Anda di halaman 1dari 15

Tata Kelola Sumber Daya Manusia (ASN) dalam Perspektif Desentralisasi

Dhona Dwi Anjaya & Abdul Rasyid Sahar

Dalam pembangunan negara bangsa, birokrasi beserta aparatur sipil negara


(ASN) merupakan faktor kunci menjaga roda pemerintahan tetap berjalan sesuai
dengan koridor dan trajektori pendiri bangsa. Lebih lanjut, jika merujuk salah satu
orientasi diwujudkannya desentralisasi yang bertujuan untuk mendekatkan
pemerintah kepada masyrakat dalam memberikan pelayanan publik, maka birokrasi
memiliki peran signifikan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Namun beberapa realitas dan hasil penelitian pakar menunjukan bahwa birokrasi
tidak dipandang memiliki peranan penting dalam mewujudkan nilai-nilai
desentralisasi tersebut. Penelitian yang ditunjukan Green (2005) bahwa meskipun
tuntutan peningkatan pelayanan publik di Kamboja dan Thailand, ancaman
disintegrasi regional di Filipina dan Indonesia, serta keniscayaan transisi ekonomi di
China dan Vietnam merupakan dorongan dilakukannya desentralisasi, namun
kebanyakan orientasi desentralisasi yang terjadi hanya berupa muatan politis belaka.
Selain itu, tantangan terbesar dalam mewujudkan keberhasilan praktik desentralisasi
terletak pada manajemen pegawai pelayanan publik. Sebagaimana Green
menegaskan bahwa manajemen pelayanan publik memiliki dampak signifikan karena
ASN yang merupakan agen pemerintah berperan mengelola sumber keuangan dan
membawakan pelayanan publik kepada masyarakat. Lebih lanjut, hubungan antara
desentralisasi dan manajemen pelayanan publik bersifat dua arah. Artinya, orientasi
dari keduanya memiliki perbedaan. Di satu sisi, perilaku Aparatur akan
mencerminkan kinerja suatu pemerintahan dalam lokus desentralisasi. Di sisi lain,
desentralisasi dapat mengubah tuntutan pelayanan publik itu sendiri melalui
penggunaan otoritas tersendiri. Oleh karenanya, mencermati pola relasi ini dapat
dijadikan acuan untuk mengembangkan desentralisasi ke arah yang bermanfaat.

Kata Kunci : Desentralisasi Asia, Manajemen Aparatur Sipil Negara, Desentralisasi


Aparatur Sipil Negara

A. Keterkaitan antara Desentralisasi dan Manajemen Aparatur Sipil Negara

Tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana pengelolaan sumber daya


manusia dalam hal ini aparatur sipil negara (ASN) sebagai aspek esensial dalam
mewujudkan prinsip desentralisasi. Ada beberapa hal yang menjadi diskursus dalam
tulisan ini. Pertama, memaparkan tentang bagaimana pola relasi antara
desentralisasi (administratif purpose) dengan manajemen pelayanan publik
berdasarkan kerangka konseptual dan faktual dalam praktinya. Kedua, meninjau
fenomena pengalaman desentralisasi di Asia seperti Kamboja, Thailand, Filipina,
Indonesia, China, dan Vietnam. Terakhir, memaparkan seperti apa dilema yang
sering muncul dalam mewujudkan desentralisasi dan menggambarkan perihal
pembelajaran “lesson learn” dalam hal bagaimana negara-negara di Asia Timur
tersebut dalam memaksimalkan desentalisasi kearah yang bermanfaat. Jika merujuk
dari terminologi Bank Dunia (2003) yang menggambarkan alur desentralisasi
berawal dari dekonsentrasi berkembang menjadi delegasi kemudian devolusi, maka
desentralisasi merupakan suatu spektrum atau sebagai sebuah proses urutan yang
berkesinambungan. Untuk lebih lanjut lihat tabel dibawah ini;
Tabel 1. Karakteristik Utama dalam Desentralisasi (Administrative Purpose)

Sumber : Amanda E. Green (2003) dalam Managing Human Resources in A


Decentralized Context. Hal. 130.

