Anda di halaman 1dari 12

Tugas Mata Kuliah

“PENGANTAR MEKANIKA KUANTUM”


(Dosen : Drs. Subaer, M.Phill., Ph.D.)

Oleh :

Nurul Istiqamah Hassan


NIM 201050801053

JURUSAN FISIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2021
1. Jelaskan gejala fisika yang gagal dijelaskan oleh teori fisika klasik dan mendorong lahirnya
fisika kuantum!
Fisika Kuantum – Menjelang akhir abad ke-19, banyak perkembangan yang terjadi pada
dunia fisika. Setelah ditemukannya teori mekanika Newton, teori elektromagnetik Maxwell, dan
termodinamika, fisika berhasil menjelaskan berbagai macam fenomena yang terjadi di dunia.
Ketiga teori tersebut kemudian dikenal sebagai fisika klasik. Seiring dengan berkembangnya
berbagai peralatan untuk eksperimen, para fisikawan menemukan bahwa ada fenomena-
fenomena yang tidak dapat dijelaskan menggunakan teori fisika klasik. Fenomena-fenomena ini
baru dapat dijelaskan pada awal abad ke-20 yang merupakan awal era fisika modern. Era fisika
modern sendiri ditandai dengan penemuan teori fisika yang mampu menjawab fenomena-
fenomena yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan oleh teori fisika klasik.
a. Fenomena Radiasi Benda Hitam
Kegagalan fisika klasik bermula di akhir abad ke-19 ketika para ilmuwan tidak
mampu menjelaskan fenomena radiasi benda hitam. Meskipun tidak ada benda yang
benar-benar hitam sempurna di dunia ini, secara teori benda hitam akan menyerap semua
cahaya yang datang tanpa memancarkan radiasi energi berupa panas seperti benda-benda
lainnya. Namun faktanya benda hitam tetap memancarkan radiasi energi dengan
tingkatan atau intensitas yang berbeda. Intensitas ini dapat diprediksi dengan mengetahui
temperaturnya menggunakan Hukum Rayleigh-Jeans.
Hukum Rayleigh-Jeans ditemukan oleh Lord Rayleigh dan Sir James Jeans, dua
ilmuwan asal Inggris tahun 1900. Menurut hukum tersebut, semakin pendek suatu
gelombang, seperti sinar ultraviolet, maka intensitas radiasi energinya semakin tinggi
menuju tak hingga.
Sayangnya, hasil eksperimen menunjukkan bahwa semakin pendek
gelombangnya, intensitas radiasinya justru menurun. Kegagalan Hukum Rayleigh-Jeans
menjelaskan fenomena radiasi benda hitam ini dikenal sebagai Bencana Ultraviolet atau
Ultraviolet Catastrophe.
Revolusi Saintifik pada Fenomena Radiasi Benda Hitam dan Efek Fotolistrik
Kegagalan fisika klasik dalam menjelaskan fenomena bencana ultraviolet dan efek
fotolistrik merupakan sebuah “tamparan” besar bagi para ilmuwan saat itu. Paradigma
fisika klasik mengalami krisis. Pada masa tersebut, ilmuwan terus mencoba menghasilkan
spekulasi teori. Berbagai aktivitas ilmiah dilakukan untuk memberikan jawaban atas
permasalahan. Sebagian ilmuwan melakukan tindakan ilmiah dengan tetap mengacu pada
paradigma lama sambil melakukan beberapa perubahan untuk memperoleh jawaban
terbaik. Sebagian lagi berusaha membentuk cara berpikir baru melalui pendekatan-
pendekatan baru.
Formulasi yang diberikan oleh Wien, Stefan-Boltzman, Reyleigh-Jeans dengan
tetap berpijak pada teori fisika klasik untuk menjelaskan anomali spektrum radiasi benda
hitam, dan eksperimen panjang yang dilakukan Milikan untuk menyanggah teori
kuantum cahaya Einstein, merupakan bukti kuat bahwa ilmuwan saat itu tidak mau begitu
saja menerima teori yang sama sekali baru bagi mereka. Kenyataannya, pemikiran
revolusioner Plank dan Einstein telah menimbulkan ketakutan dan keraguan dalam diri
banyak orang (misalnya pada diri Reyleigh-Jeans dan Milikan), namun berdampak amat
penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini bersesuaian dengan apa yang
dikatakan oleh Kuhn, bahwa kritik-kritik revolusioner acapkali memberikan dampak
emosional yang amat besar pada komunitas sains.
Teori kuantum cahaya dipandang kontroversial ketika menggugat otoritas sains
yang dianggap telah mapan saat itu. Penerimaan teori kuantum cahaya masih
menimbulkan pro dan kontra. Namun dalam perjalanan selanjutnya, banyak gagasan dan
fakta-fakta baru hasil eksperimen yang memberikan penguatan terhadap kemapanan teori
kuantum cahaya, misalnya seperti ditemukannya emisi termionik, gejala efek Compton,
gelombang de Broglie, bahkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Milikan sendiri.
Kenyataan ini mendorong semakin banyaknya pengakuan dari masyarakat ilmiah
terhadap paradigm baru. Teori kuantum cahaya semakin tak terbantahkan, tidak ada
alasan bagi ilmuwan untuk tidak mempercayainya. Masa krisis secara perlahan berakhir,
berganti fase sains normal. Perjalanan revolusi telah usai, ditandai dengan terjadinya
pergeseran paradigma, dari fisika klasik menuju fisika modern.
b. Teori Kuantum
Pada tahun 1900, seorang fisikawan asal Jerman, Max Planck muncul dengan
gebrakan baru yang menjadi awal munculnya fisika modern. Planck mampu menjelaskan
permasalahan bencana ultraviolet yang sebelumnya tidak mampu dijelaskan oleh
ilmuwan-ilmuwan lainnya. Menurut Planck, radiasi elektromagnetik yang dipancarkan
suatu benda terbagi-bagi, atau diskret ke dalam paket-paket energi yang disebut
Kuantum. Besarnya energi ini bergantung pada besarnya frekuensi gelombang
elektromagnetik. Planck menjelaskan teorinya ini dengan rumus matematik berikut.

