Anda di halaman 1dari 14

BAB III

PEMETAAN MASALAH

A. Identifikasi Masalah
Berdasarkan hasil penemuan kesenjangan antara fakta dan target serta
prosedur yang ditetapkan, maka permasalahan program yang belum tercapai
pada bagian promosi kesehatan Puskesmas Baamang II pada tahun 2016
adalah sebagai berikut:
1. Belum tercapainya cakupan PHBS rumah tangga. Dari 10 indikator
penilaian dengan target nasional 80%, pencapaian rata-rata hanya sebesar
75% yang sudah mempraktikkan PHBS (halaman 29).
2. Belum tercapainya cakupan PHBS institusi pendidikan atau sekolah. Dari
19 sekolah yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Baamang II dengan
target nasional 80%, hanya 15 sekolah yang mempraktikkan PHBS atau
hanya sebesar (78,94%) (halaman 29).
B. Prioritas Masalah
Adanya keterbatasan pada ketersediaan sumber daya, keterbatasaan
biaya dan keterbatasan waktu, maka perlu dipilih suatu prioritas masalah yang
perlu ditangani terlebih dahulu. Salah satu cara dalam menentukan prioritas
masalah yaitu dengan menggunakan metode Bryant karena metode ini cocok
untuk mengidentifikasi masalah di sebuah organisasi/instansi dan dapat
menggunakan data yang sudah tersedia tanpa melakukan survey langsung.
Adapun kriteria-kriteria yang digunakan yaitu (15):
1. Besarnya masalah (Prevalence):
Prevalence atau besar masalah yaitu jumlah atau kelompok masyarakat
yang terkena masalah.
1 : Menyatakan masalah tidak besar
2 : Menyatakan masalah kurang besar

30
31

3 : Menyatakan cukup besar


4 : Menyatakan masalah besar
5 : Menyatakan masalah sangat besar
2. Kegawatan masalah (Seriousness):
Seriousness atau kegawatan masalah yaitu tingginya angka morbiditas
atau mortalitas serta kecenderungannya.
1 : Menyatakan masalah tidak serius
2 : Menyatakan masalah kurang serius
3 :Menyatakan masalah cukup serius
4 : Menyatakan masalah serius
5 :Menyatakan masalah sangat serius
3. Kepedulian komunitas (Community Concern):
Community concern atau kepedulian komunitas yaitu perhatian atau
kepentingan masyarakat dan pemerintah atau instansi terkait terhadap
masalah tersebut.
1 : Menyatakan kepedulian terhadap masalah sangat tinggi
2 : Menyatakan kepedulian terhadap masalah tinggi
3 : Menyatakan kepedulian terhadap masalah cukup tinggi
4 : Menyatakan kepedulian terhadap masalah rendah
5 : Menyatakan kepedulian terhadap masalah tidak ada
4. Ketersediaan Sumber Daya (Manageability) :
Managebility yaitu ketersediaan sumber daya (tenaga, dana, sarana dan
metode/cara).
1 : Menyatakan sumber daya untuk penanggulangan sangat besar
2 : Menyatakan sumber daya untuk penanggulangan besar
3 : Menyatakan sumber daya untuk penanggulangan cukup besar
4 : Menyatakan sumber daya untuk penanggulangan kurang besar
5 : Menyatakan sumber daya untuk penanggulangan tidak besar
32

Berikut tabel penentuan prioritas masalah dengan metode bryant


sebagai berikut:
Tabel 3.1 Penentuan Prioritas Masalah dengan Metode Bryant

Kriteria Jumlah
No Masalah Rank
P S C M PxSxCxM

1 Belum tercapainya cakupan


PHBS rumah tangga. Dari 10
indikator penilaian dengan
target nasional 80%,
4 4 3 4 192 I
pencapaian rata-rata hanya
sebesar 75% yang sudah
mempraktikkan PHBS.

