Anda di halaman 1dari 8

1.

Konsep manusia menurut pendidikan : manusia sebagai makhluk yang paling sempurna
(insan kamil ), manusia dalam ajaran Islam dikenal dengan sebutan insan kamil dengan
potensi jasmani, akal, kalbu, akhlak , sosial, dan seni serta dimensi psikologi yang
dimilikinya1. Maka dari itu, dengan kesempurnaannya itulah, manusia hendaknya banyak
belajar dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya agar bisa menjadi manusia
yang kamil atau sempurna.
2. Tujuan pendidikan merupakan perubahan perilaku yang direncanakan dalam aktivitas
belajar mengajar. Hasil belajar merupakan hasil yang dicapai dari aktivitas belajar mengajar
sesuai dengan tujuan pendidikan. Hasil belajar diukur untuk mengetahui pencapaian tujuan
pendidikan. Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang dicapai setelah anak
mengikuti proses belajar mengajar. Anak mempunyai potensi dalam perilaku psikologis yang
dapat dididik dan diubah perilakunya. Potensi itu adalah domain kognitif, afektif dan
psikomotorik. Belajar merupakan usaha membuat perubahan perilaku dalam domain
kognitif, afektif dan psikomotorik. Domain dalam perilaku psikologis bukanlah kapasitas
tunggal. Untuk tujuan pengukuran, domain hasil belajar disusun secara hirarkis dalam
tingkat-tingkat mulai tingkat terendah dan sederhana hingga tertinggi dan paling kompleks.
Domain kognitif dapat diklasifikasikan menjadi tingkat hafalan, pemahaman, penerapan,
analisis, sintesi, dan evaluasi. Domain afektif terdiri dari tingkat penerimaan, respons,
penilaian, organisasi dan karakterisasi. Domain psikomotorik dapat diklasifikasikan menjadi
persepsi, kesiapan, respons terbimbing, mekanisme, respons kompleks, adaptasi dan
keaslian.

(dikutip dari: Tujuan Pendidikan dan Hasil Beljara Domain Taksonomi, Purwanto, Jurnal
Teknologi Pendidikan. Pusat Teknologi dan Komunikasi Informasi Pendidikan Depdiknas, No
16, Vol IX, Juni-2005 , halaman 370)

Hubungan antara Domain Afektif dan Domain Kognitif Menurut Bloom dan Masia (1964: 49),
hubungan antara domain afektif dengan domain kognitif dapat dijelaskan dalam rangkuman
berikut.
 Untuk dapat mencapai tingkatan knowledge di domain kognitif, maka harus didahului oleh
level receiving di dalam domain afektifnya agar siswa dapat benar-benar memahami materi.
 Untuk mencapai tingkatan pemahaman pada domain kognitif, dibutuhkan hasil signifikan
dari responding, yang berada di domain afektif. Sebab tanpa adanya respon yang baik dari
pembelajar, maka tingkat pemahaman dalam domain kognitif tidak akan pernah tercapai.
 Untuk mencapai tingkatan aplikasi pada domain kognitif, seorang pembelajar harus
terlebih dulu memiliki nilai yang ada di dalam dirinya dan secara sukarela menerapkan
secara langsung (level valuing) agar dapat mengaplikasikan pemahaman yang telah
diperoleh secara baik.
 Untuk mencapai tingkatan analisa pada domain kognitif, seorang pembelajar harus
terlebih dulu mencapai level conceptualization pada domain afektif, karena seseorang tidak
mungkin dapat melakukan analisa tanpa daya konseptualisasi nilai yang telah dia miliki.
Karena itu, pembelajar harus mencapai tingkatan conceptualization berdasarkan
pengetahuan yang telah dimiliki.
1
Zakiah Darajat, 1984. Kesehatan Mental dan Peranannya Dalam Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta: LP IAIN
Jakarta
 Pada tingkatan evaluasi pada domain kognitif, seorang pembelajar seharusnya telah
mampu mencapai tahapan characterization pada domain afektif. Sebab dengan adanya
karakter yang kuat di dalam pribadinya, seorang pembelajar akan dapat memilah
pengetahuan yang ada di dalam dirinya dan kemudian menerapkan ke masalah yang dia
hadapi. Gambar 2. Hubungan antara domain afektif dan domain kognitif

