Anda di halaman 1dari 35

BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS

KUNJUNGAN LAPANGAN KASUS TB KECAMATAN JOHAR BARU

Kelompok : A-03 Ketua Sekertaris Anggota : Adham Rifa Rahadian : Gwendry Ramadhany : Fajrin Utami Atika Qisty D Dinda Putria A Fatin Fatira Farhah Fenia Indah Rainir Irfan Kurniawan Ismail Gunawan (1102009007) (1102010115) (1102007110) (1102010040) (1102010081) (1102010098) (1102010099) (1102010132) (1102010133)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA

2013 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG

Permasalahan TB pada Puskesmas Kecamatan Johar Baru. Dari tujuh program kesehatan dasar yang dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Johar Baru terdapat tiga program kesehatan dasar Puskesmas Kecamatan Johar Baru yang dievaluasi, yaitu : 1. 2. 3. Program Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Program GIZI Program Pengendalian Penyakit Menular (P2M)

Program-program tersebut dievaluasi karena pencapaian program tersebut tidak mencapai target atau bahkan melebihi target, dan data-data program tersebut mudah diakses. Didapatkan 124 masalah pada ketiga program yang dievaluasi seperti yang terdapat pada identifikasi masalah dan dari 124 masalah tersebut ditetapkan enam prioritas masalah selama bulan Januari s/d September 2010 dengan menerapkan metode PAHO sehingga didapatkan prioritas masalah yang harus dipecahkan seperti : 1. Cakupan Kunjungan Neonatus di wilayah Puskesmas Se-Kecamatan Johar Baru Periode Januari s.d September 2010 di bawah target dengan cakupan sebesar 43,4 % dari target 69 % dengan hasil 196560 2. Cakupan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan di Wilayah Puskesmas Kelurahan Johar Baru II periode Januari s.d September 2010 di bawah target dengan cakupan sebesar 42,38 % dari target 67,5 % dengan hasil 188760 3. Cakupan Efektivitas kegiatan pemantauan berat badan balita (N/S) di wilayah Puskesamas Se-Kecamatan Johar Baru periode Januari s.d September 2010 di bawah target dengan cakupan sebesar 24,31% dari target 90% dengan hasil 463320

4. Cakupan partisipasi masyarakat (D/S) di wilayah puskesmas Se Kecamatan Johar Baru Periode Januari s.d September 2010 di bawah target sebesar 49,19 % dari target 90 % dengan hasil 309966 5. Incidence Rate DBD di wilayah Puskesmas Se- Kecamatan Johar Baru Periode Januari s.d September 2010 diatas target sebesar 407,2 per 100.000 penduduk dari target 50 per 100.000 dengan hasil 1512000 6. CDR TB Paru di Wilayah Puskesmas Se-Kecamatan Johar Baru periode Januari s.d September 2010 di bawah target sebesar 41,93% dari target > 70 % dengan hasil 393120 Dari enam prioritas masalah tersebut, digunakan metode fishbone dari Ishikawa untuk mencari akar penyebab masalah. Setelah dicari akar penyebab masalah menggunakan metode fishbone, melalui diskusi, argumentasi dan justifikasi didapatkan akar penyebab masalah yang dominan. Kemudian akar penyebab masalah yang dominan tersebut discoring dengan menggunakan metode MCUA untuk mendapatkan alternatif pemecahan masalah yaitu : Akar penyebab masalah dominan dari Program CDR TB Paru di Wilayah Puskesmas Se-Kecamatan Johar Baru periode Januari s.d September 2010 di bawah target sebesar 41,93% dari target > 70 % Akar penyebab masalah yang paling dominan yaitu 1. Kurangnya pembinaan terhadap Nakes mengenai pelaksanaan penyuluhan kunjungan neonatus (Method) 2. Perencanaan pembiayaan anggaran program TB tidak optimal (Money) Sehingga alternatif pemecahan masalah yang akan dilakukan adalah : 1. Meningkatkan pembinaan kepada Nakes dengan mengikuti pelatihan 2. Mengoptimalkan perencanaan anggaran program TB dengan rapat evaluasi Manajemen sebagai proses pemecahan masalah dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas. Pendekatan sistem juga 3

digunakan dalam lingkaran pemecahan masalah untuk mengetahui lokasi terjadinya masalah. (Azrul, 1996) Didapatkan 22 masalah dari program KIA, 31 masalah dari program GIZI dan 71 masalah dari program P2M. Masalah-masalah tersebut kemudian ditetapkan prioritas masalah dengan menggunakan metode scoring PAHO dengan alasan metode ini dapat memberikan hasil yang lebih proporsional. Hasil tersebut menjadi lebih proporsional karena didapatkan dari hasil perkalian antara skor dari tiap parameter suatu masalah sehingga akan tampak jelas perbedaanya. Hal ini memudahkan dalam menentukan prioritas masalah. Pada metode PAHO juga mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut terletak pada posisi atau kedudukan paramater yang sama di final skor. Tetapi kenyataannya, terdapat perbedaan kontribusi objektif dan subjektif di parameter PAHO itu sendiri. Misalnya pada magnitude dan severity merupakan parameter yang paling objektif dan vulnerability merupakan parameter yang objektif. Sedangkan untuk community and political concern dan affordability merupakan parameter yang subjektif. Parameter kedua tertinggi adalah biaya murah, disebabkan faktor uang adalah faktor yang mendukung kemudahan terlaksananya program. Parameter ketiga adalah waktu penerapan yang lebih sedikit dapat memecahkan masalah. Parameter keempat adalah dapat memecahkan masalah dengan sempurna, parameter ini mendapat bobot yang lebih rendah karena kurangnya kemampuan dari banyak faktor yang mengakibatkan masalah ini dapat dipecahkan secara sempurna dan kesempurnaan terlaksananya program belum tentu dapat menyelesaikan masalah dengan baik tanpa mementingkan faktor yang lain. Adapun rincian pembahasan dari masing-masing program dibahas seperti di bawah ini.

