Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kerusakan DNA yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif (Reactive


Oxygen Species/ROS) merupakan perantara penting dalam patogenesis kondisi
manusia seperti kanker dan penuaan. Produk kerusakan DNA yang diinduksi ROS
bersifat mutagenik dan sitotoksik. Hidrogen peroksida (H2O2), yang menghasilkan
radikal hidroksi dengan adanya ion logam transisi, dianggap sebagai model yang
tepat untuk ROS. H2O2 diproduksi secara endogen oleh beberapa proses fisiologis,
misalnya selama fosforilasi oksidatif dan pernapasan sel inflamasi. Karena
bersifat bebas difusibel, H2O2 berpotensi mencapai nukleus untuk berinteraksi
dengan DNA. H2O2 menyebabkan pemecahan untai dan kerusakan dasar DNA
dengan mekanisme yang memerlukan ion logam transisi, seperti besi atau
tembaga. Campuran ion Cu (II) dan H2O2, seringkali dengan penambahan asam
askorbat, menghasilkan pemecahan untai yang luas pada DNA. Strand Breaks
sering terjadi di dekat residu guanin, dan membuat ion tembaga mengikat DNA di
lokasi ini.

Paparan H2O2 ke sel target mengakibatkan berbagai kerusakan pada DNA.


Lebih dari 30 perubahan gula dan modifikasi basa telah diidentifikasi. Tingkat
kerusakan produk oksidatif DNA telah diukur dalam jaringan dengan berbagai
teknik dan, walaupun ada beberapa kontroversi tentang tingkat kerusakan DNA
oksidatif yang sebenarnya, tingkatnya bisa sangat besar. Tidak jelas dari mana
berbagai lesi yang dihasilkan oleh oksidasi DNA adalah yang paling bertanggung
jawab untuk menginduksi mutasi. Mutasi yang dihasilkan bergantung pada
sumber ROS dan sistem eksperimen tertentu yang digunakan untuk mempelajari
mutasi. Secara umum, transisi C-> T (~ 40 ± 60%), transferensi G-> T (20 ±
40%), dan juga penghapusan biasanya terlihat. Lesi yang memiliki spesifitas
mutasi ini termasuk 5-hydroxycytosine untuk C-> T, produk oksidasi sitosin dan
deaminasi (5-hydroxyuracil dan uracil glycol) untuk C-> T, dan 8-oxoguanine
untuk mutasi G-> T. Namun, spesifisitas mutasi pada banyak lesi oksidatif lainnya
sebagian besar tidak diketahui dan mungkin ada lesi oksidatif yang belum
teridentifikasi.

Perhatian yang cukup banyak berfokus pada penyebab transisi C-> T di CpG
sites karena ini adalah mutasi yang sangat umum, terdeteksi pada berbagai
penyakit genetik dan juga pada banyak kanker manusia. Banyak hipotesis telah
ditawarkan untuk kejadian molekuler yang menyebabkan mutasi ini, yang
kesemuanya menekankan pentingnya metilasi residu sitosin. Metilasi
meningkatkan laju deaminasi hidrolitik dan juga meningkatkan reaktivitas guanin
ke elektrofilik. Tingkat deaminasi sitosin dalam DNA dupleks sangat lambat, dan
hidrolisis 5-methylcytosine hanya dua kali lebih cepat. Deaminasi 5-
methylcytosine yang berlangsung dengan kecepatan rendah mengarah pada
transisi CpG.

Kemungkinan kontribusi kerusakan DNA oksidatif pada mutasi CpGs yang


termetilasi tidak pernah diteliti secara langsung. Oksidasi 5-methylcytosine dapat
menyebabkan frekuensi transisi C-> T yang tinggi pada urutan CpG. Oksigen
radikal dapat bereaksi dengan 5-methylcytosine yang kemudian dioksidasi
menjadi 5-methylcytosine glycol, kemudian dideaminasi membentuk glikol timin.
Glikol timin dapat menjadi pasangan basa dengan adenin, sehingga oksidasi 5-
methylcytosine diharapkan menghasilkan transisi C-> T. 5-Formyl-2'-
deoxycytidine juga dapat diproduksi dalam reaksi tipe Fenton dan dapat
menghasilkan transisi C-> T dan transversi C-> A.

