Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk ke
dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan dapat
menjadi strangulasi kemudian mengalami komplikasi yang berujung pada sepsis dan
kematian. Intususepsi merupakan salah satu kegawatdaruratan yang umum pada anak.
Kelainan ini harus dikenali dengan cepat dan tepat serta memerlukan penanganan
segera karena misdiagnosis atau keterlambatan diagnosis akan meningkatkan angka
morbiditas1-6.
Intususepsi pertama kali digambarkan oleh Paul Barbette di Amsterdam pada tahun
1674. Jonathan Hutchinson melaporkan operasi pertama intususepsi yang berjalan
sukses terhadap anak usia 2 tahun pada tahun 1873(7). Literatur lain menyebutkan
Wilson merupakan yang pertama sukses dalam melakukan terapi pembedahan
intususepsi pada tahun 1831(2). Di tahun 1876, Harald Hirschprung menggambarkan
pendekatan sistematik dengan reduksi hidrostatik. Di Amerika Serikat, Ravitch
mempopulerkan penggunaan reduksi barium enema untuk mengatasi intususepsi(7).
Estimasi insidensi akurat dari intususepsi tidak tersedia untuk sebagian besar negara
berkembang, demikian juga di banyak negara maju(8). Irish (2011) menyebutkan
insiden intususepsi adalah 1,5-4 kasus per 1000 kelahiran hidup( 2). Berdasarkan usia,
intususepsi paling banyak dialami oleh anak usia kurang dari 1 tahun dengan puncak
usia 4-8 bulan(8,9). Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki paling banyak mengalami
intususepsi dengan rasio yang berbeda di masing-masing wilayah dimana rasio lakilaki dan perempuan untuk wilayah Asia adalah 9:1. Berdasarkan keterkaitan kejadian
intususepsi dengan musim, didapatkan hasil penelitian yang bervariasi di masing-

masing wilayah di dunia(8). Intususepsi dilaporkan sebagai suatu kejadian musiman


dengan puncak pada musim semi, musim panas, dan pertengahan musim dingin(2).
Berdasarkan penelitian epidemiologi intususepsi di Singapura tahun 1997-2004,
insidensi intususepsi mengalami penurunan dan tidak terkait dengan musim(9).
Gejala klasik yang paling umum (85%) dari intususepsi adalah nyeri perut yang
sifatnya muncul secara tibatiba, kolik, intermiten, berlangsung hanya selama
beberapa menit. Gejala awal lain yang sering dikeluhkan yaitu muntah. Kerusakan
usus berupa nekrosis hingga perforasi usus dapat terjadi antara hari ke 2-5 dengan
puncaknya pada hari ke 3 setelah gejala klinis terjadi. Hal tersebut akan memperberat
gejala obstruksi yang ditimbulkan oleh intususepsi dan akan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas(2,9).
Di negara maju, outcome dari pasien dengan intususepsi memiliki prognosis yang
lebih baik karena diagnosis yang tegak secara dini diikuti dengan prosedur terapi yang
kurang invasif seperti reduksi barium enema. Sebaliknya, di negara berkembang,
banyak anak dengan intususepsi dilaporkan mengalami keterlambatan untuk
mendapatkan terapi definitif(10). Tertundanya diagnosis yang berlanjut menjadi
nekrosis usus, diikuti dengan terapi reduksi operasi, memiliki angka fatalitas yang
tinggi, misalnya 18% di Nigeria, 20% di Indonesia(11) dan hingga 54% di Ethiopia(9).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh van Heek et al (1996) angka kematian
anak-anak dengan intususepsi di pedesaan Indonesia jauh lebih tinggi daripada di
perkotaan di Indonesia atau di Belanda, mungkin karena pengobatan yang terlambat,
yang menghasilkan lebih banyak pasien yang menjalani operasi dalam kondisi fisik
yang buruk(11). Mortalitas intususepsi meningkat secara signifikan (lebih dari 10 kali)
pada pasien intususepsi yang baru datang berobat setelah 48 jam sejak onset gejala
dibandingkan dengan pasien intususepsi yang datang berobat sejak 24 jam onset

gejala(8).
Berdasarkan data di atas, menjadi suatu keharusan bagi para calon dokter umum yang
nantinya juga akan terjun ke masyarakat untuk memahami dan mengenali gejala awal
dari intususepsi sehingga dapat melakukan tindakan sesegera mungkin untuk
memperbaiki keadaan umum pasien kemudian merujuk ke spesialis bedah yang tepat
sehingga berdampak pada menurunnya angka morbiditas dan mortalitas dari
intususepsi.

BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Tgl MRS
Pengantar
No. RM
Agama
II.

: By. Sakinah
: 8 bulan
: Perempuan
: Werinama/Waihaong
: 8 Juli 2016 (18.30 WIT)
: Puskesmas Perawatan Rumahkay
: 10 17 16
: Islam