Dari gambaran tabel diatas, terlihat adanya kecenderungan otoritas yang


makin kuat dikendalikan oleh pemerintah lokal dalam manajemen sumber daya
manusia atau dalam hal ini ASN dari model dekonsentrasi sampai pada tahap
devolusi. Secara umum, karakteristik delegasi (intermediate change) banyak
dipraktikan di negara-negara Asia Timur yang mana pemerintah lokal memiliki
kebebasan atau otoritas dalam merekrut pegawai dan menentukan formasi
kepegawaian dengan tetap merujuk pada pedoman pemerintah pusat terkait
persoalan level penggajian dan kuantitas jumlah pegawai.
Dalam memahami peluang dan tantangan yang di hadapi kebanyakan negara
untuk mewujudkan desentralisasi terkait manajemen sumberdaya ASN, maka
mengidentifikasi tujuan sangat krusial dilakukan sehingga dapat memudahkan dalam
memahami manajemen ASN yang terdesentralisasi. Berikut beberapa karakteristik
dan model dalam sistem manajemen ASN yang dirumuskan Green. Pertama, fungsi
pemerintah daerah didefinisikan secara jelas, sehingga ASN dapat mengetahui
tujuan dan fungsi yang diharapkan daerah itu sendiri. Selain itu, kepala daerah dapat
menyesuaikan pelayanan publiknya berdasarkan kekhususan daerah masing-masing
sehingga dapat terhindar dari inefisiensi dan gap antara pemerintah daerah lainnya.
Kedua, Pemda mampu mengalokasikan pegawai berdasarkan kebutuhan daerahnya
sendiri. Artinya, menentukan jumlah dan kuota pegawai berdasarkan kebutuhan
dalam menjalankan roda pemerintahan. Oleh karenanya, otoritas dan otonomi
berhak diberikan kepada kepala daerah untuk menjamin keberlanjutan misi
desentralisasi itu. Ketiga, Pemda mampu menjaga dan mempertahankan pegawai
yang memiliki kinerja dan kompetensi yang berkualitas melalui pelbagai skema
reward seperti tingkat gaji yang relatif besar, peluang karir yang jelas, dan sertifikasi
yang menunjang karir dan pekerjaannya. Keempat, Pemerintah daerah memiliki
fleksibilitas dalam mengelola keuangan daerahnya. Mengelola ASN tentunya
memerlukan belanja atau penggajian pegawai yang komprehensif. Jika pengelolaan
ASN tidak diatur baik dari tingkatan gajina maupun kuota pegawainya, maka
tentunya APBD akan habis terkuras hanya untuk belanja pegawai. Kelima,
pemerintah daerah dapat meminta pertanggungjawaban staf atas kinerjanya. Hal ini
membutuhkan kapasitas untuk mengawasi dan memantau ASN, kemampuan untuk
memberi penghargaan atas kinerja yang baik melalui kenaikan gaji, promosi, dan
manfaat lainnya, dan memberikan sanksi terhadap ASN yang memiliki kinerja yang
kurang baik, misalnya diberhentikan.
Jika mencermati kelima kriteria diatas, beberapa atau bahkan semua negara
di Asia tidak dapat memenuhi kriteria tersebut dengan melihat kondisi yang ada di
masing-masing negara. Dalam beberapa kasus misalnya, seperti disebutkan dalam
riset ini, bahwa independensi yang relatif terbatas antara pemerintah daerah
mengenai masalah fiskal dan politik dapat menghambat otonomi administratif
mereka. Dalam kasus lain, ada beberpa kecenderungan yang mendukung premis
diatas. Pertama, menjaga pelayanan publik lokal di bawah kontrol pemerintah pusat
dapat membentuk sebuah standarisasi dalam kondisi kerja di seluruh wilayah
negara. Jika tidak seperti itu, pemerintah daerah di daerah yang memiliki sumber
daya yang terbatas akan sulit bersaing dengan daerah yang memiliki sumber daya
yang memiliki kelebihan dan keunggulan sehingga ranah layanan publik nasional
dapat terganggu. Kedua, keterlibatan pemerintah pusat dalam penempatan pegawai
dapat memperluas jalur karir pegawai negeri sipil dengan membuka saluran antara
lapangan kerja lokal dan pusat. Ketiga, pemerintah pusat bisa saja mempertahankan
kontrol atas perekrutan untuk melindungi pemerintah daerah dari tekanan lokal
dalam hal postur penggajian. Keempat, kontrol peraturan pemerintah pusat dapat
menjadi penting di sektor-sektor yang perlu menerapkan kualifikasi profesional,
seperti guru, dokter, dan perawat. Kelima, dinamika dan perbedaan etnis bisa dapat
memicu konflik yang mengancam stabilitas nasional, sehingga pemerintah pusat
dapat menggunakan pegawai negeri sipil sebagai alat untuk integrasi nasional.
Menurut Green (2005), ada empat dimensi yang dapat menjadi instrumen
dalam mengatasi pertentangan dalam mewujudkan desentralisasi pengelolaan
pegawai beserta pelayanan publiknya. Setiap faktor mempengaruhi dan memainkan
peranan penting dalam proses desentralisasi itu. Pertama, Kapasitas. Bagi pegawai
negeri sipil (ASN), syarat dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan
baik menururt konteks desentralisasi, yaitu mereka harus memiliki kapasitas untuk
melakukannya. Artinya adalah, perlunya peningkatan kemampuan individu dan
kelembagaan. Keberhasilan desentralisasi bergantung pada kemampuan pegawai
negeri sipil untuk melakukan tugas baru, baik di tingkat pusat maupun daerah. Juga,
ukuran dan anggaran yang lebih kecil dapat membatasi kapasitas kelembagaan
pemerintah daerah. Proses desentralisasi itu sendiri dapat memiliki implikasi penting
bagi kebutuhan kapasitas di tingkat lokal. Desentralisasi (devolusi) yang dilimpahkan
kepada pemerintah daerah dalam membawakan pelayanan publik membutuhkan
ketrampilan dan pengetahuan yang tinggi di bidang tertentu, seperti manajemen
keuangan dan pengawasan dan pengukuran kinerja. Selain itu, para kepala daerah
perlu belajar mengawasi staf, memobilisasi lebih banyak pendapatan asli daerahnya
sendiri, berinteraksi dengan konstituen lokal, serta mengembangkan institusi lokal.
Kedua, Insentif. Dalam beberapa kasus, kecenderungan kurangnya kapasitas
pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan yang terdesentralisasi
disebabkan kurangnya kesadaran dan motivasi dalam memberikan pelayanan publik
sebagai pengabdian yang sesungguhnya. Pegawai negeri sipil (ASN) memiliki
perilaku yang berorientasi pada insentif. Selain itu, struktur dan pengelolaan pegawai
negeri mempengaruhi hasil reformasi desentralisasi seperti tingkat gaji dan
tunjangan, pilihan untuk mobilitas karir, dan tingkat dimana prestasi diakui atau
kinerja yang tidak memuaskan dapat menentukan dedikasi dimana pegawai negeri
sipil bekerja, serta tipe individu yang memilih untuk menjadi pegawai negeri.
Desentralisasi tanggung jawab fungsional dan manajemen ke tingkat lokal, pada
gilirannya, memodifikasi struktur insentif pegawai negeri setempat. Kedekatan
pemerintah daerah dengan penerima layanan publik dapat memperketat hubungan
antara upaya dan hasil. Namun, beberapa program pelayanan publik terlalu kecil
untuk menawarkan kesempatan yang signifikan untuk kemajuan karir, dan
pemerintah daerah yang memiliki keterbatasan anggaran akan kesulitan membayar
gaji yang cukup tinggi untuk merekrut tenaga ahli dan profesional.
Ketiga, Otonomi. Premis yang menyatakan bahwa desentralisasi
meningkatkan responsifitas pegawai (ASN) dalam membawakan pelayanan publik,
asumsi ini secara langsung berarti bahwa pemda memiliki wewenang dalam
menanggapi tuntutan publik. Otonomi daerah dalam mengalokasikan sumber daya
manusia dapat meningkatkan efisiensi dengan memungkinkan untuk mempekerjakan
staf yang keterampilannya sesuai dengan program yang direncanakan,
mendisiplinkan atau memberhentikan staf yang tidak efektif, dan mengatur kuota
penggajian dan jumlah pegawai agar biaya tetap optimal. Meskipun kecenderungan
pemda di beberapa negara Asia terkait otonomi keuangan seperti dalam
menetapkan besaran gaji yang dapat meningkatkan kinerja pegawai namun
mencapai upaya itu, maka insentif kinerja dan kerangka kerja akuntabilitas harus
cukup kuat untuk mencegah inefisiensi dan miss management. Menurut definisi,
desentralisasi administrasi akan meningkatkan otonomi daerah, namun hal ini tidak
selalu terjadi. Pemerintah pusat, sering mempertahankan tingkat kontrol yang
signifikan, terutama dalam mengatur tingkat dan besaran penggajian pegawai negeri.
(lihat tabel 2 dibawah).