CDR TB Paru di Wilayah Puskesmas Se-Kecamatan Johar Baru periode Januari s.d September 2010 Dari data yang didapat hasil evaluasi program CDR TB Paru di Wilayah Puskesmas SeKecamatan Johar Baru periode Januari s.d September 2010 di bawah target sebesar 41,93% dari target > 70 % Akar penyebab masalah pada input yang pertama adalah dari faktor manusia (man). Akar penyebab masalah pada faktor manusia yaitu kepala program hanya berfokus pada pengobatan. Hal ini menyebabkan petugas tidak mendapat arahan dari kepala program, sehingga petugas kurang mengerti cara menjaring pasien tersangka TB dan petugas kurang aktif menemukan tersangka TB. Akar penyebab masalah pada input yang kedua adalah dari faktor dana (money). Akar penyebab masalah pada dana adalah anggaran untuk program Tb terbatas. Hal ini menyebabkan penyaluran dana tidak merata untuk program ini, sehingga tidak ada dana khusus untuk penjaringan tersangka TB. Akar penyebab masalah dari input yang selanjutnya adalah faktor material. Akar penyebab masalah yang terdapat pada faktor material adalah tidak adanya dana untuk pemeliharaan alat dan bahan. Hal ini menyebabkan alat dan bahan laboratorium banyak yang rusak, sehingga alat dan bahan pemeriksaan penunjang menjadi kurang lengkap. Akar penyebab masalah dari input yang selanjutnya adalah faktor metoda (methode). Akar penyebab masalah pada metoda adalah petugas kurang focus kepada program penyuluhan. Hal ini menyebabkan tidak ada pelatihan khusus oleh petugas tentang materi penyuluhan kepada kader, sehingga penyampaian materi penyuluhan oleh kader pada masyarakat menjadi kurang efektif. Akar penyebab masalah selain input adalah pada proses. Pada bagian proses didapatkan akar penyebab masalah pada faktor perencanaan (planning) adalah perencanaan program penyuluhan dianggap tidak penting dibandingkan pengobatan. Hal ini menyebabkan perencanaan yang ada dianggap sudah cukup, sehingga tidak ada perencanaan untuk penyuluhan TB. Akar penyebab masalah pada proses yang kedua adalah 5

pengorganisasian (organizing). Akar penyebab masalah dari pengorganisasian adalah terdapat ketentuan bahwa tiap puskesmas hanya memiliki satu petugas di program TB. Hal ini menyebabkan tidak adanya pembagian kerja yang jelas, sehingga struktur organisasi program TB tidak terorganisir dengan baik. Akar penyebab masalah pada proses yang ketiga yaitu pelaksanaan kegiatan (actuating) adalah tidak ada pelatihan khusus untukpenyampaian materi edukasi. Hal ini menyebabkan materi edukasi menjadi kurang menarik bagi pasien, sehingga edukasi kepada pasien TB kurang dimengerti. Akar penyebab masalah pada proses yang keempat yaitu pengawasan (controling) adalah tidak adanya instruksi tentang cara pembuatan laporan yang benar. Hal ini menyebabkan sumber laporan yang dibuat menjadi tidak jelas, sehingga evaluasi program penyuluhan TB tidak dilakukan dengan baik. Akar penyebab masalah pada proses yang kelima yaitu lingkungan (environment) adalah tingkat pengetahuan pasien masih rendah. Hal ini menyebabkan kurangnya kesadaran pasien tentang kesembuhan penyakitnya, sehingga tingkat kepatuhan pasien untuk minum obat secara teratur masih kurang. Dari akar penyebab masalah yang telah disebutkan diatas, setelah dilakukan diskusi dan justifikasi dengan dasar pemahaman program yang cukup, serta apabila masalah tersebut dapat dipecahkan maka sebagian besar masalah yang ada dapat terselesaikan sehingga didapatkan beberapa akar penyebab masalah yang paling dominan pada masalah program angka konversi TB paru di wilayah Se Kecamatan Johar Baru yaitu kurangnya pembinaan terhadap Nakes mengenai pelaksanaan penyuluhan, perencanaan pembiayaan anggaran program TB tidak optimal. Pertama adalah tenaga kesehatan kurang mendapat pelatihan penyakit TB. Hal ini menyebabkan tenaga kesehatan kurang mengerti tentang pencegahan TB, penularan TB dan pengobatan TB. Seharusnya tenaga kesehatan dapat menyampaikan informasi tersebut ketika pasien berobat ke puskesmas. Tenaga kesehatan wajib memberikan informasi yang menyangkut penyakit pasien, dalam hal ini penyakit TB paru. Karena 6

