Anda di halaman 1dari 39

BAGIAN ILMU KESEHATAN REFERAT

KULIT DAN KELAMIN MARET 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA

Diagnosis Banding Sifilis Sekunder

Disusun Oleh :

Meilisa M Kusdianto

NIM. 202084048

Pembimbing :

dr. Amanda G. Manuputty, Sp.DV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa

karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini guna

penyelesaian tugas kepaniteraan klinik pada bagian kulit dan kelamin dengan

judul referat “Diagnosis Banding Sifilis Sekender”. Dalam penulisan referat ini,

banyak pihak yang turut terlibat untuk penyelesaiannya. Untuk itu penulis ingin

berterima kasih kepada:

1. dr. Amanda G. Manuputty, Sp.DV, selaku Dokter spesialis sekaligus

pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian referat

ini.

2. Orang tua dan semua pihak yang telah membantu serta memberi motivasi

penulis dalam menyelesaikan penulisan referat ini.

Penulis menyadari bahwa sesungguhnya referat ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan banyak masukkan berupa

kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perkembangan penulisan referat

dalam waktu yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga referat ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Ambon, Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................iv

I.1 Latar Belakang...............................................................................................iv

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................1

II.1 Definisi..........................................................................................................1

II.2 Etiologi..........................................................................................................1

II.3 Etiopatogenesis..............................................................................................3

II.4 Manifestasi Klinis..........................................................................................4

II.5 Diagnosis.......................................................................................................6

II.6 Diagnosis Banding.......................................................................................11

II.7 Tatalaksana..................................................................................................15

II.8 Prognosis......................................................................................................19

BAB III PENUTUP...............................................................................................20

III.1 Kesimpulan.................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sifilis merupakan salah satu IMS (infeksi menular seksual) yang

disebabkan oleh Treponema pallidum, bersifat kronis, sejak awal merupakan

infeksi sistemik, dalam perjalanan penyakitnya dapat mengenai hampir seluruh

bagian tubuh dan dapat menimbulkan kondisi cukup parah misalnya infeksi otak

(neurosifilis), kecacatan tubuh (gumma).(1),(2) Sifilis dapat bermanifestasi lokal dan

sistemik berbetuk bermacam-macam dan dapat menyerupai banyak penyakit

sehingga sering disebut sebagai “the great imitator” atau “the great impostor”.

Dalam perjalanannya, sifilis kadang dapat dikenali karena pada sebagain besar

infeksi berlangsung silent, dapat diselingi dengan periode laten tanpa gejala, dan

dapat disembuhkan. Bila dibiarkan tanpa diobati, penyakit akan berkembang ke

dalam berbagai stadium, menyebabkan penyakit yang berpotensi serius dan

mengancam jiwa.(3)

Treponema pallidum adalah bakteri penyebab infeksi sifillis yang

memiliki panjang sekitar 6-15 µm, lebar 0,15 µm dan tubuh yang berlekuk –

lekuk mencapai 8 – 24 lekukan. Bakteri ini berkembang biak dengan cara

pembelahan melintang. Kualitas imunitas memiliki peranan dalam infeksi sifilis

sekunder.(4,5) Sifillis sekunder adalah tahap lanjutan dari sifillis primer yang terjadi

dengan karakteristik berupa ruam pada jaringan kutaneus, demam, gatal,

iv
limfadenopati dan malaise. Lesi pada penderita sifillis sekunder berbentuk

makulopapul, papul, pustular atau anular.(4,6)

WHO menemukan prevalensi kasus sifillis setiap tahun terjadi sebanyak

12 juta kasus baru. Angka kejadian sifillis di negeri cina lebih besar pada daerah

dengan tingkat ekonomi rendah. Adanya T. pallidum pada pemeriksaan lapangan

gelap merupakan tanda untuk mendiagnosis sifillis. Pemeriksaan venereal

Disease Research Laboratory test (VDRL), treponema pallidum

haemaglutination test (TPHA) dan treponemal enzyme immunoassay (EIA) untuk

menemukan antibodi yang terbentuk akibat infeksi T. pallidum. Sifillis sekunder

yang tidak tertangani dengan baik dapat mengakibatkan komplikasi yang buruk

bagi penderitanya seperti kelainan kardiovaskuler, lesi nodul di area kulit dan

tulang dan sifillis pada sistem saraf pusat.(6,7)

v
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Sifilis merupakan suatu infeksi menular seksual yang disebabkan oleh

Treponema pallidum, suatu spesies bakteri gram negatif, berbentuk spiral yang

dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh. Organisme ini sangat tipis,

lembut, dan sulit ditumbuhkan secara in vitro. Penularan sifilis terutama melalui

hubungan seksual, tetapi penyakit ini dapat pula ditularkan secara vertikal dari ibu

ke janin melalui jalur transplasenta, melalui transfusi darah, atau perlukaan dari

instrumen yang terkontaminasi.(8)

II.2 Etiologi

Treponema pallidum subspecies pallidum termasuk dalam famili bakteria

berbentuk spiral, spirochaetaceae dan berkaitan dengan treponema pathogen lain

yang menyebabkan penyakit yang tergolong treponematosis endemic. Treponema

pallidum subsp.endemicum (bejel), Treponema pallidum subsp.pertenue,

Treponema pallidum subsp.carateum dapat dibedakan dari Treponema pallidum

subsp.pallidum berdasarkan manifestasi klinis penyakit yang ditimbulkan,

distribusi geografis, spesifitas jaringan penjamu, patogenesis, dan yang terbaru

oleh perbedaan genetiknya. Dari keempat subspesies Treponema di atas, hanya

sifilis yang merupakan peyakit kelamin.(9–11)

1
T.pallidum subspesies pallidum berbentuk spiral tipis, mempunyai sel

yang dibungkus membran trilaminarcytoplasmi, yang terdiri dari lapisan

peptidoglikan serta lipid rich outer membrane yang hanya memiliki sedikit

protein sehingga berguna untuk menghindari deteksi sistem imun. Untuk

mobilisasi organisme ini memiliki endoflagella. (9–11)

T.pallidum tidak dapat dikultur secara invitro. T.pallidum memiliki

beberapa gen yang bertanggung jawab pada transport asam amino, karbohidrat

dan elektrolit. Organisme ini memiliki single circular genome yang stabil tanpa

elemen yang mudah berpindah-pindah seperti bakteri lain. Hal ini menyebabkan

organisme ini sulit bermutasi dan mungkin dapat menjelaskan rendahnya kejadian

resistensi antibiotika pada sifilis. (9–11)

Gambar 1. Gambaran mikroskop elektron T. Pallidum(8)

Gambar 2. Gambaran mikroskop elektron T. Pallidum dengan pengecatan Steiner silver(8)

2
II.3 Penularan Dan Perjalanan Penyakit

Penularan dan perjalanan penyakit Treponema palidum masuk melalui

selaput lendir yang utuh, atau kulit yang mengalami abrasi, menuju kelenjar limfe,

kemudian masuk ke dalam pembuluh darah, dan diedarkan ke seluruh tubuh.