Tabel 2. Otoritas Pemerintah Pusat terhadap Dinas Pelayanan Sipil

Terakhir, Akuntabilitas. Dalam konteks desentralisasi, potensi peningkatan


pemberian layanan tergantung sejauh mana pegawai negeri dapat
mempertanggungjawabkan kinerja dan integritas mereka, dan kepada siapa mereka
bertanggung jawab. Tanpa sistem pertanggung-jawaban lokal yang kuat,
menyerahkan wewenang dan sumber keuangan ke pemerintah daerah dapat
menyebabkan pemborosan atau penyalahgunaan anggaran pemerintah. Juga,
potensi penangkapan politik atau korupsi kepala daerah dapat mendistorsi manfaat
desentralisasi. Jika desentralisasi politik memungkinkan pengawasan oleh badan-
badan independen yang dipilih di daerah, maka performa dan kinerja pemerintah
daerah akan lebih baik. Jika mekanisme pengawasan masyarakat kuat,
pertanggungjawaban pegawai daerah yang buruk akan cenderung mendorong
peningkatan terhadap pelayanan dan tuntutan masyarakat. Jika akuntabilitas hanya
terbatas di pusat, desentralisasi mungkin tidak memberikan manfaat potensial untuk
membawa pemerintah lebih dekat kepada masyarakat itu sendiri.
Pada hakikatnya, desentralisasi dapatmempengaruhi akuntabilitas daerah.
Dalam pelimpahan tanggung jawab untuk proses pengawasan pegawai negeri sipil
kepada pemerintah daerah, desentralisasi jika dipraktikkan sesuai prinsip dasarnya
dapat menjadikan ASN berkompeten dan mencegah perilaku koruptif. Kedekatan
masyarakat dengan pemerintah dapat meningkatkan kemampuan mereka dapat
membentuk mekanisme pertanggung jawaban yang lebih dekat dan dapat diawasi.
Namun, jika pengawasan terkait netralitas dan independensi pegawai negeri tidak
berada di tempat, maka desentralisasi dapat membuka peluang terhadap praktik
nepotisme, seperti dalam bentuk pemberian penghargaan tertentu kepada anggota
keluarga beserta rekan kerjanya terkait posisi yang didambakan, serta dapat
mencampuri pengambilan keputusan politik dengan mengatasnamakan rakyat.
Secara keseluruhan, kapasitas, insentif, autentikasi, dan akuntabilitas pengelolaan
pegawai negeri memberikan kedua lensa untuk mengevaluasi disain desentralisasi
dan gambaran bagaimana desentralisasi administratif dilaksanakan. Bagian berikut
menunjukkan bagaimana keempat dimensi ini mempengaruhi desentralisasi di
negara-negara Asia Timur, khususnya Filipina dan Indonesia dan bagaimana
pembuat kebijakan dapat memanfaatkan dimensi tersebut untuk mendapatkan hasil
maksimal dari desentralisasi.

B. Praktik Pengelolaan Desentralisasi ASN Di Asia

Pada dasarnya, struktur pemerintahan dan karakteristik pelayanan sipil sangat


bervariasi di Asia Timur. Beberapa negara telah memfokuskan upaya desentralisasi
pada tingkat pemerintahan yang paling rendah, dan juga ada negara yang lebih
memfokuskan dekonsentrasi ke tingkat menengah, seperti provinsi. Selain itu,
beberapa Negara memeiliki perbedaan terkait definisi pegawai negeri sipil.
Contohnya, beberapa negara menganggap profesi guru, petugas kesehatan, dan
polisi sebagai bagian dari pegawai negeri, sementara yang lain menganggap mereka
memiliki kategori terpisah. Perbedaan antara staf kementerian di satu sisi, dan
pegawai badan pelayanan publik dan perusahaan milik negara di sisi lain, semakin
memberikan disparitas terhadap definisi pegawai negeri sipil. Secara umum,
penentuan pegawai sebagai pegawai negeri sipil dapat ditelusuri dari lokasi fisik atau
di tingkat pemerintahan mana mereka bekerja dan siapa otoritas yang menggajinya.
Meskipun tidak terdapatnya standar dan definisi yang disepakati, perlu kiranya
memetakan karakteristik tentang desentralisasi pegawai negeri di wilayah ini.
Gambar1. dibawah ini menunjukkan variasi yang luas dalam struktur layanan sipil di
seluruh wilayah. Pembagian pegawai di tingkat subnasional berkisar antara 19
persen di Thailand, sedangkan di China berkisar 90 persen. Porsi belanja pegawai
dalam total belanja daerah juga mencerminkan tingkat desentralisasi administratif.
Seperti ditunjukkan pada gambar 1 dibawah, rata-rata pengeluaran subnasional
untuk personil berkisar 41 persen dari total pengeluaran di Thailand, dan di China
sekitar 60 persen. Untuk lebih jelasnya lihat gambar dibawah.

