Untuk mewujudkan perbankan Indonesia yang lebih kokoh,
perbaikan harus dilakukan di berbagai bidang, terutama untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi perbankan dalam beberapa tahun belakangan ini. Tantangan-tantangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kapasitas pertumbuhan kredit perbankan yang masih
rendah
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
diperlukan pertumbuhan kredit perbankan yang cukup besar. Sementara itu, kondisi perbankan Indonesia saat ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan kredit yang cukup tinggi tersebut sulit dicapai jika perbankan nasional tidak memperbaiki permodalannya.
Selain hambatan dalam hal permodalan, penyaluran kredit
dalam banyak hal juga terhambat oleh keengganan sebagian bank untuk menyalurkan kredit karena kemampuan manajemen risiko dan core banking skills yang relatif belum baik, serta biaya operasional yang relatif tinggi.
2. Struktur perbankan yang belum optimal
8 Arsitektur Perbankan Indonesia
Belum optimalnya struktur perbankan di Indonesia dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, struktur perbankan nasional terkonsentrasi hanya pada 11 bank besar yang setidaknya menguasai 75% total aset perbankan. Kedua, banyaknya bank-bank kecil yang memiliki cakupan usaha yang relatif sama dengan bank-bank besar namun dengan kemampuan operasional, manajemen risiko, dan corporate governance yang relatif lebih terbatas. Ketiga, kepemilikan pemerintah Indonesia dalam industri perbankan cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan termasuk dalam beberapa negara yang kepemilikan Pemerintahnya cukup tinggi di kawasan Asia. Tingginya kepemilikan Pemerintah ini merupakan persoalan tersendiri terhadap struktur perbankan karena dapat menimbulkan konflik kepentingan yang dapat mengganggu efisiensi pasar.
3. Konsolidasi perbankan belum secepat yang diharapkan
Salah satu inisiatif API terkait dengan peningkatan
permodalan bank dijabarkan dengan kegiatan meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank umum konvensional dan syariah (termasuk BPD) menjadi Rp100 miliar pada akhir tahun 2010. Upaya ini semula diharapkan dapat dilaksanakan melalui mekanisme pasar (market driven), namun sejak API diluncurkan pada awal tahun 2004 hingga pertengahan tahun 2005 proses mekanisme pasar tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini
Arsitektur Perbankan Indonesia 9
tercermin dari stress test rencana bisnis 2005-2007 sejumlah bank-bank kecil yang memiliki modal dibawah Rp100 miliar yang belum menunjukkan adanya upaya yang cukup maksimal untuk memenuhi permodalan minimum yang dipersyaratkan. Kondisi ini apabila tidak segera diatasi dapat berdampak pada tidak tercapainya konsolidasi perbankan seperti yang diharapkan sehingga visi untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien dapat terganggu.
4. Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan
perbankan yang dinilai oleh masyarakat masih kurang
Kurangnya pemenuhan kebutuhan masyarakat atas
pelayanan perbankan ditandai dengan seringnya terdengar keluhan dari masyarakat mengenai kurangnya akses terhadap kredit dan tingginya suku bunga kredit serta masih banyaknya praktek penyediaan jasa keuangan informal. Pandangan masyarakat semacam ini cukup beralasan, karena walaupun kredit korporasi dan UMKM sudah mulai tumbuh, tingkat penetrasi kredit masih relatif rendah. Selain itu, meningkatnya kompleksitas jasa dan produk keuangan sebagai akibat dari globalisasi sektor keuangan juga memerlukan respons yang memadai dari berbagai pihak yang terkait. Hal ini semakin penting mengingat masyarakat pengguna jasa keuangan khususnya perbankan semakin
10 Arsitektur Perbankan Indonesia
menuntut kualitas pelayanan dan akses perbankan yang semakin tinggi.
