tepat dari
intensitas latihan untuk pasien dengan cedera cervical dan upper thoracic. Metode
tambahan untuk memonitor respons latihan pasien, termasuk tekanan darah dan
Skala Tenaga Borg yang dipersepsikan (ukuran subjektif dari intensitas ekskresi
individu), harus digunakan.
Efek pelatihan aerobik, mungkin untuk pasien dengan SCI. Durasi latihan
harus 20 - 60 menit. Jika bisa, diselingi sepanjang hari. Bukti menunjukkan bahwa
kebugaran kardiovaskular dapat dicapai melalui beberapa kegiatan olahraga yang
lebih pendek daripada satu sesi yang lebih lama. Frekuensi latihan harus
setidaknya tiga kali per minggu dan tidak lebih dari enam kali seminggu. Istirahat
1 hingga 2 hari harus dilakukan untuk memungkinkan pemulihan musculoskeletal.
Circuit Training
Para peneliti juga telah mempelajari efek pelatihan sirkuit (latihan beban
dengan peralatan olahraga dan ergometri ekstremitas atas) pada individu dengan
paraplegia. Peningkatan kekuatan dan daya tahan bahu yang signifikan tercatat
pada individu yang berpartisipasi dalam program pelatihan tiga kali seminggu
selama 12 minggu. Hasil penelitian ini mendukung efek menguntungkan dari
pelatihan pada tingkat kebugaran pada individu dengan paraplegia.
Aquatic Therapy
Terapi kolam dapat menjadi tambahan yang berharga untuk keseluruhan
rencana perawatan pasien. Air menawarkan media yang sangat baik untuk
berolahraga dan bergerak tanpa efek gravitasi dan gesekan. Banyak fasilitas
memiliki kolam air hangat (92o hingga 96o F) untuk pasien mereka. Air hangat
memberikan efek fisiologis, termasuk peningkatan sirkulasi, denyut jantung, dan
laju pernapasan serta penurunan tekanan darah. Selain itu, relaksasi umum
biasanya dilakukan dengan perendaman air hangat. Efek-efek ini harus diingat
ketika PT mengembangkan kumpulan program untuk pasien.
Ketika merancang kumpulan program terapi untuk pasien dengan SCI, PT
harus mempertimbangkan hal berikut sebagai manfaat terapi dari jenis intervensi
pengobatan ini. Aktivitas yang dilakukan di dalam air akan membantu:
1. Mengurangi tonus otot abnormal
2. Meningkatkan kekuatan otot
3. Meningkatkan ROM
4. Meningkatkan fungsi paru-paru
5. Memberikan kesempatan untuk berdiri dan menahan berat badan
6. Latihan otot dengan kekuatan yang minus, wajar lebih mudah
7. Mengurangi spastisitas
Meskipun sebagian besar pasien dapat berolahraga dengan aman di air,
beberapa situasi telah diidentifikasi sebagai kontraindikasi untuk program akuatik.
Seorang pasien dengan salah satu kondisi medis berikut tidak boleh diizinkan
untuk berpartisipasi dalam program: demam, penyakit menular, trakeostomi,
tekanan darah tidak terkendali, kapasitas vital kurang dari 1 liter, inkontinensia
urin atau usus, dan luka terbuka atau sakit yang tidak bisa ditutupi oleh pakaian
anti air. Pasien dengan alat traksi halo dapat dibawa ke kolam selama kepala
mereka dikeluarkan dari air dan komponen perangkat yang menahan air diganti.
Individu dengan kateter dapat berpartisipasi dalam program kolam jika tabung
pembuangan dijepit dan tas penyimpanan terpasang pada ekstremitas bawah.
Pool Programs. Beberapa faktor logistik harus dipertimbangkan sebelum
membawa pasien ke dalam air untuk sesi perawatan. Seperti yang dinyatakan
sebelumnya, air hangat diperlukan. Namun, untuk mengakomodasi banyak pasien
yang mungkin perlu menggunakan kolam terapi di fasilitas tertentu, suhu air
mungkin lebih dingin. Faktor ini harus dipertimbangkan ketika seseorang bekerja
dengan pasien dengan SCI karena pengaturan suhu mereka sering terganggu.
Fasilitas berbeda memiliki persyaratan khusus mengenai prosedur keselamatan
yang harus diikuti ketika bekerja dengan pasien di dalam air. Pengalaman
keselamatan air sebelumnya mungkin diperlukan. Jumlah minimum orang
mungkin juga dibutuhkan di area kolam untuk memastikan keamanan. Untuk
mempersiapkan pasien untuk sesi perawatan, terapis atau asisten harus
mendiskusikan manfaat program dan menggambarkan sesi khas. Sebelumnya
suka atau tidak suka pasien juga harus ditentukan. Banyak orang yang sangat tidak
menyukai air dan mungkin khawatir tentang pengalaman itu, sehingga harus
membantu meyakinkan pasien. Pasien harus tiba untuk sesi perawatan dengan
pakaian renang. Kateter harus dijepit untuk menghindari kemungkinan kebocoran.
Pasien juga harus diinstruksikan untuk mengenakan kaus kaki atau bantalan siku
atau lutut, tergantung pada kegiatan perawatan yang akan dilakukan. Karena
sensasi pasien mungkin terganggu atau tidak ada, area yang dapat tergores selama
sesi harus dilindungi.
Transfer masuk dan keluar dari kolam dapat terjadi dalam sejumlah cara
yang berbeda dan tergantung pada jenis peralatan dan fasilitas yang ada.
Seringkali, mengangkat untuk memindahkan pasien ke kolam, atau kolam
mungkin memiliki jalan, dan pintu masuk untuk di beberapa jenis kursi roda atau
kursi mandi. Setelah pasien berada di dalam air, asisten harus menjaga pasien
dengan hati-hati. Pasien dengan tetraplegia dan paraplegia mengalami penurunan
gerakan, proprioception, dan sensasi sentuhan ringan. Pasien mungkin mengalami
kesulitan mempertahankan posisinya di dalam air. Kadang-kadang, ekstremitas
bawah dapat melayang ke permukaan air, dan asisten mungkin mengalami
kesulitan menjaga kaki pasien dan ekstremitas bawah di dasar kolam dalam posisi
menahan beban. Tekanan lembut yang diberikan pada bagian atas kaki pasien oleh
kaki asisten dapat membantu meringankan masalah ini. Rompi flotasi sangat
membantu dan dapat meyakinkan pasien. Setelah pasien lebih percaya diri dalam
air, rompi dapat dilepas.
Pool Exercise. Banyak kolam memiliki langkah-langkah ke dalamnya atau
area di mana asisten dan pasien dapat duduk. Fitur ini menyediakan lingkungan
yang sangat baik untuk bekerja pada penguatan ekstremitas atas. Dengan
dukungan ekstremitas atas, pasien menggerakkan lengan dalam air dan
menggunakan daya apung. Pasien juga dapat bekerja untuk mengangkat
ekstremitas keluar dari air, untuk memberikan lebih banyak tantangan pada
aktivitas. Deltoid anterior, middle, dan posterior, serta pectoralis mayor dan
rhomboids, dapat dilatih pada posisi ini. Penguatan triceps juga dapat dilakukan
pada posisi yang dinetralkan gravitasi atau didukung. Selain bekerja pada
penguatan ekstremitas atas, penggunaan posisi duduk berfungsi untuk melatih
keseimbangan duduk pasien dan otot-otot tubuh yang tetap dipersarafi.
Alternating isometrics dan stabilisasi ritmik dapat diterapkan di daerah bahu untuk
bekerja pada penguatan trunk tubuh. Latihan untuk meningkatkan fungsi paru
dapat dilakukan saat pasien berada di dalam air. Pasien menahan napas atau
meniupkan gelembung sementara di dalam air membantu meningkatkan kapasitas
paru-paru. Pasien dapat berlatih berdiri di sisi kolam ketika dia berada di dalam
air. Asisten mungkin perlu menjaga pasien di trunk dan menggunakan ekstremitas
bawahnya untuk menjaga keselarasan kaki pasien. Aproksimasi dapat
diaplikasikan ke bawah melalui pinggul untuk membantu menahan beban dengan
ekstremitas bawah. Beberapa kolam terapeutik memiliki garis paralel di dalam air
untuk membantu kegiatan berdiri dan ambulasi. Jika pasien memiliki cedera
incomplete dengan persarafan ekstremitas bawah yang memadai, berjalan dengan
bantuan dapat dilakukan. Seperti yang dinyatakan sebelumnya ini adalah cara
terbaik untuk memperkuat otot ekstremitas bawah yang lemah dan untuk
meningkatkan daya tahan pasien. Kickboards juga dapat digunakan untuk
membantu dengan penguatan ekstremitas bawah.
Floating and Swimming. Pasien dengan tetraplegia atau paraplegia dapat
diajarkan untuk mengapung di punggung mereka. Mengapung dapat membantu
pernapasan, serta relaksasi tubuh secara umum. Pasien juga dapat diinstruksikan
dalam gerakan renang yang dimodifikasi atau adaptif. Pasien dengan tetraplegia
dapat diajarkan gaya punggung yang dimodifikasi dan gaya dada. Kinerja gaya
renang ini membantu pasien dengan penguatan ekstremitas atas dan juga
meningkatkan kebugaran kardiovaskular pasien. Pasien dengan paraplegia dapat
diinstruksikan gaya kupu-kupu, yang juga meningkatkan kekuatan ekstremitas
atas dan meningkatkan daya tahan kardiovaskular pasien.
Pelatihan Ambulasi
Salah satu pertanyaan pertama yang sering diajukan pasien dengan SCI
adalah apakah mereka akan dapat berjalan lagi. Pertanyaan ini sering diajukan di
pusat perawatan akut segera setelah pasien cedera. Sejak awal, mungkin sulit
untuk menentukan potensi ambulasi pasien sekunder akibat syok tulang belakang
dan depresi dari aktivitas refleks. Berbagai filosofi tentang pelatihan gaya berjalan
diakui, dan banyak tergantung pada tim rehabilitasi tempat Anda bekerja.
Beberapa profesional perawatan kesehatan percaya bahwa yang terbaik adalah
memberikan pasien dengan potensi untuk ambulasi setiap peluang untuk
melakukannya. Orang-orang ini percaya bahwa sebagian besar pasien, diberi
kesempatan untuk mencoba berjalan dengan orthosis dan alat bantu, tidak akan
terus melakukannya setelah mereka menyadari kesulitan yang dihadapi. Mungkin
yang terbaik adalah mengizinkan pasien untuk mengambil keputusan tentang
ambulasi independen dari PT atau tim perawatan kesehatan. Profesi perawatan
kesehatan lainnya juga percaya bahwa seorang pasien harus memiliki kekuatan
dalam otot-otot fleksor pinggul sebelum ambulasi dicoba karena dibutuhkan
energi yang tinggi, waktu, dan sumber daya keuangan yang terkait dengan
pelatihan gaya berjalan. Sebagian besar pasien dengan cedera tingkat tinggi
memilih mobilitas kursi roda sebagai metode penggerak pilihan mereka setelah
mencoba ambulasi dengan orthosis dan alat bantu.
Benefits of Standing and Walking
Meskipun ambulasi fungsional mungkin tidak memungkinkan untuk
semua pasien dengan SCI, terapi berdiri telah mendokumentasikan manfaat.
Berdiri mencegah perkembangan osteoporosis dan juga membantu pasien
mengurangi risiko kandung kemih dan batu ginjal. Selain itu, peningkatan
sirkulasi, aktivitas refleks, pencernaan, spasme otot, dan tingkat kelelahan telah
dicatat pada individu yang mampu berpartisipasi dalam program berdiri.
Pedoman telah ditetapkan mengenai penilaian kemungkinan pasien untuk
berhasil dengan ambulasi. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu sebagai
berikut:
(1) motivasi pasien untuk berjalan dan melanjutkan ambulasi setelah ia keluar dari
rehabilitasi (diberi kesempatan untuk mencoba ambulasi dengan orthosis, tugas
yang terlalu sulit untuk memutuskan latihan dan lebih suka tidak melanjutkan
pelatihan)
(2) berat dan bentuk tubuh pasien (semakin berat pasien, semakin sulit bagi pasien
untuk berjalan, dan pasien yang lebih tinggi biasanya merasa lebih tertantang
untuk berjalan dengan orthosis)
(3) ROM pasif yang ada di hip, knee, dan ankle (kontraktur hip, knee atau ankle
plantar fleksi membatasi kemampuan pasien untuk ambulasi dengan orthosis dan
kruk, pasien memerlukan sekitar 110o ROM pasif hamstring untuk dapat
mengenakan orthosis dan transfer dari lantai ketika jatuh)
(4) jumlah spastisitas (spastisitas ekstremitas bawah atau trunk dapat mempersulit
pemakaian orthosis)
(5) status kardiopulmoner pasien (pasien dengan fungsi paru yang lebih baik
memiliki waktu yang lebih mudah memenuhi kebutuhan energi berjalan)
(6) status sistem integumen.
Mengingat peluang untuk mencoba ambulasi dengan orthosis dan bantuan
dari PT atau PTA, beberapa pasien mungkin memutuskan itu adalah tugas yang
terlalu sulit dan memilih untuk tidak melanjutkan pelatihan. Semua faktor ini
harus dipertimbangkan oleh tim rehabilitasi ketika membahas ambulasi dengan
pasien.