Dalam konteks regional Asia, Desentralisasi di Filipina dan Indonesia


merupakan bagian integral dari keterbukaan politik menyusul penggulingan rezim
otoriter. Di kepulauan yang luas ini, meningkatnya konflik sosial menambahkan
sebuah catatan urgensi pada keputusan untuk melakukan desentralisasi, dan
otonomi daerah dipandang sebagai kunci untuk memadamkan ancaman terhadap
persatuan nasional. Pemerintah tidak memiliki antusiasme dalam menyesuaikan
rancangan pengaturan perimbangan keuangan dan administrasi fiskal antara
pemerintah pusat dan daerah sebelum melakukan desentralisasi. Dalam proses
transisi, di negara ini kecenderungan disrupsi terhadap pelayanan publik hampir
tidak tersentuh oleh rancangan desentralisasi yang terbuka secara terbuka telah
mendorong tanggapan lokal yang inovatif terhadap tanggung jawab baru. Namun,
begitu debu padam, momentum melambat, dan tantangan penting tetap ada dalam
mengoreksi beberapa ketidaksempurnaan yang diungkap oleh proses desentralisasi.
Sebagai salah satu negara yang memberlakukan desentralisasi yang maju di Asia
Tenggara, Filipina dan Indonesia memberikan titik awal yang berguna untuk
menangani desentralisasi administratif di wilayah ini.
Di Filipina, Undang-Undang Pemerintah Daerah 1991 (LGC) merupakan
dorongan utama dalam praktik desentralisasi "otonomi lokal dalam artian yang
sesungguhnya”. Penyerahan fungsi pemerintah yang substansial, sumber keuangan
dan sumber daya manusia dari tingkat nasional sampai subnasional. Dapat dilihat,
lebih dari 70.000 staf dipindahkan ke pemerintah daerah. Disetiap tingkat
pemerintahan, kepala eksekutif, gubernur, walikota, atau barangay (camat) dapat
mempekerjakan, memecat, dan mempromosikan pegawai sesuai dengan pedoman
dan mekanisme dari Komisi Aparatur Sipil Negara Filipina (CSC). Laporan kekayaan
dan usaha (bisnis) pegawai negeri juga diperiksa oleh lembaga tersebut.
Meskipun demikian, dalam praktinya, penunjukan dan pengangkatan pegawai
dan pejabat sipil negara yang seharusnya sesuai mekanisme fit and proper test tidak
dilakukan sebagaimana seharusnya karena sitem dan mekanisme tersebut dapat
mencegah praktik patronase dan nepotisme di tingkat lokal yang merupakan perilaku
pemerintah daerah. Misalnya, walaupun kandidat memenuhi syarat dan kualifikasi
dalam daftar penunjukan pegawai negeri CSC, kepala eksekutif setempat tidak
terikat untuk memilih kandidat tersebut. Selain itu, rekrutmen untuk posisi yang
dimaksud diatas kadang abstrak dan cenderung menjadi rahasia dalam lingkungan
pemerintah daerah saja. Pengangkatan pegawai dengan posisi teknis dan jabatan
non karir tidak melalui proses sebagaimana yang diatur dalam lembaga CSC
tersebut.
Proses ini sering terjadi karena kecenderungan di pemerintah daerah relatif
mudah untuk merekrut pegawai non ASN berdasarkan patron klien. Lihat saja dari
kuota pegawai yang menunjukan sepertiga (38,6 persen) dari total staf pemerintah
daerah pada tahun 2001 secara signifikan lebih banyak daripada di badan
pemerintah nasional (4,67 persen). Selanjutnya, pemerintah daerah dapat
mempertahankan pegawai non ASN ini hingga enam bulan tanpa persetujuan CSC.
Pejabat lokal sering menggunakan ketentuan ini untuk menghindari pengendalian
dan penundaan sentral dan menghindari kontribusi terhadap skema imbalan kerja
nasional. Perpanjangan kontrak secara bertahap dan berkelanjutan seringkali dapat
menjadikan pegawai itu diangkat secara hukum sebagai ASN resmi. Juga, informasi
yang dibuka ke publik terkait lowongan formasi dan jabatan sangat minim dilakukan
oleh pemda terkait. Kurangnya transparansi ini menghambat perekrutan berdasarkan
prestasi atau sistem merit, karena umumnya yang terjadi di pemda adalah pola
perekrutan sering berlandaskan patronase bagi pendukung setia.
Peraturan pemerintah pusat mengenai standarisasi pembentukan daerah
otonomi baru dan alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara membatasi
fleksibilitas kepala eksekutif di daerah dalam menunjuk staf. Sistem klasifikasi
pekerjaan yang seragam menjadikan kekakuan pada pegawai negeri sipil yang
memiliki daerah yang sempit. Pemerintah pusat membatasi apbd sebesar 45 sampai
55 persen dari pendapatan tahun sebelumnya, bergantung pada tingkatan
pendapatan asli daerahnya. Pemerintah pusat juga menentukan skala penggajian
dan tunjangan. Besaran gaji pokok cenderung rendah tapi di imbangi dengan
tunjangan. Dari tahun 1992 sampai 2001, Anggaran belanja pegawai mencapai 56,8
persen dari total PAD tahun sebelumnya, melebihi batas gaji yang diamanatkan
secara nasional.
Undang-Undang 1989 tentang Tunjangan dan Tingkat kepangkatan
menetapkan gaji di semua tingkatan pemerintah pusat maupun daerah. UU itu
memberikan tingkat penggajian Pemda lebih rendah diabanding pemerintah pusat.
Sementara itu, besaran gaji pegawai pusat yang di transfer ke pemda tetap sama
sehingga ketimpangan besaran gaji pegawai yang di transfer tadi dengan pegawai
pemda terjadi. Sistem seperti ini cenderung memakan banyak anggaran sehingga
dapat mempengaruhi keterbatasan alokasi APBD dalam belanja pegawai. UU 1993
tentang Standar Gaji Kepegawaian mengamanatkan tentang penyamaan standar
gaji secara nasional di semua tingkat pemerintahan malah memberikan dampak
yang buruk karena menaikkan gaji di tingkat yang lebih rendah tanpa perhitungan
kinerja secara komprehensif. Undang-undang tersebut juga mempengaruhi insentif
pegawai negeri sipil dengan menekan gaji dan dengan demikian menurunkan
kenaikan yang dapat diharapkan pegawai ketika memperoleh kenaikan jabatan.
Struktur organisasi yang compact dari pemerintah daerah juga membatasi mobilitas
karir pegawai negeri sipil.
Dengan adanya skema tersebut, ada beberapa pemerintah daerah menyikapi
dan merespon dengan berbagai pendekatan. Beberapa pemerintah yang
kekurangan dana dipaksa untuk mengabaikan skala gaji pegawai sehingga
memberikan gaji dan tunjangan yang terbatas. Beberapa pejabat publik terpilih,
memilih untuk mengabaikan terhadap pengisian beberapa formasi dan posisi jabatan
teknis agar tidak terlalu membebani alokasi belanja kepegawaiannya. Selain itu,
dalam menghemat dan memaksimalkan anggaran blanja pegawai, opsi untuk
memberhentikan pegawai terbuka lebar namun dengan pertimbangan politis terkait
sensitifitas PHK di Filipina akhirnya tidak dilakukan. Pemerintah daerah juga
menanggapi meningkatnya biaya kepegawaian dengan membebankan beberapa
pengeluaran, seperti pembayaran untuk pekerja kontrak, ke anggaran lainnya. Hal
inilah berimplikasi terhadap tingkat gaji jabatan administrasi dan teknis di Filipina
bawah tingkat gaji sektor swaasta. Demikian pula jabatan sebagai pegawas dan
eksekutif, yang gajinya rendah.Untuk mengetahui secara umum, lihat tabel dibawah
ini.