Setelah beredar beberapa jam, infeksi menjadi sistemik walaupun tanda-tanda

klinis dan serologis belum jelas. Kisaran satu minggu setelah terinfeksi

Treponema palidum, ditempat masuk timbul lesi primer berupa ulkus. Ulkus akan

muncul selama satu hingga lima minggu, kemudian menghilang.(12)

Uji serologis masih akan negatif ketika ulkus pertama kali muncul dan

baru akan reaktif setelah satu sampai empat minggu berikutnya. Enam minggu

kemudian, timbul erupsi seluruh tubuh pada sebagian kasus sifilis sekunder. Ruam

ini akan hilang kisaran dua sampai enam minggu, karena terjadi penyembuhan

spontan. Perjalanan penyakit menuju ke tingkat laten, dimana tidak ditemukan

tanda-tanda klinis, kecuali hasil pemeriksaan serologis yang reaktif. Masa laten

dapat berlangsung bertahuntahun atau seumur hidup.(13)

II.4 Klasifikasi

Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis

kongenital dibagi menjadi: dini (sebelum 2 tahun), lanjut (sesudah 2 tahun), dan

stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut 2 cara, yaitu secara klinis dan

epidemiologic. Menurut cara pertama sifilis, siflis dibagi menjadi 3 stadium:

stadium 1 (S1), stadium 2 (S2) dan stadium 3 (S3). Secara epidemiologic menurut

WHO dibagi menjadi(14):

3
1. Stadium dini menular (dalam 1 tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II,

Stadium rekuren dan stadium laten dini.

2. Stadium lanjut tak menular (setelah 1 tahun sejak infeksi). Terdiri atas

stadium laten lanjut dan S III.

II.4 Manifestasi Klinis

Berdasarkan gejala klinisnya sifilis dibagi menjadi beberapa stadium yaitu

sifilis primer dengan gejala khas berupa ulkus pada daerah inokulasi, sifilis

sekunder dengan manifestasi pada kulit berupa ruam kulit, mukokutaneus, dan

limfadenopati, sifilis laten yang terbagi menjadi sifilis laten dini dan laten lanjut,

biasanya tanpa manifestasi klinis namun terdeteksi dengan pemeriksaan serologis,

sifilis tersier yang biasanya ditandai dengan gumma, sifilis kardiovaskuler atau

neurosifilis.(15)

II.4 .2 Sifilis Sekunder

Lesi sifilis sekunder timbul akibat penyebaran T.pallidum secara limfatik

dan hematogen dari lesi primer yang kemudian terdeposisi di berbagai jaringan.

Lesi pada sifilis sekunder umumnya muncul dalam waktu 3 hingga 12 minggu

setelah munculnya chancre namun pada 15% kasus dapat muncul beberapa bulan

setelahnya.(16) Gejala sistemik berupa sakit tenggorokan, demam, myalgia,

kelemahan badan dan nafsu makan yang menurun dapat terjadi.

Manifestasi sifilis sekunder yang paling sering ditemukan adalah roseola

sifilitika yaitu lesi erupsi makular yang diskret, bentuk bulat-oval, berukuran Ø

0,5-2 cm, terdistribusi pada badan, fleksor ekstremitas atas, dan telapak tangan

dan kaki. Pada 75% kasus ruam ditemukan pada telapak tangan dan kaki. (15) Lesi

4
biasanya berwarna merah tembaga dan memiliki distribusi simetris bilateral. Lesi

umumnya tidak gatal, meskipun pada suatu penelitian dapat ditemukan rasa gatal

pada 40% pasien. kondilomata lata berupa kemerahan, papula atau plak, halus,

basah. Sering pada daerah genital dan anal, psoriasis syphilitica dan frambosia

syphilitica, pembesaran kelenjar, lesi membran mukosa, mata (iritis, uveitis

anterior, chorioretinitis), pendengaran (sensorineural hearing loss, labyrinthitis),

kuku (onychia, onycholisis), tulang (periostitis, osteomyelitis), darah (anemia,

leukocytosis), ginjal (acute membranous glomerulonephritis), hepar (jaundice),

lambung (epigastric pain).(17)

Pada sifilis sekunder yang mengalami relaps lesi sering unilateral dan

berbentuk asinar. Pada kulit kepala dijumpai alopesia yang disebut moth-eaten

alopecia yang dimulai pada daerah oksipital. Lesi sifilis sekunder dapat muncul

pada waklu lesi sifilis primer masih ada. Pada umumnya dijumpai pembesaran

kclenjar limfe multipel superfisial pada tubuh dan sering terjadi pembesaran limpa

(splenomegali).(18)

Gambar 3. Ruam pada sifilis sekunder(8)

5
Gambar 4. Lesi pada sifilis sekunder: multiple, papula bersisik yang mengalami
hiperpigmentasi di telapak tangan(8)

Gambar 5. Erupsi sifilis papulosquamous dengan eritema, berbatas tegas, plak putih yang
ditutupi dengan sisik(8)

Gambar 6. Lesi sifilis sekunder pada telapak tangan dan gambaran moth eaten alopecia
pada sifilis sekunder(8)

6
Gambar 7. Papul pada penis sifilis sekunder(8)

Gambar 8. Mucous patches di lidah pada sifilis sekunder(8)

Gambar 9. Lesi hiperkeeratotik pada sifilis sekunder (8)

7
Gambar 10. Lesi psoriaform pada sifilis sekunder(8)

II.5 Diagnosis

Diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

penunjang untuk mendeteksi infeksi oleh T. pallidum secara langsung maupun

tidak langsung. Untuk diagnosis sifilis langsung dari spesimen klinis dapat

dilakukan pemeriksaan Dark Field Microscope (DFM). Pada pemeriksaan

mikroskop lapangan gelap, T. pallidum dapat diidentifikasikan melalui

karakteristik morfologi yang berbentuk spiral dan pergerakannya berupa rotasi,

fleksi, dan gerakan seperti membuka tutup botol.20 Identifikasi T. pallidum dengan

DFM atau DFA merupakan diagnosis pasti untuk sifilis, namun pemeriksaan ini

memerlukan tenaga laboratorium yang terlatih dan tidak tersedia secara luas.