Tergantung pada tingkat motorik pasien, berbagai jenis potensi ambulasi
telah dijelaskan. Literatur bervariasi pada tingkat motorik spesifik dan potential
untuk ambulasi. Untuk pasien dengan cedera T2 hingga T11, terapi berdiri atau
ambulasi mungkin dilakukan. Ini berarti bahwa pasien dapat berdiri atau ambulasi
di departemen terapi fisik dengan bantuan. Namun, ambulasi fungsional tidak
memungkinkan. Ambulator terapi membutuhkan bantuan untuk berpindah dari
duduk ke berdiri dan berjalan di permukaan yang rata. Pasien-pasien ini mencari
manfaat fisiologis dan terapeutik yang ditawarkannya. Pasien dengan cedera pada
tingkat T12 hingga L2 memiliki potensi untuk ambulator rumah tangga,
sedangkan pasien dengan persarafan di bawah L2 dapat mencapai ambulasi
komunitas fungsional.
Individu yang mencapai ambulasi rumah tangga atau komunitas dapat
berjalan di rumah mereka dengan orthosis dan alat bantu. Pasien pada tingkat ini
dapat mentransfer secara mandiri, untuk ambulasi pada tingkat tekstur permukaan
yang berbeda-beda. Energi untuk ambulasi pada pasien dengan cedera complete di
atas T12 berada di atas ambang anaerob dan tidak dapat dipertahankan untuk
waktu yang lama. Cerny dkk. (1980) melaporkan bahwa kecepatan berjalan untuk
pasien dengan paraplegia secara signifikan lebih lambat daripada berjalan normal,
dan gaya berjalan membutuhkan peningkatan konsumsi oksigen 50% dan
peningkatan denyut jantung 28%. Akibatnya, individu dengan paraplegia
menghentikan ambulasi dengan orthosis dan alat bantu mereka serta
menggunakan kursi roda mereka untuk negosiasi lingkungan.
Ambulasi komunitas dimungkinkan untuk pasien dengan cedera pada L3
atau lebih rendah. Pasien-pasien ini dapat berjalan dengan atau tanpa orthosis dan
alat bantu. Para ambulator komunitas dapat berunding secara mandiri dalam
komunitas dan dapat menegosiasikan semua hambatan di lingkungan.
Orthosis
Pasien dengan paraplegia yang memutuskan untuk mengikuti pelatihan
ambulasi memerlukan beberapa jenis ortosis. Gambar 12-14 menggambarkan
orthosis ekstremitas bawah yang paling umum diresepkan. Orthosis knee-ankle
mungkin direkomendasikan untuk pasien dengan paraplegia. Orthosis ini biasanya
memiliki manset paha dan sendi lutut eksternal dengan mekanisme penguncian
(kunci drop atau kunci jaminan adalah yang paling umum). Mereka memiliki
band betis dan sendi pergelangan kaki terkunci yang dapat disesuaikan. Scott-
Craig orthosis knee-ankle sering diresepkan untuk pasien dengan paraplegia.
Orthosis ini terdiri dari paha tunggal dan pita pretibial, kunci bail pada sendi lutut,
dan alas kaki yang dimodifikasi. Desain orthosis ini memberikan stabilitas
bawaan bagi pasien saat ia berdiri.
Gait Progression
Setelah pasien dapat mempertahankan titik keseimbangannya dan dapat
melakukan push-up untuk mengangkat kakinya dari lantai, ia siap memulai
ambulasi maju di bar paralel. Anda mungkin bertanya-tanya berapa lama biasanya
ini berlangsung. Biasanya, Anda ingin memajukan pasien untuk mengambil
beberapa langkah pada upaya berdiri dan ambulasi pertama. Namun, dokter harus
memantau respons pasien secara terbuka selama berdiri dan ambulasi. Efek
kelelahan, hipotensi ortostatik, penurunan daya tahan kardiopulmoner, dan
kecemasan yang terkait dengan berdiri dan berjalan dengan mudah dapat
membanjiri pasien. Untuk memantau respons fisiologis selama perawatan, dokter
harus mengambil nadi awal, pernapasan, dan pembacaan tekanan darah sebelum
pasien berdiri. Pemantauan cermat tanda-tanda vital selama bagian pelatihan gaya
berjalan dari sesi perawatan juga diindikasikan. Selain itu, pasien harus
diinstruksikan untuk segera melaporkan perasaan flight-headedness atau dizziness
immediately.
Asisten harus menginstruksikan pasien untuk menemukan titik
keseimbangannya sebelum bergerak maju dalam bar paralel. Kepala pasien harus
tegak, memandang ke depan. Pasien kemudian menekuk kepalanya, menekan
tangannya, menekan pundaknya, dan mengangkat ekstremitas bawahnya dari
lantai. Ketika pasien menekan pundaknya dan meluruskan sikunya, ia harus
menjulurkan kepala dan lehernya dan mengembalikannya ke posisi netral. Untuk
menjaga keseimbangannya, pasien harus segera menggerakkan tangan ke depan
dari pinggulnya. Jika pasien mempertahankan tangannya di tempat yang sama
setelah menyelesaikan lift, ia akan mencabut knife. Setelah kaki pasien melakukan
kontak dengan lantai, ia harus melemparkan pinggulnya ke depan untuk
beristirahat di ligamen Y. Jenis pola berjalan ini dikenal sebagai pola swing-to
karena pasien menggerakkan kakinya dengan jarak yang sama dengan tangannya.
Pasien harus mengulangi langkah-langkah yang baru saja dijelaskan sampai ia
berkembang ke ujung garis paralel. Pada titik ini, seseorang dapat menarik kursi
roda di belakang pasien, atau pasien dapat diminta melakukan quarter-turn. Jika
pasien tidak terlalu lelah, ia harus melanjutkan dan mempelajari teknik memutar.
Intervensi 12-27 menggambarkan posisi kepala dan trunk yang benar untuk
kegiatan pelatihan gaya berjalan.
Sitting
Sebelum beralih kembali ke duduk, pasien harus diinstruksikan dalam
teknik yang tepat. Kursi roda tidak harus ditarik ke belakang kaki pasien. Ingat,
pasien pindah dari berdiri ke duduk dengan orthosis ekstremitas bawah terkunci
dalam ekstensi. Untuk alasan ini, kursi harus setidaknya 12 inci dari pasien
sehingga pasien tepat duduk di kursi roda. Jika kursi terlalu dekat dengan pasien,
ia mungkin mendorong kursi ke belakang. Asisten harus meminta pasien menjaga
kedua tangannya pada bar paralel saat turun. Pada waktunya, pasien akan
diinstruksikan dengan metode lain untuk melakukan perpindahan dari duduk ke
berdiri dan dari berdiri ke duduk tanpa menggunakan bar paralel.
Backing Up
Pasien juga harus diinstruksikan untuk backing up. Ini penting ketika
pasien mulai menggunakan kruk pada permukaan yang rata dalam departemen
terapi fisik. Awalnya, backing up dapat dilakukan di bar paralel. Pasien
menundukkan kepalanya, menekan pundaknya, dan mengekstensikan sikunya.
Posisi ini menyebabkan pasien melakukan mini-jack knife dan memungkinkan
kaki pasien bergerak mundur. Pasien mengulangi urutan ini beberapa kali.
Progressing the Patient
Setelah pasien berlatih di bar paralel beberapa kali, sekarang saatnya untuk
berkembang menjadi ambulasi di luar itu. Dianjurkan untuk maju keluar dari bar
tanpa penundaan karena pasien dapat menjadi bergantung pada bar dan mungkin
merasa sulit untuk melakukan transisi ke ambulasi di lingkungan yang kurang
terlindungi. Untuk membantu dengan transisi ini, dokter dapat memilih untuk
memperkenalkan kruk Lofstrand (Kanada atau lengan bawah) sementara pasien
masih ambulasi di bar paralel. Kehati-hatian harus dilakukan ketika
mempraktikkan transisi masuk dan keluar dari kursi roda. Teknik-teknik ini paling
baik dilakukan dengan bagian belakang kursi roda diposisikan di sebelah dinding
untuk keamanan yang lebih besar. Selain itu, pasien harus memeriksa untuk
memastikan rem kursi roda terkunci.
Berdiri dari kursi roda jika pasien ingin mandiri dalam kegiatan ambulasi,
ia harus belajar untuk beralih dari duduk menjadi berdiri sendiri. Beberapa metode
yang mungkin untuk pasien. Metode pertama yang dijelaskan mungkin yang
paling mudah.
Langkah 1. Pasien meletakkan kursi roda di dinding dan mengunci rem.
Langkah 2. Pasien menempatkan kruknya di belakang kursi roda, untuk bersandar
pada pegangan dorong.
Langkah 3. Pasien bergerak ke tepi kursi rodanya. Pasien perlu menyelesaikan
push-up mini saat melakukan ini. Bergeser ke depan dapat menyebabkan
pergesekan pada kulit pasien.
Langkah 4. Dengan orthosis terkunci, pasien menyilangkan satu kaki dengan yang
lain.
Langkah 5. Pasien kemudian berputar di atas kaki tetap dan mendorong ke atas
untuk berdiri.
Langkah 6. Dengan berpegangan pada sandaran tangan kursi roda, pasien
mengamankan satu tongkat penopang, menempatkannya, dan kemudian menahan
tongkat penopang kedua.
Langkah 7. Setelah kruk berada di tempat, pasien mundur dari kursi roda,
mengambil dua atau tiga langkah mundur.
Intervensi 12-28 menunjukkan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mentransfer dari duduk ke berdiri dengan orthosis ekstremitas bawah dan kruk
Lofstrand. Cara alternatif menyelesaikan transfer ini adalah membuka kunci salah
satu orthosis dan berputar di atas ekstremitas bawah yang tidak terkunci. Teknik
ini bisa mengurangi stres pada sendi panggul daripada yang dijelaskan
sebelumnya. Pasien menyelesaikan transisi ke tegak dengan cara yang sama
seperti yang dicatat sebelumnya, kecuali bahwa pasien perlu mengunci sendi lutut
dari lutut yang ditekuk setelah posisi tegak dicapai. Pasien juga dapat
mengasumsikan berdiri dari kursi roda dengan mentransfer ke depan.
Langkah 1. Pasien bergerak maju ke tepi kursi.
Langkah 2. Dengan lengannya di kruk, pasien menempatkan kruk di lantai sedikit
di belakang roda depan.
Langkah 3. Pasien memfleksikan kepalanya dan menekan kruk, untuk mendorong
dirinya keluar dari kursi roda.
Langkah 4. Setelah berdiri, pasien harus dengan cepat ekstensikan kepala dan
trunknya, untuk mendapatkan kembali lordosis lumbal yang diperlukan untuk
stabilitas berdiri.
Langkah 5. Ekstremitas atas pasien tetap, sampai pasien merasa telah
mendapatkan kembali keseimbangannya. Kemudian ia dapat menggerakkan
lengan dan kruknya ke depan. Intervensi 12-29 menunjukkan seorang pasien
menyelesaikan kegiatan ini. Metode ini sulit bagi banyak pasien karena
memerlukan banyak kekuatan, keseimbangan, dan koordinasi.
Setelah pasien berdiri dan mendapatkan kembali keseimbangannya, ia
dapat mulai ambulasi menggunakan pola swing-through, seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Dokter menjaga pasien dari belakang, dengan satu tangan di gait belt
dan yang lainnya di bahu posterior pasien, seperti yang digambarkan pada
Gambar 12-15. Dokter harus berhati-hati untuk menghindari penerapkan isyarat
sentuhan berlebihan pada pasien. Menarik sabuk pengaman atau menghalangi
pergerakan trunk atas pasien, menyebabkan pasien mengalami gangguan
keseimbangan. Untuk mendapatkan kembali posisi duduk setelah berjalan, berikut
ini yang disarankan: Langkah 1. Awalnya, pasien menghadap kursi roda.
Langkah 2. Pasien menempatkan kruk di belakang kursi.
Langkah 3. Pasien membuka kunci salah satu sendi lutut dan berputar di atas lutut
itu untuk mengambil posisi duduk.
Pasien dapat kembali duduk menggunakan metode straight-back. Namun
teknik ini sulit, dan mungkin paling baik digunakan ketika orang kedua hadir
untuk membantu transisi, untuk menstabilkan kursi roda.
Intervention 12 – 28 Sit-to-Stand Transfer with Orthoses
Urutan untuk mentransfer dari duduk ke berdiri dengan orthosis ekstremitas bawah.
Intervention 12 – 29 Coming to Stand from the Wheelchair
A. Pasien memfleksikan kepala dan upper trunk.
B. Pasien menggunakan hubungan kepala-pinggul dan aksi otot dari latissimus dorsi dan trisep
untuk mendorong dirinya tegak.
C. Berdiri tegak.
GAMBAR 12 – 15 Pasien dengan cedera pada level T12 yang ambulasi dengan kruk dan orthosis
knee-ankle bilateral untuk keseimbangan dan perkembangan ekstremitas bawah.
Gait Training with Crutches
Ketika pasien memulai pelatihan ambulasi pada permukaan yang datar
dengan tongkat penyangga, dia sekali lagi perlu menemukan titik
keseimbangannya. Pasien harus mempertahankan tangannya ke depan dari
pinggulnya untuk mencegah jack knifing. Awalnya, dokter dapat memilih untuk
melakukan pola swing to gait dengan pasien. Dokter harus menjaga pasien dari
belakang dengan berpegangan pada belt gait dan berjalan seperlunya. Beberapa
dokter mungkin merasa lebih mudah untuk menjaga pasien dari sisi awalnya
dengan berpegangan pada belt gait berjalan dan menempatkan tangan lain di bahu
pasien (lihat Gambar 12-14). Isyarat verbal dan sentuhan mungkin diperlukan
untuk membantu pasien dengan posisi kepala dan postur hyperlordotic. Jika
pasien kehilangan keseimbangan dan mulai jack-knife, dokter akan mendorong
panggul pasien ke depan dan bahu kembali untuk melanjutkan postur
hiperekstensi. Karena pasien akan bergerak relatif cepat, dokter harus mengambil
langkah-langkah yang lebih besar. Ketika pasien menjadi lebih mahir, pasien
dapat memulai pola swing-through gait.