ANAMNESIS (Alloanamnesis)
Keluhan utama : BAB darah segar
Riwayat penyakit sekarang :
Keluhan dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Frekuensi
BAB bisa >10x dalam sehari, tidak bercampur feses, dan ada lendir. Keluhan
disertai dengan muntah yang berfrekuensi >10x dalam sehari, berwarna putih,
berisi makanan yang dimakan, ada lendir dalam muntahan, tidak ada darah.
Orang tua pasien juga mengeluhkan pasiennya panas / demam sejak mulai
pertama kali muncul keluhan. Orang tua pasien juga mengatakan ada benjolan
lonjong yang muncul di perut pasien diikuti keseluruhan perut yang semakin
membesar/kembung. Pasien menjadi gelisah saat pertama kali keluhan muncul,
namun pasien menagis dan rewel hanya pada waktu-waktu tertentu saja, sampai
terbangun dari tidur dan terhenti ketika sedang bermain, selebihnya pasien
menjadi tenang dan bermain/tidur kembali. Sebelum keluhan dirasakan, pasien
dikatakan pernah jatuh dari kereta dorong sekitar 3 hari sebelum dirasakan
keluhan. Pasien masih minum ASI dan makan makanan pendamping ASI (dari
puskesmas). Pasien tidak pernah dipijat di daerah perut. Riwayat imunisasi
lengkap sampai saat ini. Riwayat kelahiran, lahir normal dengan berat 2,8 kg.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien belum pernah mengalami kecelakaan seperti ini sebelumnya
Riwayat pengobatan :

Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Masohi dan diberikan pengobatan


vitamin k, asam traneksamat, dan cefotaxim
Riwayat keluarga : tidak ada
III.

PEMERIKSAAN FISIK
Gaslow Comma Scale: E4M6V4
Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi:120x Pernapasan:43x/mnt Suhu: 37,5C
BB: 6 kg
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Tenggorokan
Leher
Dada
- Jantung
- Paru

: Normocephal
: Anemis +/+, Ikterik -/: Rhinorea -/: Otorhea -/: Inspeksi: deformitas
: T1-T1, Hiperemis (-),
: Pembesaran KGB (-)
: Pengembangan dada simetris (kiri=kanan)
: BJ I, II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
: Bunyi napas dasar vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi : Tampak distended


Auskultasi : BU (+) > 17x/mnt
Palpasi
: Nyeri tekan (?), massa teraba massa yang memanjang pada
region lumbalis D, umbilical, dan sedikit lumbalis S. terletak horizontal,

IV.

teraba padat, berbatas tegas, permukaan benolan rata


Perkusi : Tympani

Genitalia

: Tidak ditemukan kelainan

Ekstremitas

: Oedem (-) , akral hangat

Rectal Touche

: Tidak dilakukan pemeriksaan

STATUS LOKALIS
Ditemukan massa panjang letak horizontal yang terletak pada regio lumbalis D,
umbilicalis sampai ke sebagian kecil regio lumbalis S. Massa teraba pada,
berbatas tegas dan permukaannya rata, massa berbentuk seperti sosis.

V.

DIAGNOSIS KERJA

- Susp. intususepsi
VI.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Foto polos abdomen
- Darah rutin Hb 13,5

VII.

PLANNING
- Puasa
- Pasang NGT
- IVFD KAEN 3B 28 tpm (makro)
- Cefotaxime 125 mg/12 jam/IV
- Paracetamol 60 mg/8 jam/IV
- Vitamik K.
- Pro laparatomi eksplorasi

VIII. FOLLOW-UP
Hari/tgl
Sabtu/9/7/2016
H.2

SOAP
S : BAB darah segar (+) 1x, perut

PLANNING
-

IVFD KAEN 3B

28 TPM
Cefotaxime 125

mg/12 jam/IV
Paracetamol drip

60 mg jika panas
Pro laparatomi

kembung, demam (+), muntah warna hijau


1 kali, gelisah (+)

O:
Suhu: 37,5C
Abdomen: distensi BU (+) meningkat,

eksplorasi =

massa berbentuk sosis memanjang dari

menunggu dr.

region lumbalis D sampai lumbalis S.

anestesi
Konsul anestesi

NGT terlepas,

A: susp. Intususepsi
Senin/11/7/2016
H.4

S : BAB darah segar (+) 1x, perut


kembung, demam (+), muntah warna hijau

pasang ulang

1 kali, gelisah (+)


-

NGT
IVFD KAEN 3B

28 TPM
Cefotaxime 125

O:
Abdomen: distensi BU (+) meningkat,

mg/12 jam/IV

massa berbentuk sosis memanjang dari

7 cc jika panas =

region lumbalis D sampai lumbalis S.


-

A: susp. Intususepsi

Selasa/12/03/201

S : pasien bisa tidur, tidak ada muntah,

6
H.5

demam (-). BAB encer warna cokelat

OP rawat ICU
Transfuse WB

150 cc
Cek DR post

transfusi besok
IVFD KAEN 3B
30 cc/jam infus

pump
Cefotaxime 125

mg/12 jam/IV
Paracetamol 125

mg/6 jam/IV
Pindah ruangan

O:
TTV DBN

Drain 10 cc tidak bertambah sejak


kemarin

harusnya 60 mg
Pro laparatomi
eksplorasi, selesai

kehitaman

Cairan NGT hijau >200 cc/24 jam

Paracetamol drip

RCHW = baru
pindah siang

Abdomen: tampak distended, BU (+)


normal
Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen
tertutup kasa
Lab:
Hb 13,5 g/dl
Leukosit 17000/l
Hct 38%
PLT 313000/l