Pemeriksaan DFM memungkinkan untuk dilakukan apabila terdapat lesi yang

lembab dan spesimen juga harus segera diperiksa. Kegagalan dalam menemukan

organisme pada suatu spesimen tidak langsung menyingkirkan diagnosis sifilis

karena pemeriksaan DFM memiliki sensitivitas yang rendah, terutama untuk lesi

yang kurang lembab.(8) Metode pemeriksaan diagnosis utama sifilis dapat

menggunakan pemeriksaan serologis, yang mampu mendiagnosis sifilis pada

semua stadium. Pemeriksaan serologis dibagi menjadi dua yaitu tes treponemal

dan tes non treponemal. Tes non treponemal memiliki harga yang terjangkau

8
sehingga digunakan secara luas sebagai skrining. Salah satu tes non treponemal

yang sering dilakukan yaitu venereal disease research laboratory (VDRL) atau

rapid plasma reagen (RPR) dengan menggunakan antigen atau reagen kombinasi

kardiolipin, kolesterol dan lesitin. Tes ini mendeteksi keberadaan antibodi anti

kardiolipin, suatu komponen membran sel mamalia yang mengalami modifikasi

oleh Treponema pallidum. Tes akan reaktif pada 4-5 minggu setelah infeksi.

VDRL memiliki sensitivitas sebesar 70-80% pada sifilis primer dan 99-100%

pada sifilis sekunder namun spesifisitas terbatas. Titer VDRL yang tinggi (≥32)

mengindikasikan keaktifan penyakit. Tes VDRL ini berguna sebagai monitoring

hasil pengobatan.(19,20) Pada koinfeksi sifilis dan HIV dapat terjadi beberapa hal

seperti, titer yang terlalu tinggi, hasil negatif palsu dan seropositivitas yang

terlambat.(14)

Gambar 11. Darkfield mikroskopy yang memperlihatkan T. Pallidum(8)

II.6 Diagnosis Banding

II.6.1 Sifilis Primer

Dasar diagnosis sifilis primer sebagai berikut. Pada anamesis dapat

diketahui masa inkubasi, gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala

setempat yaitu tidak ada rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat

erosi/ulkus yang bersih, soliter, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi, T.

9
Pallidum positif. Kelainan dapat nyeri bila disertai infeksi sekunder. Kelenjar

regional dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis,

tanpa supurasi. Tes serologic setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah.

Sebagai diagnosis banding dapat dikemukakan beberapa penyakit antara lain,

herpes simpleks, ulkus piogenik, scabies, balanitis, limfogranuloma venerum,

karsinoma sel skuamosa, penyakit behcet dan ulkus mole.(14)

II.6.2 Sifilis Sekunder

Dasar diagnosis sifilis sekunder sebagai berikut, sifilis sekunder timbul 6-8

minggu setelah sifilis primer. Sifilis sekunder dapat menyerupai berbagai penyakit

kulit. Untuk membedakanya dengan penyakit lain ada beberapa pegangan

diantaranya, pada anamesis ditanyakan apakah pernah menderita luka di area

genitalia (S I) yang tidak nyeri.(14)

Klinis yang penting umumnya berupa kelainan tidak gatal. Pada sifilis

sekunder dini kelainan generalisata, hamper simetrik, telapak tangan/kaki juga

dikenai. Pada sifilis sekunder lambat terdapat kelainan setempat-setempat,

berkelompok dan tersusun menurut susunan tertentu misalnya, asinar, polisiklik

dan korimbiformis. Biasanya terdapat limfadenitis generalisata. Tes serologic

positif kuat pada sifilis sekunder dini dan lebih kuat lagi pada sifilis sekunder

lanjut. Sifilis dapat menyerupai berbagai penyakit sehingga erupsi obat alergik,

morbilli, pitriasis rosea, psoriasis, dermatitis seboroik, kondiloma akuiminata,

dan alopesia areata merupakan diagnosis banding dari sifilis sekunder.(14)

II.6.2.1 Erupsi Obat Alergi

Erupsi obat merupakan kelainan akibat konsumsi obat, dapat terbatas

hanya melibatkan kulit atau merupakan bagian dari reaksi sistemik seperti

10
sindrom hipersensitivitas obat (disebut juga drug-induced hypersensitivity

reaction/DIHS atau drug reaction with eosinophilia and systemic

symptoms/DRESS).(21)

Manifestasi klinis erupsi obat makulopapuler berupa makula dan papul

yang eritema, muncul dalam 1-6 minggu setelah konsumsi obat. Hampir selalu

disertai gatal. Tidak disertai pustul atau bula. Predileksi pada tubuh dan

ekstremitas, tidak mengenai telapak tangan dan kaki, seringkali generalisata dan

cenderung simetris. Resolusi terjadi dalam 7-14 hari, ditandai perubahan warna

dari merah menjadi merah gelap/merah kecoklatan, dapat disertai deskuamasi.