Falling. Semua pasien yang mencoba latihan gait dengan kruk juga harus
diinstruksikan dalam teknik jatuh yang tepat untuk menghindari cedera. Upaya
jatuh pertama harus diselesaikan secara terkendali. Anda ingin pasien jatuh di atas
tikar. Pasien diperintahkan untuk melepaskan kruknya dan melepaskan tangannya
dari genggaman kruk. Pasien kemudian mencapai ke tanah dan memfleksikan
sikunya untuk menghindari trauma pada wrist. Jika fasilitas memiliki crash mat
(tikar ini lebih tinggi dan lebih lembut), membuat pasien terjatuh ke dalamnya
adalah titik awal yang lebih mudah bagi pasien.
Getting Up from the Floor. Setelah pasien berlatih jatuh ke lantai, pasien
juga harus belajar cara bangun dari lantai. Langkah-langkah berikut harus
digunakan untuk membantu pasien dalam kegiatan ini.
PERHATIAN: Pemindahan ini harus dilakukan di dekat dinding sehingga pasien
memiliki sesuatu untuk bersandar saat ia dipindahkan ke posisi tegak.
Langkah 1. Pasien diinstruksikan untuk mengambil posisi tengkurap di lantai.
Langkah 2. Pasien memposisikan kruk dengan ujung mengarah ke kepala dan
tangan disebelah pinggul.
Langkah 3. Pasien mendorong ke posisi plantigrade. (Pasien memastikan bahwa
kedua orthosis terkunci sebelum mencoba manuver ini.)
Langkah 4. Pasien meraih salah satu kruknya dan meletakkan ujung kruknya di
lantai untuk membantu transisi ke posisi tegak. Tangan pasien ada di pegangan
kruk.
Langkah 5. Pasien menggunakan kruk di lantai sebagai titik stabilitas saat ia
meraih tongkat penopang lainnya dan menempatkannya di lengan bawahnya.
Langkah 6. Pasien membalikkan kruk yang berlawanan dan menempatkan manset
lengan bawah pada daerah sikunya.
Langkah 7. Pasien mendapatkan kembali keseimbangannya dengan kruk.
Intervensi 12-30 menggambarkan urutan ini.
DISCHARGE PLANNING
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, lama tinggal untuk rehabilitasi rawat
inap terus berkurang. Sebagai konsekuensinya, seseorang harus mulai
merencanakan pulang selama kunjungan pertama pasien ke terapi fisik. Semua
anggota tim rehabilitasi pasien, termasuk pasien, anggota keluarga, orang lain
yang signifikan, dan pengasuh, harus dimasukkan dalam proses. Upaya gabungan
dari semua individu ini membantu pasien membuat transisi yang sukses dari
rumah sakit ke rumah dan lingkungan kerja sebelumnya.
Proses perencanaan kepulangan idealnya mencakup sejumlah kegiatan
berbeda yang bertujuan untuk meningkatkan hasil fungsional pasien dan
memberikan transisi yang mudah dari fasilitas perawatan kesehatan ke rumah.
Kegiatan yang harus menjadi bagian dari proses perencanaan pemulangan
meliputi (1) konferensi perencanaan pemulangan
(2) trial home pass
(3) penilaian lingkungan rumah untuk memastikan aksesibilitas
(4) pengembangan rencana kejuruan
(5) pengadaan semua peralatan dan persediaan adaptif yang diperlukan
(6) pelatihan pengemudi (jika perlu)
(7) edukasi mengenai ketersediaan sumber daya masyarakat
(8) rekomendasi mengenai layanan rehabilitasi tambahan
Procurement of Equipment
Diskusi terperinci tentang peralatan pengamanan yang dibutuhkan pasien
sebelum keluar dari rumah sakit berada di luar cakupan teks ini. Beberapa item
umum yang harus dipertimbangkan disajikan di sini. Terapis okupasi dan tim
rehabilitasi harus dikonsultasikan untuk informasi yang lebih spesifik. Barang-
barang yang sering dibutuhkan oleh pasien pada saat pemulangan meliputi:
1. Wheelchair: Jenis dan persyaratan spesifik ditentukan oleh tim rehabilitasi.
Manfaat daya versus kursi roda manual harus dipertimbangkan. Biaya dan
penggantian mungkin menjadi perhatian bagi beberapa pasien.
2. Wheelchair cushion to assist with pressure relief: Meskipun perangkat
penghilang tekanan bermanfaat, mereka tidak menggantikan aktivitas pelepasan
tekanan atau pengalihan berat badan yang dilakukan secara teratur. Memilih
bantal kursi roda yang tepat tergantung pada kemampuan pasien untuk
memindahkan dan mematikan bantal dan tingkat dukungan yang dibutuhkan.
3. Hospital or pressure-relieving bed: Pasien dengan tetraplegia tinggi yang harus
pulang ke rumah mungkin memerlukan tempat tidur rumah sakit, tempat tidur
khusus lainnya, atau kasur udara.
4. ADLs adaptive equipment: Contoh-contoh item yang mungkin diperlukan
termasuk tongkat rias untuk membantu mengenakan pakaian, loop yang melekat
pada celana untuk membantu mengenakannya, kancing dan kait ritsleting untuk
membantu mengamankan barang-barang, tali Velcro dan tali sepatu elastis untuk
tingkatkan kemudahan mengenakan sepatu, sikat mandi, perlengkapan mandi
genggam, dan bangku bak mandi. Peralatan built-up, sikat gigi, dan gagang
mungkin diperlukan untuk pasien dengan tetraplegia. Penyangga pergelangan
tangan punggung atau manset universal mungkin diperlukan untuk membantu
pasien dalam aktivitas makan.
5. Environmental control units: Unit kontrol lingkungan yang dihubungkan
dengan komputer pribadi, telepon, dan peralatan di dalam rumah mungkin
disarankan. Sistem elektronik ini memungkinkan pasien dengan tetraplegia
mengendalikan lingkungan. Dengan mengaktifkan unit kontrol lingkungan, pasien
dapat menyalakan lampu, televisi, atau peralatan lain di dalam rumah. Rujukan ke
insinyur rehabilitasi atau penyedia lain yang memiliki keahlian di bidang ini.
KATA PENGANTAR
PENYAKIT PARKINSON
Penyakit Parkinson (PD) pertama kali dijelaskan pada tahun 1817 oleh
James Parkinson dalam esai tentang palsy yang bergetar. Itu adalah kronis,
kondisi neurologis progresif yang memengaruhi sistem motorik. Triad klasik
bradykinesia (kelambatan gerakan), kaku, dan tremor adalah indikasi PD.
Keempat gejala utamanya adalah instabilitas postural. Gejala-gejala ini terjadi
karena adanya penurunan dopamin, suatu neurotransmitter, disimpan di substantia
nigra. Substansi nigra adalah komponen dari basal ganglia (lihat Bab 2 dan
Gambar 2-6). Basal ganglia utamanya bertanggung jawab atas pengaturan postur
dan gerakan. Lesi di basal ganglia lebih mengubah karakter gerakan dibandingkan
menghasilkan kelemahan atau paralisis (Fuller et al., 2003).
Penyakit Parkinson adalah salah satu dari tiga yang paling umum
gangguan gerak di Amerika Serikat (Shannon, 2003). PD menyumbang 85 persen
dari kasus Parkinsonisme. Deskripsi dan diskusi lebih lanjut akan dikelompokkan
ke primer atau PD idiopatik dengan hanya sumber minimal ke jenis
parkinsonisme lainnya. Insidensi adalah 20,5 per 100.000 di Amerika Serikat dan
5 hingga 24 per 100.000 di seluruh dunia. Insiden itu meningkat seiring dengan
bertambahnya usia bayi boomer karena PD menjadi lebih umum seiring
bertambahnya usia. Pada tahun 2020 Diperkirakan akan ada lebih dari 1,5 juta
orang hidup dengan PD di Amerika Serikat (Fuller et al., 2003). Onset rata- rata
terjadi pada usia 62,4 tahun dengan sebagian besar kasus terjadi antara 50 dan 79
tahun; 10 persen dari kasus terjadi sebelum usia 40.
GAMBARAN KLINIS
Kekakuan terjadi pada tunk dan ekstremitas. Awal tanda masalah ini
terjadi ketika individu kehilangan kemampuan mengayunkan lengan saat berjalan.
Kekakuan adalah resistensi untuk gerakan pasif terlepas dari kecepatan gerakan
ment. Dua bentuk kekakuan, lead-pipe dan cogwheel, bisa ditemukan pada
seseorang dengan PD. Dalam kekakuan lead-pipe, ada resistensi konstan terhadap
gerakan ekstremitas pasif dalam segala arah tanpa memandang kecepatan.
Kekakuan cogwheel,adalah hasil dari kombinasi kekakuan lead-pipe dan tremor.
Penyebab kekakuan tangkapan dan tremor memungkinkan pelepasan. Jenis ini
kekakuan menghasilkan respons dendeng, seperti ratchet terhadap gerakan pasif
yang ditandai dengan tegang dan lepas. Kekakuan dari trunk merusak pernapasan
dan phonation dengan membatasi gerakan dinding dada. Kekakuan dapat
meningkatkan pengeluaran energi sepanjang hari, dan kehadirannya mungkin
terkait dengan kelelahan pasca latihan dialami oleh pasien ini.
Tremor sering merupakan tanda pertama dari PD. Karena itu nyata saat
istirahat dan menghilang pada gerakan volunteer, ini diklasifikasikan sebagai
tremor istirahat sebagai lawan dari niat (pada aksi) tremor. Getaran tangan
memiliki irama teratur (4 hingga 7 denyut per detik) dan digambarkan sebagai "pil
bergulir." Tremor juga dapat terjadi di daerah mulut atau di dalam otot-otot
postural pada kepala, leher, dan trunk. Tremor mungkin dimulai secara unilateral
dan berkembang dari waktu ke waktu ke empat anggota gerak dan leher. Tremor
jarang mengganggu ADL.
Gambaran khas lain dari PD termasuk postur yang fleksi, masked face,
dysphagia, gaya berjalan yang berlebihan, episode beku, dan kelelahan. Defisit
postural termasuk fleksi kepala, leher, dan trunk, yang menciptakan perpindahan
ke depan pusat gravitasi (Gbr. 13-1). Namun, berlebihan fleksi di pinggul dan
lutut dapat membantu membawa berat badan lebih posterior. Seiring waktu,
perubahan postur tubuh ini menjadi tetap karena kekakuan pada trunk dan telah
digambarkan sebagai dystonia fleksi. Kehilangan ekstensi trunk terjadi pada awal
penyakit (Bridgewater dan Sharpe, 1998). Wajah menjadi kaku dan menunjukkan
sedikit atau tanpa ekspresi wajah. Struktur oral kehilangan kemampuan mereka
untuk bergerak dan menjadi kaku, menelan menjadi semakin sulit, menyebabkan
kekhawatiran tentang asupan gizi orang tersebut.
Jalan seseorang dengan PD sedang menyeret, diselingi oleh langkah-
langkah pendek dan peningkatan progresif dalam kecepatan seolah berusaha
mengejar ketinggalan. Ini disebut festination. Jika festination terjadi ketika
berjalan maju, itu disebut sebagai propulsion; jika festination terjadi ketika
berjalan mundur, itu disebut retropulsion. Pembekuan terjadi ketika orang
tersebut dalam postur stuck. Ini biasanya terjadi saat berjalan dan dapat dipicu
oleh situasi lingkungan seperti pintu atau perubahan permukaan lantai. Episode
beku dapat terjadi kapan saja, seperti saat membuat gerakan lengan, berbicara,
atau berkedip. Festination gait, disfungsi posturak, dan pembekuan adalah tiga
penyebab ketidakstabilan postural terlihat pada pasien dengan PD.
KELELAHAN
JALAN
JATUH
Jatuh adalah masalah umum pada orang dengan PD. Schrag et ai. (2002)
menemukan bahwa 64 persen berbasis komunitas mereka subyek dengan PD telah
mengalami jatuh dengan ketidakstabilan postural. Seorang yang tua tinggal di
komunitas dengan PD dua kali lipat kemungkinan akan mengalami kejatuhan
seperti halnya orang yang tua tinggal di komunitas tanpa PD (Wood et al., 2002).
Selain itu, penelitian terakhir menemukan bahwa jatuh sebelumnya, durasi
penyakit, demensia, dan hilangnya arm swing adalah prediktor jatuh. Oleh karena
itu, orang dengan PD yang telah jatuh sebelumnya lebih mungkin jatuh lagi, dan
individu dengan demensia atau kehilangan arm swing lebih cenderung jatuh.
Semakin lama seseorang menderita PD, semakin besar risiko jatuh.
