Anda di halaman 1dari 13

Ahsin's Duty

Buat kamu yang kurang pekerjaan, ngerjain tugas dari dosen PGSD
Kamis, 05 Juni 2014
Apresiasi Sastra Secara Reseptif dan Produktif

Apresiasi Sastra Secara Reseptif dan Produktif

I.    PEMBUKA
1.1  Latar Belakang
            Apresiasi adalah suatu kegiatan seseorang dalam menggauli karya sastra untuk
memberikan penilaian/pujian terhadap kualitas sebuah karya melalui perasaan atau kepekaan
batin, pemikiran kritis, pemahaman, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang
diungkapkan oleh pengarang.
            Dengan apresiasi sastra yang intensif, usaha mendapatkan makna yang sangat penting
dalam sastra memang harus ditempuh seorang pembaca. Untuk itu, perilaku mengapresiasi
sastra dapat terjadi secara reseptif dan produktif. Apresiasi sastra, secara reseptif terjadi
ketika penikmat sastra, intensif dalam membaca, mendengarkan, dan menyaksikan suatu
pementasan sastra. Dalam apresiasi terscbut, karya sastra yang dijadikan sebagai sasaran
apresiasi reseptif dalam bentuk cerpen, puisi, dan drama. Sementara apresiasi sastra secara
produktif dapat terjadi ketika penikmat sastra intensif dalani proses kreatif dan penciptaan
sastra. Sejalan dengan aktifitas apresiasi produktif, seorang penikmat sastra dapat
menghasilkan karya sastra dalam berbagai bentuk sesuai dengan selera yang dimilikinya.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1   Apakah pengertian apresiasi sastra?
1.2.2   Bagaimanakah apresiasi sastra secara reseptif?
1.2.3   Bagaimanakah apresiasi sastra secara produktif?

II.  PEMBAHASAN
2.1    Pengertian Apresiasi Sastra
Dalam Kamus Umum Bahas Indonesia kata apresiasi berarti 1.’pujian’, 2. ‘pengertian,
pemahaman’, 3.’penilaian, penafsiran’. Dalam istilah, apresiasi berasal dari bahasa
latin appreciation yang berarti ‘mengindahkan’ atau ‘menghargai’. Pengertian apresiasi yang
dinyatakan oleh Gove (dalam Aminuddin, 2002:25) bahwa, kata aparesiasi dalam arti luas
mengandung arti pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan pemahaman,
pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh pengarang.
Bentuk apresiasi sastra yang diharapkan dapat berwujud kegiatan langsung maupun
tak langsung. Pengertian apresiasi yang pertama diwujudkan dengan cara membaca dan atau
menikmati karya-karya sastra kreatif secara langsung, dengan segala bentuk dan ragamnya.
Dalam membaca sebuah novel, misalnya sebaiknya para siswa langsung dihadapkan pada
karya karya novel yang dianjurkan dan bukan melalui sinopsisnya seperti yang sering
dilakukan di sekolah-sekolah. Adapun pengertian apresiasi yang kedua bisa dilakukan
melalui berbagai cara yang dipandang dapat menunjang penikmatan dan atau pemahaman
terhadap suatu karya kreatif. Bentuk-bentuk apresiasi sastra tak langsung itu, antara lain
melalui membaca berbagai kritik sastra atau ulasan para ahli, menonton film atau sinetron
yang diangkat dari sebuah novel atau drama, menonton pagelaran teater, mendokumentasikan
karya-karya sastra, melaksanakan kegiatan baca puisi dan deklamasi, atau menyelenggarakan
lomba baca maupun lomba cipta karya sastra kreatif seperti puisi dan cerpen (Jamaludin,
2003:40).
Tarigan (1984) menjelaskan bahwa apresiasi sastra adalah penafsiran kualitas karya
sastra serta pemberian nilai yag wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman
yang jelas, sadar serta kritis, sebagai seorang yang memiliki pengalaman maupun mengamati
sastra bukan hanya bisa melihat dan menafsirkan saja, melainkan dapat menilai sebuah karya
sastra tersebut dari aspek kualitasnya.

2.2    Apresiasi Sastra Secara Resptif


2.2.1 Pendekatan emotif
Yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan emotif tidak lain karena karya sastra
adalah salah satu bagian dari karya seni yang sarat berbagai nilai-nilai estetis. Nilai estetis
tersebut diharapkan dapat dinikmati oleh masyarakat luas termasuk murid SD dalam berbagai
media cetak dan elektronik agar mereka dapat memperoleh hiburan yang mendidik.
               Pendekatan emotif merupakan pendekatan yang mengarahkan pembaca untuk
mampu menemukan dan menikmati nilai keindahan (estetis) dalam suatu karya sastra
tertentu, baik dari segi bentuk maupun dari segi isi. Kaitannya dengan pendekatan emotif,
Aminuddin (2004:42) mengemukakan bahwa:
“Pendekatan emotif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang
mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu berhubungan dengan keindahan
penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu
atau menarik”
Sebagai contoh penerapan pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra anak
secara reseptif, kita perhatikan puisi berikut.

Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat kau penu seluruh
...........................................
Jika kita cermati dan resapi larik demi larik puisi di atas akan terasa nilai keindahan
bentuknya, kususnya dari segi persamaan bunyi akhirnya.
Selanjutnya, kita cermati keindahan penggalan puisi W.S. Rendra yang berjudul Sajak
Sebatang Lison berikut.
...........................................
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi suatu jalan panjang.
tanpa pilihan
tanpa pepohonan.
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya.
.............................................
Penggalan puisi Rendra di atas dapat membersitkan keindahan irama (nada, tempo,
tekanan), keindahan diksi, gaya bahasa repetisi, dan keindahan pengungkapan rasa iba-pilu
melihat derita 8 juta anak-anak Indonesia yang tak diketahui kapan berakhir.
2.2.2 Pendekatan Didaktis
Pendekatan didaktis tersebut ada karena mutu karya sastra antara lain ditentukan
oleh ada tidaknya nilai kemanfaatan didaktis yang terkandung di dalamnya. Semakin banyak
mengandung nilai kemanfaatan didaktis-humanistik semakin tinggi pula mutu karya sastra itu
.
Pendekatan didaktis mengantar pembaca untuk memperoleh berbagai amanat,
petuah, nasihat atau pandangan keagamaan yang sarat dengan nilainilai yang dapat
memperkaya kehidupan rohaniah pembaca. Aminuddin (2004:47) mengemukakan bahwa:
“Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukaan dan memahami
gagasan, tanggapan, evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan,
tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis,
filosofis, maupun agamis sehingga akan mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.”
Sebagai contoh penerapan pendekatan didaktis dalam mengapresiasi sastra anak-
anak di sekolah Dasar kita perhatikan dan baca penggalan bait puisi berikut secara saksama.
..................
Pada hari Sabtu sore
Sesudah salat bersama ayah, ibu, nenek
Saya dan kawan-kawanku
Pergi main layang-layang
Di tanah lapang