Teori Planck ini mampu menjelaskan bencana ultraviolet. Hasil perhitungan


dengan persamaan Planck ini ternyata sama dengan hasil eksperimen sebelumnya.
Mereka menunjukkan grafik pengamatan benda hitam dengan pola yang sama.
Atas penemuannya ini, Max Planck mendapatkan penghargaan Nobel Fisika pada
tahun 1918. Teori Planck kemudian lebih dikenal sebagai Teori Kuantum dan mengawali
peralihan fisika klasik menuju fisika modern. Teori Planck juga menginspirasi banyak
ilmuwan terhadap berbagai pandangan baru, salah satunya mengenai cahaya.

c. Pemahaman Klasik Cahaya Sebagai Gelombang

Isaac Newton mengatakan bahwa cahaya terdiri atas partikel-partikel yang sangat
kecil. Namun, berbagai eksperimen membuktikan bahwa cahaya juga merupakan sebuah
gelombang. Salah satu eksperimen yang membuktikan bahwa cahaya merupakan
gelombang adalah eksperimen celah ganda yang dilakukan oleh Thomas Young pada
tahun 1801. Young menutup jendela di suatu ruangan gelap dan hanya membuka satu
celah kecil yang menjadi sumber cahaya tunggal. Di depan cahaya tersebut diletakkan
dua celah tipis yang berdekatan. Cahaya dari celah ganda tersebut kemudian diamati
melalui sebuah layar.

Menurut teori Newton, hanya akan ada dua titik terang yang terlihat di layar
karena partikel bergerak lurus melalui dua celah yang ada. Namun yang terbentuk di
layar adalah pola gelap terang. Pola gelap terang ini muncul karena adanya fenomena
interferensi yang dihasilkan oleh gelombang. Bagian gelap muncul ketika gelombang
cahaya dari kedua celah saling meniadakan, dan bagian terang muncul ketika keduanya
saling menguatkan. Berdasarkan percobaan tersebut, Young menyimpulkan bahwa
cahaya adalah gelombang. Sayangnya, pemahaman klasik mengenai cahaya ini
menemukan permasalahan ketika dihadapkan pada peristiwa efek fotolistrik.

