PENDAHULUAN
Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk ke
dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan dapat
menjadi strangulasi kemudian mengalami komplikasi yang berujung pada sepsis dan
kematian. Intususepsi merupakan salah satu kegawatdaruratan yang umum pada anak.
Kelainan ini harus dikenali dengan cepat dan tepat serta memerlukan penanganan
segera karena misdiagnosis atau keterlambatan diagnosis akan meningkatkan angka
morbiditas1-6.
Intususepsi pertama kali digambarkan oleh Paul Barbette di Amsterdam pada tahun
1674. Jonathan Hutchinson melaporkan operasi pertama intususepsi yang berjalan
sukses terhadap anak usia 2 tahun pada tahun 1873(7). Literatur lain menyebutkan
Wilson merupakan yang pertama sukses dalam melakukan terapi pembedahan
intususepsi pada tahun 1831(2). Di tahun 1876, Harald Hirschprung menggambarkan
pendekatan sistematik dengan reduksi hidrostatik. Di Amerika Serikat, Ravitch
mempopulerkan penggunaan reduksi barium enema untuk mengatasi intususepsi(7).
Estimasi insidensi akurat dari intususepsi tidak tersedia untuk sebagian besar negara
berkembang, demikian juga di banyak negara maju(8). Irish (2011) menyebutkan
insiden intususepsi adalah 1,5-4 kasus per 1000 kelahiran hidup( 2). Berdasarkan usia,
intususepsi paling banyak dialami oleh anak usia kurang dari 1 tahun dengan puncak
usia 4-8 bulan(8,9). Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki paling banyak mengalami
intususepsi dengan rasio yang berbeda di masing-masing wilayah dimana rasio lakilaki dan perempuan untuk wilayah Asia adalah 9:1. Berdasarkan keterkaitan kejadian
intususepsi dengan musim, didapatkan hasil penelitian yang bervariasi di masing-
gejala(8).
Berdasarkan data di atas, menjadi suatu keharusan bagi para calon dokter umum yang
nantinya juga akan terjun ke masyarakat untuk memahami dan mengenali gejala awal
dari intususepsi sehingga dapat melakukan tindakan sesegera mungkin untuk
memperbaiki keadaan umum pasien kemudian merujuk ke spesialis bedah yang tepat
sehingga berdampak pada menurunnya angka morbiditas dan mortalitas dari
intususepsi.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Tgl MRS
Pengantar
No. RM
Agama
II.
: By. Sakinah
: 8 bulan
: Perempuan
: Werinama/Waihaong
: 8 Juli 2016 (18.30 WIT)
: Puskesmas Perawatan Rumahkay
: 10 17 16
: Islam
ANAMNESIS (Alloanamnesis)
Keluhan utama : BAB darah segar
Riwayat penyakit sekarang :
Keluhan dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Frekuensi
BAB bisa >10x dalam sehari, tidak bercampur feses, dan ada lendir. Keluhan
disertai dengan muntah yang berfrekuensi >10x dalam sehari, berwarna putih,
berisi makanan yang dimakan, ada lendir dalam muntahan, tidak ada darah.
Orang tua pasien juga mengeluhkan pasiennya panas / demam sejak mulai
pertama kali muncul keluhan. Orang tua pasien juga mengatakan ada benjolan
lonjong yang muncul di perut pasien diikuti keseluruhan perut yang semakin
membesar/kembung. Pasien menjadi gelisah saat pertama kali keluhan muncul,
namun pasien menagis dan rewel hanya pada waktu-waktu tertentu saja, sampai
terbangun dari tidur dan terhenti ketika sedang bermain, selebihnya pasien
menjadi tenang dan bermain/tidur kembali. Sebelum keluhan dirasakan, pasien
dikatakan pernah jatuh dari kereta dorong sekitar 3 hari sebelum dirasakan
keluhan. Pasien masih minum ASI dan makan makanan pendamping ASI (dari
puskesmas). Pasien tidak pernah dipijat di daerah perut. Riwayat imunisasi
lengkap sampai saat ini. Riwayat kelahiran, lahir normal dengan berat 2,8 kg.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien belum pernah mengalami kecelakaan seperti ini sebelumnya
Riwayat pengobatan :
PEMERIKSAAN FISIK
Gaslow Comma Scale: E4M6V4
Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi:120x Pernapasan:43x/mnt Suhu: 37,5C
BB: 6 kg
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Tenggorokan
Leher
Dada
- Jantung
- Paru
: Normocephal
: Anemis +/+, Ikterik -/: Rhinorea -/: Otorhea -/: Inspeksi: deformitas
: T1-T1, Hiperemis (-),
: Pembesaran KGB (-)
: Pengembangan dada simetris (kiri=kanan)
: BJ I, II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
: Bunyi napas dasar vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen
IV.