Nasihat apa yang dapat diperoleh setelah membaca puisi di atas? Paling kurang ada
tujuh macam: (1) sebagai anak sekolah hendaknya bermain-main pada pada Sabtu sore bukan
Rabu sore, supaya semua PR dapat terselesaikan dengan baik, (2) hendaknya pergi bermain
sesudah salat ashar, (3) kalau shalat diupayakan berjamaah dengan seisi rumah, (4) kalau
pergi bermain jangan sendiri tetapi bersama kawan-kawan agar lebih asyik dan jika
mengalami kecelakaan ada yang menolong, (5) biasakan hidup kebersamaan jangan biasakan
hidup jalan sendiri (egois),  (6) sebagai anak-anak perlu bermain jangan hanya belajar supaya
perkembangan jiwanya normal, dan (7) jika bermain layangan kiranya di tanah lapang, bukan
di jalan raya, berbahaya.
2.2.3 Pendekatan Analitis
 Aminuddin (2004:44) mengungkapkan bahwa:
“Pendekatan analitis merupakan pendekatan yang berupaya membantu pembaca memahami
gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan, sikap pengarang, unsur instrinsik dan
hubungan antara elemen itu sehingga dapat membentuk keselarasan dan kesatuan dalam
rangka terbentuknya totalitas bentuk dan maknanya”.
Namun demikian, penerapan pendekatan analitis dalam pembelajaran sastra di SD
tidaklah berarti harus selengkap seperti yang dipaparkan di atas. Telah memadai, jika telah
dapat mengungkapkan unsur-unsur yang membangun karya sastra yang dibaca, dan dapat
menujukkan hubungan antarunsur yang saling mendukung/saling bertentangan, serta mampu
memaparkan pesan-pesan yang dapat memperkaya pengalaman rokhaniah.
Aminuddin (2004) mengemukakan bahwa unsur dalam prosa atau cerita fiksi
adalah tema, latar, alur, penokohan, dan titik pandang, dan gaya. Keenam unsur itulah yang
dimanfaatkan oleh pengarang untuk membangun suatu cerita yang menyenangkan dan
bermakna.
2.2.3.1 Tema Cerita
Sebagai langkah awal yang harus ditempuh oleh pengarang dalam menciptakan sebuah karya
sastra prosa adalah menentukan tema. Hal ini karena tema oleh Sumardjo (1984:57) adalah
pokok pembicaraan dalam sebuah cerita”. Tentu saja pokok pembicaraan artau ide tersebut
melandasi lahirnya karya sastra mulai dari awal sampai akhir.
Apabila kita memperhatikan dengan cermat, dalam sebuah karya sastra prosa, maka akan
nampak pada kita dengan jelas bahwa tema tersebut akan terasa dan mewarnai karya sastra
tersebut dari halaman awal hingga akhir. Dengan demikian, tema cerita dapat dikatakan
bahwa tema adalah permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun
cerita dan sekaligus merupakan permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dalam
karyanya.
2.2.3.2 Alur (plot)
Rene Wellek mengatakan bahwa plot adalah struktur penceritaan. Sedangkan Hudson
mengatakan bahwa plot adalahrangkaian kejadian dan perbuatan, rangkaian hal-hal yang
diderita oleh pelaku-pelaku sepanjang roman/nover berasangkutan. Dan akhirnya Oemarjati
mengambil kesimpulan bahwa plot adalah struktur penyusunan kejadian-kejadian dalam
cerita tapi disusun secara logis.
Berdasarkan kutipan tersebut dapatlah kita menyatakan bahwa plot merupakan cara
pengarang menjalin kejadian-kejadian secara berentetan dengan memperhatikan hukum sebab
akibat sehingga membentuk suatu kesatuan cerita yang yang utuh dan padu. Artinya peristiwa
terdahulu menjadi sebab munculnya peristiwa kemudian dan peristiwa yang muncul
kemudian merupakan akibat peristiwa terdahulu.
Plot dilihat dari segi sifatnya terbagi atas plot rapat dan plot longgar. Plot rapat adalah plot
yang seluruh peristiwa yang ditampilkan setiap pelaku hanya berpusat pada satu alur,
misalnya. Sedang plot longgar adalah plot yang setiap pelakunya mempunyai alur peristiwa
tersendiri; di dalamnya ada beberapa alur cerita seperti dalam Kisah Mahabrata. Dilihat dari
segi bentuknya, plot terdiri atas beberapa macam seperti plot/alur maju, mundur dan alur
maju mundur. Alur mundur (flashback) yang dimulai menceritakan peristiwa bagian akhir
lalu kembali menceritakan bagian awal dan bagian tengah tenagah. sedangkan alur maju
(kronologis) adalah alur cerita yang menceritakan peristiwa berdasarkan urutan waktu
kejadiannya dari awal, tengah, lalu menuju ke bagian akhir kejadian cerita. Adapun alur
campuran atau maju mundur adalah alur yang menceritakan sesuatu ketika berada pada
kejadian, di tengah cerita kembali lagi menceritakan peristiwa pada awal cerita, misalnya saat
sekolah di SMU dia bercerita ketika di masih di SD kelas 4.
Plot atau rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita menurut Aminuddin (2004) bahwa
alur cerita dapat dikelompokkan atas lima tahapan: (1) eksposis  pengenalan masalah dengan
memperkenalkan konflik pada bagi-an awal cerita., (2) komplikasi, yakni pelaku menghadapi
masalah tertentu yang berupaya untuk dipecahkan pada bagian tengah cerita, (3) klimaks,
yakni konfliks memuncak yang diharapkan dapat terselesaikan pada menjelang bagian-bagian
akhir cerita , (4)  denoument masalah yang terdapat pada bagian akhir cerita.
2.2.3.3 Penokohan
Penokohan merupakan pelaku yang dapat berbentuk manusia atau binatang yang terlibat
dalam rangkaian peristiwa cerita. Pelaku dan sifatsifatnya merupakan unsur yang penting
karena merupakan ciri utama sebuah cerita dan pengalaman penulis dikreasikan kepada
pembaca terpusat pada pelaku dan sifatnya. Pengarang mengembangkan karakter dalam
cerita melalui keadaan pelaku, (penampilan), prilaku yang ditampilkan (lakuan), dari apa
yang diucapkan (dialog), dari apa yang dipikirkan (monolog).
Secara umum, pelaku dapat dikelompokkan atas pelaku utama dan pelaku tambahan. Pelaku
utama adalah pelaku yang paling menonjol perannya, terlibat secara penuh dari awal hingga
akhir peristiwa dalam cerita. Sedang pelaku tambahan adalah pelaku yang hanya muncul
pada peristiwa tertentu.