d. Efek Fotolistrik
Peristiwa efek fotolistrik pertama kali diamati oleh fisikawan asal Jerman,
Heinrich Hertz tahun 1887. Peristiwa ini berkaitan dengan suatu permukaan logam yang
disinari oleh cahaya. Hasil dari penyinaran ini nantinya akan melepas elektron dari
permukaan logam. Elektron yang lepas ini dapat diketahui karena muncul arus listrik.
Munculnya arus listrik karena cahaya ini kemudian disebut sebagai efek fotolistrik.
Menurut Young, cahaya adalah gelombang yang mampu melepaskan elektron karena
adanya transfer energi dari cahaya ke elektron. Energi elektron yang lepas dari
permukaan logam akan dipengaruhi oleh intensitas cahaya, yakni seberapa terang cahaya
tersebut menyinari permukaan logam. Semakin terang cahayanya, semakin besar energi
elektronnya. Namun kenyataannya, energi elektron yang lepas tidak dipengaruhi oleh
intensitas cahaya. Sebanyak apapun cahaya yang disorot ke permukaan logam, tidak
mempengaruhi energi elektron yang lepas, namun jumlah elektron yang lepas. Ketika
permukaan logam disinari cahaya yang redup, jumlah elektron yang keluar akan sedikit.
Sebaliknya, ketika permukaan logam disinari oleh cahaya yang terang, jumlah elektron
yang keluar juga akan banyak. Namun, tingkat energi yang dikeluarkan akan tetap sama.
Tingkat energi akan berubah jika frekuensi cahaya berubah. Semakin besar
frekuensi cahayanya, semakin besar pula energi elektron yang dihasilkan. Ini
menunjukkan bahwa intensitas cahaya hanya berpengaruh pada jumlah elektron yang
lepas, bukan energinya. Ini bertentangan dengan teori gelombang cahaya yang
menyatakan bahwa intensitas cahaya berpengaruh pada jumlah energi elektron.

e. Pemahaman Cahaya Sebagai Partikel


Albert Einstein, seorang ahli fisika asal Jerman terinspirasi dengan pandangan
Planck tentang radiasi gelombang elektromagnetik yang menjelaskan bahwa gelombang
elektromagnetik terpaket-paket dalam energi yang disebut kuantum. Namun, Einstein
lebih terfokus pada cahaya, salah satu gelombang elektromagnetik. Einstein berpendapat
bahwa sifat cahaya sebagai partikel berperan pada efek fotolistik. Einstein mengatakan
bahwa cahaya adalah partikel yang memiliki massa dan momentum sehingga partikel
bisa bertumbukan. Cahaya sebagai artikel ini dikenal dengan nama foton. Pendapat
Einstein ini menjawab pertanyaan mengapa intensitas cahaya hanya memengaruhi jumlah
elektron yang lepas. Elektron-elektron yang lepas dari logam merupakan hasil tumbukan
elektron dengan foton cahaya. Setelah saling bertumbukan, foton akan musnah karena
menyerahkan energinya kepada elektron yang tertumbuk.
Sebagian energi yang diterima elektron akan digunakan oleh elektron untuk
melepaskan diri dari permukaan logam, agar bisa lepas dari energi ambangnya. Energi
ambang adalah energi batas yang dimiliki oleh logam untuk melepaskan elektronnya.
Elektron baru bisa lepas dari permukaan logam apabila melewati energi ambangnya. Sisa
energi dari foton tadi menjadi energi kinetik maksimal elektron setelah elektron bebas
dari logam. Secara matematik dapat dituliskan melalui persamaan berikut.

Atas jasanya dalam menjelaskan fenomena efek fotolistik, Albert Einstein


kemudian mendapat penghargaan Nobel Fisika pada tahun 1921. Dari penjabaran di atas,
dapat disimpulkan bahwa selain sebagai gelombang, cahaya juga dapat berperilaku
sebagai partikel. Dari simpulan tersebut, muncul gagasan Dualisme Gelombang Partikel
di mana cahaya tidak hanya bisa bersifat sebagai gelombang namun dapat bersifat
sebagai partikel pada situasi tertentu.

