Anda di halaman 1dari 41

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Agustus 2020


UNIVERSITAS PATTIMURA

BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA (BPH)

Oleh :
Vallery Betascha V.T Anakotta
2014-83-039

Pembimbing :
Dr. Achmad Tuahuns., Sp.B, FINACS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
PENDAHULUAN

Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering

ditemukan pada pria yang memasuki usia lanjut. Istilah BPH atau benign

prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat

hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.1,2,3

Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat

Hiperplasia (BPH) yang bergejala pada pria berusia 40–49 tahun mencapai hampir

15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50–59

tahun prevalensinya mencapai hampir 5% dan pada usia 60 tahun mencapai angka

sekitar 43%. Angka kejadian BPH di Indonesia sebagai gambaran hospital

prevalensi di dua Rumah Sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras

selama 3 tahun (1994–1999) terdapat 1040 kasus.1

Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang

menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari

pembesaran kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher

buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO).

Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut

sebagai benign prostate obstruction (BPO).1,5 Obstruksi ini lama kelamaan dapat

menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan

komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.

Adanya BPH ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih

dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai
dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai

tindakan yang paling berat yaitu pembedahan.1

Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan

pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada

regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari

pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,

konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari

keganasan prostat.5 Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur,

ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi.

Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar

33%.

DEFINISI

Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya adalah suatu keadaan dimana

kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan

prostat yang asli ke perifer. Selain itu, BPH merupakan pembesaran kelenjar

prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki yang biasanya pada

usia pertengahan atau lanjut.4


Gambar 3. Benign Prostat Hyperplasia
I. ANATOMI PROSTAT

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah

inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk seperti

pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang mengelilingi

uretra pars prostatica. Bila mengalami pembesaran organ ini menekan uretra pars

prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Prostat

merupakan kelenjar aksesori terbesar pada pria; tebalnya ± 2 cm dan panjangnya

± 3 cm dengan lebarnya ± 4 cm, dan berat 20 gram.

Gambar 1. Alat Reproduksi Pria

Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus : 3

a. Lobus medius

b. Lobus lateralis (2 lobus)

c. Lobus anterior
d. Lobus posterior

Pada kelenjar prostat juga dibagi dalam 5 zona : 3

a. Zona Anterior atau Ventral .

Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma

fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.

b. Zona Perifer

Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar

prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal

karsinoma terbanyak.

c. Zona Sentralis.

Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus

tengah meliputi 25% massa glandular prostat.Zona ini resisten terhadap

inflamasi.

d. Zona Transisional.

Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai

kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang

lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular

anterior menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH).

e. Kelenjar-Kelenjar Periuretra

Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar

abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.


Gambar 2. Zona Kelenjar Prostat

II. ETIOLOGI

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya

hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia

prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan

proses aging (menjadi tua) . Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab

timbulnya hiperplasia prostat jinak adalah : (1) Teori Dihidrotestosteron, (2)

Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, (3) Interaksi antara sel

stroma dan sel epitel prostat, (4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5)

Teori Stem sel.5

A. Teori Dihidrotestosteron (DHT)

Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat

penting pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di
dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.

DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk

kompleks DHT-RA pada inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth

factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak

jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,

aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada

BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga

replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.5

B. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron

Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar

estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relatif

meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam

terjadinya proliferasi sel- sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan

sensitifitas sel- sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan

jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat

(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan

terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel – sel

prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa

prostat jadi lebih besar. 5

C. Interaksi stroma epitel

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel

prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel- sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor) tertentu. Setelah sel- sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT

dan estradiol, sel- sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya

mempengaruhi sel- sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta

mempengaruhi sel- sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan

terjadinya proliferasi sel- sel epitel maupun stroma. 5

D. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)

Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostatis kelenjar

prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel

dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis

menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat

sehingga mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen

berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan

kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.1

E. Teori stem cell

Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada

kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada

hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel

akan berkembang menjadi sel aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada

androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung

secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan

berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.


III. PATOFISIOLOGI

Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,

sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pertumbuhan

kelenjar ini sangat bergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel- sel

kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron

(DHT) dengan bantuan enzim 5α reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara

langsung memacu m-RNA di dalam sel- sel kelenjar prostat untuk mensintesis

protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat. 5

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika

dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan

intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli- buli harus berkontraksi lebih

kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan

perubahan anatomik buli- buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,

terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli- buli. Perubahan struktur pada

buli- buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih

sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal

dengan gejala prostatimus. 5

Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli

tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini

dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli- buli ke ureter atau terjadi refluks

vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan

hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. 5


IV. MANIFESTAS KLINIK

A. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)5

Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi :

Obstruksi Iritasi

1. Hesistansi 1. Frekuensi
2. Pancaran miksi lemah 2. Nokturi
3. Intermitensi 3. Urgensi
4. Miksi tidak puas 4. Disuria
5. Distensi abdomen  Urgensi dan disuria jarang terjadi,
6. Terminal dribbling (menetes) jika ada disebabkan oleh
7. Volume urine menurun ketidakstabilan detrusor sehingga
8. Mengejan saat berkemih terjadi kontraksi involunter.

Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi Benigna Prostat Hiperplasia

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih

tergantung tiga faktor, yaitu:

1. Volume kelenjar periuretral

2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Kekuatan kontraksi otot detrusor

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli

untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan

(fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam

bentuk retensi urin akut.


Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor pencetus antara

lain :

1. Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan

yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak).

2. Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/

infeksi prostat).

3. Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot

detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-α).

Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan

penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan

BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem

skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS) yang

diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Skor AUA

terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan

obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-

35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat.


Tabel 2. Internasional Prostate Symptom Score (IPSS)4

B. Gejala pada saluran kemih bagian atas 5

Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi antara

lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam (infeksi/

urosepsis).
C. Gejala di luar saluran kemih

Keluhan pada penyakit hernia/ hemoroid sering mengikuti penyakit

hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada

saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.

Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia,

mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner &

Suddarth, 2001). Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:

1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok

dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.

2. Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih

menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi

kurang dari 100 ml.

3. Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan

sisa urin lebih dari 100 ml.

4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

V. PEMERIKSAAN FISIK

Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra

simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu

menetes yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.

1) Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )

Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat

memberikangambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain


sepertibenjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan

prostat harus diperhatikan :

 Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal

 Adakah asimetri

 Adakah nodul pada prostat

 Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat

diraba biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.

Gambar 4. Pemeriksaan Rectal Tusse/Colok Dubur.

Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal,

permukaan licin dan konsistensi kenyal.12 Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi

kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan

apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok

pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total,

buli-buli penuh (ditemukan massa supra pubis) yang nyeri dan pekak pada

perkusi. Daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya


hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya

kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti

batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis,

condiloma di daerah meatus.1

2) Derajat berat obstruksi

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin

setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih

dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan

ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100cc biasanya

dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi pada hipertrofi

prostat.Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin

pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih

rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada

obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 – 8 ml/detik, sedangkan maksimal

pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.


VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium: 5,7,9

a. Sedimen urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada

saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit, bakteri, protein

atau glukosa.

b. Kultur urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus

menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang

diujikan.

c. Faal ginjal

Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih

bagian atas. Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk insufisiensi

ginjal kronis pada pasien yang memiliki postvoid residu (PVR) yang

tinggi.

d. Gula darah

Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang dapat

menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik).

e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)

Jika curiga adanya keganasan prostat.


2. Pemeriksaan Patologi Anatomi

BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan

stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot

hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola

fibroadenomyomatous hyperplasia.

Gambar 5. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Benigna Prostat Hiperplasia

3. Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia:

a. Foto polos5

Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya

batu/kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukan bayangan buli-buli yang

penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu retensi urine.


b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)5,7,10

Merupakan tes USG yang dilakukan melalui rectum. Dalam prosedur ini,

probe dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di prostat.

Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar prostat pada layar

tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah yang abnormal tampak

memang tumor, digunakan probe dan gambar USG untuk memandu jarum biopsi

untuk tumor yang dicurigai. Jarum mengumpulkan beberapa potong jaringan

prostat untuk pemeriksaan dengan mikroskop. Biopsy terutama dilakukan untuk

pasien yang dicurigai memiliki keganasan prostat.

Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk pengukur

volume prostat, caranya antara lain :

 Metode “step planimetry”. Yang menghitung volume rata-rata area

horizontal diukur dari dasar sampai puncak.

 Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi

(H/height) ,lebar (W/width) dan panjang (L/length) dengan rumus: ½

(H x W x L)

c. Sistoskopi 7,11

Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui

pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah solusi numbs

bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang. Tabung, disebut sebuah

“cystoscope” , berisi lensa dan sistem cahaya yang membantu dokter melihat
bagian dalam uretra dan kandung kemih. Tes ini memungkinkan dokter untuk

menentukan ukuran kelenjar dan mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.

Gambar 6. Gambaran Sistoskopi Benigna Prostat Hiperplasia

d. Ultrasonografi trans abdominal 10,11

 Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan pembesaran

bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic dibanding zona perifer.

