FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2020 TERAPI KOMPLEMENTER PADA PENYAKIT HIPERTENSI DAN DIABETES MELITUS
A. Terapi Komplementer Pada Penyakit Hipertensi
Hipertensi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. Hipertensi atau tekanan darah tinggi keadaan perubahan tekanan darah meningkat secara kronik. Secara umum, hipertensi merupakan keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam pembuluh darah arteri (Kholis, 2011). Menurut Ardiansyah (2012), hipertensi adalah tekanan darah yang bersifat abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Apabila seseorang dianggap mengalami hipertensi maka tekanan darahnya lebih dari 140/90 mmhg. Hipertensi menyebabkan penyakit jantung, stroke, penyakit jantung koroner, penyakit ginjal, dan demensia (NICE, 2019). Menurut data WHO, di seluruh dunia sekitar 972 juta orang atau 26,4% orang di seluruh dunia mengidap hipertensi, angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 sisanya berada di negara berkembang, termasuk Indonesia (Yonata, Satria, & Pratama, 2016). Anwar (2014) melaporkan sepertiga dari populasi orang dewasa di Asia Tenggara termasuk Indonesia memiliki tekanan darah tinggi. Hipertensi penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, yakni mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia. Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7 % dari populasi usia 18 tahun keatas. Dari jumlah itu, 60% penderita hipertensi mengalami komplikasi stroke sedangkan sisanya mengalami penyakit ginjal, gagal ginjal, dan kebutaan (Triyanto, 2014). Secara Nasional hasil Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dengan tekanan darah tinggi sebesar 34,11%. Prevalensi tekanan darah tinggi pada perempuan (36,85%) lebih tinggi dibanding dengan laki-laki (31,34%). Prevalensi di perkotaan sedikit lebih tinggi (34,43%) dibandingkan dengan perdesaan (33,72%). Menurut Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2018), Kabupaten atau kota dengan persentase hipertensi tertinggi adalah Kota Salatiga (77,72%) dan terrendah Kendal (2,72%) sedangkan Kabupaten Banyumas adalah (8,53%). Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Banyumas (2018), Kecamatan dengan presentase tertinggi pertama adalah Sumbang (19,57 %), sedangkan tertinggi kedua adalah Gumelar (7,14%). Prevalensi semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia. Bertambahnya usia menyebabkan fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat proses degeneratif (penuaan) sehingga penyakit tidak menular banyak muncul pada lanjut usia atau lansia (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2017). Lansia sebagai kelompok beresiko (population at risk) dan kelompok rentan (vulnerable population) yang berjumlah banyak dan meningkat dari tahun ketahun tentu akan menimbulkan berbagai masalah. Penyakit pada sistem kardiovaskuler merupakan salah satu penyebab kematian pada lansia selain penyakit kanker (Anderson & McFarlane, 2011). Secara global penyakit kardiovaskuler menyebabkan 17 juta kematian pertahun. Dari jumlah tersebut 9,4 juta diantaranya disebabkan oleh komplikasi hipertensi (WHO, 2013). Terapi non farmakologis yang disarankan sebagai terapi pendamping terapi medis disebut juga terapi alternatif dan terapi komplementer. National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM) menyebutkan terapi komplementer adalah sekelompok perawatan kesehatan, praktek, dan produk yang saat ini tidak dianggap sebagai bagian dari pengobatan konvensional (Lindquist, 2014). Salah satu bentuk Complementary and Alternative Medicine (CAM) adalah massage therapy dan terapi rendam kaki. Didalam massage therapy ini terdapat perlakuan yang salah satunya perlakuan terhadap titik-titik sentra refleks di kaki dan hal ini disebut reflexology (Jones et al, 2013). Reflexology merupakan salah satu massage therapy yang dapat menyembuhkan hampir semua penyakit, serta merupakan terapi yang aman dan tanpa efek samping. (Pamungkas, 2010). Reflexology merupakan pemberian energi yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui pemijatan untuk memperlancar peredaran darah, melenturkan otot, meningkatkan daya tahan tubuh, relaksasi meningkatkan kekuatan pikiran dan tubuh, menstabilkan emosi, meningkatkan kualitas tidur, restrukturisasi tulang, otot, dan organ, menyembuhkan cedera baru dan lama, meningkatkan konsentrasi dan ingatan, meningkatkan rasa percaya diri dan harmoni (Jones et al., 2013). Efek rendam kaki menggunakan air hangat sama dengan berjalan tanpa menggunakan alas kaki selama 30 menit (Ernawati & Maulana, 2015). Prinsip kerja dari terapi ini adalah dengan menggunakan air hangat yang bersuhu 38-39oC selama 20-30 menit secara konduksi dimana terjadi perpindahan panas dari air hangat ke tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan dapat menurunkan ketegangan otot (Damayanti, 2014). 1. Pijat Refleksi a. Definisi Pijat refleksi merupakan suatu bentuk pemijatan tradisional yang dilakukan dengan cara menarik, meremas, maupun mendorong, dan memegang untuk merangsang titik akupuntur dan bagian lain dari tubuh untuk menciptakan keseimbangan dan hormonal dalam sistem tubuh (Toruan, 2012). Pijatan pada kaki dapat meningkatkan sirkulasi darah, memberikan efek relaksasi pada jaringan otot dan syaraf dan mempercepat pembuangan sisa metabolisme dalam tubuh. b. Manfaat Pijat Refleksi Menurut Alviani (2015), terdapat beberapa manfaat yang diperolah ketika dilakukan pijat refleksi, beberpa manfaat tersebut diantaranya ialah : 1) Melancarkan sirkulasi darah Sirkulasi darah yang lancar akan mengalirkan oksigen keseluruh tubuh dengan lebih maksimal dan efektif. Semakin banyak oksigen yang mencapai organ vital, semakin optimal fungsi organ tersebut dan juga sistem metabolisme tubuh. 2) Meningkatkan energy Dengan menyelaraskan fungsi organ dan sistem otat, pijat refleksi membantu meningkatkan metabolisme dan proses penciptaan energi dalam tubuh. 3) Relaksasi Rangsangan yang diberikan sesi refleksiologi yang baik akan membuat rileks dan akan melancarkan peredaran darah. Lancarnya peredaraan darah karna dipijat memungkinkan darah mengantar banyak oksigen dan gizi ke sel-sel tubuh, sekaligus akan membawa racun untuk dikeluarkan. Terapi pijat refleksi yang diberikan diarea yang bermasalah pada tangan akan memberikan rangsangan pada titik saraf yang berhubungan dengan pankreas akan menjadi lebih aktif sehingga menghasilkan insulin (Lisanawati, 2015; Yonata et al., 2016). 4) Menyembuhkan penyakit Manfaat dari pijat refleksi selain membuat tubuh tetap bugar, pijat refleksi juga mampu menyembuhkan penyakit. Hal ini dikarenakan tubuh memiliki titik meridian. Titik tersebut menyambungkan organ luar dan organ dalam, ketika kita memberikan rangsangan berupa sentuhan pada organ luar, akan dirasakan oleh organ dalam. 5) Reaksi Tubuh Terhadap Pijat Refleksi. Ketika proses pemijatan berlangsung, biasanya organ atau bagian-bagian tubuh yang berkaitan akan mengalami reaksi. Terapi pijat refleksi memberikan berbagai reaksi, baik secara langsung yang terlihat ataupun terlihat dikemudian hari. c. Zona Refleksi Terapi pijat refleksi merupakan suatu cara untuk mengatasi gangguan kesehatan dengan cara memijat pada titik atau area refleksi tertentu pada tubuh manusia sesuai dengan zonanya. Embong et al (2015), mengatakan bahwa zona refleksi terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya ialah : 1) Zona longitudinal Pada zona longitudinal terdapatlima zona di setiap sisi tubuh. Zona longitudinal dimulai dari ujung jari kaki yang ditarik garis sejajar dengan ujung jari tangan yang sama, setiap satu level tubuh mempunyai lebar yang sama. Lima zona longitudinal tersebut diantaranya ialah : 2) Zona transversal Zona transversal (melintang) membagi seluruh tubuh menjadi empat bagian, beberapa diantaranya ialah : d. Cara Pijat Refleksi Kaki Pada Penderita Hipertensi 1) Effleurage Effleurage adalah teknik memijat dengan cara melumasi anggota menggunakan massage oil dan pelembab tubuh/body lotion. Effleurage memiliki efek meningkatkan aliran darah di pembuluh darah, dan aliran darah balik. Sisa darah pada tekanan darah perifer akan mengalir ke pembuluh darah dan jantung lebih mudah. Akibatnya, suplai darah ke jaringan perifer meningkat, serta mengurangi pembentukan fibrosis. Effleurage mampu meningkatkan sirkulasi darah dan getah bening, mendorong relaksasi, meningkatkan kualitas tidur, mengurangi rasa sakit dan mengurangi kontraksi otot yang abnormal (Salvo, 2009). 