2 Belum tercapainya cakupan


PHBS institusi pendidikan atau
sekolah. Dari 19 sekolah yang
terdapat di wilayah kerja
Puskesmas Baamang II dengan 3 4 3 3 108 II
target nasional 80%, hanya 15
sekolah yang mempraktikkan
PHBS atau hanya sebesar
(78,94%).

Berdasarkan hasil perhitungan pembobotan dengan kriteria yang telah


disepakati dengan menggunakan teknik Bryant, terhadap permasalahan dalam
program kegiatan promosi kesehatan maka diperoleh beberapa prioritas
masalah berdasarkan ranking tertinggi untuk dipecahkan, yaitu:
Prioritas I : Belum tercapainya cakupan PHBS rumah tangga. Dari 10
indikator penilaian dengan target nasional 80%, pencapaian
rata-rata hanya sebesar 75% yang sudah mempraktikkan
PHBS.
33

Prioritas II : Belum tercapainya cakupan PHBS institusi pendidikan atau


sekolah. Dari 19 sekolah yang terdapat di wilayah kerja
Puskesmas Baamang II dengan target nasional 80%, hanya
15 sekolah yang mempraktikkan PHBS atau hanya sebesar
(78,94%).

Dari teknik Skoring dengan metode Bryant didapatkan prioritas masalah yang
utama yaitu “Belum tercapainya cakupan PHBS rumah tangga. Dari 10
indikator penilaian dengan target nasional 80%, pencapaian rata-rata hanya
sebesar 75% yang sudah mempraktikkan PHBS ”. Analisis berdasarkan metode
Bryant adalah:
a. Besarnya Masalah (prevalence)
1. Belum tercapainya cakupan PHBS rumah tangga. Dari 10 indikator
penilaian, pencapaian rata-rata hanya sebesar 75% yang sudah
mempraktikkan PHBS.

Diberi skor 4 karena masalah yang akan di timbulkan besar apabila


anggota rumah tangga tidak mempraktikkan PHBS. Berdasarkan laporan
kegiatan Promosi Kesehatan Puskesmas Baamang II tahun 2016, cakupan
pencapaian PHBS rumah tangga rata-rata hanya sebesar 75%. Sedangkan
menurut sasaran strategis kementerian kesehatan, persentase kabupaten dan
kota yang memiliki kebijakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sebesar
80%. Hal ini berarti pencapaian masih kurang 5% dari target yang ditetapkan.
Dari laporan kegiatan Promosi Kesehatan Puskesmas Baamang II tahun
2016, pencapaian PHBS terendah yaitu indikator perilaku tidak merokok
sebesar 65%. Hal ini berarti masih adanya anggota rumah tangga yang
merokok dalam rumah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahyanti
(2013), bahwa 95% perokok mempunyai risiko 2,334 kali untuk menderita ISPA
dibanding dengan orang yang tidak merokok. Keadaan ini sesuai dengan teori
34

yang di kemukakan Somantri (2009), bahwa penyebab utama terjadinya ISPA


adalah merokok. Hal ini didukung oleh penelitian Suhandayani (2007), bahwa
orang yang merokok berisiko 4,6 kali untuk menderita ISPA dibandingkan
dengan orang yang tidak merokok. Bahan kimia yang terkandung di dalam
rokok akan dihisap dan merangsang permukaan sel saluran pernapasan,
sehingga mengakibatkan keluarnya lendir atau dahak. Pada perokok bulu
getar yang terdapat dalam hidung sebagian besar dilumpuhkan oleh asap
rokok sehingga lendir di saluran nafas tidak dapat keluar sepenuhnya,
sehingga menjadi tempat berkembang biaknya bakteri yang menyebabkan
bronkhitis kronis (16,17,18).
Berdasarkan data 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Baamang II tahun
2016, ISPA merupakan penyakit pertama terbanyak yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Baamang II. Beberapa anggota rumah tangga mempunyai masa
rawan terkena penyakit menular dan penyakit tidak menular, oleh karena itu
untuk mencegah penyakit tersebut, anggota rumah tangga perlu
diberdayakan untuk melaksanakan PHBS. Sebagian besar masyarakat kurang
mengetahui syarat-syarat indikator PHBS di rumah tangga misalnya seperti
syarat air bersih secara fisik, syarat jamban yang seha, akibat merokok, cara
memberantas jentik nyamuk yang benar.
Pengetahuan merupakan faktor pemudah (predisposising factor) untuk
terlaksananya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), sehingga faktor ini
menjadi pemicu terhadap perilaku yang menjadi dasar atau motivasi bagi
tindakannya akibat tradisi atau kebiasaan, kepercayaan, tingkat pendidikan
dan tingkat sosial ekonomi. Meningkatnya pengetahuan akan memberi hasil
yang cukup berarti untuk memperbaiki perilaku, hal ini sesuai dengan
pernyataan Rogers dalam Notoatmodjo yang menyatakan bahwa 13
pengetahuan/ kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi
terbentuknya perilaku dan perilaku yang didasari pengetahuan akan bertahan
lama daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (19).
35