dengan adanya informasi dan edukasi kepada pasien akan meningkatkan pengetahuan pasien tentang TB paru. Maka solusi yang dilakukan adalah dengan melakukan pelatihan rutin untuk tenaga kesehatan. Sesuai dengan hasil MCUA alternative pemecahan masalah, melakukan pelatihan rutin untuk tenaga kesehatan merupakan urutan pertama pada bulan Oktober 2010. Kedua adalah perencanaan pembiayaan anggaran program TB tidak optimal. Karena jika anggaran tidak sesuai dengan perencanaan yang telah disusun sebelumnya maka akan mempengaruhi keberhasilan suatu program. Maka solusi yang dilakukan adalah mengoptimalkan perencanaan anggaran program TB dengan rapat evaluasi. Sesuai dengan hasil MCUA alternative pemecahan masalah yaitu mengoptimalkan perencanaan anggaran program TB dengan rapat evaluasi di puskesmas pada urutan kedua pada bulan November 2010.

II.

OBSERVASI

1. Keluarga Tn. Acim Sulaiman A. Masalah medis 1. Penyakit darah tinggi dalam keluarga 2. Penyakit Asam Urat 3. Penyakit TB 4. Kadar kolesterol tinggi B. Non Medis 1. Pola makan tidak sehat 2. Ventilasi 3. Pola makan gizi tidak seimbang 4. Kurannya berolahraga 5. Sanitasi kurang baik 6. Perokok aktif didalam dan diluar rumah 2. Keluarga Alm. Rasmun A. Masalah medis 1. Diare pada balita 2. Adanya Riwayat TB pada keluarga B. Non medis 1. Sanitasi kurang 2. Tidak adaanya jamban keluarga 3. Penempatan dapur dan kamar mandi yang bergabung 4. Kurangnya berolahraga 3.Keluarga Tn. Rusiana A. Masalah medis 1. Penyakit TB B. Non medis 1. Pola makan tidak sehat 2. Ventilasi 3. Sanitasi 4. Merokok didalam dan diluar rumah 5. Penempatan dapur dan toilet tang bergabung

4. Keluarga Tn. Elky A. Masalah medis 1.Penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) B. Masalah non medis 1. Pola makan tidak sehat atau tidak higenis dan tidak bergizi 2. Ventilasi kurang baik 3. Kurangnya pajanan cahaya matahari 4. Bertempat tinggal dikontrakkan yang padat penghuni 5. Tinggal dipemukiman padat penduduk 6. Tidak tersedianya jamban yang sehat 7. Tidak tersedianya dapur pada rumah tersebut 5. Keluarga Ny. Dewi A. Masalah medis 1. Penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) disertai limfadenopati post auricular B. Masalah non medis 1. Ventilasi kurang baik 2. Kurangnya pajanan cahaya matahari 3. Perokok pasif pada lingkungan kerja 4. Kurangnya kebiasaan berolahraga 5. Pola makan yang tidak teratur 6. Tinggal dipemukiman padat penduduk 6. Keluarga Ny. Novi A. Masalah medis 1. Penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) B. Masalah non medis 1. Ventilasi kurang baik 2. Kurangnya pajanan cahaya matahari 3. Tinggal dipemukiman padat penduduk 4. Penempatan dapur yang bergabung dengan kamar mandi

III.

EKSPEKTASI

1. Keluarga Tn. Acim Sulaiman Ekspektasi : 1. salah satu pencegahan terhadap penyakit yaitu dengan makanan yang baik dan pola makan yang teratur. 2. Ventilasi yang kurang baik menyebabkan mikroorganisme TB terus menerus menetap di ruangan sehingga risiko penyebarannya terhadap penghuni lain tinggi. 3. Olahraga membuat tubuh sehat serta menjaga berat badan. 4. Sanitasi merupakan pencegahan penting terhadap berbagai macam penyakit. 5. Meroko menjadi salah satu sumber berbagai macam penyakit, terutama penyakit pernafasan. 2. Keluarga Alm. Rasmun Ekspektasi : 1. Sanitasi merupakan pencegahan penting terhadap berbagai macam penyakit. 2. Jamban umum yang kurang baik dapat menjadi sumber berbagai macam penyakit 3. Dapur yang berdekatan dengan kamar mandi dapat menyebabkan bahan yang ada di dapur mengkontaminasi air yang dikamar mandi sehingga menyebabkan airnya kurang bersih. 4. Olahraga membuat tubuh sehat serta menjaga berat badan. 3.Keluarga Tn. Rusiana Ekspektasi : 1. salah satu pencegahan terhadap penyakit yaitu dengan makanan yang baik dan pola makan yang teratur. 2. Ventilasi yang kurang baik menyebabkan mikroorganisme TB terus menerus menetap di ruangan sehingga risiko penyebarannya terhadap penghuni lain tinggi. 3. Sanitasi merupakan pencegahan penting terhadap berbagai macam penyakit. 4. Meroko menjadi salah satu sumber berbagai macam penyakit, terutama penyakit penafasan. 5. Dapur yang berdekatan dengan kamar mandi dapat menyebabkan bahan yang ada di dapur mengkontaminasi air yang dikamar mandi sehingga menyebabkan airnya kurang bersih. 4. Keluarga Tn. Elky Ekspektasi : 1. salah satu pencegahan terhadap penyakit yaitu dengan makanan yang baik dan pola makan yang teratur. 2. Ventilasi yang kurang baik menyebabkan mikroorganisme TB terus menerus menetap di ruangan sehingga risiko penyebarannya terhadap penghuni lain tinggi. 3. Mikroorganisme TB tidak tahan lama terhadap pajanan matahari. 4. Kepadatan penduduk menjadi faktor cepatnya penyabaran penyakit menular, termasuk TB. 10