Di samping itu, ada cerita tertentu yang mempunyai tiga macam pelaku, yakni (a) pelaku
protogonis  yaitu pelaku menampilkan berbagai sifat yang baik misalnya, bijaksana,
penolong, dermawan, pemaaf dan sebagainya, (b) pelaku antagonis yakni pelaku yang aktif
dalam beberapa peristiwa dengan menampilkan sifat-sifat yang berlawanan dengan sifat
pelaku utama atau sifat jahat, misalnya misalnya: licik, khianat, bohong, serakah, dan
sebagainya, (c) pelaku tritogonis  adalah pelaku yang berfungsi melerai perseteruan antara
pelaku antagonis dan pelaku protogonis.
2.2.3.4 Latar Cerita
Setiap peristiwa atau perbuatan selalu berlangsung pada waktu, dan tempat tertentu. Waktu
dan tempat berlangsungnya peristiwa disebut latar, baik berupa latar fisik maupun berupa
latar sosial. Penggambaran latar yang rinci dalam narasi dapat membantu penyusunan alur,
memperjelas pelaku narasi, dan memudahkan pembaca menangkap amanat atau pesan yang
disampaikan oleh penulisnya. Namun demikian, kadangkala ada cerita yang tidak dapat
diketahui secara jelas waktu kejadiannya tetapi latar fisik dan latar sosial masayarakat tempat
terjadinya peristiwa dapat diketahui dengan jelas.
Latar cerita tidak hanya berkaitan dengan tempat kejadian perisitwa tetapi juga dengan waktu
dan suasana saat peristiwa yang terjadi peristiwa tersebut. Waktu terjadinya peritiwa dapat
dibagi atas: siang-malam (time of day), priode waktu sekarang, yang akan datang, atau waktu
yang telah lalu (time of period). Penentuan latar waktu yang tepat akan mendukung gambaran
suasana cerita yang menarik. Misalnya suasana cerita yang menakutkan (horor) akan lebih
tepat memilih waktu malam “Jumat Kliwon”. Lain halnya untuk jenis cerita fantasi biasanya
merujuk pada latar waktu lampau sehingga digunakan “pada zaman duhulu”.
2.2.3.5. Sudut Pandang
Cara penulis menyajikan peristiwa dalam cerita banyak ditentukan oleh sudut pandang yang
digunakan. Sudut pandang adalah posisi penulis dalam cerita yang ditulisnya. Secara garis
besar ada dua sudut pandang yangdigunakan dalam menulis cerita (a) sudut pandang orang
pertama atau gaya saya (aku atau kami) dan (b) sudut pandang orang ketiga atau gaya dia
(manusia atau binatang). Sudut pandang gaya saya atau aku, penulis melibatkan dirinya
dalam peristiwa yang disampaikan baik sebagai pelaku utama maupun sebagai pelaku
tambahan. Adapun sudut pandang gaya dia, penulis menghadirkan orang lain atau nama lain
sebagai pelaku untuk menggambarkan idenya atau gagasannya .
Pada umumnya cerita menggunakan gaya dia dibandingkan dengan cerita yang bergaya aku.
Hal ini gaya aku cenderung menggurui pembaca dan kelihatan lebih tahu segala-galanya.
Sedangkan gaya dia relatif dipandang wajar sebagai suatu peristiwa yang menyenangkan,
mendidik , dan memberi makna yang menarik.
2.2.3.6. Gaya Pengungkapan
Gaya merupakan teknik pengarang menyampakain gagasanya lewat cerita dengan untaian
kalimat atau kata- kata yang khas. Pengungkapan tersebut dengan jelas tercermin pada
pengolahan persoalan yang ditampilkan, tema yang dicairkan dalam cerita. Gaya tersebut
relatif tidak ditemukan pada pengarangan yang lain.
Berbicara tentang gaya pengarang dalam bercerita, ada yang bersifat lemah lembut, kata-kata
yang indah, rangkaian kalimat yang penuh cinta kasih. Sebaliknya, ada pula yang bergaya
keras, pemberontakan terhadap hal yang telah ada, ingin melihat perubahan sesuatu secara
cepat atau secara revolusioner. Di samping itu, ada pula yang bergaya moderat, tidak terlalu
lembut dan tidak terlalu keras dalam menyampaikan gagasannya. Intinya gaya merupakan
teknik penyampaian gagasan pengarang tertentu dalam bercerita sebagai karakteristik
tersendiri bagi dirinya yang tidak ditemukan pada pengarang yang lain.
2.3 Apresiasi sastra secara produktif
2.3.1 Pendekatan Parafrastis
Parafrase merupakan salah keterampilan yang dapat meningkatkan apre- siasi sastra
siswa. Melalui parafrase, siswa berlatih mengubah bentuk karya sastra tertentu menjadi
bentuk karya sastra yang lain tanpa mengubah tema atau gagasan pokoknya, misalnya prosa
menjadi puisi, puisi menjadi prosa , prosa menjadi drama atau sebaliknya. Dengan melalui
pengubahan bentuk tersebut, siswa dapat semakin memahami isi karya sastra tersebut.
Aminuddin (2004) menjelaskan bahwa parafrase adalah strategi pemahaman makna suatu
bentuk karya sastra dengan cara mengungkapkan kembali karya pengarang tertentu dengan
menggunakan kata-kata yang berbeda dengan kata-kata yang digunakan pengarang.
Pendekatan parafrastis perlu dipahami dan dialami oleh siswa karena para pengarang
sering menggunakan kata yang konotatif, kias, elipsis atau menghilangkan sebagian unsur,
dan kurang menaati tatabahasa karena adanya hak licentia poetica pengarang Kesemuanya itu
dapat menyulitkan pembaca untuk memahami karya sastra tertentu. Melalui parafrase,
pembaca dapat semakin memahami karya sastra tertentu.
Di samping itu, Aminuddin (2004) mengemukakan bahwa pendekatan parafrastis
pada dasarnya beranjak dari prinsip bahwa (a) pengubahan bentuk karya sastra tententu ke
dalam bentuk sastra yang lain (puisi ke prosa atau sebaliknya) akan semakin meningkatkan
keluasan dan ketajaman pemahaman pembaca yang bersangkutan (b) gagasan tertentu dapat
dikemukakan dalam bentuk yang berbeda, misalnya puisi ke prosa, (c) simbol yang konotatif
(mengandung ketaksaan makna atau abstrak) dapat diganti dengan kata yang lebih konkret
dan mudah dipahami, (d) pengungkapan yang eliptis dapat ditambah sehingga semakin
lengkap dan mudah dimengerti.
I.G.P. Antara (1985) mengemukakan bahwa teknik memparafrasekan puisi menjadi
prosa dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni sebagai berikut:
(a) Teknik larik yakni perubahan bentuk puisi ke dalam bentuk prosa dengan mendasarkan kepada
kalimat demi kalimat yang terdapat dalam puisi tersebut.