*follow up pagi
masih di ICU

A: Post laparatomi reseksi colon H.2


Rabu/13/7/2016
H.6

S: pasien bisa tidur, muntah (-), demam (-),

BAB encer warna cokelat kehitaman


O:
TTV DBN
Cairan NGT hijau 200 cc
Drain tidak produksi lagi

30 cc/jam infus
-

pump
Cefotaxime 125

mg/12 jam/IV
Paracetamol 125

mg k/p
Ranitidine 10

mg/12 jam/IV
Klem NGT, boleh

Abdomen: tampak distended, BU (+)


normal
Status lokalis

IVFD KAEN 3B

minum sedikit-

Luka post op pada midline abdomen

sedikit

tertutup kasa

A: Post laparatomi reseksi colon H.3


Kamis/14/7/2016
H.7

S: muntah (-), demam (-). BAB encer


warna hijau 1x
O:
TTV DBN
Cairan NGT hijau 200 cc
Drain tidak produksi lagi

Abdomen: tampak distended, BU (+)


normal
Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen

IVFD KAEN 3B
30 cc/jam infus

pump
Cefotaxime 125

mg/12 jam/IV
Paracetamol 125

mg k/p
Ranitidine 10

mg/12 jam/IV
Aff drain
Aff NGT
Mulai minum

tertutup kasa

susu 50 cc 100
cc

A: Post laparatomi reseksi colon H.4


Jumat/15/7/2016
H.8

S: muntah (-), demam (-). BAB lunak


warna hijau 1x

Aff infus
Diet bebas
Amoksisilin syr

O:Abdomen: tampak distended, BU (+)

2x1/2 cth
Rawat luka

Diet bebas
Amoksisilin syr

2x1/2 cth
Rawat luka

Diet bebas
Amoksisilin syr

2x1/2 cth
Rawat luka
Besok boleh

normal

Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen
tertutup kasa

A: Post laparatomi reseksi colon H.5


Sabtu/16/7/2016
H.9

S: BAB lunak warna hijau, demam (-),


muntah (-), makan minum baik
O:Abdomen: tampak distended, BU (+)
normal

Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen
tertutup kasa
A: Post laparatomi reseksi colon H.6
Senin/18/7/2016
H.11

S: BAB lunak warna hijau, demam (-),


muntah (-), makan minum baik
O:Abdomen: tampak distended, BU (+)
normal

pulang

Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen 1
jahitan terbuka, dirawat, kemudian
ditutup kassa
A: Post laparatomi reseksi colon H.8

Selasa/19/7/2016
H.12

S: BAB lunak warna hijau, demam (-),

Diet bebas
Amoksisilin syr

2x1/2 cth
Rawat luka

dengan absorbent
Boleh pulang

Diet bebas
Amoksisilin syr

2x1/2 cth
Rawat luka

dengan absorbent
Boleh pulang

muntah (-), makan minum baik


O:Abdomen: tampak distended, BU (+)
normal

Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen 1
jahitan terbuka, surrounding edema, pus
(+) bila ditekan

A: Post laparatomi reseksi colon H.9


Rabu/20/7/2016
H.13

S: BAB lunak warna hijau, demam (-),


muntah (-), makan minum baik
O:Abdomen: tampak distended, BU (+)
normal

Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen 1
jahitan terbuka, surrounding edema, pus
sudah kering

A: Post laparatomi reseksi colon H.10

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Intususepsi

adalah

suatu

keadaan

dimana

segmen

usus

proksimal

(intususeptum ) berinvaginasi kedalam segmen distal ( intususipien ) serta kemudian


di dorong ke distal oleh peristaltik usus.3

2.2 Anatomi usus halus


Usus halus terdiri

dari

3 bagian yaitu duodenum,

jejunum dan ileum.

Panjang duodenum 26 cm, sedangkan jejunum + ileum : 6 m . Dimana 2/5 bagian


adalah jejunum. Sedangkan menurut Schrock5 panjang usus halus manusia dewasa
adalah 5-6 m. Batas antara duodenum dan jejunum adalah ligamentum treits. jejunum
dan ileum dapat dibedakan dari :
1. Lekukan lekukan jejunum terletak pada bagian atas rongga atas
peritoneum di bawah sisi kiri mesocolon transversum ; ileum terletak
pada bagian bawah rongga peritoneum dan dalam pelvis.
2. Jejunum lebih besar, berdinding lebih tebal dan lebih merah daripada
ileum Dinding jejunum terasa lebih tebal karena lipatan mukosa yang
lebih permanen yaitu plica circularis, lebih besar, lebih banyak dan pada
yejunum lebih berdekatan ; sedangkan pada bagian atas ileum lebar, dan
pada bagian bawah lipatan ini tidak ada.
3. Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior abdomen diatas
dan kiri aorta, sedangkan mesenterium ileum melekat dibawah dan
kanan aorta.

4. Pembuluh darah mesenterium jejunum hanya membentuk satu atau dua


arkade dengan cabang-cabang yang panjang dan jarang yang berjalan
ke dinding usus halus. Ileum menerima banyak pembuluh darah yang
pendek, yang berasal dari 3 atau 4 atau malahan lebih arkade.
5. Pada ujung mesenterium jejunum, lemak disimpan dekat pangkalan dan
lemak jarang ditemukan didekat dinding usus halus. Pada ujung
mesenterium ileum lemak disimpan di seluruh bagian , sehingga lemak
ditemukan dari pangkal sampai dinding usus halus.
6. Kelompokan jaringan limfoid (Agmen Feyer) terdapat pada mukosa
ileum bagian bawah sepanjang pinggir anti mesentrik.