5. Keluarga Ny. Dewi Ekspektasi : 1. Ventilasi yang kurang baik menyebabkan mikroorganisme TB terus menerus menetap di ruangan sehingga risiko penyebarannya terhadap penghuni lain tinggi. 2. Mikroorganisme TB tidak tahan lama terhadap pajanan matahari 3. Meroko menjadi salah satu sumber berbagai macam penyakit, terutama penyakit penafasan. 4. salah satu pencegahan terhadap penyakit yaitu dengan makanan yang baik dan pola makan yang teratur. 5. Kepadatan penduduk menjadi faktor cepatnya penyabaran penyakit menular, termasuk TB. 6. Keluarga Ny. Novi Ekspektasi : 1. Ventilasi yang kurang baik menyebabkan mikroorganisme TB terus menerus menetap di ruangan sehingga risiko penyebarannya terhadap penghuni lain tinggi 2. Mikroorganisme TB tidak tahan lama terhadap pajanan matahari 3. Kepadatan penduduk menjadi faktor cepatnya penyabaran penyakit menular, termasuk TB. 4. Dapur yang berdekatan dengan kamar mandi dapat menyebabkan bahan yang ada di dapur mengkontaminasi air yang dikamar mandi sehingga menyebabkan airnya kurang bersih.

11

IV.

RUMUSAN MASALAH

Usulan Area Masalah Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang telah kami lakukan kepada masing masing keluarga binaan, didapatkan berbagai macam permasalahan, yaitu : 1. Ventilasi kurang baik 2. Kurangnya pajanan cahaya matahari 3. Sanitasi kamar mandi yang buruk 4. Kurangnya kebiasaan berolahraga 5. Tempat tinggal yang padat penghuni 6. Pemukiman sekitar rumah penderita padat dan kumuh 7. Kamar mandi berdekatan dengan dapur 8. Pola makan tidak sehat atau tidak higienis dan tidak bergizi 9. Merokok di dalam dan di luar rumah 10. Adanya riwayat TB pada keluarga 11. Riwayat infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) 12. Tidak tersedianya jamban yang sehat

Penetapan Area Masalah Dalam pengambilan sebuah masalah kelompok kami menggunakan metode scoring PAHO dengan alasan metode ini dapat memberikan hasil yang lebih proporsional. Hasil tersebut menjadi lebih proporsional karena didapatkan dari hasil perkalian antara skor dari tiap parameter suatu masalah sehingga akan tampak jelas perbedaanya. Hal ini memudahkan dalam menentukan prioritas masalah. (Harold, et all, 1975 : 40-45)

12

Metode PAHO dikembangkan oleh Pan American Health Organization Center for Development Studies. Rumus metode tersebut adalah : Magnitude x Importancy x Vulnerability Cost : Besarnya masalah : Pentingnya masalah : Kerentanannya terhadap cara inervensi : Besarnya biaya.

Priority =

Magnitude (M) Importancy (I) Vulnerability (V) Cost (C)

Alasan Pemilihan Diagnosis Komunitas Area Masalah Sebagai Diagnosis Komunitas Dari sekian masalah yang ada pada keluarga binaan, kami memutuskan untuk mengangkat permasalahan : Kasus TB pada Kecamatan Johar Baru Alasan Pemilihan Diagnosis Pemilihan area masalah kesehatan ini didasarkan atas berbagai pertimbangan yaitu : 1. Dari survey yang dilakukan dengan wawancara terhadap keluarga di Kecamatan Johar Baru didapatkan bahwa tinggi nya kasus TB di daerah tersebut. 2. Kurangnya sosialisasi mengenai gaya hidup yang tidak sehat dan kesadaran kebersihan lingkungan.

13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. TINJAUAN PUSTAKA

TUBERKULOSIS Definisi: Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Mycobacterium Tuberculosis: Bakteri ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), bakteri ini cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Di dalam jaringan tubuh bakteri ini dapat Dormant, tertidur lama selamabeberapa tahun. Cara Penularan: Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Resiko Penularan: Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.

14

Berikut beberapa faktor resiko tuberkulosis paru : 1. Faktor Umur. Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun. 2. Faktor Jenis Kelamin. Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru. 3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya. 4. Pekerjaan Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru. Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru. 5. Kebiasaan Merokok Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih 15

rendah dengan 430 batang/ orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita p, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru. 6. Kepadatan hunian kamar tidur Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m 2 /orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m 2 /orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m 2 /orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m. 7. Pencahayaan Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang. 8. Ventilasi Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteribakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB. Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum. Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling 16

sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22 30C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60% 9. Kondisi rumah Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis. 10. Kelembaban udara Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22 30C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. 11. Status Gizi Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit. 12. Keadaan Sosial Ekonomi Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan 55sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru. 13. Perilaku Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya. Riwayat terjadinya Tuberkulosis Infeksi Primer: Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu.