Genitalia
Ekstremitas
Rectal Touche
STATUS LOKALIS
Ditemukan massa panjang letak horizontal yang terletak pada regio lumbalis D,
umbilicalis sampai ke sebagian kecil regio lumbalis S. Massa teraba pada,
berbatas tegas dan permukaannya rata, massa berbentuk seperti sosis.
V.
DIAGNOSIS KERJA
- Susp. intususepsi
VI.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Foto polos abdomen
- Darah rutin Hb 13,5
VII.
PLANNING
- Puasa
- Pasang NGT
- IVFD KAEN 3B 28 tpm (makro)
- Cefotaxime 125 mg/12 jam/IV
- Paracetamol 60 mg/8 jam/IV
- Vitamik K.
- Pro laparatomi eksplorasi
VIII. FOLLOW-UP
Hari/tgl
Sabtu/9/7/2016
H.2
SOAP
S : BAB darah segar (+) 1x, perut
PLANNING
-
IVFD KAEN 3B
28 TPM
Cefotaxime 125
mg/12 jam/IV
Paracetamol drip
60 mg jika panas
Pro laparatomi
O:
Suhu: 37,5C
Abdomen: distensi BU (+) meningkat,
eksplorasi =
menunggu dr.
anestesi
Konsul anestesi
NGT terlepas,
A: susp. Intususepsi
Senin/11/7/2016
H.4
pasang ulang
NGT
IVFD KAEN 3B
28 TPM
Cefotaxime 125
O:
Abdomen: distensi BU (+) meningkat,
mg/12 jam/IV
7 cc jika panas =
A: susp. Intususepsi
Selasa/12/03/201
6
H.5
OP rawat ICU
Transfuse WB
150 cc
Cek DR post
transfusi besok
IVFD KAEN 3B
30 cc/jam infus
pump
Cefotaxime 125
mg/12 jam/IV
Paracetamol 125
mg/6 jam/IV
Pindah ruangan
O:
TTV DBN
harusnya 60 mg
Pro laparatomi
eksplorasi, selesai
kehitaman
Paracetamol drip
RCHW = baru
pindah siang
*follow up pagi
masih di ICU
30 cc/jam infus
-
pump
Cefotaxime 125
mg/12 jam/IV
Paracetamol 125
mg k/p
Ranitidine 10
mg/12 jam/IV
Klem NGT, boleh
IVFD KAEN 3B
minum sedikit-
sedikit
tertutup kasa
IVFD KAEN 3B
30 cc/jam infus
pump
Cefotaxime 125
mg/12 jam/IV
Paracetamol 125
mg k/p
Ranitidine 10
mg/12 jam/IV
Aff drain
Aff NGT
Mulai minum
tertutup kasa
susu 50 cc 100
cc
Aff infus
Diet bebas
Amoksisilin syr
2x1/2 cth
Rawat luka
Diet bebas
Amoksisilin syr
2x1/2 cth
Rawat luka
Diet bebas
Amoksisilin syr
2x1/2 cth
Rawat luka
Besok boleh
normal
Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen
tertutup kasa
Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen
tertutup kasa
A: Post laparatomi reseksi colon H.6
Senin/18/7/2016
H.11
pulang
Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen 1
jahitan terbuka, dirawat, kemudian
ditutup kassa
A: Post laparatomi reseksi colon H.8
Selasa/19/7/2016
H.12
Diet bebas
Amoksisilin syr
2x1/2 cth
Rawat luka
dengan absorbent
Boleh pulang
Diet bebas
Amoksisilin syr
2x1/2 cth
Rawat luka
dengan absorbent
Boleh pulang
Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen 1
jahitan terbuka, surrounding edema, pus
(+) bila ditekan
Status lokalis
Luka post op pada midline abdomen 1
jahitan terbuka, surrounding edema, pus
sudah kering
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Intususepsi
adalah
suatu
keadaan
dimana
segmen
usus
proksimal
dari
Perbedaan eksterna
1. Usus halus (kecuali duodenum) bersifat mobil, sedangkan colon
asenden dan colon desenden terfiksasi tidak mudah bergerak.
2. Ukuran usus halus umumnya lebih kecil dibandingkan dengan usus
besar yang terisi.