MANIFESTASI
TINGKATAN
Klasifikasi Disabilitas Hoehn dan Yahr (Tabel 13-1) digunakan untuk tahap
keparahan keterlibatan pada PD. Tahap I menunjukkan penyakit minimal dan
Tahap V menunjukkan berada di tempat tidur atau menggunakan kursi roda
sepanjang waktu. Secara klinis, seseorang dengan PD dapat hadir dimulai dari
jinak, progresif, atau ganas. Dengan perjalanan klinis yang jinak, orang tersebut
tetap berada pada keduanya tahap I atau II empat tahun setelah diagnosis. Pada
fase progresif adalah terlihat pada individu yang memiliki progresi variabel,
sementara saat ganas menunjukkan bahwa penyakit orang tersebut berkembang ke
Tahap II atau III dalam waktu satu tahun setelah diagnosis. Rata-rata pasien
menunjukkan perkembangan penyakit yang lambat dan bertahap selama periode 5
hingga 30 tahun. Karena itu, harapan hidup seseorang-dengan PD sedikit lebih
pendek daripada seseorang tanpa PD pada usia yang sama (Weiner et aI., 2001).
DIAGNOSIS
Tidak ada tes diagnostik untuk PD, oleh karena itu diagnosis berdasarkan
presentasi klinis dari tanda-tanda, gejala dan riwayat. Kehadiran dua dari empat
gambaran utama dan eksklusi dari sindrom Parkinson-plus biasanya digunakan
untuk membuat diagnosis (O'Sullivan, 2001a). Sindrom Parkinson-plus
melakukannya biasanya tidak menanggapi obat anti-Parkinson. Neuroimaging dan
tes lab biasanya normal kecuali ada adalah morbiditas yang hidup berdampingan.
MANAGEMEN MEDIS
MANAJEMEN OPERASI
Pasien mungkin hadir dalam tiga kategori umum: dominan tremor, bradykinesia /
akinesia, dan kekakuan / ketidakstabilan postur tubuh / kesulitan berjalan. Sasaran
bisa terkait dengan jenis presentasi pada pemeriksaan, tetapi ada banyak tumpang
tindih. Terapi fisik bermanfaat tambahan pengobatan untuk orang dengan PD (de
Goede et aI., 2001; Melnick, 200 1; Morris, 2000). Tujuan primer terapi fisik
adalah untuk memaksimalkan fungsi dalam menghadapi patologi yang
berkembang. Karena itu, fokusnya harus pada awal intervensi. Gait hypokinesia
atau lambat hampir memengaruhi semua orang dengan PD. Stride length terus
memendek ketika gangguan berkembang. Karena itu ajarkan strategi pasien untuk
bergerak lebih mudah adalah yang paling penting (Morris et aI., 1998).
Tidak ada pedoman pasti tentang penggunaan alat bantu pada orang
dengan kesulitan berjalan sekunder pada PD (Melnick, 2001). Fisioterapis akan
menentukan efektivitas penggunaan alat bantu. Penggunaan tongkat atau alat
bantu jalan akan tergantung pada adanya tingkat koordinasi di ekstremitas atas
dan bawah. Rolling wheeled walker dengan rem pushdown dapat bermanfaat bagi
sebagian orang, sementara walker menghadap terbalik dapat membantu orang
yang kehilangan keseimbangan dalam arah mundur. Terlepas dari perangkat, itu
harus disesuaikan untuk mempromosikan ekstensi trunk dan bukan fleksi. Tidak
ada satu perangkat yang akan benar untuk semua orang, juga tidak semua orang
akan mendapat manfaat dari menggunakan semua perangkat waktu.
INTERVENSI POSTURAL
Karena ekstensi trunk dan rotasi hilang di awal tahun proses penyakit, penting
untuk menekankan latihan untuk memperkuat ekstensor postural segera setelah
diagnosis (Bridgewater dan Sharpe, 1998). Selain itu, latihan peregangan untuk
tight pectoral ditunjukkan jika otot-otot ini dipersingkat sehingga mencegah
ekstensi thoracic trunk. Peregangan heel cord diindikasikan untuk
mempertahankan plantigrade kaki dan perpindahan berat badan normal selama
berjalan. Latihan rotasi trunk dan anggota gerak seperti yang digambarkan dalam
Intervensi 13-1 dan 13-2 secara rutin direkomendasikan (Turnbull, 1992). Latihan
rotasi juga telah digunakan untuk mengurangi insiden pembekuan dalam jumlah
kecil pada kelompok pasien dengan PD stadium lanjut (Van Vaerenbergh et aI.,
2003). Inisiasi ritmis, teknik PNF, bisa digunakan untuk membantu pasien
memulai gerakan atau meningkatkan ROM melalui gerakan yang terjadi (lihat
Bab 9). Teknik ini sangat membantu ketika pasien melakukan pola fungsional
gerakan seperti rolling, datang ke duduk, atau datang untuk berdiri.
Teknik relaksasi digunakan untuk mengobati kekakuan dan kelelahan
(Melnick, 2001). Lembut, guncangan lambat dari trunk dan rotasi ekstremitas
dapat mengurangi kekakuan. Ini teknik yang paling baik digunakan saat orang
tersebut duduk dan sejak dalam posisi terlentang, kekakuan dapat meningkat.
Rotasi ritmis juga harus dimulai secara proksimal dan kemudian diaplikasikan
secara distal karena otot proksimal seringkali lebih kaku daripada yang distal.
Setelah penurunan kekakuan, gerakan sering terjadi lebih mudah dan lebih tidak
melelahkan. Gerakan besar khususnya membantu dan perlu mencakup seluruh
rentang dan harus menekankan pada ekstensi. Gerakan simetris bilateral lebih
mudah daripada reciprocal. Pasien kemudian dapat berkembang ke penggunaan
pola gerakan diagonal seperti memotong dan mengangkat (lihat Bab 9).
Kelelahan adalah penentu penting dari fungsi fisik pada orang dengan PD
(Garber dan Friedman, 2003). Kelelahan dapat menjadi penyebab atau akibat dari
ketidakaktifan. Karena itu penting untuk memulai pengkondisian aerobik segera
setelah diagnosis dari PD dibuat. Semakin besar tingkat kelelahan, semakin
sedikit seseorang dengan PD berpartisipasi dalam kegiatan waktu luang dan
bergerak sepanjang hari. Selain itu, penderita PD menunjukkan penurunan
aktivitas yang lebih besar dibandingkan teman sebaya (Fertl et al., 1993). Namun,
Canning dan rekannya percaya bahwa dengan latihan aerobik yang teratur,
penderita ringan hingga sedang PD memiliki potensi untuk mempertahankan
kapasitas latihan normal (Canning et al., 1997). Oleh karena itu, memasukkan
elemen aerobik menjadi intervensi sangat kuat disarankan (Morris, 2000; Dean
dan Frownfelter, 1996). Tidak hanya latihan aerobik yang memberikan manfaat
muskuloskeletal, serta dapat menjaga sekresi jalan napas mobile sambil
memaksimalkan ventilasi.
Urutan latihan rotasi dalam posisi terlentang dapat digunakan untuk meningkatkan ROM leher dan trunk. Setiap kombinasi gerakan
dapat digunakan.
A. Kepala diputar dari sisi ke sisilain dalam ROM yang tersedia sementara ekstremitas bawah diputar dari sisi ke sisi arah
sebaliknya
B. Ekstremitas atas diposisikan dalam 45 derajat dengan abduksi shoulder 90 derajat fleksi siku. Satu bahu diputar secara eksternal
sementara bahu lainnya diputar secara internal. Dari posisi awal ini, bahu perlahan diputar kembali dan seterusnya dari posisi yang
dirotasi secara internal ke eksternal.
C Latihan lanjutan: Kepala, bahu, dan ekstremitas bawah diputar secara simultan dari satu posisi ke posisi lain. Kepala berputar
berlawanan dengan hipmemberikan counter rotasi pada trunk. Ekstremitas atas pada sisi wajah secara eksternal diputar sementara
lengan sisi tengkorak diputar secara internal.
Intervensi 13-2 Aktivitas Rotasi dalam Posisi Side lying
Berbaring side lying juga merupakan posisi yang baik untuk mendapatkan peregangan trunk. Dalam posisi side lying,
toraks diputar perlahan ke depan dan ke belakang relatif terhadap posisi panggul sementara ekstremitas atas protraksi dan
retraksi terhadap toraks.
A. Teruskan tampilan gerakan ini.
B. Tampilan posterior.
Latihan lanjutan: Pasien rotasi panggul ke belakang saat toraks diputar ke depan. Pasien kemudian memutar panggul ke
depan dan toraks diputar ke belakang. Dua kombinasi ini menghasilkan counter rotasi trunk.
STRATEGI LATIHAN
Task Strategi
Berjalan Instruksikan berjalan dengan long step
Swing arm
Tempatkkan garis di ruang lantai yang
sesuai dengan panjang step sesuai
dengan usia dan ketinggian seseorang
Berbalik Gunakan latihan mental sebelum
Berdiri dan duduk bergerak.Gunakan guncangan lembut
pada back dan sebagainya sebelum
bergerak. Pastiken mampu condong ke
depan untuk mendapatkan pembebanan
pada kaki.
Berbalik dan bangun dari tempat tidur Gunakan lampu malam. Gunakan
bedcover yang beratnya ringan.
Gunakan latihan mental sebelum
bergerak. Gunakan tanda verbal untuk
memulai tiap bagian dari latihan.
Mencapai, menggenggam, Ltihan mental sebelum mulai
memanipulasi bergerak.Gunakan objek untuk tanda
benda, dan tulisan visual. Pembagian tugas menjadi
beberapa konponen. Gunakan tanda
verbal untuk memulai tiap bagian dari
latihan. Cegah distraksi atau tugas
sekunder dalam waktu yang sama.
MULTIPLE SCLEROSIS
Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit kronis yang melemahkan yang dihasilkan
dari demielinasi sistem saraf pusat. Ini adalah penyakit yang ditandai dengan
awitan yang biasa terjadi pada dewasa muda antara usia 20 dan 40 tahun. Wanita
memiliki insiden dua kali lebih tinggi daripada pria. Penyakit ini dinamai karena
plak sklerotik yang terbentuk di seluruh otak dan sumsum tulang belakang.
Charcot Triad dari tremor yang ada, scanning speech, dan nistagmus
dideskripsikan pada awal tahun 1869. Saat ini masalah visual seperti neuritis optik
sering menjadi bagian dari kejadian awal (eksaserbasi). Presentasi gejala namun,
tidak selalu konsisten dalam diri seseorang atau dari satu serangan ke serangan
lainnya. Sebelum ketersediaan magnetic resonance imaging (MRI), lebih sulit
untuk mendiagnosis pasien dengan MS karena orang tersebut mungkin hanya
memiliki satu gejala, atau gejalanya ringan atau timbul setelah beberapa waktu.
Sementara MS bukan salah satu dari tiga jenis gangguan pergerakan paling
umum di Amerika Serikat, MS tidak mempengaruhi lebih dari seperempat juta
orang (Shannon, 2003). Kecepatan yang lebih tinggi di Amerika Serikat, Kanada,
dan Eropa Utara mungkin karena orang-orang dari warisan Eropa utara lebih
mungkin terpengaruh daripada kelompok lain. MS memang memiliki distribusi di
seluruh dunia, tetapi kejadiannya sangat rendah di Asia, Eskimo, dan Amerika
Utara dan Selatan Indian (Shannon, 2003). Lebih banyak kasus MS ditemukan di
iklim sedang dengan kasus lebih sedikit lebih dekat ke khatulistiwa.
Saat ini, teori patogenesis yang paling diterima adalah itu beberapa pemicu
lingkungan, mungkin virus, menyebabkan serangan autoimun yang tertunda pada
orang yang rentan secara genetik (Herndon, 1994). Bercak demielinasi terjadi di
white matter otak dan sumsum tulang belakang. (Karena myelin sebagian terdiri
dari lemak, area sistem saraf dengan konsentrasi tinggi itu tampak putih.) Di CNS,
myelin diproduksi oleh oligodendrocytes. Penghancuran dari sel-sel ini mencegah
remielinasi akson, meninggalkannya tanpa perlindungan dan rentan terhadap
kemungkinan kerusakan. Inflamasi menyertai kehancuran selubung myelin dan
dapat menyebabkan kerusakan akson dan pembentukan plak. Plak digantikan oleh
jaringan parut yang diproduksi oleh sel glial. Hal ini menghasilkan degenerasi
akson yang terperangkap (Fitzgerald dan Folan-Curran, 2002).
Sel glial merupakan sistem jaringan ikat saraf. Karena respon sistem
kekebalan di otak pasien dengan MS lebih kuat dari biasanya,ini berperan dalam
pembentukan plak. Plak adalah bagian dari lesi akut atau kronis yang mungkin
terlihat pada MRI. Area dari sistem saraf yang lebih mungkin terlibat termasuk
saraf optik, white matter periventrikular, traktus kortikospinal, kolom posterior,
dan cerebellar penducles.
GEJALA KLINIS
Kelelahan adalah masalah utama pada orang dengan MS. Ini gejala yang paling
sering dilaporkan, sedikit kesulitan berjalan di depan seperti yang dikutip dalam
satu studi dari hampir 700 pasien dengan MS (Aronson et al., 1996). Sementara
kelelahan adalah gejala utama penyakit, hubungannya dengan tingkat keparahan
penyakit masih lemah. Dengan kata lain, seseorang tidak harus memiliki kasus
penyakit yang parah menjadi sangat lelah. Padahal, kelelahan itu sering tidak
proporsional dengan tingkat penyakit. Meskipun satu dekade penelitian,
patofisiologis yang mendasarinya proses kelelahan pada MS tidak jelas (Multiple
Sclerosis Council, 1998). Tidak ada laboratorium atau fisiologis penanda
kelelahan MS. Namun, fakta bahwa kelelahan pada MS diperparah oleh panas
yang membedakannya dari kelelahan terlihat di individu yang sehat atau mereka
yang memiliki penyakit neurologis yang progresif lainnya. Fluktuasi suhu
sesedikit 0,18 derajat F hingga 4,14 derajat F telah terbukti memperburuk MS
gejala (Nelson et aI., 1958).