17

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB): Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis: Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut: Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. Bronkiektasis dan Fibrosis pada paru. Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency). Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit. Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik. Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati : Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap menular (WHO 1996). Pengaruh Infeksi HIV : Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

18

Gejala - gejala Tuberkulosis Gejala Umum : Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih. Gejala Lain Yang Sering Dijumpai : Dahak bercampur darah. Batuk darah. Sesak napas dan rasa nyeri dada. Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan. Penemuan pederita Tuberkulosis (TB) Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Orang Dewasa. Penemuan penderita TB dilakukan secara Pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan Passive Promotive Case Finding . Selain itu, semua kontak penderita TB paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian.Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Penemuan Penderita Tuberkulosis Pada Anak. Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit. Sebagian besar diagnosis tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji tuberkulin.

19

Diagnosis Tuberkulosis (TB)

Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa. Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita diidagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan lain, misalnya biakan. Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya biakan. Bila tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.

20

Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB. - Bila hasil rontgen mendukung TB, diagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif. - Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB. UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk difoto rontgen dada. ALUR DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU PADA ORANG DEWASA Di Indonesia, pada saat ini, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobacterium Tuberculosis Karena tingginya prevalensi TB. Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium Tuberkulosis. Dilain pihak, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis. Misalnya pada penderita HIV / AIDS, malnutrisi berat, TB milier dan Morbili. Pembunuh massal Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa bakteri mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan TBC adalah bekteri pembunuh massal. WHO memperkirakan bakteri ini membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap tahunnya. Antara tahun 2002-2020 diperkirakan sekitar 1 miliar manusia akan terinfeksi. Dengan kata lain pertambahan jumlah infeksi lebih dari 56 juta tiap tahunnya. Biasanya 5-10 persen di antara infeksi berkembang menjadi penyakit, dan 40 persen di antara yang berkembang menjadi penyakit berakhir dengan kematian. Jika dihitung, pertambahan jumlah pasien TBC akan bertambah sekitar 2,8-5,6 juta setiap tahun, dan 1,1-2,2 juta jiwa meninggal setiap tahun karena TBC. Perkiraan WHO, yakni 2 juta jiwa meninggal tiap tahun, adalah berdasarkan perhitungan ini. Angka ini adalah angka yang besar, karena 2-4 orang terinfeksi setiap detik, dan hampir 4 orang setiap menit meninggal karena TBC ini. Kecepatan penyebaran TBC bisa meningkat lagi sesuai dengan peningkatan penyebaran HIV/AIDS dan munculnya bakteri TBC yang resisten terhadap obat. Selain itu migrasi manusia juga mempercepat penyebaran TBC. Di Amerika Serikat, hampir 40 persen dari penderita TBC adalah orang yang lahir di luar negeri. Mereka imigrasi ke Amerika dan menjadi sumber penyebaran TBC. Begitu juga dengan meningkatnya jumlah pengungsi akibat perang dengan lingkungan yang tidak sehat sehingga memudahkan penyebaran TBC. Diperkirakan sebanyak 50 persen dari pengungsi di dunia berpeluang terinfeksi TBC. Di kawasan Asia Tenggara, data WHO (http:www.whosea.org) menunjukan bahwa TBC membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 persen dari kasus TBC di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Dua di antara tiga negara dengan jumlah penderita TBC terbesar di dunia, yaitu India dan Indonesia, berada di wilayah ini. Indonesia berada di bawah India, dengan jumlah penderita terbanyak di dunia, diikuti Cina di peringkat kedua. Dibandingkan dengan penyakit menular lainnya, TBC juga menjadi pembunuh nomor satu di kawasan ini, di mana jumlahnya 2-3 kali jumlah kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS yang berada di peringkat kedua. Sementara itu, penyakit tropis seperti demam berdarah dengue (DBD) tidak sampai sepersepuluhnya. Kita bisa membayangkan betapa seriusnya masalah TBC ini. Karena itu, perlu kita sadari kembali bahwa TBC adalah penyakit yang sangat perlu mendapat perhatian untuk ditanggulangi. Karena bakteri mycobacterium tuberculosis sangat mudah 21

menular melalui udara pada saat pasien TBC batuk atau bersin, bahkan pada saat meludah dan berbicara. Satu penderita bisa menyebarkan bakteri TBC ke 10-15 orang dalam satu tahun. Berdasarkan data Rumah Sakit "Prof DR Sulianti Saroso" (http:www.infeksi.com), di Indonesia tiap tahun terdapat 583 ribu kasus dan 140 ribu di antaranya meninggal dunia. Jika dihitung, setiap hari 425 orang meninggal akibat TBC di Indonesia. Kalau 1 orang pasien bisa menularkan ke 10 orang, pada tahun berikutnya jumlah yang tertular adalah 5,8 juta orang. Karena itu, jelaslah bahwa TBC adalah pembunuh massal yang harus diberantas.