Erupsi bisa disertai gejala konstitusi pada 20% kasus berupa demam, nyeri kepala,

nyeri otot atau sendi. Erupsi dapat timbul sendiri atau disertai keterlibatan organ

internal (hati, paru, ginjal, jantung, susunan saraf pusat) yang menandakan

terjadinya reaksi lebih berat sebagai bagian dari DIHS/DRESS.(21,22)

Alergi pada kulit atau mukokutan karena penggunaan obat terutama secara

sistemik. Pada anamesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapat

disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam diantaranya berbentuk eritema

sehingga mirip rosella pada sifilis sekunder. Keluhanya gatal sedankan pada sifilis

biasanya tidak gatal.(14)

Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan alergi obat juga diperlukan

dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan yang penting diantaranya adalah tes

kulit untuk reaksi hipersensitivitas cepat (lgE), tes tempel, tes provokasi atau tes

dosing, tes RAST, pengukuran lgG atau lgM yang spesifik untuk obat,

pengukuran aktivasi komplemen, pengukuran penglepasan histamin atau mediator

lain dari basophil. Pemeriksaan laiinya yaitupengukuran mediator seperti

11
histamin, prostaglandin, leukotrin, triptase, transformasi limfosit, esai toksisitas

leukosit dan evaluasi dengan bantuan komputer.(22)

Gambar 12. fix drug eruption(8)

Gambar 13. Drug hypersensitivity syndrome(8)


II.6.2.2 Morbili

Morbili merupakan penyakit virus akut, menular yang ditandai dengan 4

stadium, yaitu stadium inkubasi, prodromal ( kataral ), stadium eksantematosa dan

stadium penyembuhan, yang dimanifestasikan dengan demam, konjungtivitis dan

bercak koplik.(23)

Morbili merupakan penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan

oleh virus, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput

lendir dan saluran pernapasan, gejala-gejala mata, kemudian diikuti erupsi

makulopapula yang berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi dari kulit.(23)

Gejala klinis campak terdiri atas 3 stadium yaitu, Stadium Prodormal,

stadium erupsi dan stadium konvalensi. Pada stadium prodromal ditandai dengan

12
panas tinggi, biasanya > 38oC selama 3 hari atau lebih, disertai gejala 3C

(coryza/pilek, conjungtivitis, dan cough). Pada pemeriksaan mulut dapat dijumpai

koplik’s spot dan kadang disertai diare.(23)

Stadium erupsi ditandai dengan timbul ruam makulopapular eritromateus,

pada saat suhu tubuh sedang tinggi, namun bercak tak langsung muncul diseluruh

tubuh melainkan bertahap dan merambat. Mulai pada daerah kepala, belakang

leher, kemudian ke badan dan anggota badan atas, selanjutnya ke anggota badan

bawah. Warnanya khas merah dengan ukuran yang tidak terlalu besar, bercak

memenuhi seluruh tubuh dalam waktu satu minggu. Pada stadium konvalensi,

bercak kemerahan makulopapular berubah menjadi kehitaman (hiperpigmentasi)

disertai kulit bersisik. Kelainan kulit berupa eritema seperti pada sifilis sekunder.

Perbedaanya, pada morbilli disertai gejala konstitusi (tampak sakit dan demam),

kelenjar getah bening tidak membesar.(14,23)

Untuk diagnosis pasti diperlukan pemeriksaan serologi biakan darah.

Antibodi bisa terdeteksi bila sudah keluar ruam dan terdapat 4 kali kenaikan titer

yaitu saat rekonvalesen dibandingkan dengan titer pada saat prodormal. Virus

campak dapat ditemukan melalui biakan darah dan hapusan tenggorok.

Pemeriksaan serologi untuk membantu menegakan diagnosis campak yang dapat

dilakukan, misalnya uji antibodi immunofluoresen, uji netralisasi, uji fiksasi

komplemen dan uji hemaglutinasi inhibisi.(23)

13
Gambar 14. Ruam pada morbilli(8)

II.6.2.3 Pitriasis Rosea

Pitiriasis Rosea berasal dari kata pityriasis yang berari skuama halus dan

rosea yang berarti berwarna merah muda. Pitiriasis Rosea adalah erupsi kulit yang

dapat sembuh sendiri, berupa plak berbentuk oval, soliter dan berskuama pada

trunkus ( herald patch ) dan umumnya asimptomatik. Dominan terjadi pada anak-

anak dan dewasa usia 10-40 tahun.(8)

Gejala klasik dari Pitiriasis Rosea dimulai dengan lesi pertama berupa

makula eritematosa yang berbentuk oval atau anular dengan ukuran yang

bervariasi antara 2-4 cm, soliter, bagian tengah ditutupi oleh skuama halus dan

bagian tepi mempunyai batas tegas yang ditutupi oleh skuama tipis yang berasal

dari keratin yang terlepas yang juga melekat pada kulit normal ( skuama

collarette ). Lesi ini dikenal dengan nama herald patch.(8,24)

14
Gambar 15. herald patch(8)

Pada lebih dari 69% penderita ditemui adanya gejala prodromal berupa

malaise, mual, hilang nafsu makan, demam, nyeri sendi, dan pembengkakan

kelenjar limfe.4 Setelah timbul lesi primer, 1-2 minggu kemudian akan timbul lesi

sekunder generalisata. Pada lesi sekunder akan ditemukan 2 tipe lesi. Lesi terdiri

dari lesi dengan bentuk yang sama dengan lesi primer dengan ukuran lebih kecil

( diameter 0,5 – 1,5 cm ) dengan aksis panjangnya sejajar dengan garis kulit dan

sejajar dengan kosta sehingga memberikan gambaran Christmas tree. Lesi lain

berupa paul-papul kecil berwarna merah yang tidak berdistribusi sejajar dengan

garis kulit dan jumlah bertambah sesuai dengan derajat inflamasi dan tersebar

perifer. Kedua lesi ini timbul secara bersamaan.(8)

Gambar 16. Gambaran menyerupai Christmas tree(8)

15
Gambar 17. Gambaran Christmas tree pada pitriasis rosea(25)

Perbedaannya Pitiriasis Rosea dengan sifilis sekunder adalah pada sifilis

memiliki riwayat primary chancre ( makula eritem yang berkembang menjadi

papul dan pecah sehingga mengalami ulserasi di tengah ) berupa tidak ada herald

patch, limfadenopati, lesi melibatkan telapak tangan dan telapak kaki, dari tes

laboratorium VDRL (+).