2) Petrissage Petrissage adalah sekelompok teknik yang berulang-ulang mengangkat, peregangan, menekan atau meremas jaringan di bawahnya. Semua gerakan petrissage meningkatkan aliran darah. Kompresi pada otot merangsang aliran darah vena dalam jaringan jaringan subkutan dan mengakibatkan retensi darah menurun dalam pembuluh perifer dan peningkatan drainase getah bening. Selain itu juga dapat menyebabkan pelebaran arteri yang meningkatkan suplai darah ke daerah yang sedang dipijat. Di otot, teknik petrissage dapat meningkatkan pasokan darah dan meningkatkan efektivitas kontraksi otot serta membuang sisa metabolisme dari otot-otot, juga membantu mengurangi ketegangan pada otot, merangsang relaksasi dan kenyamanan (Salvo, 2009). 3) Tapotement Tapotement adalah teknik memijat dengan perkusi atau menepuk secara berulang di jaringan. (Andrade & Clifford, 2001). Teknik tapottement dapat merangsang aliran darah ke daerah dipijat. Tapottment juga merangsang memicu vasokonstriksi pada awalnya yang kemudian diikuti vasodilatasi, yang menghasilkan suhu yang hangat pada kulit. Tapotement menginduksi relaksasi otot, merangsang pencernaan, meningkatkan fungsi pernafasan, mengurangi rasa sakit, meningkatkan limfatik, dan meningkatkan kenyaman (Dedomenico, 1997; Marliani, 2007; Rattray & Ludwig, 2000). 4) Friction Friction adalah teknik memijat non spesifik di mana jaringan superfisial pindah struktur di bawahnya dengan tujuan meningkatkan mobilitas jaringan,meningkatkan aliran darah dan mengurangi rasa sakit (Simon & Travell, 1999). Teknik gesekan sering direkomendasikan untuk pengelolaan pasien cedera, ketika terjadi reaksi inflamasi (Brukner & Khan, 2001; Lowe, 2003). Teknik ini dapat meingkatkan penyembuhan jaringan yang cedera juga memiliki efek analgesik yang kuat (Hammer, 1999). 2. Rendam Kaki Air Hangat a. Pengertian Rendam kaki air hangat adalah salah satu terapi relaksasi yang menggunakan air. Hidrotherapy adalah penggunaan air untuk menyembuhkan dan meringankan berbagai macam keluhan. Air dapat digunakan dengan berbagai cara dan kemampuannya sudah diakui sejak dahulu, bahkan air hangat juga sangat bermanfaat untuk membuat tubuh menjadi lebih rileks, menyingkirkan rasa pegal- pegal, meredakan kaku di otot-otot dan mengantar tidur bias lebih nyenyak (Sustrani, 2006). b. Dampak Rendam Kaki Air Hangat Secara Fisiologis dan Psikologis Suhu hangat pada kaki akan merangsang pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi, pada terapi air hangat ini akan mampengaruhi saraf simpatis untuk memproduksi renin, selanjutnya akan mengkonversi angiotensin 1 menjadi angiotensin II, pada angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron meningkatkan retensi natrium dan air yang meningkatkan vasopressin sehingga menurunkan tekanan darah (Destia & Umi, 2014) c. Respon Tubuh terhadap Rendam Kaki Air Hangat Air hangat pada dasarnya bekerja dengan meningkatkan aktivitas sel (molekul) dengan cara mengalirkan energi melalui konveksi melalui medium cair (Intan, 2010). Rendam kaki dengan menggunakn air hangat memberikan efek pada beberapa bagian tubuh atau organ manusia, diantaranya adalah : 1) Jantung Tekanan hidrostatik yang dilakukan oleh air terhadap tubuh mengakibatkan dorongan aliran darah pada kaki menuju ke rongga dada, sehingga darah akan berakumulasi di pembuluh darah besar jantung. Air hangat akan memicu pelebaran pembuluh darah kulit dan meningkatkan denyut jantung. Efek yang diberikan ini berlangsung dengan cepat setelah terapi air hangat diberikan (Ningrum, 2012). 