Terapi TBC Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu sendiri, pengontrolan efektif TBC mengurangi pasien TBC tersebut. Ada dua cara yang tengah dilakukan untuk mengurangi penderita TBC saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung. Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TBC. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TBC atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan. Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TBC, dokter akan memberikan obat dengan komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TBC yang biasanya digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TBC yang resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini. Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TBC biasanya gejala TBC bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh dari TBC diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TBC yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian TBC akan semakin sulit dilaksanakan. DOTS adalah strategi yang paling efektif untuk menangani pasien TBC saat ini, dengan tingkat kesembuhan bahkan sampai 95 persen. DOTS diperkenalkan sejak tahun 1991 dan sekitar 10 juta pasien telah menerima perlakuan DOTS ini. Di Indonesia sendiri DOTS diperkenalkan pada tahun 1995 dengan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun 2000 (http:www.who.int). Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di bawah target WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk medeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatkan lagi. 22

Tata Cara Pengobatan TBC Pengobatan TBC Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TBC) dan II (Terinfeksi TBC/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 510 mg/kgbb/hari. 1. Pencegahan (profilaksis) primer Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+). INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-). Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau sumber penularan TB aktif sudah tidak ada. 2. Pencegahan (profilaksis) sekunder Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC. Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan. Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :
o

Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.

Dosis obat antituberkulosis (OAT) Obat INH Rifampisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin Dosis harian (mg/kgbb/hari) 5-15 (maks 300 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-40 (maks. 2 g) 15-25 (maks. 2,5 g) 15-40 (maks. 1 g) Dosis 2x/minggu (mg/kgbb/hari) 15-40 (maks. 900 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 50-70 (maks. 4 g) 50 (maks. 2,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g) Dosis 3x/minggu (mg/kgbb/hari) 15-40 (maks. 900 mg) 15-20 (maks. 600 mg) 15-30 (maks. 3 g) 15-25 (maks. 2,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TBC di Indonesia mengalami perubahan manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yanng direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti Indonesia WHO joint Evaluation dan National 23

Tuberkulosis Program in Indonesia pada April 1994. Dalam program ini, prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TBC di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari,terutama pada fase awal pengobatan. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari. Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug susceptibility data (DST) akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat. Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TBC dan lemahnya implementasi strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi TBC dengan kuman yang bersifat MDR (Multi-drugs Resistant). Untuk kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TBC yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin (hanya sangat disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan). Pengobatan TBC pada orang dewasa

Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
o o

Penderita baru TBC paru BTA positif. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada:

24

o o o

Penderita kambuh. Penderita gagal terapi. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.

Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3 Diberikan kepada:


o

Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.

Pengobatan TBC pada anak Adapun dosis untuk pengobatan TBC jangka pendek selama 6 atau 9 bulan, yaitu: 1. 2HR/7H2R2 : INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH +Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 7 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH). 2. 2HRZ/4H2R2 : INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 4 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH). Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb. Dosis anak INH dan rifampisin yang diberikan untuk kasus: TB tidak berat INH Rifampisin INH Rifampisin Dosis prednison : 5 mg/kgbb/hari : 10 mg/kgbb/hari : 10 mg/kgbb/hari : 15 mg/kgbb/hari : 1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60 mg)

TB berat (milier dan meningitis TBC)

Imunisasi Pengontrolan TBC yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyaki TBC. Vaksin TBC, yang dikenal dengan nama BCG terbuat dari bakteri M tuberculosis strain Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini menyebabkan TBC pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri M tuberculosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa berkembang biak di dalam tubuh dan diharapkan bisa 25

mengindus antibodi seumur hidup. Selain itu, pemberian dua atau tiga kali tidak berpengaruh. Karena itu, vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di Indonesia, diberikan sebelum berumur dua bulan. Imunisasi TBC ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TBC. Tingkat efektivitas vaksin ini berkisar antara 70-80 persen. Karena itu, walaupun telah menerima vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TBC ini. Karena efektivitas vaksin ini tidak sempurna, secara global ada dua pendapat tentang imunisasi TBC ini. Pendapat pertama adalah tidak perlu imunisasi. Amerika Serikat adalah salah satu di antaranya. Amerika Serikat tidak melakukan vaksinasi BCG, tetapi mereka menjaga ketat terhadap orang atau kelompok yang berisiko tinggi serta melakukan diagnosa terhadap mereka. Pasien yang terdeteksi akan langsung diobati. Sistem deteksi dan diagnosa yang rapi inilah yang menjadi kunci pengontrolan TBC di AS. Pendapat yang kedua adalah perlunya imunisasi. Karena tingkat efektivitasnya 70-80 persen, sebagian besar rakyat bisa dilindungi dari infeksi kuman TBC. Negara-negara Eropa dan Jepang adalah negara yang menganggap perlunya imunisasi. Bahkan Jepang telah memutuskan untuk melakukan vaksinasi BCG terhadap semua bayi yang lahir tanpa melakukan tes Tuberculin, tes yang dilakukan untuk mendeteksi ada-tidaknya antibodi yang dihasikan oleh infeksi kuman TBC. Jika hasil tes positif, dianggap telah terinfeksi TBC dan tidak akan diberikan vaksin. Karena jarangnya kasus TBC di Jepang, dianggap semua anak tidak terinfeksi kuman TBC, sehingga diputuskan bahwa tes Tuberculin tidak perlu lagi dilaksanakan. Bagaimana dengan Indonesia? Karena Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak, agaknya masih perlu melaksanakan vaksinasi BCG ini. Dengan melaksanakan vaksinasi ini, jumlah kasus dugaan (suspected cases) jauh akan berkurang, sehingga memudahkan kita untuk mendeteksi pasien TBC, untuk selanjutnya dilakukan terapi DOTS untuk pasien yang terdeteksi. Kedua pendekatan, yaitu vaksinasi dan terapi perlu dilakukan untuk memberantas TBC dari bumi Indonesia. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Menurut teori Hendrik L. Blum, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat yaitu keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan (Soekidjo Notoatmodjo, 2007 : 166).