Perbedaan usus halus dan usus besar pada anatomi adalah :

Perbedaan eksterna
1. Usus halus (kecuali duodenum) bersifat mobil, sedangkan colon
asenden dan colon desenden terfiksasi tidak mudah bergerak.
2. Ukuran usus halus umumnya lebih kecil dibandingkan dengan usus
besar yang terisi.
3. Usus halus (kecuali duodenum) mempunyai mesenterium yang berjalan
ke bawah menyilang garis tengah, menuju fosa iliaka kanan.
4. Otot longitudinal usus halus membentuk lapisan kontinyu sekitar usus.
Pada usus besar (kecuali appendix) otot longitudinal tergabung dalam tiga
pita yaitu taenia coli.
5. Usus halus tidak mempunyai kantong lemak yang melekat pada
dindingnya. Usus besar mempunyai kantong lemak yang dinamakan
appandices epiploideae.

6. Dinding usus halus adalah halus, sedangkan dinding usus besar sakular.

Perbedaan interna
1. Mucosa usus halus mempunyai lipatan yang permanen yang dinamakan
plica silcularis, sedangkan pada usus besar tidak ada.
2. Mukosa usus halus mempunyai fili, sedangkan mukosa usus besar tidak.
3. Kelompokan jaringan limfoid (agmen feyer)

ditemukan pada mukosa

usus halus , jaringan limfoid ini tidak ditemukan pada usus besar.
2.3 Klasifikasi
Intususepsi dibedakan dalam 4 tipe :
1. Enterik : usus halus ke usus halus
2. Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke sekum dan
menarik ileum di belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex dari
intususepsi.
3. Kolokolika : kolon ke kolon.
4. Ileokoloika : ileum invaginasi prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.
Umumnya para penulis menyetujui bahwa paling sering intususepsi
mengenai valvula ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan
insidensi

untuk masing-masing jenis intususepsi.

Perrin dan Linsay

memberikkan gambaran : 39% ileosekal, 31,5 % ileokolika, 6,7% enterik,


4,7 % kolokolika, dan sisanya adalah bentuk-bentuk yang jarang dan tidak
khas.6

2.4 Epidemiologi dan Etiologi

1, 4

Di Netherland dan Jerman, ditemukan angka kejadian intusepsi di bagian


bedah anak 1.21.4% dari keseluruhan pasien ( usia populasinya tidak di spesifikasi ).
Di Australia , New Zealand dan Amerika Serikat , insiden intusepsi tidak berbeda jauh
dari yang di temukan di Eropa 0.50 2.30 kasus per 1000 kelahiran hidup. Di china,
insidensi yang dilaporkan adalah 0.77 kasus per 1000 kelahiran hidup; dari Kuwait
0.50 kasus per 1000 kelahiran hidup. Amerika serikat memiliki angka insidens
erendah , yaitu 0.24 kasus per 1000 anak > 1 tahun. Di Venezuela terdapat 0.33 kasus
per 1000 anak > 2 tahun . 4
Ada perbedaan yang mencolok pada etiologi invaginasi, antara anak anak
dan dewasa. Pada anak anak penyebab atau etiologi terbanyak adalah idiopatik yang
mana lead pointnya tidak ditemukan. Penyebab terjadinya invaginasi bervariasi,
diduga tindakan masyarakat tradisional berupa pijat perut serta tindakan medis
pemberian obat anti diare juga berperan pada timbulnya invaginasi sedangkan
pada dewasa penyebab terbanyak adalah keadaan patologik intra lumen oleh suatu
neoplasma baik jinak maupun ganas sehingga pada saat operasi lead pointnya dapat
ditemukan. Keadaan patologik ini terjadi pada lumen usus, yaitu suatu neoplasma
baik yang bersifat jinak dan ganas, seperti apa yang pernah dilaporkan ada
perbedaan kausa antara usus halus dan kolon. Ataupun akibat hyperplasia kelenjar
limfe usus halus ( Peyers patches / Kelenjar limfe mesenterika ).
Di Eropa , pembengkakan kelenjar limfe mesenterika ditemukan 1950%
pada pasien yang di operasi atau di investigasi dengan USG. Invaginasi yang
terbanyak pada usus halus adalah neoplasma yang bersifat jinak ( diverticle meckels,
polip ). Etiologi lainnya yang frekuensinya lebih rendah
lumen

seperti

seperti tumor extra

lymphoma, diaarhea, riwayat pembedahan abdomen sebelumya,

inflamasi pada appendiks, dan trauma tumpul abdomen.

2.5 Patofisiologi
Invaginasi akan menimbulkan gangguan pasase usus ( obstruksi ) baik
partial maupun total dan stranggulasi Proses terjadinya invaginasi dimulai dengan
hiperperistaltik usus bagian proksimal yang lebih mobil menyebabakan usus
masuk ke dalam lumen usus distal kemudian berkontraksi terjadi edema
mengakibatkan terjadinya perlekatan yang tidak dapat kembali normal sehingga
terjadi invaginasi.
Sedangkan pada orang dewasa biasanya di awali adanya gangguan motilitas
usus lainnya yang terfiksir/ atau kurang bebas dibandingkan bagian lainnya,karena
arah peristaltik adalah dari oral ke anal sehingga bagian yang masuk ke lumen usus
adalah yang arah oral atau proksimal, keadaan lainnya karena suatu disritmik
peristaltik usus. Akibat adanya segmen usus yang masuk ke segmen usus lainnya
akan menyebabkan dinding usus yang terjepit sehingga akan mengakibatkan aliran
darah menurun dan keadaan akhir adalah akan menyebabkan nekrosis dinding usus.