2) Jaringan otot Air hangat dapat mendorong otot dan memiliki efek analgesik. Tubuh yang lelah akan menjadi segar dan dapat mengurangi rasa letih yang berlebihan. Hal ini dapat mengurangi gejala kesemutan dan efek relaksasi otot (Darmojo, 2009). 3) Organ pernafasan Aliran darah yang lancar akan membawa nutrisi dan oksigen yang cukup untuk dibawa ke rongga dada serta paru-paru. Peningkatan kapasitas paru juga dapat terjadi. Hal ini juga dapat mengurangi gejala Sleep Disodered Breathing (SDB)(Ningrum, 2012). 4) Sistem endokrin Berendam dengan air hangat dapat melepaskan dan meningkatkan sekresi hormon pertumbuhan tubuh. Sirkulasi hormon kortisol misalnya, air hangat dapat meningkatkan sekresi hormon tersebut dan menimbulkan rasa kegembiraan bagi seseorang. Pada terapi dengan merendam kaki dengan air hangat dapat menyebabkan efek sopartifik (efek ingin tidur), hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh peningkatan sekresi hormone melatonin sebagai dampak dari rendam air hangat pada kaki, sehingga seseorang yang merendam kakinya dengan air hangat dapat meningkat kualitas tidurnya (Amirta, 2007). 5) Persyarafan Efek merendam kaki air hangat dapat mengilangkan stres, tidak hanya itu jika merendam kaki dilakukan lebih dari 5 menit akan menimbulkan relaksasi (Ebben & Spielman, 2006).
B. Terapi Komplementer Pada Penyakit Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit kronik akibat pankreas tidak menghasilkan cukup insulin atau tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang diprodukasi secara efektif, dan menimbulkan konsentrasi glukosa dalam meningkat (American Diabetes Association, 2009). Diabetes melitus adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, mengarah ke hipoglikemia (kadar glukosa darah tinggi). Diabetes melitus adalah penyakit yang memiliki tanda-tanda yaitu peningkatan kadar gula di dalam darah dengan karakteristik terdapat resistensi insulin dan kurangnya insulin yang relatif dan bisa terjadi komplikasi akut maupun kronis. Diabetes melitus merupakan suatu penyakit metabolik dengan karakteristik peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) yang terjadi karena adanya gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin maupun kedua duanya (American Diabetes Association, 2013) Angka kejadian DM di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat. Berdasarkan data International Diabetes Fondation (IDF, 2012), prevalensi nasional diabetes di Indonesia adalah 4,8 % dan meningkat menjadi 5,85% pada tahun 2014 (IDF, 2014). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Jawa Tengah (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%) sedangkan Yogyakarta sebanyak 1,6 % (Riskesdas, 2013). Terapi farmakologi sebagai terapi standar dari diabetes melitus, berdasarkan American Association Of Clinical Endocrinologists and American College Of Endocrinology-clincal Practice Guidelines For Developing a Diabetes Mellitus Comprehensive Care Plan (2015) sebagai evidence based guidline untuk diabetes melitus. Terapi ini terdiri dari pemberian obat Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) misalnya sulfonilurea dan glinid, penambah sensitivitas terhadap insulin misalnya metformin dan tiazolidindion, penghambat glukoneogenesis misalnya metformin, dan penghambat absorpsi glukosa misalnya penghambat glukosidase alfa. Insulin Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni: insulin kerja cepat (rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin), insulin kerja panjang (long acting insulin) (Handelsman et al, 2015). Roohallah dan Fatemeh (2010) melakukan penelitian tentang kombinasi terapi antara akupresur, hipnoterapi dan Transcendental Meditation versus Placebo pada pasien dengan diabetes tipe II didapatkan hasil bahwa akupresur dengan menggunakan kombinasi hipnoterapi dan transcendental Meditation dapat menurunkan kadar gula darah dibandingkan dengan placebo. Nakamura et al (2014) mengatakan dalam penelitianya mengenai efek akupresur bisa menstimulus konsentrasi gula darah yang dilakukan dengan hewan uji yaitu mencit bahwasanya didapatkan hasil signifikan menurunkan kadar gula darah. Akupresur bisa mengaktifkan