26

A. Lingkungan Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoatmodjo, 2011). Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah.Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni. Rumah yang ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi di antara penghuni rumah (Notoatmodjo, 2003). Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur tersebut juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan individu, oleh karena itu lingkungan rumah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Dan lingkungan rumah yang kurang baik merupakan salah satu tempat yang baik dalam menularkan penyakit seperti penyakit TB paru (Soemirat, 2009). 1. Kepadatan Penghuni Rumah Cepat lambatnya penularan penyakit salah satunya ditentukan oleh faktor kepadatan yang ditentukan oleh jumlah dan distribusi penduduk. Dalam hal ini kepadatan hunian yang apabila tidak dapat suplai rumah sehat yang memadai dan terjangkau, dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit TB paru (Soemirat, 2009). Kepadatan adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan untuk kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana minimum 9 m2 per orang. Untuk kamar tidur di perlukan minimum 3 m2 per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni 2 orang kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. 27

Jarak antara tempat tidur satu dengan lainnya adalah 90 cm. Apabila ada anggota keluarga yang menderita penyakit TB paru sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (Kepmenkes, 1999). Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyababkan overcrowded. Hal ini tidak sehat karena di samping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga menderita suatu penyakit infeksi terutama TB paru akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, karena seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada dua sampai tiga orang di dalam rumahnya (Notoatmodjo, 2003). Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah merupakan variabel yang berperan dalam kejadian penyakit TB paru (Supriyono, 2002). 2. Lantai Rumah Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah di bersihkan dari kotoran dan debu. Selain itu dapat menghindari meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya di naikkan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen dan keramik (Suyono, 2005). Lantai rumah jenis tanah memiliki peran terhadap proses kejadian penyakit TB paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian viabilitas bakteri Mycobacterium tuberculosis di lingkungan juga sangat mempengaruhi (Achmadi, 2008). Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembang biakan bakteri terutama bakteri Mycobacterium tuberculosis. Menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Suyono, 2005). 3. Ventilasi Menurut Sarudji (2010), rumah harus memiliki sistem pertukaran udara yang baik, karena penghuni memerlukan udara yang segar. Setiap ruang/ kamar memerlukan ventilasi yang cukup untuk menjamin kesegaran dan menyehatkan penghuninya. Ventilasi bermanfaat sebagai pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Keringat manusia juga di kenal mempengaruhi kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan, kelembaban semakin tinggi khususnya karena uap air baik dari pernapasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruangan tertutup di mana

28

banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi di banding di luar ruangan (Sarudji, 2010). Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan meteran. Menurut indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <10% luas lantai rumah (Kepmenkes, 1999). Menurut Sarudji (2010), entilasi yang baik dalam suatu ruangan memerlukan persyaratan tertentu, diantaranya yang penting adalah luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas ventilasi insidental (yang dapat dibuka dan ditutup) minimum 5% dari luas lantai. Menurut Notoatmodjo (2003), rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus-menerusdan bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Menurut Notoatmodjo (2011), fungsi lainya adalah untuk menjaga agar ruangan selalu tetap didalam kelembaban (humidity) yang optimum. Salain itu luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernapasan. Perjalanan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang setelah di batukkan akan terhirup oleh orang disekitarnya sampai ke paru-paru, sehingga dengan adanya ventilasi yang baik akan menjamin pertukaran udara, sehingga konsentrasi droplet dapat dikurangi. Konsentrasi droplet bervolume udara dan lamanya waktu menghirup udara tersebut memungkinkan seseorang akan terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Selain itu pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan kelembaban udara bertambah. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk bakteri Mycobacterium tuberculosis (Depkes, 2002).