(b) Teknik bait yakni perubahan bentuk puisi menjadi prosa didasarkan kepada susunan bait demi
bait yang menyusun puisi yang diparafrasekan.
(c) Teknik global yakni perubahan bentuk puisi menjadi prosa yang didasarkan kepada
keseluruhan unsur yang membentuk puisi itu. Makna yang tercermin dalam puisi itu
dituangkan ke dalam bentuk prosa.
Berikut disajikan contoh parafrase puisi ke prosa.
HARI LIBUR
Hatiku gembira
Ujian usai sudah
Rapor ku terima
Aku rangking pertama
Esok amulai libur
Liburan kuhabiskan di rumah nenek
Liburan sambil melepas rindu
Kunikmati damainya desa
Tiap hari
Kutelusuri pematang sawah
Bernyanyi riang
Menyambut kicau burung
Satu minggu sudah
Hari libur habis
Aku harus pulang
Selamat tinggal
Selamat tinggal nenek
Puisi yang berjudul “Hari Libur” di atas dapat diubah menjadi sebuah cerita seperti
berikut.
HARI LIBUR
Selain hari minggu, saya selalu menyelesaikan tugas PR selama 1- 2 jam sesudah
bangun tidur siang hari. Setelah itu, baru pergi main bersama teman teman. Setelah salat
magrib secara berjamaah dengan Bapak, Ibu dan Kakek, Nenek, dan Kakak, saya belajar
selama satu jam untuk mengulangi pelajaran yang telah dipelajari di sekolah, kemudian pergi
menonton dan tidur. Dengan demikian, pada waktu ujian cawu, seluruh pertanyaan dapat
saya jawab dengan baik dan tepat. Dengan ketekunan dan kedisiplinan belajar tersebut, pada
waktu menerima rapor, di , lalu saya buka, di dalamnya tertulis sebagai peringkat I langsung
saya mengucapkan Alhamdulillah, betapa senangnya dan puasnya saya saat itu. Begitu pun,
mama ,bapak, dan nenek di rumah.
Sesaat setelah pembagian rapor, ada siswa bertanya, “Kapan mulai libur cawu , Bu?,”
tanya Imran.
“Libur cawu mulai besok,” jawab Bu Guru.
Ady sambung bertanya, “Berapa lama libur, Bu?”
Jawab bu Guru, “Sembilan hari. Jadi kita mulai sekolah pada hari Rabu”
Pada malam harinya, bapak bertanya, “Berapa lama kau libur, Nak?” “Sembilan hari ,
Pak!” Jawabku singkat. “Lalu di mana akan berlibur?” tanya bapak Lagi.“ “Saya mau
berlibur ke rumah nenek di desa sambil melepas rindu, sekaligus menikmati damai dan
indahnya panorama desa.“ Jawabku dengan wajah yang ceria.“ Itu ide yang bagus. Insya
Allah nanti bapak-ibu antar besok sekalian melepas rindu juga dengan nenek dan kelu-arga
lainnya di desa kelahiran bapak.
Keesokan harinya, tepatnya pada hari minggu pagi, saya berangkat bersama Ayah dan
ibu ke rumah nenek yang jauhnya sekitar 25 kilometer dari rumah kami. Dua jam kemudian
saya tiba rumah nenek. Betapa gembiranya nenek menyambut kami, saya langsung dipeluk
dan dicium sambil berkata “Kenapa baru datang, Nak. Lama sekali rasanya baru bertemu.
Nenek sudah rindu sekali”. Baru libur, Nek! Jawabku.
Selama di rumah nenek, setiap hari aku berjalan bersama nenek, mene-lusuri
pematang sawah sambil menyanyi dengan riang gembira. Utamanya pada pagi hari setelah
shalat subuh, kami berjalan-jalan bersama nenek mengelilingi desa sambil mendengarkan
kicauan berbagai macam burung yang begitu mengasyikkan. Alangkah indahnya berlibur
di rumah nenek.
Pada malam Selasa, saya menyampikan kepada nenek bahwa besok saya akan pulang
karena sudah beberapa hari di sini . “Mengapa cepat sekali pulang cucuku? Rindu nenek
masih...” ” Lusa hari sekolah sudah mulai, Nek!” sambungku cepat. “Kalau begitu, nenek
tidak bisa menahanmu, nanti bapakmu marah.” Nek, bisa antar saya besok sekalian jalan-
jalan ke kota. Sudah lama juga nenek tidak ke kota. Nanti kita jalanjalan menikmati ramai
dan hiruk pikuknya kendaraan dan megahnya bangunan di kota Makassar .“ “Nenek sudah
tua, dan ada sepupumu akan dinikahkan minggu depan” Jawabnya.
Keesokan harinya, Bapak dan Ibu menjemputku. Sekiat 20 meter dari rumah nek,
Saya melambaikan tangan kepada nenek sambil mengucapkan dalam hati “Selamat tinggal
panorama desaku yang indah dan permai, sela-mat tinggal nenek tersayang , sampai jumpa
nek di libur cawu mendatang.”
2.3.2 Pendekatan Analitis
Pendekatan analitis telah dibahas teori dan penerapannya pada unit subunit 1 yang
tujuannya untuk meningkatkan taraf apresiasi sastra anak SD secara reseptif. Oleh karena itu,
pendekatan analitis pada subunit 2 ini akan diarahkan pembahasan dan penerapannya untuk
meningkatkan taraf apresiasi sastra anak SD secara produktif.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada subunit 1 bahwa pendekatan
analitis merupakan pendekatan yang mengarahkan pembaca untuk memahami
unsur-unsur instrinsik yang menangun suatu karya sastra tertentu dan hubungan
antarunsur yang satu dengan lainnya sebagai suatu kesatuan yang utuh (Aminuddin, 2004).
Diharapkan dengan pemahaman tersebut pembaca menulis
karya sastra tertntu dengan baik. Untuk itu, sebelum siswa ditugasi menulis
puisi misalnya lebih dahulu dibelajarkan tentang unsur-unsur instrinsik puisi.
Menurut I.A Richard (dalam Situmorang,1980) ada dua hal pokok yang
membangun puisi, yaitu hakikat puisi dan metode puisi. Hakikat puisi meliputi
tema, rasa, nada, dan amanat, sedang metode puisi meliputi diksi, gaya bahasa,
kata konkret, imagery, ritme dan rima. Hubungan keduanya erat, oleh Tarigan
(1989) seperti hubungan jiwa dan tubuh.sehingga hakikat puisi dapat disebut
sebagai unsur batiniah dan metode puisi dapat disebut sebagai unsur lahiriah
puisi.
2.3.2.1  Unsur lahiriah (metode puisi)
2.3.2.1.1 Diksi. Diksi merupakan kemampuan memilih kata demi kata secara tepat menurut tempatnya
yang sesuai dalam suatu jalinan kata yang harmonis dan artistik sehingga sejalan dengan
maksud puisinya, baik secara denotatif maupun secara konotatif. Misalnya:
Sekali berarti (bukan: bermakna, berguna, bermanfaat)
Sudah itu mati (bukan: wafat, meninggal, tewas, mampus, dll.
2.3.2.1.2 Gaya bahasa. Gaya bahasa ialah cara atau gaya tertentu yang digunakan penyair untuk