MASALAH KOGNITIF
Setengah dari pasien dengan MS akan mengalami beberapa derajat defisit kognitif
(O'Sullivan, 200lb). Kisaran defisit ini dari ringan ke sedang dalam tingkat
keparahan dan mungkin melibatkan pemecahan masalah, memori jangka pendek,
persepsi visual-spasial, dan penalaran konseptual. Beruntung, hanya 10 persen
pasien memiliki masalah yang cukup parah hingga mengganggu ADL (O'Sullivan,
2001b). Sementara individu dengan MS sering mengasosiasikan tingkat kelelahan
yang lebih tinggi dengan kinerja kognitif yang lebih buruk, sebuah studi baru-baru
ini menunjukkan bahwa tingkat kelelahan tidak memengaruhi kinerja kognitif
(Parmenter et aI., 2003). Lesi dalam lobus frontal dapat memengaruhi fungsi otak
dalam eksekusi seperti penilaian dan penalaran, membuat pasien tidak fleksibel
secara kognitif. Kemunduran global kecerdasan atau demensia jarang terjadi tetapi
dapat terjadi jika penyakitnya progresif cepat daripada relaps-remitting.
Orang yang memiliki penyakit kronis lebih rentan depresi, dan individu
dengan MS mengalami lebih banyak serangan depresi daripada populasi umum
(Patten et aI., 2000; Berg et aI., 2000). Angka yang dilaporkan dalam kisaran studi
ini dari 14 menjadi 54 persen. Tingkat ketidakberdayaan yang lebih tinggi terkait
dengan lebih banyak kelelahan dan suasana hati yang depresi di penelitian terbaru
(van der Werf et aI., 2003). Tampak pengalaman kelelahan dan depresi dapat
dimediasi oleh faktor serupa. Selain itu, depresi berhubungan dengan stabilitas
emosional. Pasien dengan MS dapat menunjukkan labilitas emosional, menjadi
euforia satu menit dan menangis tak terkendali berikutnya.
DISFUNGSI AUTONOM
Masalah usus dan kandung kemih pada pasien dengan MS adalah indikasi
keterlibatan sistem saraf otonom. Kandung kemih dapat gagal mengosongkan
sepenuhnya mengarah ke retensi urin dan hal ini menjadi persiapan media kultur
yang sempurna untuk pertumbuhan bakteri. Kontrol refleks usus dan kandung
kemih dapat terganggu dan menyebabkan konstipasi atau tidak adekuat
pengosongan, frekuensi urin dan nokturia (frekuensi di malam). Hilangnya
kontrol usus dan kandung kemih mungkin juga terjadi disfungsi seksual pada
tahap akhir dari penyakit (Shannon, 2003). Beberapa obat digunakan untuk
mengobati ini masalah kandung kemih tercantum pada Tabel 13-2.
PERJALANAN PENYAKIT
DIAGNOSIS
Diagnosis MS terus didasarkan pada bukti klinis beberapa lesi di white matter
CNS, berbeda interval waktu (temporal), dan kejadian pada individu antara usia
10 dan 50 tahun. Cairan serebrospinal biasanya diperiksa keberadaannya jumlah
yang lebih tinggi dari gamma globulin dan protein mielin (meningkat selama
episode akut). Peningkatan gamma globulin adalah tidak spesifik untuk MS.
MANAJEMEN MEDIS
MANAJEMEN FISIOTERAPI
KELEMAHAN
Gejala neurologis MS yang paling umum adalah kelemahan, spastik, dan ataxia
(Benedetti et aI., 1999). Kelemahan dapat mengakibatkan lesi secara langsung
dari traktus kortikospinal atau cerebellum. Kelemahan juga berkembang menjadi
sekunder menjadi tidak aktif dan deconditioning umum. Karena itu, penguatan
adalah tujuan penting dari terapi fisik dan latihan harus dimulai lebih awal
sebelum gangguan sekunder berkembang (O'Sullivan, 2001b; Costello et aI.,
1996). Banyak jenis latihan dapat digunakan, tetapi hanya intensitas rendah
hingga sedang yang dapat ditoleransi. Diperlukan pengulangan yang sering untuk
mendapatkan efek latihan (O'Sullivan, 2001b). Karena kelelahan, keseimbangan
yang halus harus dicapai antara istirahat dan latihan. Latihan yang lebih singkat
dengan satu hingga lima menit waktu istirahat di antara latihan dapat
diindikasikan. Terlalu banyak bekerja dan terlalu panas harus dihindari.
SPASTISITAS
Rotasi trunk yang lebih rendah cukup efektif dalam mengurangi tonus
termasuk trunk dan otot proksimal pelvic girdle. Latihan bola digunakan dengan
pasien dalam posisi berbaring kait dimodifikasi (Intervensi 13-6). Bola
mendukung berat kaki, menjaga mereka dalam fleksi sebagai klinisi memandu
bola dan anggota gerak di kedua sisi menghasilkan rotasi trunk. Kegiatan rotasi
seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Intervensi 13-1 dan 13-2 baik
dilakukan. Seorang pasien juga dapat berlatih rotasi trunk ketika bergerak dari
posisi tangan dan lutut ke posisi duduk seperti yang terlihat dalam Intervensi 13-7.
Pasien mungkin perlu bantuan untuk mencapai posisi empat poin dan mungkin
perlu dijaga dan dipandu saat bergerak melalui rentang yang tersedia. Jika pasien
tidak bisa sampai ke sisi duduk, bantal atau wedge dapat digunakan untuk
memungkinkan pergerakan melalui rentang sebanyak mungkin mungkin. Posisi
tangan pasien dapat bervariasi. Tangan bisa menopang di permukaan atau di atas
bangku yang terangkat. Dalam kasus yang terakhir, pasien dapat bergerak dari
berlutut ke side sitting.
Intervensi 13-3 Aktivitas Stretching Statik dalam Supine
Terlentang peregangan statis heel cord dan hamstring menggunakan handuk:
A. Pasien berbaring di permukaan yang keras dalam posisi berbaring. Kemudian saat satu kaki ditekuk, kaki lainnya diangkat. Handuk
ditempatkan di sekitar kaki. Ujung bebas digenggam dan ditarik dengan lembut untuk meregangkan pergelangan kaki menjadi dorsofleksi.
Peregangan ditahan selama 30 hingga 60 detik. Ulangi pada kaki sisi lainnya
B. Untuk meregangkan hamstring, pasien perlahan-lahan meluruskan kaki yang terangkat sejauh mungkin dan menahan peregangan selama 30
hingga 60 detik. Peregangan diulangi pada kaki sisi lainnya.
C. Pasien berbaring di permukaan yang keras. Klinisi mengangkat satu kaki menjaga lutut lurus seperti kenaikan kaki lurus. Posisi akhir ditahan
selama 30 hingga 60 detik. Kaki lainnya dapat ditekuk atau lurus seperti yang digambarkan. Jika tarikan dirasakan di punggung bawah, pasien
harus melakukannya menekuk kaki untuk menghindari ketegangan lumbar. Klinisi dapat menggunakan memfasilitasi neuromuskuler
proprioseptif (PNF) teknik hold-relax dalam posisi ini untuk mendapatkan peningkatan ROM (lihat Bab 9 untuk penjelasan teknik).
Intervensi 13-4 Stretching Hamstring dalam Posisi Duduk
A.Pasien duduk dengan tumit satu kaki bertumpu pada bangku atau benda stabil lainnya. Trunk tetap tegak dan pasien membungkuk ke depan
sambil mempertahankan lordosis lumbar sebanyak mungkin. Pasien meraih dengan satu atau kedua tangan ke arah pergelangan kaki dari kaki
terangkat dan mencoba menjaga lutut selurus mungkin untuk memaksimalkan peregangan paha belakang. Peregangan ditahan selama 30 hingga 60
detik dan diulang beberapa kali. Peregangan ini kemudian diulangi dengan kaki lainnya. Saat meregangkan heel cord pada posisi ini, pasien
menggunakan handuk di sekitar kaki seperti pada Intervensi 13-3, A dan menarik kaki dengan lembut ke arah dorsofleksi sambil menjaga lutut
selurus mungkin.
B. Pasien duduk di low mat dengan satu kaki di lantai dan satu kaki di atas low mat. Trunk tetap tegak dan pasien condeong ke depan di hip untuk
memastikan bahwa peregangan terjadi di paha belakang dan bukan punggung bawah. Pasien dapat menjangkau dengan satu atau kedua tangan
menuju pergelangan kaki. Sekali lagi, heel cord dapat diregangkan dengan menggunakan handuk (seperti dalam Intervensi 13-3, A) pada posisi ini.
Peregangan ditahan selama 30 hingga 60 detik dan kemudian diulangi dengan kaki lainnya.
A. Pasien berbaring punggungnya di lantai dengan kaki ditopang oleh dinding. Hip harus sedekat mungkin dengan dinding
untuk mendapatkan stretch hamstring yang maksimal. Pasien mungkin perlu bantuan untuk masuk dan keluar dari posisi ini.
Pasien seharusnya tidak mengangkat pelvic atau melengkungkan punggungnya. Ketika pasien menggeser kakinya ke kedua
sisi, adduktor hip distretch. Tergantung pada kemampuan pasien, kaki dapat digerakkan satu per satu atau bersama-sama.
Kaki-kaki secara perlahan dipisahkan dan posisi stretch ditahan selama 30 hingga 60 detik.
B. Pasien berbaring punggungnya di lantai (lebih baik di pintu). Salah satu kaki pasien maju melewati pintu; lutu dapat ditekuk
seperti yang digambarkan atau lurus. Kaki yang akan diregangkan disandarkan melawan dinding atau frame pintu dengan
lutut lurus . Pasien membawa hip sedekat mungkin dengan dinding / frme pintu untuk mendapatkan stretch sebaik mungkin.
Intervensi 13-6 Rotasi Ritmik Lower Trunk
Pasien berbaring telentang di permukaan yang keras. Bola terapi digunakan untuk mendukung ekstremitas bawah. Bola harus cukup
besar untuk menopang kaki bagian bawah tetapi cukup kecil untuk menjaga hip dan lutut dalam posisi tertekuk. Teknik ini digunakan
sebagai persiapan untuk gerakan fungsional seperti roll dan datang untuk duduk.
A. Klinisi menempatkan lutut dan kaki bagian bawah pasien pada bola dan menggunakan kontak tangan manual pada bagian luar
lutut pasien.
B. Klinisi dengan lembut memutar ekstremitas bawah pasien yang didukung oleh bola ke satu sisi.
D. Kemudian klinisi dengan lembut memutar ekstremitas bawah pasien, yang masih didukung oleh bola, ke sisi lain. Rotasi trunk
akan terjadi dengan jumlah rotasi yang lebih besar.
Intervensi 13-7 Pergerakan Transisi dari Empat Point ke Side Sitting
Pergerakan transisi seperti dari empat titik ke sisi duduk dapat digunakan untuk melatih rotasi trunk. Klinisi menempatkan tangan
memberikan isyarat manual untuk memindahkan ke sisi duduk atau kembali ke empat titik.
A. Pasien mulai dengan tangan dan lutut atau posisi empat titik. Klinisi menggunakan kontak tangan manual pada sisi hip untuk
memandu pasien.
B. Klinisi memandu pasien untuk memutar secara diagonal mundur dari empat poin ke posisi side sitting
C. Klinisi kemudian memandu pasien kembali dari side sitting ke posisi empat titik. Gerakannya bisa dibantu pada awalnya dan
kemudian ditahan.
ATAXIA
Kontrol postur statis atau stabilitas postural sulit dilakukan pasien dengan MS
menunjukkan ataxsia. Postur yang memungkinkan orang untuk memuat trunk dan
ekstremitas lain yang tidak terlibat gerakan sangat membantu dalam memberikan
stabilitas. Anggota gerak unilateral memegang di rentang tengah, menahan beban
terutama di postur antigravitasi dengan pergeseran berat badan yang terkontrol
lambat dapat bermanfaat. Urutan perkembangan, terutama perkembangan prone,
dapat memberikan banyak ide perawatan. Batas dari stabilitas individu ini bisa
sangat berbahaya. Teknik PNF seperti isometrik bolak-balik, stabilisasi ritmik,
dan slow reversal hold dalam kisaran yang terus menurun, mungkin membantu
meningkatkan stabilitas dalam perkembangan postur.