2.6 Manifestasi klinis


Rasa sakit adalah gejala yang paling khas dan hampir selalu ada. Dengan
adanya serangan rasa sakit/kholik yang makin bertambah dan mencapai puncaknya,
dan kemudian menghilang sama sekali, diagnosis hampir dapat ditegakkan. Rasa sakit
berhubungan dengan passase dari intususepsi. Diantara satu serangan dengan
serangan berikutnya, bayi atau orang dewasa dapat sama sekali bebas dari gejala.
Selain dari rasa sakit gejala lain yang mungkin dapat ditemukan adalah muntah
yang intermiten,22 keluarnya darah melalui rektum, dan terdapatnya masa yang
teraba di perut. Beratnya gejala muntah tergantung pada letak usus yang terkena.

Semakin tinggi letak obstruksi, semakin berat gejala muntah. Hemathocezia


disebabkan oleh kembalinya aliran darah dari usus yang mengalami intususepsi.
Terdapatnya sedikit darah adalah khas, sedangkan perdarahan yang banyak biasanya
tidak ditemukan. Pada kasus-kasus yang dikumpulkan oleh Orloof 11, rasa sakit
ditemukan pada 90%, muntah pada 84%, keluarnya darah perektum pada 80%dan
adanya masa abdomen pada 73% kasus. Gambaran klinis intususepsi dewasa
umumnya sama seperti keadaan obstruksi usus pada umumnya, yang dapat mulai
timbul

setelah

24

jam setelah

terjadinya intususepsi berupa nyeri perut dan

terjadinya distensi setelah lebih 24 jam ke dua disertai keadaan klinis lainnya yang
hampir sama gambarannya seperti intususepsi pada anak-anak. Pada orang dewaasa
sering ditemukan perjalanan penyakit yang jauh lebih panjang, dan kegagalan yang
berulang-ulang dalam usaha menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan radiologis
dan pemeriksaan-pemeriksaan lain.
Adanya gejala obstruksi usus yang berulang, harus dipikirkan kemungkinan
intususepsi. Kegagalan untuk memperkuat diagnosis dengan pemeriksaan radiologis
seringkali menyebabkan tidak ditegakkanya diagnosis. Pemeriksaan radiologis
sering tidak berhasil mengkonfirmasikan diagnosis karena tidak terdapat intususepsi
pada saat dilakukan pemeriksaan. Intussusepsi yang terjadi beberapa saat
sebelumnya telah tereduksi spontan. Dengan demikian diagnosis intussusepsi harus
dipikirkan pada kasus orang dewasa dengan serangan obstruksi usus yang berulang,
meskipun

pemeriksaan radiologis

dan pemeriksaan-pemeriksaan laim tidak

memberikan hasil yang positif. Pada kasus intususepsi kronis ini, gejala yang timbul
seringkali tidak jelas dan membingungkan sampai terjadi invaginasi yang menetap.
Ini terutama terdiri dari serangan kolik yang berulang, yang seringkali disertai
muntah, dan kadang-kadang juga diare. Pada banyak kasus ditemukan pengeluaran

darah dan lendir melalui rektum, namun kadang-kadang ini juga tidak ditemukan.
Gejala-gejala lain yang juga mungkin didapatkan adalah tenesmus dan anoreksia.
Masa abdomen dapat diraba pada kebanyakan kasus, terutama pada saat serangan.

2.7 Diagnosis
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa nyeri kolik sampai kejang yang
ditandai dengan flexi sendi koksa dan lutut secara intermiten, nyeri disebabkan oleh
iskemi segmen usus yang terinvaginasi. Iskemi pertama kali terjadi pada mukosa usus
bila berlanjut akan terjadi strangulasi yang ditandai dengan keluarnya mucus
bercampur dengan darah sehingga tampak seperti agar-agar jeli darah Terdapatnya
darah samar dalam tinja dijumpai pada + 40%, darah makroskopis pada tinja dijumpai
pada + 40% dan pemeriksaan Guaiac negatif dan hanya ditemukan mucus pada +
20% kasus. Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh perubahan faali
saluran pencernaan ataupun oleh karena infeksi. Diare yang disebut sebagai gejala
paling awal

invaginasi,

didapatkan

pada

85% kasus.

Pasien

biasanya

mendapatkan intervensi medis maupun tradisional pada waktu tersebut. Intervensi


medis berupa pemberian obat-obatan. Hal yang sulit untuk diketahui adalah jenis
obat yang diberikan, apakah suatu antidiare (suatu spasmolitik), obat yang
sering kali dicurigai sebagai pemicu terjadinya invaginasi. Sehingga keberadaan diare
sebagai salah satu gejala invaginasi atau pengobatan terhadap diare sebagai
pemicu timbulnya invaginasi sulit ditentukan. Muntah reflektif menunjukkan telah
terjadi suatu obstruksi, gejala ini dijumpai pada 75% pasien invaginasi. Muntah dan
nyeri sering dijumpai sebagai gejala yang dominan pada sebagian besar pasien.
Muntah reflektif terjadi tanpa penyebab yang jelas,