ROS dihasilkan selama respon inflamasi oleh neutrofil dan fagosit. Dari
relevansi kemungkinan adanya kemungkinan stres oksidatif pada mutagenesis
CpG mungkin terdapat kelebihan transisi CpG yang signifikan pada kanker yang
terkait dengan stimulasi inflamasi, seperti kanker kandung kemih Schistosoma,
kanker kolon terkait kolateral ulserativa, dan esofagus.

Untuk menilai peran kerusakan DNA oksidatif pada mutagenesis CpG,


dibandingkan spektra mutasi Cu (II) / H2O2 pada shuttle vector pSP189 dengan
CpG yang telah dimetilasi dan yang tidak dimetilasi pada sel manusia.
BAB II

ISI

2.1 METODELOGI

1. Sel Kultur dan Plasmid

Pada proses atau metode ini diperlukan cell line atau cell culture yang
merupakan sel yang digunakan dalam penelitian yang dikembangkan dan
ditumbuhkan/berploriferasi pada media kutur secara in vitro. Sel kultur dapat
diambil dari jaringan asal ataupun memperbanyak sel yang sudah ada. SV-40 atau
Simian Virus 40 merupakan agen pencetus terbentuknya kanker, dimana SV-40
dapat mengubah perbaikan DNA menjadi berbahaya dan kekurangan xeroderma
pigmentosum(XP) group A pada fibroblast manusia .Dan perbaikan DNA akan
memperbaiki firoblast dengan lebih baik yang diterima dari koleksi budaya jenis
amerika. Cell akan tumbuh pada media sel kultur atau cell line Dulbecco’s
modified Eagle’s medium (DMEM) yang dilengkapi dengan 10% Fetal Bovine
Serum(bahan yang digunakan dalam kultur sel) dalam inkubator yang berisikan
5% CO2. Plasmid pSP189 (termasuk generasi bebas 8-bp pada ujung rantai 3' dari
supF gen) yang dengan banyak macam disediakan Michael seidman

2. Methylation and Cu(II)/ascorbate/H2O2 treatment of plasmid (metilasi


dan Cu (II) / askorbat / H2O2 pada plasmid)

Pada proses ini Plasmid pSP189 dimetilkan secara in vitro menggunakan


metilase DNA spesifik CpG SssI (New England Biolabs, Beverly, MA) sesuai
dengan petunjuk pabrik pembuatnya karena CpG metilase pada DNA dapat
memblokir atau mengganggu DNA bisa basis tertentu di metilasi. Pengendalian
DNA telah diduplikat secara metilasi dalam absen S-adenosylmethionine.
Penyelesaian proses metilasi akan di perkuat dengan mencerna aliquot/
keseluruhan dari reaksi pencampuran sensitive metilasi dengan pembatasan
endonuclease. HpaII. PSP189 yang dimetilasi dan tidak dimetilasi akan
diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit dengan 5 μM CuCl2. Kalium fosfat
yang diberi perlakuan Chelex (pH 7,5), askorbat dan H2O2 ditambahkan ke
konsentrasi akhir 1 mM, 100 μM, dan berbagai konsentrasi. Setelah 30 menit di
dalam temperature kamar dengan mengayun-ayun pelan reaksi, reaksi akan di
dinginkan dengan penambahan EDTA (Asam Etilen DiaminTetraasetat) pada
konsentrasi 2 mM, diikuti dengan pengendapan DNA pada 0,3 M Sodium asetat
(pH 7.0) dan 2 vol dari etanol dingin. DNA dibilas dengan etanol 70% da
dikeringkan dengan udara.