5. Pengawasan bank yang masih perlu ditingkatkan
Pengawasan bank juga merupakan bidang yang memerlukan
peningkatan dan penyempurnaan. Hal ini disebabkan karena masih terdapatnya beberapa prinsip-prinsip prudensial yang masih belum diterapkan secara baik, koordinasi pengawasan yang masih perlu ditingkatkan, kemampuan SDM pengawasan yang belum optimal, dan pelaksanaan law- enforcement pengawasan yang belum efektif. Secara keseluruhan, upaya peningkatan kapabilitas pengawasan ini sejalan dengan usaha Bank Indonesia untuk menerapkan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision, termasuk meningkatkan sarana teknologi pengawasan. Mengingat pengawasan bank merupakan bidang yang sangat dinamis dan luas cakupannya, maka peningkatan kualitas pengawasan merupakan upaya yang patut dilaksanakan secara terus menerus.
6. Kapabilitas perbankan yang masih lemah
Masih lemahnya kapabilitas perbankan ditandai dengan
kurangnya corporate governance dan core banking skills pada sebagian besar bank sehingga diperlukan perbaikan yang cukup mendasar pada dua aspek tersebut. Meskipun
Arsitektur Perbankan Indonesia 11
kapabilitas beberapa bank besar sudah cukup kuat, namun kapabilitas perbankan secara umum masih di bawah international best practices. Demikian pula kemampuan bank dalam mengantisipasi meningkatnya risiko operasional masih perlu terus diperbaiki, terutama pada aspek internal control dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip prudensial.
7. Profitabilitas dan efisiensi operasional bank yang tidak
sustainable
Tingkat profitabilitas dan efisiensi operasional yang dicapai
oleh perbankan saat ini cenderung kurang sustainable karena masih belum optimalnya struktur aktiva produktif bank-bank. Selain itu, bagian terbesar pendapatan non-bunga yang diperoleh bank-bank cenderung berasal dari aktivitas trading yang fluktuatif. Lebih lanjut, rendahnya rasio aset per nasabah membuat biaya operasional perbankan Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain.
8. Perlindungan nasabah yang masih harus ditingkatkan
Perlindungan terhadap nasabah merupakan tantangan
perbankan yang berpengaruh secara langsung terhadap sebagian besar masyarakat kita. Oleh karena itu, tantangan untuk menciptakan standar-standar yang jelas dan mudah dipahami dalam membentuk mekanisme pengaduan nasabah dan transparansi informasi produk perbankan menjadi suatu
12 Arsitektur Perbankan Indonesia
hal yang tidak dapat dikesampingkan. Di samping itu, edukasi pada masyarakat mengenai jasa dan produk yang ditawarkan oleh perbankan perlu segera diupayakan sehingga masyarakat dapat lebih memahami risiko dan keuntungan yang akan dihadapi dalam menggunakan jasa dan produk perbankan serta dapat melakukan pengelolaan keuangan secara optimal dan bijaksana.
9. Perkembangan Teknologi Informasi
Kemajuan teknologi informasi ikut menambah tantangan
yang dihadapi oleh perbankan. Perkembangan teknologi informasi (TI) menyebabkan perkembangan jenis dan kompleksitas produk dan jasa bank semakin pesat sehingga risiko-risiko yang muncul menjadi lebih besar dan bervariasi. Disamping itu, persaingan industri perbankan yang cenderung bersifat global juga menyebabkan persaingan antar bank menjadi semakin ketat sehingga bank-bank nasional harus mampu beroperasi secara lebih efisien dengan memanfaatkan teknologi informasi.
10. Tantangan Pengembangan Perbankan syariah
Sebagaimana halnya tantangan yang dihadapi oleh industri
perbankan konvensional, industri perbankan syariah juga menghadapi tantangan yang tidak ringan. Beberapa tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan syariah antara lain meliputi:
Arsitektur Perbankan Indonesia 13
a. Cakupan pasar yang masih terbatas.
Industri perbankan syariah saat ini masih memiliki
cakupan pasar yang terbatas, walaupun tingkat pertumbuhannya cukup tinggi.
b. Kurangnya pemahaman mengenai produk
perbankan syariah.