3. Usus halus (kecuali duodenum) mempunyai mesenterium yang berjalan
ke bawah menyilang garis tengah, menuju fosa iliaka kanan.
4. Otot longitudinal usus halus membentuk lapisan kontinyu sekitar usus.
Pada usus besar (kecuali appendix) otot longitudinal tergabung dalam tiga
pita yaitu taenia coli.
5. Usus halus tidak mempunyai kantong lemak yang melekat pada
dindingnya. Usus besar mempunyai kantong lemak yang dinamakan
appandices epiploideae.
6. Dinding usus halus adalah halus, sedangkan dinding usus besar sakular.
Perbedaan interna
1. Mucosa usus halus mempunyai lipatan yang permanen yang dinamakan
plica silcularis, sedangkan pada usus besar tidak ada.
2. Mukosa usus halus mempunyai fili, sedangkan mukosa usus besar tidak.
3. Kelompokan jaringan limfoid (agmen feyer)
usus halus , jaringan limfoid ini tidak ditemukan pada usus besar.
2.3 Klasifikasi
Intususepsi dibedakan dalam 4 tipe :
1. Enterik : usus halus ke usus halus
2. Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps ke sekum dan
menarik ileum di belakangnya. Valvula tersebut merupakan apex dari
intususepsi.
3. Kolokolika : kolon ke kolon.
4. Ileokoloika : ileum invaginasi prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.
Umumnya para penulis menyetujui bahwa paling sering intususepsi
mengenai valvula ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan
insidensi
1, 4
seperti
2.5 Patofisiologi
Invaginasi akan menimbulkan gangguan pasase usus ( obstruksi ) baik
partial maupun total dan stranggulasi Proses terjadinya invaginasi dimulai dengan
hiperperistaltik usus bagian proksimal yang lebih mobil menyebabakan usus
masuk ke dalam lumen usus distal kemudian berkontraksi terjadi edema
mengakibatkan terjadinya perlekatan yang tidak dapat kembali normal sehingga
terjadi invaginasi.
Sedangkan pada orang dewasa biasanya di awali adanya gangguan motilitas
usus lainnya yang terfiksir/ atau kurang bebas dibandingkan bagian lainnya,karena
arah peristaltik adalah dari oral ke anal sehingga bagian yang masuk ke lumen usus
adalah yang arah oral atau proksimal, keadaan lainnya karena suatu disritmik
peristaltik usus. Akibat adanya segmen usus yang masuk ke segmen usus lainnya
akan menyebabkan dinding usus yang terjepit sehingga akan mengakibatkan aliran
darah menurun dan keadaan akhir adalah akan menyebabkan nekrosis dinding usus.
setelah
24
jam setelah
terjadinya distensi setelah lebih 24 jam ke dua disertai keadaan klinis lainnya yang
hampir sama gambarannya seperti intususepsi pada anak-anak. Pada orang dewaasa
sering ditemukan perjalanan penyakit yang jauh lebih panjang, dan kegagalan yang
berulang-ulang dalam usaha menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan radiologis
dan pemeriksaan-pemeriksaan lain.
Adanya gejala obstruksi usus yang berulang, harus dipikirkan kemungkinan
intususepsi. Kegagalan untuk memperkuat diagnosis dengan pemeriksaan radiologis
seringkali menyebabkan tidak ditegakkanya diagnosis. Pemeriksaan radiologis
sering tidak berhasil mengkonfirmasikan diagnosis karena tidak terdapat intususepsi
pada saat dilakukan pemeriksaan. Intussusepsi yang terjadi beberapa saat
sebelumnya telah tereduksi spontan. Dengan demikian diagnosis intussusepsi harus
dipikirkan pada kasus orang dewasa dengan serangan obstruksi usus yang berulang,
meskipun
pemeriksaan radiologis
memberikan hasil yang positif. Pada kasus intususepsi kronis ini, gejala yang timbul
seringkali tidak jelas dan membingungkan sampai terjadi invaginasi yang menetap.
Ini terutama terdiri dari serangan kolik yang berulang, yang seringkali disertai
muntah, dan kadang-kadang juga diare. Pada banyak kasus ditemukan pengeluaran
darah dan lendir melalui rektum, namun kadang-kadang ini juga tidak ditemukan.
Gejala-gejala lain yang juga mungkin didapatkan adalah tenesmus dan anoreksia.
Masa abdomen dapat diraba pada kebanyakan kasus, terutama pada saat serangan.