mulai

dari

makanan dan

minuman yang terakhir dimakan sampai muntah bilus. Muntah bilus suatu pertanda

ada refluks gaster oleh adanya sumbatan di segmen usus sebelah anal. Muntah
dialami seluruh pasien. Gejala lain berupa kembung, suatu gambaran adanya
distensi sistem usus oleh suatu sumbatan didapatkan pada 90%. Gejala lain yang
dijumpai berupa distensi, pireksia, Dances Sign dan Sausage Like Sign, terdapat
darah samar, lendir dan darah makroskopis pada tinja serta tanda-tanda peritonitis
dijumpai bila telah terjadi perforasi. Dances Sign dan Sausage Like Sign dijumpai
pada + 60% kasus, tanda ini patognomonik pada invaginasi. Masa invaginasi akan
teraba seperti batang sosis, yang tersering ditemukan pada daerah paraumbilikal.
Daerah yang ditinggalkan intususeptum akan teraba kosong dan tanda ini disebut
sebagai Dances Sign. 18,22
Pemeriksaan colok dubur didapatkan feces bercampur

lendir

dan darah

(dapat ditemukan juga dari anamnesis, disebut currant jelly stool) 22 pada sarung
tangan merupakan suatu tanda yang patognomonik. Pemeriksaan foto polos abdomen,
dijumpainya tanda obstruksi dan masa di kwadran tertentu dari abdomen
menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi. USG membantu menegakkan diagnosis
invaginasi dengan gambaran target sign pada potongan melintang invaginasi dan
pseudo kidney sign pada potongan longitudinal invaginasi. Foto dengan kontras
barium enema dilakukan bila pasien ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan
sebagai diagnostik maupun terapetik.

TRIAS INVAGINASI :
1. Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengankat kaki (Cramping
pain), bila lanjut sakitnya kontinyu
2. Muntah warna hijau (cairan lambung)

3. Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan


dalam) = currant jelly stool22
Pemeriksaan Fisik :
Obstruksi mekanis ditandai darm steifung dan darm contour.
1. Teraba massa seperti sosis di daerah subcostal yang terjadi spontan
(Sausage Like Sign )
2. Nyeri tekan (+)
3. Dancen sign (+) Sensasi kekosongan pada kuadran kanan bawah karena
masuknya sekum pada kolon ascenden
4.

RT : pseudoportio(+), lendir darah (+)

Radiologis
Foto abdomen 3 posisi :
Tanda obstruksi (+) : Distensi, Air fluid level, Hering bone (gambaran
plika circularis usus)

Bila bayi stabil, tidak ada tanda-tanda peritonitis dan kelainan sistemik, reduksi
radiografik dapat diindikasikan.
Colon In loop berfungsi sebagai :

Diagnosis : cupping sign, letak invaginasi

Terapi :

Reposisi

dengan tekanan tinggi,

bila belum ada tanda-tanda

peritonitis dan kejadian < 24 jam. Reposisi dianggap berhasil bila setelah
rectal tube ditarik dari anus barium keluar bersama feses dan udara.

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan


fisik. Pada penderita dengan intususepsi yang mengenai kolon,

barium enema

mungkin dapat memberi konfirmasi diagnosis. Mungkin akan didapatkan obstruksi


aliran barium pada apex dari intususepsi dan suatu cupshaped appearance pada
barium di tempat ini. Ketika tekanan ditingkatkan, sebagian atau keseluruhan
intususepsi mungkin akan tereduksi. Jika barium dapat melewati tempat obstruksi,
mungkin akan diperoleh suatu coil spring appearance yang merupakan diagnostik
untuk intususepsi. Jika salah satu atau semua tanda-tanda ini ditemukan, dan suatu
masa dapat diraba pada tempat obstruksi, diagnosis telah dapat ditegakkan.

Seperti

telah

disebutkan

sebelumnya,

sebagian

kasus

intususepsi

mempunyai riwayat perjalanan penyakit yang kronis, bahkan kadang-kadang


mencapai waktu bertahun tahun. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada orng
dewasa daripada anak-anak . Biasanya ditemukan suatu kelainan lokal pada usus
namun Goodal telah mengumpulkan dari literatur 122 kasus intususepssi khroni
primeir pada orang dewasa. Beberapa penulis tidak menyetujui konsep

bahwa

intususepsi tersebut berlangsung terus menerus dalam waktu demikian lama.


Stallman mempertanyakan tepatnya penggunaan istilah intususepsi kronis. Goldman
dan Elman mengemukakan keyakinannya bahwa penderita tidak mungkin dapat
bertahan hidup dengan intususepsi yang berlangsung lebih dari 1 minggu. Para
penulis ini berpendapat, hal yang paling mungkin telah terjadi pada kasus seperti ini
adalah adanya reduksi spontan dan rekurensi yang terjadi berganti-ganti. Adanya
mesenterium yang panjang,

yang

memungkinkan

invaginasi

terjadi

tanpa

gangguan sirkulasi,kemungkinan dapat menyebabkan terpeliharanya integritas


striktural usus. Serangan ini dapat berulang dalam waktu yang lama dengan
status kesehatan penderita yang relatif baik, sampai akhirnya terdapat suatu serangan
yang demikian beratnya sehingga tidak dapat tereduksi spontan, dan tindakan
bedah menjadi diperlukan.
Mendiagnosis intususepsi sama halnya dengan penyakit lainnya yaitu melalui :
1. Anamnesis , pemeriksaan fisik ( gejala umum, khusus dan status lokalis
seperti diatas).
2. Pemeriksaan penunjang ( Ultrasonography, Barium Enema dan Computed
Tomography)

2.8 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan adalah :
1. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang nasogastrik.
3. Antibiotika.
4. Laparotomi eksplorasi.
Keberhasilan

penatalaksanaan

invaginasi

ditentukan

oleh

cepatnya

pertolongan diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan pertama,
maka akan memberikan prognosa yang lebih baik. Penatalaksanaan

penanganan

suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu mencakup dua tindakan :