glucose-6-phosphate (salah satu enzim metabolisme karbohidrat) dan bisa berefek pada hipotalamus. Akupresur bekerja pada pankreas untuk meningkatkan sintesis insulin, meningkatkan salah satu reseptor pada sel target, dan mempercepat penggunaan glukosa didalam sel, sehingga hasilnya adalah menurunkan kadar gula yang ada di darah. Titik-titik akupresur yang sering digunakan adalah pada Pishu (BL 20), Feishu (BL 23), Shenshu (BL 23), Zusanli (ST 36), Sanyinjiao (SP 6), Hegu (LI 4) (Ingle et al, 2011). Sensitifitas insulin akan baik ditambah dengan meningkatnya GLUT 4 sehingga menyebabkan kapasitas untuk membawa glukosa serta pemakaian glukosa dalam sel juga akan semakin meningkat (Patil dan Pardhesi, 2011). Penelitian-penelitian terapi komplementer, intervensi dengan terapi akupresur menjadi pilihan yang disarankan diantara terapi komplementer lainnya, karena bersifat sederhana dan mudah diterapkan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara mandiri. Selain itu, akupresur adalah tindakan yang dapat dilakukan oleh perawat dan merupakan salah satu tindakan yang telah diakui sebagai salah satu tindakan keperawatan dalam Nursing Intervention Classification (Dochterment & Bulecheck, 2004). Bahkan menurut Dupler (2005), akupresur merupakan suatu terapi yang efektif baik untuk mencegah maupun untuk terapi. Selain itu, tehnik akupresur mudah dipelajari dan dapat diberikan dengan cepat, biaya murah dan efektif untuk mengatasi berbagai gejala. Upaya lain yang dapat dilakukan dalam manajemen hipergikemi adalah terapi alternatif dan komplementer / Complementary and Alternative Medicine (CAM). Terapi komplementer diperlukan untuk melengkapi atau memperkuat pengobatan konvensional maupun biomedis agar bisa mempercepat proses penyembuhan. Salah satu terapi komplementer yang dapat dilakukan dalam manajemen hiperglikemi pada penderita DM tipe 2 adalah hidroterapi (Wike, 2007). Hidroterapi atau terapi air putih merupakan metode perawatan dan penyembuhan dengan menggunakan air putih. Dalam hal ini perawat mendorong pasien untuk meningkatkan intake cairan secara oral dan memonitor status cairan. Hasil penelitian Daniel dan Popkin (2010) menjelaskan bahwa dengan meminum air putih dapat mengurangi obesitas. Minum air putih sebanyak- banyaknya atau minimal enam gelas perhari akan memenuhi kebutuhan serat dan cairan. Hidroterapi dapat membantu proses pembuangan semua racun di dalam tubuh termasuk kadar gula darah yang berlebih. Hasil penelitian James (2010) menjelaskan bahwa dengan minum air putih menyebabkan terjadinya pemecahan gula sehingga untuk mengeluarkan zat-zat kimia melalui ginjal diperlukan jumlah cairan yang banyak. Untuk menurunkan kadar gula darah yang tepat bagi penderita DM tipe 2 adalah dengan banyak minum air hangat, banyak berolahraga dan mengurangi porsi makan (Lumbanraja, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Elmatris (2015) menunjukkan bahwa seluruh responden mengalami penurunan kadar gula darah sesaat setelah diberikan terapi oral dan hidroterapi. Terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kadar gula darah sesaat antara kelompok intervensi (pemberian terapi oral dan hidroterapi) dan kelompok kontrol (hanya pemberian terapi oral). Daniel dan Popkin (2010) menjelaskan bahwa dengan meminum air putih dapat mengurangi obesitas. Minum air putih sebanyak-banyaknya atau minimal enam gelas perhari akan memenuhi kebutuhan serat dan cairan. Hidroterapi dapat membantu proses pembuangan semua racun di dalam tubuh termasuk kadar gula darah yang berlebih. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian James (2010) menjelaskan bahwa dengan minum air putih menyebabkan terjadinya pemecahan gula sehingga untuk mengeluarkan zat- zat kimia melalui ginjal diperlukan jumlah cairan yang banyak dalam satu kali pemberian pada pagi hari. Mengkonsumsi air putih dapat membantu membuang zat-zat racun di dalam tubuh termasuk gula berlebih (Sudarmoko, 2010). Penelitian lain yang dilakukan oleh Chasanah (2012) menjelaskan bahwa hidroterapi dapat mencegah terjadinya ulkus diabetikum. Hidroterapi menyebabkan terjadinya pemecahan gula yang diekskresikan melalui urin sehingga kadar gula dalam darah dapat terkontrol sehingga komplikasi ulkus diabetikum dapat dicegah. DAFTAR PUSTAKA