2. Belum tercapainya cakupan PHBS institusi pendidikan atau sekolah. Dari


19 sekolah yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Baamang II, hanya
15 sekolah yang mempraktikkan PHBS
Di beri skor 3 karena masalah yang akan di timbulkan cukup besar
apabila sekolah-sekolah tidak mempraktikkan PHBS. Indikator penilaian PHBS
di institusi pendidikan belum memenuhi akibat masih adanya sekolah yang
tidak memiliki kantin sekolah. Akibat tidak memiliki kantin sekolah, para siswa
sering mengkonsumsi makanan yang dijual di sekitar sekolah dimana
keamanan makanan yang dijual di sekitar sekolah yang belum menerapkan
prinsip-prinsip hygiene.
Kantin sekolah sehat adalah suatu ruangan atau bangunan yang berada
di sekolah dan menyediakan makanan sehat untuk siswa di sekolah.
Keamanan pangan di sekolah menjadi sangat penting untuk menciptakan
generasi yang sehat, cerdas dan berprestasi. Dengan adanya kantin sekolah
diharapkan bisa mencegah kemungkinan pencemaran biologis, kimia dan
benda lain yang dapat mengganggu kesehatan manusia (20).

b. Kegawatan Masalah (Seriousness)


1. Belum tercapainya cakupan PHBS rumah tangga. Dari 10 indikator
penilaian, pencapaian rata-rata hanya sebesar 75% yang sudah
mempraktikkan PHBS.

Diberi skor 4 karena tingkat kegawatan masalah yang di akibatkan oleh


permasalahan tersebut, seandainya tidak dipecahkan seperti tidak
menerapkan PHBS terutama merokok di dalam rumah, maka kasus pada
penyakit akibat rokok seperti ISPA dan gastritis di wilayah kerja puskesmas
36

Baamang II semakin banyak dan menjadi penyebab utama kematian. ISPA


masih menjadi masalah kesehatan dunia. Berdasarkan data WHO (2011), di
New York jumlah penderita ISPA sebesar 48.325 jiwa yang di derita oleh anak
usia 1-5 tahun. Di Negara berkembang 26-30% anak-anak gagal mencapai usia 5
tahun akibat menderita ISPA. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka
kesakitan dan kematian akibat ISPA (21).
2. Belum tercapainya cakupan PHBS institusi pendidikan atau sekolah. Dari
19 sekolah yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Baamang II, hanya
15 sekolah yang mempraktikkan PHBS
Diberi skor 4 karena berdasarkan tingkat kegawatan masalah, yaitu tidak
adanya kantin sekolah. Kantin sekolah sangat penting diperhatikan untuk
ketahanan pangan anak-anak sekolah. Berdasarkan Undang-undang nomor 36
tahun 2009 tentang ke sehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga
peserta didik dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan
setinggi-tingginya sehingga diharapkan dapat menjadi sumber daya manusia
yang berkualitas (22).
Selain itu apabila persoalan keamanan makanan yang dijual di sekitaran
sekolah tidak diperhatikan kehigienisannya dapat menimbulkan dampak yang
tidak diinginkan yaitu munculnya berbagai penyakit, salah satunya diare. Hal
ini sejalan dengan penelitian oleh Diana, dkk (2014) bila perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS) di sekolah tidak dilakukan dengan baik maka akan
menimbulkan dampak seperti munculnya berbagai penyakit. Rendahnya
cakupan PHBS di sekolah berdampak terhadap tingginya angka kesakitan yang
berhubungan dengan penyakit yang berorientasi lingkungan dan perilaku,
seperti penyakit diare dan Demam Berdarah Dengue (DBD) (22).
37