(Dikutip dari: STRATEGI PENERAPAN DOMAIN AFEKTIF DI LINGKUP PERGURUAN TINGGI,


Soetam Rizky Wicaksono, Jurnal Pendidikan, Volume 12, Nomor 2, September 2011, 112-
119. Halaman 115)
3. SEJARAH SAINS Pertumbuhan dan perkembangan sains (ilmu pengetahuan) pada dasarnya
tidak bisa dilihat dengan tiba-tiba tanpa kita telusuri perjalanan dan kasifikasinya. Sebab
setiap periode pertumbuhan dan perkembangannya memiliki ciri khas dan karakteristik
tersendiri yang tidak bisa disamakan dalam setiap periodenya. Karena itu untuk memahami
sejarah pertumbuhan dan perkembangan sains, kita harus melakukan pembagian atau
klasifikasi secara periodik. Sedang periodesasi itu dimulai dari zaman Yunani.
a. ZAMAN YUNANI KUNO (ABAD 7-2 SM) Zaman Yunani ini merupakan zaman keemasan
bagi cikal bakal sains (ilmu pengetahuan) modern. Yunani pada masa itu merupakan
gudang sains dan filsafat, karena bangsa Yunani tidak mempercayai mitologi-mitologi.
Bangsa Yunani tidak menerima begitu saja fenomen yang dialaminya, tetapi ia selalu
menumbuhkan sikap kritis terhadap setiap fenomena kehidupan yang terjadi di dunia
ini. Sikap kritis ini telah melahirkan beberapa tokoh terkenal diantaranya: Pertama,
Thales (624-548 SM) mencoba mempertanyakan asal muasal alam semesta (arké/
prinsip). Pertanyaan inilah yang telah memunculkan berbagai macam jawaban yang
hingga kini tidak pernah selesai walaupun Thales menjawabnya dengan air karena
dianggap menjadi sumber kehidupan. Dalam bukunya tentang psikologi, Aristoteles
menjelaskan pendapat Thales yang lain, yaitu: semuanya penuh dengan dewa-dewa .
Aristoteles memperkirakan bahwa dengan perkataan itu, Thales memaksudkan bahwa
jagad raya berjiwa. Kedua adalah Pythagoras (580-500 SM) yang mempunyai keahlian di
bidang ilmu ukur dan yang berpendapat bahwa bumi itu bundar dan tidak datar. Ketiga,
Sokrates (470-399 SM) seorang tokoh dialektika yang telah membuka cakrawala berpikir
orang-orang pada masanya untuk tidak terjebak pada hasil, tetapi seseorang harus
selalu berproses. Keempat, Democritos (460-370 SM) mempunyai penemuan tentang
atom. Ia menjelaskan bahwa alam semesta berasal dari atom-atom. Kelima, Plato (427-
374 SM) menyelesaikan polemik Volume 12 Nomor 2 Juli - Desember 2009 68 antara
yang abadi (being) dan yang berubah (becoming), yang satu dan yang banyak. Yang
memadukan kesempurnaan ide-ide dan kepastian matematis. Karena itu, Plato
dikatakan eksponen rasionalisme ketika berbicara tentang metode sains dan seorang
idealis ketika berbicara tentang unsur aksiologis. Keenam, Aristoteles adalah Murid,
pengkritik, dan penerus Plato. Aristoteles memiliki pandangan metafisika yang berbeda
dengan Plato, baginya kenyataan adalah hal konkret itu. Ide-ide seperti: Manusia ,
Pohon ,-seperti dikatakan Plato - tidak terdapat dalam kenyataan. Selain itu, ia juga
adalah ilmuwan dalam bidang logika (sylogisme) dan biologi (Mustansyir, 2001).
b. ZAMAN PERTENGAHAN (ABAD 2-14 M) Zaman Pertengahan adalah yang ditandai oleh
munculnya para teolog yang mengambil peran signifikan dalam bidang sains, sehingga