Meskipun banyak kalangan menyatakan kebutuhannya
untuk mendapatkan pelayanan bank syariah, namun tidak jarang dari komunitas tersebut sebenarnya belum cukup memahami cakupan produk yang ditawarkan serta konsep operasionalisasi perbankan syariah yang bukan hanya menitik beratkan pada konsep pelarangan bunga namun juga mencakup aspek larangan spekulasi, investasi berbasis moral serta manajemen yang bersifat Islami.
c. Institusi pendukung bank syariah.
Keberadaan industri perbankan syariah membutuhkan
dukungan dari lembaga-lembaga pendukung lainnya terutama dalam hal kepatuhan terhadap prinsip syariah. Pada saat ini masih dibutuhkan upaya-upaya untuk lebih mengoptimalkan fungsi lembaga-lembaga pendukung
14 Arsitektur Perbankan Indonesia
yang baru dibentuk seperti badan arbitrase syariah dan lembaga fatwa.
d. Porsi skim pembiayaan bagi hasil
Salah satu ciri pembeda industri perbankan syariah adalah
keberadaan skema pembiayaan bagi hasil. Pada saat ini porsi pembiayaan bagi hasil yang dilaksanakan oleh bank syariah masih terbatas, antara lain karena adanya agency problem dalam pembiayaan bagi hasil. Untuk itu, diperlukan infrastruktur yang dapat mendukung transparansi dan market discipline sehingga potensi terjadinya agency problem dalam pembiayaan dengan skema bagi hasil akan dapat diminimalkan.
11. Penguatan industri BPR masih perlu ditingkatkan agar
dapat diciptakan industri BPR yang sehat, kuat dan produktif
Keberadaan industri BPR yang selama ini telah melayani
usaha mikro dan kecil (UMK) semakin dirasakan penting khususnya sebagai lembaga keuangan yang memberikan jasa pelayanan kepada UMK tersebut. Hal tersebut tidak terlepas dari karakteristik operasional BPR yang sesuai dengan nasabah yang dilayani (UMK) yaitu prosedur yang sederhana, dan waktu pemrosesan yang singkat. Namun demikian, peran BPR dalam pembiayaan UMK tersebut masih menempati porsi yang relatif kecil dibandingkan pembiayaan
Arsitektur Perbankan Indonesia 15
UMKM oleh bank umum. Hal ini tidak terlepas dari kondisi BPR yang secara umum masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan didalam memberikan pelayanan kepada UMK, yaitu :
a. Struktur Pendanaan
Struktur pendanaan BPR tidak didukung oleh permodalan
yang kuat serta keterbatasan dalam penghimpunan dana masyarakat sehingga membatasi ekspansi dan operasional untuk mencapai skala ekonomis yang diharapkan.
b. Kualitas Sumber Daya Manusia
Kualitas sumber daya manusia BPR yang belum memadai,
baik di tingkat manajerial maupun teknis operasional sehingga menyebabkan tingginya biaya overhead dalam operasional BPR. Biaya overhead ini bersama-sama dengan biaya dana (cost of funds) merupakan penyumbang terbesar terhadap tingginya suku bunga kredit BPR.
c. Perilaku Nasabah
Terdapat kecenderungan berubahnya perilaku nasabah
BPR yang bersifat emotional market yaitu nasabah loyal yang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan BPR karena adanya kesesuaian karakteristik sosial menjadi rational market yang lebih memperhitungkan untung rugi
16 Arsitektur Perbankan Indonesia
dalam bertransaksi dengan BPR. Hal tersebut mendorong meningkatnya persaingan baik antar BPR maupun dengan bank umum sehingga semakin menyulitkan BPR dalam menghimpun dana dan mendorong semakin tingginya biaya dana (cost of funds) BPR.