3. Uji metagenesis

Proyeksi antar jemput PSP189 dialihkan ke dalam budaya perbaikan-mahir


dan perbaikan eksisi nukleotida sehingga manusia kekurang fibroblas. Secara
singkat, 5 × 105 sel yang berlapis menjadi 10 cm kultur jaringan di DMEM.
Setelah 16 jam inkubasi sel, campuran plasmid dan FuGene 6 agen transfeksi
(Roche, Indianapolis, IN) ditambahkan. Setelah Inkubasi sel 72-jam, plasmid
diselamatkan dari sel-sel manusia oleh alkali lisis. Sel diuji coba, dicuci, dan
disuspensikan kembali ke dalam buffer suspensi (50 mM Tris ± HCl, pH 8.0, 10
mM EDTA, RNase 100 mg / ml A), dicampur dengan buffer lisis [0,2 M NaOH,
1% (b / v) SDS] dan diinkubasi pada es selama 3 sampai 5 menit, diikuti dengan
penambahan buffer netralisasi (3 M kalium asetat, pH 5.5). Setelah Inkubasi 15
menit pada suhu kamar campurannya disentrifugasi selama 10 menit pada 16.000
g dan supernatannya diekstraksi sekali dengan fenol-kloroform. Mengikuti
pengendapan etanol, DNA kembali tersuspensi dalam reaksi DpnI buffer dan
plasmid yang tidak direplikasi dikeluarkan dengan cara pencernaan dengan DpnI
yang mengenali pola metilen adenin bakteri. Kemudian plasmid disterilkan
menjadi MB7070 bakteri, yang membawa gen lacZ dengan mutasi amber.
Bakteri yang ditransformasikan diencerkan dalam 1 ml media SOC (2% tryptone,
ekstrak ragi 0,5%, NaCl 9 mM, 20 mM glukosa) dan dilapisi pada piring agar
mengandung ampisilin, IPTG dan X-Gal. Setelah inkubasi semalam pada suhu 37
° C, tipe liar (biru) dan koloni mutan (putih) dihitung untuk menentukan frekuensi
mutannya. Koloni yang mengandung plasmid dengan supf yang bermutasi Gen
diidentifikasi dan plasmid dimurnikan serta diurutkan.