Tabel. 3 Pengelolaan Kepegawaian pada Pemerintah Daerah


Dari tabel diatas dapat diketahui secara umum bagaimana pengalaman
negara-negara Asia Timur dalam mengatur dan mengelola sumber daya manusia
berdasarkan asa dan prinsip desentralisasi. Di Indonesia dan Filipina, pasca
reformasi politik, desentralisasi administratif dalam manajemen ASN menghasilkan
kekuasaan dan otonomi yang lebih besar kepada pemerintah daerah dibanding
beberapa negara lain di kawasan ini. Di China dan Vietnam, di mana desentralisasi
telah berjalan secara bertahap, peran negara dan partai menawarkan wawasan
tambahan mengenai hubungan antara desentralisasi dan pengelolaan pegawai
negeri sipil. Sementara di Kamboja dan Thailand, fokus terhadap peningkatan
kapasitas sebelum menyebabkan negara ini menerapkan desentralisasi secara
bertahap.
Pasca reformasi politik 1998, keran desentralisasi yang dibuka secara lebar
menyebabkan resiko disintegrasi regional, stabilitas nasional, dan kecenderungan
kualitas pelayanan publik dipertaruhkan. Jika merujuk riset ini, transisi desentralisasi
relatif berjalan damai dan stabil meskipun di beberapa aspek masih harus
mengalami perbaikan di segala lini khususnya pada aspek manajemen pegawai
selaku agen pemerintah. Selain itu, ditemukannya kerancuan aturan dan regulasi,
dalam hal ini aturan perundang-undangan. Jika ditinjau lebih mendalam UU No. 22
Tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang mengamantkan kepala daerah atas
otoritas dalam mengangkat, memberhentikan, promosi jabatan, transfer
kepegawaian, dan mengatur terkait kedisiplinan pegawai dalam lokus pemerintahan
daerahnyanya masing, maka tentunya pemerintah daerah secara legalitas memiliki
“power” yang besar dalam mengelola kepegawaian.
Namun disisi lain, dengan perkembangan dan dinamika demokrasi, terbitnya
Peraturan Pemerintah No. 97 Tahun 2000 tentang deregulasi formasi kepegawaian
di lingkungan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah harus merujuk kepada
skema pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Aparatur Sipil
Negara berdasarkan rekomendasi Badan Kepegawaian Nasional. Otoritas
pemerintah daerah dalam PP ini hanya sebatas menentukan ukuran jumlah kuota
kepegawaian. Selain itu, perubahan terbaru pada undang-undang No. 32 Tahun
2004 lebih membatasi pemerintah daerah dalam mengatur kepegawaian hanya pada
tingkat eselon II dan dibawahnya sehingga badan kepegawaian daerah tidak lagi
memiliki otoritas eksplisit untuk mengelola pegawai sipil mereka. Pemerintah pusat
juga menentukan kenaikan penggajian dan tunjangan pegawai yang membatasi
otoritas kepala dan perangkat daerah. Juga, dalam pengaturan penggajian pensiun
pegawai Pemerintah daerah membayarkan pegawai negeri yang dipindahkan dari
pusat, yang dapat menciptakan beban yang tidak berkelanjutan, terutama sebagai
biaya pensiun meningkat seiring dengan tingkat gaji nasional dan daerah. Pada
tahun 2001, dana alokasi umum (DAU dilengkapi dengan "dana kontingensi" untuk
menutupi kenaikan gaji sebesar 14-30 persen yang diamanatkan oleh pusat tersebut.
Pengelolaan kepegawaian daerah merupakan satu kesatuan jaringan
birokrasi dalam kepegawaian nasional. Dalam Pasal 129 ayat (1) UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa pemerintah melaksanakan
pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan
penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional. Ketentuan
tersebut kemudian dilanjutkan kedalam Pasal 129 ayat (2) yang menjelaskan bahwa
manajemen pegawai negeri sipil daerah meliputi penetapan formasi, pengadaan,
pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan,
kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi
dan pengendalian jumlah. Baru kemudian pada pasal 135 ayat (1) ditegaskan bahwa
pembinaan- pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah dikoordinasikan
pada tingkat nasional oleh Menteri Dalam Negeri dan pada tingkat daerah oleh
gubernur.
Didalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan
erat dengan pengelolaan kepegawaian didaerah, hal ini disebabkan oleh beberapa
persoalan, pertama, persoalan pelaksanaan desentralisasi yang berkaitan dengan
permasalah pengelolaan keuangan daerah yang berdampak pada pengurangan
belanja pembangunan yang diakibatkan oleh pengalokasian Dana Alokasi Umum
untuk belanja pegawai. Kedua, belum terdapatnya sejumlah peraturan yang dapat
mengimplementasikan keinginan dari UU Pokok-Pokok Kepegawaian terutama
dalam hal perpaduan antara sistem prestasi kerja dan sistem karir, ketiga belum
optimalnya kinerja dari Komisi Kepegawaian Negara yang hanya memfokuskan
aspek administratif pengelolaan manajemen PNS.
Ditinjau dari perspektif kelembagaan, pengelolaan kepegawaian di Indonesia
memiliki tumpang tindih pengelolaan, baik ditingkat pusat maupun daerah hal ini
disebabkan oleh ego sektoral antara Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara,
Badan Kepegawaian Nasional, Lembaga Administrasi Negara dan Departemen
Dalam Negeri, Akibatnya, kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan instansi tersebut
sering tidak sinkron, khususnya mengenai petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaan.
Permasalahan lain yang sering timbul, yakni menyangkut tingkat kesejahtraan
pegawai yang relatif sangat rendah, hal ini berdampak pada kinerja dari Pegawai
Negeri Sipil dalam pencapaian target yang ditentukan, rendahnya kinerja tersebut