c. Kepedulian Komunitas (Community Concern)


1. Belum tercapainya cakupan PHBS rumah tangga. Dari 10 indikator
penilaian, pencapaian rata-rata hanya sebesar 75% yang sudah
mempraktikkan PHBS.

Diberi skor 3 karena kepedulian komunitas terhadap PHBS di rumah


tangga cukup tinggi. Meskipun dengan tenaga kesehatan yang terbatas
bidang Promosi Kesehatan Puskesmas Baamang II juga sudah melakukan
penyuluhan PHBS di tatanan rumah tangga. Pengetahuan yang dimiliki
seseorang belum menjamin mereka untuk mampu dan sadar dalam
berperilaku hidup sehat. Penyadaran akan kesehatan adalah program yang
dirancang untuk membawa perubahan kearah yang lebih baik melalui upaya
gerakan masyarakat dengan memandirikan individu, kelompok dan
masyarakat agar berkembang kesadaran, kemauan dan kemampuan diri untuk
berperilaku hidup bersih dan sehat (23).
Persoalan kesadaran sebenarnya adalah masalah klise, artinya kesadaran
merupakan fenomena publik yang tidak akan selesai. Kesadaran masyarakat
yang dibentuk atas kesadaran individu adalah cerminan kepribadian.
Berdasarkan penelitian Manalu (2014), kesadaran seseorang dibentuk oleh
faktor lingkungannya seperti pengetahuan yang didapatkan, pembelajaran
yang didapatkan didalam keluarga, pembelajaran dari teman sebaya atau
kelompok sosial lainnya (24,25).
2. Belum tercapainya cakupan PHBS institusi pendidikan atau sekolah. Dari
19 sekolah yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Baamang II, hanya
15 sekolah yang mempraktikkan PHBS
Diberi skor 3 karena kepedulian komunitas dalam kasus ini cukup tinggi,
penyuluhan PHBS dan pembinaan kepada anak-anak sekolah mengenai PHBS
38

sudah dilakukan. Ada satu indikator belum terpenuhinya kriteria penilaian


PHBS di sekolah yaitu tidak adanya kantin sekolah sehat. Kurangnya dana dan
kerja sama pihak sekolah untuk menyediakan kantin sekolah sehingga belum
tersedianya kantin sekolah sehat (7).
Kantin sekolah sebagai program dari pemerintah untuk keamanan
pangan khususnya jajanan anak sekolah untuk meningkatkan status gizi,
karena anak sekolah merupakan aset bangsa sebagai generasi penerus
pembangunan kesehatan yang berkualitas. Pengawasan keamanan pangan
jajanan anak sekolah merupakan salah satu kegiatan strategis mengingat anak
sekolah adalah generasi penerus bangsa yang akan datang (26).

d. Ketersediaan Sumber Daya (Managebility)


1. Belum tercapainya cakupan PHBS rumah tangga. Dari 10 indikator
penilaian, pencapaian rata-rata hanya sebesar 75% yang sudah
mempraktikkan PHBS.