Transisi gerakan fungsional sangat penting untuk fokus pada untuk pasien
dengan MS untuk memastikan keamanan. Haruskah pasien memiliki ekstremitas
atas yang load saat bergerak dari duduk ke berdiri untuk memberikan stabilitas
lebih ke atas trunk? Apakah orang tersebut mencapai lebih lancar jika tidak
menjangkau lengan berada di weight bearing (load)? Apakah orangnya memiliki
kontrol lebih jauh jika siku load? Bisakah orangnya mendapat manfaat dari
penggunaan beban di sekitar pinggang atau trunk? Weight belt dan rompi yang
tersedia dapat meningkat kesadaran proprioseptif dan meningkatkan stabilitas
dalam duduk, berdiri, dan berjalan. Bobot distal ringan telah digunakan untuk
meningkatkan koordinasi ekstremitas atas selama mencapai dan dari ekstremitas
bawah selama berjalan. Sementara bobot seperti itu dapat memberikan
peningkatan kesadaran, mereka juga dapat menghasilkan fenomena rebound saat
dihapus. Gerakan dismetrik (overshooting) mungkin tampak memburuk setelah
bobot dihilangkan sehingga kehati-hatian harus digunakan ketika memutuskan
untuk memberatkan anggota badan secara distal. Menggunakan paling sedikit
jumlah berat untuk mencapai efek dan pembebanan yang diinginkan kerangka
aksial (trunk) daripada ekstremitas lebih baik. Theraband melilit anggota gerak
dapat menyediakan resisten terhadap gerakan di kedua arah, seperti mencapai
keluar dan mengembalikan lengan ke pangkuan. Tentu saja dinilai resisten manual
dapat melakukan hal yang sama, tetapi membutuhkan asisten atau pengasuh yang
tersedia kapan saja orang tersebut ingin mencapai, yang tidak sesuai praktik.
Opsi mobilitas banyak dan beragam. Untuk orang dengan ataksia, alat
bantu weight walker mungkin merupakan pilihan terbaik yang bisa dilakukan
mencapai stabilitas dan mobilitas. Alat bantu jalan roda dengan rem tangan dan
kursi dapat menyediakan untuk periode istirahat yang sering. Scooter bermotor
atau bentuk mobilitas tenaga lainnya dapat diindikasikan ketika kelelahan adalah
masalah utama atau tremor dan kelemahan membuat penggerak kursi roda standar
menjadi sulit. Kursi roda harus ditentukan menggunakan pedoman tempat duduk
khas dengan sabuk pengaman untuk keselamatan. Sebuah bantal seharusnya selalu
digunakan untuk memberikan perlindungan ekstra dari tekanan ketika seseorang
menjadi tergantung pada kursi roda. Menggunakan sebuah skuter roda tiga
mungkin memiliki stigma sosial lebih sedikit daripada menggunakan kursi roda.
Ada juga banyak jenis opsi orthotic. Mungkin orthosis paling umum yang
digunakan oleh seseorang dengan MS adalah suatu ankle foot orthosis (AFO).
Indikasi untuk penggunaan AFO termasuk hemat energi, meningkatkan foot/toe
clearance, menyediakan stabilitas pergelangan kaki yang lebih besar,
mengendalikan hiperekstensi lutut,dan meningkatkan pola gait keseluruhan.
Pedoman untuk penggunaan AFO dapat ditemukan pada Tabel 13-6. Rehabilitasi
Tim yang terdiri dari fisioterapi dan orthotist akan membuat rekomendasi akhir.
Rocker clogs juga ditemukan membantu dalam mengakomodasi kehilangan
mobilitas pergelangan kaki (Perry et aI., 1981). Reciprocal gait orthosis (RGO),
tipe sejenis ortosis pinggul-lutut-ankle-foot (HKAFO), juga telah dilaporkan
untuk digunakan dengan pasien MS.
KEKHAWATIRAN TAMBAHAN
STRATEGI LATIHAN
Latihan adalah bagian penting dari intervensi terapi fisik untuk seseorang dengan
MS. Latihan yang seimbang dengan istirahat bisa meningkatkan kualitas
kehidupan seseorang berurusan dengan penyakit kronis. Sementara gejalanya
bervariasi tergantung pada sisi dalam sistem saraf yang terlibat, kelelahan adalah
masalah menjalar. Apakah kelelahan itu berasal dari stres atau sedang terkait
panas, dapat menghasilkan imobilitas. Imobilitas terlalu cepat menjadi bagian dari
siklus disuse and deconditioning. Oleh karena itu, latihan teratur sangat penting
untuk menjaga fungsi pasien dalam kondisi ini.
GBS jarang terjadi dengan kejadian 1 per 100.000 orang. Kasus ini terjadi pada
semua kelompok umur, termasuk anak-anak dan orang dewasa. Mayoritas orang
yang mengalami GBS mengalami penyakit pernapasan atau gastrointestinal
sebelum timbulnya kelemahan dan perubahan sensorik. Penyebab umum
gastroenteritis, Campylobacter jejuni, adalah agen infeksi yang paling sering
(Hahn, 1998). Meskipun virus tertentu, bakteri, operasi, dan vaksinasi telah
dikaitkan dengan GBS, tidak ada seorangpun yang mengetahui agen penyebab. Ini
adalah reaktif ,penyakit autoimun terbatas sendiri dengan prognosis keseluruhan
yang baik.
Patofisiologi
GAMBARAN KLINIS
GBS ditandai dengan hilangnya fungsi motorik progresif yang simetris naik
dimulai secara distal dan progresif proksimal. Gangguan sensorik distal sering
hadir sebagai paresthesias (rasa terbakar, kesemutan) dari jari kaki atau
hypesthesias (sensitivitas abnormal untuk disentuh). Keterlibatan sensorik
bervariasi dan biasanya tidak signifikan seperti keterlibatan motor. Progresi
perubahan sensorik dan motorik terbatas hingga ekstremitas atau progresi dari
kelemahan yang memengaruhi impairment pada diaphragm dan saraf cranial.
Nyeri dilaporkan oleh pasien sebagai nyeri alamai pada otot (myalgia).
Nyeri bisa menjadi gejala awal dan membutuhkan intervensi terus-menerus.
Hypesthesias dilakukan dengan menggunakan bad sheet yang tidak nyaman.
Nyeri bisa sulit untuk dikelola dan ditambahkan pada ketakutan dan kecemasan
orang tersebut. Penyebab nyeri sering tidak jelas tetapi mungkin hasil dari
transmisi spontan dari saraf demyelinated (Sulton, 2002).
MANAJEMEN MEDIS
Manajemen medis andalan pasien dengan GBS adalah plasmapheresis atau infus
imunoglobulin. Dalam plasma-pheresis, darah dikeluarkan dari tubuh, sel-sel
darah merah dan putih dipisahkan dari plasma, dan hanya sel darah dikembalikan
ke pasien. Pasien menghasilkan lebih banyak plasma untuk menggantikan apa
yang telah dihapus. Diperkirakan begitu menghapus plasma menghilangkan
beberapa faktor kekebalan tubuh yang bertanggung jawab untuk perkembangan
penyakit. Studi telah menunjukkan bahwa penggunaan plasmapheresis
mengurangi panjang penyakit serta mempersingkat waktu ventilasi mekanik dan
menyebabkan ambulasi dini (Dada dan Kaplan, 2004). Imunoglobulin yang
diberikan secara intravena juga memiliki dampak positif pada kecepatan
pemulihan. Satu studi menunjukkan IV imunoglobulin (IVIG) setidaknya sama
efektifnya dengan plasma bertukar. Selain itu, IVIG cenderung menularkan
infeksi dan memiliki efek samping yang lebih sedikit (Sulton, 2002; Gilroy,
2000). Kedua intervensi ini perlu dimulai minggu pertama atau kedua dari onset
gejala untuk mempersingkat perjalanan penyakit(Pascuzzi dan Fleck, 1997).
Ada tiga fase GBS: akut, plateu, dan recovery. Tahap pertama
berlangsung hingga empat minggu. Selama ini, gejala muncul: 80 persen individu
dengan parestesia, 70 persen dengan areflexia, dan 60 persen dengan kelemahan
di semua anggota gerak. Secara bertahap persentase pasien menunjukkan gejala
core meningkat hingga mendekati 100 persen. Fase plateu ditentukan oleh
stabilisasi gejala. Sementara gejala hadir, mereka tidak berkembang atau semakin
buruk. Fase ini juga bisa bertahan hingga empat minggu. Terakhir, fase pemulihan
terbukti saat pasien mulai membaik. Delapan puluh persen pasien pulih dalam
setahun (Sulton, 2002) tetapi mungkin memiliki beberapa gejala sisa neurologis
atau sisa defisit. Fase pemulihan dapat berlangsung beberapa bulan hingga
beberapa tahun. Pasien yang cenderung memiliki hasil kurang termasuk mereka
yang membutuhkan dukungan ventilasi, memiliki perkembangan demielinasi yang
cepat, dan menunjukkan amplitudo motorik distal rendah pada EMG (Ropper et
al.,1991). Temuan terakhir mencerminkan jumlah kerusakan aksonal terjadi.
MANAJEMEN FISIOTERAPI
Fase Akut
Perawatan suportif selama tahap akut adalah suatu keharusan. Karena dari
kemungkinan keterlibatan pernafasan, orang dengan GBS dirawat di rumah sakit
dan mungkin menghabiskan waktu lama di intensive care. Selama fase akut,
paling tepat untuk fisioterapis memperlakukan pasien seperti perkembangan
gejala biasanya. Jika otot pernapasan pasien terlibat, ia kemungkinan akan
membutuhkan dukungan ventilasi dan berada di unit perawatan intensif (ICU).
Tujuan fisioterapi selama tahap akut termasuk meminimalkan tanda dan gejala
akut; mendukung fungsi paru, mencegah kerusakan kulit dan pembentukan
kontraktur; dan mengelola rasa nyeri.
Nyeri adalah salah satu gejala yang paling sulit untuk ditangani pada
pasien dengan GBS. Obat tidak selalu efektif. ROM pasif, massage, dan TENS
mungkin bermanfaat. Jika pasien menunjukkan peningkatkan kepekaan terhadap
sentuhan ringan, sebuah dudukan dapat digunakan untuk jauhkan sprei dari kulit.
Bungkusan bertekanan rendah atau pakaian yang pas bisa memberikan cara untuk
menghindari sentuhan ringan pada anggota gerak. Nyeri bisa meningkat oleh
ketakutan pasien tentang apa yang telah terjadi. Jaminan dan penjelasan tentang
apa yang diharapkan dapat membantu meringankan kecemasan yang dapat
memperparah rasa sakit (Karni et aI., 1984).
GAMBAR 13-2. Menemukan subtalar netral sebelum meregangkan heel cord. Dengan pasien terlentang, pegang tumit
dengan satu tangan. Pegang kaki di atas kepala metatarsal keempat dan kelima menggunakan ibu jari, telunjuk, dan jari
manis tangan yang lain. Palpasi kedua sisi talus pada dorsum kaki (lihat tampilan bagian depan dan struktur kerangka).
Fase
Secara pasifPlateau
dorsifleksikan kaki sampai resistensi terasa. Dalam posisi ini, supinasi dan pronasi kaki; talus akan menonjol
ke samping dan secara medial, masing-masing. Memposisikan kaki sehingga tidak ada tonjolan adalah subtalar netral
Fase Recovery
Kekuatan otot secara bertahap pulih dua hingga empat minggu setelah kondisinya
sudah mencapai plateau. Otot-otot kembali dalam urutan terbalik atau pola
menurun. Ini adalah kebalikan dari urutan naik saat kehilangan sensasi. Seperti
leher dan otot-otot trunk pulih, pasien mungkin mulai tilt table dalam mencapai
aklimasi berkelanjutan untuk berdiri tegak dan weight bearing pada ekstremitas
bawah. Posisi splint mungkin dibutuhkan untuk ekstremitas bawah serta
tromboemolic stocking untuk mengurangi pengumpalan vena. Otot-otot
pernapasan bisa menjadi lemah jika orang tersebut membutuhkan bantuan
ventilator, dan kelemahan ini dapat membatasi toleransi menjadi tegak.
Sasaran tujuan terapi fisik pada saat ini meliputi memperkuat dan
memaksimalkan kemampuan fungsional untuk membawa tujuan lain dari fase
sebelumnya. Aktivitas penguatan dan resep latihan untuk individu ini menantang.
Bergantung pada jumlah unit motorik utuh yang hadir dalam otot ketika diberikan,
jumlah latihan sama bisa berbahaya atau bermanfaat. Jika terlalu sedikit unit
motorik, ketika bekerja otot dapat merusak pemulihannya. Sayangnya, tidak ada
cara mudah untuk memastikan berapa banyak unit motor yang ada pada pasien
yang pulih dari GBS.
Setelah pasien stabil atau mencapai plateau, latihan aktif dapat dimulai.
Bensman (1970) merekomendasikan mengikuti empat pedoman untuk latihan:
1. Gunakan latihan yang tidak menimbulkan kelelahan pada periode pendek yang
cocok dengan kekuatan pasien.
2. Tingkatkan kesulitan dari suatu aktivitas atau tingkat latihan hanya jika pasien
membaik atau jika tidak ada kerusakan dalam status setelah seminggu.
3. Kembalikan pasien ke tempat tidur jika terjadi penurunan kekuatan atau fungsi.
Kelemahan overwoek adalah istilah yang pertama kali digunakan bersama polio
pada akhir 1950-an. Istilah ini terus digunakan ketika menggambarkan bahaya
ketika pekerjaan berlebihan sebagian otot dilemahkan. Bekerja terlalu keras
menghasilkan otot yang sebagian denervasinya mengalami penurunan besar dalam
kemampuan otot untuk menunjukkan kekuatan dan daya tahan. Tanda-tanda
kelemahan tertunda muscle soreness, timbulnya nyeri otot, yang memburuk satu
sampai lima hari setelah latihan, dan pengurangan jumlah maksimum memaksa
otot mampu menghasilkan (Clarkson et al., 1992; Faulkner et al., 1993). Bassile
(1996) merekomendasikan latihan otot yang memiliki kekuatan otot 2/5 dalam
bidang tanpa gravitasi hanya menggunakan berat anggota gerak. Setelah seorang
dapat menggerakkan anggota gerak melawan perlawanan yang sama dengan
massa anggota tubuh, orang tersebut dapat melakukan latihan antigravitasi.