menciptakan kesan tertentu, daya bayang, dan nilai keindahan, seperti:
- gaya personifikasi : “Kerling danau di pagi hari” (Situr Situmorang)
- Gaya simbolisme : Ah, rumput, akarmu jangan turut mengering (Waluyati)
2.3.2.1.3 Kata konkret. Kata konkret ialah pemakaian kata-kata yang dapat mewakili suatu pengertian
secara konkret dengan memilih kata yang khusus; bukan yang umum, misal:
- Anak itu bersimpuh di kaki ibundanya. (kata khusus)
-   Aak itu duduk lalu memeluk kaki ibundanya (kata umum)
2.3.2.1.4 Daya bayang (imagery). Daya bayang (imagery) ialah kemampuan penyair mendeskripsikan
atau melukiskan suatu benda atau peristiwa sehingga seolah-olah pembaca menyaksikan
benda atau mengalami peristiwa seperti yang disaksikan atau dialami penyair tersebut.
Daya bayang terwujud sebagai manifestasi dari pemakaian kata konkret, diksi, dan gaya
bahasa yang tepat. Misalnya:
Sajak Kecil Buat Penggalang
 Dengan gagah perkasa
Engkau berdiri siap siaga
Bersenjata tongkat dibalut kain selempang
Berhias tanda-tanda kecakapan
Tali merah tali sempritan
Tersandang di lengan tangan kiri
Kepala dibalut baret
Lengkap lencana tunas kelapa
Tali melingkar bergantung dipinggang
Sangkur menambah indah dipandang
.....................................
2.3.2.1.5 Irama dan rima.
(a) Irama adalah berkaitan dengan keras lembutnya suara (tekanan), panjang pendeknya suara
(tempo), dan tinggi rendahnya suara (nada), perhentian sejenak (jeda) dan lainnya. Misalnya
sebagai berikut.
KASIH IBU
Siti Atika
Penuh kasih engkau nina bobokkan aku
Penuh cinta engkau suapi aku
Tangisku, rintihanku dan rengekanku
Tetap membuatmu tersenyum
Kasihmu seluas samudra
Cintamu sedalam lautan
Sayangmu setinggi gunung
Dengan apa aku harus membalasnya
Ibu....
Di dunia ini tiada banding kasihmu
Dalam deritamu
Engkau tetap tabah mengasuh dan mendidik aku
Ibu.....
Engkau adalah matahariku
Engkau adalah rembulanku
Doaku bersamamu selalu
Semoga rahmat Ilahi atasmu
(b) Rima ialah persaman bunyi awal, akhir, awal-akhir. Misalnya:
Caya bulan di ombak menitik
Embun berdikit turun menitik (J.E.Tatengkeng)
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal...... (Chairil Anwar)
2.3.2.2 Unsur batiniah puisi (hakikat puisi)
(1) Tema ialah pokok persoalan yang mendasari dan menjiwai setiap larik puisi. Misalnya,
Ayip Rosidi menuangkan tema “Ketidakpuasan “ dalam puisi “Di Akuarium”:
Di Akuarium
Ayip Rosidi
Kulihat ikan-ikan berenangan, alangkah nyaman dan tenang hidup tanpa persoalan. Betapa
ingin aku menjadi ikan.
Dari balik kaca, matanya cemburu memandang
Barangkali ingin menjadi manusia, menjadi aku
Yang pergi memancing di hari minggu.
(2) Rasa (feeling) ialah sikap pandang (pendapat) penyair terhadap pokok persoalan/tema
tertentu. Ada penyair yang bersikap simpati-antipati, setuju-tidak setuju, dll. Misalnya Chairil
Anwar dalam masih bersikap menerima terhadap gadis yang telah mengecewakannya dengan
persyaratan tertentu. Sebaliknya Armyn Pane bersikap menolak terhadap
gadis yang telah mengecewakannya. Hal itu terungkap dalam puisinya
masing-masing sebagai berikut.
PENERIMAAN
Chairil Anwar
Kalau kau mau, kuterima kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetapi sendiri
Kutahu kau yang bukan dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tantang Aku
dengan berani
KEMBANG SETENGAH JALAN
Armyn Pane
Mejaku hendak dihiasi
Kembang jauh dari gunung
Kau petik sekarangan kembang
Jauh jalan panas hari
Bunga layu setengah jalan
(3) Nada (tone) ialah sikap bahasa penyair terhadap penikmat karyanya. Ada penyair bersikap
didaktis, persuasif, sinis (ironis), tawadhu (rendah
diri), dan sebagainya. Misalnya Ali Hasymi bersikap persuasif dalam puisinya sebagai
berikut.
MENYESAL
Pagiku hilang melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi
Aku lalai di hari pagi
Beta lengah di hari pagi
Kini hidup meracuni hati
Miskin ilmu miskin harta
Ah, apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan di pagi hari
Menuju ke arah padang bakti
(4) Amanat. Amanat adalah pesan, nasihat, petuah, yang disampaikan oleh penyair dalam
karyanya baik secara langsung atau taklangsung . Pesan tersebut dapat dijadikan sebagai
perluasan wawasan, memperkaya
pengalaman, dan memperhalus budi pekerta, serta mempertinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Penerapan pendekatan analitis dalam upaya meningkatkan apresiasi sastra anak SD secara
produktif sejalan dengan pendapat Badriyah (2000) tentang langkah-langkah menulis puisi
sebagai berikut:
(1) Mengamati suatu objek secara cermat.
(2) Tentukan tema, lalu dijadikan judul puisi.
(3) Susun alur (kronologis / spasial) lalu kembangkan menjadi cerita.
(4) Susunlah berurutan ke bawah, satu baris satu kalimat pendek.
(5) Jika ada kalimat yang panjang, pendekkan dengan membuang kata kata sambung yang
tidak penting.
(6) Cari kata/kalimat yang intesitas keindahannya dan maknanya kurang kuat dengan kata-
kata yang lebih indah (konotatif) dan imajinatif, misalnya angin, hitam, diganti dengan bayu,
pekat/kelam.
(7) Cemati terus menerus tiap kalimat/kata dengan memperhatikan keindahan bunyi dan
penggunaan gaya baya bila memungkinkan. Sebagai contoh:
BAJU KESUKAANKU
Warnamu sungguh sangat baik
Mataku senang melihatmu
Selalu aku kupakai
Pergi kegiatan penting
Denganmu aku gembira dan riang
Dan bisa bergaul dengan baik
Tanpa ada rasa malu dan rendah diri
Namun sekarang ini
Kau sudah penuh banyak debu
Kau sudah penuh banyak lumpur
Aku selalu lupa mencucimu
Puisi di dapat diperbaiki seperti berikut ini :
BAJU KESAYANGNKU
Warnamu sungguh menawan
Elok mata memandangmu
Tiap saat kupakai
Di pertemuan penting
Denganmu aku ceria
Dapat bergaul leluasa
Dengan rasa percaya diri
Namun kini
Kau berdebu
Kau berlumpur
Aku lupa baktimu