2. Berikan beberapa contoh eksperimen yang merupakan bukti dari sifat dualisme pertikel-
gelombang

Kita semua mungkin sudah menyadari gagasan tentang cahaya yang kadang-kadang
dapat berperilaku seperti gelombang dan kadang-kadang seperti partikel, tergantung pada
keadaan. Dualitas gelombang-partikel ini adalah aspek fundamental dari alam, berlaku untuk
semua partikel elementer, dari partikel cahaya (foton), elektron, proton, neutron, hingga quark.

Dualitas gelombang-partikel merupakan salah satu konsep fisika yang bisa dikatakan sulit
untuk dipahami sepenuhnya. Bahkan, hingga hari ini, penjelasan lengkap tentang makna konsep
tersebut terus-menerus hinggap di benak para fisikawan. Namun, fenomena dualitas gelombang-
partikel dapat dibuktikan dalam berbagai eksperimen pada cahaya dan pada materi lainnya.

Ketika sifat partikel dipostulatkan oleh Albert Einstein pada tahun 1905, tidak ada yang
benar-benar tahu bagaimana cahaya sebagai partikel akan akur dengan perilaku cahaya sebagai
gelombang yang telah didemonstrasikan secara pasti lebih dari 100 tahun sebelumnya melalui
eksperimen celah ganda oleh Thomas Young di tahun 1804. Eksperimen Young saat itu bisa
dikatakan membantah pemikiran Newton di abad sebelumnya yang menganggap cahaya
hanyalah aliran partikel. Saat Einstein mengungkapkan kembali kemungkinan cahaya
berperilaku sebagai partikel, tentu saja kita butuh eksperimen untuk mengklarifikasi perilaku
cahaya.

Percobaan paling awal untuk membuktikan sifat partikel dari cahaya dilakukan oleh
Geoffrey Taylor pada tahun 1909. Namanya mungkin jarang terdengar di pelajaran fisika, tetapi
eksperimen ini termasuk salah satu yang terpenting dalam sejarah perumusan fisika kuantum.
Eksperimen Taylor dipresentasikan dalam sebuah makalah berjudul “Interference fringes with
weak light.” Makalah Taylor, meskipun pendek (hanya dua halaman), memberikan sudut
pandang yang menarik terkait tantangan teoretis dan eksperimental di masa awal perumusan
teori kuantum. Sebelum membahas eksperimen Taylor, mari kita rekap dulu sejarah fisika yang
cukup menarik yang membawa pada penjelasan dualitas gelombang-partikel pada cahaya.

Antara abad ke-18 dan ke-19, para fisikawan menerima secara luas bahwa cahaya terdiri
dari aliran partikel, berkat karya terperinci Isaac Newton, yang diterbitkan dalam bukunya
“Opticks” pada 1704. Newton dengan meyakinkan menunjukkan, setidaknya untuk saat itu,
bahwa fenomena optik seperti refraksi (perubahan arah cahaya ketika memasuki medium) dan
difraksi (penyebaran cahaya setelah melewati celah kecil) dapat dijelaskan dengan menganggap
partikel cahaya berinteraksi dengan benda yang ditumbuknya. Karya Newton ini, ditambah
dengan reputasinya sebagai fisikawan terbaik di masanya, untuk sementara waktu berhasil
meredakan debat yang sudah berlangsung lama tentang apakah cahaya itu gelombang atau
partikel.

Selain teori partikel untuk cahaya, teori gelombang di masa sebelum Newton sebetulnya
memiliki pendukung dari kalangan ilmuwan besar juga, seperti ilmuwan Jesuit Grimaldi (1618-
1663) dan ilmuwan Belanda Christiaan Huygens (1629-1695). Seiring dengan terbitnya buku
Opticks karya Newton, teori gelombang cahaya yang dirumuskan Grimaldi dan Huygens agak
terpinggirkan. Namun, situasi berbalik di awal abad ke-19 ketika Thomas Young menerbitkan
hasil penelitiannya, eksperimen celah ganda, yang memberikan bukti kuat untuk teori
gelombang cahaya.