d. Lemahnya Pengendalian dan Inefisiensi Kegiatan
Operasional
Operasional BPR belum sepenuhnya dijalankan
berdasarkan prinsip pengelolaan yang baik (good governance) yang didukung oleh sistem dan prosedur yang memadai. Hal tersebut menyebabkan inefisiensi dan lemahnya aspek pengendalian (control) terhadap pengelolaan usaha BPR.
e. Tingkat Konsentrasi BPR
Terkonsentrasinya lokasi BPR di pulau Jawa dan Bali
menyebabkan pelayanan BPR kepada UMK tidak merata di seluruh Indonesia.
f. Infrastruktur Pendukung
Belum adanya infrastruktur pendukung industri BPR
seperti lembaga yang dapat berfungsi sebagai penyangga dana likuiditas bagi BPR yang mengalami permasalahan likuiditas (mismatch) menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan dana karena BPR harus memelihara dana tunai dalam jumlah besar.
Arsitektur Perbankan Indonesia 17
Berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi oleh BPR tersebut perlu diatasi dengan melibatkan berbagai pihak untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan BPR agar memiliki daya saing tinggi dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar keuangan mikro.
12. Tantangan Pengembangan UMKM
Dalam rangka mendorong pengembangan UMKM, Bank
Indonesia mengarahkan kebijakan dibidang perbankan kepada penerapan prinsip kehatian-hatian, namun tetap mendorong peningkatan fungsi intermediasi perbankan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik dan Kementrian Koperasi dan UMKM 2003, jumlah UMKM tercatat 42,39 juta unit atau 99,9% dari total unit usaha sehingga memiliki potensi yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja.
Sepanjang tahun 2005, kredit kepada UMKM mencatat
kinerja yang terus membaik. Sampai dengan September 2005 baki debet kredit UMKM telah mencapai Rp341,1 triliun yang meningkat sebesar 35,7% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jumlah tersebut adalah sebesar 50,2% dari total kredit perbankan. Namun demikian masih banyak UMKM yang belum memperoleh pembiayaan dari perbankan karena UMKM dianggap masih mengalami tantangan yang cukup
18 Arsitektur Perbankan Indonesia
berat yang terkait dengan keterbatasan–keterbatasan yang bersifat struktural yaitu:
a. Aspek permodalan yang terbatas
Keterbatasan modal UMKM tersebut antara lain berupa
kesulitan akses untuk memperoleh (i) modal awal (start up capital), dan (ii) modal kerja dan dana jangka panjang untuk investasi pengembangan usaha.
b. Akses terhadap kredit perbankan yang terbatas
Tidak dapat dipungkiri, pembiayaan bagi UMKM masih
tetap didominasi oleh sumber-sumber pendanaan informal. Kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh keterbatasan akses pada bank, yang tidak terlepas dari: persyaratan yang terlalu berat seperti keharusan adanya agunan dan pengenaan suku bunga yang relatif tinggi; lokasi bank yang terlalu jauh bagi pengusaha yang tinggal di daerah yang relatif terisolasi; urusan administrasi yang cenderung bertele-tele; serta informasi yang minim mengenai skim-skim dan prosedur perkreditan yang ada dari perbankan.
c. Kemampuan SDM yang tidak memadai
Kemampuan SDM yang cakap atau paling tidak memadai
merupakan salah satu kendala serius bagi banyak UMKM terutama tampak pada kurangnya aspek–aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi,
Arsitektur Perbankan Indonesia 19
pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi bisnis, akuntansi, data processing, teknik pemasaran dan penelitian pasar pada UMKM.
d. Pemasaran Produk
Pada beberapa UMKM, salah satu permasalahan yang
menonjol adalah pemasaran produk. Beberapa aspek yang terkait dengan masalah pemasaran tersebut adalah tekanan persaingan, baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor. Tekanan persaingan tersebut antara lain disebabkan kurangnya informasi yang akurat dan up to date mengenai peluang-peluang pasar di dalam maupun luar negeri.