sains Zaman Pertengahan berkerja dan beroperasi untuk kepentingan agama. Namun
harus diakui bahwa banyak temuan dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa itu.
Peradaban Islam, terutama pada zaman Bani Umayyah telah memasukkan satu cara
pengamatan astronomi pada abad 7 Masehi, 8 abad sebelum Galilieo dan Copernicus.
Singkatnya, sumbangan sarjana-sarjana Islam dalam bidang sains dan kebudayaan
adalah: (a) mereka menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan
menyebarluaskannya, sehingga dapat dikenal halayak ramai. (b) mereka memperluas
pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, astronomi, obat-obatan, dan ilmu
lainnya. (c) menegaskan menegaskan system desimal dan dasar-dasar aljabar
(Mustansyir, 2001).. ZAMAN RENAISSANCE (14-17 M) Zaman ini ditandai oleh
kebangkitan kembali sains dari kungkungan dogma- dogma agama. Zaman ini
merupakan awal dari perkembangan sains modern saat ini. Tokoh-tokohnya diantaranya
adalah (a) Roger Bacon yang berpendapat bahwa pengalaman empirik merupakan dasar
dari kebenaran sains. (b) Copernicus yang berpendapat bahwa bumi mengelilingi
matahari. (c) Tycho Brahe menekuni bidang astronomi dengan membuat alat-alat untuk
melihat benda-benda angkasa. (d) Johanners Keppler yang meneruskan ide-ide Brahe
(heleosentris) dengan mencetuskan teorinya; gerak benda bukan dengan cara circle,
tetapi dengan lintasan elips. (e) Fancis Bacon memasukkan metode eksperimentasi dan
juga tujuan sains dalam kehidupan. Disamping itu, ia juga menggabungkan rasionalisme
dan empirisisme dalam diri manusia. Sedang nilai baru yang dimiliki oleh pemikiran
Bacon adalah bahwa pada zaman Yunani, Ralasi Sains Modern & Sains Islam 69 tugas
sains hanya memahami alam, tetapi pemikiran sains Bacon telah menempatkan unsur
praktisnya juga dalam kerja sains (Abidin, 1998). Artinya, teknologi zaman Yunani masih
belum terpikirkan manfaatnya untuk kehidupan manusia sehari-hari walaupun teknologi
sudah ada, tetapi tidak memiliki posisi sedemikian tinggi. Nilai baru ini diperkuat oleh
pemisahan manusia dengan alam. Bacon berpendapat bahwa untuk menyelidiki alam,
manusia harus menempatkannya pada sebuah posisi di mana alam dipaksa untuk
memberikan jawabannya. Ini merupakan awal dari terbentuknya filsafat mekanis yang
melihat alam sebagai sebuah mesin besar yang tidak memiliki tujuannya sendiri. (f)
Galileo Galilei adalah tokoh kontroversial yang menegaskan kembali gagasan Keppler
(heleosentris). Era Galileo merupakan era peletakkan dan pengembangan sains yang
kokoh yang ditandai dengan adanya metode observasi, eliminasi, prediksi, pengukuran,
dan eksperimentasi (Mustansyir, 2001). Dengan metode eksperimentasi Bacon, Galileo
membawanya ke dalam praktik dan mempertentangkannya dengan tradisi keilmuan
Yunani. Pada era Galileo ini pula terdapat pergeseran paradigma dari pertanyaan
mengapa dalam tradisiYunani ke bagaimana yangmenekankan eksperimen;sebuah
pergeseran dari kualitatif ke kuantitatif. Dalam praktiknya, penelitian-penelitian itu lebih
ditujukan kepada hal-hal yang bisa diukur saja, yang lainnya diabaikan.