Umumnya untuk menegakkan diagnosis Pitiriasis Rosea tidak dibutuhkan

pemeriksaan penunjang. Namun dalan hal diagnosis susah ditegakkan, dibutuhkan

pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding lain. Dapat

dilakukan RPR ( Rapid Plasma Reagin ) dan FTA-Abs( Fluoresent Treponemal

Antibody Absorbed ) untuk skrining sifilis.(26)

II.6.2.4 Psoriasis

16
Psoriasis merupakan suatu penyakit kulit yang bersifat kronik residif

dengan gambaran klinik bervariasi. Kelainan ini dikelompokkan dalam penyakit

eritroskuamosa dan ditandai bercak-bercak eritema berbatas tegas, ditutupi oleh

skuama tebal berlapis-lapis berwarna putih mengkilat seperti mika disertai

fenomena tetesan lilin, tanda auspitz dan fenomena kobner.(14)

Lesi psoriasis vulgaris berupa plak eritematous, berbatas tegas, simetris,

kering, tebal dengan ukuran yang beragam serta dilapisi oleh skuama tebal

berlapis-lapis dan berwarna putih seperti mika. Plak eritematous yang tebal

menandakan adanya hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, pelebaran pembuluh

darah dan inflamasi. Tempat predileksi lesi psoriasis yaitu pada scalp, ekstensor

lengan, kaki, lutut, siku, dorsum manus dan dorsum pedis. Keluhan yang

dirasakan adalah gatal dan kadang rasa panas yang membuat pasien merasa tidak

nyaman. Bentuk kelainan bervariasi mulai lentikuler, numular atau plakat dapat

berkonfluensi.(8,14)

Lesi psoriasis memiliki empat karakteristik yaitu (1) bercak-bercak eritem

yang meninggi (plak) dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskripta dan

merata, tetapi pada stadium lanjut sering eritema yang ditengah menghilang dan

hanya terdapat dipingir, (2) skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih

seperti mika dan transparan, (3) pada kulit terdapat eritema mengkilap yang

homogen dan terdapat perdarahan kecil jika skuama dikerok (Auspitz sign) (4)

ukuran lesi bervariasi-lentikuler, numuler, plakat.(8,14)

17
Gambar 18. Tampak plak eritematous psoriasis dengan skuama tebal berlapis-lapis berwarna putih
seperti mika(8)

Pada psoriasis terdapat fenomena yang khas yaitu fenomena tetesan lilin

dimana bila lesi yang berbentuk skuama dikerok maka skuama akan berubah

warna menjadi putih yang disebabkan oleh karena perubahan indeks bias. Auspitz

sign ialah bila skuama yang berlapis-lapis dikerok akan timbul bintik-bintik

pendarahan yang disebabkan papilomatosis yaitu papilla dermis yang memanjang

tetapi bila kerokan tersebut diteruskan maka akan tampak pendarahan yang

merata. Fenomena kobner ialah bila kulit penderita psoriasis terkena trauma

misalnya garukan maka akan muncul kelainan yang sama dengan kelainan

psoriasis.(8,14)

Gambar 19. Fenomena koebner(8)

18
Gambar 20. Fenomena Auspitz(8)

Sifilis pada stadium II dapat menyerupai psoriasis dan disebut sifilis

psoriasiformis. Persamaanya dengan sifilis sekunder yaitu terdapat eritema dan

skuama. Perbedaannya adalah skuama berlapis-lapis, berwarna coklat tembaga

dan sering disertai demam pada malam hari (dolores nocturnal), STS positif (tes

serologik untuk sifilis), terdapat senggama tersangka (coitus suspectus), dan pada

psoriasis tidak didapati limfadenitis generalisata, serta terdapat tanda tetesan lilin

dan Auspiz. Faktor pemicu psoriasis antara lain karena penggunaan obat, emosi

yang tidak stabil, infeksi saluran nafas atas, garukan, gesekan, alkoholisme dan

konsumsi kalori yang berlebihan.22

II.6.2.5 Dermatitis Seboroik

Dermatitis seboroik merupakan penyakit papuloskuamosa yang kronik.

Kelainan ini dapat mengenai bayi dan dewasa, dan berhubungan dengan

peningkatan produksi sebum pada skalp dan area yang memiliki banyak kelenjar

sebasea di wajah dan badan. Tempat predileksi biasanya dimulai pada kulit

kepala, dan kemudian menjalar ke muka, kuduk, leher dan badan. Istilah

dermatitis seboroik (D.S.) dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari

oleh faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik.(14)

19
Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak

kekuningan batasnya agak kurang tegas. Kelainan kulit dapat disertai rasa gatal

walupun jarang. D.S. yang ringan hanya mengenai kulit kepala berupa skuama-

skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang kemudian mengenai seluruh

kulit kepala dengan skuama-skuama yang halus dan kasar. Kelainan tersebut

disebut pitiriasis sika (ketombe, dandruff). Bentuk yang berminyak disebut

pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan krusta-krusta yang tebal.

(14,27)

Pada daerah pipi, hidung, dan dahi kelainan dapat berupa papul-papul.

Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak yang berskuama dan

berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal. Sering meluas ke dahi, glabela,

telinga posaurikular dan leher. Pada daerah dahi tersebut, batasnya sering

cembung. Pada bentuk yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh krusta-

krusta yang kotor dan berbau tidak sedap.(14) Pada daerah supraorbital, skuama-

skuama halus dapat terlihat di alis mata, kulit dibawahnya eritematosa dan gatal,

disertai bercak-bercak skuama kekuningan, dapat terjadi pula blefaritis, yakni

pinggir kelopak mata merah disertai skuama-skuama halus.(14,27)

20
Gambar 21. Dermatitis Seboroik pada lipatan nasolabial, pipi, alis, dan hidung(8)

Diagnosis dermatitis seboroik dapat ditegakkan berdasarkan kelainan kulit

yang terdiri dari eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan

batasnya agak kurang tegas (skuama dapat halus atau kasar).1 Predileksi dermatitis

seboroik terdapat pada bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar sebasea

(kelenjar minyak) yaitu daerah kepala (kulit kepala, telinga bagian luar, saluran

telinga, kulit di belakang telinga), wajah (alis mata, kelopak mata, glabellla,

lipatan nasolabial, dagu), badan bagian atas (daerah presternum, daerah

interskapula, areolla mammae, umbilikus, lipatan paha, daerah anogenital) .(27)

Persamaanya dengan sifilis sekunder adalah terdapatnya eritema dan

skuama. Perbedaanya pada dermatitis seboroik tempat predileksinya pada tempat

seboroik, skuama berminyak dan kekuning-kuningan, tidak disertai limfadenitis

generalisata.(14)

II.6.2.6 Kondiloma Akuiminatum

Kondiloma akuminata (KA), disebut juga anogenital wart atau kutil

kelamin adalah suatu penyakit infeksi berbentuk makula maupun papul pada

21
daerah mukosa anal dan genital serta sekitarnya yang sangat mudah menular dan

diakibatkan oleh Human papilloma virus (HPV). Bentuk umum dari kondiloma

akuminata adalah nodul berwarna merah muda, memanjang dan kadang-kadang

berbetuk filiformis atau menyatu. Lesi pada umumnya lebih dari satu, terdapat

pada daerah kulit yang lembab, dan pertumbuhannya dapat diinduksi oleh

kehamilan maupun infeksi lain.(28–30)

Pada pria, lesi ini paling umum ditemukan di penis, skrotum, meatus

uretra, dan area perianal. Sedangkan pada wanita, ditemukan di introitus, vulva,

perineum, perianal dan mungkin juga pada serviks dan dinding vagina.

Kondiloma akuminata juga dapat ditemukan pada area pubis, paha atas, dan

lipatan kruris baik pada laki-laki maupun perempuan.(31)

Tampilan dari kondiloma akuminata sendiri bervariasi, dapat memiliki


permukaan rata, berbentuk kubah, seperti bunga kol, atau berbentuk pendulum.
Tempat yang paling sering terkena yaitu daerah frenulum, korona dan glans penis
pada pria, dan pada wanita pada komisura posterior.(30,31)

Gambar 22. Gambaran klinis dari kondiloma akuminata pada penis(30)

Sebagian pasien KA datang dengan keluhan minor, Keluhan yang paling


sering yakni adanya pertumbuhan pada daerah perianal. Pruritus mungkin
ditemukan, terdapat sekret, perdarahan, bau, dan kebersihan daerah perianal yang
kurang. Ukuran KA dapat meningkat baik jumlah dan ukurannya, namun dapat
juga mengalami regresi spontan. Sebagian besar kutil kelamin ini dapat muncul

22
kembali setelah tiga bulan, bahkan setelah mendapatkan pengobatan yang tepat.
(30,31)

Gambar 23. Lesi dengan pigmen yang dikomfirmasi secara histologist merupakan kondiloma akuminata (30)

Gambar 24. Kondiloma akuminata pada daerah anal(30)

Lesi dapat muncul soliter berupa papul atau plak keratotik. Lesi awal KA

dapat berupa papul atau nodul berukuran 1-2 mm dengan warna cerah dan

kemudian dapat membesar hingga beberapa inci, mengakibatkan nyeri pada saat

berhubungan dan juga pada saat melahirkan. Umumnya kelainan kulit yang

timbul terjadi pada area yang lembab. Kutil ini dapat pula bervariasi baik warna

dan bentuk, antara warna pink, ungu, kemerahan atau kecoklatan dan permukaan

antara datar hingga verrucous (kasar). Kutil ini dapat pula menyebar kedalam

vagina, uretra dan epitel perirektal.(32)

Pasien dengan kondiloma akuminata datang dengan keluhan papul yang

meluas dengan lambat, menetap dan kadang-kadang memiliki skuama. Adanya

lesi pada area sekitar menunjukkan penyebaran lokal dari HPV. Mungkin juga

terdapat riwayat sekret yang keluar dari alat vital, serta rasa nyeri pada saat

berhubungan seksual.(31,32)

23
Pemeriksaan Penunjang menggunaan asam asetat 3-7 % (Acetowhite test)

dapat membantu melihat KA dan ditambah dengan pembesaran oleh kolposkopi.

Hasil tes tampak gambaran lesi putih. Biopsi kurang dipakai untuk menegakkan

diagnosis, namun direkomendasikan untuk lesi yang dicurigai bersifat ganas atau

memiliki potensi menjadi ganas, dengan ciri lesi mengalami ulserasi, perubahan

bentuk secara tiba-tiba, terfiksir dengan jaringan dibawahnya, dan tidak berespon

baik terhadap terapi.(31,32)

Gambaran yang tampak pada pemeriksaan histopatologis yakni adanya

keratinosit yang tidak normal, dikenal sebagai koilosit. Sel ini berbentuk besar,

dengan inti ditengah, piknotik dan dikelilingi oleh halo. Epidermis

memperlihatkan gambaran akantosis dengan derajat papilomatosis yang berbeda,

hyperkeratosis, dan parakeratosis. Lapisan granular tidak tampak dan rete ridge

tampak memanjang dengan ujung mengarah ke pusat lesi. Lapisan dermis

menunjukkan terjadi vaskularisasi yang berlebihan dan ada kapiler yang

mengalami trombus. Gambaran lain yang dapat terlihat, adalah susunan

keratinosit yang berbentuk fasikular.(32–34)

24
Gambar 25. Gambaran histopatologis dari kondiloma akuminata. (A) Akantosis yang tersebar merata dan
struktur bunga kol (pewarnaan HE, 40x). (B) Koilositosis pada lapisan sel granular. (C) Keratinosit tersususn

secara fasikuler (pewarnaan HE, 200x). (D) Susunan fasikuler dan koilositosis yang tampak bersamaan.(33)

Penyakit ini mirip dengan kondiloma lata keduanya berbentuk papul.

Perbedaanya pada kondiloma akuimanata biasanya permukaanya runcing-runcing

sedankan papul pada kondiloma lata permukaanya datar secara eksudatif.(14)

Gambar 26. kondiloma lata tampak plak yang lembab dengan permukaan datar(8)

Gambar 27. Kondiloma akuminata pada korona glandis (A) dan pada skrotum (B)(34)

II.6.2.7 Alopesia Areata

Alopecia areata adalah peradangan yang kronis, berulang dari rambut

terminal, yang ditandai oleh timbulnya satu atau lebih bercak kerontokan rambut

pada scalp dan atau kulit yang berambut terminal lainnya. Lesi pada umumnya

berbentuk bulat atau lonjong dengan batas tegas, permukaan licin tanpa adanya

tanda-tanda atropi, skuamasi maupun sikatriks.(8,35)

25
Lesi alopecia areata stadium awal, paling sering ditandai oleh bercak

kebotakan yang bulat atau lonjong, berbatas tegas. Permukaan lesi tampak halus,

licin, tanpa tanda-tanda sikatriks, atrofi maupun skuamasi. Pada tepi lesi kadang-

kadang tampak exclamation-mark hairs yang mudah dicabut.

Pada awalnya gambaran klinis alopecia areata berupa bercak atipikal,

kemudian menjadi bercak berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk karena

rontoknya rambut, kulit kepala tampak berwarna merah muda mengkilat, licin dan

halus, tanpa tanda-tanda sikatriks, atrofi maupun skuamasi. Kadang-kadang dapat

disertai dengan eritem ringan dan edema. Bila lesi telah mengenai seluruh atau

hampir seluruh kulit kepala disebut alopecia totatis. Apabila alopecia totalis

ditambah pula dengan alopecia dibagian badan lain yang dalam keadaan normal

berambut terminal disebut alopecia universalis. Gambaran klinis spesifik lainnya

adalah bentuk ophiasis yang biasanya terjadi pada anak, berupa kerontokan

rambut pada daerah occipital yang dapat meluas ke anterior dan bilateral 1 – 2 inci

di atas telinga, dan prognosisnya buruk. Gejala subjektif biasanya pasien

mengeluh gatal, nyeri, rasa terbakar atau parastesi seiring timbulnya lesi.(36,37)

Pada beberapa penderita terjadi perubahan pigmentasi pada rambut di

daerah yang akan berkembang menjadi lesi, atau terjadi pertumbuhan rambut baru

pada lesi atau pada rambut terminal di sekitar lesi. Hal ini disebabkan oleh

kerusakan keratinosit pada korteks yang menimbulkan perubahan pada rambut

26
fase anagen lll/IV dengan akibat kerusakan mekanisme pigmentasi pada bulbus

rambut.(8,35)

Diagnosis alopecia areata berdasarkan gambaran klinis atas pola mosaik

alopecia atau alopecia yang secara klinis berkembang secara progresif, didukung

adanya trikodistrofi, efluvium anagen, atau telogen yang luas, dan perubahan pada

gambaran histopatologi. Pada stadium akut ditemukan distrofi rambut anagen

yang disertai rambut tanda seru (exclamation mark hair) pada bagian proksimal,

sedangkan pada stadium kronik akan didapatkan peningkatan jumlah rambut

telogen. Perubahan lain meliputi berkurangnya diameter serabut rambut,

miniaturisasi, pigmentasi yang tidak teratur. Tes menarik rambut pada bagian tepi

lesi yang positif menunjukkan keaktifan penyakit.(30,38)

Biopsi pada tempat yang terserang menunjukkan peradangan limfostik

peribulbar pada sekitar folikel anagen atau katagen disertai meningkatnya

eosinofil atau sel mast.(8,36,37) Penyakit ini mirip dengan moth eaten alopecia pada

sifilis sekunder. Perbedaanya pada alopesia areata lebih besar (numular) dan

hanya beberapa, sedankan moth eaten alopecia lebih kecil (lenticular) dan banyak

serta seperti digigit ngengat(14)

Gambar 28. Alopecia areata(8)

27
II.7 Tatalaksana
Hingga saat ini obat pilihan utama untuk sifilis ialah penisilin, bila

ternyata alergi terhadap penisilin, diberikan antibiotika lain. Pengobatan yang

direkomendasikan oleh Center for disease control and prevention (CDC) untuk

sifilis dini (sifilis primer, sekunder dan laten dini) adalah benzatin penisilin

dengan dosis 2,4 juta unit secara intramuskular dosis tunggal atau penisilin G

prokain 0,6 juta unit intramuskular setiap 24 jam selama 10 hari. Bila pasien

mengalami alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin hidroklorida 500

mg per oral setiap 6 jam selama 14 hari, atau doksisiklin 100 mg per oral setiap 12

jam selama 14 hari, atau eritromisin stearat 500 mg per oral setiap 6 jam selama

14 hari.(16)

Observasi dan evaluasi risiko terjadinya reaksi Jarish-Herxheimer harus

dilakukan setelah pasien mendapat pengobatan penisilin. Reaksi ini disebabkan

oleh pelepasan endotoksin Treponema pallidum dalam jumlah besar. Reaksi dapat

terjadi dalam beberapa jam setelah pengobatan dan akan menghilang dalam waktu

24-36 jam. Gejalanya dapat berupa demam, mengigil, nyeri kepala, athralgia,

malese, lesi bertambah jelas (misalnya lesi sifilis menjadi lebih merah).(8)

II.8 Prognosis
Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil yang

sangat baik. Kegagalan terapi hanya masih ditemukan pada penderita HIV.

Penderita tabes dorsalis tidak akan membaik tetapi progresivitas penyakit akan

berkurang dengan pengobatan sifilis. Sifilis kardiovaskular juga memberikan

respon yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun infark iskemik masih dapat

ditemukan.(9)

28
29
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Sifilis merupakan suatu infeksi menular seksual yang disebabkan oleh

Treponema pallidum, suatu spesies bakteri gram negatif, berbentuk spiral yang

dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh. Organisme ini sangat tipis,

lembut, dan sulit ditumbuhkan secara in vitro. Sifilis menular melalui kontak

seksual baik melalui vaginal, anal, atau oral. Sifilis terbagi dalam beberapa

stadium yaitu, sifilis primer, sifilis sekunder dan sifilis tersier. Diagnosis sifilis

ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisisk, pemeriksaan laboratorium

dan kadang-kadang radiologi. diagnosis banding sifilis primer adalah herpes

simpleks, ulkus piogenik, scabies, balanitis, limfogranuloma venerum, karsinoma

sel skuamosa, penyakit behcet dan ulkus mole. erupsi oobat alergik, morbilli,

pitriasis rosea, psoriasis, dermatitis seboroik, kondiloma akuiminata, dan alopesia

areata merupakan diagnosis banding dari sifilis sekunder.

Pengobatan yang direkomendasikan oleh Center for disease control and

prevention (CDC) untuk sifilis dini (sifilis primer, sekunder dan laten dini) adalah

benzatin penisilin. Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil

yang sangat baik. Kegagalan terapi hanya masih ditemukan pada penderita HIV.

Penderita tabes dorsalis tidak akan membaik tetapi progresivitas penyakit akan

berkurang dengan pengobatan sifilis. Sifilis kardiovaskular juga memberikan

respon yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun infark iskemik masih dapat

ditemukan.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Stokes JH, Beerman H, Ingraham NR. Modern clinical syphilology:

diagnosis, treatment, case study. WB Saunders; 1944.

2. Daili SF, Indriatmi W, Wiweko SN, Dewi H, Tanudjaya F, Wignall S.

Pedoman Tata Laksana Sifilis Untuk Pengendalian Sifilis Di Layanan

Kesehatan Dasar. Jakarta Kementeri Kesehat Republik Indones Direktorat

Jenderal Pengendali Penyakit dan Penyehatan Lingkung. 2013;

3. Eccleston K, Collins L, Higgins SP. Primary syphilis. Int J STD AIDS.

2008;19(3):145–51.

4. Cruz A, Ramirez L. P3-S6. 10 Analysis of systemic and cutaneous immune

responses helps explain the duality of immune evasion and recognition in

secondary syphilis. Sex Transm Infect. 2011;87(Suppl 1):A298–9.

5. Tipple C, Hanna MOF, Hill S, Daniel J, Goldmeier D, McClure MO, et al.

Getting the measure of syphilis: qPCR to better understand early infection.

Sex Transm Infect. 2011;87(6):479–85.

6. Yin F, Feng Z, Li X. Spatial analysis of primary and secondary syphilis

incidence in China, 2004-2010. Int J STD AIDS. 2012;23(12):870–5.

7. Alvarez L, Sánchez L, Albero MD, López-Menchero R, Del Pozo C.

Secondary syphilis in a patient with renal transplant. NDT Plus.

2010;3(2):179–80.

8. Katz SI, Gilchrest BA, Paller A, Wolff K, Leffell DJ. Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine, 2 Volume Set. Vol. 1. McGraw Hill

Professional; 2012.

9. Setiati S, MEpid SPD. Ilmu penyakit dalam. Interna Publishing; 2014.

31
10. LaFond RE, Lukehart SA. Biological basis for syphilis. Clin Microbiol

Rev. 2006;19(1):29–49.

11. Antal GM, Lukehart SA, Meheus AZ. The endemic treponematoses.

Microbes Infect. 2002;4(1):83–94.

12. Sokolovskiy E, Frigo N, Rotanov S, Savicheva A, Dolia O, Kitajeva N, et

al. Guidelines for the laboratory diagnosis of syphilis in East European

countries. J Eur Acad Dermatology Venereol. 2009;23(6):623–32.

13. Philip SS, Klausner JD. Neurosyphilis in HIV-infected patients. 2008;

14. Linuwih S, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin 7th

ed. Jakarta: Fakultas kedokteran universitas Indonesia; 2018. Vol. 53,

Journal of Chemical Information and Modeling. 2018. 1689–1699 p.

15. Fernandes A, Ervianti E. Secondary Syphilis in Human Immunodeficiency

Virus (HIV)-Infected Men Who Have Sex with Men (MSM): A Case

Report. Berk Ilmu Kesehat Kulit dan Kelamin. 2020;32(1):75–84.

16. Wong T, Fonseca K, Chernesky MA, Garceau R, Levett PN, Serhir B.

Canadian Public Health Laboratory Network laboratory guidelines for the

diagnosis of neurosyphilis in Canada. Can J Infect Dis Med Microbiol.

2015;26(Supplement A):18A-22A.

17. arief l I, Hutomo M. sifilis sekunder dengan manifetasi kondiloma lata.

Berk ilmu penyakit kulit dan kelamin. 2010;27.

18. Oates JK, Csonka G. Sexually transmitted diseases: a textbook of

genitourinary medicine. Bailliere Tindall; 1990.

19. Ho EL, Lukehart SA. Syphilis: using modern approaches to understand an

old disease. J Clin Invest. 2011;121(12):4584–92.

32
20. Lukehart SA. Biology of treponemes. Sex Transm Dis 4th ed New York

McGraw Hill. 2008;648–59.

21. veronica. erupsi makropapuler disertai dermatitis seboroik pada seorang

anak terinveksi hiv. kesehatan. 2016;

22. pandapotan roy, Rengganis I. approach to diagnosis and treatment of drug

allergy. 2016;3.

23. Marcdante KJ, Kliegman R, Jenson HB, Behrman RE. Nelson ilmu

kesehatan anak esensial. Elsevier; 2014.

24. James WD, Berger TG, Elston DM. Familial benign chronic pemphigus

(Hailey-Hailey Disease). Andrews’ Dis Ski Clin dermatology 10th ed

Toronto Elsevier Inc. 2006;559–60.

25. Schadt C. pityriasis rosea. JAMA Dermatology. 2018;12(154):1496.

26. Vano-Galvan S, Ma D-L, Lopez-Neyra A, Perez B, Muñoz-Zato E, Jaén P.

Atypical Pityriasis rosea in a black child: a case report. Cases J.

2009;2(1):1–3.

27. Mansjoer A, WARDHANI WI, SETIOWULAN W. Kapita Selekta

Kedokteran, Jilid 2. 2000;

28. Patel H, Wagner M, Singhal P, Kothari S. Systematic review of the

incidence and prevalence of genital warts. BMC Infect Dis. 2013;13(1):1–

14.

29. Thappa DM, Senthilkumar M, Laxmisha C. Anogenital warts-an overview.

Indian J Sex Transm Dis. 2004;25(2):55–66.

30. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s textbook of

dermatology. John Wiley & Sons; 2008.

33
31. Partridge JM, Koutsky LA. Genital human papillomavirus infection in men.

Lancet Infect Dis. 2006;6(1):21–31.

32. Watson RA. Human papillomavirus: confronting the epidemic—a

urologist’s perspective. Rev Urol. 2005;7(3):135.

33. Odom RB, James WD, Berger TG. Andrew, s diseases of the skin: clinical

dermatology. 2000;

34. Yanofsky VR, Patel R V, Goldenberg G. Genital warts: a comprehensive

review. J Clin Aesthet Dermatol. 2012;5(6):25.

35. Van Der Velden EM, Drost BHIM, Ijsselmuiden OE, Baruchin AM,

Hulsebosch HJ. Dermatography as a new treatment for alopecia areata of

the eyebrows. Int J Dermatol. 1998;37(8):617–21.

36. Muller SA, Winkelmann RK. Alopecia areata: an evaluation of 736

patients. Arch Dermatol. 1963;88(3):290–7.

37. Eckert J, Church RE, Ebling FJ. The pathogenesis of alopecia areata. Br J

Dermatol. 1968;80(4):203–10.

38. Van der Steen P, Traupe H, Happle R, Boezeman J, Sträter R, Hamm H.

The genetic risk for alopecia areata in first degree relatives of severely

affected patients. An estimate. Acta Derm Venereol. 1992;72(5):373–5.

34

Anda mungkin juga menyukai