Ilustrasi eksperimen Young diberikan di bawah. Komponen penting eksperimen ini


adalah sumber cahaya yang tersejajarkan oleh kolimator, celah ganda berukuran lubang jarum,
dan layar pengamatan. Di masa sekarang, kolimator tidak dibutuhkan lagi dan bisa langsung
menggunakan sumber cahaya berupa laser. Namun, di masa Young, ia membutuhkan kolimator
karena sumber cahayanya berupa lilin atau bohlam yang arah sinarnya tidak koheren.
Pada papan celah ganda, sebagian besar cahaya terhalang, kecuali pada dua lubang kecil.
Keluar dari lubang jarum, gelombang menyebar dan berinterferensi. Area tempat gelombang
bergerak secara sinkron dari dua celah tersebut menghasilkan interferensi konstruktif yang
tampak sebagai pola terang pada layar pengamatan, sedangkan area gelombang yang saling
berlawanan dari dua celah menghasilkan interferensi destruktif yang tampak sebagai pola gelap
pada layar pengamatan.

Gambar asli Young dari eksperimen celah ganda, menunjukkan gelombang yang
memancar dari kedua celah tersebut. Jika kita menggunakan cahaya monokromatik (satu
warna), pola intereferensi dapat digambarkan sederhana sebagai garis terang dan gelap
bergantian. Jika kita menggunakan cahaya multiwarna seperti Young, jarak pola sedikit
berbeda untuk setiap warna, dan hasilnya adalah pola garis berwarna.
Eksperimen Young adalah titik balik yang mendukung teori gelombang cahaya
meskipun sempat ditentang para pengusung teori partikel cahaya Newton. Kemajuan
pesat dibuat setelah masa Young, terutama pada 1860-an ketika James Maxwell
merumuskan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang mampu
menjelaskan berbagai fenomena terkait cahaya serta diaplikasikan dalam perangkat
listrik-magnet. Namun, teori gelombang cahaya beberapa tahun kemudian disadari tidak
dapat menjelaskan beberapa fenomena secara meyakinkan. Di antaranya adalah efek
fotolistrik, suatu fenomena yang dalam keadaan tertentu cahaya yang diarahkan pada
sebuah pelat logam dapat menyebabkan elektron terpancar dari pelat tersebut.
Walau bias disimpilkan nahawa Newton keliru ketika mengatakan bahwa cahaya
bukan gelombang, dia tetap benar ketika mengatakan bahwa cahaya bias bertindak seolah
terdiri atas partikel/zarah. Sekarang kita menyebut partikel cahaya sebagai foton.
Sebagaimana kita tersususn dari banyak atom, cahaya yang kita lihat dala, kehidupan
sehari-hari juga bersifat komposit, dalam arti tersusun dari banyak foton – lampu 1 watt
pun memancarkan satu miliar foton perdetik. Foton tunggal biasanya tidak kentara, tapi
di laboratorium kita bias membuat berkas cahaya yang begitu redup sehongga terdiri atas
aliran foton-foton tunggal, yang bias kita deteksi tiap individunya sebagaimna kita bias
mendekteksi individu electron atau buckyball. Dan kita bias mengulang percobaan
Young dengan menggunakan berkas sinar yang cukup redup sehingga foton mencpai
penghalang satu per satu, dengan jeda beberapa detik antar foton. Jika kita melakukan itu,
lalu menjumlahkan semua tabrakan individual yang dicatat layar dibalik penghalang,
makan akan kita dapati bahwa semuanya membentuk pola interferensi yang kiranya
terbentuk jika kita lakukan percobaaan Davisson-Gerner tapi menembakkan electron
(atau buckyball) ke layar satu persatu.