Diberi skor 4 karena sumber daya yang diperlukan untuk


penanggulangan kurang besar, artinya sumberdaya yang ada masih kurang.
Petugas promosi kesehatan yang memiliki basic petugas penyuluh kesehatan
hanya 1 orang dan dibantu oleh 1 orang petugas lainnya, seperti yang
diterangkan oleh kepala bidang Promosi Kesehatan Puskesmas Baamang II,
yaitu:
“Untuk penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat, Alhamdulillah
sebagian sudah terlaksana sesuai dengan target yang ditetapkan. Hanya
ada 1 saja yang belum mencapai target yaitu penyuluhan PHBS rumah
tangga. Karena kita kekurangan tenaga, sehingga terkadang tidak dapat
maksimal dalam penyuluhan ke masyarakat mengingat besarnya wilayah
kerja Puskesmas yang tidak sebanding dengan tenaga yang ada. Sehingga
menyebabkan masyarakat juga tidak maksimal dalam melakukan PHBS”.

Untuk terlaksananya perubahan perilaku masyarakat dibidang


kesehatan, diperlukan dukungan kebijakan dari pemerintah daerah terkait
39

dengan penerapan PHBS dalam kehidupan masyarakat. Untuk dalam


penerapan PHBS agar dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan perlu
dukungan masyarakat yang lebih maksimal dan dukungan oleh pemerintah.
Disisi lain PHBS merupakan prioritas utama dalam promosi kesehatan yang
perlu didukung dengan dana dan tenaga yang terampil/professional (27).
2. Belum tercapainya cakupan PHBS institusi pendidikan atau sekolah. Dari
19 sekolah yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Baamang II, hanya
15 sekolah yang mempraktikkan PHBS
Diberi skor 3 karena sumber daya yang diperlukan untuk
penanggulangan cukup besar. Seperti penyuluhan dan pembinaan sudah
dilakukan oleh petugas kesehatan meski dengan jumlah tenaga yang terbatas,
sarana atau fasilitas untuk mempraktikkan PHBS di sekolah sudah ada. Hanya
saja pembangunan kantin yang masih belum tersedia sehingga menyebabkan
indikator PHBS di institusi pendidikan belum tercapai.

C. Analisis Faktor Risiko Masalah Utama


Berdasarkan prioritas masalah yang telah ditentukan sebelumnya,
selanjutnya akan dilakukan identifikasi penyebab masalah. Hasil dari
penentuan prioritas masalah dengan Metode Bryant didapat permasalahan
khususnya di Bidang Promosi Kesehatan Puskesmas Baamang II yaitu “belum
tercapainya cakupan PHBS rumah tangga. Dari 10 indikator penilaian,
pencapaian rata-rata hanya sebesar 75% yang sudah mempraktikkan PHBS”.
Berikut adalah identifikasi penyebab masalah yang dilakukan dengan
menggunakan diagram tulang ikan dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut:
40
Manusia

Tidak adanya kader PHBS

Belum tercapainya cakupan


PHBS rumah tangga. Dari 10
indikator penilaian, pencapaian
rata-rata hanya sebesar 75%
yang sudah mempraktikkan
PHBS

Luasnya wilayah kerja


Belum maksimalnya petugas dalam
Puskesmas yang tidak
pelaksanaan program promotif dan
sebanding dengan jumlah
preventif
tenaga kesehatan di Puskesmas

Metode Lingkungan

Gambar 3.1 Fish Bone penyebab Masalah Belum Tercapainya Cakupan PHBS di Tatanan Rumah Tangga
41

Dari diagram tulang ikan (fishbone) dapat diketahui berbagai aspek yang
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Faktor Manusia
Penyebab masalah dari aspek manusia yaitu tidak adanya kader PHBS.
Seperti yang diketahui tenaga di bidang promosi kesehatan Puskesmas
Baamang II hanya berjumlah 2 orang. Hal ini membuat tidak maksimalnya
pelaksanaan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat sehingga
dapat berdampak pada kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
untuk melaksanakan PHBS di rumah tangga. Hal ini sejalan dengan penelitian
Hadiyanto (2016) yang menyatakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di
tatanan keluarga masih belum dipahami oleh masyarakat karena kurangnya
informasi yang diterima dan juga kurangnya dukungan fasillitas untuk program
tersebut (28).