Hallum (2001) memandang perkembangan latihan dalam populasi ini sebagai
sebuah piramida dengan ROM pasif di bagian bawah, secara fungsional latihan
resistif khusus pada tingkat menengah, dan terkoordinasi gerakan fungsional di
atas.
Terlepas dari terminologinya, semua orang setuju itu terbaik untuk
memulai dengan pengulangan rendah dan singkat, sering latihan disesuaikan
dengan kemampuan otot pasien, yaitu, kekuatan otot. Misalnya, seseorang yang
miskin (2/5) kekuatan otot deltoid dapat berolahraga di kolam renang, atau dengan
aparatus sling overheada atau powder board. Semua situasi ini tanpa gravitasi.
Teknik fasilitasi semacam strocking, brushing, getaran, dan tapping otot dapat
dikombinasikan dengan latihan tanpa gravitasi. Pasien dibatasi dari bergerak
melawan gravitasi sampai kekuatan otot deltoid adalah 3/5. Ekstremitas bawah
akan pulih setelah ekstremitas atas. Kebanyakan orang berjalan dalam waktu
enam bulan sejak timbulnya gejala (Hallum,2001). Dilema datang apakah akan
mencoba ambulasi dengan pasien sebelum otot-otot ekstremitas bawah setidaknya
memiliki nilai wajar (3/5) (Bassile, 1996).
Peralatan adaptif perlu diubah saat pasien pulih. Setelah terbiasa dengan
tegak, mobilitas awalnya mungkin terbatas pada kursi roda. Ketika ambulasi
tercapai, walker, forearm crutch, atau cane diperlukan sebagai alat bantu jalan.
Bantuan ortotik harus ringan. Plastik AFO atau bahkan splint stirrup udara dapat
memberikan dukungan untuk ankle yang lemah. Kelemahan residual paling sering
terlihat pada otot distal tangan dan kaki seperti ekstensor pergelangan tangan,
intrinsik jari, dorsiflexor pergelangan kaki, dan intrinsik kaki. Gluteal dan
quadriceps juga mungkin tetap lemah. Daya tahan sering kurang dan bahkan
mungkin menjadi kendala utama jika orang tersebut cukup kuat untuk kembali
bekerja. Latihan daya tahan harus dimasukkan dalam program latihan di rumah
pasien; jika tidak, pasien dapat terus aktif meminimalisir meskipun memiliki
kekuatan yang memadai. Pitetti dan rekanan (1993) mempelajari seorang pria
berusia 54 tahun tiga tahun pasca GBS. Dia mampu meningkatkan kekuatan kaki
dan total kapasitas kerja setelahnya program latihan aerobik tiga kali seminggu
menggunakan sepeda ergometer. Dia bahkan bisa kembali berkebun.
Postpolio syndrome (PPS) adalah nama yang diberikan untuk efek poliomyelitis
yang terlambat. Polio adalah infeksi virus, yang menyerang beberapa anterior
horn cell di spinal cord dan menghasilkan kelumpuhan otot. Polio adalah
epidemic di Amerika Serikat dari 1910 hingga 1959. Puluhan tahun setelah
selamat dari polio, 20 hingga 40 persen dari orang-orang ini mengalami kelelahan,
new muscle weakness, dan hilangnya kemampuan fungsional (Halstead dan
Naierman, 1998).
PPS pertama kali dijelaskan dan diakui sebagai entitas klinis pada tahun
1972 ketika Mulder dan rekannya menerbitkan kriteria untuk diagnosisnya.
Kriteria itu umumnya terdiri dari memiliki histori polio, pemeriksaan neurologis
positif atau electromyogram (EMG), periode stabilitas relatif berlangsung
setidaknya 15 tahun, dan pengembangan kelemahan neurologis baru tidak
dijelaskan oleh patologi lain.
GAMBAR 13-3. A. Bangsal pernapasan rumah sakit di Los Angeles pada tahun 1952. B.Seorang pasien dalam iron lung
selama epidemi polio di Rhode Island tahun 1960. (Sumber dari Centers for Disease Control and Prevention.)
ETIOLOGI
Sebagian besar sumber menerima teori bahwa sindrom polio adalah disebabkan
oleh dekade peningkatan permintaan metabolisme tubuh oleh unit motor raksasa
(Jubelt dan Perjanjian. 2000; Smith dan Kelly, 2001). Unit motor raksasa ini
adalah terbentuk selama proses pemulihan dari virus asli infeksi. Setelah virus
polio menghancurkan anterior horn cell, serabut otot dipersarafi oleh anterior horn
cell menjadi tidak ada yang menginervasi (orphaned). Selama pemulihan anterior
horn cell dihancurkan oleh virus reinnervate beberapa di antaranya serat orphaned
menciptakan unit motor raksasa. Proses perbaikan melibatkan cabang dan
memotong kembali proses saraf. Perbaikan ini merupakan proses berlanjut setelah
infeksi asli, tetapi seiring berjalannya waktu melewati kemampuan tubuh untuk
mengimbangi pentingnya perubahan menjadi berkurang. Respon tubuh terhadap
patologi aslinya juga diperparah oleh perubahan yang berkaitan dengan usia
sistem saraf. Karena ada kehilangan unit motor akibat penuaan normal, seseorang
yang menderita polio dapat kehilangan beberapa unit motor raksasa. Hasil
akhirnya adalah kerugian fungsi berikutnya pada orang dengan PPS.
GEJALA KLINIS
Kelelahan
Salah satu masalah yang paling sering dilaporkan adalah kelelahan (Jubelt, 2004;
Jubelt dan Agre, 2000). Kelelahan ini berjalan melebihi kelelahan khas yang
dirasakan semua orang setelah bekerja keras. Kelelahan ini digambarkan sebagai
kelelahan yang luar biasa atau kelelahan yang terjadi hanya dengan tenaga
minimal. Itu bisa saja sangat parah sehingga kemampuan orang untuk
berkonsentrasi terpengaruh. Kelelahan dapat terjadi pada waktu yang sama dalam
sehari dan disertai dengan tanda-tanda distress autonomic seperti berkeringat atau
sakit kepala. Beberapa orang menggambarkan perasaan kelelahan sebagai
“memukul dinding (hitting wall)”. ·Faktor muscular seperti overuse, energi yang
tinggi dari pembebanan kerja submaximal, dan penurunan dekondisi
cardiopulmolnary dapat berkontribusi untuk kelelahan. Kelelahan terjadi umunya
pada pasien dengan PPS (Jubelt, 2004).
Kelemahan Baru
Kelemahan Baru adalah ciri khas sindrom postpolio. Ini terjadi ketika otot sudah
terlibat dan di dalam otot tidak ditemukan secara klinis efek dari infeksi polio asli.
Beberapa bukti menemukan bahwa “otot baru” memilki keterlibatan subclinik
yang aktual berdasarkan bukti EMG. Kelemahan adalah asimetris, biasanya
proksimal dan progresif alami mengalami perlambatan.
Nyeri
Nyeri otot dan sendi adalah manifestasi umum PPS. Nyeri otot berhubungan
dengan overuse kelemahan otot. Nyeri dan kelelahan pada otot terjadi satu atau da
hari setelah aktivitas. Ini akan berkurang dengan istirahat dan respon baik
terhadap aktivitas yang mencegah kelebihan lelah. Nyeri otot ini membaur dan
membutuhkan waktu yang panjang untuk memulihkan dari bukti riset pada pasien
harus taat terhadap rekomendasi berdasarkan langkahnya dan perubahan gaya
hidup. Pasien yang mengikuti rekomendasi pengasuh memiliki persentase rendah
terhadap resolusi atau peningkatan nyeri otot (Peach and Olejnik, 1991).
Sendi bisa menjadi tidak stabil ketika otot mengalami kelemahan atau
kelebihan aktivitas fisik yang membuat mereka overstress dan soft tissue
disekitarnya. Mobilitas jarang menjadi pembatas adanya joint atau muscle pain,
dimana selanjutnya ini menjadi atrofi otot. Nyeri biasanya dihasilkan dari
repetitive microtrauma dari bertahun- tahun pergerakan sendi yang misaligned
atau misaligned sekunder menuju kelemahan atau frank deformitas postural. Nyeri
sendi di dalam dan itu bukan gejala dari PPS walaupun banyak ditemui pada
populasi ini (Smith and Kelly, 2001). Nyeri sendi adalah hasil dari penggunaan
dan tear pada sendi, poor posture, dan memburuknya soft tissue atau perawatan
pasca prosedur operasi orthopaedic yang menghasilkan efek residu pada polio.
Wanita dengan PPS lebih banyak dibandingkan laki – laki dengan PPS yang
mengeluhkan nyeri pada sendi dan otot (Vasiliadis et al., 2002).
Intoleransi Dingin
Karena keterlibatan sistem saraf simpatik, seorang individu dengan PPS tidak
toleran terhadap dingin. Anggota gerak sering dingin dan membutuhkan pakaian
tambahan untuk meminimalkan kehilangan panas. Karena intoleransi ini,
penggunaan dingin sebagai modalitas biasanya bertemu dengan tahanan. Jika
orang tersebut mengalami kesulitan dengan edema, panas sering bukan modalitas
pilihan. Karena itu, edukasi pasien yang luas mungkin diperlukan untuk
meyakinkan orang dengan PPS menggunakan local cold sebagai pengobatan
untuk edema.
Fungsi Berkurang
Kelelahan, rasa sakit, dan kelemahan menghasilkan siklus tidak aktif pada orang
dengan PPS. Ketika anda bertanya kepada seseorang dengan PPS apa yang dia
lakukan secara teratur, jawabannya adalah "tidak banyak". Anda mungkin
menyadari dengan menyelidiki, bagaimanapun, bahwa orang itu dulu sangat aktif
dan melakukan banyak hal tetapi terjadi pembatasan tingkat aktivitas sendiri
karena kombinasi kelelahan, rasa sakit, dan kelemahan. Dekondisi sistem
kardiopulmoner datang dengan aktivitas yang lebih sedikit. Dekondisi lebih lanjut
memperburuk kelelahan dan kelemahan yang menyebabkan aktivitas kurang dan
tingkat keterlibatan sosial yang lebih rendah. Siapa saja dari tiga serangkai gejala -
kelelahan, nyeri, atau kelemahan dapat memicu siklus penurunan aktivitas dan
fungsi.
Fungsi vital seperti makan dan bernafas bisa terpengaruh jika orang
tersebut awalnya memiliki keterlibatan bulbar. Saraf kranial keluar dari batang
otak atau bulb yang mendukung oral motor dan fungsi kardiorespirasi. Jika virus
polio menyerang batang otak, pusat kendali pernapasan bisa berhubungan juga
dengan otot ventilasi seperti diafragma dan otot interkostal. Selanjutnya, setelah
bertahun-tahun bekerja, penderita PPS mungkin sangat kelelahan di akhir hari
sehingga dia pingsan di malam hari. Tidur dapat terganggu oleh periode apnea
atau nyeri dan dengan demikian semakin menambah masalah dengan kelelahan,
nyeri, dan kelemahan yang ditemui selama jam bangun. Individu dengan motorik
oral, keterlibatan pulmonary yang signifikan, atau gangguan tidur akan lebih tepat
diperlakukan oleh anggota tim dengan keahlian di bidang itu seperti terapis
okupasi atau terapis wicara. Seorang ahli paru dapat merekomendasikan
penggunaan perangkat penekanan pernapasan positif di malam hari untuk
memastikan oksigenasi yang memadai.
Manajemen Medis
Obat untuk kelelahan belum terbukti efektif pada pasien dengan sindrom
postpolio. Prednisone belum terbukti meningkatkan kekuatan atau mengobati
kelelahan (Dalabs, 1999). Karena itu pengobatan bergantung pada perubahan gaya
hidup. Diet Sehat, latihan dalam jumlah sedang, ventilasi tekanan positif,
perawatan untuk sleep apnea, dan tetap hangat adalah rekomendasi yang mungkin
dibuat untuk individu dengan PPS. Fokus medis adalah mengelola tanda-tanda
dan gejala sindrom untuk setiap individu agar dapat meningkatkan kualitas hidup.
Seperti nyeri sendi dan otot terkait dengan penurunan kualitas hidup (Vasiliadis et
aI.,2002), terapi fisik sudah cukup banyak untuk ditawarkan PPS.
Manajemen Fisioterapi
Tujuan untuk manajemen terapi fisik individu dengan PPS adalah untuk:
2. Hindari kelelahan
Orang dengan PPS harus mengubah gaya hidup mereka. Sementara ini mudah
bagi pengasuh untuk mengatakan, sangat sulit bagi mereka untuk melakukannya.
Setelah selamat dari polio dan tidak membiarkan mendapatkan yang terbaik dari
mereka, orang-orang ini sering menolak melihat kebutuhan dan implementasi
perubahan. Mobilitas adalah kebebasan, dan kebebasan adalah sesuatu yang
mereka perjuangkan dan capai sejak lama. Perubahan akan terjadi secara perlahan.
Adage bekerja melalui rasa sakit digunakan dengan sukses sebelumnya, jadi
orang-orang ini mungkin berpikir bahwa strategi ini akan berhasil lagi. Melambat
tampaknya pilihan yang buruk ketika disamakan dalam pikiran mereka untuk
menyerah. Halbritter (2001) menyarankan pengurangan stres fisik dan emosional,
perlindungan sendi, modifikasi lingkungan kerja dan rumah, dan penggunaan
mobilitas membantu mengurangi kelelahan dan menjaga fungsi. Jubelt (2004)
merekomendasikan konservasi energi, penurunan berat badan, dan penggunaan
alat bantu sebagai perubahan gaya hidup untuk memerangi kelelahan dan nyeri
muskuloskeletal (nyeri sendi dan otot).