Alviani, P. (2015). Pijat Refleksi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Amirta, Y. (2007). Sehat Murah dengan Air. Purwokerto: Keluarga Dokter. Anderson, B., & McFarlane, C. (2011). Assemblage and geography. Area, 43(2), 124–127. https://doi.org/10.1111/j.1475-4762.2011.01004.x Anwar, R. (2014). Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Hipertensi Di Puskesmas S . Parman Kota Banjarmasin. 5(1). Ardiansyah, M. (2012). Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Yogyakarta: DIVA Press. Damayanti, D. (2014). Perbedaan Tekanan Darah Sebelum dan Sesudah Dilakukan Hidroterapi Rendam Hangat pada Penderita Hipertensi. Darmojo, B. (2009). Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Dedomenico, G., Wood, E. C. (1997). Beard’s massage (4th ed.). Philadelphia: W.B. Saunders. Destia, D., & Umi, P. (2014). Perbedaan tekanan Darah Sebelum dan Sesudah Dilakukan Hidroterapi Rendam Hangat pada Penderita Hipertensi. Jurnal Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2017). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017. 3511351(24). Ebben, M. R., & Spielman, A. J. (2006). The effects of distal limb warming on sleep latency. International Journal of Behavioral Medicine, 13(3), 221–228. https://doi.org/10.1207/s15327558ijbm1303_5 Embong, N. H., Soh, Y. C., Ming, L. C., & Wong, T. W. (2015). Revisiting reflexology: Concept, evidence, current practice, and practitioner training. Journal of Traditional and Complementary Medicine, 5(4), 197–206. https://doi.org/10.1016/j.jtcme.2015.08.008 Ernawati, D. A. S., & Maulana, M. A. (2015). Pengaruh Terapi Rendam Kaki Air Hangat Kerja Upk Puskesmas Khatulistiwa Kota Pontianak Dwi Agung Santoso Program Studi Keperawatan. Jurnal Kesehatan Universitas Tanjungpura, 3(2), 2–4. Intan. (2010). Dasar-dasar Fisioterapi pada Cedera Olahraga. Yogyakarta: UNY. Jones, J., Thomson, P., Irvine, K., & Leslie, S. J. (2013). Is there a specific hemodynamic effect in reflexology? A systematic review of randomized controlled trials. Journal of Alternative and Complementary Medicine, 19(4), 319–328. https://doi.org/10.1089/acm.2011.0854 Kholis, N. (2011). Bebas Hipertensi Seumur Hidup dengan Terapi Herbal. Yogyakarta: Real Books. Lindquist, Ruth. Snyder, Mariah. Fran, M. (2014). Complementary and Alternative Therapies in Nursing, 7th edition. In Critical Care Nurse (Vol. 34). https://doi.org/10.4037/ccn2014754 Lisanawati, R. (2015). Perbedaan sensitivitas tangan dan kaki sebelum dan sesudah dilakukan terapi pijat refleksi pada penderita diabetes mellitus tipe II. 2(2), 644–650. Marliani, L. (2007). 100 Question & Answers Hipertens. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. NICE. (2019). Hypertension in adults : diagnosis and management. NICE Guideline, (August 2019). Ningrum, D. A. (2012). Perbandingan Metode Hydrotherapy Massage Dan Massage Manual Terhadap Pemulihan Kelelahan Pasca Olahraga Anaerobic Lactacid. 3(1), 34–39. Retrieved from Repository.Upi.Edu Pamungkas, R. (2010). Dahsyatnya Jari Refleksi. Yogyakarta: Pinang Merah. Rattray, F. S., & Ludwig, L. M. (2000). Clinical massage therapy: Understanding, Assessing and treating over 70 conditions. Canada: Talus Inc. Salvo, S. G. (2009). Massage therapy: Principles and practice. Philadelphia: W.B. Saunders. Sustrani. (2006). Hipertensi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Toruan, P. (2012). Diabetes Sakit Tapi Sehat. Jakarta: Transmedia. Triyanto, E. (2014). Pelayanan Keperawatan bagi Penderita Hipertensi secara Terpadu. Yogyakarta: Graha Ilmu. Yonata, A., Satria, A., & Pratama, P. (2016). Hipertensi sebagai Faktor Pencetus Terjadinya Stroke. Majority, 5(3), 17.
Perbedaan Kualitas Hidup Lansia Yang Tinggal Bersama Keluarga Dengan Lansia Yang Tinggal Dirumah Pelayanan Sosial Di Dusun Banyan Piyungan Bantul Yogyakarta