Kesadaran akan muncul sebagai hasil pembelajaran, sehinga secara


mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan kesehatan, serta berperan
aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat. Merubah perilaku sehat sulit
dilakukan tanpa pemberian pengetahuan yang berkelanjutan. Berikut kutipan
wawancara dengan bagian promosi kesehatan sebagai berikut:

“Masih kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk mempraktikan PHBS


di rumah tangga terlihat dari masih adanya anggota keluarga yang
merokok di dalam rumah. Selain itupun masyarakat masih sangat jarang
melakukan aktifitas fisik seperti olahraga secara teratur. Penyuluhan PHBS
juga tidak maksimal dilakukan karena terbatasnya tenaga penyuluh.
Pemberian informasi yang hanya sebentar, dan tidak bisa merubah
perilaku mereka begitu saja. Nah itu bisa menjadi salah satu sebab
masyarakat masih belum ber PHBS.”

Manusia adalah aset atau kekayaan bagi suatu organisasi dan juga
merupakan motor yang berperan dalam menentukan arah dan jalannya suatu
program dalam suatu organisasi artinya, manusia dapat membuat
42

perencanaan sampai dengan mengevaluasi suatu program yang sedang


dikembangkan. Oleh karena itu manusia sangat berpengaruh dalam
keberhasilan suatu program yang sedang dikembangkan agar program
tersebut dapat berjalan dengan baik (29).
2. Faktor Metode
Penyebab masalah dari aspek metode adalah belum maksimalnya
petugas dalam pelaksanaan program promotif dan preventif. Mengingat
keterbatasan tenaga promkes sehingga penyuluhan atau pemberian informasi
kepada masyarakat menjadi tidak maksimal. Pihak puskesmas dalam
penyuluhan biasanya hanya menggunakan poster ataupun leaflet saja
sehingga terkadang masyarakat kurang begitu memahami pentingnya PHBS.
Disisi lain karena keterbatasan tenaga, pemberian informasi pun hanya
sebentar. Akibat dari kurangnya informasi kepada masyarakat membuat
masyarakat tidak peduli akan pentingnya PHBS. Maka diperlukan penyuluhan/
pertemuan secara berkala dan dapat dengan pemanfaatan tenaga kader
kesehatan untuk membantu pemberian informasi.

Metode penyuluhan adalah pemberian informasi yang disampaikan oleh


seorang komunikator atau pembicara didepan sekelompok pendengar atau
komunikan dan jika diperlukan dapat menggunakan media sebagai alat bantu.
Menurut penelitian para ahli, pancaindra yang paling banyak menyalurkan
pengetahuan ke otak adalah mata (kurang lebih 75% sampai 87%), sedangkan
13% sampai 25% pengetahuan manusia diperoleh atau disalurkan melalui indra
lainnya (30).

3. Faktor Lingkungan

Penyebab masalah dari aspek lingkungan adalah luasnya wilayah kerja


Puskesmas yang tidak sebanding dengan jumlah tenaga kesehatan di
Puskesmas. Diketahui puskesmas Baamang II terletak di Kecamatan Baamang
43

Kabupaten Kotawaringin Timur yang memiliki luas wilayah ± 163,675 km 2. Dan


memiliki wilayah kerja puskesmas yang terdiri dari 4 kelurahan dan 1 desa, dan
terdapat 19 sekolah serta 69 buah tempat-tempat umum sedangkan tenaga
kesehatan yang ada di puskesmas hanya berjumlah 2 orang.

Distribusi petugas kesehatan dan penyeberannya pada suatu wilayah


bertujuan untuk pemerataan pelayanan kesehatan. Jumlah sumber daya
manusia (SDM) kesehatan yang tidak sesuai kebutuhan (kelebihan atau
kekurangannya) merupakan masalah pelayanan kesehatan menjadi tidak
optimal. Perencanaan tenaga kesehatan harus tepat sesuai dengan beban
kerja puskesmas karena merupakan unit pelayanan kesehatan terdepan yang
fungsinya sangat menunjang pencapaian visi Indonesia sehat (31).

Anda mungkin juga menyukai