2.7 Diagnosis
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa nyeri kolik sampai kejang yang
ditandai dengan flexi sendi koksa dan lutut secara intermiten, nyeri disebabkan oleh
iskemi segmen usus yang terinvaginasi. Iskemi pertama kali terjadi pada mukosa usus
bila berlanjut akan terjadi strangulasi yang ditandai dengan keluarnya mucus
bercampur dengan darah sehingga tampak seperti agar-agar jeli darah Terdapatnya
darah samar dalam tinja dijumpai pada + 40%, darah makroskopis pada tinja dijumpai
pada + 40% dan pemeriksaan Guaiac negatif dan hanya ditemukan mucus pada +
20% kasus. Diare merupakan suatu gejala awal disebabkan oleh perubahan faali
saluran pencernaan ataupun oleh karena infeksi. Diare yang disebut sebagai gejala
paling awal
invaginasi,
didapatkan
pada
85% kasus.
Pasien
biasanya
mulai
dari
makanan dan
minuman yang terakhir dimakan sampai muntah bilus. Muntah bilus suatu pertanda
ada refluks gaster oleh adanya sumbatan di segmen usus sebelah anal. Muntah
dialami seluruh pasien. Gejala lain berupa kembung, suatu gambaran adanya
distensi sistem usus oleh suatu sumbatan didapatkan pada 90%. Gejala lain yang
dijumpai berupa distensi, pireksia, Dances Sign dan Sausage Like Sign, terdapat
darah samar, lendir dan darah makroskopis pada tinja serta tanda-tanda peritonitis
dijumpai bila telah terjadi perforasi. Dances Sign dan Sausage Like Sign dijumpai
pada + 60% kasus, tanda ini patognomonik pada invaginasi. Masa invaginasi akan
teraba seperti batang sosis, yang tersering ditemukan pada daerah paraumbilikal.
Daerah yang ditinggalkan intususeptum akan teraba kosong dan tanda ini disebut
sebagai Dances Sign. 18,22
Pemeriksaan colok dubur didapatkan feces bercampur
lendir
dan darah
(dapat ditemukan juga dari anamnesis, disebut currant jelly stool) 22 pada sarung
tangan merupakan suatu tanda yang patognomonik. Pemeriksaan foto polos abdomen,
dijumpainya tanda obstruksi dan masa di kwadran tertentu dari abdomen
menunjukkan dugaan kuat suatu invaginasi. USG membantu menegakkan diagnosis
invaginasi dengan gambaran target sign pada potongan melintang invaginasi dan
pseudo kidney sign pada potongan longitudinal invaginasi. Foto dengan kontras
barium enema dilakukan bila pasien ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan
sebagai diagnostik maupun terapetik.
TRIAS INVAGINASI :
1. Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengankat kaki (Cramping
pain), bila lanjut sakitnya kontinyu
2. Muntah warna hijau (cairan lambung)
Radiologis
Foto abdomen 3 posisi :
Tanda obstruksi (+) : Distensi, Air fluid level, Hering bone (gambaran
plika circularis usus)
Bila bayi stabil, tidak ada tanda-tanda peritonitis dan kelainan sistemik, reduksi
radiografik dapat diindikasikan.
Colon In loop berfungsi sebagai :
Terapi :
Reposisi
peritonitis dan kejadian < 24 jam. Reposisi dianggap berhasil bila setelah
rectal tube ditarik dari anus barium keluar bersama feses dan udara.
barium enema
Seperti
telah
disebutkan
sebelumnya,
sebagian
kasus
intususepsi
bahwa
yang
memungkinkan
invaginasi
terjadi
tanpa
2.8 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan adalah :
1. Koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Menghilangkan peregangan usus dan muntah dengan selang nasogastrik.
3. Antibiotika.
4. Laparotomi eksplorasi.
Keberhasilan
penatalaksanaan
invaginasi
ditentukan
oleh
cepatnya
pertolongan diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan pertama,
maka akan memberikan prognosa yang lebih baik. Penatalaksanaan
penanganan
suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu mencakup dua tindakan :
Reduksi radiografik22
Yang pertama ada metode air enema yang merupakan prosedur diagnostic maupun
terapeutik. Udara diberikan melalui manometer dengan tekanan biasanya tidak
melebihi 120 mmHg.22 Keberhasilan terapinya ditandai dengan adanya refluks udara
di seluruh ruang usus halus dan perbaikan gejala pasien karena bayi dengan seketika
hilang nyerinya.22
Yang kedua ada reduksi hidrostatik dengan barium enema. Metode ini dengan
cara memasukkan barium melalui
tertentu. Pertama kali keberhasilannya dikemukakan oleh Ladd tahun 1913 dan
diulang keberhasilannya oleh Hirschprung tahun 1976.22Cara ini dapat dipilih untuk
diagnostic tapi juga untuk terapi jika air enema tidak berhasil.22
Tatalaksana reduksi hidrostatik dilakukan dengan memperhatikan Rule Of
Three 3 feet (setinggi 3 kaki diatas pasien), 3 minutes (dilakukan dalam waktu 3
menit), dan 3 times (dilakukan 3 kali).13-15
Keberhasilan gabungan dari reduksi radiografik bervariasi dari tiap center,
yaitu sekitar 60-90%.22
harus dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung kepada ketrampilan dan
pengalaman operator. Reseksi usus dilakukan apabila pada kasus yang tidak berhasil
direduksi dengan cara manual, bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan
patologis
sebagai
usus
direseksi
dilakukan
anastomose end to end apabila hal ini memungkinkan, bila tidak mungkin maka
dilakukan exteriorisasi atau enterostomi. Diagnosis pada saat pembedahan tidak sulit
dibuat. Pada intususepsi yang mengenai kolon sangat besar kemungkinan
penyebabnya adalah suatu keganasan, oleh karena itu ahli bedah dianjurkan untuk
segera
melakukan reseksi,
Pada
intususepsi dari usus halus harus dilakukan usaha reduksi dengan hati-hati. Jika
ditemukan kelainan telah mengalami nekrosis, reduksi tidak perlu dikerjakan dan
reseksi segera dilakukan. Pada kasus-kasus yang idiopatik, tidak ada yang perlu
dilakukan selain reduksi. Tumor benigna harus diangkat secara lokal, tapi jika ada
keragu-raguan mengenai keganasan, cukup reseksi yang harus dikerjakan. Jika
terdapat pengulangan gejala intususepsi, dapat dilakukan air enema atau barium
enema kembali, namun jika sudah berulang 3 kali atau lebih, maka lead point
patologis harus dicari dengan cermat melalui foto dengan kontras, dan biasanya ahli
bedah anak akan melakukan laparatomi eksplorasi untuk mencari dan mereseksi lead
point.22
1. Pre-operatif
Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama seperti penangan
pada kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan keadaan umum seperti rehidrasi
dan koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit elektrolit.
1. Durante Operatif
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan laparotomi, karena
kausa terbanyak intususepsi pada dewasa adalah suatu keadaan neoplasma maka
tindakan yang dianjurkan adalah reseksi anastosmose segmen usus yang terlibat
dengan memastikan lead pointnya, baik itu neoplasma yang bersifat jinak maupun
yang ganas.
Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko:
1. Ruptur dinding usus selama manipulasi
2. Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
3. Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
4. Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan otilitas
5. Pembengkakan segmen usus yang terlibat
Batas reseksi pada umumnya adalah 10cm dari tepi tepi segmen usus
yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal minimum 30 cm dari lesi,
kemudian dilakukan anastosmose end to end atau side to side.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi/lead pointnya tidak
ditemukan maka tindakan reduksi dapat dianjurkan, begitu juga pada kasus
retrograd intususepsi pasca gastrojejunostomi tindakan reduksi dapat dibenarkan,
keadaan lainya seperti intususepsi pada usus halus yang kausanya pasti lesi jinak
tindakan reduksi dapat dibenarkan juga, tetapi pada pasien intususepsi tanpa riwayat
pembedahan abdomen sebelumnya sebaiknya dilakukan reseksi anastosmose
3.Pasca Operasi
Hindari Dehidrasi
Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas sebagai penyebabnya
adalah besar, maka tidak dilakukan reduksi (milking) tetapi langsung dilakukan
reseksi. Sedangkan bila invaginasinya pada usus halus reduksi boleh dicoba dengan
hati-hati , tetapi bila terlihat ada tanda necrosis, perforasi, oedema,
reduksi tidak boleh dilakukan, maka langsung direseksi saja.
Apabila akan melakukan reseksi usus halus pada invaginasi dewasa
hendaknya dipertimbangkan juga sisa usus halus yang ditinggalkan, ini untuk
BAB IV
DISKUSI
Pasien pada kasus merupakan bayi berusia 8 bulan yang masuk dengan
keluhan BAB darah segar sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Frekuensi BAB
bisa >10x dalam sehari, tidak bercampur feses, dan ada lendir. Keluhan disertai
dengan muntah yang berfrekuensi >10x dalam sehari, berwarna putih, berisi makanan
yang dimakan, ada lendir dalam muntahan, tidak ada darah. Orang tua pasien juga
mengeluhkan pasiennya panas / demam sejak mulai pertama kali muncul keluhan.
Orang tua pasien juga mengatakan ada benjolan lonjong yang muncul di perut pasien
diikuti keseluruhan perut yang semakin membesar/kembung. Pasien menjadi gelisah
saat pertama kali keluhan muncul, namun pasien menagis dan rewel hanya pada
waktu-waktu tertentu saja, sampai terbangun dari tidur dan terhenti ketika sedang
bermain, selebihnya pasien menjadi tenang dan bermain/tidur kembali. Sebelum
keluhan dirasakan, pasien dikatakan pernah jatuh dari kereta dorong sekitar 3 hari
sebelum dirasakan keluhan. Pasien masih minum ASI dan makan makanan
pendamping ASI (dari puskesmas). Pasien tidak pernah dipijat di daerah perut.
Riwayat imunisasi lengkap sampai saat ini. Riwayat kelahiran, lahir normal dengan
berat 2,8 kg.
Seperti telah dijelaskan di atas, intususepsi merupakan penyakit yang sering
muncul secara idiopatik pada anak usia 6 24 bulan 22, dan usia bayi pada kasus ini
masuk dalam range tersebut. Barulah pada usia di atas 24 bulan, jika terjadi
intususepsi, kelainan patologis harus dicari, seperti diverticulum Meckel dan lainlain22.
Seperi telah dibahas sebelumnya juga bahwa kebanyakan kasus intususepsi
merupakan kasus idiopatik. Namun dipikirkan juga bahwa hal ini bermula dari infeksi
virus baik di saluran napas, saluran pencernaan dan tempat lain yang menyebabkan
hipertrofi plaque Peyeri pada ileum sehingga membuat dindingnya kaku dan akhirnya
menjadi leading point.22 Pada pasien kasus ini, pasien tersebut sudah menerima
imunisasi lengkap (menurut anamnesis dengan ibu pasien) sampai usia 8 bulan ini.
Hal ini tidak mencegah infeksi virus pada pasien kasus yang menyebabkan
intususepsi. Hal ini dikarenakan begitu banyak pathogen viral yang berada pada
lingkungan sekitar, yang walaupun saat infeksi sifatnya asimtomatis, tetap telah
terjadi infeksi dan proses pertahanan dari tubuh seperti hipertrofi plaque Peyeri
tersebut yang merupakan suatu organ limfoid. 19-22 Infeksi pathogen ini tidak dapat
dicegah dengan imunisasi.16
Keluhan pasien yaitu BAB darah berlendir merupakan tanda patognomonik
untuk intususepsi, yang disebut currant jelly stool.22 Selain itu, pada pemeriksaan
fisis, ditemukan masa memanjang pada perut pasien yang menyerupai sosis, disebut
sausage like sign, dan merupakan suatu tanda khas lainnya untuk intususepsi22
Pada kasus ini, pasien tidak dilakukan reduksi radiografik untuk mencoba
menghilangkan keluhannya, padahal pasien sendiri belum ada tanda-tanda peritonitis
dan tidak mempunyai penyakit sistemik yang mendasari. Harusnya, jika reduksi
radiografik gagal, baru dilanjutkan ke terapi pembedahan untuk dilakukan milking
dan seterusnya22, namun pada pasien ini pendekatan yang diambil langsung
merupakan terapi pembedahan.
Terapi pembedahan pada pasien yang pertama yaitu milking, tidak berhasil
dikarenakan segmen colon yang mengalami invaginasi terlalu panjang dan sudah
terjadi nekrosis.22 dan ketika dilihat lebih jauh dilakukan reseksi usus, dan ternyata
ditemukan nekrosis pada pada usus halus sampai ke colon sigmoid, sehingga seluruh
segmen usus yang telah nekrosis itu harus dibuang, dan dilakukan anastomosis endto-end. Perlu diperhatikan bahwa seluruh segmen colon dibuang kecuali colon
sigmoid. Salah satu fungsi colon adalah sebagai tahap akhir penyerapan sebagian
besar air dari makanan dan minuman, sehingga jika colon sudah dibuang maka
sebagian besar air dari makanan dan minuman tidak akan diserap dan feses yang
dihasilkan akan cenderung lunak hingga berair.22 Hal inilah yang terlihat pada kasus
setelah pemulihan pasien.