(dikutip dari: Ralasi Sains Modern & Sains Islam, Moh Dahlan, Volume 12 Nomor 2 Juli -
Desember 2009, halaman 68-69)

Perkembangan ilmu-ilmu keislaman pada prinsipnya telah mulai menunjukkan


kegemilangannya di masa bani Abbasiyah, di masa ini semua cabang ilmu pengetahuan
menunjukkan perannya, sehingga kalau kita buka-buka lembaran sejarah dunia di masa
kerajaan Abbasiyah, akan kita jumpai hanya ahli-ahli dari orang-orang Islam yang
terkemuka di masa itu, baik dalam ilmu geografi, kimia, fisika, matematika, sastra,
kedokteran, falak di samping ilmu-ilmu agama. 7 Di saat itu juga diciptakan suatu
institusi pendidikan baru, yaitu sekolah (madrasah), hospital, pabrik-pabrik peluru
pertama kali dikenal dalam sejarah dunia yang didirikan pada zaman pemerintahan
Harun al-Rasyid. Di antara ulama-ulama Islam yang terkenal pada masa itu adalah Imam
Abu Hanifah dan Imam Malik. Juga sepanjang kerajaan Abbasiyah inilah munculnya
ulama-ulama dan filosof-filosof terkenal seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan lain-
lain. Zaman pemerintahan al-Ma`mun dapat disaksikan pula berbagai sumber
perkembangan ilmiah dan penterjemahan buku-buku lama dari berbagai bahasa ke
bahasa Arab. 8 Selain itu, khalifah al-Ma`mun juga sangat gemar berkumpul dengan
ulama-ulama, filosof dan hukama sebab beliau beranggapan bahwa mereka itulah
pewaris para nabi, seperti makna sebuah hadis. Dengan terjemahan kitab-kitab lama
dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, terutama kitab-kitab Plato dan Aristoteles
maka mulailah falsafah Yunani menyelinap masuk ke dalam pemikiran umat Islam. Juga
buku-buku kedokteran ciptaan Gelenus diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan
mendapat perhatian besar di kalangan ulama-ulama Islam. Malah Ibnu Sina, Ibnu Rusyd,
Ibnu Thufail adalah di antara filosof yang juga adalah doktor perobatan.9 Ilmu-ilmu
keislaman yang berkembang secara cepat saat itu adalah: filsafat, matematika-
astronomi, ilmu kedokteran, ilmu botani dan kimia, dan sebagainya. Tokoh Islam dalam
bidang filsafat di masa ini yang paling terkenal adalah al-Farabi dan Ibnu Sina. Filsafat al-
Farabi yang sudah diinterpretasikan ke dalam doktrin Islam ialah bentuk neoplatonism,
yang menganggap bahwa perbuatan Tuhan bertemu langsung dengan wujudwujud yang
lebih tinggi, kemudian dari sini ke wujud berikutnya dan seterusnya, di mana setiap
wujud membutuhkan perantara wujud yang di atasnya.10 Sedangkan Ibnu Sina dalam
doktrin filsafatnya banyak dipengaruhi Aristoteles terutama dengan metafisikanya, yaitu
tentang kenyataan seluruh yang ada mulai dari yang rendah sampai kepada yang
setinggitingginya.11 Aristoteles juga berusaha mencari syarat-syarat yang perlu diterima
untuk dapat menjelaskan benda-benda kosmos, termasuk perubahan aksidental
sehingga muncul dua prinsip yaitu materi dan bentuk (hyle dan morphe).12 Dari paparan
yang diutarakan oleh Aristoteles, Ibnu Sina berkomentar setelah melalui pendalaman
terlebih dahulu, dengan tidak menafikan semua potensi dan basic yang ada bagi dirinya,
bahwa akal pertama adalah Allah yang mengetahui sumber nyawa, akal kedua adalah
pengetahuan ketuhanan tentang jiwa dan tubuh, akal ketiga adalah pikiran ketuhanan
untuk memperoleh atau menghasilkan kebaikan. Ahli matematika dan astronomi di
masa Abbasiyah adalah al-Khwarizmi yang pernah mempersembahkan kepada khalifah
al-Ma`mun suatu ringkasan tabel-tabel astronomis India, di samping itu Ibn Haitam yang
dikenal dengan al-Hazen di dunia Barat juga memberikan konsep keilmuannya tentang
penyelesaian persamaan quadratik, di mana ia tidak tertandingi dalam bidang-bidang
yang kala itu disebut optika, yang sekarang masuk ke dalam bidang ilmu fisika.
Sementara itu, ahli kedokteran yang ada di masa perkembangan keilmuan Islam adalah
Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi, yang dikenal dengan sebutan al-Razi, ia
merupakan dokter istana di masa Bani Buwaihiyah, yang bukunya telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin, Liber Regius. 13 Dalam bidang ilmu botani dan kimia, tokohnya
adalah Abu Hanifah al-Dinawari,14 di mana ia terkenal sebagai penemu perubahan-
perubahan kimiawi, dengan menerapkannya kepada metode eksperimental modern.
Kajiannya ini telah menjadi bahan rujukan semua orang di saat itu. Di samping itu, secara
peradaban, Mesir juga mempunyai sejarah pengembangan ilmu pengetahuan yang luar
biasa sumbangannya bagi khazanah sains Islam. Tumbuhnya Kairo sebagai pusat ilmu
keislaman didukung oleh para penguasa Mesir, yang sepanjang sejarah menaruh minat
besar terhadap ilmu pengetahuan. Khalifah al-Hakim (996-1021 M.) dari dinasti
Fatimiyah mendirikan Darul Hikmah, yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan ilmu
astronomi. Pada masa inilah muncul Ibnu Yunus (958-1009 M./348-399 H.), seorang
astronomi besar dan Ibnu Haitsam (965-1009 M./354-430 H.), seorang ahli fisika dan
optik).15 Semua tokoh dan figur ilmuan yang dijelaskan penulis di atas, pada dasarnya
mengembangkan konsep keilmuan yang mereka miliki dengan cara meyakini
sepenuhnya kitab suci al-Qur`an, yang merupakan sumber dari segala ilmu dunia dan
akhirat. Berdasarkan interpretasi dan galian-galian mendalam terhadap ayat-ayat al-
Qur`an, akhirnya mereka menemukan berbagai penemuan/inovasi baru tentang
keilmuan dalam tubuh Islam itu sendiri, tentu dengan pemaduan beberapa konsep dan
ilmu akal yang dapat menjembatani semua pertentangan yang ada.

(dikutip dari: AKSELERASI PERKEMBANGAN ILMU KEISLAMAN (Suatu Analisis Filosofis,)


Nelvawita, POTENSIA: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2017.
Halaman: 243-247).

Hubungan sains dengan agama menurut tokoh

PANDANGAN BARBOUR TENTANG HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA

Barbour memetakan pandangan tentang hubungan sains dan agama dalam empat
tipologi yakni konflik, independensi, dialog, dan integrasi.6 Tipe Konflik Tipologi konflik
ini melibatkan antara materialisme ilmiah dan literalisme biblical. Menurut Barbour,
pandangan konflik mengemuka pada abad ke –19 melalui dua buku berpengaruh, yakni
History of the conflic between Religion and Science karya J.W. Draper dan A History of
the warfare of Science and Theology in Cristendom karya A.D. White. Beberapa
sejarahwan mutakhir menunjukkan bahwa bukti yang mereka sodorkan sangat selektif
dan pandangan-pandangan alternatif tentang hubungan sains dan agama telah dianut
secara luas selama berabad-abad. Kini, potret populer perang sains melawan agama
dipertajam oleh media karena kontroversi antara materialisme ilmiah dan literalisme
biblikal jauh lebih diminati khalayak dari pada posisi moderat. Spektrum teologis dapat
dipetakan sebagai berikut: naturalisme (termasuk materialisme), panteisme, liberalisme,
neoortodoksi, tradisionalisme, konservatisme, dan literalisme biblikal (atau
fundamentalisme). Barbour menempatkan dua ekstrem ini dalam hubungan konflik —
dua pandangan yang tampak saling asing. Alasannya, materialisme ilmiah dan literalisme
biblikal sama-sama mengklaim bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang
berlawanan dalam domain yang sama (sejarah alam) sehingga orang harus memilih satu
di antara dua. Mereka percaya bahwa orang tidak dapat mempercayai evolusi dan
Tuhan sekaligus. Masing-masing hal tersebut menghimpun penganut dengan mengambil
posisi-posisi yang berseberangan. Keduanya berseteru dengan retorika perang. 7 Tipe
Independensi Satu cara yang diupayakan Barbour untuk menghindari konflik antara sains
dan agama adalah dengan memisahkan dua bidang itu dalam dua kawasan yang
berbeda. Keduanya dapat dibedakan ber dasarkan masalah yang ditelaah, domain yang
dirujuk, dan metode yang digunakan. Di sini Barbour menggunakan analisisnya dengan
metode filsafat eksistensialisme dan neo-ortodoks serta filsafat analitik. Ini merupakan
jenis-jenis pembedaan yang tegas, tetapi secara keseluruhan mereka membangun
independensi dan otonomi dalam kedua bidang ini. Jika ada wilayah hukum, sains dan
agama pastilah cenderung mementingkan dirinya sendiri dan tidak mencampuri yang
lain.Setiap mode penelitian bersifat seleksi dan mempunyai keterbataannya sendiri.
Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk menghindari konflik
yang tidak perlu, tetapi juga keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap
area kehidupan dan pemikiran ini. Kita akan memeriksa terlebih dahulu sains dan agama
sebagai dua domain yang terpisah kemudian meninjau perbedaan bahasa dan fungsi
masingmasing.8 Jalan untuk memisahkan sains dan agama adalah dengan menafsirkan
sains dan agama sebagai dua bahasa yang tidak saling berkaitan karena fungsi masing-
masing benar berbeda.Di kalangan filosof era 1950-an, kaum positif logis menetapkan
pernyataan keilmuan (scientific statement) sebagai norma bagi semua pernyataan
kognitif (cognitif assertion) dan menolak pernyataan apa pun yang tidak berlandaskan
verifikasi emperis. Analitika bahasa, sebagai respon atasnya, menekankan bahwa
bahasa-bahasa yang berbeda ini melayani fungsi-fungsi yang berbeda pula dan tidak
perlu mereduksi satu sama lain. Setiap permainan bahasa (language game, istilah
Wittgenstein) dibedakan berdasarkan fungsinya dalam konteks sosial. Sains dan agama
bekerja secara sangat berbeda dan oleh karena itu, satu sama lain tidak bisa saling
menilai dengan standar masing-masing. Bahasa ilmiah (scientific language) terutama
berfungsi untuk melakukan prediksi dan kontrol. Teori digunakan untuk menghimpun
data, menemukan keteraturan dalam dunia fenomena yang teramati, dan memproduksi
aplikasi teknologis. Sains mengeksplorasi masalah terbatas tentang fenomena alam. Kita
tidak boleh mengarapkan sains untuk melakukan fungsi di luarnya, misalnya
menawarkan pandangan-dunia, filsafat hidup, atau seperangkat norma etis yang
menyeluruh. Para saintis tidak lebih bijak daripada orang lain begitu mereka keluar dari
laboratorium dan berspekulasi di luar kerangka ilmiah. Barbour percaya bahwa tesis
Independensi merupakan titik berangkat atau pendekatan awal yang baik. Tesis ini
mempertahankan karakter unik, baik agama maupun sains. Ia menjadi strategi jitu untuk
merespon kalangan yang menganggap konflik di antara keduanya mustahil dielakkan.
Agama mempunyai metode, masalah, dan fungsi yang khas berbeda dengan sains.
Tetapi Barbour mengingatkan bahwa, kita tidak boleh puas dengan pendapat bahwa
sains dan agama merupakan dua bahasa yang tidak saling berkaitan, seolaholah mereka
sebagai dua bahasa yang berbeda tentang dunia yang sama. Jika berupaya mencari
penafsiran koheren atas semua pengalaman, kita tidak bisa menghindar dari mencari
pandangandunia yang lebih terpadu. Jika sains dan agama benar benar Independen,
kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari, tetapi memupus kemungkinan terjadinya
dialog konstruktif dan pengayaan di antara keduanya. Kita meng hayati kehidupan bukan
sebagai bagianbagian yang saling lepas. Kita merasakan hidup sebagai keutuhan dan
saling terkait meskipun kita membangun berbagai disiplin untuk mempelajari aspek-
aspeknya yang berbeda.9 Tipe Dialog Dialog memotret hubungan yang lebih konstruktif
antara sains dan agama daripada pandangan Konflik dan Independensi. Namun, Dialog
tidak menawarkan kesatuan konseptual sebagaimana yang diajukan pendukung
integrasi. Dialog mungkin muncul dengan mempertimbangkan pra-anggapan dalam
upaya ilmiah, atau mengeksplorasi kesejajaran metode antara sains dan agama atau
menganalisiskan konsep dalam satu bidang dengan konsep dalam bidang lain. Dalam
membandingkan sains dan agama, Dialog menekankan kemiripan pra-anggapan,
metode, dan konsep. Sebaliknya, Independensi menekankan perbedaan yang ada. Tipe
Integrasi Beberapa penulis menyerukan perumusan ulang gagasan-gagasan teologi
tradisional yang lebih ekstensif dan sistematis dari pada yang dilakukan pendukung
dialog. Ada tiga versi berbeda dalam Integrasi. Dalam natural teology, terdapat klaim
bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari (atau didukung oleh) bukti tentang
desain alam, yang tentangnya alam membuat kita semakin menyadarinya. Dalam
teology of natur, sumber utama teologi terletak di luar sains, tetapi teori-teori ilmiah
bisa berdampak kuat atas perumusan ulang doktrin-doktrin tertentu, terutama doktrin
tentang penciptaan dan sifat-dasar manusia. Dalam sintesis sistematis, sains ataupun
agama memberian kontribusi pada pengembangan metafisika inklusif, seperti filsafat
proses. a) Natural Theology Terdapat beberapa contoh natural theology dari abad-abad
lalu. Thomas Aquinas berpendapat bahwa beberapa sifat Tuhan hanya dapat diketahui
melalui wahyu dalam kitab suci, tetapi eksistensi Tuhan itu sendiri dapat diketahui hanya
dengan nalar. Salah satu bentuk argumen kosmologis menegaskan bahwa setiap
peristiwa harus mempunyai sebab sehingga kita harus mengakui sebab pertama jika
hendak menghindari siklus yang tak berujung pangkal. Bentuk argumen yang lain
menyatakan bahwa seluruh rantai sebab-sebab natural (terbatas atau tidak terbatas)
bersifat kontingen dan bisa jadi sebelumnya tidak demikian. Ia bergantung pada suatu
maujud yang mengada secara niscaya. Argumen teleologis (dari telos, bahasa Yunani,
berarti tujuan) Aquinas berangkat dari keteraturan dan intellijibilitas sebagai ciri umum
alam semesta, tetapi menunjukkan bukti tentang desain alam. Natural theology
mempunyai daya tarik kuat di dunia multi-agama, karena berangkat dari data ilmiah
yang berpotensi untuk mencapai kesepakatan di antara berbagai budaya dan agama.
Lebih lanjut, ia konsisten dengan kekaguman dan keterpesonaan personal yang
dirasakan para saintis dalam kerja mereka. Pendukung desain kini tidak mengklaim
bahwa argumen desain menawarkan bukti yang konklusif bagi teisme, mereka
menegaskan bahwa semakin sederhana klaim yang mempercayai Sang Perancang
tentulah lebih berterima dari pada (atau paling tidak setara dengan) usulan penafsir
alternatif.

(DIKUTIP DARI: Hubungan Sains dan Agama: Refleksi Kritis Atas Pemikiran Ian G. Barbour
,Waston, PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 15, No. 1, Juni 2014: 76 – 89. Halaman 83-
86)
4. konsep Integrasi – interkoneksi dalam pembelajaran PAI merupakan upaya untuk
mempertemukan antara ilmu-ilmu agama (Islam) dan Ilmu-ilmu umum (sains-teknologi dan
sosial-humaniora). Model pembelajaran integrative (terpadu) menwarkan sebuah
pemahaman yang holistic (menyeluruh) sebagaimana yang tercantantum pada PP no 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa setiap kelompo mata
pelajaran dilaksanakan secara holistic sehingga pembelajaran masing-masing mempengaruhi
pemahaman atau penghayatan peserta didik. (dalam makalah Implementasi Paradigma
Integrasi-Interkoneksi Dalam Pendidikan Islam. Oleh Ali Imron, mahasiswa pascasarjana
Universitas Wahid Hasyim)

Bentuk implementasinya diantaranya materi Fiqh bab waris dikaitkan dengan Materi Matematika.
Materi Hadis proses penciptaan manusia dikaitkan dengan materi IPA.

Anda mungkin juga menyukai