Reduksi radiografik22
Yang pertama ada metode air enema yang merupakan prosedur diagnostic maupun
terapeutik. Udara diberikan melalui manometer dengan tekanan biasanya tidak
melebihi 120 mmHg.22 Keberhasilan terapinya ditandai dengan adanya refluks udara
di seluruh ruang usus halus dan perbaikan gejala pasien karena bayi dengan seketika
hilang nyerinya.22
Yang kedua ada reduksi hidrostatik dengan barium enema. Metode ini dengan
cara memasukkan barium melalui

anus menggunakan kateter dengan tekanan

tertentu. Pertama kali keberhasilannya dikemukakan oleh Ladd tahun 1913 dan
diulang keberhasilannya oleh Hirschprung tahun 1976.22Cara ini dapat dipilih untuk
diagnostic tapi juga untuk terapi jika air enema tidak berhasil.22
Tatalaksana reduksi hidrostatik dilakukan dengan memperhatikan Rule Of
Three 3 feet (setinggi 3 kaki diatas pasien), 3 minutes (dilakukan dalam waktu 3
menit), dan 3 times (dilakukan 3 kali).13-15
Keberhasilan gabungan dari reduksi radiografik bervariasi dari tiap center,
yaitu sekitar 60-90%.22

Reduksi manual (milking) dan reseksi usus22


Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan suhu, angka
lekosit, mengalami gejala berkepanjangan atau ditemukan sudah lanjut yang
ditandai dengan distensi abdomen, feces berdarah, gangguan sistema usus yang berat
sampai timbul shock atau peritonitis, dan juga jika reduksi radiografi gagal, pasien
segera dipersiapkan untuk suatu operasi laparotomi eksplorasi. Tindakan selama
operasi tergantung kepada penemuan keadaan usus, reposisi manual dengan milking

harus dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung kepada ketrampilan dan
pengalaman operator. Reseksi usus dilakukan apabila pada kasus yang tidak berhasil
direduksi dengan cara manual, bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan
patologis

sebagai

penyebab invaginasi. Setelah

usus

direseksi

dilakukan

anastomose end to end apabila hal ini memungkinkan, bila tidak mungkin maka
dilakukan exteriorisasi atau enterostomi. Diagnosis pada saat pembedahan tidak sulit
dibuat. Pada intususepsi yang mengenai kolon sangat besar kemungkinan
penyebabnya adalah suatu keganasan, oleh karena itu ahli bedah dianjurkan untuk
segera

melakukan reseksi,

dengan tidak usah melakukan usaha reduksi.

Pada

intususepsi dari usus halus harus dilakukan usaha reduksi dengan hati-hati. Jika
ditemukan kelainan telah mengalami nekrosis, reduksi tidak perlu dikerjakan dan
reseksi segera dilakukan. Pada kasus-kasus yang idiopatik, tidak ada yang perlu
dilakukan selain reduksi. Tumor benigna harus diangkat secara lokal, tapi jika ada
keragu-raguan mengenai keganasan, cukup reseksi yang harus dikerjakan. Jika
terdapat pengulangan gejala intususepsi, dapat dilakukan air enema atau barium
enema kembali, namun jika sudah berulang 3 kali atau lebih, maka lead point
patologis harus dicari dengan cermat melalui foto dengan kontras, dan biasanya ahli
bedah anak akan melakukan laparatomi eksplorasi untuk mencari dan mereseksi lead
point.22

1. Pre-operatif
Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama seperti penangan
pada kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan keadaan umum seperti rehidrasi
dan koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit elektrolit.

1. Durante Operatif
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan laparotomi, karena
kausa terbanyak intususepsi pada dewasa adalah suatu keadaan neoplasma maka
tindakan yang dianjurkan adalah reseksi anastosmose segmen usus yang terlibat
dengan memastikan lead pointnya, baik itu neoplasma yang bersifat jinak maupun
yang ganas.
Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko:
1. Ruptur dinding usus selama manipulasi
2. Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
3. Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
4. Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan otilitas
5. Pembengkakan segmen usus yang terlibat
Batas reseksi pada umumnya adalah 10cm dari tepi tepi segmen usus
yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal minimum 30 cm dari lesi,
kemudian dilakukan anastosmose end to end atau side to side.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi/lead pointnya tidak
ditemukan maka tindakan reduksi dapat dianjurkan, begitu juga pada kasus
retrograd intususepsi pasca gastrojejunostomi tindakan reduksi dapat dibenarkan,
keadaan lainya seperti intususepsi pada usus halus yang kausanya pasti lesi jinak
tindakan reduksi dapat dibenarkan juga, tetapi pada pasien intususepsi tanpa riwayat
pembedahan abdomen sebelumnya sebaiknya dilakukan reseksi anastosmose

Gambar. Proses pembedahan intususepsi dengan milking13

3.Pasca Operasi

Hindari Dehidrasi

Pertahankan stabilitas elektrolit

Pengawasan akan inflamasi dan infeksi

Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu


motilitas usus

Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas sebagai penyebabnya
adalah besar, maka tidak dilakukan reduksi (milking) tetapi langsung dilakukan
reseksi. Sedangkan bila invaginasinya pada usus halus reduksi boleh dicoba dengan
hati-hati , tetapi bila terlihat ada tanda necrosis, perforasi, oedema,
reduksi tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi saja.
Apabila akan melakukan reseksi usus halus pada invaginasi dewasa
hendaknya dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan, ini untuk

menghindari / memperkecil timbulnya short bowel syndrom. Gejala short bowel


syndrom menurut Schrock, 1989 adalah:
1. Adanya reseksi usus yang etensif
2. Diaarhea
3. Steatorhe
4. Malnutrisi
Apabila usus halus yang tersisa 3 meter atau kurang akan menimbulkan
gangguan nutrisi dan gangguan pertumbuhan. Jika usus halus yang tersisa 2 meter
atau kurang fungsi dan kehidupan sangat terganggu. Dan jika tinggal 1 meter maka
dengan nutrisi prenteralpun tidak akan adequate.

BAB IV
DISKUSI

Pasien pada kasus merupakan bayi berusia 8 bulan yang masuk dengan
keluhan BAB darah segar sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Frekuensi BAB
bisa >10x dalam sehari, tidak bercampur feses, dan ada lendir. Keluhan disertai
dengan muntah yang berfrekuensi >10x dalam sehari, berwarna putih, berisi makanan
yang dimakan, ada lendir dalam muntahan, tidak ada darah. Orang tua pasien juga
mengeluhkan pasiennya panas / demam sejak mulai pertama kali muncul keluhan.
Orang tua pasien juga mengatakan ada benjolan lonjong yang muncul di perut pasien
diikuti keseluruhan perut yang semakin membesar/kembung. Pasien menjadi gelisah
saat pertama kali keluhan muncul, namun pasien menagis dan rewel hanya pada
waktu-waktu tertentu saja, sampai terbangun dari tidur dan terhenti ketika sedang
bermain, selebihnya pasien menjadi tenang dan bermain/tidur kembali. Sebelum

keluhan dirasakan, pasien dikatakan pernah jatuh dari kereta dorong sekitar 3 hari
sebelum dirasakan keluhan. Pasien masih minum ASI dan makan makanan
pendamping ASI (dari puskesmas). Pasien tidak pernah dipijat di daerah perut.
Riwayat imunisasi lengkap sampai saat ini. Riwayat kelahiran, lahir normal dengan
berat 2,8 kg.
Seperti telah dijelaskan di atas, intususepsi merupakan penyakit yang sering
muncul secara idiopatik pada anak usia 6 24 bulan 22, dan usia bayi pada kasus ini
masuk dalam range tersebut. Barulah pada usia di atas 24 bulan, jika terjadi
intususepsi, kelainan patologis harus dicari, seperti diverticulum Meckel dan lainlain22.
Seperi telah dibahas sebelumnya juga bahwa kebanyakan kasus intususepsi
merupakan kasus idiopatik. Namun dipikirkan juga bahwa hal ini bermula dari infeksi
virus baik di saluran napas, saluran pencernaan dan tempat lain yang menyebabkan
hipertrofi plaque Peyeri pada ileum sehingga membuat dindingnya kaku dan akhirnya
menjadi leading point.22 Pada pasien kasus ini, pasien tersebut sudah menerima
imunisasi lengkap (menurut anamnesis dengan ibu pasien) sampai usia 8 bulan ini.
Hal ini tidak mencegah infeksi virus pada pasien kasus yang menyebabkan
intususepsi. Hal ini dikarenakan begitu banyak pathogen viral yang berada pada
lingkungan sekitar, yang walaupun saat infeksi sifatnya asimtomatis, tetap telah
terjadi infeksi dan proses pertahanan dari tubuh seperti hipertrofi plaque Peyeri
tersebut yang merupakan suatu organ limfoid. 19-22 Infeksi pathogen ini tidak dapat
dicegah dengan imunisasi.16
Keluhan pasien yaitu BAB darah berlendir merupakan tanda patognomonik
untuk intususepsi, yang disebut currant jelly stool.22 Selain itu, pada pemeriksaan
fisis, ditemukan masa memanjang pada perut pasien yang menyerupai sosis, disebut
sausage like sign, dan merupakan suatu tanda khas lainnya untuk intususepsi22

Pada kasus ini, pasien tidak dilakukan reduksi radiografik untuk mencoba
menghilangkan keluhannya, padahal pasien sendiri belum ada tanda-tanda peritonitis
dan tidak mempunyai penyakit sistemik yang mendasari. Harusnya, jika reduksi
radiografik gagal, baru dilanjutkan ke terapi pembedahan untuk dilakukan milking
dan seterusnya22, namun pada pasien ini pendekatan yang diambil langsung
merupakan terapi pembedahan.
Terapi pembedahan pada pasien yang pertama yaitu milking, tidak berhasil
dikarenakan segmen colon yang mengalami invaginasi terlalu panjang dan sudah
terjadi nekrosis.22 dan ketika dilihat lebih jauh dilakukan reseksi usus, dan ternyata
ditemukan nekrosis pada pada usus halus sampai ke colon sigmoid, sehingga seluruh
segmen usus yang telah nekrosis itu harus dibuang, dan dilakukan anastomosis endto-end. Perlu diperhatikan bahwa seluruh segmen colon dibuang kecuali colon
sigmoid. Salah satu fungsi colon adalah sebagai tahap akhir penyerapan sebagian
besar air dari makanan dan minuman, sehingga jika colon sudah dibuang maka
sebagian besar air dari makanan dan minuman tidak akan diserap dan feses yang
dihasilkan akan cenderung lunak hingga berair.22 Hal inilah yang terlihat pada kasus
setelah pemulihan pasien.

Anda mungkin juga menyukai