2.2 HASIL

Untuk menentukan spektrum mutasi dengan tembaga / H2O2 dalam gen


target yang di metilase CpG, peneliti menggunakan shuttle vektor (sebuah
vektor, biasanya plasmid yang dibangun sehingga dapat menyebar di dua
spesies inang yag berbeda) Psp189, yang mengandung supF sebagai target
mutasi. Vektornya pun dimetilasi secara in vitro(eksperimen yang tersirat pada
jaringan luar organisme hidup, menggunakan piring petri dan tabung reaksi)
pada semua rangkaian CpG menggunakan spesifik CpG metiltransferase DNA.
Dalam percobaan yang bersamaan, pSP189 dimusnahkan dengan tidak adanya
S-adenosylmethionine untuk menghasilkan pasangan yang tidak dimetilasi.
Kumparan dari metilasi dan tidak dimetilasi ini diberikan reaksi tipe-Fenton
termasuk 5 µM CuCl2 dan H2O2 di berbagai konsentrasi. Menggunakan aliquot
dari plasmid yang sudah diberikan, kerusakan DNA (termasuk basa dan abasic
sites yang rusak) ditentukan dengan menggunakan aktivitas glikosilase DNA
dari protein Nth atau Fpg. Glikolase DNA ini dapat mengenali oksidasi
pirimidin dan purin masing-masing. Lalu tidak ada perbedaan substansial
dalam induksi kerusakan DNA diantara plasmid-plasmid yang dimetilasi dan
tidak dimetilasi. Di konsentrasi yang tinggi dari penggunaan H2O2 (100 µM),
terdapat sekitar satu basa yang rusak atau sper 0,5 kb (data tidak ditampilkan).
Level kerusakan DNA ini diperlukan untuk mendapatkan penambahan yang
banyak dalam frekuensi pada gen kecil (100 bp). Dalam eksperimen
menggunakan penyinaran UVC, dosis sebanyak 1000 J/m2 biasanya umum
digunakan dimana menghasilkan sekitar satu siklobutana pirimidin dimer
setiap 0,2-0,3 kb.
72 jam setelah transfeksi (pengenalan passenger DNA ke nucleus di
eukariotik sel) ke dalam dua sel firoblas manusia yang berbeda, plasmid-
plasmid dilepaskan, dan DNA nya dibelah dengan DpnI untuk menghapus
plasmid yang tidak ber-replikasi. Menggunakan pencernaan HpaII dan HhaI,
peneliti menemukan bahwa level dari metalasi CpG sebagian besar (>80%)
dipertahankan di DNA yang sudah diberikan DpnI 72 jam setelah transfeksi
menunjukan bahwa tidak terdapat perpindahan aktif pada grup metal dari
plasmid-plasmid yang sudah di metilasi dan juga bahwa sebagian pola metilasi
setidaknya dilindungi selama replikasi DNA. Sebaliknya, plasmid yang tidak
dimetilasi tidak mengalami metilasi de novo (menambahkan gugus metil pada
posisi yang benar-benar baru sehingga merubah pola metilasi DNA pada regio
genom tertentu). Plasmid yang sudah dilepaskan lalu di elektroprorasi menjadi
bakteri MB7070, dimana membawa gen lacZ dengan mutasi amber (mutasi
yang terjadi akibat dari sintesis dari akhiran fragmen asam amino yang
menetapkan polipeptida sebagai gen). Plasmid-plasmid pun di isolasi dari
koloni putih, dan gen supF diurutkan. Frekuensi waktu dari mutasi yang
dimetilasi dan tidak dimetilasi dengan diberikan CuCl 2 vektor supF, dalam
perbaikan yang sempurna dengan pemotongan nukleotida dalam perbaikan sel
yang kurang sempurna tidak berbeda terlalu banyak (Tabel 1). Karena disana
juga terdapat terlalu sedikit koloni(mutan) diperoleh dalam pemberian gen
supF vector, para peniliti pun hanya mengurutkan mutasi yang diinduksi
dengan 5 µM CuCl2 dimana tidak terdapatnya H2O2 sebagai kontrol. Mayoritas
dari mutasi tersebut adalah transverse G/C→T/A dan transisi C/G→T/A.
Untuk nucleotide excision repair(perbaikan DNA dengan cara
memotong fragmen nukleotida yang rusak), frekuensi mutan bertambah antara
yang hanya CuCl2 dengan CuCl2/H2O2 yang sudah diberikan kumpulan vector
dari 0,92 x 10-3 menuju 18,1 x 10-3 untuk DNA yang tidak dimetilasi dan dari
0,77 x 10-3 naik ke 20,7 x 10-3 untuk DNA yang sudah dimetilasi. Untuk
perbaikan sel yang sempurna, frekuensi mutan juga bertambah antara yang
hanya CuCl2 dengan CuCl2 / H2O2 yang sudah diberikan shuttle vektor, dari
1,40 x 10-3 menuju 25,0 x 10-3 untuk DNA yang tidak dimetilasi dan dari 1,60 x
10-3 untuk DNA yang sudah dimetilasi. Frekuensi mutan bertambah tergantung
caranya dengan menambahkan konsentrasi dari H2O2.
Karena menaiknya frekuensi mutan secara cukup, peneliti mengurutkan
plasmid-plasmid diperoleh dari pemberian 100 µM H2O2. (Gambar 2)
menunjukan spektrum mutational diperoleh dengan shuttle vektor yang tidak
dmetilasi dan di yang sudah dimetilasi dari nucleotide repair yang sempurna
dan tidak secara masing-masing. Di semua kasus, transversi G→T dan transisi
G→A merupakan tipe yang utama dari mutase (68-73%). Untuk nucleotide
repair deficient (yang sempurna), 32% dari semua mutasi terdapat di CpG di
plasmid yang sudah termetilase. Setelah metilase, 28% dari semua transversi
G→T dan transisi terdapat di CpG sites dibandingkan dengan 24% DNA yang
tidak dimetilasi (Tabel 2). Jadi, disana terdapat peningkatan kecil mutasi di
CpG sites setelah metilasi dari shuttle vektor.
Untuk repair proficient cell (tidak sempurna), 28% dari semua mutasi
berlangsung di CpG sites di plasmid yang ter-metilasi, dimana 10% dari semua
mutasi berlangsung di CpG sites di plasmid yang tidak termetilasi. Setelah
metilasi, 30% dari semua transversi G→T dan transversi G→A berlangsung di
CpG sites dibandingkan dengan 13% di DNA yang tidak termetilasi. Jadi
kecerendungan yang mengaitkan penaikannya jumlah mutasi di CpG sites dan
metalasi di transisi G→A. jadi mutasi delesi dari repair proficient cell lebih
umum dari di repair deficient cell
Namun, perbedaan yang paling mencolok antara shuttle vektor yang
termetilase dan yang tidak adalah bahwa di plasmid yang termetilase 86%
tandem mutation(mutasi berpasangan) berlangsung di CpG sites. Semua
tandem mutation CpG sites tersebut merupakan CG→TT, dimana hanya 33%
dari semua tandem mutation berlangsung di CpG sites di plasmid tidak
termetilase. Mutasi CG→TT terjadi hanya di sel nucleotide excision repair.
Sebagai contohnya tandem mutation dibawah (Gambar 3). Sebaliknya tidak
terdapat tandem mutation di CpG sites di repair proficient cell.