Zona transisi hipoekoik cenderung menekan zona central dan perifer.

Batas yang memisahkan hyperplasia dengan zona perifer adalah “surgical

capsule”.

 USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis

ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.


Gambar 7. gambaran sonografi prostat normal
Gambar 8. Gambaran Sonografi Benigna Prostat Hiperplasia

e. Sistografi buli11

Gambar 9.Gambaran Elevasi Dasar Buli yang Mengindikasikan Benigna Prostat Hiperplasia

4. Pemeriksaan lain: 5,12

Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara

mengukur:

 Residual urin: Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan

kateterisasi/USG setelah miksi.

 Pancaran urin/flow rate : Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan

lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang


menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Aliran yang berkurang sering

pada BPH. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya kurang dari 15mL/s

dan terdapat peningkatan residu urin. Post-void residual mengukur jumlah

air seni yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah buang air kecil.

PRV kurang dari 50 mL umum menunjukkan pengosongan kandung

kemih yang memadai dan pengukuran 100 sampai 200 ml atau lebih sering

menunjukkan sumbatan. Pasien diminta untuk buang air kecil segera

sebelum tes dan sisa urin ditentukan oleh USG atau kateterisasi.

Gambar 10. Gambaran Pancaran Urin Normal dan pada BPH

Dari gambaran aliran urin bagian atas dapat di jelaskan bahwa, dewasa

muda yang asimtomatik, aliran urin lebih dari 15mL/s dan urin residu 9 mL pada

ultrasonografi. Sedangkan pada gambaran aliran urin bagian bawah dapat di

jelakan bahwa, dewasa tua dengan Benigna Hyperplasia Prostat (BPH), terlihat

waktu berkemih memanjang dengan aliran urin kurang dari 10mL/s, pasien ini

urin residunya 100 mL.


VII. KOMPLIKASI
Untuk komplikasi Benigna Hyperplasia Prostat (BPH) bisa ditemukan

Retensi urine akut atau ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin, distensi

kandung kemih, nyeri suprapubik. Bisa juga terjadi retensi urine kronik dan

membuat residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba, tidak nyeri. Ada juga

di temukan infeksi traktus urinaria, batu buli, hematuria, inkontinensia-urgensi,

hidroureter dan hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal.

Tekanan intravesika meningkat dapat membuat perubahan struktur dari

buli-buli, Ginjal dan Ureter. Perubahan pada struktur buli-buli sendiri yaitu

hipertrofi otot destrutor, trabekulasi, selula dan divertikel buli-buli. Sedangkan

untuk perubahan strktur ginjal dan ureter pada kasus hyperplasia prostat yaitu,

refluks VU, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal.

Hidronefrosis

Hidroureter

Hipertrofi otot detrusor

Benigna prostat
hyperplasia

VIII. PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik.

Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa

mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun adapula yang

membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena

keluhannya semakin parah.

Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah memperbaiki keluhan miksi,

meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi intravesika, mengembalikan

fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urine setelah

miksi dan mencegah progrefitas penyakit. Hal ini dapat dicegah dengan

medikamentosa, pembedahan atau tindakan endourologi yang kurang invasif.

Observasi Medikamentosa Operasi Invasive minimal


Prostatektomi
Penghambat adrenergik α
terbuka • TUMT
Penghambat reduktase α Endourologi • TUBD
Watchful Waiting
Fisioterapi -   TURP • Stent Uretra
- TUIP • TUNA
Hormonal - TULP
  Elektrovaporasi  
Tabel 3. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna

Riwayat pemeriksaan
fisik dan DRE
Urinalisis PSA
(meningkat/tidak)
Riwayat pemeriksaan
Indeks gejala fisik dan DRE
Urinalisis PSA
(meningkat/tidak)
Gejala sedang
Gejala ringan
(AUA <7) tdk ada Operasi

Tes diagnostic
Uroflow
Residu urin
postvoid
Bagan 2. Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia14

Penatalaksanaan Nilai indeks gejala Efek samping


BPH
Wactfull waiting Gejala hilang/timbul Risiko kecil , dapat terjadi
retensi urinaria
Penatalaksanaan medis
Alpha-blockers Sedang 6-8 Gaster/usus halus-11%
Hidung berair-11%
Sakit kepala-12%
Menggigil-15%

5 alpha-reductase Ringan 3-4 Masalah ereksi-8%


inhibitors Kehilangan hasrat sex-5%
Berkurangnya semen-4%
Terapi kombinasi Sedang 6-7 kombinasi
Terapi invasi minimal
Transuretral microwave Sedang-berat 9-11 Urgensi/frekuensi-28-74%
heat Infeksi-9%
Prosedur kedua
dibutuhkan-10-16%
TUNA Sedang 9 Urgensi/frekuensi-31%
Infeksi-17%
Prosedur kedua
dibutuhkan-23%
Operasi
TURP, laser & operasi Berat 14-20 Retensi urinaria-1-21%
sejenis Urgensi&frekuensi-6-99%
Gangguan ereksi-3-13%
Operasi terbuka Berat Inkontinensia 6%
Tabel 4. Penatalaksaan Berdasarkan Nilai Indeks Gejala Benigna Prostat Hiperplasia 15

A. Watchful waiting 5

Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS

dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.

Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal

yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan

mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi

makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3) batasi

penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi

makanan pedasadan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.

Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya

keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),

disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri.


Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu

dipikirkan terapi yang lain.

B. Medikamentosa

Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi

resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi

infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa

blocker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan cara

menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui

penghambat 5α-reduktase.

1) Penghambat reseptor adrenergik α. 5

Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang membantu

untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh pembesaran prostat di BPH.

Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan. Umumnya

digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin (Flomax), alfuzosin

(Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin (Hytrin) atau

doxazosin (Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan pancaran urin dan

mengakibatkan perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak berpengaruh

pada ukuran prostat.


Gambar 14. Lokasi Reseptor α1 - Adrenergik (α1 -ARs)

2) Penghambat 5 α reduktase 5

Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron

(DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 α reduktase di dalam sel

prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-

sel prostat menurun. Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada

DHT, sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran prostat

lebih dari 6 sampai 12 bulan.

c. Terapi Invasif Minimal

Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap

pembedahan.

1) Microwave transurethral. Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat

yang menggunakan gelombang mikro untuk memanaskan dan

menghancurkan jaringan prostat yang berlebih. Dalam prosedur yang

disebut microwave thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat


mengirim gelombang mikro melalui kateter untuk memanaskan bagian

prostat dipilih untuk setidaknya 111 derajat Fahrenheit. Sebuah sistem

pendingin melindungi saluran kemih selama prosedur. Prosedur ini

memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat dilakukan secara rawat jalan

tanpa anestesi umum. TUMT belum dilaporkan menyebabkan disfungsi

ereksi atau inkontinensia. Meskipun terapi microwave tidak

menyembuhkan BPH, tapi mengurangi gejala frekuensi kencing, urgensi,

tegang, dan intermitensi.

Gambar 11. Microwave Transurethral

2) Transurethral jarum ablasi. Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui

transurethral jarum ablasi invasif minimal (TUNA) sistem untuk

pengobatan BPH. Sistem TUNA memberikan energy radiofrekuensi

tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region prostat yang membesar.

Shields melindungi uretra dari kerusakan akibat panas. Sistem TUNA

meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek samping

yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan reseksi transurethral dari

prostat (TURP).
Gambar 12. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal

3) Thermotherapy dengan air. Terapi ini menggunakan air panas untuk

menghancurkan jaringan kelebihan dalam prostat. Sebuah kateter

mengandung beberapa lubang diposisikan dalam uretra sehingga balon

pengobatan terletak di tengah prostat. Sebuah komputer mengontrol suhu

air, yang mengalir ke balon dan memanaskan jaringan prostat sekitarnya.

Sistem ini memfokuskan panas di wilayah yang tepat prostat. Sekitar

jaringan dalam uretra dan kandung kemih dilindungi. Jaringan yang

hancur keluar melalui urin.

Gambar 13. Thermotherapy dengan Air

d. Bedah

1) Operasi transurethral. 5,11,13,16,17


Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah memberikan

anestesi, ahli bedah mencapai prostat dengan memasukkan instrumen melalui

uretra.

Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat (TURP) digunakan

untuk 90 persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk BPH. Dengan TURP,

alat yang disebut resectoscope dimasukkan melalui penis. The resectoscope, yaitu

panjang sekitar 12 inci dan diameter 1/2 inci, berisi lampu, katup untuk

mengendalikan cairan irigasi, dan loop listrik yang memotong jaringan dan segel

pembuluh darah.

Cairan irigan yang dipakai adalah aquades . kerugian dari aquades adalah

sifatnya yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi sistemik dan

menyebabkan hipotermia relative atau gejala intoksikasi air yang dikenal dengan

sindrom TURP. Ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, somnolen dan

tekanan darah meningkat dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien

akan mengalami edema otak dan jatuh ke dalam koma. Untuk mengurangi risiko

timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan

reseksi lebih dari 1 jam dan baru memasang sistostomi terlebih dauhlu sebelum

reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik.

Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop kawat resectoscope

untuk menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian pada suatu waktu. Potongan-

potongan jaringan dibawa oleh cairan ke kandung kemih dan kemudian dibuang

keluar pada akhir operasi. Prosedur transurethral kurang traumatis daripada

bentuk operasi terbuka dan memerlukan waktu pemulihan lebih pendek. Salah
satu efek samping yang mungkin TURP adalah ejakulasi retrograde, atau ke

belakang. Dalam kondisi ini, semen mengalir mundur ke dalam kandung kemih

selama klimaks bukannya keluar uretra.

Selama Operasi Pasca Bedah Dini Pasca Bedah Lanjut


Perdarahan Perdarahan Inkontinensi
Sindrom TURP Infeksi Lokal/Sistemik Dinsfungsi Ereksi
Perforasi
Ejakulasi Retrograde

Striktur Uretra
Berbagai Penyulit TURP, Selama maupun Setelah Pembedahan

A B
C

Gambar 14. (a) alat TURP, (b) cara melakukan TURP, (c) uretra prostatika pasca TURP

Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP),

prosedur ini melebar urethra dengan membuat beberapa potongan kecil di leher

kandung kemih, di mana terdapat kelenjar prostat. Prosedur ini digunakan pada

hiperplasi prostat yang tidak tartalu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius

dan pada pasen yang umurnya masih muda.


2) Open surgery. 5,12

Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak dapat

digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal, dapat digunakan.

Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar sangat membesar (>100 gram),

ketika ada komplikasi, atau ketika kandung kemih telah rusak dan perlu

diperbaiki. Prostateksomi terbuka dilakukan melalui pendekatan suprarubik

transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Penyulit yang dapat

terjadi adalah inkontinensia uirn (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde

(60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (305%). Perbaikan gejala klinis 85-100%.
3) Operasi laser 5, 7,11

Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami koagulasi dan pada

suhu yang lebih dari 100oC mengalami vaporasi. Teknik laser menimbulkan lebih

sedikit komplikasi sayangnya terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap

tahun. Kekurangannya adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan

patologi (kecuali paad Ho:YAG coagulation), sering banyak menimbulkan disuri

pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi

spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih rendah daripada pasca TURP.

Serat laser melalui uretra ke dalam prostat menggunakan cystoscope dan

kemudian memberikan beberapa semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60

detik. Energi laser menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan penyusutan.

Gambar 16. Operasi Laser pada Prostat

a) Interstitial laser coagulation. Tidak seperti prosedur laser lain, koagulasi laser

interstisial tempat ujung probe serat optik langsung ke jaringan prostat untuk

menghancurkannya.
Gambar 17. Interstitial laser coagulation

b) Potoselectif vaporisasi prostat (PVP).

PVT a-energi laser tinggi untuk menghancurkan jaringan prostat. Cara

sama dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang spesifik

dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporasi

kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman tidak menimbulkan perdarahan pada saat

operasi. Namun teknik ini hanya diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu

besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu.


Gambar 18. Potoselectif vaporisasi prostat

e. Kontrol berkala. 5

 Watchfull waiting: Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk

mengetahui apakah terdapat perbaikan kliniS.

 Pengobatan penghambat 5α-reduktase: Dikontrol pada minggu ke-12 dan

bulan ke-6.
 Pengobatan penghambat 5α-adrenegik: Setelah 6 minggu untuk menilai

respon terhadap terapi dengan melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri

dan residu urin pasca miksi.

 Terapi invasive minimal : Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun.

Selain dilakukan penilaian skor miksi, juga diperiksa kultur urin.

 Pembedahan: Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui

kemungkinan penyulit.
KESIMPULAN

Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna

pada populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat

bertambah karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel

kelenjar (jaringan dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini

terdiri dari gejala obstruksidan gejala iritatif.

Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi

bedah konvensional, dan terapi minimal invasif. Prognosis untuk BPH berubah-

ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung

meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang

buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.


DAFTAR PUSTAKA

1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery

8th Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005.

2. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak.

Dalam: Kapita selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta ; 329-344

3. Mulyono, A. 1995. Pengobatan BPH Pada Masa Kini. Dalam :

Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 40-48.5.

4. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta :

Sagung Seto.

5. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah.

Binarupa aksara, Jakarta ; 161-703.

6. Ramon P, Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah, Fakultas

KedokteranUniversitas Padjajaran ; 2002: 203-75.

7. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan.

EGC. 1994.

8. Sjafei, M. 1995. Diagnosis Pembesaran Prostat Jinak. Dalam :

Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta ; 6-17.

9. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar

Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997; 1058-64.

10. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat

Jinak. Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 1-52.

Anda mungkin juga menyukai