Efek fotolistrik pertama kali diamati oleh Heinrich Hertz pada tahun 1887 dan
cukup membingungkan para fisikawan zaman itu. Secara khusus, tercatat bahwa elektron
hanya dikeluarkan dari logam setelah ambang frekuensi kritis cahaya dilampaui dan
intensitas cahaya hanya meningkatkan jumlah elektron yang dilepaskan, bukan
energinya. Teori gelombang cahaya tidak dapat menjelaskan ambang frekuensi karena
teori itu meramalkan bahwa energi elektron yang dilepaskan akan meningkat seiring
dengan intensitas.
Pada tahun 1905, Einstein akhirnya memecahkan teka-teki efek fotolistrik dengan
argumen bahwa cahaya dapat berperilaku baik sebagai partikel maupun sebagai
gelombang. Energi partikel cahaya individu, yang dikenal sebagai foton, sebanding
dengan frekuensi gelombang cahaya. Partikel foton dianggap mendorong elektron keluar
dari logom. Namun, karena elektron terikat dengan logam secara longgar, energi atau
frekuensi foton harus melebihi batas tertentu sebelum elektron dikeluarkan.
Gagasan Einstein dapat dikatakan menandai kelahiran fisika kuantum yang
sebenarnya dan Einstein akan memenangkan Hadiah Nobel Fisika tahun 1921 untuk
penemuan itu. Namun, sesaat setelah Einstein mengeluarkan makalah efek fotolistrik
apda tahun 1905, tidak ada yang tahu persis apa yang harus dilakukan dari semua itu. Jika
cahaya adalah sebuah partikel, bagaimana kita dapat merekonsiliasikannya dengan sifat
gelombang? Bagaimana pula partikel menghasilkan pola interferensi seperti gelombang
pada eksperimen Young? Tidak ada yang tahu saat itu.
Satu pemikiran awal datang dari fisikawan kenamaan Inggris, J. J. Thomson pada
tahun 1907. Thomson sedang mempelajari ionisasi gas melalui penggunaan sinar
ultraviolet, yang merupakan proses yang mirip dengan efek fotolistrik. Pada ionisasi gas,
alih-alih cahaya menendang elektron dari logam, cahaya ultraviolet menendang elektron
dari atom. Untuk merekonsiliasi masalah dualitas gelombang-partikel, Thomson
menyarankan bahwa sifat partikel cahaya disebabkan oleh fakta bahwa energi sebenarnya
dari suatu gelombang didistribusikan secara tidak merata di muka gelombang. Ada
“tonjolan” energi kecil yang terkumpul rapat ketika intensitas cahaya tinggi, dan
renggang ketika intensitas rendah.