2.3 PEMBAHASAN

Sebagian besar kerusakan DNA akibat mutasi oksidatif disebabkan oleh


shuttle vectors dan DNA yang digunakan pada studi ini tidak termetilasi. Hal ini
sulit untuk memperoleh mutasi spektrum dari kerusakan DNA oksidatif
menggunakan lokus genom endogen. Pada HPRT (hypoxanthine
phosporibosyltrasferase) gen, terdapat kurang dari 3 lipatan induksi diatas
background dan sering terjadi delesi. Studi lacl transgenik pada sel tikus belum
dapat dipastikan karena frekuensi dalam sistem ini terlalu tinggi.
Berdasarkan analis yang telah dilakukan oleh peneliti, dari spectrum mutasi
yang dihasilkan oleh pengobatan pSP189 unmethylated dan memetilisasikan CpG
shuttle vectors dengan reaksi Fenton menggunakan Cu (II)/askorbat/H 2O2 dan
bagian dari vectors melalui fibroblast manusia, ditemukan bahwa, sesuai dengan
studi sebelumnya, mayoritas mutasi yang dihasilkan adalah transisi G→A dan
G→T transversions. Mutasi transisi pada metilasi sekuens CpG sangat umum
pada p53 gen terkait kanker dengan respon inflamasi. Contohnya kanker usus
besar yang terkait dengan ulsertif colitis dan kanker kandung kemih yang terkait
dengan infeksi Schistosoma. Selain model ini sudah diterima, Deaminasi 5-
methylcyosine di metilasi sekuen CpG sebagai mekanisme utama transisi CpG,
teori – teori lain telah menyarankan bahwa kerusakan DNA oksidatif melalui
Deaminasi 5-methylcytosines glycol, yang mungkin berkontribusi ke mutasi CpG.
Data peneliti menunjukan bahwa stress oksidatif dalam bentuk tembaga/H2O2
menginduksi kerusakan DNA dapat meningkatkan frekuensi transisi CpG
walaupun hanya dalam sel – sel repair-proficient, tetapi tidak menginduksi jelas
transisi mutasi hotspot pada metilasi sekuen CpG. Hal tersebut menunjukan tetap
ditentukan jika oksida nitrat juga menghasilkan respon inflamasi dan dapat
menghasilkan mutasi tersebut lebih efisiesn.