29

4. Pencahayaan Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak (Achmadi, 2008). Menurut Notoatmodjo (2003), kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakan mata. Menurut Sarudji (2010), cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni: a. Cahaya alamiah Cahaya alamiah yakni matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteribakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil Mycobacterium tuberculosis. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya.Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya ilmiah juga diusahakan dengan genteng kaca. b. Cahaya buatan, Cahaya buatan yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari terangnya sumber cahaya (brighness of thesource). Rumah dengan pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit TB paru. Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, lisol, sabun, karbon dan kapas api, bakteri ini akan mati dalam waktu dua jam. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita TB paru 3-7 kali di bandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari (Fatimah, 2008). 5. Kelembaban Kelembaban udara berpengaruh terhadap konsentrasi pencemar di udara. Kelembaban berhubungan negatif (terbalik) dengan suhu udara. Semakin tinggi suhu udara, maka kelembaban udaranya akan semakin rendah (Suryanto 2003). Kelembaban yang standar apabila kelembaban udaranya akan semakin rendah. Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme terutama Mycobacterium tuberculosis. Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri. Kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40%-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 70% 30

(Sarudji, 2010).Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi (Achmadi, 2008). Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan mambawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Seperti yang telah diuraikan oleh (Gould, 2003, dalam Ayunah, 2008), bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. 6. Suhu Salah satu faktor yang menentukan kualitas udara dalam rumah adalah suhu. Di katakan nyaman apabila suhu udara berkisar antara 18oC-30oC dan suhu tersebut di pengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara dan kelembaban udara. Bakteri Mycobacterium tuberculosis hidup dan tumbuh baik pada kisaran suhu 30oC-37oC. Suhu dalam rumah akan mempengaruhi kesehatan dalam rumah, dimana suhu yang panas tentu akan berpengaruh pada aktivitas (Depkes, 1999, dalam Ayunah, 2008). B. Perilaku Perilaku penderita merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulya masalah penyebaran bakteri Mycobacterium tuberculosis. Seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang anggota keluarganya. Namun demikian pengetahuan dan perilaku penderita dalam mencegah agar anggota keluarga tidak tertular berpengaruh besar dalam kesembuhan dan pencegahan penyakit TB paru (Sukana, 1999 dalam Putra, 2011). Perilaku manusia sangat berpengaruh dalam menularkan penyakit menular terutama perilaku yang tidak positif, sehingga lingkungan dapat berubah sedemikian rupa menjadi tempat yang ideal sebagai tempat penularan penyakit. Perilaku penderita TB paru BTA positif yang tidur bersama-sama dalam satu tempat tidur/ kamar dengan istri, suami anak dan anggota keluarga lainnya dapat menularkan penyakit TB paru sebanyak 68%. Selama sakitnya penderita TB paru dengan sputum BTA positif bisa menularkan berpuluh-puluh orang sampai beratus-ratus orang tetapi bisa juga hanya 1-2 orang saja atau nihil. Untuk mempertahankan keadaan seimbang atau prevalensi tetap sama. Seorang penderita TB paru dengan BTA positif hanya perlu menulari 20 orang sehat, dan kemudian di antaranya satu orang akan menjadi pengganti sebagai sumber penularan baru setelah lama menjadi sembuh atau mati (Sukana, 1999 dalam Putra, 2011).

31

C. Pelayanan Kesehatan Secara umum pelayanan kesehatan masyarakat merupakan sub pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan), dan pelayanan kuratif (pengobatan) untuk meningkatkan derajat kesehatan dengan sasaran masyarakat (Soekidjo Notoatmodjo, 2007 : 101). Ada 3 bentuk pelayanan kesehatan, yaitu : - Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (Primary Health Care) Pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan. Pelayanan kesehatan yang diperlukan oleh kelompok ini bersifat pelayanan kesehatan dasar (basic health services), atau juga merupakan pelayanan kesehatan primer atau utama (primary health care). Bentuk pelayanan ini di Indonesia adalah puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas keliling, dan balkesmas. -Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua (Secondery Health Care) Pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan oleh kelompok masyarakat yang memerlukan perawatan menginap, yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan tingkat pertama. Bentuk pelayanan ini misalnya rumah sakit tipe C dan D, dan memerlukan tenaga spesialis. - Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga (Tertiery Health Care) Pelayanan kesehatan ini diperlukan oleh kelompok masyarakat atau pasien yang sudah tidak dapat ditangani pelayanan kesehatan tingkat kedua. Pelayanan sudah komplek dan memerlukan tenaga super spesialis, misalnya rumah sakit tipe A dan B. D. Keturunan Menurut Yuli Kusumawati (2003:16), genetik adalah faktor-faktor yang diturunkan secara alamiah orang tua pada anaknya. Keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Selama ini belum pernah ada penelitian yang spesifik meneliti tentang faktor penyakit chikungunya yang disebabkan oleh keturunan.

32

II. KERANGKA TEORI

KERANGKA TEORI
Lingkungan atau tempat tinggal yang gelap, lembab, dan tidak memenuhi syarat kesehatan

Daya tahan tubuh rendah Gizi buruk Usia (15-50 tahun) Kebiasaan merokok
Rendahnya pendidikan dan pengetahuan

Pekerjaan yang terpapar debu Kepadatan hunian kamar tidur Pencahayaan kurang Ventilasi kurang
Kondisi rumah yang sulit dibersihkan dan debu menumpuk Perilaku tidak bersih dan sehat penderita TB
33

III. KERANGKA KONSEP

KERANGKA KONSEP
Daya tahan tubuh rendah

Gizi buruk

Kebiasaan merokok Rendahnya pendidikan dan pengetahuan Perilaku tidak bersih dan sehat penderita TB

34

DAFTAR PUSTAKA

35

Anda mungkin juga menyukai