Model Thomson memang tidak terumuskan dengan baik karena sekadar hipotesis
kualitatif. Namun, sebagai implikasi alami hipotesisnya, pola interferensi yang dihasilkan
dalam eksperimen Young seharusnya berasal dari interaksi banyak tonjolan energi kecil
ini. Apa yang terjadi ketika hanya sedikit tonjolan yang berinteraksi dengan dua lubang
kecil pada waktu tertentu? Thomson menyarankan bahwa pola interferensi harus terlihat
sangat berbeda karena tidak ada cukup tonjolan di sekitar untuk ikut campur.
Pengujian hipotesis Thomson menjadi tantangan tersendiri. Sumber cahaya foton
tunggal, yang umum sekarang ini dengan keberadaan laser canggih, tentunya masih
belum ada pada awal abad ke-20. Bahkan, jika sumber cahaya semacam itu sudah ada,
masih tidak ada detektor yang cukup sensitif untuk mendeteksi foton individual, yang
menambah kesulitan pengukuran. Fisikawan Inggris lainnya yang bernama Geoffrey
Taylor (1886-1975), salah satu mahasiswa Thomson, kemudian masuk ke dalam
permasalahan ini.
Untuk membuat sumber cahaya berintensitas rendah, Taylor menempatkan layar
kaca terasapkan (smoked glass) sebelum celah ganda. Tergantung tingkat pengasapannya,
layar ini akan menyerap sebagian kecil cahaya yang melewatinya. Layar yang lebih
terasapkan akan menyerap lebih banyak cahaya secara signifikan. Tidak jelas dari uraian
Taylor apakah ia menggunakan beberapa layar terasapkan dengan tingkat pengasapan
berbeda secara bersamaan atau sendiri-sendiri. Namun, dengan metode Taylor, tingkat
pelemahan cahaya yang cukup tinggi dapat tercapai.
Trik Taylor memodifikasi eksperimen celah ganda Young. Eksperimen ini
membutuhkan cukup banyak kesabaran. Dengan lubang kecil yang ada, bahkan lebih
sedikit cahaya yang mencapai pelat fotografi sehingga untuk mendapatkan foto
pengamatan dari sumber cahaya paling redup Taylor harus menjalankan pencahayaan
selama 3 bulan. Apa yang ditemukannya? Pola interferensi tetap sama, ada gelap dan ada
terang! Pola ini tidak peduli dengan seberapa banyak intensitas cahaya dikurangi. Dengan
demikian, hipotesis Thomson yang menduga kemunculan pola interferensi yang berbeda
itu terbukti salah.
Jawaban yang memuaskan tidak diperoleh selama beberapa tahun, sampai pada
masa tafsiran probabilistik dalam fisika kuantum dirumuskan. Dengan konsep
probabilitas, saat ini kita memahami bahwa setiap foton bergerak melalui dua lubang
kecil sebagai gelombang kontinu dan melewati kedua lubang bersama-sama. Namun,
amplitudo gelombang ini hanya terkait dengan probabilitas partikel yang ditemukan pada
titik tertentu dalam ruang. Ketika lokasi partikel diukur, seperti oleh layar pengamatan,
partikel cahaya telah “memilih” lokasi yang tampak di layar sesuai dengan
probabilitasnya.
Dengan demikian, foton individual akan muncul sebagai titik-titik pada layar
detektor. Seiring semakin banyaknya partikel yang masuk melalui celah ganda, pada
akhirnya pola inteferensi Young muncul di layar karena partikel-partikel ini
menempatkan dirinya sendiri sesuai dengan amplitudo gelombang yang tinggi dan
kemungkinan tidak muncul di tempat yang amplitudo gelombangnya rendah. Pada era
Taylor, titik-titik foton seperti itu tidak teramati dengan jelas karena memang belum ada
teknologi yang memungkinkan memperlambat foton datang satu per satu.
Belakangan, para ilmuwan bisa mengamati fenomena yang sama dengan
menggunakan pancaran elektron, alih-alih foton. Contoh yang terkenal adalah
eksperimen celah ganda untuk elektron yang dilakukan oleh sekumpulan ilmuwan Jepang
di perusahaan Hitachi pada tahun 1989, yang hasilnya menunjukkan pola interferensi
yang sama. Dengan menembakkan elektron perlahan-lahan dan difoto setiap tahapnya,
semakin banyak elektron datang, pola pita terang dan gelap menjadi jelas! Eksperimen ini
kemudian diulang berkali-kali dengan foton dan hasilnya sama sehingga menguatkan
konsep dualitas gelombang-partikel sesuai tafsiran probabilistik dalam fisika kuantum.

Gambar (a) hingga (e) menunjukkan akumulasi titik lokasi elektron yang tiba di layar.
Sumber gambar: Wikipedia.

Perlu dicatat bahwa, pada tingkat filosofis yang mendalam, sampai hari ini kita
masih belum benar-benar tahu apa artinya semua ini. Apakah dunia fisika ini acak,
sebagaimana tafsiran probabilistik terhadap eksperimen celah ganda? Atau adakah faktor
lain yang tak terlihat yang berperan yang hanya membuatnya tampak acak? Tidak ada
yang tahu dengan pasti. Namun, karya Taylor adalah salah satu upaya paling awal untuk
mendamaikan dualitas gelombang-partikel yang tampaknya paradoks, sehingga layak
menjadi tonggak penting dalam sejarah fisika kuantum.

3. Secara konseptual mengapa persamaan Schrodinger yang merupakan persamaan energi


mengandung suku fungsi gelombang.
Penyelesaian persamaan Schrodinger secara langsung dari sistem partikel dapat
menentukan energi dan fungsi gelombang suatu sistem partikel yang digunakan untuk
mendiskripsikan perilaku sekelompok partikel. Aplikasi persamaan Schrodinger dalam banyak
hal akan berkaitan dengan energi potensial, yaitu besaran yang merupakan fungsi posisi dan
tidak merupakan fungsi waktu. Perhatian kita tidak tertuju pada keberadaan elektron dari waktu
kewaktu, melainkan tertuju pada kemungkinan dia berada dalam selang waktu yangc ukup
panjang.
Dalam mekanika kuantum, persamaan Schrödinger adalah persamaan matematika yang
menjelaskan perubahan tiap waktu dari sebuah sistem fisika di mana efek kuantum, seperti
dualitas gelombang-partikel, menjadi signifikan. Persamaan ini merupakan perumusan
matematis untuk mempelajari sistem mekanika kuantum. Persamaan ini berbentuk persamaan
diferensial dengan tipe persamaan gelombang, yang digunakan sebagai model matematika dari
pergerakan gelombang.
Konsep fungsi gelombang adalah dasar bagi postulat mekanika kuantum. Menggunakan
postulat ini, persamaan Schrödinger dapat diturunkan berdasarkan fakta bahwa operator
perubahan waktu haruslah kesatuan dan oleh karena itu harus dihasilkan oleh eksponensial dari
sebuah operator self-adjoint, dimana itu adalah Hamiltonian kuantum.
Dalam interpretasi Kopenhagen mekanika kuantum, fungsi gelombang adalah
penjelasan paling lengkap untuk berbagai sistem fisik. Penyelesaian persamaan Schrödinger
tidak hanya dapat menjelaskan sistem molekular, atomik, dan subatomik, tapi juga sistem
makroskopik, mungkin juga seluruh alam semesta. Persamaan Schrödinger adalah rumusan inti
bagi semua aplikasi mekanika kuantum termasuk teori medan kuantum yang menggabungkan
relativitas khusus dengan mekanika kuantum. Teori gravitasi kuantum, seperti teori dawai, juga
dapat diselesaikan dengan persamaan Schrödinger.
Fungsi gelombang ψ(x) menyatakan suatu gelombang yang memiliki panjang
gelombang dan bergerak dengan kecepatan fase yang jelas. Masalah yang muncul ketika
hendak menafsirkan amplitudonya. Apakah yang dinyatakan oleh amplitude ψ(x) dan variabel
fisika apakah yang bergetar? Ini merupakan suatu jenis gelombang yang berbeda, yang nilai
mutlaknya memberikan probabilitas untuk menemukan partikelnya pada suatu titik tertentu.
Dimana |ψ(x)|2 dx memberikan probabilitas untuk menemukan partikel dalam selang dx di x.
Rapat probabilitas P(x) terhadap ψ(x) menurut persamaan Schrödinger sebagai berikut:
P(x)dx=|ψ(x)|2dx
Tafsiran |ψ(x)|2 ini membantu memahami persyaratan kontinu ψ(x), walaupun
amplitudonya berubah secara tidak jelas dan kontinu. Probabilitas untuk menemukan partikel
antara x1 dan x2 adalah jumlah semua probabilitas P(x)dx dalam selang antara x1 dan x2.
Setelah kemunculan kuantisasi cahaya Max Planck (lihat radiasi benda-hitam), Albert
Einstein menginterpretasikan kuanta Planck sebagai foton, partikel cahaya, dan
mengemukakan bahwa energi sebuah foton berbanding lurus dengan frekuensinya, salah satu
tanda-tanda pertama dualitas gelombang-partikel. Karena energi dan momentum saling
berhubungan seperti frekuensi dan bilangan gelombang pada relativitas khusus, momentum
sebuah foton p berbanding terbalik dengan panjang gelombang λ, atau berbanding lurus dengan
bilangan gelombang k:

dengan h adalah konstanta Planck dan ħ adalah konstanta Planck tereduksi, h/2π. Louis de
Broglie mengemukakan hipotesis bahwa persamaan ini benar untuk semua partikel, meski
partikel yang bermassa seperti elektron. Ia mengasumsikan jika gelombang materi merambat
bersama partikel mereka, elektron-elektron membentuk gelombang berdiri, berarti hanya
frekuensi rotasional tertentu di sekeliling atom nukleus yang dimungkinkan.[7] Orbit
terkuantisasi ini sesuai dengan tingkat energi diskret, dan de Broglie memakai formula model
Bohr untuk tingkat energi. Model Bohr didasarkan pada kuantisasi momentum sudut L yang
diasumsikan menurut:

Menurut de Broglie, elektron dijelaskan melalui sebuah gelombang dan sejumlah


bilangan panjang gelombang yang harus sesuai sepanjang keliling orbit elektron:

Pendekatan ini membatasi gelombang elektron dalam satu dimensi, sepanjang orbit lingkar
berjari-jari r.

Anda mungkin juga menyukai