Mutasi substitusi dasar tandem adalah peristiwa yang umumnya sangat


jarang. Mutasi tersebut sering diamati dalam eksperimen dengan radiasi UV.
Mutasi tandem CC→TT sudah lama diakui sebagai tanda mutasi UV. Mutasi
CC→TT juga telah dijelaskan pada eksperimen dengan ROS. Pada studi
sebelumnya spesifikasi dari kerusakan DNA oksidatif, mutasi CC→TT adalah
peristiwa tandem yang sering diamati. Studi ini sebelumnya tidak menggunakan
mutasin reporter gen yang berisi metilasi sekuen CpG. Peneliti menemukan
bahwa metilasi sekuens CpG sering terjadi mutasi tandem CC→TT setelah
pengobatan memetilisasikan CpG DNA dengan tembaga dan H 2O2. Partikel jenis
mutasi ini jarang dilaporkan sebelumnya. Hal tersebut mungkin akan di minta jika
diamati mutasi tandem mCC→TT spesifik untuk tembaga/H2O2 yang menginduksi
kerusakan DNA. Peneliti tidak bisa menunjukan point tersebut dengan data yang
telah tersedia saat ini. Namun, kerusakan yang disebabkan oleh ketergantungan
ion metal H2O2 menginduksi kerusakan DNA adalah sekuen yang lebih spesifik
dibandingkan logam tertentu.

Saat ini, asal – usul mutasi – mutasi tandem mCG→TT tandem tidak
diketahui. Mutasi tersebut hanya terjdi dalam sel – sel yang kekurangan
nukleotida eksisi (XP-A sel). Mutasi – mutasi tandem tersebut dapat dihasilkan
melalui beberapa jalur. Hal ini mungkin termasuk, tetapi terbatas pada (i) lesi
basis tunggal yang mempromosikan acara ganda misncorporation selama replikasi
DNA, (ii) cross link basis DNA yang berdekatan, atau (iii) berdekatan lesi basis
ganda (tandem lesi) yang akan mempromosikan penggabungan dari dua berturut –
turut adenine berlawanan pada dua lesi. Untuk jalur (i) terdapat bukti bahwa 8-
oxo-7,8-dihydo-2′-deoxyguanosine (8-oxo-dG) dapat menyebabkan kesalahan
substitusi pada basis template sebelahnya ketika disalin oleh DNA polymerase β.
Kesalahan substitusi ini bergantung pada sekuen. Untuk jalur (ii) intrastrand
cross links telah diamati pada DNA sperma salmon untuk tipe Fenton radikal
oksigen yang menghasilkan sistem. Sistem Fenton tembaga menghasilkan total
32
tertinggi dari lesi DNA. Setelah P pasca pelabelan, dua tempat umum untuk
semua sistem Fenton ini adalah produk utama oksidasi. Pengobatan Fenton sejenis
dari purin dinucleotides dApdG dan dApdA menghasilkan produk yang
chromatographically dan identic dengan dua produk utama yang dihasilkan dalam
DNA. Namun, metilasi dinucleotides CpG tidak khusus di selidiki. Cross-link
lainnya telah diamati. Pada jalur (iii) bypass polymerase berdekatan dengan lesi
basis ganda, belum dipelajari secara ekstensif. Namun, lesi tandem, dimana dua
basis berdekatan diubah tetapi tidak cross-linked telah dilaporkan setelah
pengobatan DNA dengan reaksi pengion atau dengan reaski logam H2O2 yang
dikatalisasi. Lesi basis ganda termsuk 8-oxo-dG berdekatan dengan nukleosida
pirimidin yang terdegradasi untuk sisa formamido. Pada kenyataannya, persentase
yang sangat tinggi dari penambahan adenine telah diamati pada shuttle vectors
ketika residu formamylamine yang merupakan bagian dari sebuah lesi vicinal
yang mengandung 8-oxo-dG. Lesi vicinal tersebut mungkin merupakan asal – usl
mutasi tandem mCG→TT. Sehingga ada kemungkinan bahwa 8-oxo-dG dapat
mempromosikan Deaminasi 5 ' 5-methylcytosine dasar.
Terjadinya mutasi CG→TT pada site metilasi CpG, dominan dalam
kekuranan perbaikan eksisi Nukleotida sel akan menyarankan bahwa lesi dasar
biasanya diperbaiki cukup efisien oleh proses perbaikan eksisi Nukleotida.
Perbaikan eksisi Nukleotida dapat beroperasi pada kerusakan basis yang
disebabkan oleh oksidasi DNA, misalnya pada 8-oxo-dG dan Timina glikol
residu. Jika sebuah lesi polietilena terlibat dalam menghasilkan mutasi-mutasi
mCG→TT, perbaikan sebuah lesi oleh perbaikan nukleotida eksisi akan menjadi
lebih masuk akal, karena lesi tersebut tidak mungkin dikenali oleh perbaikan
eksisi basis enzim dan perbaikan eksisi Nukleotida memiliki kekhususan untuk
mengenali basis polietilena DNA. Juga, luka pada pangkal tandem mungkin tidak
menjadi substrat yang baik untuk perbaikan eksisi dasar dan dapat disalurkan ke
jalur perbaikan eksisi nukleotida. Sebagai contoh, sebuah lesi dihydrouracil
tandem tidak dapat diperbaiki oleh Escherichia coli dan manusia endonuklease III
N-glycosylases. Di sisi lain, E.coli Fpg dan endonuklease III protein yang mampu
membelah rantai oligonucleotide yang terkandung lesi formylamine-8-oxo-dG
vicinal.