juga disebabkan oleh belum jelasnya deskripsi kerja dari masing-masing
kelembagaan kepada pegawai negeri sipil. Dalam konteks perencanaan kebutuhan,
umumnya pemerintah daerah belum memiliki peta kebutuhan PNS yang jelas seperti
konsep manpower planning, perencanaan kebutuhan yang selama ini terjadi
didasarkan pada usulan pengajuan daerah kepada Kementrian Pendayagunaan
Aparatur Negara untuk mendapatkan penetapan formasi.
Proses rekrutmen pegawai negeri sipil selama ini dinilai tidak mampu
menjawab persoalan kebutuhan di daerah, hal ini dapat dilihat pada ketidakcermatan
dalam penghitungan jumlah dan kualifikasi PNS yang dibutuhkan. Persoalan ini tentu
memiliki konsekuensi pada ketersediaan anggaran yang diperuntukkan untuk gaji
dan tunjangan pegawai negeri di masing-masing daerah, belum lagi dengan
tambahan tenaga honorer di daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai
upaya penambahan tenaga kepegawaian di daerah.
Desentralisasi birokrasi yang menuntut adanya tata kelola pemerintahan yang
baik, menghendaki adanya suatu sistem transparansi dengan mengedepankan
prinsip keterbukaan dalam setiap tahapan proses perekrutan di daerah. Ini dilakukan
sebagai upaya untuk menciptakan suatu kinerja birokrasi yang bersifat terbuka dan
transparan dalam menyampaikan informasi dan data yang akurat kepada
masyarakat tentang mekanisme seleksi mulai dari masa pendaftaran hingga
pengumuman hasil ujian, sehingga masyarakat diharapkan dapat memberikan
penilaian yang lebih objektif dan rasional terhadap kinerja birokrasi pemerintahan.
Proses pengadaan/pengangkatan pegawai negeri sipil pada dasarnya
berkaitan erat dengan proses rekrutmen formasi yang ditetapkan oleh pemerintah,
didalam proses ini jumlah dan susunan pangkat pegawai negeri sipil yang diperlukan
ditetapkan dalam formasi untuk jangka waktu tertentu didasarkan pada jenis, sifat,
dan beban kerja yang harus dilaksanakan. Jumlah dan susunan pangkat tersebut
ditetapkan oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dengan
memperhatikan pendapat pimpinan Departemen/Lembaga yang bersangkutan.
Jumlah ini disesuaikan dengan beban kerja yang dipikul dari suatu organisasi. Untuk
menetapkan formasi tersebut diperlukan suatu analisa kebutuhan pegawai negeri
sipil secara logis dan teratur dari segala faktor-faktor yang ditentukan dalam
menentukan jumlah dan susunan pangkat serta kualitas pegawai negeri dengan
mempertimbangkan tujuh faktor yang mempengaruhi penetapan formasi yaitu; jenis
pekerjaan, sifat pekerjaan, perkiraan beban kerja dan perkiraan kepasitas seseorang
pegawai negeri sipil dalam jangka waktu tertentu, prinsip pelaksanaan pekerjaan,
jenjang dan jumlah pangkat dan jabatan yang tersedia dalam satuan organisasi yang
bersangkutan, peralatan yang tersedia, hingga kemampuan keuangan negara.
Dasar hukum pengadaan pegawai negeri sipil diatur didalam Pasal 16 UU No.
8 tahun 1974 dan PP No. 6 tahun 1976 tentang pengadaan pegawai negeri sipil,
didalam pengaturannya disebutkan pengadaan pegawai negeri sipil ditujukan untuk
mengisi formasi dengan mempertimbangkan pemenuhan syarat-syarat yang
ditentukan dengan persamaan hak dan kesempatan untuk menjadi pegawai negeri
sipil, serta harus melalui serangkaian proses percobaan sebelum dilakukan
pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil.
Pengadaan pegawai negeri sipil merupakan suatu proses pengisian formasi
yang lowong, setidaknya ada dua penyebab lowongnya formasi, yaitu pertama,
adanya pegawai negeri sipil yang berhenti baik yang telah sampai usia pensiun,
diberhentikan atau meninggal dunia, kedua, adanya perluasan organisasi.
Prosedur pengadaan pegawai negeri pada dasarnya telah diatur didalam surat
edaran Ka. BAKN No. 05/SE/1976 yang terdiri dari empat tahap, yaitu tahap
pengumuman, tahap mengajukan lamaran, tahap penyaringan, dan tahap
penerimaan. Setelah keseluruhan prosedur tersebut terpenuhi selanjutnya calon
pegawai negeri tersebut diarahkan kepada proses pengangkatan setelah melalui
proses tahapan masa percobaan sekurang-kurangnya 1 tahun atau paling lama 2
tahun sejak berlakunya SK pengangkatan calon pegawai negeri sipil.
Pelaksanaan pengangkatan calon pegawai negeri sipil, kemudian diarahkan
kepada pelatihan prajabatan yang diwajibkan kepada para calon pegawai negeri
sipil. Latihan prajabatan tersebut terdiri dari 3 tingkatan yaitu tingkatan I untuk
golongan I, tingakatan II untuk golongan II, dan tingkatan III untuk golongan III dan
golongan IV. Setelah keseluruhan proses tersebut dijalankan oleh calon pegawai
negeri sipil baru kemudian dilakukan penangkatan melalui sumpah/janjji pegawai
negeri sipil sebagaimana yang tersirat didalam Pasal 26 UU No. 8 Tahun 1974.
Sumpah/janji yang diucapkan calon pegawai negeri sipil ditujukan sebagai salah satu
usaha untuk menjamin pelaksanaan tugas kedinasan secara bertanggung jawab.
Diera otonomi daerah, pengadaan/pengangkatan pegawai negeri adalah
suatu hal yang sangat penting. Mengingat ketersediaan jumlah pegawai daerah
sebagai pendukung terlaksananya program dan target yang dimiliki oleh masing-
masing daerah, pengadaan dan pengangkatan tersebut terlebih dahulu disesuaikan
dengan analisis kebutuhan pegawai, baik analisis jabatan maupun beban kerja yang
diperlukan oleh satuan pemerintahan daerah. Untuk itu dibutuhkan beberapa
pertimbangan yang ideal dalam menetapkan pengadaan dan pengangkatan
kepegawaian didaerah, adapun beberapa pertimbangan tersebut antara lain:
Pertama, pemerintah daerah harus memiliki perancanaan yang ideal seperti master
plan kepegawaian yang disusun secara berjenjang mulai dari unit organisasi
pemerintah kabupaten/kota, provinsi, hingga instansi vertical diatasnya dengan
didasari pada pertimbangan kualitas PNS yang dibutuhkan, selanjutnya peningkatan
kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan oleh PNS, serta
penganggaran yang dibutuhkan untuk gaji, tunjangan dan pengembangan pegawai.
Kedua, dalam hal promosi posisi yang diembankan kepada pegawai negeri sipil
harus melalui serangkaian uji kompetensi seperti fit and proper test.
Ketiga, dalam hal pengembangan pola karir, seorang pegawai negeri haruslah
dipertimbangkan pengalaman kerjanya hingga prestasi kerja yang telah dicapainya
melalui penilaian yang dilakukan oleh atasannya. Keempat, pemberiaan reward and
punishment, dengan menunjukkan kinerjanya baik dalam hal peningkatan kualitas
sumberdaya manusia dalam mendukung percepatan pembangunan di daerah
dengan pemberian penghargaan kepada pegawai yang berperestasi, dan bagi yang
tidak menunjukkan prestasi kerjanya harus diberikan punishment dengan
mempertimbangkan pelanggaran aturan yang telah dilakukannya.
Lebih lanjut, persoalan gaji dan insentif bukanlah hal yang baru dalam dunia
kepegawaian, sejak awal pengangkatan calon pegawai negeri menjadi pegawai
negeri sipil pengaturan mengenai gaji telah diatur didalam undang-undang pokok-
pokok kepegawaian. Didalam Pasal 7 UU No. 43 Tahun 1999 jo UU No. 8 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian disebutkan bahwa; setiap pegawai negeri
berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan
tanggung jawabnya. Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu
produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. Gaji tersebut merupakan balas jasa
dan penghargaan negara atas prestasi kerja Pegawai Negeri yang bersangkutan.
Pada umumnya, sistem penggajian dapat digolongkan dalam 2 (dua) sistem,
yaitu sistem skala tunggal dan sistem skala ganda. Sistem skala tunggal adalah
sistem penggajian yang memberikan gaji yang sama kepada pegawai yang
berpangkat sama dengan tidak atau kurang memperhatikan sifat pekerjaan yang
dilakukan dan beratnya tanggung jawab pekerjaannya. Sistem skala ganda adalah
sistem penggajian yang menentukan besarnya gaji bukan saja didasarkan pada
pangkat, tetapi juga didasarkan pada sifat pekerjaan yang dilakukan, prestasi kerja
yang dicapai, dan beratnya tanggung jawab pekerjaannya. Selain kedua sistem
penggajian tersebut dikenal juga sistem penggajian ketiga yang disebut sistem skala
gabungan, yang merupakan perpaduan antara sistem skala tunggal dan sistem skala
ganda. Dalam sistem skala gabungan, gaji pokok ditentukan sama bagi Pegawai
Negeri yang berpangkat sama, di samping itu diberikan tunjangan kepada Pegawai
Negeri yang memikul tanggung jawab yang lebih berat, prestasi yang tinggi atau
melakukan pekerjaan tertentu yang sifatnya memerlukan pemusatan perhatian dan
pengerahan tenaga secara terus menerus.
Dalam hal pembagian wilayah kerja kepegawaian, baik kepegawaian yang
berada pada tingkatan pusat dan daerah, kedunya memiliki sumber pendanaan gaji
yang berbeda, untuk Pegawai Negeri Sipil Pusat gajinya dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga
Pemerintah Non-Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara,
Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau
dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya. Sedangkan untuk
kepegawaian daerah gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah, atau dipekerjakan di luar instansi
induknya.
Namun, menjadi menarik apabila merujuk pada penjelasan Pasal 7 ayat (1)
UU No. 43 Tahun 1999 disebutkan bahwa : “Yang dimaksud dengan gaji yang adil
dan layak adalah bahwa gaji Pegawai Negeri harus mampu memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya, sehingga Pegawai Negeri yang bersangkutan dapat memuaskan
perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang
dipercayakan kepadanya.
Persoalan layak tidaknya gaji seorang pegawai sangat bergantung pada
posisi pangkat dan jabatan dari pegawai itu sendiri, mengartikan arti adil sangatlah
sulit, hal ini dikarenakan masing-masing daerah memiliki kesulitan dan kerumitan
yang berbeda-beda, belum lagi dalam hal pengelolaan keuangan daerah yang
menuntut untuk dilakukannya kebijakan sepihak dari pemerintah daerah untuk
menaikkan gaji tunjangan dari masing-masing pegawai negeri di daerah, hal ini tetap
akan berdampak pada pola pikir dan perilaku dari masing-masing pegawai dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Apabila yang menjadi patokannya
adalah beban kerja maka sudah selayaknya para pegawai tersebut dibedakan dalam
hal tunjangan dan insentif pendapatannya, namun apabila peningkatan tunjangan
hanya disebabkan oleh pertimbangan politis dari para elit daerah tentu akan semakin
menambah disparitas penghasilan dari masing-masing pegawai negeri didaerah,
untuk itu masing-masing daerah dirasa perlu untuk memperimbangkan
pengadaan/pengangkatan hingga yang menyangkut dengan kebutuhan pegawai
harus disesuaikan dengan anggaran pembelajaan pemerintahan sehingga masing-
masing daerah dapat lebih effesien dalam menggunakan anggaran dan lebih tepat
sasaran karena keseluruhan permasalahan sudah terlebih dahulu dipertimbangkan
sehingga pola penggajian kepada pegawai negeri akan semakin lebih baik dari
kebijakan-kebijakan sebelumnya.

C. Transisi Desentralisasi China dan Vietnam


Desentralisasi administratif di China dan Vietnam berubah dan
bertransformasi secara inkremental menuju sistem yang berorientasi pasar. Selama
pembukaan ekonomi, pemerintah pusat melepaskan kontrol atas beberapa aktivitas
mereka dan menawarkan independensi yang lebih besar pada tingkat yang lebih
rendah, independensi politik kepada entitas subnasional dengan imbalan otoritas
pusat yang lebih besar atas tugas pendapatan. Sistem ini telah membingungkan
peran pegawai negeri subnasional dan membatasi otonomi pimpinan daerah dalam
mengelola kegiatan mereka. Di sisi lain, desentralisasi di China dan Vietnam telah
mendorong pemerintah menguji otonomi daerah di beberapa pemda tertentu dan
menangani masalah sebelum beralih ke tahap desentralisasi berikutnya. Dan
pemerintah daerah di kedua negara telah merumuskan tanggapan inovatif sepanjang
perjalanan. Pengalaman desentralisasi kedua negara ini berbeda ukurannya namun
muncul dari tradisi birokrasi yang serupa memberikan wawasan tentang dampak
desentralisasi administratif terhadap pengelolaan pegawai negeri dan penyediaan
layanan lokal di negara-negara transisi.
Di negara yang besar dan beragam seperti China, beberapa bentuk
desentralisasi administratif adalah sebuah kebutuhan, namun dasar hukum untuk
pengelolaan sumber daya manusia yang terdesentralisasi cukup terbatas. Peraturan
Sementara tentang Pegawai Negeri Sipil 1993 tentang kepegawaian nasional, yang
hanya mencakup politisi dan pejabat partai dan staf profesional. Guru, dokter, staf
pendukung, lembaga penelitian, dan anggota militer tidak dianggap sebagai bagian
dari layanan inti, namun dari Unit Pelayanan Publik yang terpisah. Pengurus atau
anggota partai politik dianggap pegawai negeri sipil, bagaimanapun, karena tidak
ada perbedaan antara personil politik dan birokratik. Meskipun Partai Komunis China
(PKC) secara formal terpisah dari pemerintah, namun ini mempengaruhi pengelolaan
kepegawaian dan pegawai yang secara konsepsi adalah pegawai publik. ASN pusat
dan subnasional sama-sama tunduk pada pedoman nasional; Meskipun yurisdiksi
lokal menyiapkan peraturan mereka sendiri, peraturan ini biasanya sesuai dengan
peraturan nasional.
Kongres Rakyat biasanya membuat keputusan untuk mempekerjakan atau
memecat pegawai negeri setempat pada tingkat musyawarah atau referendum
partai. Namun, PKC mengendalikan penunjukan staf senior melalui sistem
nomenklatur dari patronase birokrasi yang lazim di banyak negara komunis. Sejak
tahun 1984, pejabat tingkat tinggi di setiap tingkat administratif telah ditunjuk oleh
panitia partai pada tingkat tertinggi berikutnya. Padahal, rekrutmen seharusnya
ditentukan oleh ujian terbuka, kompetitif, dan pemilihan dan promosi karyawan
berdasarkan prestasi dan kinerja. Penting untuk dicatat, bagaimanapun, bahwa
kriteria ini umumnya didefinisikan untuk mencakup "integritas politik," atau komitmen
terhadap kebijakan partai. Staf lokal bertanggung jawab kepada pemerintah pusat
dan bukan kepada pemerintah daerah. Pegawai negeri sipil harus mengikuti kode
etik yang diatur dalam Regulasi Sementara dan tulisan partai. Pekerja sementara,
seperti guru pengganti, dibebaskan dari pedoman nasional. Jumlah pos yang diberi
wewenang untuk yurisdiksi lokal ditentukan oleh cabang-cabang lokal dari Komisi
Pos dan Pembentukan Negara, sebuah organisasi partai gabungan pemerintah,
pada tingkat pemerintahan tertinggi berikutnya. Komisi menggunakan formula
tertimbang untuk menghitung setiap keseluruhan keseluruhan staf yurisdiksi,
termasuk kuota untuk jumlah staf pendukung. Jumlah pegawai tidak efisien,
bagaimanapun, dan inefisiensi dapat dipelihara dari waktu ke waktu karena tanggung
jawab untuk penyusunan anggaran dan kebijakan kepegawaian adalah memisahkan
peninggalan dari hari-hari perencanaan pusat.
Disisi lain, sebagian besar pegawai negeri sipil di Vietnam dipekerjakan dan
dipecat oleh Komite Rakyat pada tingkat pemerintahan tertinggi berikutnya. Di
provinsi, Komite Rakyat Provinsi membuat keputusan ini, meskipun penunjukan
tingkat tinggi memerlukan persetujuan perdana menteri. Pembukaan harus
diiklankan di dalam wilayah setempat, biasanya melalui pos publik di luar Kantor
Komite Rakyat. Sementara klasifikasi pekerjaan telah didefinisikan secara terpusat,
tidak disertai dengan deskripsi pekerjaan yang jelas, dan dengan demikian memberi
pertimbangan yang tepat kepada pemerintah daerah dalam menentukan profil
kepegawaian mereka.
Semua janji temu dan promosi pegawai harus didasarkan pada prestasi,
sebagaimana ditentukan oleh ujian yang dilakukan oleh sekolah politik tingkat
provinsi. Ada indikasi bahwa, dalam praktiknya, senioritas dinilai lebih berat daripada
kinerja dalam keputusan promosi. Seleksi ke posisi tingkat tinggi juga mensyaratkan
peringkat keanggotaan CPV. Tidak ada sistem manajemen kinerja yang
menghubungkan pekerjaan berkualitas tinggi dengan tingkat pengembalian yang
tinggi pada jalur karir pegawai negeri. Dua peraturan 1998 tentang Ordonansi
tentang Keluhan dan Penolakan dan Tata Cara Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Administratif menawarkan mekanisme untuk mendisiplinkan staf, namun para
manajer sama sekali tidak menggunakan salah satu dari ini. Hal ini disebabkan pada
kasus sebelumnya dengan kurangnya spesifisitas dalam ketentuan, dan dalam
kasus terakhir dengan terbatasnya efektivitas Pengadilan Administratif. Tidak ada
prosedur formal yang berlaku untuk mengizinkan pegawai negeri yang diberhentikan
untuk menangani keluhan atau tindakan petugas banding.
Kesimpulan
Dalam mengukur runutan antara reformasi desentralisasi dan inisiatif pengembangan
kapasitas yang menjadi pilihan awal menjadi perdebatan para pakar. Di satu sisi,
para analis melihat bahwa devolusi merupakan langkah awal untuk memulai
manajemen dan layanan publik dalam membangun kapasitas individu dan
kelembagaan. Sebagai missal, pengembangan keterampilan, insentif kinerja, dan
inovasi akan berjalan dengan sendirinya dalam sistem desentralisasi itu sendiri.
Namun, pakar yang lain menekankan akan "bahaya desentralisasi" mengingat
kecenderungan rendahnya kapasitas dan kekurangan pegawai negeri sipil yang
dimiliki pemerintah daerah yang berimplikasi terhadap kualitas dan efisiensi layanan
publik.
Yang menjadi pertimbangan kemudian adalah mempertahankan momentum
gerakan desentralisasi di lingkup regional sembari meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah. Pendekatan asimetris terhadap desentralisasi dapat
memungkinkan terjadi dan diserahkan ke pemerintah daerah yang telah
menunjukkan kapasitas dalam menjalankan praktik desentralisasi. Thailand,
misalnya, relatif berhasil dengan menggunakan skema khusus yang menyerahkan
otonomi ke agen sektor sosial berdasarkan kriteria "kesiapan". Juga, pengalaman
desentralisasi di Indonesia dan Filipina menunjukkan bahwa negara-negara dapat
membangun kapasitas melalui desentralisasi. Dalam skenario ini, perencanaan yang
matang dan terkoordinasi dalam kerangka kerja nasional dalam mengukur kapasitas
pemerintah daerah. Terakhir, secara prinsip, kecenderungan dalam
mendesentralisasikan struktur dan pengelolaan pegawai negeri sipil lebih bijak
setelah memastikan efisiensi dan efektifitas tata kelola pemerintahan di tingkat
nasional. Namun, mengingat dorongan politik untuk desentralisasi dan sulitnya
reformasi pegawai negeri, banyak negara tidak mampu “sabaran” menunggu hal ini.

Referensi
Asia Foundation. 2002. First Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) Synopsis of
Findings. College Park, MD: University of Maryland, IRIS Center. Asian Development
Bank. 1999. “Governance in Thailand: Chal- lenges, Issues, and Prospects.” Manila: Asian
Development Bank.
Azfar, Omar, Tugrul Gurgur, Satu Kähkönen, Anthony Lanyi, and Patrick Meagher. 2000.
“Decentralization and Gover- nance: An Empirical Investigation of Public Service Delivery
in the Philippines.” College Park, MD: University of Mary- land, IRIS Center; and
Washington, DC: World Bank.
Bales, Sarah, and Martin Rama. 2002. “Are Public Sector Work- ers Underpaid? Appropriate
Comparators in a Developing Country.” World Bank. http://econ.worldbank.org/files/
3358_wps2747.pdf.
Burns, John. “Country Reform Summaries: China.” www1.
worldbank.org/publicsector/civilservice/rsChina.pdf.
Cohen, Margot. 2003. “Cadres Get a Field Lesson.” Far Eastern Economic Review 166 (45): 24.
Evans, Anne, with Nick Manning. 2003. “Decentralization: A Review of Staffing Practices in Eight
Countries.” Internal draft document. World Bank, Washington, DC.
Fritzen, Scott. 2002. “The ‘Foundation of Public Administra- tion’? Decentralization and Its
Discontents in Transitional Vietnam.” Paper presented at the Asia Conference on Gover-
nance in Asia: Culture, Ethics, Institutional Reform, and Policy Change, City University of
Hong Kong.
Government of Vietnam. 2001. “Master Programme on Public Administration Reform for the Period
2001–2010.” Attachment to the Prime Minister’s Approval Decision No. 136/2001/QD-TTg,
September 17.

Anda mungkin juga menyukai