Anda di halaman 1dari 48

PROPOSAL PENELITIAN

EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA PADA AKTIVITAS MENENUN KELOMPOK


TOLFE’U KECAMATAN FATULEU TENGAH DAN INTEGRASINYA DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Oleh:

PUTRI A.M KIBANA

1701030090

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI..................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang .............................................................................1
B. Rumusan Masalah ........................................................................5
C. Tujuan Penelitian .........................................................................5
D. Manfaat Penelitian .......................................................................6
E. Definisi Operasional ....................................................................7
BAB 11 KAJIAN TEORI ............................................................................8
A. Eksplorasi ....................................................................................8
B. Pembelajaran Matematika ...........................................................8
C. Budaya .......................................................................................11
D. Aktivitas Menenun Kelompok Tolfe’u ......................................12
E. Etnomatematika .........................................................................27
F. Penelitian Yang Relevan ............................................................32
BAB III METODE PENELITIAN............................................................34
A. Jenis Penelitian ..........................................................................34
B. Lokasi dan Subjek Penelitian .....................................................34
C. Instrumen Penelitian ..................................................................34
D. Metode Pengumpulan Data ........................................................39
E. Teknik Analisis Data .................................................................40
F. Keabsahan Data .........................................................................41
G. Prosedur Penelitian ....................................................................42
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................45

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pasal 1 Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional, sebagai pedoman pendidikan di Indonesia
menyatakan: Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukannya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pendidikan dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam
kehidupan sehari-hari, karena pendidikan merupakan kebutuhan mendasar
bagi setiap individu dalam masyarakat, dan budaya merupakan kesatuan
utuh dan menyeluruh yang berlaku dalam suatu masyarakat. Budaya
merupakan keseluruhan sistem gagasan ,tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia.
Hal ini dapat diartikan bahwa budaya merupakan suatu tingkah laku cipta
karsa ataupun usaha sadar yang dilakukan masyarakat didalam kehidupan
sehari-hari yang menjadikan ciri khas ataupun pembedah antara satu
budaya dengan budaya lainnya yang tidak dimiliki oleh budaya lain.
Hubungan antara Pendidikan dan Budaya terlihat dalam
Pembelajaran Matematika. Dalam segalah aspek kehidupan manusia,
matematika seringkali membantu manusia dalam memecahkan masalah
dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga matematika sangat penting bagi
semua peserta didik dalam kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis,
kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerja sama (Depdiknas, 2006).
Matematika yang diajarkan disekolah dengan kehidupan sehari-hari tidak
jauh berbeda. Seperti yang dikatakan (Ernest, 1993) dalam buku
Etnomatematika Adonara matematika merupakan kontruksi sosial-budaya
dimana matematika terkandung dalam sejarah dan aktivitas manusia.

1
Dengan demikian matematika merupakan bagian dari budaya manusia, dan
matematika dapat diintegrasikan dalam budaya.
Integrasi matematika dalam budaya dikenal dengan istilah
etnomatematika. Sardijiyo Paulina Pannen (dalam Wahyuni, dkk, 2013:3)
mengatakan bahwa pembelajaran berbasis budaya merupakan suatu model
pendekatan pembelajaran yang lebih mengutamakan aktivitas dengan
berbagai ragam latar belakang budaya yang dimiliki, di integrasikan dalam
proses pembelajaran bidang studi tertentu, dan dalam penilaian hasil
belajar dapat menggunakan beragam perwujudan penilaian. Salah satu
yang dapat menjembatani antara budaya dan pendidikan adalah
Etnomatematika.
Etnomatematika diperkenalkan oleh D’Ambrosio pada tahun 1985
dan menyatakan bahwa etnomatematika adalah ilmu yang menggambarkan
praktek matematika dalam kebudayaan yang dapat dianggap sebagai
pembelajaran tentang ide-ide matematika yang ada di setiap kebudayaan
(Nurhasanah, 2019). Etnomatematika muncul bukan karena didasarkan
pada kesadaran baru tentang pengenalan potensi diri setiap kumpulan
masyarakat terutama di bidang matematika. Etnomatematika yang
dijelaskan oleh D’Ambrosio (2001) dapat dikatakan bahwa terdapat
konsep-konsep matematika yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari
(M. Zayyadi, 2018). Etnomatematika merupakan hasil aktivitas suatu suku
yang didalamnya terdapat konsep-konsep matematika yang kadang tanpa
disadari oleh masyarakat itu sendiri.
Indonesia merupakan sebuah Negara kepulauan dengan beraneka
ragam suku dan budaya yang dimiliki dari ujung barat sampai ujung timur
yang menandakan dari sabang sampai merauke, yang memiliki adat
istiadat dan budaya daerah yang beragam. Salah satunya budaya aktivitas
menenun di kecamatan Fatuleu Tengah, kabupaten Kupang, Nusa
Tenggara Timur .
Sudah sejak lama masyarakat kecamatan Fatuleu Tengah,
mengenal tenun sehingga masyarakat Fatuleu Tengah membentuk

2
kelompok tenun yaitu pengrajin tenun kelompok Tolfe’u tepatnya di desa
Nunsaen, kecamatan Fatuleu Tengah, kabupaten Kupang (kampung tenun
Timor). Tenun adalah warisan dari nenek moyang Fatuleu Tengah yang
sampai saat ini masih tetap ada dan dilestarikan. Di masyarakat kecamatan
Fatuleu Tengah aktivitas menenun wajib dimiliki oleh semua perempuan.
Jika keahlian itu sudah dikuasai maka perempuan tersebut sudah dianggap
pantas untuk berumah tangga.
Kain tenun di kecamatan Fatuleu Tengah tidak hanya digunakan
sebagai pakaian sehari-hari tetapi juga digunakan dalam berbagai hal
seperti upacara adat, kegiatan perpisahan dan kesenian di dunia
pendidikan, acara nikah, duka, penyembutan orang besar/pemerintahan,
sebagai simbolis atau penghargaan dan juga memiliki peran dalam aspek
matematika. Namun masyarakat Fatuleu Tengah belum menyadari bahwa
dalam aktivitas menenun dan kain tenun yang dihasilkan memiliki aspek
matematika.
Matematika adalah pelajaran yang ditakuti oleh banyak orang, hal
ini di akui oleh masyarakat kecamatan Fatuleu Tengah. Salah satu
langkah untuk mengurangi pandangan negatif terhadap matematika adalah
dengan mengintegrasikan pembelajaran kontekstual atau membawa dunia
nyata peserta didik ke dalam pembelajaran itu sendiri. Seperti halnya
pengrajin kelompok Tolfe’u melakukan aktivitas menenun sesungguhnya
para penenun sedang bermatematika. Menghitung banyaknya waktu yang
dipakai dalam memintal kapas menjadi benang, Menghitung banyaknya
benang yang harus digunakan untuk menyelesaikan satu lembar kain
tenun, menentukan takaran pewarna alami benang dengan bahan lokal
seperti akar mengkudu, buah nitas, kaktus, kulit loba, kemiri, daun jati,
garam, daun tarum, daun arbila, kunyit, jeruk purut. Dan menentukan
takaran pewarna kimia dengan zat warna kimia (napthol) seperti napthol
asbo, napthol ASG, napthol AS, napthol ASD, TRO, costic soda, Garam
diaso. Dan zat pewarna belerang seperti belerang (warna coklat atau
hitam), natrium sulfide/SN, dan soda as. Mengukur panjang atau lebar

3
kain tenun yang akan dihasilkan. Membentuk motif atau corak pada kain
tenun, semuanya itu adalah aktivitas yang mengandung matematika.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa dalam aktivitas budaya
menenun terkandung matematika. Matematika ada dalam setiap budaya,
terkandung dalam budaya sebagai matematika beku (frozen mathematics),
matematika tersembunyi (hidden mathematics), dan matematika tertanam
dalam budaya (embedded mathematics), (Dominikus, 2017-2018).
Etnomatematika menggunakan konsep matematika secara luas
yang terkait dengan aktivitas matematika meliputi aktivitas berhitung
dan mengukur. Eksplorasi etnomatematika pada budaya, ditemukan
keterkaitan bentuk-bentuk etnomatematika dengan konsep matematika
yaitu pola bilangan dan geometri. Etnomatematika merupakan kajian
matematika yang terintegrasi dengan budaya pada kehidupan
masyarakat. Etnomatematika jika disadari masyarakat semua kalangan
maka masyarakat akan berpikir bahwa matematika itu merupakan ilmu
dari segala ilmu pengetahuan yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan
nyata. Masyarakat sudah berpikir seperti itu maka masyarkat akan
menggunakan matematika dalam kehidupannya. Seperti pengrajin kain
tenun ketika ingin membuat kain tenun sepanjang yang diinginkan oleh
pengrajin maka pengrajin kain tenun harus memperhitungkan benang
yang akan di butuhkan dalam proses ini pola pikir pengrajin tersebut
menggunakan pola pikir matematika agar benang yang dibutuhkan tidak
melebihi batas agar sesuai dengan panjang kain tenun yang dinginkan
jika melebihi batas maka pengrajin tersebut akan mengalami kerugian.
Sehingga kehadiran matematika yang bernuansa budaya (etnomatematika)
dalam kurikulum sekolah akan memberikan nuansa baru dan memberikan
konstribusi yang sangat besar terhadap pembelajaran matematika di
sekolah. Marsigit (2016) mengatakan bahwa etnomatematika adalah suatu
ilmu yang digunakan untuk memahami bagaimana matematika diadaptasi
dari sebuah budaya dan berfungsi untuk mengekspresikan hubungan antara
budaya dan matematika. Pembelajaran etnomatematika di sekolah

4
dilakukan dengan mengubah persepsi siswa yang beranggapan matematika
abstrak menjadi lebih konkret dan mudah dipahami.
Berdasarkan uraian di atas maka, penulis ingin mengadakan
penelitian dengan tujuan untuk mendeskripsikan konsep-konsep
matematika apa saja yang terdapat pada Aktivitas menenun kelompok
Tolfe’u, kecamatan Fatuleu Tengah (kampung tenun Timor), dan
integrasinya dalam pembelajaran matematika di sekolah. Dengan demikian
penulis mengangkat judul penelitian “Eksplorasi Etnomatematika Pada
Aktivitas Menenun Kelompok Tolfe’u Kecamatan Fatuleu Tengah
Dan Integrasinya Dalam Pembelajaran Matematika”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa saja etnomatematika yang terdapat dalam aktivitas menenun
kelompok Tolfe’u, kecamatan Fatuleu Tengah?
2. Bagaimana hasil eksplorasi pada aktivitas menenun kelompok Tolfe’u,
kecamatan Fatuleu Tengah dan integrasinya dalam pembelajaran
matematika?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini
sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan Apa saja etnomatematika yang terdapat dalam
aktivitas menenun kelompok Tolfe’u, kecamatan Fatuleu Tengah.
2. Mendeskripsikan Bagaimana hasil eksplorasi pada aktivitas menenun
kelompok Tolfe’u, kecamatan Fatuleu Tengah dan integrasinya dalam
pembelajaran matematika.

5
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat
sebagai berikut :
1. Manfaat bagi peneliti
Dapat mengetahui lebih dalam tentang proses berpikir masyarakat
dalam mengeksplorasi etnomatematika pada aktivitas menenun
kelompok Tolfe’u, kecamatan Fatuleu Tengah dan aspek-aspek
matematika pada proses penenunan serta menunjukkan adanya
keterkaitan antara hasil budaya dengan ilmu matematika.
2. Manfaat bagi peneliti lain
Penelitian ini diharapkan menjadi referensi untuk peneliti selanjutnya
yang melakukan penelitian serupa dalam mengungkap kebudayaan
yang bersumber dari daerah setempat, baik kegiatan budaya ataupun
hasil budaya, sehingga budaya yang ada di Indonesia dapat terungkap
secara luas.
3. Manfaat bagi masyarakat Fatuleu Tengah
Dapat membuka pemahaman masyarakat fatuleu tengah bahwa
matematika berhubungan dan berkaitan erat dengan aktivitas budaya
menenunnya mereka.
4. Manfat bagi guru
Dapat melaksanakan pembelajaran matematika di sekolah yang
berhubungan dengan aktivitas menenun kelompok Tolfe’u, kecamatan
Fatuleu Tengah.
5. Manfaat bagi siswa
Dapat mempelajari dan memahami matematika dengan
menghubungkan matematika dengan aktivitas menenun kelompok
Tolfe’u, kecamatan Fatuleu Tengah.

6
E. Definisi Operasional
Definisi operasional ini bertujuan untuk memberikan batasan
pengertian agar tidak menimbulkan perbedaan tanggapan. Adapun
variable yang perlu didefinisikan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Eksplorasi dalam penelitian ini adalah suatu kegiatan yang bertujuan
untuk menggali lebih dalam etnomatematika pada aktivitas menenun
kelompok Tolfe’u, kecamatan Fatuleu Tengah.
2. Etnomatematika pada aktivitas menenun yang dimaksud dalam
penenlitian ini adalah untuk mencari dan mengumpulkan data
berkaitan dengan unsur-unsur matematika yang terdapat pada hasil
produksi para pengrajin kelompok Tolfe’u, kecamatan Fatuleu Tengah.
3. Menenun merupakan salah satu bagian yang ada pada budaya di
kecamatan Fatuleu Tengah.
4. Integrasi dalam pembelajaran Matematika yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah mengintegrasikan etnomatematika dalam aktivitas
menenun kelompok Tolfe’u pada pembelajaran matematika di sekolah.

7
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Eksplorasi
Dalam Kamus Bahas Indonesia, eksplorasi diartikan sebagai
penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih
banyak tentang keadaan terutama sumber-sumber alam yang terdapat di
tempat itu. Eksplorasi mempunyai sebuah arti yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan dalam rangka pembelajaran dan mengacu pada sebuah
penelitian (penjajakan), dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih
banyak tentang keadaan atau suatu benda dengan cara pengumpulan data
untuk menghasilkan suatu bentuk perupaan yang baru (Indriyani, 2018).
Menurut Purwadi dalam Desmawati (2018:10) menyatakan bahwa
eksplorasi adalah suatu aktivitas yang dilakukan dengan menggali
infromasi atau alternatif yang sebanyak-banyaknya untuk hal yang
berkaitan dengan kepentigan masa mendatang. Eksplorasi adalah kegiatan
mencari dan menggali pengetahuan mengenai suatu benda atau keadaan
secara mendalam dengan tujuan memperoleh suatu pengalaman yang baru
(Lestari, 2019).
Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa
Ekplorasi adalah suatu kegiatan untuk mencari, menggali atau meneliti
informasi dari sumber-sumber tertentu lebih dalam lagi untuk mengetahui
lebih banyak mengenai suatu masalah yang berkembang dalam masyarakat
dengan cara melakukan pengumpulan data.

B. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses
membelajarkan subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain,
dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek
didik/pembelajar dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan
efisisen Komalasari (2006 : 3). Pembelajaran juga merupakan upaya yang

8
dilakukan untuk membantu seseorang atau sekelompok orang sedemikian
rupa dengan maksud supaya di samping tercipta proses belajar juga
sekaligus supaya proses belajar menjadi lebih efesien dan efektif.
Kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang

mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti

mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti

pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike

berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein

atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal

katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang

didapat dengan berpikir (bernalar). Dalam KBBI, mengatakan matematika

adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan dan prosedur

operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai

bilangan. Penjelasan matematika juga diungkapkan Soedjadi (2000 : 11),

yakni matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan

berhubungan dengan bilangan. Matematika juga merupakan pengetahuan

tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk.

Pembelajaran berbasis budaya merupakan strategi penciptaan


lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang
mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Adanya kebudayaan yang dikaitkan dengan matematika tidak lepas dengan
suatu model pembelajaran. Model pembelajaran yang digunakan yaitu
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual atau Contextual teaching and
Learning (CTL). CTL adalah model pembelajaran yang membantu guru
mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

9
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
prakteknya, masalah kontekstual harus dibangun berdasarkan aktivitas
anak atau masyarakat dimana anak berada. Masalah kontekstual yang
dibangun salah satunya adalah dengan mengaitkan pembelajaran dengan
budaya. Dalam konteks pembelajaran, pemberdayaan budaya dan kearifan
lokal menjadikan siswa tidak merasa terasing dalam belajarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis menyimpulkan

bahwa pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran

kontekstual adalah proses interaksi antara guru dan siswa mengaitkan

antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan

mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari yang

melibatkan pengembangan pola berfikir dan mengolah logika pada suatu

lingkungan belajar yang sengaja diciptakan oleh guru agar program belajar

matematika tumbuh dan berkembang secara optimal dan siswa dapat

melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien.

Adapun skenario atau tahapan pembelajaran berbasis etnomatematika


(Dominikus, 2019) antara lain:
1. Tahap Explorasi (Exploration)
Pada tahap ini siswa menggali ide matematis dalam budaya. Siswa
diberikan materi tentang budaya (literasi budaya). Pada tahapan ini
siswa mengenal dan tahu dan mengingat kembali budaya yang menjadi
konteks pembelajaran. Memanfaatkan sumberdaya yang bervariasi
dalam pembelajaran matematika. Sumber belajar tidak hanya guru dan
buku. Diperoleh berbagai ide matematis atau praktik matematika
dalam budaya yang disebut sebagai etnomatematika.
2. Tahap Pemetaan (Mapping)

10
Melalui dampingan guru, siswa membuat peta hubungan antara konsep
matematika sekolah dan etnomatematika. Kemudian memilih konsep
matematika yang bersesuaian untuk dipelajari baik secara individu
maupun kelompok.
3. Tahap Eksplanasi (Explanation)
Siswa mempelajari konsep matematika sekolah, mengkomunikasikan
apa yang dipelajari, saling berbagi, mengapresiasi apa yang dipelajari
dalam berbagai bentuk.
4. Tahap Refleksi (Reflextion)
Merangkum apa yang dipelajari baik pengetahuan matematika dan
nilai-nilai hidup (living values) yang dikembangkan dan diperoleh
dalam proses pembelajaran matematika.

C. Budaya
Koentjanigrat mengartikan kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu buddhayah. Kata buddhayah merupakan bentuk jamak
dari budi, yang dapat diartikan sebagai budi atau akal. Jadi, kebudayaan
dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal (Sidin, 2018).
Menurut ilmu antropologi, budaya merupakan keseluruhan sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, (Rachmawati, 2012)). Hal tersebut mengartikan bahwa
hampir seluruh aktivitas manusia merupakan budaya atau kebudayaan
karena hanya sedikit sekali tindakan manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang tidak memerlukan belajar dalam membiasakannya.
Sedangkan ahli sejarah budaya mengartikan budaya sebagai warisan atau
tradisi suatu masyarakat (Rachmawati, 2012).
Dominikus, (2018) mendefinisikan kebudayaan mencakup dua hal.
Pertama, istilah budaya digunakan untuk mengacu pada pola kehidupan
masyarakat, kegiatan dan pengaturan material dan sosial yang berulang
secara teratur yang merupakan kekhususan suatu kelompok masyarakat

11
tertentu. Dalam hal ini pengertian budaya mengacu pada benda-benda dan
peristiwa-peristiwa yang bisa diamati atau diindrai di lingkungan hidup.
Kedua, istilah budaya dipakai untuk mengacu pada sistem pengetahuan
dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur
pengalaman dan persepsi mereka, menentukan tindakan dan memilih di
antara alternatif yang ada.
Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa
Budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia sebagai warisan atau tradisi yang mengacu pada pola kehidupan
masyarakat secara turun temurun tentang benda-benda, peristiwa-
peristiwa, sistem pengetahuan dan kepercayaan.

D. Aktivitas Menenun Kelompok Tolfe’u


1. Sejarah Kecamatan Fatuleu Tengah
Fatuleu terletak di kabupaten kupang, Nusa Tenggara Timur.
Fatuleu terbagi atas 3 kecamatan yaitu Fatuleu Tengah, Fatuleu Barat
dan Fatuleu Induk. Fatuleu Tengah memiliki 4 desa yaitu Nunsaen,
Olbiteno, Pasi dan Nonbaun. Kecamatan Faatuleu Tengah sudah ada
sejak dahulu sebelum peperangan . Pada awalnya kecamatan Fatuleu
Tengah adalah sebuah hutan yang keunikannya memiliki gunung
besar . Pada tahun 1929 Belanda dan Raja Sonbai (Raja Fatuleu
Tengah) saling berperang, korban darah untuk mendapatkan Fatuleu
Tengah. Dan peperangan dimenangkan oleh Raja Sonbai , karena pada
zaman itu Raja Sonbai memakai ilmu hitam atau ilmu sembah. Setelah
iru Raja Sonbai pindah ke Kauniki. Sebelum pindah Raja Sonbai
menyerahkan Fatuleu Tengah beserta peninggalan lainnya ke tiga
Raja yaitu: Raja Suan, Raja Jelal dan Raja Martakel. Peninggalan
yang diberikan kepada Raja Suan dan Raja Jelal yaitu masing-masing
mendapatkan satu bendera berukuran empat meter, satu senapan
tumbuk dan satu topi mas. Sedangkan peninggalan untuk Raja
Martakel yaitu satu bendera berukuran empat meter dan satu senapan

12
tumbuk, setelah itu Raja Martakel pindah ke Amfoang. Pada zaman
ini kedua Raja Suan dan Raja Jelal tidak mengenal Gereja ,dan setiap
kali musim hujan hampir tiba Raja Suan dan Raja Jelal pergi ke salah
satu goa di gunung fatuleu untuk menyembah. Goa itu masih ada
sampai sekarang. Tidak hanya pergi menyembah di goa tetapi mereka
juga membawa hasil makanan untuk makan di goa, dan banyak
perabotan dapur seperti piring dan periuk sudah ada di goa tersebut.
Pada tahun 1930 datanglah seorang Raja dari Fatuoni ke
Nunapa, Fatuleu Tengah, Raja itu bernama Raja Simson Suan. Raja
Simson Suan membangun Gereja dan merupakan Gereja pertama yang
ada di kecamatan Fatuleu Tengah. Mendengar kedatangan Raja
Simson Suan, kedua Raja Suan dan Raja Jelal bertemu dan meminta
Raja Simson Suan agar mendoakan mereka supaya memiliki
keturunan. Atas doa Raja Simson Suan, Raja Suan dan Jelal memiliki
keturunan. Pada saat inilah Raja Suan dan Jelal mempercayai Gereja
dan jarang menyembah goa. Keturunan dari Raja Suan dan Raja Jelal
yaitu Tunsakune, Ola lalan, Mael Selas, dan Mael Taboen. Pada tahun
1973 Gereja pertama di Nunapa dipindahkan ke Pusat Fatuleu Tengah
Nunsaen. Hingga pada tahun 2020 Gereja Fatuleu Tengah sudah
memiliki empat cabang Gereja yaitu Induknya adalah Gereja
Fatusfukit Naitfalo, Gereja Ebenhaezer Kabuka, Gereja Pian Nunsaen
dan Gereja Getsemani.
Fatuleu merupakan tempat yang sangat dijaga dan dilestarikan
oleh masyarakat fatuleu. Untuk mendapatkan fatuleu nenek moyang
dari masyarakat fatuleu bertarung nyawa dan korban darah. Fatuleu
berasal dari kata fatu yang artinya batu dan leu yang artinya keramat,
dikatakan keramat karena mempunyai arti yaitu 1 pohon yang
memiliki berbagai jenis tumbuhan yaitu jagung, padi dan berbagai
tumbuhan lainnya ,dan juga pohon yang kulitnya digunakan sebagai
obat. Pada tahun 2017, Mama Ferderika Sufance Efsiana Utan
bertemu dengan satu orang tokoh adat suku suan bernama Bapak

13
Martinus Suan yang sudah berumur 90 tahun , istri bapak Martinus
Suan bernama Susana Bait (Almh) dan mereka tidak mempunyai
anak. Bapak Martinus Suan bercerita tentang Gambar bunga Sotis
Gunung Fatuleu. Bapak Martinus Suan bercerita bahwa : Gambar
Sotis yang melambangkan Fatuleu itu sangat penting karena
duluhnya nenek moyang kami sangat mencintai Fatuleu, sehingga
warisan nenek moyang kami harus dijaga dan dipelihara. Itu sudah
digariskan leluhur kami Suan Jelal ketika menerima Fatuleu ini dari
Raja Sonbai pada tahun 1929. Diatas gunung Fatuleu ini pula nenek
moyang kami Suan Jelal dikuburkan. Jika kami hendak merantau
kenegeri orang Fatuleu adalah jiwa kami yang mempunyai kekuatan
dan yang menolong kami. Dan kami sering minta hujan padanya jika
kami kekeringan dan minta bantuan dari segalah bencana, karena itu
kami tidak mau anak, cucu, cece tidak mau kehilangan sejarah
Fatuleu. Dan Fatuleu itu ada sarang wallet dan merupakan mata
pencaharian kami, dan untuk mencari tau malapetaka besar yang
menimpa kami dan keturunan kami maka ada lempengan dari gunung
Fatuleu yang roboh berarti dalam waktu dekat ada pejabat yang
meninggal dunia atau ada musibah yang menimpah seorang pejabat
dan itu sudah berlangsung dari dulu yaitu ketika ibu Tien Soeharto
meninggal ada lempengan Fatuleu yang roboh demikian juga saat
soeharto turun tahun 1999 lalu kami ditimpah bencana besar yaitu
goyangan gempa bumi karena dahulu nenek moyang sudah
melangkahi perjanjian maka terjadilah malah petaka sehingga kita
harus mencintai Fatuleu sampai titik darah berakhir dikampung
tenun Fatuleuh Tengah. Terimakasih.
Salah satu cara melestarikan gunung Fatuleu yaitu dengan
menenun. Keunikan dari kain tenun Fatuleu Tengah yaitu kain motif
selalu memiliki warna merah dan putih, hal ini menjadi warisan dari
nenek moyang mereka karena merah putih melambangkan bendera
merah putih yang menjadi peninggalan dari Raja Sonbai. Selain itu ini

14
menjadi alasan ada satu bendera merah putih yang dikibarkan diatas
puncak gunung Fatuleu. Mata pencaharian dari masyarakat Fatuleu
Tengah yaitu Menenun dan berkebun. Setiap perempuan Fatuleu
wajib tenun barulah dianggap bisa berumah tangga. Dengan menenun
masyarakat Fatuleu dapat menunjang kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu masyarakat Fatuleu berinisiatif untuk membuat kelompok
tenun dan kelompok tenun sudah diketahui oleh orang-orang dari
berbagai dunia. Nama kelompok tenun yaitu kelompok Tolfe’u.
tempat menenun di Desa Nunsaen (sebutan kampung tenun Timor).
Masyarakat Fatuleu tengah biasanya menenun dengan motif Loti
(Sotis) dan motif Noel (Buna). Motif Loti (Sotis) dan motif Noel
(Buna) sendiri terinspirasi dari gambar bunga gunung Fatuleu , tetapi
seiring berjalannya waktu bunga itu sudah tidak ada lagi. Motif Loti
(Sotis) dan motif Noel (Buna) memiliki kesamaan dalam proses
penenunan dan perbedaanya dapat dilihat berdasarkan tabel dibawah
ini:
Tabel 2.1 Perbedaan Motif Loti dan Motif Noel

Gambar 2.1 Motif Loti (Sotis) Gambar 2.2 Motif Noel (Buna)

15
Gambar 2.3 Motif Loti (Sotis) Gambar 2.4 Motif Noel (Buna)
Pembuatan bunga Loti Pembuatan bunga Noel
menggunakan alat Keta loti. menggunakan alat Hau loti.
Digunakan untuk simbolis atau Digunakan untuk menyambut
penghargaan. orang besar.
Identik dengan kaum perempuan, Identik dengan kaum laki-laki,
motif dipagari motif Noel karena motif memagari motif Loti karena
didalam rumah tangga perempuan didalam rumah tangga laki-laki
memiliki naungan dibawah laki- yang memimpin. Dapat dilihat
laki. Dapat dilihat pada motif Loti pada motif Noel pada gambar 2.2
pada gambar 2.1

Warna dasar di bawah motif bunga Warna dasar dibawah motif


Loti selalu memiliki paduan bunga Noel selalu memiliki satu
warna. Contoh seperti gambar 2.3 warna. Contoh seperti gambar 2.4
warna dasarnya kuning dan warna dasarnya hanya merah
orange. muda.

Dalam motif Loti (Sotis) dan motif Noel (Buna) juga terdapat
bentuk geometri Aflolo (bela ketupat), Akne Ha (persegi empat) dan
Akne Teun (persegi tiga). Motif lain yang dibentuk tergantung dari
kreatif penenun kelompok Tolfe’u.

2. Aktivitas Menenun Kelompok Tolfe’u

16
2.1 Budaya Menenun
Aktivitas menenun merupakan aktivitas yang sudah sangat
melekat bagi masyarakat Fatuleu Tengah, dengan menenun
masyarakat Fatuleu Tengah melestarikan warisan dari nenek
moyang. Pada tahun 2010 terbentuklah PKK (sebutan untuk
perempuan-perempuan Fatuleu yang tidak bekerja). Perempuan –
perempuan ini memiliki keahlian dalam menenun. Sehingga
mereka berinisiatif untuk membentuk kelompok tenun, kelompok
tenun di beri nama kelompok Tolfe’u yang artinya muncul pucuk
baru atau baru bangun. Awal terbentuk kelompok Tolfe’u
berjumlah 20 orang dan diketuai oleh Mama Ferderika Sufance
Efsiana Utan. Mereka menenun pada pukul 09.00 WITA – 14.00
WITA (pada saat tidak bekerja dirumah atau tidak bekerja di
kebun). Pada musim panas kelompok ini melakukan penenunan
bersama dirumah tenun (gedung pengrajin tenun). Pada musim
hujan mereka lebih banyak menenun dirumah masing-masing
dikarenakan mereka lebih banyak melibatkan diri dikebun.
Perjalanan berkembangnya kelompok tenun ini berjalan mulus
dan didukung oleh Pemerintah, berawal dari persetujuan
Musyawarah Dusun, Musyawarah tingkat Desa, tingkat
Kecamatan, hingga Dinas Prindak Kabupaten. Pemerintah
membuat satu gedung pengrajin tenun dan satu tempat sorum
(tempat jual tenun dalam jumlah banyak). Hingga pada tahun
2020 jumlah penenun berkurang menjadi 10 orang. Kelompok
tenun ini sudah dikenal di berbagai dunia dan Mahasiswa
Perguruan Tinggi sering melalukan Penelitian di Kampung tenun
ini.
Aktivitas menenun kelompok Tolfe’u sampai saat ini masih
sangat tradisional. Proses pembuatan benang sampai saat ini
masih menggunakan kapas. Hanya saja kekurangannya yaitu
untuk menghasilkan satu selimut atau salempang membutuhkan

17
waktu yang sangat lama yaitu bisa satu tahun. Hal lainnya
pewarna benang juga masih menggunakan zat pewarna alam
seperti:
1. Warna merah tua: akar mengkudu, buah nitas, daun
tarum, kulit loba, dan kemiri.
2. Warna merah muda: daun jati, kemiri, kaktus, dan
garam.
3. Warna biru laut: daun tarum, kemiri, buah nitas, dan
garam.
4. Warna Hijau daun: daun arbila, kemiri dan garam.
5. Warna kuning: kunyit, kemiri, garam dan jeruk purut.
6. Warna hitam: tinta, kemiri dan lumpur.
Kemiri sangat berperan penting dalam pewarna alami
agar pewarna melekat pada kain dan warna kain tetap
awet.

Tetapi jika dalam keadaan mendesak maka pengrajin


menggunakan zat pewarna kimia (warna napthol) seperti:

1. Warna merah tua: napthol ASBO /AS/ASD, costic soda,


TRO, garam diaso/merah B, garam dapur, dan air.
2. Warna kuning: napthol ASG, costik soda, TRO, Daram
diaso/merah B, air dan garam dapur.
3. Warna biru: napthol ASBO, costik soda, TRO, daram
diaso/biru B, air dan garam dapur.
4. Warna coklat: napthol ASG, costik soda, TRO, daram
diaso/biru B, air dan garam dapur.
5. Warna merah mudah/jamur: napthol AS, costik soda, TRO,
daram diaso/merah B, air dan garam dapur.
6. Warna merah cabe: napthol ASD, costik soda, TRO, daram
diaso/merah B, air dan garam dapur.

18
Dan juga zat pewarna lainnya yaitu zat pewarna belerang.
Zat pewarna belerang ada dua yakni belerang hitam dan belerang
coklat. Dan bahan yang digunakan yaitu: belerang (tergantung
ingin warna coklat atau hitam), Natrium sulfide, soda as, TRO
dan garam dapur.

Kain tenun di kelompok Tolfe’u tidak hanya digunakan


sebagai pakaian sehari-hari tetapi juga digunakan dalam berbagai
hal seperti upacara adat, kegiatan perpisahan dan kesenian di
dunia pendidikan, acara nikah, duka, penyembutan orang
besar/pemerintahan, sebagai simbolis atau penghargaan. Beberapa
hal unik dari budaya tenun kelompok Tolfe’u yaitu: Mayoritas
kain tenun Loti (Sotis) dan motif Noel (Buna) masyarakat Fatuleu
Tengah yaitu pada warnanya mencorak merah dan putih yang
melambangkan bendera Negara Indonesia. Motif Loti (Sotis)
biasanya digunakan sebagai simbolis atau penghargaan sedangkan
motif Noel (Buna) digunakan untuk menyambut orang besar atau
pemerintah. Yang lainnya Pada acara nikah motif mencorak
merah dan putih sedangkan duka motif mencorak hitam.

2.2 Proses Menenun


1) Tasun Abas (Pintal Kapas)

19
Tasun Abas merupakan proses awal dari menenun
kelompok Tolfe’u yaitu dimulai dengan bersihkan kapas dan
menghaluskan kapas menggunakan tangan. Setelah itu
memintal kapas dengan Ike yaitu benda semacam gasing dan

suti yaitu kulit kerang, sebelum memintal tangan penenun


menyentuh abu ra’o agar tangan penenun tidak licin untuk
memintal. Setelah ini kapas akan menjadi benang.

Gambar 2.5 Membersihkan kapas Gambar 2.6 Memintal kapas

2) Kep Abas (Pewarnaan Benang)


Kep Abas merupakan proses pewarnaan benang. Benang
yang digunakan yaitu dari zat warna alami. Jika ingin proses
cepat maka kelompok tolfe’u menggunakan zat warna kimia
atau zat warna belerang. Pewarnaan benang dengan melarutkan
benang pada oel maputu (air panas) yang sudah dicampuri zat
pewarna.

20
Gambar 2.7 Pewarnaan benang

3) Faes Abas (Mencuci Benang)


Faes Abas merupakan proses mencuci benang setelah
benang sudah diberi pewarna,sehingga warna sudah melekat.
Benang dicuci dengan menggunakan oel (air) sampai air
menjadi jernih.

Gambar 2.8 Mencuci benang

4) Hoe Abas (Penjemuran Benang)


Hoe Abas merupakan proses penjemuran benang yang
sudah di warnai. Proses ini menggunakan alat loan (bambu).

21
Gambar 2.9 Menjemur benang

5) Taun Abas (Menggulung Benang)


Taun Abas atau menggulung benang menjadi gulungan
yang bulat dengan menggunakan tangan.

Gambar 2.10 Menggulung benang

6) Lolo /Non (Membentang Benang)


Lolo atau Non merupakan proses pembentangan benang.
Lolo ada 2 macam yaitu lolo untuk kain tenun laki-laki (non
beti) dan lolo untuk kain tenun perempuan (non tais). Adapun
perlengkapan yang dibutuhkan dalam membentang benang
yaitu tempat benang berupa piring atau mangkok yang biasa
disebut afane dan juga talia senar.

Gambar 2.11 Membentang benang

22
7) Teun (Penenunan)
Teun merupakan proses akhir untuk menghasilkan kain
tenun. Proses ini membutuhkan konsentrasi para pengrajin
Tofle’u. adapun perlengkapan yang digunakan dalam menenun
yaitu:
a) Paus Niun (Sabut pinggang), alat yang dikaitkan pada
pinggang penenun tujuan sebagai penahan belakang
penenun agar benang tetap kecang.

Gambar 2.12 Paus niun

b) Senu, alat seperti kayu parang fungsinya untuk


memotong serta meratakan kain dan
memadatkan benang.

23
Gambar 2.13 Gambar senu

c) Puat, alat yang terbuat dari kayu untuk menahan


benang agar tidak sulit ketika memasukan senu.

Gambar 2.14 Puat

d) Nekan nok Tanaj, alat untuk mengaitkan kain


tenun.

Gambar 2.15 Nekan nok Tanaj

24
e) Atis, alat untuk menjepit atau menahan benang
agar tetap kencang.

Gambar 2.16 Atis

f) Ut, alat untuk memisahkan benang bagian atas


dan bagian bawah.

Gambar 2.17 Ut

g) Sauban, alat untuk memutar atau menggulung


benang yang dimasukan dalam kain lalu rapikan
oleh senu.

25
Gambar 2.18 Sauban
h) A’loti, alat untuk menahan benang agar kuat dan
tak tercecer.

Gambar 2.19 A’loti

i) Hau Loti, alat untuk menahan benang bunga


buna atas bawah agar pembuatannya bunga buna
tidak tercampur.

Gambar 2.20 Hau loti

26
j) Keta Loti, alat untuk membuat bunga sotis.

Gambar 2.21 Keta loti

E. Etnomatematika
Pendidikan dan kebudayaan adalah salah satu hubungan antara
proses dengan isi. Pendidikan ialah proses pengoperasian kebudayaan
dalam arti membudayakan manusia. Sardijiyo Paulina Pannen (dalam
Wahyuni, dkk,2013:3) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis budaya
merupakan suatu model pendekatan pembelajaran yang lebih
mengutamakan aktivitas siswa dengan berbagai ragam latar belakang
budaya yang dimiliki,diintegrasikan dalam proses pembelajaran bidang
studi tertentu dan dalam penilaian hasil belajar dapat menggunakan
beragam perwujudan penilaian. Salah satu yang dapat menjabatani antara
budaya dan pendidikan matematika adalah etnomatematika.
Menurut Prabwati[CITATION Meg16 \p 25 \n \t \l 1057 ] dalam
jurnalnya bahwa beragam kajian mengenai ethno telah dikenal seperti
ethnomusicology, ethnobotany, ethnopsychology. Ethnoscinece dimaknai
sebagai kajian scientific berkaitan dengan fenomena-fenomena teknologi
yang berkaitan langsung dengan latar belakang sosial, ekonomi dan
budaya. Ethnolanguage dimaknai sebagai kajian bahasa dalam hubungan

27
dengan keseluruhan budaya dan kehidupan sosial, sehingga dengan
analogi yang sama ethnomathematics dimaknai sebagai kajian matematika
(ide matematika) dalam hubungan keseluruhan budaya dan kehidupan
sosial.
Ubiratan D’Ambrosio seorang matematikawan Brasil dalam
Prabawati [CITATION Meg16 \p 27 \n \t \l 1057 ] menyatakan bahwa secara
istilah etnomatematika diartikan sebagai: The mathematics which is
practiced among identifiable cultural groups such as national-tribe
societies, labour groups chlidern of certain age brackets and professional
classes. Artinya: metematika yang dipraktekkan di antara kelompok
budaya diidentifikasi seperti masyarakat nasional suku, kelompok buruh,
anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas professional.
Ubiratan D’Ambrosio pada tahun 1999 menyempurnakan
definisinya yang pernah diungkapkannya dalam Puspadewi [CITATION
Kad14 \p 80 \n \t \l 1057 ] menjadi I have been using the word
ethnomathematics as modes, styles and techniques (tics) of explanation, of
understanding and of coping with the nurutal and cultural environment
(mathema) in distinct cultural systems (ethno). Artinya: saya telah
menggunakan kata etnomatematika sebagai mode, gaya, dan teknik
menjelaskan, memahami, dam menghadapi lingkungan alam dan budaya
dalam sistem budaya yang berbeda.
Pendapat Ubiratan D’Ambrosio pada tahun 1999 menyempurnakan
definisinya yang pernah diungkapkannya dalam Puspadewi, bahwa
etnomatematika terbentuk dari kata ethno, maathema, dan tics. Awalnya
etho mengacu pada kelompok kebudayaan yang dapat dikenali, seperti
perkumpulan suku di suatu Negara dan kelas-kelas profesi di masyarakat,
termasuk pula bahasa dan kebiasaan mereka sehari-hari..Kemudian,
mathema disini berarti menjelaskan, mengerti, mengukur, mengklasifikasi,
mengurutkan, dan memodelkan suatu pola yang muncul pada suatu
lingkungan. Akhiran tics mengandung arti seni dalam teknik.

28
Ascher dalam Tandililing [CITATION Pit15 \p 40 \n \t \l 1057 ]
mendefinisikan etnomatematika sebagai suatu studi tentang ide-ide
matematika dalam masyarakat literasi. Artinya, Secara tidak sadar karya
seni yang dibuat oleh kelompok masyarakat atau suku-suku tertentu yang
tidak mengenyam pendidikan formal mengandung konsep-konsep
matematika. Pernyataan-pernyataan yang sudah diungkapkan maka
etnomatematikan dapat diartikan sebagai matematika yang dipraktikan
oleh kelompok budaya yang berada di lingkungan masyarakat semua
kalangan.
Dominikus (2018) mengemukakan bahwa etnomatematika
berkaitan dengan praktik matematika, ide-ide matematika, dan
pengetahuan matematika dari suatu kelompok sosial-budaya masyarakat
yang berhubungan dengan perhitungan, pengelompokkan, pengurutan,
penyimpulan, dan pemodelan.
Etnomatematika menggunakan konsep matematika secara luas.
Etnomatematika merupakan kajian matematika yang terintegrasi dengan
budaya pada kehidupan masyarakat. Etnomatematika jika disadari
masyarakat semua kalangan maka masyarakat akan berpikir bahwa
matematika itu merupakan ilmu dari segala ilmu pengetahuan yang tidak
bisa dihindari dalam kehidupan nyata. Masyarakat sudah berpikir seperti
itu maka masyarkat akan menggunakan matematika dalam kehidupannya.
Seperti pengrajin kain tenun ketika ingin membuat kain tenun sepanjang
yang diinginkan oleh pengrajin maka pengrajin kain tenun harus
memperhitungkan benang yang akan di butuhkan dalam proses ini pola
pikir pengrajin tersebut menggunakan pola pikir matematika agar benang
yang dibutuhkan tidak melebihi batas agar sesuai dengan panjang kain
tenun yang dinginkan jika melebihi batas maka pengrajin tersebut akan
mengalami kerugian karena modal yang dikeluarkan lebih besar dari pada
keuntungan yang di dapatkan.
Etnomatematika dalam dunia pendidikan juga dapat dianggap
sebagai sebuah program yang bertujuan untuk mempelajari siswa

29
memahami, mengartikulasikan, mengolah dan akhirnya menggunakan ide-
ide matematika, konsep dan praktek-praktek yang dapat memecahkan
masalah yang berkaitan dengan aktivitas kebudayaan sehari-hari dalam
masyarakat pendidikan. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh
Theresia Laurens [CITATION The16 \p 10 \n \t \l 1057 ] bahwa setalah siswa
belajar pada proses pembelajaran dengan berbasis etnomatematika dapat
meningkatkan hasil belajar dan sebelum pembelajaran berbasis
etnomatematika rerata hasil belajar siswa berada pada katagori rendah.
Pernyataan Theresia Laurens tersebut sama halnya dengan pernyataan Euis
Fajriyah [CITATION Faj18 \p 116 \n \t \l 1057 ] bahwa hadirnya
etnomatematika dalam pembelajaran matematika memberikan nuansa baru
bahwa belajar matematika tidak hanya didalam kelas tetapi juga bisa diluar
kelas dengan mengunjungi atau berinteraksi dengan kebudayaan setempat
dapat digunakan sebagai media pembelajaran matematika. Sementara itu,
dilihat dari sisi pendeketan pembelajaran, maka etnomatematika selaras
dengan pendekatan pembelajaran matematika yang cocok jika diterapkan
dalam kurikulum 2013.

Berdasarkan penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa


Etnomatematika adalah istilah yang menjembatani antara pendidikan
Etnomatematika di integrasikan terkait dengan aktivitas matematika
meliputi aktivitas berhitung, mengukur, pengelompokkan, pengurutan,
penyimpulan, dan pemodelan. Etnomatematika menggunakan konsep
matematika secara luas di semua kalangan masyarakat baik masyarakat
yang mengenyam pendidikan formal ataupun tidak mengenyam
pendidikan. Pendidikan formal sebagai sebuah program yang bertujuan
untuk mempelajari siswa memahami, mengartikulasikan, mengolah dan
akhirnya menggunakan ide-ide matematika, konsep dan praktek-praktek
yang dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan aktivitas
kebudayaan sehari-hari. Dan bagi masyarakat yang tidak mengenyam

30
pendidikan mendapatkan ilmu matematika karena tanpa mereka sadari
banyak aktivitas mereka yang mengandung konsep-konsep matematika.

Adapun karakteristik etnomatematika (Dominikus, 2018), antara


lain :
1. Counting atau menghitung
Praktik dan alat-alat menghitung baik secara fisik maupun mental,
sudah ada ribuan tahun dalam berbagai bentuk. Aktivitas menghitung
dikaitkan dengan bilangan yang nampak dalam ungkapan bahasa
daerah yang digunakan kelompok budaya itu. Demikian juga alat-alat
yang digunakan dalam menghitung bervariasi antara satu kelompok
budaya dengan kelomok budaya yang lain. Dengan demikian akan
berbeda pula sistem bilangan yang digunakan.
2. Locating atau melokalisir, menentukan
Locating berkaitan dengan menemukan suatu jalan, menempatkan
suatu objek, menentukan arah, dan menentukan hubungan objek satu
dengan yang lain. Hal ini berkaitan dengan kemampuan spasial,
bagaimana konseptualisasi keruangan dan bagaimana suatu objek
diposisikan dalam lingkungan spasial. Pemetaan, navigasi, dan
pengaturan objek-objek keruangan terdapat dalam semua budaya dan
semuanya membentuk pengetahuan matematika yang penting.
3. Measuring atau mengukur
Aktivitas mengukur umumnya menggunakan berbagai ukuran tidak
baku seperti menggunakan bagian dari tubuh untuk mengukur panjang.
Untuk mengukur waktu, benda cair dan berat digunakan cara dan alat
yang berbeda dalam setiap budaya. Aktivitas mengukur ini juga
berkaitan dengan bilangan dengan demikian mencakup pula aktivitas
membandingkan, mengurutkan, dan mengkuantifikasi karakteristik
suatu objek.
4. Designing atau merancang, menciptakan

31
Aktivitas designing berkaitan dengan pembuatan pola untuk membuat
objek-objek atau artefak budaya yang digunakan di rumah, dalam
perdagangan, dekorasi, berperang, permainan dan tujuan keagamaan.
Designing juga berkaitan dengan hal-hal yang berskala besar seperti
rumah, perkampungan, jalan, kebun, lapangan, desa dan kota. Semua
ini menjadi sumber dan bagian dalam pembentukan pengetahuan
matematika anggota kelompok budaya.

5. Playing atau permainan


Playing berkaitan dengan berbagai permainan tradisional dan tarian
tradisional dalam masyarakat yang melibatkan jenis penalaran
matematika, probabilitas, dan berpikir strategis. Permainan memuat
aturan permainan, prosedur, material yang digunakan dan kriteria yang
dibakukan.
6. Explaining atau menjelaskan
Explaining merujuk ke berbagai aspek kognitif mempertanyakan dan
mengonseptualisasi lingkungan. Penjelasan membangun koneksi yang
bermakna antara fenomena yang berbeda dalam merespon pertanyaan
mengapa. Untuk menjelaskan berbagai fenomena yang lebih kompleks
dan dinamis seperti proses kehidupan, pasang surut dan aliran
peristiwa, setiap budaya mempunyai cerita, cerita rakyat dan penutur
cerita. Cerita merupakan suatu fenomena universal, dan dalam kaitan
dengan pengetahuan matematika dalam budaya, hal yang paling
penting adalah kemampuan bahasa penutur cerita untuk mengaitkan
wacana dalam berbagai cara. Dalam kaitan dengan penelitian, maka
perhatian ditujukan pada kelogisan konektivitas dalam bahasa yang
memungkinkan proposisi dikombinasikan, dipertentangkan, diperluas,
dibatasi, dielaborasi, dan lainnya. Dari semua hal ini pengetahuan
pembuktian telah dibangun yang memenuhi kriteria konsisten dan
meyakinkan.

32
F. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan terkait dengan etnomatematika telah
dilakukan sebelumnya oleh para peneliti dari berbagai daerah dengan
pembahasan topik yang beragam. Penelitian yang dilakukan oleh Alfonsa
dengan judul Integrasi Etnomatematika Dalam Kurikulum Matematika
Sekolah. Dengan hasil pembahasanya menarik kesimpulan bahwa dengan
sistem pendidikan berbasis kurikulum 2013 yang menanamkan pemikiran
ilmiah dan pendidikan karakter, menjadi rasional untuk mengintegrasikan
etnomatematika dan pembelajaran matematika.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Wara Sabon Dominikus,
dengan judul Etnomatematika Adonara dan Kaitannya dengan Matematika
Sekolah. Dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 
pengetahuan matematika dalam budaya Adonara yang disebut sebagai
etnomatematika Adonara antara lain: bilangan dan basis bilangan,
penamaan waktu, menghitung, mengukur, membandingkan dan
mengurutkan, menjelaskan, geometri, pola bilangan, bilangan
polindromik, dan mengevaluasi dan memutuskan.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Yohanis Ndapa Deda dan
Hermina Disnawati, dengan judul Hubungan Motif Kain Tenun
Masyarakat Suku Dawan-Timor dengan Matematika Sekolah. Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa Motif
Buna, Motif Sotis, dan Motif Futus memiliki hubungan dengan
pembelajaran konsep geometri yang dipelajari di sekolah dasar dan
sekolah menengah, seperti pengenalan konsep segi empat, garis lurus, dan
konsep pencerminan.

33
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan
desain penelitian eksploratif. Metode penelitian Kualitatif adalah metode
penelitian yang bersifat ilmiah, yakni latar langsung sebagai sumber data
dan peneliti sebagai instrument kunci. Data penelitian kualitatif bersifat
deskriptif, yakni data berupa kata-kata dan gambar yang diperoleh dari
transkripsi wawancara, catatan lapangan, foto, video, dan sebagainya.
Penelitian eksploratif merupakan penelitian yang bertujuan untuk
menggali setiap informasi sebanyak-banyaknya, kemudian informasi yang
sudah diperoleh tersebut di analisis.
Penelitian kualitatif eksploratif dalam penelitian ini berarti
menggali dan memahami informasi sedalam-dalamnya tentang aktivitas
menenenun kelompok Tolfe’u kecamatan Fatuleu Tengah yang
mengandung konsep-konsep dan aktivitas matematika.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian


Lokasi penelitian merupakan tempat yang digunakan peneliti untuk
mengadakan penelitian. Lokasi penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bertempat di kampung tenun Timor, desa Nunsaen,
kecamatan Fatuleu Tengah, kabupaten Kupang. Dan Subjek Penelitian
merupakan pengrajin kampung tenun Timor Fatuleu Tengah (kelompok
Tolfe’u). Alasan pemilihan tempat dan subjek penilitian dikarenakan
daerah ini merupakan penghasil budaya tenunan Timor. Dan subjek
penelitian dapat menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti.

C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian sangat dibutuhkan dalam sebuah penelitian
agar lebih memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian. “ Instrumen

34
penelitian adalah alat bantu untuk memperoleh data–data yang diperlukan
“(Arikunto, 2000:150). Dari semua data yang terkumpul akan
membuktikan bahwa benar atau tidaknya instrumen yang digunakan.
Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Instrumen utama
Instrumen utama yang digunakan untuk memperoleh data
pokok sesuai tujuan utama penelitian ini adalah peneliti itu sendiri.
Dalam penelitian ini, yang menjadi instrumen utama atau
instrumen kunci adalah peneliti sendiri. Peneliti yang bertindak
sebagai instrumen utama diharuskan untuk terjun langsung ke
lapangan. Selain terjun langsung ke lapangan, peneliti juga
berperan sendiri dalam menentukan sumber data dan juga
informan, mengumpulkan data yang diperoleh dari observasi,
wawancara dan dokumentasi serta menganalisis data secara
eksploratif dan membuat kesimpulan sebagai hasil akhir dari
penelitian.
2. Instrumen pendukung
Instrumen pendukung digunakan untuk membantu dan
mempermudah peneliti mengumpulkan data penelitian, instrumen
pendukung dapat melengkapi data yang didapat melalui observasi
dan wawancara.
a) Observasi
Observasi atau dapat disebut sebagai pengamatan
merupakan suatu teknik pengumpulan data yang sangat
berkontribusi dalam sebuah penelitian kualitatif. Pada saat
melakukan sebuah observasi, peneliti akan melihat,
mendengar dan memahami apa yang diteliti. Observasi
membuat peneliti melihat proses yang terjadi di lapangan,
sehingga dapat membantu peneliti itu sendiri untuk
mengumpulkan data. Metode observasi yang digunakan
yaitu jenis observasi tak terstruktur, observasi yang tidak

35
disiapkan secara sistematis tentang apa yang diobservasi
(Sugiyono, 2016). Sehingga, peneliti dapat melakukan
pengamatan bebas, mencatat hal-hal yang ada dan akan
berkembang selama kegiatan observasi berlangsung.
Hal-hal yang menjadi fokus peneliti dalam tahapan
observasi yang berkaitan dengan aktivitas menenun para
pengrajin yang terintegrasi dengan matematika, yaitu:
1) Menghitung
 Waktu yang diperlukan untuk memintal kapas
menjadi benang.
 Waktu yang diperlukan untuk menggulung
benang.
 Waktu yang diperlukan untuk mewarnai
benang.
 Waktu yang diperlukan untuk mencuci benang
yang diwarnai.
 Waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan
benang setelah benang diwarnai.
 Waktu yang dibutuhkan untuk membentang
benang.
 Banyaknya utas benang pada tiap lajur benang
dan lajur untuk motif.
 Banyaknya benang untuk menghasilkan satu
kain tenun.
 Waktu yang yang dibutuhkan untuk menenun
sampai menghasilkan satu kain tenun.
 Menentukan harga jual kain tenun.
2) Mengukur
 Mengukur besarnya genggaman kapas untuk
menghasilkan 1 gulungan benang.

36
 Mengukur besarnya gulungan benang.
 Mengukur takaran pewarna alami, pewarna
kimia dan pewarna belerang.
 Mengukur alat bantu yang digunakan dalam
aktivitas menenun.
 Mengukur lebar satu kain tenunan.
 Mengukur motif kain tenun.
3) Membandingkan
 Membandingkan waktu yang diperlukan dalam
menghasilkan kain tenun menggunakan kapas
dan benang asli.
 Membandingkan harga kain tenun dengan
pewarna alami, pewarna kimia dan pewarna
belerang.
 Membandingkan waktu yang diperlukan dalam
mewarnai benang dengan pewarna
alami,pewarna kimia dan pewarna belerang.
 Membandingkan ukuran pintalan benang dan
banyaknya pintalan benang.
 Membandingkan banyaknya pintalan benang
dengan ukuran motif yang dihasilkan.
 Membandingkan harga jual kain tenun.
4) Bentuk geometri pada motif tenun
Berbagai motif hasil pengembangan penenun
sekaligus membedakan harga jual.
5) Unsur etnomatematika pada alat tenun
Mengamati ada atau tidak ada unsur
etnomatematika pada alat tenun yang digunakan.

37
b) Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data
dengan cara tanya jawab terhadap informan penelitian.
Esterberg (dalam sugiyono, 2006 hlm.260) mendefinisikan“
Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui Tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topic tertentu ”.
Selanjutnya Stainback (dalam sugiyono, 2006 hlm.261)
mengemukakan bahwa“ Dengan wawancara peneliti akan
mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan
dalam menginterprestasikan situasi dan fenomena yang
terjadi, di mana hal ini tidak bisa ditemukan dalam
observasi”. Tujuan utama dilakukan wawancara adalah
untuk mengetahui hal-hal dari responden yang lebih
mendalam, di mana hal ini tidak ditemukan melalui
observasi. Teknik wawancara yang digunakan yaitu
wawancara semi terstruktur. Jenis wawancara ini sudah
termasuk dalam kategori in-depth interview, tujuan dari
wawancara jenis ini adalah untuk menemukan
permasalahan lebih terbuka, di mana pihak yang diajak
wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam
melakukan wawancara, peneliti perlu mengadakan secara
teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh responden
dan menggunakan instrumen pembantu yaitu alat merekam.
Pertanyaan-pertanyaan yang akan dijadikan landasan untuk
mendapat informasi dari narasumber, yaitu:
1) Pada tahapan pembuatan benang
 Berapa besarnya genggaman kapas untuk
menghasilkan satu gulungan benang?
 Berapa banyak benang untuk menghasilkan satu
gulungan?

38
 Berapa banyak gulungan yang diperlukan untuk
menenun satu motif tenunan?
2) Pada tahapan menenun
 Bagaimana cara menentukan ukuran lebar dan
panjang kain tenun dari alat yang digunakan?
 Bagaimana cara mendapatkan tenunan yang
memiliki motif bentuk geometri?
 Berapa lama waktu yang digunakan untuk
menghasilkan satu kain tenun?
3) Pada tahapan penjualan
 Bagaimana cara menentukan harga jual kain?
 Apa yang mendasari penentuan harga jual kain
yang bervariasi?

D. Metode Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan
data. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik
triangulasi yang terdiri dari observasi, wawancara dan dokumentasi.
a. Observasi
Observasi dilakukan dengan cara melihat, mengambil gambar dan
mengambil video (menggunakan handphone) dan mencatat hasil
pengamatan aktivitas menenun kelompok tolfe’u kecamatan fatuleu
tengah. Melalui kegiatan observasi peneliti akan mendapatkan data
berupa foto, video, dan catatan lapangan. Selain mengumpulkan data,
Pada pengumpulan data ini peneliti melakukan teknik observasi
partisipatif yaitu peneliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari selama
proses menenun.
b. Wawancara
Wawancara mendalam dilakukan dengan mengajukaan pertanyaan-
pertanyaan terbuka yang memungkinkan responden memberikan

39
jawaban secara luas. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data
dari narasumber berkaitan dengan tahapan membuat benang, tahapan
menenun, dan tahapan penjualan kain tenunan. Hasil dari wawancara
diperoleh dalam bentuk catatan aktifitas menenun. Pada pengumpulan
data ini peneliti melakukan teknik wawancara semi terstruktur dimana
wawancara dilakukan lebih bebas dengan tujuan menemukan
permasalahan secara lebih terbuka.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan
melihatnya dalam dokumen-dokumen yang ada. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, foto, video ataupun film. Dokumentasi aktivitas
menenun kelompok Tolfe’u, kecamatan Fatuleu Tengah.

E. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Model Interaktif. Miles dan Huberman mengungkapkan bahwa analisis
data kualitatif meliputi: reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan yang mengalir secara berkesinambungan dan saling
berinteraksi (Siswanto & Suyanto, 2019).

1. Reduksi data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian untuk
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data
dilakukan terus-menerus selama penelitian hingga data benar-benar
terkumpul dan laporan akhir selesai. Tahapan reduksi data berlangsung
selama pengumpulan data (membuat ringkasan, mengkode, menelusur
tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo).
2. Penyajian data
Penyajian data sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

40
tindakan/kesimpulan. Dalam penelitian ini, data-data disajikan dalam
bentuk narasi deskriptif. Penyajian datanya berupa karakteristik
etnomatematika pada aktivitas menenun kelompok Tolfeu, kecamatan
Fatuleu Tengah.
3. Menarik kesimpulan dan verifikasi
Dari permulaan pengumpulan data, peneliti mencari keteraturan, pola-
pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-
akibat dan proporsi. Artinya, dalam penarikan kesimpulan harus
berdasarkan data yang diperoleh.

F. Keabsahan Data
Keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan agar data dapat
dipercaya dan dipertanggung jawabkan kebenarannya. Pengecekan
keabsahan data merupakan suatu langkah untuk mengurangi kesalahan
dalam proses perolehan data penelitian. Dalam proses pengecekan
keabsahan data pada penelitian ini harus melalui beberapa teknik
pengujian data. Keabsahan data yang akan peneliti lakukan adalah sebagai
berikut :
1. Perpanjangan pengamatan, yang bertujuan agar data yang diperoleh
lebih lengkap, proses mendapatkan data tersebut tidak buru-buru.
2. Peningkatan ketekunan, artinya penelitian yang dilakukan oleh
peneliti terlaksana secara rutin, sehingga peneliti benar-benar
memahami seluk beluk atau prosedur pembuatan kain tenun
kelompok tolfe’u.
3. Triangulasi, William Wiersma (dalam Sugiyono, 2016) mengatakan
trigulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai
pengecekan data berbagai sumber dengan berbagai cara, dan
berbagai waktu. Triangulasi dilakukan dengan cara membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh dari responden yang satu ke responden yang lain. Hal itu

41
dapat dicapai dengan jalan membandingkan data hasil pengamatan
dengan data hasil wawancara.

G. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah suatu rancangan perencanaan yang
terperinci dan spesifik mengenai cara memperoleh , menganalisa dan
menginteprestasikan data sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam
penelitian. Untuk mencapai tujuan penelitian, maka peneliti menggunakan
langkah-langkah prosedur penelitian sebagai berikut :
1. Pendahuluan
Tahap pendahuluan ini terdiri dari Peneliti menentukan lokasi dan
subjek penelitian. Peneliti memilih daerah penelitian di kampung tenun
Timor, desa Nunsaen, kecamatan Fatuleu Tengah, kabupaten Kupang.
Subjek penelitian yaitu pengrajin kampung tenun Timor Fatuleu
Tengah (kelompok Tolfe’u). Selanjutnya mengamati aktivitas menenun
kelompok Tolfe’u, kecamatan Fatuleu Tengah yang bertujuan untuk
mendapat fokus penelitian dan mempermudah pembuatan instrumen
penelitian.
2. Pembuatan Instrumen
Tahapan persiapan yang dilakukan yaitu membuat instrumen penelitian
berupa observasi, wawancara dan dokumentasi. Instrumen yang dibuat
berdasarkan pengamatan awal yang telah dilakukan oleh peneliti
mengenai aktivitas menenun kelompok Tolfe’u, kecamatan Fatuleu
Tengah. Observasi digunakan sebagai pedoman penelitian dalam
melakukan observasi. Sedangkan wawancara digunakan untuk
menuliskan garis besar pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepada
pengrajin tenun saat melakukan wawancara. Wawancara yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur, yaitu
melakukan wawancara dengan pedoman wawancara yang sudah
disiapkan, tetapi tidak menutup kemungkinan pertanyaan dalam

42
wawancara tersebut berkembang. Dan dokumentasi yaitu hasil
instrumen berupa dokumen.
3. Pelaksanaan instrument
Melakukan pengambilan data terhadap informan melalui teknik
observasi, wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan ketiga teknik
tersebut peneliti membuat catatan di lapangan.
4. Menguji keabsahan data yang dilakukan dengan menggunakan
triangulasi sumber yaitu peneliti melakukan pengumpulan data dari
bebarapa sumber yang berbeda dengan menggunakan metode yang
sama dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara dan
observasi.
5. Melakukan analisis data yang dilakukan dengan cara reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan.
6. Memperoleh temuan etnomatematika dalam aktivitas menenun
kelompok Tolfe’u, kecamatan Fatuleu Tengah.
7. Merancang perangkat pembelajaran berdasarkan etnomatematika dalam
aktivitas menenun kelompok Tolfe’u Kecamatan Fatuleu Tengah
sebagai integrasi dalam pembelajaran matematika.

43
Berdasarkan langkah-langkah prosedur penelitian diatas, peneliti menggambarkan
rancangan sebagai berikut:

Pendahuluan

Pembuatan Instrumen

Pelaksanaan Instrumen

Menguji keabsahan data

Melakukan analisis data

Memperoleh etnomatematika

Memperoleh etnomatematika

Gambar 3.1 Prosedur Penelitian

44
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Lang Ere. (2020). Eksplorasi Etnomatematika Pada Kain Tenun
Alor. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika. FKIP . Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa.
Alfonsa M. Abi. (2016). Integrasi Etnomatematika Dalam Kurikulum Matematika
Sekolah. Jurnal Pendidikan Matematika Indonesia. 1(1), 1-6. Prodi
Pendidikan Matematika STKIP SOE , NTT, Indonesia.
Almu Noor Romadoni. (2017). Aspek-Aspek Etnomatematika Pada Budaya
Masyarakat Banjar Dan Penggunaan Aspek-Aspek Tersebut Untuk
Pengembangan Paket Pembelajaran Matematika. Tesis. Program
Magister Pendidikan Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika Dan
Ilmu Pengetahuan Alam. FKIP. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Asterius Juano & Mariana Jediut. (2016). Eksplorasi Etnomatematika Dan
Hubungannya Dengan Konsep Geometri Pada Matematika Sekolah Dasar
Dalam Budaya Masyarakat Manggarai. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan Missio. 11(2), 179-316. Pendidikan Guru Sekolah Dasar .
Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng.
Deda, Y. N., & Disnawati, H. (2017). Hubungan motif kain tenun masyarakat
Suku Dawan–Timor dengan matematika sekolah.
Dominikus. (2018). Etnomatematika Adonara. Malang: Media Nusa Creative.
Dominikus. (2018). Orasi Ilmiah Literasi Matematika Dalam Budaya Menuju
Pembelajaran Berbasis Budaya. Tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/328402821_LITERASI_MATE
MATIKA_DALAM_BUDAYA_Orasi_Ilmiah_pada_Wisuda_Perdana_ST
KIP_Nusa_Bunga_Floresta_Nagekeo. Diakses September 2018
Dominikus. (2019). Pembelajaran Matematika Berbasis Etnomatematika (PMBE).
Prosiding of Seminar Nasional Pendidikan Matematika Universitas Nusa
Cendana “Peran Pendidikan Matematika Dalam Era Revolusi Industri
4.0”, Kupang: 21 Juni 2019. Hal. 8-13.

45
Faiq Al Ahadi. (2020). Eksplorasi Etnomatematika Pada Suku Samin Dan
Hubungannya Dengan Konsep-Konsep Matematika Dalam Pembelajaran
Kontekstual. Tesis. Program Studi Pendidikan Matematika. Pascasarjana.
Universitas Negeri Semarang.
Gytha Larasati Jerry. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Universitas
Pendidikan Indonesia. Perpustakaan UPI.
Linda Indiyarti Putri. (2017). Eksplorasi Etnomatematika Kesenian Rebana
Sebagai Sumber Belajar Matematika Pada Jenjang MI. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Dasar Vol. IV No 1 . Unwahas Semarang.
Leni Zuli Isnawati. (2017 ). Etnomatematika Pada Motif Sulam Usus Dalam
Bahasan Geometri. Skripsi. Jurusan Pendidikan Matematika . Fakultas
Tarbiyah Dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Rahmat Wastio Wicaksono. (2019). Eksplorasi Etnomatematika Pada Seni
Puncak Silat Kepulauan Riau Sebagai Sumber Penyusunan Bahan Ajar
Matematika. Skripsi. Pogram Studi Pendidikan Matematika. FKIP.
Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Rhofy Nur Khairadiningsih. (2015). Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Suku
Madura Di Situbondo. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika.
Jurusan Pendidikan MIPA. FKIP. Universitas Jember.
Septi Indriyani. ( 2017). Eksplorasi Etnomatematika Pada Aksara Lampung.
Skripsi. Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung.
Sulaiman, H. (2019). Aktivitas Matematika Berbasis Budaya Pada Masyarakat
Pesisir Di Pasar Ikan Gebang Kabupaten Cirebon. Mapan: Jurnal
Matematika dan Pembelajaran. 7(1), 61-73 . FKIP. Universitas Swadaya
Gunung Jati Cirebon.

46

Anda mungkin juga menyukai