Pasien xeroderma pigmentosum ditunjukan pada komplementasi grup XP-A,


tidak dapat melakukan perbaikan eksisi nukleotida. Dalam kasus parah, mereka
menderita neurodegeneration progresif, mungkin karena akumulasi lambat pada
kerusakan DNA unrepaired di otak. Otak memiliki tingkat tinggi metabolisme
oksigen yang dapat menyebabkan akumulasi kerusakan DNA oksidatif dalam
non-regenerasi sel-sel saraf. Perbaikan eksisi DNA, Cacat xeroderma
pigmentosum mencegah penghapusan kelas oksigen radikal bebas yang
disebabkan lesi dasar. Satu lesi tersebut kemudian ditunjukkan untuk menjadi 5 ',
8-Purina cyclodeoxynucleoside adisi. Peneliti menyarankan bahwa lesi oksidatif
dasar yang menyebabkan mutasi tandem mCG→TT selektif dalam sel-sel XP-A,
tetapi tidak dalam sel NER-mahir, juga mungkin kandidat untuk bentuk DNA
kerusakan yang mungkin menjelaskan neurodegeneration progresif yang terlihat
di XP-A individu. Akumulasi selnajutnya dari lesi ini mungkin akhirnya
mengakibatkan gangguan transcriptional dan cytotoxicity.

Singkatnya, peneliti menjelaskan jenis novel mutasi, mutasi tandem


CG→TT pada sekuen metilasi CpG, yang dapat diproduksi oleh kerusakan DNA
oksidatif melalui H2O2 dan jalur ion logam transisi. Lesi yang menghasilkan
mutasi aneh tersebut rupanya dikenakan perbaikan eksisi Nukeotida. Pada
percobaan di masa depan, sifat kimia dari lesi ini, mungkin terdiri dari kerusakan
basis tandem atau polietilena yang perlu ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai