Anda di halaman 1dari 9

JUDUL : TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN LAMBANG

PALANG MERAH DALAM HUKUM HUMANITER


INTERNASIONAL
PENULIS JURNAL : Kukuh Natan H. Manik, Joko Setiyono,
Nuswantoro Dwiwamo.
TAHUN DITERBITKAN : Tahun 2016

PENDAHULUAN

Garis Besar
Jurnal ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang
penggunaan lambang palang merah dalam Hukum Humaniter Internasional
dan ditinjau dari segi yuridis. Jurnal ini dilakukan dengan metode
pendekatan yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif
analitis. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Analis is data menggunakan metode secara kualitatif. Berdasarkan jurnal
dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penggunaan lambang Palang
Merah Internasional sudah diatur dalam instrumen Hukum Humaniter
Internasional, yakni dalam Konvensi Jenewa I dan II 1949, dan Protokol
Tambahan I dan II 1977, dan penyerangan terhadap petugas medis dan
benda-benda medis merupakan sebuah pelanggaran terhadap Hukum
Humaniter Internasional, yang masuk dalam kategori sebagai kejahatan
perang.
Konflik bersenjata adalah suatu kejadian yang harus ditempuh
apabila sudah tidak ada lagi jalan penengah. Selain itu, konflik bersenjata
merupakan sebuah bencana mengerikan bagi umat manusia. Selama konflik,
kombatan merupakan unsur terpenting dalam setiap konflik bersenjata, di
sisi lain juga terdapat petugas medis yang bertugas untuk menyembuhkan
kondisi setiap korban. Selama menjalankan tugasnya setiap petugas medis
dan perlengkapan medis yang digunakan haruslah terdapat tanda pengenal
berupa palang berwarna merah di atas dasar putih polos. Setiap petugas
medis dan benda – benda yang digunakan tersebut haruslah selalu dihormati
dan dilindungi.

Identifikasi Gap
Meski sudah ada peraturan yang mengatur tentang perlindungan
terhadap Palang Merah dalam Hukum Humaniter Internasional ternyata
masih banyak ditemukan kasus pelanggaran. Seperti yang telah disebutkan
dalam jurnal ini, yaitu penggunaan ban di lengan ini tidak berjalan secara
efektif, karena pada kenyataannya ban pada lengan tersebut tidak dapat
dikenali oleh kombatan sehingga banyak dari petugas medis tersebut terluka
dan tertembak akibat kurang jelasnya tanda pengenal yang mereka kenakan.
Penyerangan terhadap petugas medis juga kerap kali terjadi, seperti pada
kasus di Afghanistan pada tahun 2011. Banyak orang mati sia-sia karena
jalan menuju rumah sakit sangat berbahaya. Petugas medis dan ambulans
seringkali diserang bahkan rumah sakit juga ditembaki.

Data
Pada tahun 1876 Turki adalah negara Islam pertama yang
menerapkan pemakaian lambang palang merah di atas dasar putih guna
menghargai swiss. Masyarakat internasional menggunakan lambang
alternatif Merah Bulan Sabit dan memberikan bantuan-bantuan
kemanusiaan. Selama perang dunia I, The Oneman Sociery for Relief to the
Wounded menyediakan perawatan medis dan bantuan untuk yang terluka.
Sedangkan pada kasus lainnya di mana salah satu relawan Arab
meninggal dan lainnya terluka saat bertugas, lalu seorang petugas medis
bernama Al-Yunassef dan dua orang lainnya ditembaki hingga tewas, selain
itu di Suriah juga telah hancur sebuah rumah sakit dan penyerangan sebuah
ambulans saat mengevakuasi korban.

Klaim Penulis
Berdasarkan jurnal dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
penggunaan lambang Palang Merah Internasional sudah diatur dalam
instrumen Hukum Humaniter Internasional, yakni dalam Konvensi Jenewa I
dan II 1949, dan Protokol Tambahan I dan II 1977, dan penyerangan
terhadap petugas medis dan benda-benda medis merupakan sebuah
pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional, yang masuk dalam
kategori sebagai kejahatan perang. Penggunaan lambang Palang Merah
Internasional ditujukan untuk perlindungan bagi personil medis dan
angkatan bersenjata. Dalam pemberian keleluasaan saat bertugas. Palang
Merah diberikan perlindungan dan dihormati di Medan perang.
Adapun saran yang dapat diberikan penulis dalam jurnal ini adalah
sangat diperlukan penyebarluasan pengetahuan dan pembekalan
pengetahuan Hukum Humaniter Internasional kepada para pihak yang
bersengketa, setiap personil meliter, pejabat pemerintah, rakyat sipil dan
pihak netral yang berada di dalam medan perang untuk memberikan
perlindungan bagi anggota medis dan lebih memperhatikan bangunan yang
diperuntukkan untuk kegiatan medis. Hal tersebut sesuai dengan Konvensi
Jenewa I dan II 1949, dan Protokol Tambahan I dan II 1977.

SUBSTANSI
Dengan adanya pengaturan terhadap pemakaian lambang maka
memberikan penegasan jelas pemberian warna putih dan merah
melambangkan kesucian dan perlindungan serta pengobatan. Adanya suatu
tanda yang diberikan untuk layak masyarakat atau umum maka terdapat
pula akibat atau dampak terhadap penggunaannya. Ada dua dampak dari
adanya pengaturan penggunaan lambang Palang Merah Internasional itu,
yaitu dampak positif dan dampak negatif.

Dampak Positif
Dampak positif yang didapatkan yaitu Sebagai tanda pengenal bagi
organisasi kesehatan, dengan mengingat banyaknya konflik perang
internasional maupun nasional. Tanda pengenal ini berfungsi agar para
tenaga medis yang bertugas dapat dikenal dengan memiliki identitas yang
jelas dan mendapatkan keamanan serta melindungi keselamatan diri dari
pihak-pihak yang berkonflik. Selain memberikan identitas terhadap para
tenaga medis, lambang juga memberikan identitas sekaligus perlindungan
bagi para unit transportasi dan unit lain yang terkait dengan organisasi
kesehatan seperti rumah sakit, ambulans serta transportasi seperti kapal dan
pesawat. Unit transportasi sebagai sarana penolong korban misalnya kapal,
terbagi atas dua jenis yaitu kapal keschatan militer dan non militer yang
keduanya sama-sama berfungsi untuk membantu korban yang terluka, sakit,
korban karam dan tujuan kegiatan medis lainnya. Dengan adanya peraturan
terhadap penggunaan lambang palang merah internasional, maka kapal
keschatan yang termasuk dalam sarana penolong korban mendapat
perlindungan berupa larangan untuk mendapat serangan dari pihak yang
berkonflik.
Pasal 26 Konvensi Jenewa I telah menetapkan bahwa Lambang
Palang Merah juga digunakan oleh Perhimpunan Nasonal yang resmi dari
negara peserta Konvensi. Adanya konsekuensi apabila melakukan
penyalahgunaan terhadap lambang palang merah yang telah diatur dalam
Pasal 53 ayat (1) Konvensi Jenewa I mengatur larangan penyalahgunaan
lambang yakni peniruan lambang atau sebutan "Palang Merah" atau "Palang
Jenewa" yang dilakukan oleh perseorangan, perkumpulan, perusahaan atau
perseroan dagang baik pemerintah maupun swasta.

Dampak Negatif
Di medan perang yang dibuat dengan tujuan untuk melindungi para
tenaga medis serta sarana penolong korban perang diabaikan oleh para
pelaku kejahatan, sehingga tindakan penyerangan dapat terjadi. Selain itu,
pelanggaran lainnya seperti penyalahgunaan lambang. Setiap
penyalahgunaan lambang dapat menghilangkan nilai perlindungan dari
lambang yang bersangkutan dan merongrong keefektifan tindakan
pemberian bantuan kemanusiaan. Dalam penyalahgunaan lambang bisa
dilakukan dengan cara peniruan / imitasi yaitu penggunaan sebuah tanda
tertentu yang bentuk atau warnanya dapat dirancukan dengan salah satu dari
ketiga lambang tersebut.

Kritik
Belum adanya solusi terhadap penyalahgunaan lambang palang
merah yang dikeluarkan oleh pihak berwajib seperti komite Internasional.
Palang Merah yang beberapa tahun ini masih menjadi permasalahan didunia
perang, masih belum ada pembaharuan peraturan terhadap perlindungan
yang lebih kuat posisinya sehingga tidak dapat diganggu lagi oleh pihak
pelaku perang. Palang Merah yang bertugas disekitaran medan perang,
untuk menghindari kegiatan yang dapat melanggar perang yaitu dengan
mendisiplinkan anggota militer dengan menanamkan rasa hormat dan harus
dilindungi terhadap petugas medis, dalam instrumen hukum humaniter yang
mengatur tentang peperangan telah memberikan aturan bagi pelanggar
hukum perang namun yang membuat lemah dari pihak ini adalah adanya
kemungkinan pihak-pihak yang berkerjasama dalam kelangsungan perang
untuk memenuhi kepentingan masing-masing

Urgensi
Kesatuan medis militer dari suatu negara, memiliki tanda pengenal
sendiri-sendiri. Akibatnya, seringkali kesatuan medis menjadi sasaran pihak
lawan karena tidak dikenali sebagai kesatuan yang bertugas menolong
korban perang. Akhirnya pada tahun 1863, berlangsung Konferensi
Internasional I di Jenewa, Swiss, yang dihadiri oleh 16 negara. Negara-
negara menyadari perlunya tanda yang sama untuk anggota kesatuan medis
militer. Tanda itu harus berstatus netral dan dapat menjamin perlindungan
terhadap mereka di medan perang. ICRC sendiri lahir dari pemikiran Henry
Dunant yang menginginkan adanya suatu lembaga yang netral sehingga
dapat memberikan bantuan medis atau kemanusiaan secara maksimal,
efektif, dan yang efisien untuk. membantu korban dari kalangan penduduk
sipil maupun militer (Dunant 1862).
Lambang Palang Merah Internasional sudah diatur dalam instrumen
Hukum Humaniter Internasional, yakni dalam Konvensi Jenewa I dan II
1949, dan Protokol Tambahan I dan II 1977, dan penyerangan terhadap
petugas medis dan benda-benda medis merupakan sebuah pelanggaran
terhadap Hukum Humaniter Internasional, yang masuk dalam kategori
sebagai kejahatan perang (Kusumo and Tejomurti 2015).
Sebagai bentuk penghormatan terhadap negara Swiss, Konferensi
Internasional sepakat menggunakan lambang Palang Merah di atas dasar
putih, sebagai Tanda Pengenal untuk kesatuan medis militer dari setiap
Negara. Lambang tersebut diambil dari warna kebalikan bendera nasional
Swiss, palang putih di atas dasar merah. Pada tahun itu pula, Komite
Internasional untuk Pertolongan bagi Tentara yang Terluka berganti nama
menjadi Komite Internasional Palang Merah (International Committee of
the Red Cross) atau ICRC.
Perlindungan benda sejarah dalam Konvensi ini sudah merinci
lambang yang menandakan benda budaya yang dilindungi dibawah
Konvensi Den Haag 1907 (Al-Dawoody and Murphy 2020). Menjadi
patokan resmi bahwa lambang tersebut diberikan kepada objek-objek yang
tidak boleh diserang oleh kekuatan militer seperti yang tercantum dalam
pasal 1. Kewajiban negara pada masa damai ialah, membuat peraturan,
mensosialisasikan, melakukan diseminasi terhadap semua aspek yang
menjadi garda terdepan untuk menjaga benda budaya yaitu; militer,
kepolisian, pertahanan sipil, badan SAR, pemadam kebakaran, aparatur
pegawai negeri sipil, hingga masyarakat, agar mengetahui apa yang harus
dilakukan terhadap benda budaya yang telah memiliki lambang
perlindungan umum maupun khusus pada masa konflik bersenjata nantinya.
(Nugraha 2019).
Melakukan tindakan-tindakan nyata dan konkrit bagi korban-korban
sengketa bersenjata, Misalnya diatur bahwa pihak-pihak yang bersengketa
harus memperhatikan hak-hak dari mereka yang terluka (Setiyono 2017).
Jadi, jika ada seseorang yang terluka baik dari pihak militer ataupun warga
biasa harus tetap mendapatkan hak perlindungan. Selain itu, ada beberapa
benda yang harus dilindungi atau tidak boleh dihancurkan. Benda benda ini
dapat dicontohkan sebagai ambulans, rumah sakit, kapal laut, dan pesawat
terbang. Instrumen Hukum Humaniter Internasional dalam hal ini
memberikan perlindungan terhadap benda tersebut melalui Protokol
Tambahan I 1977 dalam Pasal 8 poin E (Happold 2000).
Konflik tersebut adalah konflik lintas batas negara maupun konflik
dalam suatu negara yang melanggar asas-asas universal, salah satu
contohnya adalah munculnya gerakan-gerakan pemberontak radikal di
sekitar wilayah Timur Tengah seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)
(Muhammadin 2016)
Pada tahun 2017 PANTAP melakukan koordinasi antar instasi
pemerintahan dalam usaha mengesahkan aturan hukum mengenai lambang
kepalangmerahan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang
Kepalangmerahan, memperkuat kududukan Palang merah Indonesia,
melakukan kegiatan diseminasi bersama ICRC dan kalangan akademik
bertemakan isu hukum humaniter, mengkoordinasi rencana pembentukan
rancangan peraturan pelaksanaan Undang-Undang kepalangmerahan,
merancang RUU tentang perlindungan benda cagar budaya pada masa
konflik bersenjata, sesi diseminasi hukum humaniter kepada pejabat
pemerintahan di pusat maupun di daerah dengan isu tematik: perlindungan
benda cagar budaya. (Nugraha 2019).
Pengakuan negara juga dibuktikan dengan keikutsertaan negara-
negara penandatanganan Konvensi Jenewa dalam Konferensi Internasional
Palang Merah yang secara aktif dipersiapkan dan diikuti oleh ICRC, sejak
Konferensi I di Paris tahun 1867 sampai Konferensi XXVI di Jenewa tahun
1995. Selain itu, negara-negara di hampir seluruh dunia mengizinkan ICRC
melakukan aktivitas di dalam wilayahnya yang memerlukan bantuan
kemanusiaan (Setiyono 2017).
Konflik Bersenjata dinilai sebagai sebuah bencana mengerikan bagi
umat manusia karena dilaksanakan dengan intensitas kekerasan yang tinggi.
Saat berlangsungnya konflik bersenjata, setiap negara yang sedang terlibat
haruslah dapat memastikan kepatuhan dari setiap anggota militernya dan
mengontrol dengan ketat pematuhan penghormatan terhadap petugas medis
yang sedang bertugas. haruslah dapat mengambil langkah langkah
mencegah terjadinya tersebut, seperti (Icrc and International Federation of
Red Cross and Red Crescent Societies 2008) :
 Dengan menyebarluaskan aturan tersebut seluas mungkin di antara
kekuatan militer, pasukan polisi, pemerintah dan penduduk sipil
 Dengan kepada otoritas sipil dan militer nasional Setiap negara tersebut
yang tepat untuk dapat penyerangan menerbitkan petunjuk tentang khas
penggunaan lambang Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan. Negar
tersebut juga diharuskan sesuai dengan menyiapkan sanksi disiplin,
sanksi administrasi dan sanksi pidana.
Saat konflik bersenjata, kombatan merupakan bagian yang penting.
Disamping itu dokter atau medis merupakan juga komponen yang
diperlukan selama konflik Mereka bergerak di bidang kemanusiaan dan siap
untuk melakukan tugasnya yakni melindungi kondisi korban perang dari
kondisi luka, sakit, dan tindak kekerasan lainnya. Petugas medis ini petugas
berlangsungnya bersenjata. bekerja di tempat berlangsungnya konflık
bersenjata sekalıgus bekerja sama dengan petugas medis militer negara yang
sedang berkonflik (Verri 1992).
Berdasarkan pengalamannya Henry Dunant menulis sebuah buku
yang berjudul A Memory of Solferino (kenangan di Solferino). Buku ini
diterbitkan dengan biaya sendiri pada 1862. Dunant melalui bukunya
mengusulkan dibentuknya suatu perhimpunan bantuan kemanusiaan
nasional di tiap negara yang dapat dikenali melalui penggunaan sebuah
lambang bersama dan mengusulkan pula diadopsinya sebuah perjanjian
internasional yang melindungi para korban luka di medan perang (Dunant
1862)

Kontribusi
Kepentingan atau kontribusi yang ada dalam jurnal ini, yaitu bahwa
ICRC atau Palang Merah Internasional dan implementasi Hukum Humaniter
Internasional Sebagai kontributor atau yang mengkontribusi utama adopsi
dan interpretasi dari Konvensi Jenewa I dan II 1949, ICRC dianggap
sebagai penjaga mereka (Kuster 1862). Konsekuensi tersembunyi dari
karakterisasi ini adalah bahwa ICRC memiliki wewenang untuk
mengingatkan para pihak pada konflik bersenjata tentang kewajiban mereka
berdasarkan Konvensi Jenewa.
ICRC dapat menegur pihak-pihak yang bertikai jika selama operasi
militer mereka melakukan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa, dan
menuntut penghentian langsung mereka. Dalam kasus-kasus ekstrem, ICRC
bahkan dapat secara terbuka mencela pelanggaran-pelanggaran ini, jika
pelanggarannya sangat besar dan berulang, upaya lain gagal, dirasa sebagai
kepentingan para korban untuk secara terbuka mencela pelanggaran.

PENUTUP

Penggunaan lambang Palang Merah Internasional sudah diatur,


maka dalam instrumen Hukum Humaniter Internasional yang berupa
Konvensi Jenewa I 1949, Protokol Tambahan I dan II dengan penggunaan
Lambang Palang Merah Internasional, instrumen 1977. Terkait Hukum
Humaniter Internasional tersebut telah mengatur bahwa Lambang
Internasional haruslah berbentuk Palang Merah palang berwarna merah di
atas dasar putih polos. Selain itu juga diatur mengenai cara penggunaannya
bagi para petugas medis saat melaksanakan tugas kemanusian, lambang
Internasional berada di lengan kiri sehingga dapat terlihat dengan jelas.
selain petugas medis dalam hal yaitu Palang haruslah Merah Sedangkan
bagi ini adalah kendaraan medis dan rumah sakit, maka Lambang Palang
tersebut haruslah dibuat secara Merah Internasional proporsional terlihat
dari kejauhan oleh para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Selain
itu juga telah diatur sehingga dapat mengenai larangan penyalahgunaan
Lambang Palang Merah Internasional seperti tipu melakukan muslihat oleh
para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata.
Penyerangan terhadap petugas medis sudah banyak terjadi, salah
satunya terdapat di wilayah Suriah dan Darfur. Penyerangan terhadap
petugas medis tersebut ada yang bersifat fisik, antara lain berupa
pembunuhan, pelecehan penghilangan paksa, dan non fisik yang berupa
perampasan kebebasan, ancaman, pelarangan melaksanakan tugas. Menurut
Pasal 8 Statuta Roma 1998, tindakan penyerangan terhadap tindakan dalam
kasus yang penyiksaan, seksual dan dilindungi orang-orang termasuk
didalam petugas medis berdasarkan ketentuan Konvensi yang Jenewa 1949
merupakan sebuah kejahatan perang. Dalam Hukum Humaniter
Internasional terhadap para pelaku kejahatan perang dapat diadili melalui
mekanisme internasional maupun nasional suatu negara.
Saran yang perlu dilakukan oleh para kombatan, guna menekan
terjadinya penyerangan terhadap petugas medis, dan untuk negara pihak
yang sedang berperang haruslah dapat menangkap para pelaku pelanggar
dan dapat memperberat sanksi bagi para pelanggar agar para kombatan
lainnya lebih berhati – hati selama bertempur dan tidak menyerang petugas
medis atau benda – benda medis lainnya, dan hal inilah yang diharapkan
sebagai bentuk penghormatan terhadap para pihak yang terlibat dalam
peperangan.
Bibliography

Al-Dawoody, Ahmed, and Vanessa Murphy. 2020. “International


Humanitarian Law, Islamic Law and the Protection of Children in
Armed Conflict.” International Review of the Red Cross 1–23.
Dunant, Henry. 1862. A Memory of Solferino.
Happold, Matthew. 2000. “The Optional Protocol to the Convention on the
Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed
Conflict.” Yearbook of International Humanitarian Law 3(2000):226–
44.
Icrc, and International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.
2008. HANDBOOK OF THE INTERNATIONAL AND RED
CRESCENT of the International Red Cross.
Kuster, Etienne. 1862. International a Comprehensive Introduction.
Kusumo, Ayub Torry Satriyo, and Kukuh Tejomurti. 2015. “Alternatif Atas
Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional Dalam Konflik
Bersenjata Melawan ISIS.” JURNAL Yustisia 4(3):639–64.
Muhammadin, Fajri Matahati. 2016. “Achieving an Honest Reconciliation:
Islamic and International Humanitarian Law.” Mimbar Hukum -
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 27(3):579.
Nugraha, Taufik Rachmat. 2019. “Urgensi Perlindungan Benda Bersejarah
Di Indonesia Berdasarkan HHI.” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada 31(3):384–401.
Setiyono, Joko. 2017. “Peran Icrc Dalam Perkembangan Hukum Humaniter
Internasional Di Era Global.” Law Reform 13(2):217.
Verri, Pietro. 1992. Dictionary of the International Law of Armed Conflict.

Anda mungkin juga menyukai