Konservasi Energi
Karena efek kelelahan yang luas dan bahaya dari penggunaan otot yang
berlebihan, konservasi energi harus menjadi bagian integral dari manajemen
pasien dengan PPS. Beberapa Peneliti menyatakan bahwa ini adalah aspek
terpenting dari manajemen (Mayo Clinic, 2004). Konservasi energi adalah berarti
memodifikasi litestyle seseorang untuk mencegah kelelahan. Ini dapat
memasukkan perubahan dalam lingkungan, tugas, atau cara penggerak melakukan
tugas.
Satu orang dengan PPS mungkin perlu menggunakan alat bantu ketika
tidak ada yang digunakan sebelumnya untuk menghemat energi relatif terhadap
ambulasi. Orang lain mungkin membutuhkan penggunaan skuter listrik. Saat
melakukan tugas ADL, individu harus pikirkan bagaimana melakukan tugas
dalam satu perjalanan daripada tiga atau lebih perjalanan. Misalnya, semua piring
bisa diturunkan dari mesin cuci piring ke gerobak dan gerobak dipindahkan ke
lokasi di mana semua hidangan dapat disimpan daripada melakukan beberapa
perjalanan ke dan dari mesin pencuci piring ke berbagai lokasi? Bisakah orang itu
duduk daripada berdiri untuk melakukan filing jika itu adalah bagian dari
pekerjaannya? Analisis dari kegiatan yang membentuk hari seseorang dapat
membantu menentukan di mana perubahan dapat dengan mudah dilakukan.
Latihan
Latihan memainkan peran penting dalam mengelola PPS dan karenanya landasan
lain dalam pengelolaannya. Latihan harus memperkuat otot tetapi tidak
menyebabkan kelelahan otot. Demikian langkah santai adalah yang terbaik untuk
latihan rutin apa pun. Pasien dengan PPS membutuhkan instruksi bagaimana
menghindari latihan yang berlebihan dan untuk tidak melampaui titik rasa nyeri
atau kelelahan. Mereka harus belajar bahwa jika diperlukan beberapa hari untuk
mendapatkan kembali kekuatan mereka, apa dilakukan terlalu banyak. Aquatic
exercise bisa sangat bermanfaat karena air mengurangi tekanan pada sendi, tulang,
dan otot. Studi menunjukkan peningkatan fleksibilitas, kekuatan, dan kebugaran
kardiorespirasi pada pasien dengan PPS yang berpartisipasi dalam program
aquatic exercise (Prins et aI., 1994; Willen et aI., 2001).
Dianjurkan untuk melakukan tes otot serial setiap tiga bulan oleh Fillyaw
dan rekan (1991) untuk memantau perubahan kekuatan. "Latihan non fatigue
adalah latihan aktif yang menyediakan tantangan otot tanpa menghasilkan
kelelahan atau rasa nyeri yang bertahan lama "Oubelt, 2004; untuk diskusi
tambahan, lihat Jubelt, 2004).
Peregangan otot yang sudah terlalu banyak bekerja mungkin tidak diindikasikan
karena potensi untuk meningkatkan ketidakstabilan sendi. Orang dengan PPS
mungkin mencapai kesulitan keseimbangan ligamen dan otot tight terjadi subtitusi
menjadi otot-otot yang lemah atau absent muscularate. Peningkatan ROM harus
dapat didukung oleh kekuatan otot yang memadai, dimana tidak mungkin dengan
pasien ini. Peregangan lembut mungkin ditunjukkan sebagai strategi untuk
memerangi rasa nyeri atau kram dari penggunaan berlebihan (Gawne et al., 1993).
Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri tergantung pada jenis nyeri yang sedang dialami pasien dengan
PPS. Ada tiga jenis rasa sakit yang telah dijelaskan dalam literatur: kram,
muskuloskeletal, dan biomekanik (Gawne et al., 1993). Peregangan lembut
setelah aplikasi panas ditunjukkan jika adanya kram. Ini sangat mirip dengan cara
orang dengan polio awal dirawat. Karena musculoskeletal rasa nyeri sering
disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan, struktur yang terlibat seperti
tendon, bursa, fasia, atau otot harus diidentifikasi sebelum treatment yang tepat
dapat ditentukan. Treatment untuk inflamasi atau strain harus dimasukkan
penggunaan obat antiinflamasi, modalitas yang sesuai, dan perubahan pola
penggunaan ekstremitas yang terlibat. Sejauh ini jenis rasa nyeri yang paling
sering berasal perubahan biomekanik yang dihasilkan dari penyakit degenerative
sendi, nyeri punggung bawah, dan kompresi saraf. Edukasi postur dan
merekomendasikan penggunaan alat bantu strategi terbaik digunakan dalam hal
ini.
Manajemen terapi fisik pasien dengan PPS adalah ditujukan untuk mengurangi
beban kerja otot yang digunakan pada sehari-hari. Protokol latihan yang tidak
melelahkan (non fatigue), konservasi energi, aktivitas mondar-mandir, latihan
pernafasan, dan koordinasi bernafas dengan aktivitas adalah semua strategi yang
digunakan di beberapa titik dengan seseorang yang mengalami PPS. Yang
terbesar tantangan datang bukan dalam mengidentifikasi strategi intervensi tetapi
dalam membantu pasien menemukan keseimbangan yang paling menguntungkan
antara aktivitas dan istirahat. Berapa banyak latihan yang bisa dilakukan orang
tersebut lakukan sambil menghemat energi sepanjang rutinitas harian? Ini adalah
tindakan keseimbangan nyata. Lebih banyak tidak baik dalam hal ini kasus; lebih
sedikit adalah yang terbaik.
RINGKASAN
Gangguan neurologis yang dibahas dalam bab ini memiliki beberapa hal yang
sama. Mereka semua berdampak signifikan kemampuan fungsional pada individu.
Mobilitas, aktivitas hidup sehari-hari, pekerjaan kinerja, dan partisipasi dalam
kegiatan rekreasi mungkin serius dikeluhkan sebagai akibat dari gangguan ini.
Setiap gangguan ini dapat menghasilkan kelelahan dan membuat potensial untuk
dekondisi terlepas dari yang mendasarinya proses patologis yang terlibat.
PERTANYAAN REVIEW
2. Apa salah satu dari tiga kelainan gerakan paling umum terlihat di Amerika
Serikat?
3. Apa gejala yang paling luas terlihat di semua gangguan neurologis dibahas?
10. Siapa yang harus menggunakan protokol olahraga yang tidak melelahkan?
STUDI KASUS
SEJARAH
Ulasan Bagan: Joshua Barnett adalah pria berusia 53 tahun dipindahkan ke Pusat
Medis Regional dari daerah pedesaan rumah sakit karena kelemahan progresif
parah tiga minggu lalu. Pasien telah dirawat melalui keadaan darurat kamar pada
hari sebelum transfer, mengeluh kelemahan di semua ekstremitas. Kelemahan
dimulai setelah virus infeksi dengan diare, demam, dan kedinginan yang
berlangsung selama tiga hari. Joshua tidak memiliki riwayat diabetes, COPD,
penyakit jantung atau hipertensi. Rawat inap sebelumnya telah melalui ruang
gawat darurat untuk batu ginjal. Dia tidak memiliki alergi dan tanpa obat. Dia
telah menyelesaikan course IV gamma globulin di Pusat Medis Regional setelah
diagnosis sindrom Guillain-Barre.
SUBYEKTIF
Joshua menyatakan bahwa dia sudah menikah dan merupakan guru matematika
sekolah menengah. Dia menanam tomat sebagai hobi dan hidup dalam satu rumah
cerita dengan dua langkah untuk masuk. Dia melaporkan baru-baru ini memiliki
penyakit virus yang berlangsung selama tiga hari dari yang ia penuh pulih. Tiga
minggu lalu, dia menyadari bahwa dia mengalami kesulitan menulis karena
kelemahan lengan. Saat masuk ke rumah sakit di desa, ia mengalami kelumpuhan
sebagian pada lengannya dan kelumpuhan total pada kakinya. Dia tidak nyeri.
Joshua dan istrinya cemas tentang pemindahannya ke Pusat Medis Regional,
tetapi mengikuti diagnosis dan perawatan Guillain-Barre sindrom mereka
berharap untuk kesembuhannya. Dia memberikan persetujuan untuk pemeriksaan.
OBJEKTIF
TINJAUAN SISTEM
Integumentary: Kulit utuh. Tidak ada warna merah atau edema yang tercatat.
Joshua bergantung untuk menghilangkan tekanan.
Antropometri: Tinggi 6 '3 ", Berat 190 pon, BMI 24 (2024 normal)
Sirkulasi: Kulit hangat saat disentuh, pulse pedal hadir bilateral, denyut radial
yang kuat
Ventilasi atau Respirasi: Kapasitas vital adalah 3L, 50 persen dari normal. Pola
pernapasan adalah 2-leher, 4-diafragma. Tidak ada dada perluasan dinding dicatat.
Kenaikan epigastrium adalah 1,5 in.
Range of Motion: PROM WFL; fleksi / abduksi bahu aktif dalam duduk hingga
60 derajat secara bilateral, fleksi siku aktif menjadi 90 derajat secara bilateral,
ekstensi siku kurang 15 derajat dari ekstensi lengkap, gerakan leher WFL, tidak
ada gerakan aktif lainnya
Fungsi Motor: Joshua membutuhkan bantuan maksimal 1 untuk rolling dan untuk
duduk. Dia bisa duduk dengan didukung di tempat tidur selama 20 menit setiap
kali. Ia bergantung pada duduk dan berdiri. Joshua membutuhkan bantuan
maksimal 2 untuk transfet tempat tidur -).
Performa Otot: Diuji prosedur manual muscle testing Berryman Reese. Joshua
didukung pada posisi duduk dengan stabilisasi yang cukup. Otot ekspresi wajah
masih utuh secara bilateral.
Balance : Joshua bergantung pada berjalan dan lokomotion. Dia tidak dapat
mengambil tantangan dalam dukungan posisi duduk.
Skala 0 – 10
Bergantung saat makan, menggunakan baju dan higinitas personal.
ASSESSMENT DAN EVALUASI
Joshua adalah pria menikah berusia 53 tahun. Dia dirawat di rumah sakit dengan
paralisis lengan dan kakinya setelah mengalami penyakit berkaitan virus. Pada
hari kedua, ia dipindahkan dari rumah sakit setempat ke Pusat Medis Regional
untuk evaluasi lanjutan dan perawatan. Diagnosis sindrom Guillain-Barre (GBS)
dibuat, dan ia menjalani infus IV dengan gamma globulin. Ia bergantung pada
transfer dan locomotion. Ia dipindahkan ke unit rehabilitasi di Medical Pusat.
FIM: transfer 1, penggerak 1.
DAFTAR MASALAH
1. Tergantung dalam bantuan mobilitas.
2. Tergantung pada ADL dan transfer
3. Penurunan kekuatan dan daya tahan
4. Tergantung dalam pengurangan tekanan
5. Kurang pengetahuan tentang perjalanan penyakit dan rehabilitasi
Diagnosis: Joshua menunjukkan gangguan fungsi motorik dan integritas sensorik
yang terkait dengan polineuropati akut yang merupakan pola Panduan APTA 5G.
Pola ini termasuk GBS.
Prognosis: Selama dua bulan, Joshua akan meningkatkan tingkat independensi
fungsional dan kemampuan. Perubahan akan dibatasi oleh derajat dan kecepatan
pemulihan fungsi dan kekuatan otot, dan sisa defisit muskuloskeletal atau
neuromuskuler apapun.
RENCANA
Jadwal Perawatan: Fisioterapis dan asisten fisioterapis akan melihat Joshua BID
lima hari / minggu dan sekali pada hari Sabtu dan Minggu treatment selama 45
menit selama enam minggu ke depan. Sesi perawatan termasuk positioning,
ROM, rehabilitasi paru, fungsional.
Instruksi Pasien / Klien: Joshua dan istrinya akan diinstruksikan mengenai proses
patologis yang terlibat dalam GBS, pentingnya ROM, memantau perubahan otot
berfungsi dan menghindari penggunaan berlebihan.
INTERVENSI PROSEDURAL
1. Mencegah kontraktur
2. Penghilang tekanan
3. Pelatihan pernapasan
5. Pelatihan transfer
Ajarkan duduk ke dan dari tempat tidur ke kamar tidur dan ke tempat tidur kursi
roda
Ajarkan berdiri ke dan dari tempat tidur ke kamar tidur, tempat tidur ke kursi
roda
Ajarkan transfer mobil
6. Pelatihan kekuatan
7. Pelatihan ketahanan
9. Pelatihan ADL
Mulailah dengan dukungan ekstremitas atas dan hand over hand berkembang
menjadi makan mandiri, berpakaian, dan toileting.
Edukasi anggota keluarga tentang cara-cara yang tepat untuk membantu dengan
transfer
Mintalah anggota keluarga membantu dengan transfer
Didik keluarga tentang cara membantu ADL
Minta keluarga mendemonstrasikan bantuan dengan ADL
Intervensi prosedural apa yang sesuai untuk dilakukan oleh asisten fisioterapis?
Kapan transfer ke duduk dan berdiri dimulai?
Apa tanda dan gejala yang harus dilakukan asisten fisioterapis gunakan untuk
menunjukkan perubahan negatif dalam status?