III.   PENUTUP
Simpulan
3.1    Pengertian apresiasi sastra anak-anak merupakan serangkaian kegiatan bermain dengan sastra
anak-anak sehingga muncul pengertian, ketepatan dan ketelitian pemahaman, kepekaan
perasaan dan penghargaan yang baik dalam diri anak terhadap sastra anak-anak.
3.2    Pendekatan emotif merupakan pendekatan yang mengantar pembaca untuk dapat menikmati
dan menunjukkan nilai-nilai keindahan yang terjandung dalam suatu karya sastra. Sedang
pendekatan didaktis merupakan pendekatan mengarahkan anak untuk dapat memetik
berbagai pesan atau amanat yang terdapat suatu karya sastra. Adapun pendekatan analitis
adalah pendekatan yang dapat membantu pembaca untuk memahami unsur-unsur instrinsik
yang membangun suatu karya hubungan antar unsur tersebut sebagai suatu kesatuan yang
utuh.
3.3    Sastra anak-anka terdiri atas (1) puisi merupakan pengungkapan gagasan dan perasaan dalam
bentuk rangkaian bait demi bait, (2) prosa merupakan pemaparan peikiran dan perasaan
melaui bentuk paragraf demi paragraf, (3) drama merupakan pengemukaan gagasan dan
perasan melalui bentuk dialog antara berbagai tokoh.

DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, Arif. 2011. “Definisi Apresiasi Sastra” (online)


http://arifayip.blogspot.com/2011/02/definisi-apresiasi-sastra.html ( Diakses pada 26
November 2013, 20.30 WIB)
M. Faisal, dkk. Kajian Bahasa Indonesia SD. 2009. Jakarta : Depdiknas.
Puji Santosa, dkk. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. 2003.  Jakarta : Universitas
Terbuka.
Diposting oleh Bu Ahsin di 18.29 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
Bu Ahsin
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog

 ▼  2014 (20)
o ▼  Juni (20)
 Psikologi Perkembangan : MENGEMBANGKAN BAKAT DAN K...

 PIP : PERMASALAHAN PENDIDIKAN MELIPUTI KETERKAITAN...


 Laporan Observasi Idul Adha
 SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA MENURUT UNDANG – UN...
 Bunyi
 Basa Jawa : Nyemak
 Basa Jawa : APRESIASI SASTRA RESEPTIF
 Conversation Between Teacher and Student
 THE IMPORTANCE OF LEARNING ENGLISH IN ELEMENTARY S...
 Deklamasi dan Pementasan Sastra Anak
 Apresiasi Sastra Secara Reseptif dan Produktif
 Sastra Anak
 Sintaksis
 Morfologi Bahasa Indonesia
 Struktur Fonologi
 Kedudukan Bahasa Indonesia
 Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
 Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa Anak
 Ragam Bahasa Indonesia

 Hakikat dan Fungsi Bahasa Indonesia


Tema PT Keren Sekali. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai